You are on page 1of 9

Busuk daun kentang (late blight)

Posted on April 1, 2011 by Nurafni Organisme Penganggu Tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu : hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid, nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi. Perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak heran kalau pada musim hujan dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman seperti antraknosa cabai, busuk daun pada kentang dan penyakit kresek dan lain sebagainya. Sementara itu pada musim kemarau banyak masalah yang disebabkan oleh hama penggerek batang padi, hama belalang kembara, serta thrips pada cabai. Konsep Segitiga Penyakit : Konsep ini berawal dari Ilmu Penyakit Tumbuhan, namun juga dapat diterapkan pada bidang ilmu hama. Pada dasarnya penyakit hanya dapat terjadi jika ketiga faktor yaitu : Inang dalam keadaan rentan, Patogen bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor). Dari ketiga konsep tersebut jelas sekali bahwa perubahan salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul. Salah satu komoditas tanaman hortikultura yang terserang penyakit pada suhu yang rendah adalah kentang. Kentang (Solanum tuberosum L ) berasal dari Pegunungan Andes di Amerika Selatan. Jika Negara-negara barat kentang adalah makanan pokok, di Indonesia pada umumnya umbi kentang dipakai sebagai sayur atau untuk membuat berbagai macam lauk dan makanan kecil. Seperti halnya dengan di daerah beriklim sedang, disni kentang mempunyai banyak penyakit. Meskipun di Indonesia belum banyak di lakukan penelitian penyakit ini. Salah satu faktor risiko dalam usaha tani kentang adalah adanya serangan Organisme Pengganggu Tanaman salah satunya adalah penyakit busuk daun kentang. Busuk daun kentang (late blight) yang sering juga disebut sebagai hawar daun adalah penyakit yang terpenting pada tanaman kentang. Penyakit busuk daun kentang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans L , yang semula disebut Botrytis infestansMont. Miselium interseluler tidak bersekat, mempunyai banyak houstorium. Konidiofor keluar dari mulut kulit, berkumpul 1-5, dengan percabangan simpodial, mempunyai bengkakan yang khas. Konidium berbentuk buah peer, 22-32 x 16-24 m, berinti banyak 7-32. Konidium berkecambah secara tidak langsung dengan membentuk hifa (benang) baru, atau secara tidak langsung dengan membantuk spora kembara, konidium dapat juga disebut sebagai sporangium atau zoosporangium. Cendawan ini dapat membentuk oospora meskipun agak jarang.

Gejala penyakit ini: Daun Gejala pada tingkat awal timbul bercak nekrotik pada bagian tepi dan ujung daun dan berupa bercak abu-abu berukuran besar dengan bagian tengahnya yang agak gelap dan sedikit basah. Di sisi bawah daun terdapat spora berwarna putih sepeti beludru. Gejala pada daun tanaman umumnya muncul setelah tanaman berumur lebih dari satu bulan. Hal ini terjadi pada varietas rentan dan kelembaban cukup tinggi pada suhu yang tidak terlalu rendah. Gejala pada tingkat lanjut muncul bercak-bercak nekrotik yang berkembang keseluruh daun tanaman yang menyebabkan tanaman mati. Umbi Umbi terjadi bercak yang agak mengendap, berwarna cokelat atau hitam ungu, yang masuk sampai 3-6 mm ke dalam umbi. Bagian yang busuk kering tadi dapat terbatas sebagai bercak-bercak kecil, tetapi dapat juga meliputi suatu bagian yang luas pada satu umbi. Gejala ini dapat tampak pada waktu umbi di gali,tetapi sering tampak lebih jelas setelah umbi disimpan. Batang Bercak berkembang pada tangkai daun (petiole) dan batang yang mengembang dengan bentuk memanjang. Batang yang berkembang akan regas dan mati yang akhirnya bagian tanaman diatas bercak akan mati. Akar Gejala pada leher akar dan akar berupa busuk berwarna hitam. Jika keadaan membantu perkembangan penyakit, karena pengaruh phytopthora yang dibantu oleh jasad-jasad sekunder (bakteri atau jamur lain), umbi menjadi busuk basah. Pembusukan ini berkembang dengan cepat, sehingga umbi busuk sama sekali sebelum digali.

Gambar 1. Serangan Phytophthora Infestan pada daun kentang Pembentukan penyakit busuk daun ini bervariasi sesuai kondisi lingkungan. Kelembaban relative, suhu, intensitas cahaya, dan pemeliharaan kentang itu sendiri akan mempengaruhi gejala yang timbul. Daun yang

sakit terlihat berbecak bercak pada ujung dan tepi daunnya dan dapat meluas ke bawah serta mematikan seluruh daun dalam waktu 1 sampai 4 hari, hal ini terjadi jika udara lembab. Bila udara kering jumlah daun yang terserang terbatas, bercak bercak tetap kecil dan jadi kering dan tidak menular ke daun lainnya. Di lingkungan tropis, tanaman kentang akan terus berkembang, sehingga udara umumnya inokulum memulai awal terjadinya penyakit pada lahan baru. Di daerah dataran rendah, tanah atau sisa-sisa tanaman diperkirakan menjadi tempat yang sesuai bagi pathogen antara musim. Jamur juga akan bertahan hidup dalam umbi yang terinfeksi tetap di tanah dari musim sebelumnya. Benih juga bisa terinfeksi dan menjadi tempat hidup pathogen. Ketika tunas baru dihasilkan dari benih atau umbi tua yang terinfeksi, jamur tersebut akan menginfeksi tunas baru tersebut, kemudian sporulates dari pertumbuhan baru ini serta sporangia akan tersebar di udara atau di air. Siklus penyakit busuk daun Patogen dapat tersebar sampai ke batang dengan sangat cepat dalam jaringan korteks yang menyebabkan kerusakan sel didalamnya. Selanjutnya, miselium tumbuh diantara isi sel batang, tetapi jarang terdapat dalam jaringan vaskuler. Miselium tumbuh menembus batang sampai ke permukaan tanah. Ketika mesilium mencapai udara disekitar bagian tanaman miselium memproduksi sporangiospor yang dapat menembus stomata dan menetap serta menyebar melalui daun. Sporangiospor akan terlepas dan menyebabkan infeksi baru, sel-sel dimana miselium berada dapat mati dan menjadi busuk, miselium menyebar luas sampai ke bagian yang sehat. Beberapa hari setelah infeksi baru, sporangiospor timbul dari stomata dan memproduksi banyak sporangia yang dapat menginfeksi tanaman baru. Selama musin hujan, sporangia terbawa sampai ke tanah. Umbi dekat permukaan tanah dapat terserang zoospore yang bertunas dan berpenetrasi pada umbi menembus lenti sel atau melalui luka alami atau luka akibat serangga dan alat pertanian. Cendawan Phytophthora infestans dapat mempertahankan diri dari musim kemusim dalam umbi-umbi yang sakit, jika umbi yang sakit ditanam, cendawan ini dapat naik ke tunas muda yang baru saja tumbuh dan membentuk banyak konidium atau sporangium. Demikian pula umbi-umbi sakit yang dibuang, dalam keadaan yang cocok dapat bertunas dan menyebarkan konidium. Karena cendawan ini dapat membentuk oospora, maka cendawan dapat mempertahankan diri dalam bentuk ini juga, dan konidium dapat dipencarkan oleh angin dari sumber infeksi ke tanaman lain. Daur hidup dimulai saat sporangium terbawa oleh angin. Jika jatuh pada setetes air pada tanaman yang rentan, sporangium akan mengeluarkan spora kembara (zoospora), yang seterusnya membentuk pembuluh kecambah yang mengadakan infeksi (Rumahlewang, 2008). Ini terjadi ketika berada dalam kondisi basah dan dingin yang disebut dengan perkecambahan tidak langsung. Spora ini akan berenang sampai menemukan tempat inangnya. Ketika keadaan lebih panas, P. infestan akan menginfeksi tanaman dengan perkecambahan langsung, yaitu germ tube yang terbentuk dari sporangium akan menembus jaringan inang yang akan membiarkan parasit tersebut untuk memperoleh nutrient dari tubuh inangnya.

Gambar 2. Daur Hidup Phytophthora Infestan Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit Pembentukan dan perkecambahan konidium Ph. Infestans sangat dipengaruhi oleh kelembapan dan suhu terutama kelembapan. Pada udara yang kering konidium sudah mati dalam waktu 1-2 jam, sedang pada kelembapan 50-80% dalam waktu 3-6 jam. Pada suhu 10-250 C, kalau ada air, konidium membentuk spora kembara dalam waktu -2 jam Perkembangann bercak pada daun paling cepat terjadi pada suhu 16-240 C (lihat Salzsmann, 1950). Di dataran tinggi di Jawa busuk daun terutama berkembang hebat pada musim hujan yang dingin, antara bulan Desember dan Februari. Keadaan lingkungan di Indonesia sangat membantu perkembangan penyakit busuk daun kentang. Desiree, suatu varietas kentang yang di Eropa mempunyai ketahanan yang cukup terhadap beberapa ras Ph. Infestans (race non-specific), ternyata di Indonesia menjadi rentan (Mooi et al., 1980). Menurut Suhardi (1983) terdapat korelasi yang positif anatara intesitas penyakit dan curah hujan. Di Segunung, Cipanas, kentang yang ditanam bulan Oktober-Februari mendapat serangan berat dari Ph. Infestans, sehingga sering fungisida tidak tampak pengaruhnya. Pada bulan-bulan kering, Mei-Agustus, hanya sedikit spora yang tertangkap oleh alat penangkap spora. Keragaman genetik Phytophthora infestans Status dan bentuk alat reproduksi dari Phytophthora infestans menjadi topik kontroversi setelah Worthington Smith (1875) menyatakan bahwa jaringan kentang yang terinfeksi oosporanya ditemukan di Inggris. Pada tahun 1876, de Bary mula-mula menyatakan bahwa oospora yang ada pada jaringan kentang yang sakit adalah kontaminan Pythium vexans, tetapi 15 tahun kemudian ia menyatakan bahwa oospora dapat dijumpai pada jaringan kentang yang terinfeksi Phytophthora infestans. Selanjutnya, pada tahun 1956 de Bary membandingkan (pairing) isolat-isolatnya dengan isolat Phytophthora infestans yang berasal dari lembah dataran tinggi Toluka di Meksiko Tengah dan diperoleh ba-nyak sekali oospora (Niederhauser, 1956; Smoot et al., 1958). Biasanya mating type A1 membentuk banyak sporangia dan sporangiofora, sedangkan mating type A2 hanya membentuk agregat hifa saja. Sejak saat itu, telah dinyatakan bahwa selain isolat Phytophthora infestans dari Meksiko, isolat dari USA, Kanada, Eropa Barat, Afrika Selatan,

dan India Barat tidak mem-punyai alat reproduksi seksual. Sampai tahun 1984, peneliti pada umumnya percaya bahwa mating type A2 hanya terdapat di Meksiko, sehingga menimbulkan pertanyaan. Penelitian untuk mengidentifi-kasi populasi Phytophthora infestans menggunakan teknik genetika molekuler berdasarkan olimorfisme isoenzim diawali oleh Tooley et al. (1985). Setelah itu, banyak peneliti yang mempelajari ciri-ciri populasi Phytophthora infestans baik secara fenotipik maupun secara genotipik dengan menggunakan berbagai macam penanda, seperti mating type, allo-enzyme, sensitifitas terhadap metalaxyl, virulensi, serta sidik jari DNA nukleus (nuclear DNA fingerprint) dan sidik jari mitokondrial (mitochondrial DNA fingerprint) menggunakan teknik Restriction Fragment Length Polymorphism/RFLP.

Gambar 3. Phytophthora Infestan Setelah dianalisis genotipik alloenzymenya menggunakan enzim malat (Malic enzyme, Me) hasilnya menunjukkan nilai 90/90, dengan enzim glukose fosfat isome-rase (glucose phosphate isomerase, Gpi) menunjukkan nilai 100/100, sedangkan dengan enzim peptidase (Pep) menunjukkan nilai 96/96. Resistensi terhadap Senyawa Metalaxyl Di masa lalu, fungisida yang berbahan aktif metalaxyl sangat efektif untuk mengendalikan penyakit busuk daun. Tetapi penggunaannya yang berkepanjangan telah mengakibatkan munculnya strain Phytophthora infestans yang resisten terhadap senyawa metalaxyl. Pada umumnya, patogen ini berkembangbiak secara aseksual. Cara ini dilakukan tanpa penggabungan sel kelamin betina dan sel kelamin jantan, tetapi dengan pembentukan spora yaitu zoospora yang terdiri dari masa protoplasma yang mempunyai bulu bulu halus yang bisa bergetar dan disebut cilia, tetapi dapat juga berkembangbiak secara seksual dengan oospora, yaitu penggabugan dari gamet betina besar dan pasif dengan gamet jantan kecil tapi aktif. Mengatasi serangan penyakit busuk daun bisa berarti mencegah tanaman kentang agar tidak binasa oleh penyakit ini, atau bisa juga menekan serangan penyakit ini bila terlanjur menjarah pertanaman kentang. Berikut ini cara yang tepat untuk mengatasi serangan penyakit ini, 1. Pemilihan Bibit Umbi untuk bibit diambil dari tanaman yang sehat. Umbinya sendiri harus sehat dan tidak cacat. Jika umbi yang digunakan sebagai bibit sudah sakit (tak normal), jangan harap akan diperoleh tanaman yang sehat. Ciri umbi yang sehat tampak segar, tidak busuk, kulitnya mulus, tidak ada bekas-bekas serangan hama penyakit. Ukuran umbi untuk bibit lebih kurang yang beratnya 30gr.

2. Sanitasi Lapangan Bibit yang sehat belum menjamin tanaman akan terbebas dari penyakit ini, bila kondisi lapangan tidak sehat. Oleh karena tiu, perlu diusahakan agar areal tanaman terbebas dari sumber inokulan (penularan) cendawan P Infestans. Caranya adalah dengan melakukan pembajakan, penggaruan, dan pemberaan untuk mematikan atau memutuskan siklus hidup cendawan ganas ini. 3. Pengaturan Jarak Tanam Semakin rapat jarak tanam yang digunakan, diharapkan hasil yang diperoleh semakin tinggi. Namun penggunaan jarak tanam yang rapat perlu mempertimbangkan resiko serangan lodoh. Jarak tanam yang rapat akan menaikkan suhu dan kelembaban, keadaan yang amat memungkinkan cendawan P investans berkembang. Bila menggunakan bibit dari umbi ukuran biasa, jarak tanam yang ideal adalah 35 x 50 cm, sedangkan untuk umbi ukuran besar jarak tanamnya 50 x 80 cm. 4. Mencabut dan membakar tanaman sakit Bila pada suatu areal dijumpai tanaman kentang yang sakit, maka tanaman yang sakit itu harus segera dibakar. Tindakan pemusnahan ini perlu dilakukan agar spora cendawan tidak menyebar ke tanaman lain. Perlu diketahui bahwa spora cendawan ini mudah sekali disebarkan oleh angin maupun percikan air hujan. 5. Penanaman varietas kentang yang tahan. Di antara varietas-varietas yang pernah ditanam di Indonesia, Bevelander, Populair, Pofijit, dan Gloria kurang rentan ( Muller, 1939, van Hoof, 1950). Seperti yang sudah diuraikan di depan, varietas-varietas yang di daerah beriklim sedang mempunyai ketahanan tinggi, ternyata disini menjadi rentan ( vas Eek dan Thung, 1950, Mooi et al., 1980). Varietas-varietas yang dianjurkan karena tahan terhadap penyakit daun adalah Cipanas, Donata, Thung 151 C, dan Rapan 106 ( Anon., 1984). 6. Penyemprotan dengan fungisida Penyemprotan fungisida dilakukan sebanyak 15 kali per musim tanam atau 4-5 hari sekali. Fungisida yang digunakan jangan hanya satu jenis, sebab pemakaian fungisida satu jenis secara terus menerus akan menimbulkan sifat resisten pada cendawan. Cara ini merupakan alternatif terakhir yang diterapkan untuk menekan serangan penyakit. Sejak tahun 1970-an di antara fungisida protektan (kontak) yang banyak dipakai adalah mankozeb, propineb, dan kaptafol, dengan kadar 0,2-0,3% atau 2-3 kg/ha ( Anon., 1977), meskipun di samping itudewasa ini terdapat banyak fungisida yang diizinkan untuk pengendalian Ph infestans pada kentang (Anon., 2002). Kerapnya penyemprotan tergantunga dari keadaan cuaca, setiap habis hujan lebat penyemprotan diulangi. Pada suspense fungisida sebaiknya ditambahkan pelekat. Sering diperlukan 6-7 kali penyemprotan untuk tiap pertanaman. Pada usaha tani kentang kontribusi biaya pestisida berkisar antara 12-25% dari biaya produksi (Rauf,1999).

Pemakaian fungisida kontak, misalnya mankozeb yang diikuti dengan fungisida sistemik, misalnya metalaksil, secara bergilir memberikan hasil yang baik ( Suryaningsih dan Suhardi, 1994). Di dalam pengendalian hama terpadu (PHT) dewasa ini dianjurkan agar penyemprotanya dilakukan jika terdapat satu bercak aktif per 10 tanaman sampel. Yang dimaksud dengan bercak aktif adalah bercak Phytophthora segar yang membentuk banyak spora yang tampak seperti tepung putih. Penyemprotan dilakukan dengan fungisida sistemik, misalnya metalaksil, yang diikuti dengan tiga kali penyemprotan fungisida kontak yang sudah diuraikan diatas (Duriat et al 1994)

Sumber: http://nurafni.com/2011/04/01/busuk-daun-kentang-late-blight/

Busuk Daun dapat Mematikan Tanaman Kentang

Sumber Gambar: tanamanbudidaya.com


Sebagai sumber karbohidrat, kalori, mineral dan protein, pengembangan tanaman kentang memimiliki prospek yang cukup besar untuk menunjang program diversifikasi pangan, bahan baku industri dan komoditas ekspor. Sebagai bahan pangan, kentang yang nama latinnya Solanum tuberosum dapat diolah menjadi bermacam-macam hasil olahan seperti kentang goreng, tepung kentang, keripik kentang, perkedel maupun bahan olahan lainnya. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi bagi kesehatan, kebutuhan kentang cenderung mengalami peningkatan. Oleh karena itu, kentang mempunyai prospek yang cerah untuk dibudidayakan. Dalam budidaya kentang, salah satu faktor yang dapat menyebabkan rendahnya produksi adalah adanya serangan penyakit, apalagi jika penyakit itu merupakan penyakit yang membahayakan bagi komoditi sayuran tersebut, salah satunya adalah penyakit "Busuk daun" yang disebabkan oleh cendawan Phytopthora infestans. Hal ini karena penyakit yang disebut juga dengan nama "Hawar daun (Late Bligt)" apabila serangannya sudah parah,tanaman akan mati. Dengan matinya tanaman tersebut tentunya umbi yang ditunggu-tunggu hasilnya akan mengecewakan.

Bila umbi yang sakit ditanam, cendawan akan naik ke tunas muda dan membentuk konidium. Konidium dapat dipencarkan/disebarkan oleh angin ke tanaman lain melalui tanaman kentang yang sakit atau pun tanaman lain yang merupakan inang penyakit tersebut.. Tananam inang (tanaman yang dapat membantu penyebaran penyakit) busuk daun diantaranya tanaman tomat. Kelembaban dan suhu sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit. Kondisi suhu dan kelembaban yang cocok untuk berkembangnya penyakit. Apabila kondisi pertanaman kentang itu mempunyai suhu udara antara 16 - 24 0 C dan kelembabannya tinggi (musim hujan), penyakit akan berkembang hebat. Sedang pertanaman kentang yang di tanam di dataran rendah, umumnya serangan penyakit tidak begitu berat karena di dataran rendah mempunyai suhu udara yang tinggi. Pada suhu udara yang tinggi, cendawan Phytophthora infestans tidak berkembang dengan baik. Pencaran atau penyebaran penyakit busuk daun umumnya terjadi pada pertanaman kentang yang dibudidayakan di Jawa, Sumatera, Bali, Lombok dan Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, bagi petani yang sedang mengusahakan tanaman kentang perlu waspada terhadap kehadiran penyakit busuk daun tersebut. Gejala Penyakit ini dapat menyerang daun maupun umbi kentang. Jika penyakit menyerang daun, pada tingkat awal serangan timbul bercak nekrotik pada bagian tepi dan ujung daun. Gejala ini bertahan atau berkembang lambat pada varietas kentang yang tahan penyakit, misalnya varietas Merbabu-17, Cosima, Segunung dan varietas Cipanas atau pada cuaca kering. Pada gejala serangan tingkat lanjut, akan muncul bercak-bercak nekrotik yang berkembang ke seluruh daun tanaman dan menyebabkan matinya bagian tanaman yang ada di atas tanah. Gejala serangan pada daun umumnya muncul setelah tanaman berumur lebih dari satu bulan. Hal ini terutama terjadi pada varietas rentan (varietas yang tidak tahan serangan penyakit) dan kelembaban cukup tinggi pada suhu yang tidak terlalu rendah. Jika penyakit menyerang umbinya, pada umbi kentang yang diserang penyakit tersebut terdapat bercak berwarna coklat atau hitam ungu, masuk ke dalam umbi sedalam 3-6 mm . Gejala ini akan nampak waktu umbi kentang itu digali atau pun waktu umbi kentang tersebut dalam penyimpanan. Gejala penyakit akan nampak lebih jelas setelah penyimpanan dan dapat menutup seluruh permukaan umbi sehingga umbi akan membusuk karena perkembangan penyakit dan adanya organisme sekunder. Hal ini terjadi terutama apabila tidak ada upaya pengendalian terhadap penyakit tersebut. Pengendalian Upaya untuk mengendalikan penyakit ini dapat dilakukan dengan cara kultur teknis, , fisik/mekanis, biologi atau cara kimiawi. 1. Cara Kultur Teknis Hindari penanaman kentang yang berdekatan dengan tanaman inang seperti tomat, terutama yang lebih tua agar tidak terjadi penularan penyakit. Upayakan lingkungan pertanaman kentang selalu bersih, misalnya membuang/mengumpulkan sisa-sisa tanaman yang terserang kemudian dimusnahkan,misalnya dibakar agar tidak menyadi sumber penyebaran penyakit.

Bisa juga dengan menanam varietas yang tahan penyakit busuk daun maupun menggunakan benih kentang/umbi yang sehat, tiak cacat dan benih tersebut bukan berasal dari pertanaman kentang yang diserang penyakit. 2. Cara Fisik/Mekanis Bagian tanaman yang terserang penyakit, terutama pada saat serangan awal dipetik, dimasukkan ke dalam kantong kemudian dimusnahkan/dibakart agar bagian tanaman yang sakit tersebut tidak menjadi sumber penyebaran penyakit. 3. Cara Biologi Cara pengendalian ini dapat menggunakan agens hayati misalnya dengan cendawan Trichoderna atau Gliocladium dengan dosis penyemprotan 10 gram/liter air ditambah dengan zat perekat. 4. Cara Kimiawi Cara ini baru dilakukan apabila cara-cara pengendalian sulit dilakukan atau serangannya sudah parah dengan fungisida yang telah terdaftar dan diizinkan oleh pemerintah dengan bahan aktif mankozeb, propinep, klorotalonil atau simoxanil. Cara penggunanaan fungsida tersebut dapat dilihat pada kemasannya. Jika belum paham bisa ditanyakan kepada Penyuluh Pertanian atau petugas pertanian setempat.

Penulis : Ir.Muchdat Widodo,MM Penyuluh Madya, Pusat Penyuluhan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM pertanian Sumber : 1. Dr.Ir.Muchjidin Rachmat,MS. Buku tahunan Hortikultura Seri Tanaman Sayuran. Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, 2006 2. Ir.Soekirno,M.Si. Pengenalan dan Pengendalian Penyakit Hortikultura Prioritas. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, 2007. 3. Dr.Ir.Muchjidin Rachmat,MS. Standar Operasional Prosedur Budidaya Kentang Varietas Granola (Solanum tuberosum) Kab. Bandung Prov.Jawa Barat. Direntorat Budidaya Tanaman Sayuran dxan Biofarmaka, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, 2010.

Sumber: http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/busuk-daun-dapat-mematikan-tanaman-kentang

You might also like