You are on page 1of 11

ADAPTASI TANAMAN TERHADAP UDARA TERCEMAR

Adaptasi tanaman terhadap lingkungan mnerupakan rekayasa secara khusus sifat-sifat karakteristik anatomi dan fisiologi untuk memberikan peluang keberhasilan menyesuaikan kehidupan di habitat tertentu. Oleh karena itu adaptasi anatomi dan fisiologi dapat dijadikan indikator terhadap perubahan lingkungan hidup tanaman (Soerodikusuma dan Hartika, 1989). Namun demikian jenis tumbuhan yang berbeda menunjukkan sensitifitas yang berbeda pula terhadap perubahan lingkungan bahkan terhadap bahan pencemar khususnya logam berat. Banyak jenis tumbuhan yang mampu tubuh pada tanah yang kaya arsen, selenium, nikel, promium, sianida, katmium dan logam lain. Seringkali logam berat dikeluarkan saat penyerapan oleh akar akibat adanya selektifitas membran sel akar. Ini merupakan mekanisme avoidance (penanggulangan). Spesies yang lain menyerap dan mengakumulasi logam sampai pada tingkat yang mematikan untuk spesies yang tidak toleran. Tanaman ini disebut species akumulator . Polusi dapat berupa emisi gas ataupun berupa partikulat. Selain itu, polusi juga dapat berupa energi panas atau radiasi sinar, dan kebisingan. Salah satu partikulat dari emisi kendaraan bermotor adalah timbal (Pb). Pencemaran Pb di udara dapat mengganggu kondisi fisik dan mental manusia, sehingga perlu penanganan secara serius. Salah satu cara untuk mengatasi pencemaran adalah dengan konsep pertamanan. Tanaman merupakan komponen utama lanskap. Tanaman mampu mengabsorpsi beberapa jenis polutan dengan efektif, sehingga dapat berperan dalam membersihkan atmosfer dari polusi. Polutan terabsorpsi terikut dalam proses metabolisme. Namun demikian, keefektivan tanaman dalam menyerap polutan akan semakin berkurang dengan peningkatan konsentrasi polutan. Dampak lanjutannya adalah terganggunya fungsi tanaman dalam lingkungan. Dengan demikian, ketahanan tanaman terhadap tingkat polutan menjadi faktor yang penting dalam pemilihan jenis tanaman pereduksi Pb di udara. A. Adaptasi Tumbuhan Terhadap Pencemaran Logam Berat Tumbuhan yang hidup di daerah tercemar memiliki mekanisme pe-nyesuaian yang membuat polutan menjadi nonaktif dan disimpan di dalam jaringan tua sehingga tidak membahayakan pertumbuhan dan kehidupan tumbuhan. Polutan tersebut akan memberi pengaruh jika dikeluarkan melalui metabolisme jaringan atau jika tumbuhan tersebut dikonsumsi. Pemberian polutan dapat merangsang kemampuannya untuk bertahan pada tingkat yang lebih toksik (Bryan and Hummerstone, 1971 dalam Wilson, 1988). Respon Tanaman terhadap Udara Tercemar Pb Kondisi udara yang terpolusi akan mempengaruhi lingkungan, termasuk vegetasi pada lanskap yang ditanam untuk menjerap polutan. Menurut Mansfield (1976), sebagian besar bahan-bahan pencemar udara mempengaruhi tanaman melalui daun. Jaringan daun terdiri dari epidermis, mesofil, dan berkas pembuluh. Mekanisme tanaman untuk bertahan dari zat pencemar udara adalah melalui pergerakan membuka dan menutup stomata dan proses detoksifikasi. Masuknya partikel Pb ke dalam jaringan daun karena ukuran stomata daun yang cukup besar dan ukuran partikel Pb yang lebih kecil daripada ukuran stomata. Timbal (Pb) masuk ke dalam daun melalui proses penjerapan pasif. Akumulasi Pb di dalam jaringan daun akan lebih besar daripada bagian lainnya. Jumlah kandungan Pb dalam suatu jenis tanaman bervariasi menurut organ (Dahlan. 1989). Partikel yang menempel pada permukaan daun berasal dari tiga proses yaitu (1) sedimentasi akibat gaya gravitasi (2) tumbukan akibat turbulensi angin, dan (3) pengendapan yang berhubungan dengan hujan. Celah stomata mempunyai panjang sekitar 10 m dan lebar antara 2 7 m. Oleh karena ukuran Pb yang demikian kecil, yaitu kurang dari 4 m dan rerata 0,2 m maka partikel akan masuk ke dalam daun lewat celah stomata serta menetap dalam

jaringan daun dan menumpuk di antara celah sel jaringan pagar/polisade dan atau jaringan bunga karang/spongi tissue (Smith, 1981). Oleh karena partikel Pb tidak larut dalam air, maka senyawa Pb dalam jaringan terperangkap dalam rongga antarsel sekitar stomata (Gambar 1). Logam Pb bersifat amfoter. Dalam suasana asam, Pb berupa ion Pb2+ dan sebaliknya pada suasana basa akan berubah menjadi Pb(OH)4-. Karena bersifat amfoter, maka Pb akan lebih berbahaya pada daerah yang mempunyai keasaman air hujan yang tinggi. Pada suasana asam, Pb larut membentuk ion Pb2+ dengan demikian menjadi lebih mobil jika dibandingkan ketika Pb masih dalam bentuk partikel (Dahlan, 1989). Tiap pohon mempunyai respon yang berbeda terhadap pencemarpencemar udara yang berbentuk gas atau partikel. Perbedaan tersebut tergantung jenis pohon dan susunan genetiknya. Faktor lain yang ikut berperan adalah tingkat pertumbuhan pohon, jarak terhadap sumber pencemar, konsentrasi bahan pencemar, dan lama terpapar (USDA Forest Service, 1973 dalam Rinawati, 1991). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencemaran udara mengakibatkan menurunnya pertumbuhan dan produksi tanaman serta diikuti dengan gejala yang tampak (visible symptoms). Kerusakan tanaman karena pencemaran udara berawal dari tingkat biokimia (gangguan proses fotosintesis, respirasi, serta biosintesis protein dan lemak), selanjutnya tingkat ultrastruktural (disorganisasi sel membran), kemudian tingkat sel (dinding sel, mesofil, pecahnya inti sel) dan diakhiri dengan terlihatnya gejala pada jaringan daun seperti klorosis dan nekrosis (Malhotra dan Khan, 1984 dalam Treshow, et al.1989). Smith (1981) menyebutkan bahwa sejumlah besar logam berat dapat terasosiasi dengan tumbuhan tinggi. Logam berat yang belum diketahui fungsinya dalam metabolisme tumbuhan antara lain adalah Pb, Cd, Ti, dll. Semua logam berat tersebut dapat berpotensi mencemari tumbuhan. Mekanisme pencemaran logam secara biokimia pada tumbuhan yang terbagi ke dalam enam proses yaitu: (1) logam mengganggu fungsi enzim, (2) logam sebagai anti metabolit, (3) logam membentuk lapisan endapan yang stabil (kelat) dengan metabolit esensial, (4) logam sebagai katalis dekomposisi pada metabolit esensial, (5) logam mengubah permeabilitas membran sel, (6) logam menggantikan struktur dan elektrokimia unsur yang paling penting dalam sel. Gejala akibat pencemaran logam berat, yakni klorosis, nekrosis pada ujung dan sisi daun serta busuk daun yang lebih awal. Gugus asam karboksilat (-COOH) dan gugus amino (-NH2) dalam asam amino juga dapat diserang oleh logam berat. Logam berat dapat mengendapkan senyawa-senyawa fosfat biologis, disamping juga dapat mengkatalis penguraiannya (Manahan, 1977). Timbal (Pb) merupakan unsur logam yang pada umumnya menjadi katalis pada berbagai reaksi termasuk dengan enzim. Keadaan ini akan mempengaruhi membran biologi (baik sel maupun organel-organelnya). Fakta menunjukkan bahwa membran biologis tidak benar-benar impermeabel, membran tersebut memungkinkan terjadinya difusi ion dan molekul ditambah keberadaan enzim dalam membran tersebut yang secara langsung dapat mempengaruhi transportasi ion dan molekul untuk menyeberangi membran. Mengel dan Kirby (1987) menyebutkan bahwa secara biokimia Pb berfungsi menghambat sistem enzim dalam mengkonversi asam amino dan pencemaran tumbuhan oleh Pb akan sangat membahayakan kesehatan dan mengurangi laju pertumbuhan tanaman. Kadar Pb normal dalam tumbuhan berkisar antara 2-3 ppm. Vegetasi di sekitar jalan raya dapat menjerap Pb sampai 50 ppm dimana Pb yang dijerap diakumulasikan dalam dinding sel. Nilai

kisaran normal kandungan logam Pb pada tanaman kehutanan di Amerika Serikat berkisar antara 10-300 ppm (Smith, 1981). Menurut Treshow et al. (1989), pertumbuhan tanaman terhambat karena tergganggunya proses fotosintesis akibat kerusakan jaringan daun. Hal tersebut ditunjang oleh penelitian Warsita (1994) yang menjukkan bahwa pencemaran udara menyebabkan penurunan kandungan klorofil-a dan klorofil-b tanaman. Penurunan tersebut disebabkan zat pencemar merusak jaringan polisade dan bunga karang yang merupakan jaringan yang banyak mengandung klorofil-a dan kolorofil-b. .Indikator tumbuhan untuk pencemaran Penggunaan vegetasi sebagai indikator biologi untuk pencemaran lingkungan sudah sejak lama, kira-kira sejak seratus tahun yang lalu di daerah pertambangan. Pengetahuan tentang ketahanan terhadap polutan terutama untuk vegetasi yang tumbuh di daerah industri atau di daerah padat penduduk. Pada umumnya tumbuhan lebih sensitive terhadap polutan daripada manusia. Tumbuhan yang sensitiv dapat merupakan indikator, sedangkan tumbuhan yang tahan dapat merupakan akumulator polutan di dalam tubuhnya, tanpa mengalami kerusakan. Jamur, fungi dan Lichenea sensitive terhadap SO2 dan halide. Konsentrasi SO2 sampai 1% membahayakan tumbuhan yang lebih tinggi. Banyak bahan kimia, pupuk, pestisida dan pemakaian bahan-bahan fosil yang tinggi melepaskan substansisubstansi toksik ke lingkungan dan hal itu dapat diserap juga oleh tumbuhan melalui udara, air atau tanah. Polutan di atmosfer yang berbahaya untuk tumbuhan antara lain SO2, halide (HF, HCl), Ozone dan Peroxiacetyl-nitrat (PAN) yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor, industri dan radiasi yang kuat. Substansi berbahaya yang mencapai tumbuhan melalui udara ialah : SO 2, nitrogenoksida, ammonia, Hidrokarbon, debu, dan habitat. Tumbuhan yang tumbuh di air akan terganggu oleh bahan kimia toksik dalam limbah (sianida, khlorine, hipoklorat, fenol, derivativ bensol dan campuran logam berat). Pengaruh polutan terhadap tumbuhan dapat berbeda tergantung pada macam polutan, konsentrasinya dan lamanya polutan itu berada. Pada konsentrasi tinggi tumbuhan akan menderita kerusakan akut dengan menampakkan gejala seperti khlorosis, perubahan warna, nekrosis dan kematian seluruh bagian tumbhan. Di samping perubahan morfologi juga akan terjadi perubahan kimia, biokimia, fisiologi dan struktur. Jaringan dalam tumbuhan Kerusakan karena pencemaran dapat terjadi karena adanya akumulasi bahan toksik dalam tubuh tumbuhan, perubahan ph, peningkatan atau penurunan aktivitas enzim, rendahnya kandungan asam askorbat di daun, tertekannya fotosintesis, peningkatan respirasi, produksi bahan kering rendah, perubahan permeabilitas, terganggunya keseimbangan air dan penurunan kesuburannya dalam waktu yang lama. Gangguan metabolisme berkembang menjadi kerusakan kronia dengan konsekuensi tak beraturan. Tumbuhan akan berkurang produktivitasnya dan kualitas hasilnya juga rendah. Kecuali itu struktur kayu juga berubah, cabang-cabang kering dan secara perlahan pohon akan mati. Gejala adanya pencemaran pada tumbuhan sangat bervariasi

dan tidak spesifik. Suatu polutan berpengaruh terhadap tumbuhan yang berbeda dengan cara yang berbeda-beda dan suatu gejala dapat terjadi karena suatu substansi. Pengaruh faktor-faktor luar seperti polutan pada tumbuhan tergantung spesiesnya, fase perkembangannya dan jaringan atau organ yang terkena. Perubahan morfologi suatu tumbuhan dan komposisi floristik suatu komunitas tumbuhan dapat digunakan untuk menduga adanya perubahan lingkungan. Beberapa perubahan yang terjadi pada tumbuhan yang dapat digunakan sebagai indikator pencemaran antara lain perkecambahan, perubahan morfologi, perubahan biokemis dan fisiologi. Yunus dan Ahmad (1980) telah mengamati bahwa daun tumbuhan di daerah yang tercemar oleh debu dari pabrik semen mempunyai kerapatan stomata dan trichomata yang tinggi, sel epidermis dan ukuran trichomata lebih kecil dibandingkan dengan bila tidak tercemar. Daftar 3. Tumbuhan indikator pencemaran dan sifat karakteristiknya (Legtan, 1971) Polutan Ozone Sifat karakteristik Bercak atau garis merah atau coklat pada permukaan atas daun; pencemaran yang lebih berat, tepi daun mengerut, kelayuan pada bagian apikal pada pinus jarm. Bercak transparan pada tepi atau dekat tulang daun, karena jaringan yang mati. Jaringan bagian apikal dan tepi daun rusak. Tumbuhan indikator Salvia, Dahlia, Pinus

SO2 Hidrogen florida Feroksiasetil nitrat

Ficus, Xenia, Pinus. Gladiolus, Pinus.

Kerusakan khlorofil daun dan sel-sel Chrysanthemum, permukaan bawah mati Pitunia, Salvia, Primrose.

Sumber : Shukla & Chandel (1985) Perubahan biokimia dan fisiologi Komposisi kimia daun telah luas digunakan sebagai indikator kondisi lingkungan. Di antara perkiraan-perkiraan biokemis yang dianggap parameter penting adalah analisis pigmen. Khlorofil a dan b telah diukur sebagai indeks tanggapan terhadap pencemaran tertentu. Pada Cassia, Cynodon; 50% penurunan khlorofil akan terjadi sedangkan Saccharum hanya terpengaruh sedikit. Estimasi kemis seperti protenis, asam amino, gula terlarut, sukrose, pati, gula reduksi, vit.C, ribofalvin, thiamin dan karbohidrat digunakan untuk menginduksikan pencemaran udara. Aktivitas fisiologi seperti pembukaan stomata, laju fotosintesis dapat juga digunakan sebagai indikator pencemaran. Fotosintesis sebagai parameter digunakan untuk campuran SO2, NO2 dan debu. Adaptasi Tanaman Di Udara yang Tercemar Dari hasil penelitian yang dilakukan Fakultas keguruan dan ilmu pendidkan Univesitas Muhammadiyah Surakarta diperoleh hasil bahwa struktur anatomi dari stomata daun mahoni

(Swetenia mahagoni jacqh) dan glondokan (Polyalthia longifolia) terdapat porus, sel penutup, sel tetangga dan epidemis. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dilihat bahwa jumlah stomata banyak ditemukan pada daun mahoni dan glondokan, daun mahoni mempunyai ukuran stomata yang paling kecil bila dibandingkan dengan glondokan, meskipun demikian stomata dari kedua jenis tanaman pelindung tersebut mempunyai tipe yang sama yaitu amayllidaceae. Tipe stomata ini mempuyai sel penutup. Pada daun mahoni dan glondokan struktur anatomi dan stomata sudah sangat terlihat karena pada daun mahoni dan glondokan masing-masing terdapat porus, sel penutup, sel tetangga dan epidermis, tetapi yang paling terlihat jelas adalah pada daun glondokan. PrPrawiranata dkk, (1981) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh pada lingkungan kering dan intensitas cahaya tinggi cenderung mempunyai stomata banyak dan kecil-kecil dibandingkan dengan tumbuh pada lingkungan yang basah dan terlindung. Sedangkan Cutter (1977),menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh di lingkungan yang terpolusi dan kurang intensitas cahaya dapat menurunkan frekuensi stomata. Dari kedua tanaman pelindung tersebut mahoni mempunyai porus, sel penutup, sel tetangga dan epidermis. Anna (1996) seorang pengamat biologi lingkungan menyatakan bahwa mahoni sangat baik menyerap zat-zat yang dihasilkan knalpot kendaraan bermotor (CO2) mahoni dipilih untuk penghijauan jalan karena tanaman ini memiliki stomata (mulut daun) yang lebat, sehingga dapat menyerap lebih banyak CO2 dibandingkan dengan tanaman lain. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Eko (2005) yang melakukan penelitian pada angsana, mahoni dan sawo kecik di jalan Slamet Riyadi Surakarta menyatakan bahwa kandungan timbal (pb) yang paling tinggi terdapat pada daun mahoni dengan kandungan 0,13 ppm. Sensitifitas penyerapan tanaman bervariasi dari spesies ke spesies, selain itu dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan seperti temperatur, kesediaan air, unsur hara intensitas cahaya, konsentrasi CO2 dan O2. Menurut Manfield (1976) sebagian besar bahan-bahan pencemar udara mempengaruhi tanaman melalui daun, mekanisma tanaman untuk pertahanan dari zat pencemar udara adalah melalui pergerakan membuka dan menutupnya stomata dan proses detoksifikasi. Membuka dan menutupnya stomata merupakan mekanisme adaptasi sehingga tangapan terhadap konsentrasi gas yang diemisikan oleh knalpot kendaraan bermotor yang bersifat toksik terhadap tanaman terutama SO2 dan CO2. membukanya stomata di pengaruhi oleh konsentrasi CO2, cahaya, suhu, potensial air daun, kelembaban, angin dan laju fotosintesis (Goldwersy dan Fischer, 1992), berdasarkan penelitian Maholtra dan Khan (1984) menunjukkan bahwa membukanya stomata berkurang jika kadar CO2 di runag antar sel bertambah, kehadiran CO2 di udara merangsang membuka dan menutupnya stomata yang keduanya diatur oleh kelembaban relatif, konsentrasi SO2 dan CO2 pada konsentrasi tinggi menyebabkan stomata menutup. Gas SO2 bila masuk ke dalam tubuh tumbuhan akan bersifat toksik, maka untuk mencegah gas SO2 tidak banyak masuk ke tubuh tumbuhan adalah dengan mengurangi stomata yang membuka karena gas SO2 dan gas-gas yang lain masuk tubuh tumbuhan melalui stomata. Semakin banyak stomata membuka dan semakin besar ukuran stomata maka akan semakin banyak pula kemungkinan jumlah polutan yang dapat masuk ke dalam tubuh tumbuhan. Achmadi (1983) menyatakan bahwa gas SO2 ini menyebabkan sel penutup menjadi lebih lanjut sehingga stomata dapat terbuka. Jika pada saat stomata membuka dan gas-gas yang diemisikan udara dimana kondisi udara lembab maka gas yang terserap tanaman akan menyebabkan kerusakan pada tanaman tersebut. Penelitian Maholtra dan Khan (1984) menunjukkan kerusakan tanaman karena pencemaran udara berawal dari tingkat biokimia (gangguan proses fotosintesis, respirasi, serta biosintesis protein dan lemak, selanjutnya tingkat

udara struktural (Disorganisasi sel membran), kemudian tingkat sel (dinging sel, mesofil, pecahnya inti sel) dan diakhiri dengan terlihatnya gejala pada jaringan daun seperti klorosis dan nekrosis (Trestwo et. Al 1989). Tiap-tiap pohon mempunyai reson yang berbeda-beda terhadap pencemar udara-udara yang terbentuk gas partikel. Perbedaan tersebut yang berperan adalah tingkat pertumbuhan pohon, jarak terhadap sumber pencemar, konsentrasi bahan pencemar dan lama terpapar (Ernawati, 1991). Masuknya partikel pb yang diemisikan knalpot kendaraan bermotor ke dalam jaringan daun karena ukuran stomata. Celah stomata mempunyai pajang sekitar 10 mikron dan lebar antara 2-7 mikron,oleh karena itu pb yang sedemikian kecil yaitu kurang dari 4 mikron dan rerata 0,2 mikron maka partikel akan masuk ke dalam daun dan menumpuk diantara celah sel jaringan pagan atau palisade atau jaringan bunga karang (Smith, 1981). Menurut Treshow et-al (1989) pertumbuhan tanaman terhambat karena terganggunya proses fotosintesis akibat kerusakan jaringan daun hal tersebut ditunjang oleh penelitian Warsiti (1994),yang menunjukan bahwa pencemaran udara menyebabkan penurunan kandungan klrorofil -a dan klorofil b penurunan tersebut disebabkan zat pencemar merusak jaringan palisade dan bunga karang yang merupakan jaringan yang banyak mengandung klorofil a dan klorofil b. awiranata dkk, (1981) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh pada lingkungan kering dan intensitas cahaya tinggi cenderung mempunyai stomata banyak dan kecil-kecil dibandingkan dengan tumbuh pada lingkungan yang basah dan terlindung. Sedangkan Cutter (1977),menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh di lingkungan yang terpolusi dan kurang intensitas cahaya dapat menurunkan frekuensi stomata. Dari kedua tanaman pelindung tersebut mahoni mempunyai porus, sel penutup, sel tetangga dan epidermis. Anna (1996) seorang pengamat biologi lingkungan menyatakan bahwa mahoni sangat baik menyerap zat-zat yang dihasilkan knalpot kendaraan bermotor (CO2) mahoni dipilih untuk penghijauan jalan karena tanaman ini memiliki stomata (mulut daun) yang lebat, sehingga dapat menyerap lebih banyak CO2 dibandingkan dengan tanaman lain. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Eko (2005) yang melakukan penelitian pada angsana, mahoni dan sawo kecik di jalan Slamet Riyadi Surakarta menyatakan bahwa kandungan timbal (pb) yang paling tinggi terdapat pada daun mahoni dengan kandungan 0,13 ppm. Sensitifitas penyerapan tanaman bervariasi dari spesies ke spesies, selain itu dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan seperti temperatur, kesediaan air, unsur hara intensitas cahaya, konsentrasi CO2 dan O2. Menurut Manfield (1976) sebagian besar bahan-bahan pencemar udara mempengaruhi tanaman melalui daun, mekanisma tanaman untuk pertahanan dari zat pencemar udara adalah melalui pergerakan membuka dan menutupnya stomata dan proses detoksifikasi. Membuka dan menutupnya stomata merupakan mekanisme adaptasi sehingga tangapan terhadap konsentrasi gas yang diemisikan oleh knalpot kendaraan bermotor yang bersifat toksik terhadap tanaman terutama SO2 dan CO2. membukanya stomata di pengaruhi oleh konsentrasi CO2, cahaya, suhu, potensial air daun, kelembaban, angin dan laju fotosintesis (Goldwersy dan Fischer, 1992), berdasarkan penelitian Maholtra dan Khan (1984) menunjukkan bahwa membukanya stomata berkurang jika kadar CO2 di runag antar sel bertambah, kehadiran CO2 di udara merangsang membuka dan menutupnya stomata yang keduanya diatur oleh kelembaban relatif, konsentrasi SO2 dan CO2 pada konsentrasi tinggi menyebabkan stomata menutup. Gas SO2 bila masuk ke dalam tubuh tumbuhan akan bersifat toksik, maka untuk mencegah gas SO2 tidak banyak masuk ke tubuh tumbuhan adalah dengan mengurangi stomata yang membuka karena gas SO2 dan gas-gas yang lain masuk tubuh

tumbuhan melalui stomata. Semakin banyak stomata membuka dan semakin besar ukuran stomata maka akan semakin banyak pula kemungkinan jumlah polutan yang dapat masuk ke dalam tubuh tumbuhan. Achmadi (1983) menyatakan bahwa gas SO2 ini menyebabkan sel penutup menjadi lebih lanjut sehingga stomata dapat terbuka. Jika pada saat stomata membuka dan gas-gas yang diemisikan udara dimana kondisi udara lembab maka gas yang terserap tanaman akan menyebabkan kerusakan pada tanaman tersebut. Penelitian Maholtra dan Khan (1984) menunjukkan kerusakan tanaman karena pencemaran udara berawal dari tingkat biokimia (gangguan proses fotosintesis, respirasi, serta biosintesis protein dan lemak, selanjutnya tingkat udara struktural (Disorganisasi sel membran), kemudian tingkat sel (dinging sel, mesofil, pecahnya inti sel) dan diakhiri dengan terlihatnya gejala pada jaringan daun seperti klorosis dan nekrosis (Trestwo et. Al 1989). Tiap-tiap pohon mempunyai reson yang berbeda-beda terhadap pencemar udara-udara yang terbentuk gas partikel. Perbedaan tersebut yang berperan adalah tingkat pertumbuhan pohon, jarak terhadap sumber pencemar, konsentrasi bahan pencemar dan lama terpapar (Ernawati, 1991). Masuknya partikel pb yang diemisikan knalpot kendaraan bermotor ke dalam jaringan daun karena ukuran stomata. Celah stomata mempunyai pajang sekitar 10 mikron dan lebar antara 2-7 mikron,oleh karena itu pb yang sedemikian kecil yaitu kurang dari 4 mikron dan rerata 0,2 mikron maka partikel akan masuk ke dalam daun dan menumpuk diantara celah sel jaringan pagan atau palisade atau jaringan bunga karang (Smith, 1981). Menurut Treshow et-al (1989) pertumbuhan tanaman terhambat karena terganggunya proses fotosintesis akibat kerusakan jaringan daun hal tersebut ditunjang oleh penelitian Warsiti (1994),yang menunjukan bahwa pencemaran udara menyebabkan penurunan kandungan klrorofil -a dan klorofil b penurunan tersebut disebabkan zat pencemar merusak jaringan palisade dan bunga karang yang merupakan jaringan yang banyak mengandung klorofil a dan klorofil b.

ANALISA KARBOHIDRAT METODE LUFF SCHROOL


ACARA Praktikum pengujian kadar karbohidrat dengan metode luff schrool. PRINSIP Hidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida yang dapat mereduksi Cu2+ menjadi Cu+ dan kelebihan Cu2+ dapat dititrasi dengan metode iodometri (tidak langsung). TUJUAN Menentukan kadar karbohidrat dalam sample DASAR TEORI Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hamper seluruh penduduk di dunia, khususnya bagi penduduk Negara yang berkembang. Pada tanaman, karbohidrat dibentuk dari reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel tanaman yang berklorofil. Sinar Matahari CO2 + H2O (C6H12O6)n + O2 (Karbohidrat) Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati, pectin, selulosa, dan lignin. Karbohidrat yang terdapat dalam hasil ternak terutama terdiri dari glikogen. Pada umumnya karbohidrat dapat dikelompokan menjadi monosakarida, oligosakarida, serta polisakarida.

Monosakarida Monosakarida mengandung satu gugus aldehida disebut aldosa, sedangkan ketosa mempunyai satu gugus keton. Monosakarida dengan enam atom C disebut heksosa, misalnya glukosa (dekstrosa atau gula anggur).

HC = O H2C OH HC OH C=O HO C H HO C H H C OH H C OH H C OH H C OH CH2OH CH2OH D-Glukosa D-Frukrosa Oligosakarida Oligosakarida adalah polimer derajat polimerisasi 2 sampai 10 dan biasanya bersifat larut dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari 2 molekul disebut disakarida, dan bila terdiri dari 3 molekul disebut triosa. Bila sukrosa (sakarosa atau gula tebu). Terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa, laktosa terdiri dari molekul glukosa dan galaktosa. Polisakarida Polisakarida merupakan polimer molekul-molekul monosakarida yang dapat berantai lurus atau bercabang dan dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim yang spesifik kerjanya.

Kerusakan pada karbohidrat : Pencoklatan (Browning) Pencoklatan enzimatis terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung substrat senyawa fenolik, reaksi pencoklatan non enzimatis belum diketahui atau dimengerti penuh. Umumnya ada 3 macam reaksi pencoklatan non enzimatik yaitu : karamelisasi, reaksi maillard dan pencoklatan akibat vitamin C. Karamelisasi Bila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus hingga suhunya melalui titik leburnya, misalnya pada suhu 170oC maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa. Reaksi Maillard Reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer, disebut reaksireaksi maillard. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikendaki atau kadang-kadang malah menjadi pertanda penurunan mutu. Banyak cara yang dilakukan atau dapat dipergunakan untuk menentukan banyaknya karbohidrat dalam suatu bahan yaitu antara lain dengan cara kimiawi, cara fisik, cara enzimatik, atau biokimia dan cara kromatografi. ALAT & BAHAN Alat Bahan Erlenmeyer 500 mL Gelas ukur 250 mL Corong butchner Buret Statif & Klem Hot plate Pendingin tegak Beaker glass

Batu didih Pipet volume Pipet ukur Pipet tetes Neraca analitik Spatula Corong gelas Labu ukur Bulp / pipet filler Sample Cracker Beras Aquadest CH3COOH 3% Luff Schrool KI 20% Na2S2O3 0,1 N Amilum NaOH 30% H2SO4 25% HCl 3% Es batu PROSEDUR Sample ditimbang dengan seksama kurang lebih 5 gram kedalam Erlenmeyer 500 mL HCl 3% ditambahkan sebanyak 200 mL dan didihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak Larutan didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30% (uji kualitatif dengan kertas lakmus atau Phenolphthalein) dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan agak sedikit asam. Pindahkan isinya kedalam labu ukur 500 mL, dan aquadest ditambahkan sampai tanda batas, kemudian saring. Filtrate dipipet sebanyak 10 mL kedalam Erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan larutan luff school sebanyak 25 mL, kemudian ditambahkan air suling sebanyak 15 mL dan beberapa batu didih. Campuran tersebut dipanaskan dengan nyala yang tetap. Diusahakan agar larutan dapat mendidih dalam waktu 3 menit (menggunakan stopwatch) didihkan terus sampai 10 menit. Dinginkan dengan es batu dalam bak Setelah dingin ditambahkan KI 20% sebanyak 15 mL dan H2SO4 25% sebanyak 25 mL perlahan-lahan Titrasi secepatnya dengan larutan Na2S2O3 0,1 N (gunakan indicator amilum 0,5%) Kerjakan blanko

DATA PENGAMATAN Standarisasi larutan tiosulfat 0,1 N Gram KIO3 mL Na2S2O3 N Na2S2O3 0,1006 26,7 0,1056 Penentuan kadar karbohidrat Sample Berat (g) Na2S2O3 (mL) % Kaarbohidrat Cracker beras I 5,0132 4,3 67,1680 Cracker beras II 5,0132 3,8 69,8032 Blanko - 18,2 Perhitungan Sample I = Blanko 18,2 mL Sample 3,2 mL Mg gula = (0,4 x 2,8) + 35,7 = 36,82 mg % karbohidrat = (36,82 x 0,1056:0,1 x 100 x 100% x 0,9)/5013,2 = 69,8032% Sample II = blanko 18,2 mL

Sample 4,2 mL Mg gula = (0,9 x 2,7) + 33 = 35,43 mg % karbohidrat = (35,43 x 0,10560,1 x 100 x 100% x 0,9)/5013,2 = 67,1680% PEMBAHASAN Luff schrool merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam penentuan kadar karbohidrat secara kimiawi. Sample yang dipergunakan dalam praktikum ini adalah cracker beras yang banyak beredar dipasaran. Sample yang dipakai pertama-tama dihaluskan dengan menggunakan blender, sebelum ditimbang sample dihomogenkan. Sample ditimbang sebanyak 5,0132 g. Sample yang ditimbang dalam Erlenmeyer kemudian ditambahkan HCl 3% sebanyak 200 mL, penambahan HCl dimaksudkan untuk menghidrolisis karbohidrat, polimer karbohidrat sulit untuk bereaksi sehingga dengan penambahan asam, polimer akan terpecah menjadi monomer-monomer yang akan lebih mudah untuk bereaksi dengan senyawa lain. Hidrolisis pada sample dapat memisahkan karbohidrat dalam sample. Setelah ditambahkan HCl, campuran sample dan HCl dipanaskan dengan menggunakan pendingin tegak, selama 3 jam. Hal ini dilakukan supaya jumlah komponen tidak berkurang karena air dan asam dalam sample tidak menguap (di refluks). Setelah dipanaskan, sample dalam Erlenmeyer dinetralkan dengan larutan NaOH 30%, sampai sample dan campuran didalamnya netral, untuk mengetahui apakah larutan sudah mencapai netral maka diperlukan uji kualitatif dengan menggunakan kertas lakmus biru. Jika larutan tidak berubah warna maka larutan sudah netral. Setelah larutan netral, kemudian ditambahkan CH3COOH atau asam lemah, penambahan asam asetat ini dimaksudkan agar larutan dalam suasana sedikit asam. Dalam pengujian karbohidrat dengan metode luff schrool ini pH larutan harus diperhatikan dengan baik, karena pH yang terlalu rendah (terlalu asam) akan menyebabkan hasil titrasi menjadi lebih tinggi dari sebenarnya, karena terjadi reaksi oksidasi ion iodide menjadi I2 O2 + 4I- + 4H+ 2I2 + 2H2O Sedangkan apabila pH terlalu tinggi (terlalu basa), maka hasil titrasi akan menjadi lebih rendah daripada sebenarnya, karena pada pH tinggi akan terjadi resiko kesalahan, yaitu terjadinya reaksi I2 yang terbentuk dengan air (hidrolisis). I2 + H2O HOI + I- + H+ 4HOI + S2O3= + H2O 2SO4= + 4I- + 6H+ Setelah itu larutan dipindahkan dalam labu ukur 500 mL, dan ditambahkan aquadest sampai tanda batas, dan saring. Proses penyaringan dilakukan dengan saring butchner vacuum, sehingga proses penyaringan berlangsung cepat. Lalu kocok sampai larutan homogen. Setelah itu larutan tersebut dipipet 5 mL dengan pipet volume dan dimasukan dalam Erlenmeyer 500 mL. Setelah sample dimasukan dalam Erlenmeyer 500 mL, kemudian ditambahkan larutan luff schrool sebanyak 25 mL, dan 15 mL aquadest. Kemudian panaskan dengan pendingin tegak. Larutan luff schrool akan bereaksi dengan sample yang mengandung gula pereduksi R COH + CuO Cu2O + R COOH Campuran tersebut ditambahkan batu didih untuk mencegah terjadinya letupan (bumping). Proses pemanasan, diusahakan larutan mendidih dalam waktu 3 menit dan biarkan mendidih selama 10 menit, hal ini dimaksudkan agar proses reduksi berjalan sempurna, dan Cu dapat tereduksi dalam waktu kurang lebih 10 menit. Agar tidak terjadi pengendapan seluruh Cu3+ yang tereduksi menjadi Cu+ sehingga tidak ada kelebihan Cu2+ yang dititrasi maka larutan harus mendidih atau diusahakan mendidih dalam waktu 3 menit. Campuran tersebut kemudian didinginkan dalam bak yang berisi es. Agar pendinginan berlangsung cepat, maka pendinginan dengan es perlu dilakukan. Setelah campuran dingin kemudian ditambahkan KI 20% sebanyak 15 mL dan H2SO4 25% perlahan-lahan.

Penambahan larutan-larutan ini akan menimbulkan reaksi antara kuprioksida menjadi CuSO4 dengan H2SO4, dan CuSO4 tersebut bereaksi dengan KI. Reaksi tersebut ditandai dengan timbulnya buih dan warna larutan menjadi coklat. Larutan tersebut kemudian dititrasi cepat dengan menggunakan larutan tio sulfat (Na2S2O3) 0,1 N. titrasi cepat dilakukan untuk menghindari penguapan KI. Indicator yang dipergunakan adalah amilum. Penambahan indicator amilum dilakukan setelah campuran mendekati titik akhir, hal ini dilakukan karena apabila dilakukan pada awal titrasi maka amilum dapat membungkus iod dan mengakibatkan warna titik akhir menjadi tidak terlihat tajam. Maka berdasarkan praktikum dan perhitungan, kadar karbohidrat dalam sample cracker beras adalah : yang pertama 69,8032% dan sample kedua 67,1680% Tahapan reaksi yang terjadi adalah : R COH + CuO CuO2 + R COOH H2SO4 + CuO CuSO4 + H2O CuSO4 + 2KI CuI2 + K2SO4 2CuI2 Cu2I2 + I2 I2 + Na2S2O3 Na2S4O6 + NaI KESIMPULAN Penentuan kadar karbohidrat dengan metode luff schrool dilakukan dengan menghidrolisis sample menjadi monosakarida yang dapat mereduksi oksida pada luff yaitu Cu2+ menjadi Cu+. Berdasarkan praktikum dan perhitungan maka karbohidrat total yang terkandung dalam sample, yang pertama adalah 69,8032% dan 69,1680%. DAFTAR PUSTAKA Harjadi, W. 1994. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta : Gramedia. Sudarmadji, Slamet. 1996. Analisa Bahan Makanan & Pertanian. Yogyakarta : Liberty Winarno, FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia

You might also like