You are on page 1of 9

Antibiotik: mekanisme cara kerja dan klasifikasinya

Kemampuan suatu terapi antimikrobial sangat bergantung kepada obat, pejamu, dan agen penginfeksi. Namun dalam keadaan klinik hal ini sangat sulit untuk diprediksi mengingat kompleksnya interaksi yang terjadi di antara ketiganya. Namun pemilihan obat yang sesuai dengan dosis yang sepadan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan terapi dan menghindari timbulnya resistansi agen penginfeksi. Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi. Berdasarkan sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dibagi menjadi dua: 1. Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif terhadap bakteri. 2. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat pertumbuhan atau multiplikasi bakteri. Cara yang ditempuh oleh antibiotik dalam menekan bakteri dapat bermacam-macam, namun dengan tujuan yang sama yaitu untuk menghambat perkembangan bakteri. Oleh karena itu mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat dijadikan dasar untuk mengklasifikasikan antibiotik sebagai berikut: 1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Yang termasuk ke dalam golongan ini

adalah Beta-laktam, Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin, Ampicillin, Oxasilin. a) Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada enzim DD-

transpeptidase yang memperantarai dinding peptidoglikan bakteri, sehingga dengan demikian akan melemahkan dinding sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan tekanan osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna dinding peptidoglikan yang sudah terbentuk sebelumnya. Namun Beta-laktam (dan Penicillin) hanya efektif terhadap bakteri gram positif, sebab keberadaan membran terluar (outer membran) yang terdapat pada bakteri gram negatif membuatnya tak mampu menembus dinding peptidoglikan. b) Penicillin meliputi natural Penicillin, Penicillin G dan Penicillin V, merupakan antibiotik

bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel dan digunakan untuk penyakit-penyakit seperti sifilis,

listeria, atau alergi bakteri gram positif/Staphilococcus/Streptococcus. Namun karena Penicillin merupakan jenis antibiotik pertama sehingga paling lama digunakan telah membawa dampak resistansi bakteri terhadap antibiotik ini. Namun demikian Penicillin tetap digunakan selain karena harganya yang murah juga produksinya yang mudah. c) Polypeptida meliputi Bacitracin, Polymixin B dan Vancomycin. Ketiganya bersifat bakterisidal.

Bacitracin dan Vancomycin sama-sama menghambat sintesis dinding sel. Bacitracin digunakan untuk bakteri gram positif, sedangkan Vancomycin digunakan untuk bakteri Staphilococcus dan Streptococcus. Adapun Polymixin B digunakan untuk bakteri gram negatif. d) Cephalosporin (masih segolongan dengan Beta-laktam) memiliki mekanisme kerja yang hampir

sama yaitu dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Normalnya sintesis dinding sel ini diperantarai oleh PBP (Penicillin Binding Protein) yang akan berikatan dengan D-alanin-D-alanin, terutama untuk membentuk jembatan peptidoglikan. Namun keberadaan antibiotik akan membuat PBP berikatan dengannya sehingga sintesis dinding peptidoglikan menjadi terhambat. e) Ampicillin memiliki mekanisme yang sama dalam penghancuran dinding peptidoglikan, hanya saja

Ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada bakteri gram negatif. f) Penicillin jenis lain, seperti Methicillin dan Oxacillin, merupakan antibiotik bakterisidal yang

digunakan untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penggunaan Methicillin dan Oxacillin biasanya untuk bakteri gram positif yang telah membentuk kekebalan (resistansi) terhadap antibiotik dari golongan Beta-laktam. g) Antibiotik jenis inhibitor sintesis dinding sel lain memiliki spektrum sasaran yang lebih luas, yaitu

Carbapenems, Imipenem, Meropenem. Ketiganya bersifat bakterisidal. 2. Antibiotik yang menghambat transkripsi dan replikasi. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah

Quinolone, Rifampicin, Actinomycin D, Nalidixic acid, Lincosamides, Metronidazole. a) Quinolone merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara

masuk melalui porins dan menyerang DNA girase dan topoisomerase sehingga dengan demikian akan menghambat replikasi dan transkripsi DNA. Quinolone lazim digunakan untuk infeksi traktus urinarius. b) Rifampicin (Rifampin) merupakan antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan cara berikatan

dengan -subunit dari RNA polymerase sehingga menghambat transkripsi RNA dan pada akhirnya

sintesis protein. Rifampicin umumnya menyerang bakteri spesies Mycobacterum. c) Nalidixic acid merupakan antibiotik bakterisidal yang memiliki mekanisme kerja yang sama dengan

Quinolone, namun Nalidixic acid banyak digunakan untuk penyakit demam tipus. d) Lincosamides merupakan antibiotik yang berikatan pada subunit 50S dan banyak digunakan untuk

bakteri gram positif, anaeroba Pseudomemranous colitis. Contoh dari golongan Lincosamides adalah Clindamycin. e) Metronidazole merupakan antibiotik bakterisidal diaktifkan oleh anaeroba dan berefek menghambat

sintesis DNA. 3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah

Macrolide, Aminoglycoside, Tetracycline, Chloramphenicol, Kanamycin, Oxytetracycline. a) Macrolide, meliputi Erythromycin dan Azithromycin, menghambat pertumbuhan bakteri dengan

cara berikatan pada subunit 50S ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA yang diperlukan untuk sintesis protein. Peristiwa ini bersifat bakteriostatis, namun dalam konsentrasi tinggi hal ini dapat bersifat bakteriosidal. Macrolide biasanya menumpuk pada leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya infeksi. Macrolide biasanya digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma, dan Haemophilus. b) Aminoglycoside meliputi Streptomycin, Neomycin, dan Gentamycin, merupakan antibiotik

bakterisidal yang berikatan dengan subunit 30S/50S sehingga menghambat sintesis protein. Namun antibiotik jenis ini hanya berpengaruh terhadap bakteri gram negatif. c) Tetracycline merupakan antibiotik bakteriostatis yang berikatan dengan subunit ribosomal 16S-30S

dan mencegah pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A pada ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translasi protein. Namun antibiotik jenis ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan gigi menjadi berwarna dan dampaknya terhadap ginjal dan hati. d) Chloramphenicol merupakan antibiotik bakteriostatis yang menghambat sintesis protein dan

biasanya digunakan pada penyakit akibat kuman Salmonella. 4. Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Contohnya antara lain Ionimycin dan

Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan kadar kalsium intrasel sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan kebocoran sel. 5. Antibiotik yang menghambat bersifat antimetabolit. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah

Sulfa atau Sulfonamide, Trimetophrim, Azaserine.

a)

Pada bakteri, Sulfonamide bekerja dengan bertindak sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim

dihidropteroate sintetase (DHPS). Dengan dihambatnya enzim DHPS ini menyebabkan tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat bagi bakteri. Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif asam folat, di mana fungsinya adalah untuk berbagai peran biologis di antaranya dalam produksi dan pemeliharaan sel serta sintesis DNA dan protein. Biasanya Sulfonamide digunakan untuk penyakit Neiserria meningitis. b) Trimetophrim juga menghambat pembentukan DNA dan protein melalui penghambatan

metabolisme, hanya mekanismenya berbeda dari Sulfonamide. Trimetophrim akan menghambat enzim dihidrofolate reduktase yang seyogyanya dibutuhkan untuk mengubah dihidrofolat (DHF) menjadi tetrahidrofolat (THF). c) Azaserine (O-diazo-asetyl-I-serine) merupakan antibiotik yang dikenal sebagai purin-antagonis dan

analog-glutamin. Azaserin mengganggu jalannya metabolisme bakteri dengan cara berikatan dengan situs yang berhubungan sintesis glutamin, sehingga mengganggu pembentukan glutamin yang merupakan salah satu asam amino dalam protein. Yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah dosis serta jenis antibiotik yang diberikan haruslah tepat. Jika antibiotik diberikan dalam jenis yang kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang terjadi adalah bakteri tidak akan mati melainkan mengalami mutasi atau membentuk kekebalan terhadap antibiotik tersebut. Daftar Pustaka

[1] Mueller M, De la Pena A, Derendorf H. Issues in pharmacokinetics and pharmacodynamics of antiinfective agents: kill curves versus MIC. Antimicrobial agents and chemotherapy 2004;48:369-77. [2] Craig WA. Choosing an antibiotic on the basis of pharmacodynamics. Ear NoseThroat J 1998;77:711. [3] Van Saene HKF, Silvestri L, De la Cal MA. In: Gullo A, editor. Infection control in the intensive care unit. 2nd ed. Milan: Springer; 2005. p. 91-155.

VAKSIN Vaksin (dari kata vaccinia, penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada manusia, akan

menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar), adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau "liar". Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan sel-sel degeneratif (kanker). Sistem kekebalan mengenali partikel vaksin sebagai agen asing, menghancurkannya, dan "mengingat"nya. Ketika di kemudian hari agen yang virulen menginfeksi tubuh, sistem kekebalan telah siap: 1 Menetralkan bahannya sebelum bisa memasuki sel; dan 2 Mengenali dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi sebelum agen ini dapat berbiak. Vaksin yang dilemahkan digunakan untuk melawan tuberkulosis, rabies, dan cacar; agen yang telah mati digunakan untuk mengatasi kolera dan tifus; toksoid digunakan untuk melawan difteri dan tetanus. Meskipun vaksin sejauh ini tidak virulen sebagaimana agen "sebenarnya", bisa menimbulkan efek samping yang merugikan, dan harus diperkuat dengan vaksinasi ulang beberapa tiap tahun. Suatu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan vaksinasi DNA. DNA yang menyandi suatu bagian virus atau bakteri yang dapat dikenali oleh sistem kekebalan dimasukkan dan diekspresikan dalam sel manusia/hewan. Sel-sel ini selanjutnya menghasilkan toksoid agen penginfeksi, tanpa pengaruh berbahaya lainnya. Pada tahun 2003, vaksinasi DNA masih dalam percobaan, namun menunjukkan hasil yang menjanjikan.

Berbagai penyakit seperti polio telah dapat dikendalikan di negara-negara maju melalui penggunaan vaksin secara massal (malah, cacar telah berhasil dimusnahkan, sedangkan rubella dilaporkan telah musnah dari AS). Sepanjang mayoritas masyarakat telah diimunisasi, penyakit infeksi akan sulit mewabah. Pengaruh ini disebut herd immunity. Beberapa kalangan, terutama yang melakukan praktik pengobatan alternatif, menolak untuk mengimunisasi dirinya atau keluarganya, berdasarkan keyakinan bahwa efek samping vaksin merugikan mereka. Para pendukung vaksinasi rutin menjawab dengan mengatakan bahwa efek samping vaksin yang telah berizin, jika ada, jauh lebih kecil dibandingkan dengan akibat infeksi penyakit, atau sangat jarang, dan beranggapan bahwa hitungan untung/rugi haruslah berdasarkan keuntungan terhadap kemanusiaan secara keseluruhan, bukan hanya keuntungan pribadi yang diimunisasi. Resiko utama rubella, misalnya, adalah terhadap janin wanita hamil, tapi risiko ini dapat secara efektif dikurangi dengan imunisasi anak-anak agar tidak menular kepada wanita hamil. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Perlukah Imunisasi Dewasa Iris Rengganis Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Tujuan imunisasi atau vaksinasi adalah meningkatkan derajat imunitas, memberikan proteksi imun dengan menginduksi respons memori terhadap patogen tertentu / toksin dengan menggunakan preparat antigen non-virulen/non-toksik. Antibodi yang diproduksi oleh imunisasi harus efektif terutama terhadap mikroba ekstraselular dan produknya. Antibodi akan mencegah adherensi atau efek yang merusak sel dengan menetralisasi toksin (dipthteria, clostridium). IgA berperan di permukaan mukosa, mencegah virus/ bakteri menempel pada mukosa (efek polio oral). Mengingat respons imun baru timbul beberapa minggu, imunisasi aktif biasanya diberikan jauh sebelum pajanan dengan patogen. Pencegahan dengan cara imunisasi merupakan kemajuan besar dalam usaha imunoprofilaksis. Cacar yang merupakan penyakit yang sangat ditakuti, berkat imunisasi masal, sekarang telah dapat dilenyapkan dari dunia. Demikan pula dengan polio yang dewasa ini sudah banyak dillenyapkan di banyak negara. Pierce dan Schaffner melaporkan kurangnya perhatian imunisasi pada usia dewasa karena adanya keraguan dari masyarakat maupun petugas pelaksana pelayanan kesehatan terhadap keamanan dari vaksinasi, ganti rugi yang tidak memadai dan belum berkembangnya sistem imunisasi pada dewasa SISTEM IMUN Pertahanan tubuh terhadap infeksi terdiri dari sistem imun alamiah atau nonspesifik yang sudah ada dalam tubuh, dan dapat bekerja segera bila ada ancaman, sedangkan sistem imun spesifik baru bekerja setelah tubuh terpajan dengan mikroorgansime ke dua kali atau lebih. Sistem imun nonspesifik terdiri dari faktor fisis seperti kulit, selaput lendir, silia, batuk dan bersin, faktor larut yang terdiri dari faktor biokimia seperti lisozim (keringat), sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin dan asam neuraminik, faktor humoral sepeti komplemen, interferon dan CRP, sedangkan faktor selular seperti sel fagosit (mono-dan polimorfonukliar), sel NK, sel mast dan sel basofil. Sistem imun spesifik terdiri dari faktor humoral seperti berbagai antibodi yang diproduksi sel B dan faktor selular seperti Th (Th1, Th2, Ts, Tdth dan Tc). Refleks batuk yang terganggu oleh alkohol, narkotika, kerusakan mekanisme bersihan saluran napas oleh rokok atau polusi udara merupakan masalah sehari-hari yang banyak dijumpai dan harus dihadapi sistim imun. Gagal ginjal atau hati, penggunaan steroid dan diabetes melitus dapat menurunkan mekanisme bersihan darah dan risiko infeksi yang lebih berat. Pada infeksi HIV, mieloma multipel, limfoma terjadi gangguan produksi antibodi. Pada infeksi berat, penggunaan antibiotik dapat melepas sejumlah komponen dinding sel yang bahkan dapat memperberat proses inflamasi. IMUNISASI PADA DEWASA, USIA LANJUT DAN LINGKUNGAN PEKERJAAN TERTENTU Imunisasi pada anak sudah banyak dikembangkan, sudah ada imunisasi dasar dan program nasional yang

sudah dapat mengeliminasi polio, tetanus neonatorum dan mengurangi campak, namun tidak demikian halnya dengan imunisasi pada dewasa dan usia lanjut. Imunisasi dewasa dianjurkan bagi mereka yang berusia > 12 tahun yang menginginkan mendapat kekebalan misalnya terhadap influenza, pneumokok, hepatitis A dan B, MMR, DPT dan DT. Wisatawan yang terpajan dengan bahaya infeksi perlu mengetahui penyakit-penyakit yang sering terjadi di negara yang akan dikunjungi. Penyakit-penyakit seperti poliomielitis, diphteria, tetanus, tifoid, hepatitis A, tuberkulosis masih merupakan penyakit penting di berbagai negara sedang berkembang. Demikian pula halnya bagi mereka yang akan melakukan ibadah haji/umroh penting untuk mewaspadai meningitis dan influenza. Pada usia di atas 60 tahun, terjadi penurunan sistem imun nonspesifik seperti produksi air mata menurun, mekanisme batuk tidak efektif, gangguan pengaturan suhu, perubahan fungsi sel sistem imun, baik selular maupun humoral, sehingga usia lanjut lebih rentan terhadap infeksi, penyakit autoimun dan keganasan. Namun usia lanjut masih menunjukkan respons baik terhadap polisakarida bakteri, sehingga pemberian vaksin polisakarida pneumokok dapatdengan efektif meningkatkan antibodi. Penyakit influenza dapat merusak epitel saluran napas dan memudahkan infeksi pneumonia bakterial. Oleh karena itu vaksin influenza juga dianjurkan untuk diberikan kepada golongan usia di atas 60 tahun. Berbagai jenis pekerjaan merupakan risiko terjadinya infeksi yang berbahaya misalnya karyawan kesehatan terhadap virus hepatitis B, dokter hewan dan mahasiswa kedokteran hewan terhadap rabies, mereka yang dalam pekerjaan sehari-hari terpajan kulit, tulang-tulang hewan terhadap anthrax JENIS-JENIS VAKSIN Beberapa jenis vaksin dibedakan berdasarkan proses produksinya antara lain a. Vaksin hidup (Live attenuated vaccine) Vaksin terdiri dari kuman atau virus yang dilemahkan, masih antigenik namun tidak patogenik. Contohnya adalah virus polio oral. Oleh karena vaksin diberikan sesuai infeksi alamiah (oral), virus dalam vaksin akan hidup dan berkembang biak di epitel saluran cerna, sehingga akan memberikan kekebalan lokal. Sekresi IgA lokal yang ditingkatkan akan mencegah virus liar yang masuk ke dalam sel tubuh. b. Vaksin mati (Killed vaccine / Inactivated vaccine) Vaksin mati jelas tidak patogenik dan tidak berkembang biak dalam tubuh. Oleh karena itu diperlukan pemberian beberapa kali.

c. Rekombinan Susunan vaksin ini (misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Sintesis dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin. d. Toksoid Bahan bersifat imunogenik yang dibuat dari toksin kuman. Pemanasan dan penambahan formalin

biasanya digunakan dalam proses pembuatannya. Hasil pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai natural fluid plain toxoid, dan merangsang terbentuknya antibodi antitoksin. Imunisasi bakteriil toksoid efektif selama satu tahun. Bahan ajuvan digunakan untuk memperlama rangsangan antigenik dan meningkatkan imunogenesitasnya. e. Vaksin Plasma DNA (Plasmid DNA Vaccines) Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung kode antigen yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan selular yang cukup kuat, sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_152_PerlukahImunisasiDewasa.pdf/08_152_PerlukahImunisasi Dewasa.htm Jenis Vaksin 1. Killed vaccine adalah vaksin yang berasal dari mikroorganisme (virus atau bakteri) yang telah dimatikan baik dengan menggunakan zat-zat kimia atau dengan panas. Contoh vaksin jenis ini adalah Polio dan Hepatitis-A. 2. Attenuated vaccine adalah vaksin yang mengandung mikroorganisme hidup. Mikroorganisme ini adalah mikroorganisme yang dikembangbiakkan setelah sifat virulensinya dihilangkan. Vaksin ini memberikan respon imun yang lebih panjang. Contoh vaksin ini adalah MMR (measles, mumps dan rubella) 3. Toxoid adalah senyawa toxic/racun yang diinaktifkan dimana racun ini dapat menyebabkan sakit. Contoh dari toxid vaccine adalah tetanus dan difteri. 4. Subunit vaccine berbeda dengan vaksin inaktif atau atenuasi yang mengandung seluruh komponen dari mikroorganisme, subunit vaccine ini hanya mengandung sejumlah fragmen dari mikroorganisme itu dan fragmen ini sudah cukup untuk memberikan respon imun. Contohnya adalah vaksin Hepatitis B yang hanya mengandung protein permukaan dari virus dan HPV (Human Papiloma Virus) yang mengandung kapsid utama dari virus. 5. Conjugate vaccine adalah vaksin yang menggabungkan polisakarida lapisan terluar dari bakteri dengan protein lainnya (misal:toxin). Penggabungan (konyugasi) ini ditujukan untuk memperkuat sifat imunogenitas dari polisakarida. Contoh vaksin ini adalah vaksin Haemophilus influenzae type B 6. Experimental. Beberapa inovasi vaksin yang sedang dikembangkan adalah:

1. Vektor rekombinan, dengan mengkombinasikan fisiologi dari mikroorganisme dan DNA dari lainnya, imunitas bisa didapat dari penyakit yang memiliki proses infeksi yang kompleks. 2. Vaksin DNA, dibuat dari segmen DNA yang infeksius. Cara kerjanya yaitu dengan memasukkan DNA virus atau bakteri ke dalam sel manusia atau hewan. Beberapa sel yang mengenali DNA tersebut akan mengekspresikannya menjadi protein, sehingga sistem imun akah meresponnya. 3. T-cell Receptor (TCR) peptida. Peptida ini diketahui untuk memodulasi produksi sitokin dan meningkatkan mediasi imunitas sel. 4. Inhibitor mikrobial, Mentargetkan protein bakteri yang diidentifikasi yang tergabung dalam komplen inhibisi dapat menetralkan mekanisme virulensi dari bakteri. Sehingga komplemen ini dapat disebut pula sebagai vaksin.

7. Valence vaccine. Vaksin dapat berupa monovalen atau polivalen. Vaksin monovalen didisain untuk imunisasi melawan satu antigen atau satu mikroorganisme. Vaksin multivalen adalah vaksin yang dirancang untuk melawan dua atau lebih antigen dari mikroorganisme yang sama atau mikroorganisme yang berbeda. Dalam beberapa kasus, vaksin monovalen lebih disukai untuk memberikan respon imun yang kuat.

You might also like