You are on page 1of 47

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Visi Pembangunan Kesehatan Nasional dalam Indonesia Sehat 2010 merupakan gambaran masyarakat Indonesia pada masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan sehat dan perilaku sehat yang diharapkan mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggitingginya. Perilaku sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Salah satu perilaku sehat yang harus diciptakan untuk menuju Indonesia Sehat 2010 adalah perilaku pencegahan dan penanggulangan (Tuberculosis Paru) TB paru (Depkes RI, 2000).

World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB paru dengan kematian sekitar 140.000 orang. Secara kasar diperkirakan dalam setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 orang penderita baru TB Paru BTA positif dan penyakit TB Paru ini menyerang sebagian kelompok usia yang merupakan sumber daya manusia yang penting dalam

pembangunan bangsa (Depkes RI, 2004). Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC Mycobacterium tuberculosis , sebagian besar kuman menyerang ke paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Selain itu Tuberkulosis masih merupakan penyebab utama kematian di dunia. Berdasarkan estimasi terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2005, 7,4 juta di antaranya terdapat di Asia dan sub-Sahara Afrika. Akibat Tuberkulosis 1,6 juta manusia meninggal, termasuk 195.000 pasien yang terinfeksi HIV. Kematian akibat tuberkulosis di negara-negara kawasan South East Asia Region (SEARO) berkisar antara 4 sampai 98 per 100.000 penduduk. Seperti angka prevalensi tuberkulosis, angka kematian tertinggi akibat tuberkulosis juga terjadi di Timor Leste yaitu 98 kematian per 100.000 penduduk. Begitu pula dengan angka terendah kematian akibat tuberkulosis terjadi di Maladewa (4 per 100.00 penduduk). Namun, bila membandingkan angka kematian dengan 131 prevalensi, maka Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan SEARO dan terendah adalah Myanmar. Di antara 18 negara di Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) dan SEARO, Indonesia termasuk negara dengan prevalensi tuberkulosis di bawah 300 per 100.000 penduduk bersama 13 negara lainnya, bahkan 4 negara di antaranya yaitu Singapura, Maladewa, Sri Lanka, dan Brunei Darussalam memiliki prevalensi di bawah 100. Empat negara

lainnya (Timor Leste, Kamboja, Filipina, dan Bangladesh) memiliki prevalensi di atas 300 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008). Seorang penderita TB dinyatakaan mengidap TB BTA positif apabila diketahui bahwa hasil pemeriksaan berdasarkan uji laboratorium pemeriksaan dahak sejak awal mengalami TB hingga beberapa bulan kedepan positif menderita TB dengan hasil positif (+) (Dinkes Provinsi Lampung, 2006). Di Provinsi Lampung diketahui bahwa angka BTA positif pada tahun 2003-2007 cenderung berfluktuatif naik turun, sedangkan angka konversi dan kesembuhan nampak berfluktuatif naik turun. Untuk mencapai target perlu dilakukan berbagai upaya. Upaya yang dilakukan harus terus diperbaiki dan ditingkatkan karena angka kesembuhan TB Paru BTA + ini belum mencapai target 85%. Jumlah TB paru klinis dibandingkan antara kabupaten/kota maka Kota Bandar Lampung dengan kasus terbesar dan Kota Metro dengan kasus terkecil, sedangkan BTA positifnya terbesar adalah Kota Bandar Lampung dan terkecil adalah Kota Metro, menunjukan bahwa Case Date Rate (CDR) penemuan penderita baru TBC BTA positif Provinsi Lampung selama tiga tahun persentasenya meningkat tetapi pada tahun 2007 sedikit menurun menjadi 40,5%, persentase ini masih jauh dari yang ditargetkan yaitu sebesar 70% (Dinkes Provinsi Lampung, 2008). Penanggulangan TB Paru dilaksanakan dengan Strategi DOTS. Sesuai dengan rekomendasi WHO yang terdiri atas 5 komponen yaitu Komitmen politis, diagnosis TB dengan mikroskopis, PMO, kesinambungan ketersediaan AOT dan Pencatatan pelaporan yang baik dan benar. Dengan adanya program Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dalam penanggulangan TB Paru maka

pengembangan Unit Pelayanan Kesehatan telah mulai ditingkatkan jumlahnya (Depkes RI, 2007). Sesuai dengan strategi DOTS tersebut di atas, penderita yang baru ditemukan dan mendapatkan pengobatan harus diawasi menelan obatnya setaip hari agar terjamin kesembuhannya, tercegah dari kekebalan obat atau resistensi. Untuk itu diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk setiap penderita TB. Dalam masa pengobatan pertama kali dilakukan harus ditunjuk seorang PMO. Pemilihan PMO harus disesuaikan dengan keadaan setempat, harus dikenal dan disegani penderita TB tenaga PMO bisa dari petugas kesehatan maupun masyarakat. Misalnya keluarga. Kader atau tokoh masyarakat (TOMA) sebaiknya satu rumah atau dalam satu wilayah (Depkes RI, 2007). Di Kabupaten Tanggamus pada umumnya, dan Puskesmas ZZZ khususnya, hingga saat ini melaksanakan strategi DOTS dalam kegiatan pemberantasan penyakit TB paru yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah penderita TB paru yang datang ke Puskesmas ZZZ Kecamatan

Kota Agung Barat Tanggamus pada tahun 2006-2008, yaitu 35 orang penderita TB paru yang mendapatkan obat paket TB, berdasarkan Profil Puskesmas ZZZ tahun 2008 diketahui bahwa dari 35 orang pasien TB paru tersebut banyak yang mengalami kendala dalam menyelesaikan pengobatan baik dalam menelan obat maupun periksa dahak ulang. Diketahui pula bahwa alasan tingginya jumlah penderita TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ tersebut karena jumlah penderita di dua Wilayah Kerja Puskesmas lainnya yang ada di Kabupaten Tanggamus seperti Kota Agung Timur dan Wonosobo masing-masing hanya mencapai 13-15 penderita. Kemudian hasil perolehan data menyebutkan bahwa dari 35 penderita yang ada 23 diantaranya (65,71,%) dinyatakan sembuh, 7 orang (30,43%), 4 orang drop out (11,42%) dan meninggal 1 orang (2,85%). Diketahui bahwa pengetahuan yang dimiliki PMO masih relatif rendah mengenai pengawasan pasien dalam menelan obat. Rendahnya pengetahuan PMO dapat terlihat pada saat pelaksanaan tugas dan fungsi seperti saat menelan obat, penderita tidak didampingi oleh PMO melainkan hanya menelan sendiri kemudian PMO juga tidak mengingatkan penderita untuk memeriksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan dan PMO tidak memberikan penyuluhan tentang penyakit TB paru dan menyarankan anggota keluarga untuk memeriksakan diri kepada petugas kesehatan. Dari data yang diperoleh di Puskesmas, dari 35 PMO yang tidak mengingatkan PMO untuk memeriksan ulang dahak sebanyak 5 orang (14,28%), sebanyak 7 orang PMO (20%) tidak mendampingi penderita pada saat pengambilan obat paket ke Puskesmas. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dengan Kinerja PMO penyakit TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

1.2.1

Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut:

1.2.1.1 Masih tingginya jumlah penderita TB paru di Puskesmas ZZZ yaitu sebanyak 35 orang. Diketahui pula bahwa dari 35 penderita yang ada 23 diantaranya (65,71,%) dinyatakan sembuh, 7 orang (30,43%), 4 orang drop out (11,42%) dan 1 orang meninggal dunia (2,85%). 1.2.1.2 Dari data yang diperoleh di Puskesmas, dari 35 PMO yang tidak mengingatkan PMO untuk memeriksan ulang dahak sebanyak 5 orang (14,28%), sebanyak 7 orang PMO (20%) tidak mendampingi penderita pada saat pengambilan obat paket ke Puskesmas.

1.2.2

Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu belum diketahuinya hubungan pengetahuan dengan Kinerja PMO penyakit TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1

Tujuan Penelitian

1.3.1.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan Kinerja PMO penyakit TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ. 1.3.1.2 Tujuan Khusus 1. 2. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan PMO di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ. Untuk mengetahui gambaran Kinerja PMO penyakit TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ. 3. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan Kinerja PMO penyakit TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ.

1.3.2

Manfaat Penelitian

1.3.2.1 Bagi Institusi Pendidikan Sebagai dokumen dan bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya. 1.3.2.2 Bagi Petugas Kesehatan Untuk menambah wawasan bagi petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan bagi keluarga dan mendampingi penderita TB paru untuk menelan obat. 1.3.2.3 Bagi PMO Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan berupa pengetahuan mengenai kinerja dan pengawasan PMO dalam mendampingi dan membantu penderita TB menelan obat.

1.3.2.4 Bagi Penulis Sebagai penerapan dalam mata kuliah metode penelitian dan menambah pengetahuan serta pengalaman dalam penelitian.

1.3.2.5 Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan awal dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang hubungan antara pengetahuan dengan Kinerja PMO penyakit TB paru, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam bidang penelitian serta sebagai penerapan ilmu yang telah didapat selama studi.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit infeksi kronis menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia secara global. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 2013, diperkirakan ada 19 juta pasien TB Paru dan 13 juta kematian TB Paru diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB Paru di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Laporan TB Paru dunia oleh World Health Organization (WHO) yang terbaru pada tahun 2006, masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB Paru terbesar

nomor tiga di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB Paru sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. Hasil survei prevalensi TB Paru di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB Paru BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara regional, prevalensi TB Paru BTA positif di wilayah Sumatera adalah 160 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survei prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB Paru BTA positif secara nasional 3-4% setiap tahunnya. Pada awal tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB Paru yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (costefective). Untuk menanggulangi masalah TB Paru di Indonesia, sejak tahun 1995 WHO merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB Paru. Strategi ini harus diekspansi dan diakselerasikan pada seluruh unit pelayanan kesehatan, terutama Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang diintegrasikan dalam

pelayanan kesehatan dasar. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas. Sampai tahun 2005, program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara Rumah Sakit dan BP4/RSP baru sekitar 30%. (Depkes,2008).

Program penanggulangan penyakit TB Paru yang dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat Puskesmas bertujuan untuk menurunkan insiden dan memutuskan mata rantai penularan Penyakit TB Paru. Untuk mencapai tujuan program tersebut dibutuhkan penerapan teknologi kesehatan dan petugas kesehatan sebagai pelaksana serta dukungan dan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dapat dicapai apabila masyarakat tahu, mengerti, paham pencegahan, dan pengobatan penyakit TB Paru. Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap penyakit TB Paru perlu dilakukan sistem edukasi yang komprehensif dan berkesinambungan.

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai TB Paru di masyarakat masih rendah. Dari mereka yang menyatakan tahu cara penularan dan pencegahan TB Paru, hanya 26 persen yang menjawab dengan betul. Proporsi kecil dari masyarakat (19 persen) yang mengetahui pemberian obat anti TB Paru gratis. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan pula estimasi prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar 8 per 1000 penduduk berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. (Depkes, 2007).

Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB Paru masih banyak ditemukan diberbagai wilayah termasuk di di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ Kecamatan Way Serdang Kabupaten Tulang Bawang. Puskesmas Bukoposo merupakan salah satu Puskesmas yang ada di Kabupaten Tulang Bawang dengan jumlah penduduk 36.659 jiwa, dan sebagian besar masyarakat disekitar wilayah kerja Puskesmas bekerja sebagai Petani karet dan kelapa sawit. Berdasarkan data demografi dari Desa, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk memiliki jenjang pendidikan yang masih rendah yaitu Sekolah Dasar, sehingga ada relevansi terhadap kesenjangan pengetahuan terhadap berbagai hal termasuk penyakit TB Paru.

Berdasarkan survei awal yang di lakukan pada tanggal 11 Februari 2009 di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ terhadap Penderita TB Paru yang sedang dalam masa pengobatan dan Penderita TB Paru yang telah sembuh, 14 Penderita TB Paru melakukan pengobatan awal di Bidan/Mantri, dan 3 penderita berobat kedokter. Hal tersebut menunjukkan masih

rendahnya pengetahuan masyarakat akan penyakit TB Paru di di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ.

Data hasil evaluasi pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bukoposo tahun 2008, menunjukkan bahwa angka penemuan kasus pasien baru BTA positif (Case Detection Rate = CDR) hanya sebesar 40% atau 28 penderita pertahun. Jumlah tersebut jauh dibawah target CDR program penanggulangan Tuberkulosis Nasional yaitu minimal 70%. Penjaringan penderita TB Paru secara pasif yang dilakukan di Puskesmas disertai tingkat pengetahuan yang rendah dari masyarakat, menjadi faktorfaktor penyebab rendahnya CDR di di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ.

Uraian di atas menunjukkan bahwa masih rendahnya pengetahuan masyarakat dalam pencarian pengobatan penyakit yang diderita (TB Paru) dan perlu di telusuri kemana para penderita TB Paru tersebut mencari pengobatan sampai akhirnya berobat ke Puskesmas, sehingga penyakit TB Paru yang di derita dapat di sembuhkan. Hal tersebut yang membuat Penulis tertarik untuk melakukan penelitian Hubungan Pengetahuan Dengan Perilaku Pencarian Pengobatan Penderita TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ 1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

1.2.1. Identifikasi Masalah Masalah adalah kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, dari

pengertian masalah dan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: 1) WHO pada tahun 2006 memperkirakan setiap tahun terjadi 539.000 kasus baru TB Paru dengan kematian sekitar 101.000 orang pertahun. 2) Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai TB Paru di masyarakat masih rendah. Dari mereka yang menyatakan tahu cara penularan dan pencegahan TB Paru, hanya 26 persen yang menjawab dengan betul. Proporsi kecil dari masyarakat (19 persen) yang mengetahui pemberian obat anti TB Paru gratis. 3) Data hasil evaluasi pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bukoposo tahun 2008 Angka kasus TB Paru yang semakin meningkat pada tahun 2003 sampai 2009 sebagai mana data yang didapat dari Puskesmas ZZZ. 4) Angka penemuan kasus pasien baru BTA positif pada tahun 2008 (Case Detection Rate = CDR) hanya sebesar 40%. Jumlah tersebut jauh dibawah target CDR program penanggulangan Tuberkulosis Nasional yaitu minimal 70%.

1.2.2.

Perumusan Masalah Dari identifikasi masalah diatas penulis merumuskan masalah Seberapa besarkah hubungan pengetahuan dengan perilaku pencarian pengobatan Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1.

Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku pencarian pengobatan penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ tahun 2009.

1.3.2. 1. 2.

Tujuan Khusus Diketahuinya pengetahuan penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ. Diketahuinya perilaku pencarian pengobatan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ.

1.4

Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan analisa data kuantitatif yang dilaksanakan di di Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ dengan menggunakan pedoman wawancara dan kuesioner untuk dapat mendeskrepsikan perilaku Penderita TB Paru dalam mencari pengobatan penyakit yang di derita, data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder dari hasil penelitian yang dilaksanakan di lapangan.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1

Institusi Pendidikan Diharapkan dapat menjadi masukan bagi institusi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat zzz sebagai umpan balik dalam penelitian terhadap mutu pendidikan.

1.5.2 a.

Bagi Peneliti Dapat mengetahui secara luas dan mendalam hubungan pengetahuan, dan perilaku dengan pencarian pengobatan penderita TB Paru didi Wilayah Kerja Puskesmas ZZZ Kabupaten zzz.

b.

Sebagai aplikasi dari teori-teori yang telah diperoleh selama di bangku kuliah pada peminatan Promosi Kesehatan.

c.

Untuk memenuhi syarat dalam rangka menyelesaikan pendidikan di STIKES zzzjurusan kesehatan masyarakat peminatan Promosi Kesehatan.

1.5.3

Bagi Puskesmas Sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan dalam mensosialisasikan pengobatan penyakit TB Paru di wiayah kerja Puskesmas ZZZ

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang ditularkan melalui udara (Asih, 2004). Penyakit ini ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Komplikasi. Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis dan TB usus. Penderita tuberkulosis di kawasan Asia terus bertambah. Sejauh ini, Asia termasuk kawasan dengan penyebaran tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia. Setiap 30 detik, ada satu pasien di Asia meninggal dunia akibat penyakit ini. Sebelas dari 22 negara dengan angka kasus TB tertinggi berada di Asia, di antaranya Banglades, China, India, Indonesia, dan Pakistan. Empat dari lima penderita TB di Asia termasuk kelompok usia produktif (Kompas, 2007). Di Indonesia, angka kematian akibat TB mencapai 140.000 orang per tahun atau 8 persen dari korban meninggal di seluruh dunia. Setiap tahun, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru TB, dan 75 persen penderita termasuk kelompok usia produktif. Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ketiga terbesar di dunia setelah India dan China. Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu hamil. Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik dan mental ibu hamil. Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB. Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB kongenital). Mengingat akan bahaya TB paru dan pentingnya memberikan pelayanan pada ibu untuk mempersiapkan kehamilan, terutama untuk mendeteksi dini, memberikan terapi yang tepat serta pencegahan dan penanganan TB pada masa prakonsepsi, maka dalam makalah ini akan di bahas segala teori tentang TB paru dan hubungannya dengan masa prakonsepsi wanita untuk mempersiapkan kehamilan. Selain itu, dalam makalah ini juga akan dibahas peranan bidan dalam melaksanakan asuhan kebidanan prakonsepsi, utamanya terhadap klien penderita TB paru. 1.2 Rumusan Masalah a. TB Paru 1. Apa Definisi TB Paru? 2. Mengapa seseorang bisa sampai terkena penyakit TB Paru? 3. Bagaimana tanda dan gejala penyakit TB Paru? 4. Bagaimana hubungan antara TB Paru dengan kehamilan dan janin?

1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk menjelaskan Definisi TB Paru 2. Untuk menjelaskan penyebab penyakit TB Paru, tanda dan gejala serta patofisiologinya dalam tubuh. 3. Untuk menjelasan hubungan antara TB Paru dengan kehamilan. 4. Untuk menjelaskan peran bidan dalam melaksanakan asuhan kebidanan masa prakonsepsi utamanya terhadap penderita TB Paru. 1.4 Manfaat Penulisan 1. Untuk mengetahui definisi TB Paru. 2. Untuk mengetahui penyebab penyakit TB Paru, tanda dan gejala serta patofisiologinya dalam tubuh. 3. Untuk mengetahui hubungan antara TB Paru dengan kehamilan. 4. Untuk mengetahui peran bidan dalam melaksanakan asuhan kebidanan masa prakonsepsi utamanya terhadap penderita TB Paru. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun pada paru yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang ditularkan melalui udara yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru / berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun.

2.2 Etiologi TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV. Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M. Avium.

2.3 Tanda Dan Gejala 1. Tanda a. Penurunan berat badan b. Anoreksia

c. Dispneu d. Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning. 2. Gejala a. Demam Biasanya menyerupai demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dengan berat-ringannya infeksi kuman TBC yang masuk. b. Batuk Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif (menghasilkan sputum). Pada keadaan lanjut berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada ulkus dinding bronkus. c.Sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru. d. Nyeri dada Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura (menimbulkan pleuritis) e.Malaise Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

2.4 Patofisiologi Pada tuberculosis, basil tuberculosis menyebabkan suatu reaksi jaringan yang aneh di dalam paru-paru meliputi: penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag, pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa untuk membentuk apa yang disebut dengan tuberkel. Banyaknya area fibrosis menyebabkan meningkatnya usaha otot pernafasan untuk ventilasi paru dan oleh karena itu menurunkan kapasitas vital, berkurangnya luas total permukaan membrane respirasi yang menyebabkan penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio ventilasi-perfusi yang abnormal di dalam paru-paru dapat mengurangi oksigenasi darah. 2.5 Pemeriksaan Penunjang Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan dalam Screening TBC. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Pembacaan hasil tuberkulin dilakukan setelah 48 72 jam; dengan hasil positif bila terdapat indurasi diameter lebih dari 10 mm, meragukan bila 5-9 mm. Uji

tuberkulin bisa diulang setelah 1-2 minggu. Pada anak yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 15 mm ke atas baru dinyatakan positif, sedangkan pada anak kontrak erat dengan penderita TBC aktif, diameter indurasi 5 mm harus dinilai positif. Alergi disebabkan oleh keadaan infeksi berat, pemberian immunosupreson, penyakit keganasan (leukemia), dapat pula oleh gizi buruk, morbili, varicella dan penyakit infeksi lain. Gambaran radiologis yang dicurigai TB adalah pembesaran kelenjar nilus, paratrakeal, dan mediastinum, atelektasis, konsolidasi, efusipieura, kavitas dan gambaran milier. Bakteriologis, bahan biakan kuman TB diambil dari bilasan lambung, namun memerlukan waktu cukup lama. Serodiagnosis, beberapa diantaranya dengan cara ELISA (Enzyime Linked Immunoabserben Assay) untuk mendeteksi antibody atau uji peroxidase anti peroxidase (PAP) untuk menentukan IgG spesifik. Teknik bromolekuler, merupakan pemeriksaan sensitif dengan mendeteksi DNA spesifik yang dilakukan dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Uji serodiagnosis maupun biomolekular belum dapat membedakan TB aktif atau tidak. Tes tuberkulin positif, mempunyai arti : 1. Pernah mendapat infeksi basil tuberkulosis yang tidak berkembang menjadi penyakit. 2. 3. 4. 5. Menderita tuberkulosis yang masih aktif Menderita TBC yang sudah sembuh Pernah mendapatkan vaksinasi BCG Adanya reaksi silang (cross reaction) karena infeksi mikobakterium atipik.

2.6. Epidemiologi Dan Penularan TBC Dalam penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : 1. Reservour, sumber dan penularan

Manusia adalah reservoar paling umum, sekret saluran pernafasan dari orang dengan lesi aktif terbuka memindahkan infeksi langsung melalui droplet. 2. Masa inkubasi

Yaitu sejak masuknya sampai timbulnya lesi primer umumnya memerlukan waktu empat sampai enam minggu, interfal antara infeksi primer dengan reinfeksi bisa beberapa tahun. 3. Masa dapat menular

Selama yang bersangkutan mengeluarkan bacil Turbekel terutama yang dibatukkan atau dibersinkan. 4. Immunitas

Anak dibawah tiga tahun paling rentan, karena sejak lahir sampai satu bulan bayi diberi vaksinasi BCG yang meningkatkan tubuh terhadap TBC. 2.7 Stadium TBC 1. Kelas 0 Tidak ada jangkitan tuberkulosis, tidak terinfeksi (tidak ada riwayat terpapar, reaksi terhadap tes kulit tuberkulin tidak bermakna). 1. Kelas 1 Terpapar tuberkulosis, tidak ada bukti terinfeksi (riwayat pemaparan, reaksi tes tuberkulosis tidak bermakna) 1. Kelas 2 Ada infeksi tuberkulosis, tidak timbul penyakit (reaksi tes kulit tuberkulin bermakna, pemeriksa bakteri negatif, tidak bukti klinik maupun radiografik). Status kemoterapi (pencegahan) : Tidak ada Dalam pengobatan kemoterapi Komplit (seri pengobatan dalam memakai resep dokter) Tidak komplit

1. Kelas 3 Tuberkuosis saat ini sedang sakit (Mycobacterium tuberkulosis ada dalam biakan, selain itu reaksi kulit tuberkulin bermakna dan atau bukti radiografik tentang adanya penyakit). Lokasi penyakit : paru, pleura, limfatik, tulang dan/atau sendi, kemih kelamin, diseminata (milier), menigeal, peritoneal dan lain-lain. Status bakteriologis : a. b. Positif dengan : Mikroskop saja Biakan saja Mikroskop dan biakan Negatif dengan : Tidak dikerjakan

Status kemoterapi : Dalam pengobatan kemoterapi sejak kemoterapi diakhiri, tidak lengkap reaksi tes kulit tuberkulin : a. b. Bermakna Tidak bermakna 1. Kelas 4 Tuberkulosis saat ini tidak sedang menderita penyakit (ada riwayat mendapat pengobatan pencegahan tuberkulosis atau adanya temuan radiografik yang stabil pada orang yang reaksi tes kulit tuberkulinya bermakna, pemeriksaan bakteriologis, bila dilakukan negatif. Tidak ada bukti klinik tentang adanya penyakit pada saat ini). Status kemoterapi : a. b. c. d. Tidak mendapat kemoterapi Dalam pengobatan kemoterapi Komplit Tidak komplit 1. Kelas 5 Orang dicurigai mendapatkan tuberkulosis (diagnosis ditunda) Kasus kemoterapi : a. b. Tidak ada kemoterapi Sedang dalam pengobatan kemoterapi.

2.8 Komplikasi Komplikasi Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,TB usus. Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut: 1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. 2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru. 4) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 6) Insufisiensi Kardio Pulmoner

2.9 Penanganan a. 1. Promotif Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC

2. Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara penularan, cara pencegahan, faktor resiko 3. b. 1. 2. 3. Mensosialisasiklan BCG di masyarakat. Preventif Vaksinasi BCG Menggunakan isoniazid (INH) Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab.

4. Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat diketahui secara dini. c. Kuratif

Pengobatan tuberkulosis terutama pada pemberian obat antimikroba dalam jangka waktu yang lama. Obat-obat dapat juga digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit infeksi. Penderita tuberkulosis dengan gejala klinis harus mendapat minuman dua obat untuk mencegah timbulnya strain yang resisten terhadap obat. Kombinasi obat-obat pilihan adalah isoniazid (hidrazid asam isonikkotinat = INH) dengan etambutol (EMB) atau rifamsipin (RIF). Dosis lazim INH untuk orang dewasa biasanya 5-10 mg/kg atau sekitar 300 mg/hari, EMB, 25 mg/kg selama 60 hari, kemudian 15 mg/kg, RIF 600 mg sekali sehari. Efek samping etambutol adalah Neuritis retrobulbar disertai penurunan ketajaman penglihatan. Uji ketajaman penglihatan dianjurkan setiap bulan agar keadaan tersebut dapat diketahui. Efek samping INH yang berat jarang terjadi. Komplikasi yang paling berat adalah hepatitis. Resiko hepatitis sangat rendah pada penderita dibawah usia 20 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 60 tahun keatas. Disfungsi hati, seperti terbukti dengan peningkatan aktivitas serum aminotransferase, ditemukan pada 10-20% yang mendapat INH. Waktu minimal terapi kombinasi 18 bulan sesudah konversi biakan sputum menjadi negatif. Sesudah itu masuk harus dianjurkan terapi dengan INH saja selama satu tahun. Baru-baru ini CDC dan American Thoracis Societty (ATS) mengeluarkan pernyataan mengenai rekomendasi kemoterapi jangka pendek bagi penderita tuberkulosis dengan riwayat tuberkulosis paru pengobatan 6 atau 9 bulan berkaitan dengan resimen yang terdiri dari INH dan RIF (tanpa atau dengan obat-obat lainnya), dan hanya diberikan pada pasien tuberkulosis paru tanpa komplikasi, misalnya : pasien tanpa penyakit lain seperti diabetes, silikosis atau kanker didiagnosis TBC setelah batuk darah, padahal mengalami batu dan mengeluarkan keringat malam sekitar 3 minggu.

2.10 Tuberkulosis pada kehamilan 2.10.1 Pengaruh tuberculosis terhadap kehamilan Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu hamil. Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik mental ibu hamil. Lebih dari 50 persen kasus TB paru adalah perempuan dan data RSCM pada tahun 1989 sampai 1990 diketahui 4.300 wanita hamil,150 diantaranya adalah pengidap TB paru (M Iqbal, 2007 dalam http://www.mail-archive.com/) Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa factor antara lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB. Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal. Usia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa merupakan factor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam kehamilan dengan TB. Jika pengobatan tuberkulosis diberikan awal kehamilan, dijumpai hasil yang sama dengan pasien yang tidak hamil, sedangkan diagnosa dan perewatan terlambat dikaitkan dengan meningkatnya resiko morbiditas obstetric sebanyak 4x lipat dan meningkatnya resiko preterm labor sebanyak 9x lipat. Status sosio-ekonomi yang jelek, hypoproteinaemia, anemia dihubungkan ke morbiditas ibu. Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah mengalami kolaps yang disebut pneumo-peritoneum. Pada awal abad 20, induksi aborsi direkomondasikan pada wanita hamil dengan TB. Selain paru-paru, kuman TB juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika kuman menyebar hingga organ reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat kesuburan (fertilitas) seseorang. Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa menimbulkan kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap TB atau yang pernah mengidap TB, khususnya wanita usia reproduksi. Jika kuman sudah menyerang organ reproduksi wanita biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan untuk hamil karena uterus tidak siap menerima hasil konsepsi. Harold Oster MD,2007 dalam http://www.okezone.com/index.php mengatakan bahwa TB paru (baik laten maupun aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang wanita di kemudian hari. Namun, jika kuman menginfeksi endometrium dapat menyebabkan gangguan kesuburan. Tapi tidak berarti kesempatan untuk memiliki anak menjadi tertutup sama sekali, kemungkinan untuk hamil masih tetap ada. Idealnya, sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-nya terlebih dulu sampai tuntas. Namun, jika sudah telanjur hamil maka tetap lanjutkan kehamilan dan tidak perlu melakukan aborsi.

2.10.2 Pengaruh tuberkulosis terhadap janin

Menurut Oster, 2007 jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko terhadap janin. Untuk meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami masalah setelah lahir. Penelitian yang dilakukan oleh Narayan Jana, KalaVasistha, Subhas C Saha, Kushagradhi Ghosh, 1999 dalam http://proquest.umi.com/pqdweb tentang efek TB ekstrapulmoner tuberkuosis, didapatkan hasil bahwa tuberkulosis pada limpha tidak berefek terhadap kahamilan, persalinan dan hasil konsepsi. Namun juka dibandingkan dengan kelompok wanita sehat yang tidak mengalami tuberculosis selama hamil mempunyai resiko hospitalisasi lebih tinggi (21% : 2%), bayi dengan APGAR skore rendah segera setelah lahir (19% : 3%), berat badan lahir rendah (<2500 gram). Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital). Gejala TB congenital biasanya sudah bisa diamati pada minggu ke 2-3 kehidupan bayi,seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan rendah, hati dan limpa membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir.

2.10.3 Pengaruh kehamilan terhadap tuberkolosis Pengetahuan akan meningkatnya diafragma selama kehamilan yang mengakibatkan kolapsnya paru di daerah basal paru masih dipegang sampai abad 19. Awal abad ke-20, aborsi merupakan pilihan terminasi pada wanita hamil dengan tuberculosis. Sekarang, TB diduga semakin memburuk selama kehamilan, khususnya di hubungakann dengan status sosio-ekonomi jelek, imunodefisiensi atau adanya penyakit penyerta. Kehilangan antibodi pelindung ibu selama laktasi juga menguntungkan perkembangan TB. Akan tetapi, lebih banyak studi diperlukan untuk menyokong hipotesa.

2.10.4 Tes Diagnosis TB pada Kehamilan Bakteri TB berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam. Karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Kuman TB cepat mati terpapar sinar matahari langsung,tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembap. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat melakukan dormant (tertidur lama selama beberapa tahun). Penyakit TB biasanya menular pada anggota keluarga penderita maupun orang di lingkungan sekitarnya melalui batuk atau dahak yang dikeluarkan si penderita. Hal yang penting adalah bagaimana menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat. Seseorang yang terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit jika memiliki daya tahan tubuh kuat karena sistem imunitas tubuh akan mampu melawan kuman yang masuk. Diagnosis TB bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti pemeriksaan BTA dan rontgen (foto torak). Diagnosis dengan BTA mudah dilakukan,murah dan cukup reliable.

Kelemahan pemeriksaan BTA adalah hasil pemeriksaan baru positif bila terdapat kuman 5000/cc dahak. Jadi, pasien TB yang punya kuman 4000/cc dahak misalnya, tidak akan terdeteksi dengan pemeriksaan BTA (hasil negatif). Adapun rontgen memang dapat mendeteksi pasien dengan BTA negatif, tapi kelemahannya sangat tergantung dari keahlian dan pengalaman petugas yang membaca foto rontgen. Di beberapa negara digunakan tes untuk mengetahui ada tidaknya infeksi TB, melalui interferon gamma yang konon lebih baik dari tuberkulin tes. Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukur secara lebih jelas bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit. Diagnosis TB pada wanita hamil dilakukan melalui pemeriksaan fisik (sesuai luas lesi), pemeriksaan laboratorium (apakah ditemukan BTA?), serta uji tuberkulin. Uji tuberkulin hanya berguna untuk menentukan adanya infeksi TB, sedangkan penentuan sakit TB perlu ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto torak. Pasien dengan hasil uji tuberkulin positif belum tentu menderita TB. Adapun jika hasil uji tuberkulin negatif, maka ada tiga kemungkinan, yaitu tidak ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa inkubasi infeksi TB, atau terjadi anergi. Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin. Untuk mengetahui gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan pelindung di perut bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negatif.

2.10.5 Pengobatan TB pada kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun pada paru yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang ditularkan melalui udara yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV. Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M. Avium. Tanda dan Gejala:

1. Tanda a. Penurunan berat badan b. Anoreksia c. Dispneu d. Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning. 2. Gejala a. Demam b. Batuk c.Sesak nafas. d. Nyeri dada e.Malaise Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu hamil. Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik mental ibu hamil. Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosa dan pengobatan TB. Jika kuman TB menyerang paru, maka risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital). Peran bidan dalam menangani klien dengan TB paru adalah dengan memberikan konseling mengenai definisi, penyebab, cara pencegahan dan penularan serta terapi TB Paru, juga menjelaskan pada klien tentang dampak yang ditimbulkan terhadap kehamilan. Di samping itu juga menawarkan alternatif solusi dan melakukan asuhan kebidanan untuk wanita TB Paru masa prakonsepsi dalam mempersiapkan kehamilannya.

3.2 Saran Setiap pasangan yang akan merencanakan kehamilan, hendaknya berkonsultasi dulu mengenai kondisi kesehatan kepada tenaga kesehatan, termasuk bidan. Hal ini bertujuan untuk mendeteksi penyakit/kelainan yang mungkin dialami calon orang tua, sehingga dapat melakukan tindakan yang lebih komprehensif dalam mengantisipasi dampak yang mungkin ditimbulkan dari penyakit yang diderita, baik bagi ibu maupun janin yang dikandungnya. Dalam menjalankan tugasnya, bidan melakukan Asuhan Kebidanan yang tidak hanya pada ibu hamil dan bersalin, tapi juga pada wanita yang menginginkan kehamilan.

SUMBER : Barbara, C.L., 1996, Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses keperawatan) Bandung Doengoes, M.., Rencana Asuhan Keperawatan. edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Adrian Taufik. 2009. Tuberkulosis Paru

Penyakit Tuberkulosis (TBC) Penyakit TBC adalah merupakan suatu penyakit yang tergolong dalam infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja. Di Indonesia khususnya, Penyakit ini terus berkembang setiap tahunnya dan saat ini mencapai angka 250 juta kasus baru diantaranya 140.000 menyebabkan kematian. Bahkan Indonesia menduduki negara terbesar ketiga didunia dalam masalah penyakit TBC ini.

Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, Untuk mengenang jasa beliau maka bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan penyakit TBCpada paru-paru pun dikenal juga sebagai Koch Pulmonum (KP).

Cara Penularan Penyakit TBC Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.

Masuknya Mikobakterium tuberkulosa kedalam organ paru menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Dengan reaksi imunologis, sel-sel pada dinding paru berusaha menghambat bakteri TBC ini melalui mekanisme alamianya membentuk jaringan parut. Akibatnya bakteri TBC tersebut akan berdiam/istirahat (dormant) seperti yang tampak sebagai tuberkel pada pemeriksaan X-ray atau photo rontgen. Seseorang dengan kondisi daya tahan tubuh (Imun) yang baik, bentuk tuberkel ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Lain hal pada orang yang memilki sistem kekebelan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Sehingga tuberkel yang banyak ini berkumpul membentuk sebuah ruang didalam rongga paru, Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (riak/dahak). Maka orang yang rongga parunya memproduksi sputum dan didapati mikroba tuberkulosa disebut sedang mengalami pertumbuhan tuberkel dan positif terinfeksi TBC. Berkembangnya penyakit TBC di Indonesia ini tidak lain berkaitan dengan memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Hal ini juga tentunya mendapat pengaruh besar dari daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC. Gejala Penyakit TBC Gejala penyakit TBC digolongkan menjadi dua bagian, yaitu gejala umum dan gejala khusus. Sulitnya mendeteksi dan menegakkan diagnosa TBC adalah disebabkan gambaran secara klinis dari si penderita yang tidak khas, terutama pada kasus-kasus baru. 1. Gejala umum (Sistemik) - Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. - Penurunan nafsu makan dan berat badan. - Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah). - Perasaan tidak enak (malaise), lemah. 2. Gejala khusus (Khas) - Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak. - Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. - Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan

keluar cairan nanah. - Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Pada penderita usia anak-anak apabila tidak menimbulkan gejala, Maka TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Sekitar 30-50% anak-anak yang terjadi kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah. Penegakan Diagnosis pada TBC Apabila seseorang dicurigai menderita atau tertular penyakit TBC, Maka ada beberapa hal pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk memeberikan diagnosa yang tepat antara lain : - Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya. - Pemeriksaan fisik secara langsung. - Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak). - Pemeriksaan patologi anatomi (PA). - Rontgen dada (thorax photo). - dan Uji tuberkulin. Pengobatan Penyakit TBC Pengobatan bagi penderita penyakit TBC akan menjalani proses yang cukup lama, yaitu berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih. Penyakit TBC dapat disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik. Selama proses pengobatan, untuk mengetahui perkembangannya yang lebih baik maka disarankan pada penderita untuk menjalani pemeriksaan baik darah, sputum, urine dan X-ray atau rontgen setiap 3 bulannya. Adapun obat-obtan yang umumnya diberikan adalah Isoniazid dan rifampin sebagai pengobatan dasar bagi penderita TBC, namun karena adanya kemungkinan resistensi dengan kedua obat tersebut maka dokter akan memutuskan memberikan tambahan obat seperti pyrazinamide dan streptomycin sulfate atau ethambutol HCL sebagai satu kesatuan yang dikenal 'Triple Drug'.

KTI TB PARU BAB II LANDASAN TEORI Pada landasan teori ini penulis akan menjelaskan mengenai anaotmi fisiologi, konsep dasar penyakit dan proses asuhan keperawatan pada klien dengan tuberkulosus paru. A KONSEP DASAR MEDIS 1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan penularan melalui udara. (Black, 1997, h. 1140 ). Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. (Smeltzer & Bare, 1997, h. 584). Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi kronik pada paru yang karakteristiknya melalui formasi tuberkel atau granulomas. (Luckman & Sorensens, 1993, h. 1045). Tucker Susan Martin, et. al., (1998, h. 257) mendefinisikan bahwa Tuberkulosa Paru adalah penyakit infeksi kronis, akut atau sub akut yang disebabkan oleh Basilus

Tuberkulosis, kebanyakan mengenai struktur alveolar paru. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Tuberkulosa Paru (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular, bersifat kronis, akut atau sub akut dimana tempat predileksinya pada parenkim paru dan dapat meluas pada bagian tubuh yang lain yang disebabkan oleh kuman Mikobakterium Tuberkulosis berbentuk batang bersifat tahan terhadap asam (BTA), bersifat dorman dan dapat hidup lama tetapi virulen dalam lingkungannya. 2. Anatomi Sistem Pernapasan a. Anatomi Sistem Pernapaan Atas

1) Hidung Merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai 2 lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Didalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna menyaring udara, debu dan kotoran yang masuk kedalam lubang hidung. Jalan nafas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru-paru. 2) Sinus Paranasal Sinus-sinus paranasal termasuk empat pasang rongga bertulang yang dilapisi oleh kumosa hidung dan epitel kolumnar bertingkat semua yang bersilia. Rongga-rongga udara ini dihubungkan oleh serangkaian duktus yang mengalir ke dalam rongga hidung. Sinus-sinus disebut berdasarkan letaknya, yaitu: sinus frontalis, etmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris. 3) Konka ( tulang turbinasi) Tulang turbinasi, atau konka nama yang ditunjukkan oleh penampilannya yang seperti siput, mengambil bentuk dan posisi sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan permukaan membran mukosa saluran hidung dan untuk sedikit menghambat arus udara yang mengalir melaluinya. 4) Faring, Tonsil, dan Adenoid Faring, atau tenggorok, adalah struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring. Faring dibagi menjadi tiga region: nasal, oral, dan laring.

5) Laring Laring, atau organ suara, adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakea. Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing yang memudahkan batuk. Laring sering disebut sebagai kotak suara. b. Anatomi Paru

1) Pleura

Bagian terluar dari paru-paru dikelilingi oleh membran halus, licin yaitu pleura, yang juga meluas untuk membungkus dinding interior toraks dan permukaan superior diafragma. Pleura parietalis melapisi toraks, dan pleura viseralis melapisi paru-paru. Antara kedua pleura ini terdapat ruang, yang disebut spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi. 2) Mediastinum Mediastinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua bagian. Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktur toraks kecuali paru-paru terletak antara kedua lapisan pleura. 3) Lobus Setiap paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru kiri terdiri atas lobus bawah atas, tengah, dan bawah. Setiap lobus lebih jauh dibagi lagi manjadi dua segmen yang dipisahkan oleh fisura, yang merupakan perluasan pleura. 4) Bronkus dan Bronkiolus Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru. Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri). Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru kanan dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari ketika memiliki posisi drainase postural yang paling efektif untuk pasien tertentu. Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfarik, dan saraf. 5) Alveoli Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam kluster antara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70 meter persegi (seukuran lapangan tenis). 3. Etiologi Penyebab utama penyakit tuberkulosis paru adalah mycobacterium tuberculosis, adalah batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet. Mycobacterium bovis dan Mycobacterium avium pernah tetapi kejadiannya jarang, berkaitan dengan terjadinya infeksi tuberkulosi. (Smeltzer dan Bare, 1997, h.584) 4. Patofisiologi Penularan biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet nukleus yang mengandung basil TB. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkus dan alveulus. Disis bsil tuberkulosis berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti dari penjamu karena ada kekebalan awal. Didalam alveulus terjadi reaksi imflamasi nonspesifik. Makrofag di dalam alveolus akan memfagositosis sebagaian basil tuberkulosis tersebut tetapi belum mampu membunuh sehingga basil TB yang menyebar melalui saluran limfe mencapai kelenjar limfe regional. Sedangkan yang memalui aliran darah akanmencapai berbagai organ tubuh. Di dalam organ tersebut akan terjadi proses dan transfer antigen ke limfosit. Ada jaringan dan organ tubuh yang resisten terhadap basil TB. Basil TB hampir selalu terdapat bersarang di sumsum tulang, hepar dan limfe tetapi tidak selalu berkembang biak secara luas. Basil TB di lapangan atas paru, ginjal, tulang, dan otak lebih mudah berkembang biak terutama sebelum imunitas spesifik terbentuk. Imunitas spesifik yang tebentuk biasanya cukup kuat untuk mengahambat perkembang biakan basil TB lebih lanjut. Dengan demkina lesi TB akan sembuh dan tidak akan ada tanda gejala klinis. Pada sebagian kasus imunitas spesifik yang terbentk biasanya cukup kuat sehingga penyakit TB dalam 12 bulan setelah terifeksi dan pada sebagian penderita TB terjadi lebih dari 12 bulan setelah infeksi.

Kurang lebih 10% individu yang terkena TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit TB diperbesar pada balita, puberitas dan akli balik. Juga keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas memperbesar kemungkinan sakit, misalnya karena infeksi HIV dan pemakaian kortikosteroid atau obat imunosubresif lainya yang lama, demikian juga pada DM dan silikosis.

Dalam waktu 2-10 minggu terjadi cell mediated immune response. Setelah terjadi infeksi pertama basil TB menyebar keseluruh tubuh suatu saat akan berkembang biak dan akan menyebabkan sakit. Infeksi di kelenjar dapat berkebang menjadi TB aktif dalam beberapa tahun atau tidak aktif sama sekali. Pada individu normal respon immunologik terhadapa infeksi TB dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi berikutnya. Resiko reinfeksi tergantung pada intensitas terpaparnya sistem imun individu yang bersangkutan (Rahayu, Noenoeng, dkk, 1994). Patoflodiagram Tuberkulosis Paru

Sumber: Mansjoer Arif dkk, (2001)

5. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala yang menyertai penyakit tuberkulosis paru adalah: a. Demam tingkat rendah b. Keletihan c. Anoreksia d. Penurunan berat badan e. Berkeringat malam f. Nyeri dada g. Batuk menetap lebih dari 3 minggu; batuk pada awalnya mungkin non produktif, tetapi dapat berkembang kearah pembentukan sputum mukopurulen dengan hemotipsis.(Smeltzer & Bare, 1997, h.585) 6. Faktor Resiko Individu yang beresiko tinggi untuk tertular tuberkulosis paru adalah: a. Orang yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif b. Populasi yang kurang mendapatkan pelayanan kesehatan misalnya ras dan suku minoritas (Afrika, Amerika Latin, Eskimo, Tuna wisma, Tahanan) c. Individu imunosupresif, seperti: 1) Lansia 2) Pasien dengan kanker 3) Pasien dengan HIV 4) Mereka yang mendapat terapi kortikosteroid d. Pengguna obat-obat intra vena dan alkoholis e. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya, antara lain misalnya: diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, silikosis, gastrektomy, leukimia, lympoma, malnutrisi. f. Immigran dengan insiden tinggi TB (Asia Tenggara, Afrika, Amerika Latin , Karibia) g. Setiap individu yang tinggal di institusi (misalnya: fasilitas perawatan jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara) h. Orang yang tinggal diperumahan kumuh i. Petugas kesehatan (Black, et-al, 1997, h. 1140 )

7. Cara Penularan Penyakit tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara (droplet). Individu terinfeksi, melalui: a. Berbicara b. Batuk c. Bersin d. Tertawa e. Menyanyi (Smeltzer & Bare, 2000, h.585)

8. Pencegahan a. Pencegahan primer Berikan tuberkulosis skin test kepada: 1) Orang yang mengalami tanda dan gejala atau pemeriksaan hasil laboratorium abnormalitas yang diduga secara klinis tuberkulosis aktif. 2) Orang yang kontak dengan penderita TB atau diduga TBC aktif sebara klinis. 3) Orang yang beresiko tinggi 4) Hasil rontgen abnormal b. Pencegahan sekunder 1) Ajarkan klien dengan TB untuk kontrol mencegah organisme dengan memakai masker, menutup mulut bila batuk dan membuang sputum dengan benar. 2) Evaluasi seseorang yang skin test TB positif tetapi tidak aktif menderita untuk terapi pencegahan dengan obat isoniazid. c. Pencegahan tersier 1) Klien harus menjalankan terapi pengobatan dengan obat antituberkulosis secara tuntas dan lengkap. 2) Mengubah, mencegah dan menangani tingkah laku seseorang yang mengalami perwatan TB. ( Black, et-al, 1997, h. 1140) 9. Pemeriksaan Diagnostik a. Kultur sputum : Pada pemeriksaan ini hasilnya positif unutk mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit b. Ziehl - Nealsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah ): positif untuk basil asam cepat c. Tes kulit (PPD, Mantoux, potongan Voll mer): Reaksi positif carea indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intra dermal antigen menunjukan penyakit aktif reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh micobacterium yang berbeda. d. Foto toraks: Dapat menunjukan infiltrasi lesi awal pada area paru atas. Perubahan menunjukan lebih luas TB dapat termasuk, area fibrosa. e. Histologi atau kultur jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel raksasa menunjukan nekrosis. f. Elektrosit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi; contoh hiponatreamia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis luar. g. GDA : dapat normal tergantuing lokasi dan berat dan kerusakan sisa pada paru. h. Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luar)

(Doenges, 2000, h. 241-242) 10. Komplikasi TBC paru bila tidak ditangani dengan benar dan baik akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi terdiri atas: a. Komplikasi dini 1) Pleuritis. 2) Efusi pleura. 3) Empiema. 4) Laringitis. 5) Menjalar ke organ lain (otak, tulang, ginjal, kulit dan usus). b. Komplikasi lanjut 1) Obstruksi jalan nafas (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis). 2) Kerusakan parenkim berat (SOPT/Fibrosis Paru, Kor Pulmonal). 3) Amiloidosis. 4) Karsinoma paru. 5) Sindrom Gagal Nafas Dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB. (FKUI, 2000. h. 829). 11. Penatalaksanaan Tuberkulosis paru diobati terutama dengan agens kemoterapi (agens antituberkulosis) periode 6-12 bulan. Lima garis depan digunakan adalah: a. Isoniazid (INH) : 5 mg/Kg/hr ( IM/PO) b. Rifamfisin (RIF) : 10 mg/Kg/hr ( PO ) c. Etambutol (EMB) : 15-25 mg/Kg/hr ( PO ) d. Streptomisin (SM) : 15 mg/Kg/Hr ( IM ) e. Pirazinamid (PZA) : 15 30 mg/Kg/hr ( PO ) Obat-obat baris kedua adalah : a. Kapreomisin : 15 30 mg/Kg/Hr ( IM ) b. Kanamicin : 15 30 mg/Kg/Hr ( IM ) c. Etionamid : 15 20 mg/Kg/Hr ( PO ) d. Natrium para amino salisilat : 150 mg/Kg/Hr ( PO ) e. Sikloserin : 15 mg/Kg ( PO ) ( Black, 1997, h. 1140 ) B KONSEP DASAR KEPERAWATAN Pada bagian ini penulis akan menguraikan tentang konsep dasar asuhan keperawatan klien dengan tuberculosis paru dimana asuhan keperwatan ini menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari 5 tahap, yaitu : Pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi. Dikutip dari Iyer et. al., 1996 ( Nursalam, 2001, h. 1). 1. Pengkajian Pengkajian adalah merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data sebagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Dikutip dari Iyer, et. al., 1996 (Nursalam, 2001, h. 17). Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan askep sesuai dengan kebutuhan individu, sehingga pengkajian akurat, lengkap, sesuai kenyataan dan kebenaran data sangat penting dalam merumuskan diagnosa keperawatan. Dalam tahapan ini dilakukan pengumpulan data yag terdiri dari tiga metode yaitu komunikasi efektif, observasi dan pemeriksaan fisik. Data yang dikumpulkan terdiri atas data dasar dan data focus. Dikutip dari Iyer, et. al., 1996 (Nursalam, 2001, h. 25). Untuk kasus tuberculosis paru menurut Doenges (2000, h. 241), pengkajian yang dilakukan meliputi: a. Identitas Kajian ini meliputi nama, initial, umur, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan pekerjaan

dan tempat tinggal klien. Selain itu perlu juga dikaji nama dan alamat penanggung jawab, serta hubungannya dengan klien. b. Riwayat Penyakit Dahulu Kaji riwayat penyakit yang pernah diderita dari masa kanak-kanak sampai dewasa, termasuk pengalaman operasi atau cedera akibat kecelakaan, hal ini penting untuk memaparkan masalah kesehatan klien yang mungkin dapat menyebabkan komplikasi lebih berat terhadap penyakit tuberculosis ini. c. Riwayat Penyakit Sekarang 1) Keluhan Utama Keluhan demam malam, keringat malam, batuk-batuk berdahak/berdarah,susah bernapas, keletihan, berkeringat malam, napsu makan berkurang, penurunan berat badan. 2) Riwayat Perjalanan Penyakit Berapa lama sakit dialami, hal-hal yang memperingan / memperberat penyakit. 3) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi keluhan.

d. Pola Kesehatan 1) Pola Aktivitas / Istirahat Klien dapat mengalami penurunan kelemahan, napas pendek karena kerja, kesulitan tidur pada malam hari, demam malam hari, menggigil atau berkeringat. Ditandai dengan kelemahan otot, nyeri, dan sesak (tahap lanjut). 2) Pola Integritas ego Klien dapat mengalami stress, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/ tak ada harapan ditandai menyangkal, ansietas, ketakutan, mudah terangsang. 3) Pola Nutrisi Metabolik/ cairan Klien dapat mengeluh kurang nafsu makan, tak dapat mencerna, penurunan berat badan. Ditandai dengan turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik,kehilangan otot/hilang lemak subkutan 4) Pola Nyeri / Kenyamanan Nyeri dada meningkat karena batuk berulang, Ditandai perilaku distraksi dan gelisah. 5) Pola Pernapasan Klien mengeluh batuk, produktif atau tak produktif, napas pendek, riwayat tuberkulosis atau terpajan pada individu terinfeksi. Ditandai dengan peningkatan frekuensi, pengembangan pernapasan tak simetris (efusi pleura), perkusi pekak dan penurunan fremitus, bunyi napas: menurun, tubuler dan atau bisikan pectoral di atas lesi luas. Krekels tercatat di atas apek paru selama inspirasi cepat setelah batuk pendek Karakteristik sputum hijau/purulen, mukoid kuning, atau bercak darah, perubahan mental ( tahap lanjut). 6) Pola interaksi sosial Klien merasa terisolasi/penolakan karena penyakit menular, perubahan pola biasa dalam tanggung jawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran. 7) Penyuluhan/pembelajaran Ditandai dengan adanya riwayat keluarga yang menderita TBC, ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk, gagal untuk membaik/kambuhnya penyakit serta tidak mau berpartisipasi dalam terapi.(Doenges, 2000, h. 240 - 241) 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan informasi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah. Dikutip dari Carpenito, 2000 (Nursalam, 2001, h. 35).

Diagnosa keperawatan adalah masalah kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan dan pengalaman dia mampu dan mempunyai kewenangan memberikan tindakan keperawatan. Dikutip dari Gordon, 1976 (Nursalam, 2001, h. 35). Menurut Doenges (2000, h. 242 248), diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan tuberkulosis paru adalah : a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekret kental, upaya batuk buruk, kelemahan, edema trakeal/faringeal. b. Resiko tinggi penyebaran infeksi/aktivasi ulang penyakit b.d pertahanan primer tak adekuat, penurunan kerja silia/stasis sekret, kerusakan jaringan/penambahan infeksi, terpajan lingkungan dan kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen. c. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas b.d penurunan permukaan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane alveolar-kapiler, sekret kental, edema bronkhial. d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kelemahan, sering batuk/produksi sputum; dispnea, anoreksia. e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi,aturan tindakanan, pencegahan b,d kurang sumber informasi.

3. Rencanaan Keperawatan Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, langkah berikutnya adalah menetapkan perencanaan keperawatan. Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan . Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan penyimpulan rencana dokumentasi. Beberapa komponen yang perlu diperhatikan untuk mengevaluasi rencana tindakan keperawatan meliputi menentukan prioritas, menentukan kriteria hasil, menentukan rencana tindakan dan dokumentasi. (Nursalam, 2001, h. 52). Terdapat 3 (tiga) tindakan dalam tahap rencana tindakan yaitu rencana tidakan perawat, rencana tindakan pelimpahan (delegasi) dan program atau perintah medis yang ditujukan untuk klien yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh perawat. Dikutip dari Carpenito, 2000 (Nursalam, 2001, h. 58). Penetapan prioritas masalah keperawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien didasarkan kepada hirarki kebutuhan dasar manusia. Ada dua contoh hirarki yang bisa digunakan, yaitu :

a. Hirarki Maslow . Maslow (1967) menjelaskan kebutuhan dasar manusia dibagi menjadi dalam lima tahap: fisiologis, rasa aman dan nyaman, mencintai dan dicintai, harga diri dan aktualisasi diri. Hirarki menurut Maslow

Aktualisasi Diri Harga diri Mencintai dan dicintai Rasa aman dan nyaman Kebutuhan fisiologis, O2, CO2, elektrolit, makanan, seks

Gambar Hirarki Maslow Tentang Kebutuhaan Dasar Manusia Keterangan : 1) Kebutuhan fisiologis ( Physiological Need ) Contoh: Udara segar, air, cairan, elektrolit, makanan 2) Kebutuhan rasa aman : ( Safety Need) Contoh: Terhindar dari penyakit, pencurian dan perlindungan hukum 3) Kebutuhan mencintai dan dicintai (Love Need ) Contoh: Mendambakan kasih sayang, ingin mencintai dan dicintai, diterima oleh kelompok. 4) Kebutuhan harga diri (Esteem Need) Contoh: Dihargai dan menghargai respek dari orang lain, toleransi dalam hidup berdampingan. 5) Kebutuhan aktualisasi diri (Self Actualitation Need) Contoh: Ingin diakui, berhasil dan menonjol dari orang lain. b. Hirarki Kalish Kalish (1983) lebih jauh menjelaskan kebutuhan Maslow dengan membagi kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk bertahan dan stimulasi. Kalish mengidentifikasikan kebutuhan untuk mempertahankan hidup: udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat, dan menghindari nyeri. Dikutip dari Iyer et. al., 1996 (Nursalam, 2001, h. 52). Setelah penyusunan prioritas perencanaan diatas maka langkah selanjutnya adalah penyusunan rencana tindakan. Adapun rencana tindakan dari diagnosa keperawatan yang muncul pada Tuberkulosis paru menurut Doenges (2000, h. 242-249), adalah sebagai berikut: a. Bersihan jalan napas tak efektif efektif b.d sekret kental, upaya batuk buruk, kelemahan, edema trakeal/faringeal. Tujuan : Jalan napas klien bersih dan tidak ada sekret. Kriteria Hasil : Mempertahankan jalan napas, mengeluarkan sekret tanpa bantuan., menunjukkan prilaku mempertahankan bersihan jalan napas dan klien berpartisipasi dalam pengobatan.. Rencana Tindakan: 1) Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot dan aksesori. Rasional : Penurunan bunyi napas dapat menunjukan atelektasis, Ronki, mengi menunjukan akumulasi sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan napas yang dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori pernapasan dan peningkatan kerja pernapasan 2) Kaji kemampuan untuk batuk efektif, karakter dan jumlah sputum, adanya hemoptisis. Rasional: Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal. Sputum berdarah kental atau darah cerah diakibatkan oleh kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronkial dan dapat memerlukan evaluasi/intervensi lanjut 3) Berikan posisi semi fowler. Rasional: Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernapasan. 4) Bantu pasien untuk batuk dan latihan napas dalam. Rasional: Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan. 5) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari. Rasional: Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret, membuatnya mudah dikeluarkan. Kolaborasi : 6) Pemberian obat kortikosteroid sesuai pesanan Rasional: Berguna pada adanya keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila respon inflamasi mengancam hidup. b. Resiko tinggi penyebaran infeksi/aktivasi ulang penyakit b.d pertahanan primer tak

adekuat, penurunan kerja silia/stasis sekret, kerusakan jaringan/penambahan infeksi, terpajan lingkungan dan kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen. Tujuan : Setelah diberikan intervensi tidak terjadi penyebaran infeksi dan penularan penyakit terhadap orang lain. Kriteria hasil : Dapat menentukan intervensi mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi, klien dan keluarga melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.

Rencana Tindakan : 1) Kaji patologi penyakit fase aktif/tidak aktif dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa, menangis. Rasional: Membantu pasien menyadari/menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang/komplikasi. 2) Observasi tanda-tanda vital (TD, DN, S, N). Rasional : Perubahan nilai tanda vital merupakan indikator adanya infeksi lanjut. 3) Anjurkan klien untuk batuk/bersin menggunakan tisu dan buang pada tempat yang tepat serta cuci tangan dengan desinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan klien Rasional : mencegah terjadinya penularan nasokomial dari pasien ke perawat atau orang lain. 4) Identifikasi orang yang berisiko terinfeksi. Rasional: orang yang terpajan ini perlu program pengobatan untuk cegah penularan dari klien pada orang lain. 5) Jelaskan cara penularan penyakit dan cara menguranginya. Rasional: pengetahuan tentang ini dapat menurunkan resiko infeksi dengan merubah pola hidup. Kolaborasi: 6) Berikan agen anti infeksi sesuai dengan indikasi Rasional: Agen anti infeksi dapat digunakan sebagai pengobatan dan cegah komplikasi lanjut. 7) Tekankan untuk tidak menhentikan terapi obat. Rasional: Karena penyebaran infeksi dapat berlanjut. c. Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas b.d penurunan permukaan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane alveolar-kapiler, sekret kental, edema bronkhial. Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan klien tidak mengalami kerusakan pertukaran gas CO2 dan O2 Kriteria Hasil : Perbaikan ventilasidan oksigenisasi jaringan adekuat dengan gas darah analisa dalam rentang normal. Rencana Tindakan: 1) Kaji dyspnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal, meningkatnya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan fatigue. Rasional: TB paru menyebabkan efek luas pada paru dan bagian kecil bronkopneumonia sampai inflamasi difus luas, nekrosis, effusi pleural, dan fibrosis luas. Efek pernapasan dapat ringan sampai dispnea berat sampai distres pernapasan.

2) Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan kulit, selaput mukosa dan warna kuku. Rasional: Akumulasi sekret/pengaruh jalan napas dapat mengganggu oksigenisasi organ vital dan jaringan. 3) Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim. Rasional: Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps/penyempitan jalan napas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan

menghilangkan/menurunkan napas pendek. 4) Anjurkan untuk bedrest/mengurangi aktifitas. Rasional: Menurunkan konsumsi oksigen/kebutuhan selama periode penurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala. Kolaborasi : 5) Berikan oksigen tambahan . Rasional:: Alat dalam perbaikan hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru. d. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia. Tujuan : Meningkatkan perubahan/perilaku pola makan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Kriteria Hasil : Menunjukkan peningkatan berat badan dan bebas dari tanda-tanda malnutisi. Rencana Tindakan: 1) Kaji status nutrisi, riwayat mual dan muntah. Rasional: Berguna dalam mendefinisikan derajat/luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat. 2) Kaji pola diet pasien yang disukai/tidak disukai. Rasional: Membantu dalam mengidentifikasikan kebutuhan/ kekuatan khusus. Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet. 3) Monitor intake dan output secara periodik. Rasional: Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan. 4) Dorong dan berikan periode istirahat sering. Rasional: Membantu menghemat energi, khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam. 5) Dorong klien untuk makan sedikit tapi sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat. Rasional: Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang perlu/kebutuhan energi dari makan makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster. Kolaborasi 6) Rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet. Rasional: Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet. 7) Berikan obat penetralisir asam lambung sesuai indikasi. Rasional: Dapat membantu menurunkan insiden mual dan muntah sehubungan dengan obat atau efek pengobatan pernapasan pada perut yang penuh 8) Berikan terapi parenteral sesuai indikasi. Rasional: Membantu terpenuhinya kebutuhan cairan dan pengobatan parenteral e. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, pengobatan dan pencegahan berhubungan dengan kurangnya informasi Tujuan : Setelah diberikan intervensi klien dan keluarga menunjukkan perubahan prilaku untuk memperbaiki kesehatan. Kriteria Hasil : Klien menyatakan pemahaman proses penyakit/ prognosis dan kebutuhan pengobatan.

Rencana Tindakan: 1) Kaji kemampuan belajar pasien. Rasional: Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu. 2) Identifikasi gejala yang harus dilaporkan: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan

napas, kehilangan pendengaran, vertigo. Rasional: Dapat menunjukkan kemajuan atau pengaktifan ulang atau efek obat yang memerlukan evaluasi. 3) Tekanan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat serta pemasukan cairan adekuat. Rasional: Memenuhi kebutuhan metabolik membantu meminimalkan kelemahan dan meningkatkan penyembuhan. Cairan dapat mengencerkan/ mengeluarkan sekret. 4) Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan. Rasional: Informasi tertulis menurunkan hambatan pasien untuk mengingat sejumlah besar informasi. Pengulangan menguatkan belajar 5) Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian dan kerja yang diharapkan. Rasional: Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien .

6) Kaji bagaimana Tuberkulosa ditularkan dan bahaya reaktivasi Rasional: Pengetahuan dapat menurunkan risiko penularan/ reaktivitas ulang. 4. Perencanaan Pulang a. Tujuan Pemulangan 1) Fungsi pernapasan adekuat untuk memenuhi kebutuhan individu 2) Komplikasi dicegah 3) Pola hidup atau perilaku berubah untuk mencegah penyebaran infaksi 4) Proses penyakit/prognosis dan program pengobatan dipahami. b.Perawatan Di Rumah Setelah klien dirawat di rumah sakit, pada tahap perencanaan perlu direncanakan untuk pemulangan klien agar setiap apa yang didapatkan oleh klien di rumah sakit dapat diterapkan oleh pasien seperti hal-hal berikut ini: 1) Minum obat sesuai dengan resep dokter. 2) Tutup mulut dan hidung bila bersin, batuk, dan tertawa. 3) Cuci tangan dan hati-hati setelah kontak dengan produk tubuh, pakai masker atau jaringan yang kotor. Batuk dengan tissue dan buang di tempat tertutup atau dibakar. 4) Gunakan masker pada situasi yang tepat dan gunakan dengan tepat. 5) Usahakan banyak istirahat, lingkungan yang bersih selama perawatan di rumah, perhatikan ventilasi rumah dan perhatikan gizi yang baik. 6) Jangan menghentikan pengobatan sebelum waktu yang telah ditentukan agar tidak resistensi terhadap obat. 7) Minta bantuan keluarga untuk pengawasan minum obat. 8) Berikan penyuluhan secara tertulis terhadap penyakit, dan terapi yang diberikan.

Epidemiologi (TBC) | Page 11 of

13 virulenci penularan penyakit TBC supaya tidak terjadiprevalencipenyakit TB yang lebih besar. 6.2.PEMBERANTASAN PENYAKIT TBC 1.Pengobatan pada penderita hingga sembuh 2. Perlakuan pada rumah penderita untuk lebihmemperhatikan factor kesehatan lingkungan denganmenambah ventilator sebagai pengganti udara, gentengkaca supaya sinar matahari dapat masuk, dan faktorhigiene lingkungan yang lain yang lebih baik.3 . S t e r i l i s a s i R u m a h p a s c a P e n d e r i t a . 1.PENGOBATAN7 . 1 . J E N I S O B A T 1. Is o n i as i d 2.Rifampicin3.Pirasinamid4.Streptomicin 7.1.PRINSIP OBAT Obat TB iberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,supaya semua kuman dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan dalam dosis tunggal,sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yangdigunakan tidak adekuat, kuman TB akan berkembangmenjadi kuman kebal. Pengobatan TB diberikan dalan 2 Tahap yaitu:1 . T a h a p i n t e n s i f 2. Pada tahap intensif penderita mendapat obat (minumobat) setiap hari selama 2 - 3 bulan.3 . T a h a p l a n j u t a n 4. Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat (minumobat) tiga kali seminggu selama 4 5 bulan. 7.1.EFEK SAMPING OBAT Beberapa efek samping yang mungkin muncul akibat mengkonsumsi obatTB bervariasi mulai dari ringan hingga berat.Efek samping ringan dapatberupa berubahnya warna urine menjadi kemerahan yang diakibatkan olehrifampisin. Efek samping lainnya dapat berupa nyeri sendi, tidak ada nafsumakan, mual, kesemutan dan rasa terbakar di hati, gatal dan kemerahan dikulit gangguan keseimbangan hingga kekuningan (ikterus). Jika pasienmerasakan hal-hal tersebut, pasien harus segera berkonsultasi dengandokter untuk memperoleh penanganan lebih lanjut. fase lanjutan. Dalambeberapa kasus pengobatan bisa berlangsung hingga delapan bulan. Epidemiologi (TBC) | Page 12 of 13 BAB II KASUS TBC Untuk menegakkan diagnosa TBC Paru adalah dengan memeriksa dahakseseorang yang di duga mengidap TBC. Pemeriksan dahak di lakukansecara SPS (Sewaktu saat kontak pertama, Pagi hari ke 2 dan Sewaktu juga saat hari ke2) dibawah pemeriksaan mikroskopis. Hasil pemeriksaanmikroskopis ini sangat dijaga kualitas dengan melakukan cros cek/ ujisilang lagi juga menjaga hasil pemeriksaan sedian dahak BTA. Metode Penemuan Kasus TBC paru Dengan cara passive promotive case finding artinya penjaringantersangka penderita yang dating berkunjung ke unit pelayanan kesehatandengan meningkatkan penyuluhan TBC kepada masyarakat.Bila ditemukan penderita tuberculosis paru dengan sputum dahat BTA +,maka semua orang yang kontak serumah dengan penderita harusdiperiksa. Apabila ada gejala-gejala suspek (Kecurigaan) TBC makaharus diperiksa dahaknya.Pengobatan Penderita TBC adalah dengan kombinasi beberapa jenis obatdalam jumlah cukup dan dosis yang tepat selama 6 8 bulan.Pengobatan penderita TBC terdiri atas 3 fase1.Fase Intensif . Obat diminum setiap hari selama 2 bulan

Epidemiologi (TBC) | Page 13 of 13 2 . F a s e L a n j u t a n . O b a t d i m i n u m s e m i n g g u 3 k a l i . Paduan OAT (OBat Anti Tuberkulosa) FDCSaat ini di Provinsi Kalimantan Selatan sudah menggunakan OAT FDC.Kemasan Obat FDC (Fixed Dose Combination) 1 tablet obat mengandung150 mg Rifamfisin, 75 mg INH, 400 mg Pyrazinamid dan 275 mgEthambutol,(Dikutip dari : Buku Saku Petugas Program TBC. Depkes RIDiagram diagnosa TB BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Faktor yang mempengaruhi terjadinya kasu TBC pada NY S adalahlingkungan yang lembab, kurangnya ventilasi dan sinar matahari, Kemudianperilaku adalah tidak ada tempat khusus untuk dahak dan kalau batuk tidakmenutup mulut. B S .a r n 1. Perbaikan lingkungan (Pembuatan jendela, genting kaca dankebersihan rumah/lantai).

2. Menutup mulut waktu batuk dan tempat khusus untuk dahak danpembuangan dahak tidak sembarangan

Waspadai Penyakit TB paru, Seorang Penderita TB Dewasa Bisa Menulari Sepuluh Anak Agnes | March 28, 2004 1:00 pm | Print Pikiran Rakyat, Minggu, 28 Maret 2004 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/28/hikmah/lainnya02.htm RAMBUTNYA tampak kusam kemerahan. Matanya yang cekung menatap tanpa gairah. Tubuh kecil dan kurus membuatnya terlihat ringkih. Sesekali digunakannya lengan baju untuk mengusap ingus yang keluar. Batuk- batuk kecil pun kerap terdengar dari mulutnya. Anak lelaki itu berjalan lunglai, bersama seorang ibu yang menggandengnya.Masuk ke dalam ruang praktik dokter, ibunya bercerita Anak saya sakit biasa Dok, panas-batuk-pilek. Sekarang, batuknya sudah 3 minggu lebih belum sembuh. Tapi saya bosan, hampir setiap bulan saya ganti dokter. Ririwit pisan budak teh, Dok (mudah sekali sakit anak ini, Dok). Mana makannya susah sekali. Padahal sudah saya beri vitamin dan obat cacing, tapi tetap saja kurus begini. Dokter memeriksa dengan teliti, memberi surat pengantar ke laboratorium, dan berpesan agar mereka kembali kontrol. Akhirnya, dokter menyimpulkan, Ibu, anak ibu kemungkinan menderita tuberculosis (TB) Paru. Hah!? Kontan si ibu terhenyak. Dari mana, Dok? Di keluarga saya mah tidak ada turunan yang begini. Memang bapak tetangga sebelah itu Dok, seperti yang saya ceritakan kemarin, sering batuk-batuk. Katanya punya penyakit bronchitis. Dulu malah pernah batuk darah, sudah bosan berobat tapi belum sembuh juga katanya. Dokter pun menjawab, Saya memang sering mendengar masyarakat awam menyebut penyakit ini bronchitis, Bu. Padahal sama sekali berbeda. Lagipula, penyakit TB memang tidak diturunkan, tapi menular . Setiap tahun dunia diingatkan tentang bahaya TB melalui TB Day yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi penyakit TB, angka kejadian penyakit ini tetap tinggi dan cenderung meningkat. Kasus di atas sering terjadi di masyarakat. Penderita TB anak yang tidak terdeteksi, atau terlambat diketahui. Selain karena sulitnya dokter mendiagnosa kasus TB pada anak, banyak pula masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk penyakit ini. Masih banyak orang yang tidak mengerti bahwa penyakit TB dapat menular. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak waspada ketika mengetahui ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Penderita sendiri terkadang malas berobat atau tidak tuntas menyelesaikan pengobatan. Padahal sumber penularan yang paling berbahaya adalah orang dewasa yang positif menderita TB. Dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health

Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif. Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan. Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberculosis paru di Indonesia. Apakah tuberculosis itu? Dalam buku Depkes yang sama disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah, system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru. Sebagian besar orang yang terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi penderita tuberculosis. Untuk sementara, kuman yang berada dalam tubuh mereka bisa berada dalam keadaan dormant (tidur). Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita tuberculosis sepanjang sisa hidupnya. Sedangkan mereka yang menjadi sakit disebut sebagai penderita tuberculosis. Dalam makalah yang berjudul Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak (tahun 2002), dr. Oma Rosmayudi SpA, pengajar di Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Anak Universitas Padjajaran, menjelaskan bahwa penyakit TB ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung. Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat dengan penderita TB dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi, terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian (akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang rawan tertular TB adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi, mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB berat seperti TB meningitis, TB milier atau penyakit paru berat.

Muncul tidaknya infeksi penyakit TB tergantung beberapa faktor seperti daya tahan tubuh (umur,status gizi, penyakit, ada tidaknya kekebalan spesifik) serta jumlah dan virulensi kuman yang sampai ke saluran di paru-paru. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan Mengapa diagnosa pasti TB pada anak sulit ditegakkan?. Diagnosis pasti TB dibuat bila ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari dahak (sputum), bilasan lambung atau jaringan yang terkena penyakit. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat. Karenanya diagnosis TB pada anak didasarkan atas diagnosis kemungkinan (probability) dari hasil gambaran klinis, gambaran radiologis, uji tuberculin dan pemeriksaan lain yang cocok. Selain itu, anak yang menderita TB tidak banyak menunjukkan gejala dan tanda. Hanya sebagian kecil penderita yang memberikan gejala tidak spesifik seperti demam, sulit makan, penurunan berat badan, batuk dan mengi (sesak nafas). Konsensus nasional TB anak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) 2002 membuat alur deteksi dini dan rujukan TB pada anak sebagai berikut. Seorang anak dicurigai menderita TB bila, ada riwayat kontak dengan penderita TB sputum BTA positif, reaksi cepat BCG( timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi BCG), berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi, demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik, skrolfuloderma, konjungtivitis fliktenularis, tes tuberculin yang positif (> 10 mm), dan gambaran foto rontgen sugestif TB. Bila ditemukan 3 gejala atau lebih, maka seorang anak dianggap menderita TB dan harus mendapatkan obat anti tuberculosis (OAT). Selanjutnya anak diobservasi selama 2 bulan. Bila keadaannya membaik maka OAT diteruskan, tapi bila tetap atau memburuk harus dirujuk ke rumah sakit. Pengobatan TB pada bayi dan anak pada dasarnya sama dengan TB dewasa. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah dan dosis yang tepat selama 6-9 bulan supaya kuman dapat dibunuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif dimaksudkan untuk menghentikan proses penyakit. Tahap ini harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan obat selama 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan dimaksudkan agar semua kuman yang dorman (tidur) terbunuh. Pemberian obat kombinasi lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih panjang yaitu 4 bulan. Semua tahap OAT diberikan setiap hari dalam satu dosis sebelum makan pagi. Mengingat angka kejadian TB yang cenderung meningkat, bagaimanakah cara pencegahan agar anak tidak tertular penyakit ini? Menurut Prof. Cissy dalam makalah yang sama, TB pada bayi dan anak dapat dicegah dengan beberapa cara seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin), pengobatan untuk pencegahan (kemoprofilaksis), menghindari kontak dengan penderita TB, mendiagnosis dan mengobati kasus TB dewasa secara tepat, serta dengan menerapkan strategi DOTS . Cara-cara pencegahan di atas telah dilakukan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah telah melakukan Program pemberantasan tuberculosis paru dan berbagai kebijakan lainnya. Namun semua itu belum memperlihatkan hasil yang nyata. Karenanya peran aktif dokter dan masyarakat akan sangat membantu dalam pemberantasan penyakit ini. Para dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan agar dapat mendeteksi serta mendiagnosis penyakit TB pada stadium dini. Sedangkan masyarakat dituntut lebih proaktif dalam meningkatkan pengetahuan dan keingin-tahuan mengenai

penyakit ini. Bila pengetahuan masyarakat bertambah, masyarakat akan lebih waspada, sehingga penyakit TB pada anak dapat terdeteksi dan terobati sejak awal. Selain itu, masyarakat dapat membantu melaporkan kasus baru TB dewasa dan memberikan motivasi pada penderita untuk berobat dan tidak bosan meminum obat. Hasilnya, akan semakin banyak penderita dewasa yang sembuh dan tidak lagi menularkan penyakitnya pada anak-anak. Ingat, hembusan nafas setiap penderita TB paru dewasa dapat menular pada sepuluh anak disekitarnya, jangan biarkan! (Agnes Tri Harjaningrum, dokter umum, dan peserta klub penulisan Hardim) Masuk ke dalam ruang praktik dokter, ibunya bercerita Anak saya sakit biasa Dok, panas-batuk-pilek. Sekarang, batuknya sudah 3 minggu lebih belum sembuh. Tapi saya bosan, hampir setiap bulan saya ganti dokter. Ririwit pisan budak teh, Dok (mudah sekali sakit anak ini, Dok). Mana makannya susah sekali. Padahal sudah saya beri vitamin dan obat cacing, tapi tetap saja kurus begini. Dokter memeriksa dengan teliti, memberi surat pengantar ke laboratorium, dan berpesan agar mereka kembali kontrol. Akhirnya, dokter menyimpulkan, Ibu, anak ibu kemungkinan menderita tuberculosis (TB) Paru. Hah!? Kontan si ibu terhenyak. Dari mana, Dok? Di keluarga saya mah tidak ada turunan yang begini. Memang bapak tetangga sebelah itu Dok, seperti yang saya ceritakan kemarin, sering batuk-batuk. Katanya punya penyakit bronchitis. Dulu malah pernah batuk darah, sudah bosan berobat tapi belum sembuh juga katanya. Dokter pun menjawab, Saya memang sering mendengar masyarakat awam menyebut penyakit ini bronchitis, Bu. Padahal sama sekali berbeda. Lagipula, penyakit TB memang tidak diturunkan, tapi menular . Setiap tahun dunia diingatkan tentang bahaya TB melalui TB Day yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi penyakit TB, angka kejadian penyakit ini tetap tinggi dan cenderung meningkat. Kasus di atas sering terjadi di masyarakat. Penderita TB anak yang tidak terdeteksi, atau terlambat diketahui. Selain karena sulitnya dokter mendiagnosa kasus TB pada anak, banyak pula masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk penyakit ini. Masih banyak orang yang tidak mengerti bahwa penyakit TB dapat menular. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak waspada ketika mengetahui ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Penderita sendiri terkadang malas berobat atau tidak tuntas menyelesaikan pengobatan. Padahal sumber penularan yang paling berbahaya adalah orang dewasa yang positif menderita TB. Dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif.

Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan. Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberculosis paru di Indonesia. Apakah tuberculosis itu? Dalam buku Depkes yang sama disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah, system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru. Sebagian besar orang yang terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi penderita tuberculosis. Untuk sementara, kuman yang berada dalam tubuh mereka bisa berada dalam keadaan dormant (tidur). Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita tuberculosis sepanjang sisa hidupnya. Sedangkan mereka yang menjadi sakit disebut sebagai penderita tuberculosis. Dalam makalah yang berjudul Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak (tahun 2002), dr. Oma Rosmayudi SpA, pengajar di Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Anak Universitas Padjajaran, menjelaskan bahwa penyakit TB ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung. Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat dengan penderita TB dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi, terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian (akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang rawan tertular TB adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi, mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB berat seperti TB meningitis, TB milier atau penyakit paru berat. Muncul tidaknya infeksi penyakit TB tergantung beberapa faktor seperti daya tahan tubuh (umur,status gizi, penyakit, ada tidaknya kekebalan spesifik) serta jumlah dan virulensi kuman yang sampai ke saluran di paru-paru. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan

Mengapa diagnosa pasti TB pada anak sulit ditegakkan?. Diagnosis pasti TB dibuat bila ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari dahak (sputum), bilasan lambung atau jaringan yang terkena penyakit. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat. Karenanya diagnosis TB pada anak didasarkan atas diagnosis kemungkinan (probability) dari hasil gambaran klinis, gambaran radiologis, uji tuberculin dan pemeriksaan lain yang cocok. Selain itu, anak yang menderita TB tidak banyak menunjukkan gejala dan tanda. Hanya sebagian kecil penderita yang memberikan gejala tidak spesifik seperti demam, sulit makan, penurunan berat badan, batuk dan mengi (sesak nafas). Konsensus nasional TB anak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) 2002 membuat alur deteksi dini dan rujukan TB pada anak sebagai berikut. Seorang anak dicurigai menderita TB bila, ada riwayat kontak dengan penderita TB sputum BTA positif, reaksi cepat BCG( timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi BCG), berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi, demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik, skrolfuloderma, konjungtivitis fliktenularis, tes tuberculin yang positif (> 10 mm), dan gambaran foto rontgen sugestif TB. Bila ditemukan 3 gejala atau lebih, maka seorang anak dianggap menderita TB dan harus mendapatkan obat anti tuberculosis (OAT). Selanjutnya anak diobservasi selama 2 bulan. Bila keadaannya membaik maka OAT diteruskan, tapi bila tetap atau memburuk harus dirujuk ke rumah sakit. Pengobatan TB pada bayi dan anak pada dasarnya sama dengan TB dewasa. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah dan dosis yang tepat selama 6-9 bulan supaya kuman dapat dibunuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif dimaksudkan untuk menghentikan proses penyakit. Tahap ini harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan obat selama 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan dimaksudkan agar semua kuman yang dorman (tidur) terbunuh. Pemberian obat kombinasi lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih panjang yaitu 4 bulan. Semua tahap OAT diberikan setiap hari dalam satu dosis sebelum makan pagi. Mengingat angka kejadian TB yang cenderung meningkat, bagaimanakah cara pencegahan agar anak tidak tertular penyakit ini? Menurut Prof. Cissy dalam makalah yang sama, TB pada bayi dan anak dapat dicegah dengan beberapa cara seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin), pengobatan untuk pencegahan (kemoprofilaksis), menghindari kontak dengan penderita TB, mendiagnosis dan mengobati kasus TB dewasa secara tepat, serta dengan menerapkan strategi DOTS . Cara-cara pencegahan di atas telah dilakukan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah telah melakukan Program pemberantasan tuberculosis paru dan berbagai kebijakan lainnya. Namun semua itu belum memperlihatkan hasil yang nyata. Karenanya peran aktif dokter dan masyarakat akan sangat membantu dalam pemberantasan penyakit ini. Para dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan agar dapat mendeteksi serta mendiagnosis penyakit TB pada stadium dini. Sedangkan masyarakat dituntut lebih proaktif dalam meningkatkan pengetahuan dan keingin-tahuan mengenai penyakit ini. Bila pengetahuan masyarakat bertambah, masyarakat akan lebih waspada, sehingga penyakit TB pada anak dapat terdeteksi dan terobati sejak awal. Selain itu, masyarakat dapat membantu melaporkan kasus baru TB dewasa dan memberikan motivasi pada penderita untuk berobat dan tidak bosan meminum obat. Hasilnya, akan semakin banyak penderita dewasa yang sembuh dan tidak lagi

menularkan penyakitnya pada anak-anak. Ingat, hembusan nafas setiap penderita TB paru dewasa dapat menular pada sepuluh anak disekitarnya, jangan biarkan! (Agnes Tri Harjaningrum, dokter umum, dan peserta klub penulisan Hardim)

You might also like