You are on page 1of 16

THE BREMEN TOBACCO CASE 1959 (KASUS TEMBAKAU BREMEN 1959)

Tugas Makalah UKD 3 Hukum Internasional Kelas D Dosen Pengampu: Siti Muslimah, SH

Disusun Oleh: Dio Dera Darmawan E0009111

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret 2010

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah yang up to date karena menyangkut rasa nasionalisme bangsa indonesia adalah masalah divestasi. Dalam sejarah bangsa Indonesia merdeka, pernah dua kali melakukan divestasi atau nasionalisasi yaitu ketika pada tahun 1958, terkait dengan pengambila alihan perusahaan-perusahaan Belanda, dan pada tahun 1962, terkait konfrontasi dengan Malaisya, pada waktu itu Indonesia berusaha mengambil alih perusahaan milik Inggris dan Amerika, karena Indonesia menganggap kedua negara tersebut adalah pendukung Malaisya. Namun pada makalah ini, akan membahas mengenai kasus nasionalisasi pada 1958, atau yang lebih dikenal dengan Kasus Tembakau Bremen ( The Bremen Tobacco Case). Pemerintah mengambil alih perusahaaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat atau Papua, dari pendudukan Belanda. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kekeuatan Belanda yang ada di Indonesia atau dengan kata lain, Indonesia berusaha untuk mengurangi eksistensi Belanda di dunia Internasional. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia semakin mendapat tempat di dunia internasional. Karena itulah Indonesia berusaha keras untuk memenangkan kasus ini, dan pada akhirnya, keinginan bangsa Indonesia ini terwujud.

B. Rumusan Masalah Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan, maka disusun beberapa rumusan masalah terkait dengan kasus ini, yaitu: a. Bagaimanakah awal mula Kasus Tembakau Bremen?

b. Seperti apakah masalah hukum yang timbul & Bagaimanakah penyelesaian

Kasus Tembakau Bremen?


c. Penyelesaian

Sengketa

seperti

apa

yang

dapat

digunakan

untuk

menyelesaikan kasus tersebut? d. Bagaimanakah paradigma hukum internasional yang timbul akibat kasuskasus sengketa internasional?

C. Tinjauan Pustaka Sengketa internasional, menurut pengertian dari Mahkamah Internasional, adalah suatu situasi dimana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidak dilaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada pada suatu perjanjian. Selengkapnya Mahkamah ini menyatakan: "...whether there exists an international dispute is matter for objective determination. The mere denial of the existence of a dispute does not prove its non-existence ... There has thus arisen a situation in which the two sides hold clearly opposive views concerning the questions of the performance or non performance of treaty obligations. Confronted with such a situation, the Court must conclude that intrnational dispute has arisen.1 Dalam studi hukum internasional publik, dikenal ada dua macam sengketa internasional: sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political or non-justiciable disputes). Sebetulnya tidak ada kriteria yang jelas dan diterima secara umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut. Yang kerapkali dipakai menjadi ukuran suatu sengketa sebagai sengketa hukum yakni manakala sengketa tersebut bisa atau dapat diserahkan dan diselesaikan oleh pengadilan internasional. Namun pandangan demikian sulit diterima. Sengketa-sengketa internasional, secara teoritis pada pokoknya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional. Sesulit apapun suatu sengketa, meskipun tidak ada pengaturannya sekalipun, suatu pengadilan internasional tampaknya bisa memutuskannya dengan bergantung kepada prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono). Martin Dixon and Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, London: Blackstone Press Ltd., 1991, hlm. 511.
1

Pada pokoknya, ada banyak sengketa yang bisa diserahkan dan kemungkinan besar bisa diselesaikan oleh pengadilan internasional. Tetapi karena salah satu atau kedua negara enggan menyerahkannya kepada pengadilan, pengadilan menjadi tidak berwenang mengadilinya. Dalam hal ini yang menjadi dasar hukum bagi pengadilan untuk melaksanakan jurisdiksinya adalah kesepakatan para pihak yang bersengketa. Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah sengketa hukum dan sengketa politik, namun ada tiga golongan pendapat atau teori penting yang berkembang dalam hukum internasional. Pendapat Friedmann. Pendapat pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh golongan sarjana hukum internasional Amerika Serikat dengan pemukanya Professor Wolfgang Friedmann. Menurut beliau, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian tersebut, namun pembedaannya dapat tampak pada konsepsi sengketanya. Konsepsi sengketa hukum memuat hal-hal berikut:
o sengketa hukum adalah perselisihan-perselisihan antara negara yang mampu

diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan-aturan hukum yang ada atau yang sudah pasti;
o sengketa

hukum adalah sengketa-sengketa yang sifatnya mempengaruhi

kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah dan kehormatan atau kepentingankepentingan penting lainnya dari suatu negara;
o sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang ada

cukup untuk menghasilkan suatu putusan yang sesuai dengan keadilan antara negara dengan perkembangan progresif hubungan-hubungan internasional;
o sengketa hukum adalah sengketa-sengketa yang berkaitan dengan persengketaan

hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutantuntutan yang menghendaki suatu perubahan atas suatu hukum yang telah ada.

Pendapat Waldock. Pendapat kedua dikemukakan oleh para sarjana dan ahli hukum internasional dari Inggris yang membentuk suatu kelompok studi mengenai penyelesaian sengketa tahun

1963. Kelompok studi ini yang diketuai oleh Sir Humprey Waldock menerbitkan laporannya yang sampai sekarang masih dipakai sebagai sumber penting untuk studi tentang penyelesaian sengketa internasional. Menurut kelompok studi ini penentuan suatu sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai sengketa hukum, maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan patokan-patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, misalnya soal perlucutan senjata, maka sengketa tersebut adalah sengketa politik. Pendapatnya ini dirumuskan sebagai berikut:
'the legal or political character of a dispute is ultimately determined by the

objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If both parties are demanding what they conceive to be their existing legal rights. If both are demanding the application of standards or factors not rooted in the existing rules of international law - as, for example, in a dispute regarding disarmament - the dispute is evidently political.' Tampaknya pendekatan yang diambil oleh kelompok studi ini "lebih tepat". Sengketa yang timbul antara dua neqara, bentuk atau jenis sengketa yang bersangkutan ditentukan sepenuhnya oleh para pihak. Suatu sengketa hukum, misalnya penetapan garis batas wilayah, pelanggaran hak-hak istimewa diplomatik, sengketa hak-hak dan kewajiban dalam perdagangan, dll., yang pasti, sengketa demikian sedikit banyak mempengaruhi hubungan (baik) kedua negara. Bagaimana kedua negara memandang sengketa tersebut adalah faktor penentu untuk menentukan apakah sengketa yang bersangkutan sengketa hukum hukum atau politik. Dalam hubungan internasional hal seperti itu acapkal terjadi, misalnya saja pelanggaran hak-hak istimewa diplomatik, khususnya sewaktu berlangsunanya perang dingin antara blok Barat (AS dan sekutunya) dan Timur (Uni Sovyet dan sekutunya). Contoh aktual adalah pertikaian perdagangan, misalnya tuduhan pelanggaran ketentuan kuota ekspor antara Amerika Serikat dengan Jepang atau antara Masyarakat Eropa dengan Jepang atau masalah tuduhan dumping perdagangan (internasional). Sengketa-sengketa tersebut adalah sengketa hukum murni. Karena salah satu negara menuduh pihak lainnya melanggar ketentuan kuota ekspor atau ketentuan perdagangan internasional yang telah disepakati. Namun dalam menyelesaikan sengketa itu, para pihak jarang menyerahkannya ke badan-badan pengadilan. Sebaliknya para plhak tampaknya menganggap pertikaian itu
5

sebagai suatu persoalan atau pertikaian politik dan penyelesaiannya pun acapkali dilakukan melalui saluran politik, seperti negosiasi atau manakala saluran penyelesaian sengketa secara politik demikian buntu, baru penyelesaian sengketa secara hukum ditempuh. Pendapat Jalan Tengah (Oppenheim-Kelsen) Pendapat ketiga adalah golongan yang penulis sebut sebagai pendapat jalan tengah. Mereka adalah sekelompok sarjana yang merupakan gabungan sarjana Eropa (seperti de Visscher, Geamanu,Oppenheim) dan Amerika Serikat (seperti Hans Kelsen). Menurut Oppenheim dan Kelsen, pembedaan antara sengketa politis dan hukum tidak ada pembenaran ilmiah serta tidak ada dasar kriteria obyektif yang mendasarinya. Menurut mereka setiap sengketa memiliki aspek-aspek politis dan hukumnya. Sengketa-sengketa tersebut biasanya terkait antar negara yang berdaulat. Sengketa-sengketa yang dianggap sebagai sengketa hukum mungkin saja tersangkut di dalamnya kepentingan poliitis yang tinggi dari negara-negara yang bersangkutan. Begitu pula sebaliknya. Sengketa-sengketa yang dianggap memiliki sifat politis, mungkin saja di dalamnya sebenarnya penerapan prinsipprinsip atau aturan-aturan hukum internasional dimungkinkan. Di samping istilah sengketa hukum dan Politik, ada pula istilah lain yang sama-sama tunduk pada penyelesaian sengketa secara damai. Istilah tersebut adalah situasi (situation). Selain itu, terdapat cara penyelesaian sengketa internasional dengan jalan kekerasan. Cara ini baiasanya digunakan jika memang sudah tidak mungkin tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Misalnya dengan perang, boikot damai, reprisal, retorsi, embargo, dan lain sebagainya. Dalam membahas kasus ini, penulis berpedoman pada keputusan dari

oberlandesgericht Bremen tanggal 21 Agustus 1959, serta pada teori-teori penyelesaian sengketa internasional yang biasa digunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau sengketa sengketa internasional.

BAB II PEMBAHASAN

A. Awal Mula Kasus Tembakau Bremen Kasus ini berawal dari terbitnya Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Sebagai pelaksanaan dari UU tersebut, perusahaan-perusahaan milik Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi dan dinyatakan sebagai milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia. Perkebunan tembakau milik Perusahaan Belanda, yaitu NV Verenigde DeliMaatschappijen dan NV Senembah-Maatschappi, ikut dinasionalisasi dengan ganti kerugian yang akan ditetapkan kemudian. Sebagai gantinya Indonesia mendirikan Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru.2 Pemerintah kemudian menetapkan Bremen sebagai kota untuk memperdagangkan tembakau, dan membentuk Deutsch-Indonesische Tabakhandels GmbH, suatu perusahaan patungan PPN Baru dengan sejumlah pedagang tembakau asal Bremen. Pihak DeliSenembah (Belanda) menilai tindakan nasionalisasi tersebut sebagai suatu tindakan barbar dan merupakan suatu bentuk tekanan politik terkait dengan masalah Irian Barat. Oleh karena itu, ketika tembakau hendak diperdagangkan di Bremen, mereka mengajukan klaim kepemilikan, karena menurut mereka Indonesia tidak benar-benar akan memberikan ganti kerugian atau kompensasi, sehingga yang terjadi bukan nasionalisasi melainkan ekspropriasi3. Kasus ini kemudian disidangkan di Landgericht, Bremen. Isu-isu hukum dalam sengketa ini menyita perhatian dunia internasional. Di bidang hukum internasional (publik) salah satu isu hukum krusial adalah apakah kompensasi bagi Deli- Senembah ( Belanda) harus bersifat adequate, prompt, dan effective? Apakah nasionalisasi tersebut

Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda di Indonesia, Lembaran Negara No. 162 Tahun 1958
3

Ekspropriasi (expropriation) adalah proses penggunaan kontrol untuk memaksimumkan kesejahteraan sendiri

dengan distribusi kekayaan dari pihak lain ,

http://joernalakuntansi.wordpress.com

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara (general principles of law as recognized by civilized nations)? Di bidang Hukum Internasional, isu hukum krusial dari nasionalisasi tersebut adalah ketertiban umum (ordre public) dan doktrin tindakan negara (act of state doctrine). Kasus ini termasuk sengketa hukum, walaupun terdapat muatan politik didalamnya. Penyelesaian sengketa yang digunakan adalah melalui jalur litigasi atau pengadilan. Pihak Deli-Senembah (Belanda) diperkuat dengan dukungan sebelas orang Guru Besar, yang antara lain adalah Prof. Logemann, Prof. Lemaire, dan Prof. Kollewijn dari Universitas Leiden. Mereka bertiga pernah menjabat Guru Besar di Rechtshogeschool (yang kemudian menjelma menjadi FH UI). Prof. Logemann untuk Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Prof. Kollewijn untuk Pengantar Ilmu Hukum dan kemudian Hukum Intergentiel, dan Prof. Lemaire menggantikan Prof. Kollewijn untuk mata kuliah-mata kuliah yang sama4. Pihak Indonesia diperkuat oleh lima orang Guru Besar, yakni Prof. Dlle dan Prof. Zweigert, dan Prof. Ipsen dari Universitas Hamburg, Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Prof. Gautama dari Universitas Indonesia. Gautama muda adalah murid Prof. Lemaire di UI. Maka terjadilah pertarungan antara guru dan murid.
B. Masalah Hukum yang Timbul & Penyelesaian Kasus Tembakau Bremen

Pihak Indonesia dengan Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia digugat oleh pihak Belanda di pengadilan negeri Bremen. Dalam keputusan di pengadilan negeri Bremen, yang secara tidak langsung membenarkan nasionalisasi perusahaan dan perkebunan milik Belanda oleh pemerintah Indonesia. Pihak Belanda (Verenigde Deli Maatschapijen) mengajukan banding dan mendalilkan bahwa tindakan Indonesia dalam menasionalisasi bekas perusahaan Belanda tidak sah karena ganti rugi yang di tawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak Belanda dianggap sebagai dalil hukum internasional yaitu bahwa ganti rugi itu harus Prompt, effective dan adequate. Pihak perusahaan tembakau Jerman-Indonesia dan pemerintah Indonesia membantah dalil Belanda yang dikemukakan di atas dengan mengatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah usaha untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial ke ekonomi yang
4

Opposungu

Informasi ini dikutip dari In Memoriam Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama oleh Yu Unn

bersifat nasional secara radikal. Menurut pihak tergugat nasionalisasi tersebut perlu dilakukan dalam rangka perubahan struktur ekonomi tersebut. Sengketa ini akhirnya diselesaikan melalui keputusan pengadilan banding, Oberlandesgericht, Bremen, pada tanggal 21 Agustus 1959, yang menguatkan putusan Landgericht tanggal 21 April 1959 dan 16 Juni 1959, yakni menolak gugatan pihak DeliSenembah. Pengadilan Jerman menerima argumentasi Indonesia, yang antara lain adalah bahwa kompensasi yang bersifat adequate, prompt, dan effective tidak bisa diterapkan secara kaku. Jika diterapkan secara kaku, maka cita-cita luhur kemerdekaan yang antara lain memperbaiki perekonomian yang terpuruk pasca-kolonialisme hanya akan sia-sia akibat terkurasnya kas negara untuk membayar kompensasi sekaligus kepada pihak Belanda. Oleh karena itu, kompensasi yang wajib dibayarkan harus memperhatikan kondisi perekonomian dan kemampuan Indonesia. Dengan demikian nasionalisasi yang dilakukan Indonesia adalah sah! Mengenai ganti rugi, Indonesia sudah menyediakan ganti kerugian yang dengan Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1959 ditentukan bahwa dari hasil penjualan hasil perkebunan tembakau dan perkebunan lainnya akan disisihkan suatu presentasi tertentu untuk disediakan pembayaran ganti rugi. Sebenarnya pasca pengambilalihan kebun tembakau dari tangan Belanda sempat menyisakan masalah besar. Pasalnya Belanda sempat mempersoalkan serta mengklaim bahwa ribuan bal tembakau yang sedang dalam pelayaran dari Indonesia ke Rotterdam termasuk tembakau deli yang sedang dalam proses produksi di Indonesia adalah tetap menjadi miliknya. Klaim pihak Belanda tersebut direspon pihak Indonesia dengan mengajukan keberatan melalui jalur hukum internasional. Kemudian pada tahun 1967 setelah melalui perjuangan yang gigih akhirnya pihak Indonesia berada dalam pihak yang menang. Pasca kemenangan tersebut berdampak timbulnya perasaan tidak enak bagi Belanda, sehingga mereka menutup pasar Rotterdam, tempat dimana sebelumnya tembakau dipasarkan. namun para pedagang tembakau dari Jerman didukung pemerintahan kota Bremen segera mengambilalih tempat pelelangan dengan memindahkan ke Bremen,

walaupun awalnya dalam keadaan darurat. Sejak saat itulah hasil produksi tembakau tahun 1967 dilelang tahun 1968 di Bremen untuk pertama kalinya.5 Keputusan Pengadilan Negeri Bremen yakni bahwa pengadilan tidak mencampuri sah tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu, secara tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan terhadap perusahaan dan perkebunan milik Belanda tersebut (keputusan Landsgericht Bremen tanggal 21 April 1959). Banding dari Pihak Belanda akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Bremen (oberlandesgericht Bremen) yang menetapkan bahwa pengadilan tidak mempersoalkan keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia yang secara tidak langsung menyatakan bahwa tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia atas perkebunan Belanda adalah sah (keputusan oberlandesgericht Bremen, tanggal 21 Agustus 1959) C. Proses Penyelesaian Sengketa yang Dapat Digunakan Jika dikaji lebih mendalam, Kasus Tembakau Bremen ( The Bremen Tobacco Case) tidak hanya terkait permasalahan politik antara Indonesia-Belanda saja, namun juga terkait permasalahan yang menyangkut kepentingan ekonomi ( Bisnis) antar dua negara tersebut. Indonesia, sebagai negara yang baru merdeka, dengan perekonomian yang belum stabil, tentu tidak ingin kehilangan aset ekonomi yang berharga, yaitu perusahaanperusahaan tembakau milik Belanda yang dinasionalisasi tersebut. Sebaliknya, Belanda pun tidak ingin kehilangan aset perekonomianya yang sangat penting, mengingat pada saat itu, tembakau merupakan salah satu primadona dalam pasar eropa. Terlebih lagi tembakau asal Jawa dan Sumatra( Deli) sangat digemari oleh orang eropa. Dalam masyarakat bisnis, dikenal dua pendekatan umum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa. Pendekatan pertama, yaitu dengan menggunakan paradigma penyelesaian sengketa litigasi. Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan ( the adversary system) dan menggunakan paksaan ( coercion ) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu
5

http://kumpulanspasi.wordpress.com, berkaitan dengan hal tersebut, dalam UU no.1 tahun 1967, disebutkan bahwa Penanaman modal asing menurut UU No. 1 tahun 1967 yang dalam pelaksanaannya diperkuat oleh Undang-undang No. 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing juga memberikan batasan terhadap bidang-bidang yang tertutup bagi penanaman modal asing yaitu pada bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak Terkait ketentuan mengenai penyelesaian sengketa yang sesungguhnya merupakan muatan yang menjadi pilihan-pilihan bagi para pihak untuk menentukan pilihan hukum apa yang akan digunakan jika terjadi sengketa dalam realisasi kontrak karya.

10

keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan pendekatan kedua adalah dengan menggunakan paradigma penyelesaian sengketa non-litigasi. Paradigma ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan konsensus dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak yang bersengketa untuk menghasilkan suatu keputusan win-win solution6. Terkait kasus diatas, penyelesaian sengketa yang digunakan adalah dengan menggunakan paradigma penyelesaian sengketa litigasi. Keputusan yang didapat adalah keputusan yang win-lose solution. Yaitu dengan penyelesaian melalui Pengadilan Negeri Bremen, yang menghasilkan keputusan oberlandesgericht Bremen, tanggal 21 Agustus 1959, dimana dihasilkan keputusan bahwa pengadilan tidak mencampuri sah tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu, secara tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan terhadap perusahaan dan perkebunan milik Belanda tersebut. Pengadilan tidak mempersoalkan keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia yang secara tidak langsung menyatakan bahwa tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia atas perkebunan Belanda adalah sah. Sarana atau alternatif lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan Negoisasi atau Altrnatif sengketa ( ADR). Negoisasi atau ADR adalah penyelesaian sengketa yang paling banyak digunakan saat ini. Lebih dari 80% sengketa di bidang ekonomi ( Bisnis ) terselesaikan dengan menggunakan pendekatan ini. Penyelesainya atau keputusan yang dihasilkan, tidak win-lose solution, tetapi win-win solution. Cara penyelesaian ini dapat memuaskan pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara negoisasi atau ADR, merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa dalam paradigma atau pendekatan non-litigasi Ada lagi alternatif penyelesaian sengketa lain, yaitu melalu Arbitrase, dalam hal ini adalah Arbitrase Internasional. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa7. Arbitrase internasional bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antar negara oleh hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum.
6 7

Adi Sulistiyono,Mengembangkan Paradigma non-litigasi di Indonesia, hal.abstrak UU No. 30 tahun 1999, pasal 1 ayat 1

11

Penyelesaian melalui arbitrase ini berarti bahwa negara-negara yang bersangkutan harus mempunyai itikad baik. Arbitrase sama dengan pengadilan, artinya mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan sengketa dengan pendekatan adversial, dengan hasil keputusan win-win solution. Karenanya, walaupun menghasilkan suatu keputusan dengan hasil win-win, namun arbitrase masuk dalam penyelesaian sengketa dalam pendekatan atau paradigma litigasi. Terkait dengan kasus diatas, Indonesia lebih memilih menggunakan pendekatan atau paradigma litigasi untuk menyelesaikan kasus diatas. Alasanya, karena melalui paradigma atau pendekatan tersebut, dapat diperoleh kepastian hukum yang lebih jelas dan terjamin. Faktor lain adalah melihat kondisi kejiwaan bangsa Indonesia. Setelah dijajah selama 350 tahun, sangatlah mustahil jika pihak Indonesia mau bernegosiasi dengan Belanda untuk menyelesaikan kasus tersebut. Tentunya , Indonesia tidak mau rugi lebih banyak lagi jika kasus tersebut selesai dengan cara negosiasi. Penggunaan arbitrase pun tidak dilirik karena alasan yang sama. Selain itu, padda saat itu, arbitrase belum begitu populer sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa D. Paradigma Penyelesaian Sengketa Internasional Sengketa internasional terbagi menjadi dua, yaitu Justisiabel dan Non yustisiabel. Justisiabel maksudnya bahwa sengketa tersebut dapat diajukan ICJ ( International Court Of Justice ), merupakan sengketa hukum yang timbul dari Hukum Internasional dan deselesaikan pula berdasar Hukum Internasional melalui pengadilan maupun nonpengadilan. Sedangkan non-yustisiabel maksudnya bahwa sengketa tersebut bukan merupakan sasaran dari Pengadilan Internasional, lebih merupakan sengketa politik semata yang penyelesaianya menekankan pada proses dan kemahiran diplomasi tiap negara yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa internasional ada dua cara, yaitu dengan cara damai dan cara kekerasan. Dengan cara damai dibedakan menjadi dua lagi, yakni melalui Pengadila (litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi). Melalu pengadilan misalnya adalah melalui Arbitrase Internasional dan Pengadilan Internasional ( Mahkamah Internasional & Mahkamah Pidana Internasional ). Sedangkan dengan cara kekerasan misalnya dengan perang, retorsi, reprisal, blokade damai, embargo, dan lain sebagainya.

12

Dewasa ini paradigma yang berkembang dalam penyelesaian sengketa internasional adalah dengan cara damai. Seperti yang tertuang dalam pasal 2 ayat 3 piagam PBB bahwa Semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian , keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu. Prinsipprinsip penyelesaian sengketa internasional adalah: a. Prinsip itikad baik (good faith) b. Larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa c. Non intervensi urusan dalam negeri suati negara d. Persamaan hak & menentukan nasib sendiri e. Persamaan kedaulatan, kemerdekaan & integritas Wilayah f. Kesepakatan Para Pihak g. Kebebasan memilih cara &hukum yang diterapkan h. Prinsip Exhaustion of local remedies Selain itu kesuksesan Indonesia dalam sengketa internasional, menunjukan bahwa sistem hukum nasional dapat memberikan konstribusi dalam pengembangan hukum internasional. Mochtar Kusumaatmadja misalnya yang berhasil membongkar konsep pembayaran ganti rugi dalam hukum internasional yang menganut prinsip prompt, adequate, and effective (Hull Formula). Beliau menyatakan bahwa ganti rugi dibayarkan sesuai dengan kemampuan negara bekas jajahan sebab para kolonial telah merampas kekayaan negeri yang tidak sebanding. Argumen itulah yang memenangkan Indonesia dalam kasus Tembakau Bremen tahun 19598. Dengan demikian, hukum internasional yang diajarkan di Indonesia sudah sepatutnya harus memiliki sebuah paradigma atau kerangka keyakinan yang bersumber dari lokalitas, praktik-praktik, serta kepentingan nasional sehingga kita dapat selalu kritis atas semua konsep dalam hukum internasioal yang hadir dihadapan kita. Akan tetapi, paradigma tersebut tidak akan membuat Indonesia menjadi negara yang menutup diri karena jika itu dilakukan sama saja dengan bunuh diri.

BAB III PENUTUP


8

http://senandikahukum.wordpress.com

13

A.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan masalah diatas, dapat disimpulkan mengenai beberapa hal. Pertama, kasus ini berawal dari Undang-Undang nasionalisasi perusahaan Belanda. Kemudian, dua perusahaan Belanda, tepatnya perusahaan tembakau, yaitu NV Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV Senembah-Maatschappij. Belanda tetap mengajukan klaim kepemilikan, karena merasa Indonesia tidak akan memberikan kompensasi. Kasus ini kemudian disidangkan di Landgericht, Bremen dengan kemenangan di pihak Indonesia (21 april 1959 dan 16 juni 1959). Kemudian Belanda mengajukan banding, melalui pengadilan Oberlandesgericht, dengan keputusan yang memnguatkan keputusan Landgericht, yakni menolak gugatan pihak Belanda. Kedua, selain jalur pengadilan atau secara litigasi, kasus ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara lain diluar pengadilan ( non- litigasi ), misalnya dengan negoisasi, mediasi, Arbitrase Internasional, ADR, dan lain sebagainya. Ketiga,berdasarkan paradigma yang berkembang dalam kajian Hukum Internasional, terdapat cara penyelesaian sengketa internasional ada dua cara, yaitu secara damai,dan cara kekerasan. Dengan cara damai ada dua jalur, yaitu cara litigasi (melalui pengadilan) maupun non-litigasi, misalnya dengan negoisasi, mediasi, arbitrase internasional, maupun ADR. Dengan cara kekerasan yaitu dengan perang, boikot damai, reprisal, retorsi, embargo, dan lain sebagainya. Cara-cara tersebut biasanya dipakai dalam menyelesaikan sengketa hukum. Sedangkan sengketa politik, lebih menekankan pada proses dan kemahiran diplomasi tiap negara yang bersangkutan. B. Saran

Dalam perkembangan hukum internasional dewasa ini, paradigma penyelesaian sengketa baik internasional maupun nasional, sengketa hukum maupun politik, adalah melalui jalur non-litigasi. Keputusan yang dihasilkan merupakan keputusan win-win solution, sehingga banyak dipakai dalam berbagai sengketa internasional. Misalnya dengan cara arbitrase internasional. Mekanisme yang menguntungkan semua pihak, dan segala sesuatunya yang berdasarkan kesepakatan semua pihak yang bersengketa menjadi daya tarik dalam menyelesaikan sengketa internasional. Selain itu, pengembangan hukum internasional di Indonesia, sepatutnya harus memiliki sebuah paradigma atau kerangka keyakinan yang bersumber dari lokalitas, praktik-praktik, serta kepentingan nasional, sehingga kita dpat
14

selalu kritis terhadap isu-isu internasional yang telah, sedang, dan yang kemungkinan akan terjadi di masa depan.

15

16

You might also like