You are on page 1of 8

ANALISIS PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAN KOEFISIEN LIMPASAN TERHADAP DEBIT DRAINASE PERKOTAAN

Susilowati
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Telp. 0271 634524 Tima Santita N.R.
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Telp. 0271 634524


Abstract
The development of infrastructure with impermeable material (water-proof) will increase the runoff at pertinent area. The aim of this research is to study the changes of land use in the urban area and runoff coefficient. The discharge is calculated by using Rational Formula. The result of this calculation will be compared with discharge measured in the outlet of flood gates data in 4 years. Then it will be compared with Surakartas drainage design. In 4 years, the change of land use, runoff coefficient, and discharge runoff are 1.81 %, 0.37% and 0.44 m3/s or 0.42% respectively The difference of discharge at flood gate is 24.71 m3/s or 26.64% and below the discharge design.

Keywords:
catchments area, discharge, land use, runoff coefficient.

PENDAHULUAN
Salah satu masalah genangan air dijumpai di kompleks perumahan. Munadhir (1995) menjelaskan dua kemungkinan penyebab terjadinya banjir di suatu kompleks perumahan. Pertama, intensitas hujan lebih besar daripada perhitungan dalam perencanaan selokan drainase. Kemungkinan kedua, intensitas hujan sesuai dengan perencanaan akan tetapi limpasan air hujan tidak mampu ditampung oleh saluran drainase yang ada. Untuk kemungkinan yang kedua bisa disebabkan oleh dua hal yaitu kesalahan dalam perencanaan saluran atau terjadi kekeliruan dalam memperkirakan besarnya aliran. Hal ini diawali dari asumsi bahwa intensitas hujan yang sama selalu akan memberikan aliran yang sama pula untuk saat ini maupun waktu mendatang selama tidak terjadi perubahan lahan. Dalam penelitian ini menggunakan kemungkinan kedua untuk mengkaji perubahan lahan dan pemakaian koefisien limpasan dalam perencanaan debit drainase. Dimensi drainase semula direncanakan dengan debit Q = 159,91 m3/s, namun kondisi sekarang yang ada terjadi genangan di beberapa tempat. Volume pelepasan drainase tidak semata-mata dipengaruhi oleh intensitas atau durasi hujan. Ahmed dkk. (1997) memberikan hasil penelitian bahwa tipe perkerasan jalan memberikan efek yang signifikan pada respon dari pelepasan drainase terhadap hujan. Untuk jalan raya dikatakan bahwa sifat material perkerasan, geometri perkerasan dan

kondisi tepi saluran-saluran drainase juga menyumbang subdrainase. Di lapangan, hal ini sering dijumpai adanya genangan di jalan raya yang tidak segera mengalir karena kondisi saluransaluran drainase yang ada. Perubahan tata guna lahan memberi dampak yang signifikan terhadap koefisien limpasan (Tuan, 1991). Penelitian itu dilakukan pada empat DAS kecil seluas 0,5 ha yang letaknya berdekatan dalam kurun waktu empat tahun dan satu DAS seluas 7,2 ha selama tiga tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien limpasan, puncak limpasan dan hasil sedimen per unit luas, meningkat seiring dengan peningkatan pengembangan tata guna lahan dan menurun seiring dengan konservasi vegetasi yang semakin baik. Oleh karena itu perencanaan drainase perkotaan hendaknya juga seiring dengan perubahan tata guna lahan sehingga terjadi keseimbangan dengan kepentingan lingkungan. Usaha pemanfaatan lahan mendorong adanya perubahan fungsi lahan dengan kecenderungan lebih kedap air sehingga menimbulkan genangan dan limpasan permukaan yang cukup tebal. (Sulistiono, 1995). Nur Arifaini dkk. (1995) memberikan analisa bahwa sumber penyebab banjir sesungguhnya adalah perubahan percepatan tata guna lahan, laju pertumbuhan penduduk, perilaku masyarakat, budaya, kondisi ekonomi dan perundang-undangan
MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006/27

yang belum baku untuk mengendalikan pengembangan suatu kawasan. Selama ini metode perkiraan banjir hanya memasukkan faktor-faktor seperti luasan tata guna lahan dan koefisien limpasan. Dalam penelitian ini, intensitas hujan diasumsikan sama atau konstan dalam memberikan aliran untuk saat ini maupun saat mendatang. Di antara variabelvariabel dalam rumus Rasional yang terkait dengan perubahan kondisi tata guna lahan adalah nilai koefisien limpasan. Pada daerah penelitian diamati sejauh mana perubahan tata guna lahan yang terjadi. Dengan adanya perubahan tersebut tentunya akan mempengaruhi perubahan dari nilai koefisien limpasan. Maka besarnya perubahan koefisien limpasan juga dicari berdasarkan data-data tata guna lahan pada periode yang telah ditentukan. Dengan adanya perubahan tata guna lahan dan nilai koefisien limpasan akan mempengaruhi perubahan besarnya aliran limpasan yang dihasilkan dari daerah penelitian. Besarnya aliran limpasan di lapangan dalam periode tertentu (waktu pengamatan) dihitung dari data ketinggian air di outlet catchment area. Data ketinggian air tiap tahun pengamatan diambil pada kejadian dengan saat curah hujan yang sama atau mendekati curah hujan rancangan. Data ketinggian air tersebut dimasukkan dalam rumus debit supaya diperoleh besarnya aliran limpasan tiap tahun pengamatan. Kemudian besarnya aliran limpasan tiap tahun pengamatan dibandingkan dengan debit rencana hasil perhitungan rumus Rasional pada awal tahun pengamatan. Untuk debit rencana hasil perhitungan rumus Rasional diperoleh dari penelusuran debit saluran-saluran sehingga didapatkan debit total dalam satu catchment area yang diteliti. Populasi dan Sampel Populasi penelitian diambil di daerah Kota Surakarta yang terdiri dari delapan catchment area. Sebagai sampel penelitian dipilih catchment area dua dan empat yang meliputi 30 kalurahan yaitu Kalurahan Manahan, Mangkubumen, Kestalan, Gilingan, Setabelan, Kepatihan Kulon, Kepatihan Wetan, Sudiroprajan, Gandekan, Tegalharjo, Purwodiningratan, Punggawan, Ketelan, Kemlayan, Timuran, Sriwedari, Keprabon, Kauman, Sangkrah, Kampung Baru, Jayengan, Kratonan, Serengan, Gajahan, Baluwarti, Pasar Kliwon, Danukusuman, Joyosuran, Kedung Lumbu dan Semanggi. Lokasi tersebut dipilih sebagai daerah penelitian karena debit outlet dapat terukur dengan baik dengan adanya pintu air Demangan, sedangkan pada daerah lain belum terukur atau bila dapat diukur misalnya
28/ MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006

melalui pintu air Tirtonadi, luas catchment areanya kurang representatif. Luas catchment area 1263,4 ha dan tata guna lahan yang berkembang meliputi : perumahan padat, industri, perdagangan, perusahaan, area terbuka. Periode waktu pengamatan perubahan tata guna lahan kota selama 4 tahun (1992-1996) berdasarkan data-data dari instansi pemerintahan. Koefisien Limpasan Tabel 1. Klasifikasi Tata Guna Koefisien Limpasan
Koefisien Limpasan ( c ) c1 0,95 c2 0,90 c3 c4 c5 c6 0,80 0,65 0,50 0,25

Lahan

dan

Tata Guna Lahan Jalan beraspal Industri, terminal induk, pergudangan umum, perusahaan Perdagangan Perumahan Sarana pendidikan dan jasa Area terbuka, jalur hijau, kuburan

Sumber : BAPPEDA Kodya Surakarta, 1993

Berdasarkan nilai-nilai koefisien limpasan yang diberikan dalam Tabel 1 dan luasan tata guna lahan tiap sub catchment area dapat dicari perubahan nilai koefisien limpasan selama empat tahun berikut prosentase perubahannya. Perhitungan koefisien limpasan tiap sub catchment area yang memiliki lebih dari satu jenis tata guna lahan menggunakan rumus koefisien limpasan rata-rata tertimbang sebagai berikut :

A xc
n

cx =

n=1

Atotal

.[1]

dengan: cr : koefisien limpasan rata-rata tertimbang An : luas lahan pada tata guna lahan (ha) Atotal : luas lahan total (ha) cn : nilai koefisien limpasan pada tata guna lahan. Perhitungan Debit dengan Metode Rasional Metode perhitungan debit drainase perkotaan yang digunakan secara luas adalah metode Rasional. Metode ini relatif mudah digunakan karena lebih sederhana dan tidak terlalu banyak menyita waktu (Chay Asdak, 1995). Rumus perkiraan debit limpasan dari metode Rasional yang telah dimodifikasikan adalah : Q = 0,00278 x c x cs x I x A..[2] dengan: Q : debit puncak pada periode ulang T tahun (m3/s) c : koefisien limpasan

cs I A

koefisien penampungan : rata-rata intensitas hujan (mm/jam) : luas cacthment area (ha)
:

Waktu konsentrasi (time of concentration) adalah waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari titik terjauh daerah pengaliran ke titik outlet suatu DAS. Untuk saluran air hujan daerah perkotaan, waktu konsentrasi terdiri dari waktu yang diperlukan limpasan untuk mengalir di permukaan tanah untuk mencapai saluran terdekat (t0) dan waktu pengaliran dalam saluran ke titik yang dimaksud (td).

hujan tersebut adalah stasiun Kerten nomor 65 G, stasiun Pabelan nomor 104 D, stasiun Surakarta nomor 104 (Laweyan) dan stasiun Surakarta nomor 104 B (SPMA Makam Haji). Data-data tersebut merupakan data hujan harian maximum dari tahun 1970-1991 untuk kemudian dianalisis menjadi hujan rancangan. Data curah hujan yang dianalisis menunjukkan distribusi Normal dan diuji dengan Chi Kwadrat. Curah hujan rancangan tersebut diubah menjadi intensitas hujan. Rumus intensitas hujan yang digunakan yaitu rumus Talbot. Rumus intensitas hujan (I10) dengan waktu konsentrasi sebagai variabel disajikan sebagai berikut :

h [3] D 2.187 xhxc 0.167 to = ...[4] S 0.5 S=


td = L [5] (60 xv)

I10 =

a ....[8] tc + b

tc = to + td...[6] dengan, S : h : D : c : L : v : to td tc Kemiringan lahan (%) selisih ketinggian kontur (m) jarak (m) koefisien limpasan panjang saluran yang ditinjau (m) kecepatan rata-rata sesuai kemiringan muka tanah (m/s) : waktu pengaliran di permukaan tanah (menit) : waktu pengaliran dalam saluran ke titik yang dituju (menit) : waktu konsentrasi (menit)

Selanjutnya rumus (8) tersebut digunakan dalam perhitungan intensitas hujan tergantung nilai waktu konsentrasi (tc) yang diperoleh, dan dimasukkan dalam rumus Rasional. Luasan areal drainase tergantung pembagian catchment area yang disesuaikan dengan kontur dan kondisi lahan. Debit limpasan (Q) dihitung berdasarkan periode ulang rencana dalam Tabel 2. Tabel 2. Periode Ulang Rencana
Macam Alur Sistem Drainase Primer Sistem Drainase Sekunder Sistem Drainase Tersier Macam Daerah Perkotaan 1 Perkotaan 2 Perkotaan 3 Perkotaan 1 Perkotaan 2 Perkotaan 3 Kepadatan Penduduk (ribuan) KP < 500 500<KP<2,000 KP > 2,000 KP < 500 500<KP<2,000 KP > 2,000 Periode Ulang ( tahun ) 10 15 25 5 5 10

Apabila catchment area menjadi lebih besar, maka pengaruh daya tampung saluran (channel storage) dalam pengurangan gelombang banjir menjadi lebih besar. Untuk mendapatkan kemungkinan daya tampung saluran mempengaruhi debit puncak yang dihitung atas dasar rumus Rasional maka harus dikalikan dengan koefisien penampungan (storage coefficient). Besarnya koefisien penampungan ditentukan dari rumus (7) berikut :

Pedesaan / -2 Pinggiran Kota / Perkotaan Sumber : Flood Control Works, Vol.1, W-E-R Engineering, Bina Karya, Departemen Pekerjaan Umum, Februari, 1993.

METODE
Perhitungan debit terukur di lapangan menggunakan Critical Depth Methods karena kondisi air yang mengalir lewat pintu air dilokasi merupakan aliran submerge. Aliran merupakan submerge apabila ketinggian tail water di atas mercu dibandingkan dengan ketinggian air upstream di atas mercu lebih dari 70 %. Bila perbandingan tersebut kurang dari 70 % maka kondisi aliran adalah free flow (Kraatz, 1975).
MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006/29

Cs =

2t c ......................................................[7] (2t c + t d )

Untuk perhitungan intensitas hujan (I), digunakan data-data dari empat stasiun hujan yang berpengaruh terhadap daerah penelitian. Stasiun

Critical Depth Methods memberikan rumus debit sebagai berikut : Q = C x b x H1.5.[9] Dengan: C : Koefisien debit, yang dihitung menggunakan Grafik 1 yang tergantung pada nilai H/L dengan H adalah ketinggian air sebelum pintu air dan L adalah panjang bendung mercu lebar dalam satuan meter. b : Lebar efektif saluran (meter). Untuk lebar efektif saluran dapat dihitung dengan rumus : b = L - {2 x ( Nxkp + ka ) x H}......................[10] dengan L adalah lebar bersih pintu air dalam meter, N yaitu jumlah pilar antara pintu air, kp merupakan koefisien kontraksi karena pilar dan ka adalah koefisien kontraksi karena abutment. Tabel 3 memberikan nilai-nilai kp yang tergantung pada bentuk ujung pilar dan Tabel 4 menyajikan nilai-nilai ka yang tergantung kondisi tembok tepi. Tabel 3. Harga-harga koefisien kontraksi karena pilar (kp)
Bentuk Pilar Untuk pilar berujung segiempat dengan sudutsudut yang dibulatkan pada jari-jari yang hampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar Untuk pilar berujung bulat Untuk pilar berujung runcing Sumber: Dirjen Pengairan PU (1986) Nilai kp 0,02

Gambar 1. Grafik Discharge Coefficient for Rectangular Broad Crested Weir. Sumber: Smith (1978). Pembagian Sub Catchment Area Daerah penelitian meliputi dua catchment area yaitu catchment area dua yang terdiri dari tujuh sub catchment area dan catchment area empat yang terdiri dari lima sub catchment area. Batasan catchment area dan arah alirannya disajikan dalam Gambar 2, sedangkan luasan areal disajikan dalam Tabel 5.

0,01 0,00

Tabel 4. Harga-harga koefisien kontraksi karena tembok tepi (ka)


Bentuk tembok tepi Untuk pangkal tembok segiempat dengan tembok hulu pada 900 ke arah aliran Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 900 ke arah aliran dengan 0,5He > r > 0,15 He Untuk pangkal tembok bulat dengan r > 0,5He dan tembok hulu tidak lebih dari 450 ke arah aliran Sumber: Dirjen Pengairan PU (1986) Nilai ka 0,2

0,1

0,0

Keterangan : 2.1 = sub catchment area = arah aliran

= sungai = pintu air

Gambar 2. Catchment Area Daerah Penelitian

30/ MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006

Tabel 5. Luasan Areal Drainase


Sub Cacthment Area Luas (ha) 2.1 56,83 2.2 37,43 2.3 88,31 2.4 93,59 2.5 43,44 2.6 59,14 2.7 167,66 4.1 208,90 4.2 64,18 4.3 168,15 4.4 148,98 4.5 126,76 Total 1263,37 Sumber : BAPPEDA Kodya Surakarta, 1993

Tabel 7. Perbandingan Nilai Ha dan Hb dalam Bentuk Prosentase


Ha 2,55 2,79 2,87 2,94 3,00 Hb 2,41 2,55 2,69 2,76 2,98 Hb/Ha 0,945 0,914 0,937 0,939 0,993 % 94,5 > 70 91,4 > 70 93,7 > 70 93,9 > 70 99,3 > 70

Debit Terukur di Lapangan Pada tahun 1992 sampai dengan tahun 1996 dicari tanggal kejadian hujan yang mendekati atau sama dengan ketinggian curah hujan rancangan sebesar 178,18 mm. Pada tanggal kejadian tersebut dicari ketinggian muka air pada pintu air Demangan (outlet dari catchment area penelitian) dan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Ketinggian Muka Air pada Pintu Air Demangan
Tanggal/bulan/tahun Ha Hb 18 Maret 1992 2,55 2,41 4 Februari 1993 2,79 2,55 9 Januari 1994 2,87 2,69 22 September 1995 2,94 2,76 3 Desember 1996 3,00 2,98 Keterangan : Ha = tinggi muka air sebelum pintu air (upstream) Hb = tinggi muka air sesudah pintu air (tail water) Sumber : PWS Bengawan Solo dan DPU Kotamadya Surakarta.

Hasil perbandingan ketinggian muka air upstream dan tail water dapat diambil kesimpulan bahwa aliran yang mengalir lewat pintu air merupakan aliran submerge. Selanjutnya perhitungan debit yang melalui pintu air menggunakan rumus (9) dan (10) serta mengacu pada gambar 1, Tabel 3 dan Tabel 4. Data : - panjang bendung mercu lebar = 5 meter - jumlah pilar antara pintu air (N) = 9 buah - lebar bersih total pintu air (L) = jumlah pintu air x lebar pintu air = 10 x 1,5 = 15 meter - ujung pilar berbentuk setengah lingkaran sehingga koefisien kontraksi karena pilar (kp) = 0,01 dan koefisien kontraksi karena abutment (ka) = 0,2 - lebar efektif pintu air (b) = L - { 2 x ((N x kp ) + ka) x H } = 15 - { 2 x ((9 x 0,01) + 0,2) x H } = 15 - (0,58 x H) Untuk memperjelas data-data lapangan berikut ini disajikan sketsa pintu air Demangan :

1,5 m

Nilai Ha dan Hb dibandingkan untuk mengetahui apakah aliran yang mengalir merupakan submerge atau free flow. Kondisi aliran submerge digambarkan dalam Gambar 3 dan perbandingan nilai Ha dan Hb disajikan dalam Tabel 7.

1,5 m 1m 1m

5m

Gambar 4. Tampak Atas Pintu Air Demangan Tabel 8. Perhitungan Debit dengan H Terukur di Lapangan
H Thn L H/L (m) 1992 1993 1994 1995 1996 2,55 2,79 2,87 2,94 3,00 5 5 5 5 5 0,51 0,56 0,57 0,59 0,60 1,685 1,695 1,701 1,703 1,705 C b= Q= 15 - 0,58H C x b x H1.5 (m) (m3/s) 13,52 13,38 13,34 13,29 13,26 92,77 105,70 110,29 114,13 117,48

Gambar 3. Kondisi Aliran Submerge di Pintu Air Demangan

MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006/31

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perubahan Tata Guna Lahan Berdasarkan data-data luas tata guna lahan yang diperoleh pada tahun 1992 dan tahun 1996 dicermati catchment area penelitian mengalami perubahan dan hasilnya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Perubahan Tata Guna Lahan Dalam Catchment Area Penelitian
Luas total (Ha) 117,67 Perubahan luasan (Ha) 0,59 Prosentase Perubahan (%) 0,50

Tabel 10. Perhitungan Debit Limpasan Akibat Perubahan Koefisien Limpasan


Nmr c salur an 1992 199 6
2,1 2,2 2,3 2,4 2,5 2,6 2,7 4,1 4,2 4,3 4,4 4,5 0,70 0,70 0,67 0,72 0,75 0,72 0,65 0,62 0,71 0,69 0,70 0,71 0,70 0,70 0,68 0,72 0,75 0,72 0,65 0,62 0,72 0,69 0,70 0,72

cs

I10 A (ha) (mm/jam)

Q10 (m3/s) 1992 1996


5,52 3,36 5,57 11,01 4,53 7,86 8,14 6,87 7,62 16,63 9,95 17,71 5,52 3,36 5,65 11,01 4,53 7,86 8,14 6,87 7,73 16,63 9,95 17,96

0,94 0,96 0,91 0,94 0,92 0,97 0,98 0,95 0,94 0,91 0,83 0,89

53,07 48,12 37,22 62,55 54,40 68,48 27,43 20,07 64,03 56,67 41,34 79,52

56,63 37,43 88,31 93,59 43,44 59,14 167,66 208,90 64,18 168,15 148,98 126,76

Tata Guna Lahan Jalan Beraspal Industri dan Perusahaan Perdagangan Perumahan Jasa Area Terbuka Jumlah :

147,55

4,54

3,08

123,51 679,42 116,09 79,13 1263,4

0,80 10,71 5,26 5,18 22,87

0,65 1,58 4,53 6,55 1,81

Debit limpasan : 104,79 105,23

Dalam Tabel 10 terlihat bahwa nilai debit limpasan pada tahun 1992 sebesar 104,79 m3/s dan akibat perubahan koefisien limpasan menghasilkan debit limpasan pada tahun 1996 sebesar 105,23 m3/s. selama 4 tahun terjadi peningkatan debit sebesar 0,44 m3/s atau 0,42%. Analisis debit terukur di pintu air outlet Perubahan tata guna lahan juga berpengaruh terhadap debit limpasan yang dihasilkan oleh daerah penelitian. Selain debit limpasan dihitung dengan rumus Rasional, pada pintu air outlet daerah penelitian juga dihitung debit limpasan per tahun sebagai pembanding perubahan yang terjadi pada debit limpasan dengan rumus Rasional. Pada Tabel 11 berikut ini dapat dilihat peningkatan nilai debit terukur di pintu air outlet setiap tahunnya. Tabel 11. Peningkatan Nilai Debit Terukur di Lapangan
Tahun 1992 Q (m3/s) 92,77 12,93 1993 1994 1995 1996 105,70 4,59 110,29 3,84 114,13 3,35 117,48 2,94 3,48 4,34 13,94 Selisih per tahun () Prosentase peningkatan (%)

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa perubahan tata guna lahan keseluruhan selama empat tahun dalam catchment area penelitian sebesar 1,81 %. Perubahan Koefisien Limpasan Data-data tata guna lahan pada tahun 1992 dan tahun 1996 dapat digunakan pula untuk mencari perubahan koefisien limpasan yang terjadi selama empat tahun. Tiap tata guna lahan memiliki nilai koefisien sendiri sehingga bila luasan tiap guna lahan diketahui maka dapat dicari koefisien limpasan gabungan per sub catchment area maupun dalam satu catchment area penelitian. Secara umum nilai koefisien limpasan dari daerah penelitian pada tahun 1992 adalah 0,68 dan dalam jangka empat tahun berubah menjadi 0,69 atau meningkat 0,37 %. Perubahan Debit Limpasan Perubahan tata guna lahan sebesar 1,81% dan perubahan koefisien limpasan sebesar 0,37% akan mempengaruhi besaran debit limpasan. Pada Tabel 10 berikut ini disajikan perhitungan debit limpasan dengan rumus Rasional yang dipengaruhi oleh nilai koefisien limpasan.

Dilihat dari peningkatannya per tahun semakin lama semakin kecil dan peningkatan terbesar terjadi dari tahun 1992 menuju tahun 1993. Dapat diasumsikan antara tahun 1992 dan 1993 terjadi perubahan lahan
32/ MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006

yang cukup besar dan lebih bersifat kedap air sehingga permukaan limpasan yang dihasilkan semakin besar. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya kondisi tata guna lahan lebih stabil meskipun masih ada perubahan fungsi lahan di beberapa tempat sehingga tetap terjadi peningkatan limpasan meskipun nilainya kecil. Dalam jangka empat tahun, selisih debit pada tahun 1996 dan tahun 1992 sebesar 24,71 m3/s atau meningkat 26,64 %. Bila dibandingkan dengan debit rencana drainase semula sebesar 159,91 m3/s, nilai-nilai debit terukur di pintu air outlet dan debit limpasan dengan rumus Rasional masih di bawah nilai debit rencana.

guna lahan tersebut tidak akan mengakibatkan permasalahan genangan-genangan karena kapasitas saluran yang tidak mampu menampungnya. Tetapi dari hasil penelitian di lapangan, masalah genangangenangan di daerah tertentu terjadi dengan tenggang waktu yang bervariasi, ada yang dalam waktu yang cukup lama dan ada pula yang dalam waktu relatif singkat. Hal ini disebabkan oleh kondisi saluransaluran yang kotor, pengendapan sedimen yang tidak dikeruk. Saran Dalam perencanaan drainase perkotaan, khususnya perencanaan saluran drainase perlu dilakukan peninjauan kondisi tata guna lahan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini untuk menjaga relevansi antara daya tampung saluran dengan limpasan yang diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan. Apabila daya tampung saluran sudah tidak memadai lagi, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan saluran dimana membutuhkan investasi yang cukup besar. Perlunya sosialisasi tentang peran masyarakat untuk selalu menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Memberlakukan undangundang yang baku untuk mengendalikan pengembangan suatu kawasan sehingga anggaran dalam penyediaan bangunan saluran drainase akan lebih efisien. Kajian perubahan tata guna lahan, koefisien limpasan, debit limpasan dan debit rencana dalam penelitian ini belum didukung dengan penelitian dari sisi sistem drainase daerah penelitian yang ditinjau. Hal ini bisa dilanjutkan untuk penelitian berikutnya. Hasil penelitian ini hanya berlaku untuk catchment area yang diteliti, tidak dapat digeneralisasikan untuk Kotamadya Surakarta. Untuk catchment area yang lain dalam lingkup Kotamadya Surakarta perlu penelitian tersendiri sehingga didapatkan hasil keseluruhan untuk Kota Surakarta.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Perubahan tata guna lahan pada catchment area penelitian di Kotamadya Surakarta selama empat tahun dari tahun 1992 sampai tahun 1996 terjadi perubahan sebesar 1,81 % dan cenderung pada pembangunan fisik dengan bangunan yang bersifat kedap air. Perubahan ini bisa dikatakan tidak begitu pesat, dimungkinkan kondisi perkotaan yang sudah cukup mapan. b. Perubahan tata guna lahan berpengaruh pada peningkatan koefisien limpasan sebesar 0,37 %. Hal ini menunjukkan hubungan yang sebanding dengan perubahan tata guna lahan yang cenderung kedap air. Peningkatan nilai koefisien limpasan bisa dikatakan relatif kecil (0,37 %) dan hal ini juga relevan dari hasil perubahan tata guna lahan yang terjadi juga diperoleh perubahan yang tidak begitu pesat (1,81 %). c. Secara keseluruhan daerah penelitian mengalami peningkatan nilai koefisien limpasan akibat perubahan tata guna lahan yang cenderung kedap air. Perubahan lapisan permukaan yang cenderung kedap air mengakibatkan peningkatan debit limpasan (debit terukur di lapangan). Akan tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai debit limpasan per tahun masih dibawah debit rencana hasil perhitungan rumus Rasional sehingga dengan adanya peningkatan debit limpasan ini secara teori masih dapat ditampung oleh saluran-saluran yang ada di daerah penelitian. Implikasi Dilihat dari perubahan tata guna lahan yang tidak begitu besar, peningkatan koefisien limpasan yang relatif kecil dan peningkatan debit limpasan yang secara teori masih tertampung dalam saluransaluran yang direncanakan berarti perubahan tata

REFERENSI
Anonim, 1993, Flood Control Works, Vol. 1, WE-R Engineering, Surakarta: DPU Bina Karya. Anonim, Laporan Rekap Ketinggian Air Pintu Air Demangan Tahun 1992-1996, Surakarta: DPU Kotamadya Surakarta Dati II Surakarta. Anonim, 1997, Masterplan Drainase Surakarta Bagian Utara Kodya Dati II Surakarta, Surakarta: BAPPEDA Kodya Surakarta bekerja sama dengan FT UMS. Anonim, 1993, Monografi Kotamadya Dati I Surakarta Tahun 1992, Surakarta: Kantor Statistik Kotamadya Dati II Surakarta.
MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006/33

Anonim, 1997, Monografi Kotamadya Dati I Surakarta Tahun 1996, Surakarta: Kantor Statistik Kotamadya Dati II Surakarta. Anonim, 1993, Penyusunan Detail Engineering Drainase Tahap II Drainase Kotamadya Dati II Surakarta Tahun Anggaran 1993/1994, Surakarta: BAPPEDA Kodya Surakarta. Anonim, 1986, Standard Perencanaan Irigasi, Jakarta: Direktorat Jendral Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. Bambang Sulistiono, 1995, Pengaruh kerapatan jaringan drainasi terhadap nilai puncak banjir di dalam Seminar Nasional Satu Hari Fenomena Perubahan Watak Banjir, (Ed. Rachmad Jayadi, dkk.). Yogyakarta: Panitia Seminar Nasional Satu Hari enomena APerubahan Watak Banjir. Chay Asdak, 1995, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ching-Hao Tuan, 1991, Effect of landuse changes on runoff coefficient and sediment yield from small watersheds di dalam Catchment Runoff and Rational Formula, (Ed. Ben Chie Yen). Littleton, Colorado: Water Resources Publications.

Kraatz, D.B. & Mahajan, I.K.,1975, Small Hydraulic Structures, Rome : Food and Agriculture Organization of the United Nations. Munadhir, 1995, Hubungan aliran-pertambahan lapisan kedap air di daerah perkembangan perumahan di dalam Seminar Nasional Satu Hari Fenomena Perubahan Watak Banjir, (Ed. Rachmad Jayadi, dkk.). Yogyakarta: Panitian Seminar Nasional Satu Hari Fenomena Perubahan Watak Banjir. Nur Arifani, Kartini Susilowati, Mariyanto & Entoh Suhana, 1995, Banjir Way Kuala Garuntang dan Way Galih di Kotamadya Bandar Lampung di dalam Seminar Nasional Satu Hari Fenomena Perbuhan Watak Banjir, (Ed. Rachmad Jayadi, dkk.). Yogyakarta: Panitia Seminar Nasional Satu Hari Fenomena Perunahan Watak Banjir. Smith,C.D.,1978, Hydraulic Structures, Canada: University of Saskatchewan Printing Services. Zubair Ahmed, White, T.D. & Kuczek, T. ,1997, Comparative field performance of subdrainage systems, Journal of Irigation and Drainage Engineering, 123 (3), 194-201.

34/ MEDIA TEKNIK SIPIL/Januari 2006

You might also like