You are on page 1of 10

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM ( Disusun Oleh Luqman Awwalia, Syariah/V) Manusia mempunyai pegangan dalam menjalani kehidupan dimuka

bumi ini, dan terikat dengan aturan yang kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupannya, sehingga manusia tidak bisa seenaknya dan bersikap dengan kemauannya sendiri tanpa adanya aturan yang mengikat. Aturan yang dijadikan pedoman itu adalah Hukum Islam yang bersumber pada al-Quran dan al-Sunah. Hukum Islam sering disebut juga sebagai Syariat Islam, sebagaiman Firman Allah dalam al-Quran, Surat AlMumtahinah ayat 10,

Artinya : Demikianlah Hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (al-Mumtahinah : 10 ). Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa ketetapan yang dibuat-Nya, dan dijadikan sebagai hukum-hukum berupa aturan-aturan yang bersangkutan antara hubungan Allah dengan manusia, Hubungan Manusia dengan sesame manusia, serta hubungan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Ketetapan itulah yang disebut dengan Hukum Islam atau lebih dikenal dengan Syariat Islam, sebagaimana yang didefisikan oleh Prof. Hasbi dalam bukunya ETIKA HUKUM ISLAM. 1. Universalitas ( Alamy Ijmali ) Unuversalitas adalah Kemampuan sifat yang umum secara menyeluruh, dengan arti lain lain tidak memandang keberpihakan kepada salah satunya atau sebagian. Dengan demikian, Hukum Islam harus mampu memberikan solusi dan alternatif sebagai jalan keluar untuk keluar dari berbagai permasalahan dan problematika kehidupan manusia di dunia. Hukum Islam juga harus mampu memberikan pandangan dengan cara penerapannya terhadap objek yang di jadikan sasaran dan subjeknya yang menjalani aturan tersebut, dengan tidak keberpihakan terhadap sebagian dari bagian yang lain.

Agama Islam yang mempunyai sifat Universal, yang mencakup semua objek (manusia) secara menyeluruh, tanpa memandang golongan, kasta, bangsa, warna, dan wilayah/daerah, serta tidak dibatasi lautan ataupun suatu aturan negara. Dengan keuniversalan Agama Islam, membuat hukum yang dilahirkannya juga bersifat Universal tanpa ada batasan untuk menghalangi sebagian dari sebagian yang lain. Allah sebagai pembuat Hukum Islam atau Syariat yang terekam dalam al-Quran dan diperjelasnya oleh Nabi-Nya dalam al-Sunah, dijadikannya sebagai aturan-aturan yang mengatur hubungan Manusia dengan Khaliknya dan dengan hubungan manusia sesamanya, serta dengan sesama makhluk Allah yang lainnya, baik yang menyangkut kehidupan agama atau Akherat atau yang menyangkut dengan kehidupan duniawi. Nabi Muhammad SAW yang dipercaya dan diutus Allah SWT juga tidak terlepas dari sifat ke-Universalitas-nya dalam berdakwah terhadap ummatnya, tanpa memandang objek tujuan dakwah tersebut dari kalangan Rasulullah sendiri ataupun diluar ummatnya. Rasul dalam dakwahnya tidak memandang ia dari salah satu golongan, suku, bangsa, warna kulit, orang muhajirin ataupun orang anshor, semua itu diakuinya dengan tidak memihak dan memandang sebelah mata. Firman Allah dalam Surat An-Nuur ayat 23, yang berbunyi :

Artinya : Dan Kami tidak Mengutus Kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai peringatan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui Al-quran dengan Nash-nashnya yang dijadikan sebagai sumber untuk mengambil

ketetapan hukum mempunyai pemaknaan dan pemahaman yang sangat mendasar yang bersifat universal (Kulli). Sehingga perlu adanya pemaknaan yang lebih terinci agar dapat menghasil ketetapan hukum yang pasti.

2. Partikularitas ( Tafshily ) Secara kontektual Hukum Islam sangat diharapkan mampu menerobos jantung individualisme subjek pelaku yang hukum. Didalam tidak hukum semua Islam orang ada semacam untuk pengklasifikasian hukum terkadang wajib

melaksanakannya ataupun meninggalkannya. Seorang wanita yang mengalami Haid tidak wajib melaksanakan Sholat, Puasa, dan Ibadah Haji, batas usia baligh atau mukallaf untuk lelaki 15 tahun, sedangkan untuk perempuan mulai usia 9 tahun. Hal ini menunjukan bahawa hukum islam mempunyai aturan-aturan tertentu yang membatasi semua pelaku hukum dan tingkah laku semua pelaku hukum, serta pandangan terhadap orang yang tidak terkena dengan kewajiban hukum. Banyak dalil-dalil dari sumber hukum yang menunjukan terhadap partikularitas hukum, dalam hal ini terbagi dua : (1) ada yang bersifat kontetual, (2) dan ada pula yang bersifat ijtihadi. Yang bersifat kontektual adalah suatu hukum yang diambil dari dalilnya langsung tanpa ada pemaknaan yang lebih luas. Dan yang bersifat ijtihadi adalah hukum yang diambil dari dalil serta membutuhkan pemikiran dalam mengeluarkan hukum tersebut. biasanya hukum yang bersifat kontektual sifatnya tunggal, dalam arti tidak mempunyai hukum yang bermacam-macam. Berbeda dengan hukum yang bersifat ijtihadi mempunyai kebiasaan hukumnya bercabang, tidak terpaku pada satu hukum, bisa jadi dari satu bentuk ibadah muncul dua, tiga, atau mungkin lima hukum. Seperti yang dimukakan diatas, bahwa Hukum Islam atau yang dikenal dengan nama Syariat berhubungan langsung dengan segala tindak tanduk dan gerak gerik manusia di luar mengenai akhlak yang diatur secara tersendiri. Hukum Islam tersebut diramu dan dirangkum menjadi aturan-aturan dimasukan dengan berbagai kasifikasi yang luas yang menyangkut kewajiban, had-had perintah dan larangan, hikmah-hikmah, dan ibarat-ibarat yang tercakup dalam agama. Ada terdapat beberapa macam bentuk dan jenis dari pembagian Hukum Islam yang merupakan Klasifikasi dari Hukum Islam itu sendiri. Diantaranya ada hukum Fiqh, Tauhid, Mahkamat, Munakahat, Tarikh, dan yang lainnya.

Mengenai bagian-bagian dari Hukum Islam tersebut, Allah pun telah menetapkannya dan terdapat keterangan dalam al-Quran Surat al-Isra ayat 106 :

Artinya : Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan menurunkannya bagian demi bagian. (Qs. Al-Isra : 106 ).

3. Elastisitas dan Adaptasitas Hukum Islam dengan kedua sumbernya, yaitu al-Quran dan al-Sunah, tidaklah lahir dalam masyarakat yang hampa cultural, yang disamping sebagai konsep Illahi yang mengajarkan tentang kebenaran, juga sekaligus menjadi pedoman hidup dan kshidupan manusia dengan segala aspeknya. Setiap prang mengakui bahwa Agama Islam adalah ajaran terakhir yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya dengan pedoman kitabnya terhadap al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak Rasul atau Nabi yang diutus Allah dan wahyu yang diturunkan-Nya untuk mengatur arah kehidupan umat manusia setelah Nabi Muhammad SAW. Hal ini memberikan pengertian, bahwa Islam seperti apa yang diucapkan Nabi Muhammad SAW pada akhir hayatnya adalah agama yang sempurna, memiliki dinamika yang sangat luas, keluwesan yang bisa menjamin kemampuan untuk menjamin segala macam persoalan dan permasalahan yang timbul akibat perkembangan kemajuan arus perubahan zaman dalam segala bidang, dan menjamin relevansinya sepanjang masa dalam berbagai kondisi dan lingkungan social yang penuh dengan macam-macam ragam perubahan.

Dari adanya perubahan yang mengakibatkan munculnya berbagai macam permasalahan dan persoalan secara komplek serta menantang untuk diperbincangkan sehinggga dipandang perlu untuk pengambilan solusi pemecahannya agar Hukum Islam tidak dipandang sebelah mata, Hukum Islam tidak disebut-sebut sebagai konsep hukum yang tertinggal dari keberadaan zaman yang penuh dengan perubahan, dan tetapmasih diperhitungkan keberadaannya. Oleh karena itu Hukum Islam perlu sekali adanya pemolesan agar mampu menjawab serta memecahkan semua problematika yang terjadi. Dengan demikian, Hukum Islam harus mampu dan sanggup menghadapi, memberikan jawaban dan antisipasinya terhadap semua perkembangan dan kemajuan dari semua kejadian yang baru, kapan dan dimana saja, sehingga Hukum Islam akan disebut sebagai konsep hukum yang actual, dan tidak dikatakan sebagai hukum yang ketinggalan zaman, serta hukum bisa bertahan keeksistensiannya yang sejalan dengan arus perubahan masa, dan sesuai dengan kondisi yang terjadi Musayiran likulli zaman wa Sholihan Likulli Makan dan juga sesuai dengan ungkapan yang selalu didengungkan, yaitu Asy Syariatu Al Islamiyah Sholihatun Likulli Zamanin wa Makan. Hukum Islam adalah sesuatu yang mengatur segala hubungan, membatasi setiap hak dan kewajiban. Yang sudah tentu pergaulan dengan berbagai aspek akan terjalin, khususnya hubungan manusia dengan manusia aspek sosialisasi perdata dan perdana melalui proses peradilan.Wahyu Allah yang menjadi utama penerapan hukum mulai tumbuh dan berkembang dari masa kemasa, karena ada ijtihad yang memberikan hasil yang konkret, sehingga sampai pada titik kulminasi kejayaan yang belum tercapai pada masa sebelumnya. Wahyu Allah diturunkan melalui kaidah yang senantiasa mampu untuk dipraktekan. Sehingga para ulama mencoba untuk mengaplikasikan kaidah tersebut terhadap setiap peristiwa aktual yang terjadi pada masanya, bahkan memotivasi para ulama untuk mencoba melakukan hipotesa terhadap kejadian yang belum pernah terjadi, lalu menetapkan hukum berdasarkan perspektif kaidah-kaidah universal. Hasilnya banyak para cendekiawan, pemikir-pemikir islam dimasa kemudiannya yang mengagumi dan membanggakan karya-karya para ulama yang mempunyai pemikiran objektif dan cemerlang. Bahkan dalam karya-karya para ulama itu dapat ditemukan suatu system paripurna dalam upayanya memenuhi kebutahan generasi ke generasi mendatang yang

diharapkan dapat mewarisi bumi ini. Sehingga hukum mampu beradaptasi dengan lingkungan, keadaan apapun dan dimanapun. Banyak para Pakar yang memberikan sumbangsih yang yang sangat besar dengan karya ilmiyahnya yang sangat meluas dan mendalam dengan berbagai literature, baik dalam bahasa asli dari hukun islam itu sendiri (Bahasa Arab), maupun dalam bahasa asing lainnya dalam upya memecahkan masalah yang dihadapi hukum islam itu sendiri. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan yang dihadapi hukum islam merupakan permasalahan yang cukup komplek, sehingga pantas disebut sebagai kebutuhan pokok yang tidak dapat dipisahkan bagi masyarakat islam sendiri dari masa ke masa dengan perkembangannya yang realistis dan dinamis. Diantara para pakar yang berhasil menerobos pertahanan permasalahan-permasalahan dari perkembangan dan kemajuan zaman yang komplek, adalah Imam Al-Ghozali, Imam Rasyid Fhasa, Imam Ibnu Taimmiyah, Imam Nawawi, Imam Ar-Rafii, Imam Ibnu Shina, Imam Al-Faroby, Imam Al-Qurtubhi, Imam Rahun al-Rasyid, serta imam-imam yang lainnya. Diantara ahli-ahli Ketimuran dn seumpamanya, yang menulis tentang Islam dengan sikap fanatisme dan kecurangan, ada yang berkhayal bahwa syarit islam itu kaku dan keras, tidak mampu menerima dan menghadapi perkembangan arah perubahan zaman. Hal itu menurut mereka, disebabkan karena dasar Islam aslah wahyu dan sumber utamanya adalah nash-nash agama, yang mana terhadapnya umat islam harus tunduk menerima dan taat, dan bukan karena tuntutan iman dan islamnya. Firman Allah dalam Al-Quran Surat An-Nur ayat 51 :

Artinya :

Sesungguhnya jawaban orang-orang mumin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara ialah ucapan kami mendengar dan kami patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. An-Mur : 51)

Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mumin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mumin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan sesat yang nyata. (Q.S. Al-Ahzab : 36). Premis yang mereka kemukakan ini, jika Islam dilihat sebagai sebuah syariat agama yang berasal dari Allah SWT. Memang benar, tetapi konklusi yang ditarik dari padanya akan menjadi tidak benar. Premis itu sesungguhnya hanya disorong oleh konsepsi yang keliru, kekerasan atau kesurangan. Kiranya mustahil bagi Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha baik, Maha Bijaksana, dan Maha Penyayang untuk menurunkan wahyu-Nya kepada Rasul penutup yang berisikan syariat universal dan abadi, yang hanya menyulitkan dalam beragama, atau mempersempit dalam menempuh kehidupan duniawi, atau membuat mereka tidak mampu mengahadapi keadaan dan problematika perubahan kehidupan yang baru. Allah sendiri dalam al-Quran menyatakan bahwa betapa islam itu mempunyai kedudukan yang sempurna, ia diturunkan untuk memberi rahmat dan kemudahan bukan untuk mempersukar atau mempersulit. Diantara faktor-faktor yang membuat Syariat Islam atau Hukum Islam itu mempunyai Keluasan dan keluwesan adalah :

1. Adanya faktor ; luasnya pinti kemaafan yang tersedia. Maksudnya adalah bahwa agama dengan nash-nashnya membiarkan dan memberi ruang gerak yang lebih luas tanpa adanya konsekuensi hukum yang membuat para Mujtahid enggan untuk melakukan ijtihadnya, untuk memberikan hasil ijtihadi yang paling bagus, pantas, dan layakbagi umatnya dalam menghadapi kondisi perubahan zaman yang komplet dan komplek. 2. Adanya faktor ; Pemahaman nash-nash terhadap ketetapan hukum yang universal. Seperti yang diungkapkan pada bagian pertama tentang univrsalitas. Sebagian nashnash berbentuk prinsip-prinsip dasar yang universal dan ketetapan hukum yang bersifat umum. Sehingga perlu adanya pemaknaan nash-nash tersebut untuk sampai pada bagian-bagian yang kecil dan perincian-perincian yang mendetil untuk menetapkan ketetapan hukum yang tetap dan paten. Dan ini hanya bisa dilakukan dengan cara Ijtihadiah. 3. Adanya Faktor ; Kemungkinan Nash-Nash Istinbat al-Hukum bisa menerima beberapa pemaknaan dan pemahaman yang berbeda-beda. Ini bisa terjadi karena nashnash yang ada mempunyai pemahaman dan pemaknaan yang sifatnya global dan universal. Hanya saja jangan sampai dengan munculnya beberapa pemahaman yang berbeda, membuat pudar eksistensi Syariati dalam menghadapi kemajuan perubahan zaman dengan hal-hal yang barunya. 4. Adanya Faktor ; memelihara kebutuhan dasar dalam menghadapi halangan dan kondisi yang khusus. Syariat Islam memelihara kebutuhan-kebutuhan dasar, halangan-halangan yang menimpa manusia, diperhatikannya, sehingga mendapatkan perhatian yang selayaknya dimata Syariati, dan ditetapkannya ketentuan hukum khusus yang sesuai dengannya, sejalan dengan arah yang umum dalam upaya memberikan kemudahan serta menghapus ikatan yang membelenggunya, supaya dapat menjalankan Hukum Syariati dengan penuh kebebasan. 5. Adanya Faktor ; adanya perubahan Fatwa Ulama karena berubahnya masa, keadaan tempat, dan Uruf. Hal ini sah-sah terjadi, asal jangan sampai dengan adanya fatwa ulama yang maksudnya memperjelas dan memperinci maksud dari nash-nash hukum yang universal, malah jauh dari maksud nash itu sendiri hanya karena adanya perubahan waktu saja.

4. Etis dan Estetis Etika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala persoalan baik dan buruk di dalam manusia semuanya, teristimewa mengenai gerak-gerik pemikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai tujuannya yaitu suatu perbuatan atau tindakan. Etika berhubungan langsung dengan ilmu pengetahuan tentang manusia sebagai : antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, dan ilmu hukum. Perbedaannya terletakpada keharusannya.Didalam Ensyclopedia Britanica dinyatakan dengan tegas bahwa etika adalah bagian dari filsafat, sehingga membutuhkan sebuah pemikiran mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Etika dipandang mempunyai sifat normative dan evaluatif mengenai penilaian baik dan buruk terhadap semua tingkah dan gerak gerik manusia yang selalu berhadapan dengan situasi yang berbeda. Tapi dalam pembicaraannya etika digolongkan ke dalam sifat informative, direktif dan reflektif. Didalam realisasinya jika etika mampu menghasilkan penilaian sikap dan tingkah yang sangat indah sehingga objek yang dihadapinya merasa terpesona, dalam hal ini etika naik peringkat masuk kedalam nomonasi yang estetis. Estetika yang juga merupakan bagian dari filsafat, sudah dalilnya membutuhkan sebuah pemikiran, karena sifatnya yang diluar objek. Berbeda dengan etika yang berada dalam objek. Tapi estetika tidak akan lepas dari proses dan perjalanan etika. Yang menjadi permasalahan bagaimana supaya etika menjadi sebuah estetika atau sesuatu yang mempunyai keindahan agar yang dihadapinya merasa terpesona. Dalam memandang prinsip-prinsip dasar Hukum syariati yang beraneka ragam perbedaan perlu disikapi dengan sikap yang lapang dada. Karena maksud dari perbedaan hasil ijtihadi para ulama tersebut bukan melakukan persaingan antar konsep penetapan

hukum syraiati, namun karena perbedaan pemahaman akibat banyaknya nash-nash yang terdapat dalam al-Quran yang masih bersipat universal yang membutuhkan penjabaran pemaknaan yang lebih rinci untuk menghasilkan penetapan hukum yang lebih dimengerti dan memudahkan pelaksanaannya dalam mengimplementasikan hukum hasil ijtihadi para ulama mujtahidin tersebut dalam bentuk amaliyah ibadah umat. Hanya sayang, sering terjadi dikalangan umat islam, khususnya umat islam di Indonesia terjadi percekcokan akibat perbedaan pemahaman yang di hasilkan Para Ulama Mujtahidin. Padahal Para Ulama tersebut belum pernah terjerumus pada jurang percekcokan yang berkepanjangan hanya karena pemahamannya yang berbeda. Tapi justru umat islamnyalah yang menanggapi perbedaan pemahaman para Ulama Ijtihadi dengan sikap individuslisasi yang memojokkan pihak lain, dan menganggap bahwa apa yang diyakininya dan di anutnya dari salah satu pemahaman Ulama Ijtihadi merupakan pemahaman pemahaman yang lebih baik dengan mengklaim pemahaman yang lain lemah hukumnya. Mengingat bahayanya perpecahan ummat dari perbedaan permahaman Ijtihadi Para Ulama Mujtahuidin perlu adanya pihak penetras yang mampu menyatukan umat dengan plurasisme pemahaman para Ulama Mujtahidin tersebut. Padahal, kalau melihat semua pendapat Para Ulama Mujtahidin tersebut, yang mana mereka mengupayakan hasil ijtihadinnya selalu relevan sekalipun dengan keadaan perubahan zaman untuk lebih dikonsumsi oleh semua umat dengan mudah, kita sebagai pengikut dan penganut pemahaman tersebut yang serasa kita sendiri tidak akan mampu terhadap apa yang mereka lakukan, yang telah berjasa untuk ke-eksistensian Hukum Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zamann yang lebih komplek, sepatutnya kita menghormati dan hargai upaya mereka dengan menjunjung tinggi solidaritas umat.

10

You might also like