You are on page 1of 3

Membicarakan karya sastra roman Toha Mochtar yang berjudul Pulang tak lepas dari menyusuri kembali jejak-jejak

bekas masa penjajahan Jepang terhadap bangsa Indonesia dahulu. Dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1968), Ajib Rosidi mencatat karya ini lahir pada masa krisis sastra Indonesia pertama tahun 1953-1961, yaitu masa dimana lingkungan kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka seakan-akan kehilangan vitalitasnya setelah Chairil Anwar meninggal dunia. Pada masa ini, kabut suram tengah menyelimuti kehidupan nasional bangsa Indonesia. Ternyata mengisi kemerdekaan tak semudah yang diangankan, ketika masih dijajah dan ketika masih memperjuangkannya. Pada masa ini banyak pemimpin-pemimpin yang bosan berjuang dan akhirnya melakukan penyelewengan-penyelewengan. Bibit-bibit manipulasi dan korupsi pun mulai merasuk hingga akhirnya merusak pikiran masyarakat dan negara. Pada masa inilah roman yang berjudul Pulang karya Toha Mochtar lahir. Roman ini termasuk dalam sastra majalah. Roman Pulang semula adalah merupakan cerita bersambung dalam majalah Ria (1952-1953) dengan nama pengarangnya Badarijah UP. Ya, dalam menulis karya sastra Toha Mochtar memang selalu menggunakan nama samaran yang bergantu-ganti. Badarijah UP adalah salah satunya. Dalam penulisannya, roman ini tidak ditulis sekaligus, melainkan bagian demi bagian. Pada tahun 1952, begitu keseluruhan rampung dimuat sebagai majalah bersambung di majalah Riayang salah satu redakturnya adalah Toha Mochtar sendiriBasuki Efendy, sutradara dari Perusahaan Film Negara, mengangkat cerita Pulang ke dalam sebuah film. Roman ini juga pernah disinetronkan oleh TPI pada tanggal 18, 19, dan 20 Agustus tahun 1992 dalam rangka memperingati HUT Proklamasi RI 1992. Sebagai roman Pulang sangat sederhana, tetapi justru kesederhanaannnya maka ia terasa jernih dan bening. Dengan roman ini Toha Mochtar mengejutkan dunia sastra Indonesia yang pada saat itu tengah kritis. Roman ini pernah mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. pada tahun 1958. Kajian dalam makalah penulis akan melakukan analisis melalui pendekatan poskolonial terhadap seorang Tamin dalam roman Pulang karya Toha Mochtar. Jejak penghianatan Tamin dalam Pulang Istilah pos-kolonial tidak menyatakan secara langsung setelah kolonialisme. Wacana poskolonial menganalisis bagaimana fakta sejarah dari kolonialisme Eropa berlanjut membentuk hubungan antara Barat and non-Barat setelah bekas koloni-koloni meraih kemerdekaan mereka. Poskolonialisme menunjukkan proses perlawanan dan rekonstruksi oleh non-Barat. Teori poskolonial mengeksplorasi pengalaman penindasan, perlawanan, ras, gender, representasi, perbedaan, penyingkiran, dan migrasi dalam hubungannya dengan wacana-wacana penguasa Barat mengenai sejarah, filsafat, sains, dan linguistik (Appignanesi, 1999). Studi poskolonial menempatkan dirinya sebagai kajian yang tak ingin terlepas dari segala macam konteks historis tertentu yang menaungi bangsa-bangsa yang merasakan dampakdampak dari penjajahan. Dampak-dampak tersebut tidak bisa dibilang usai sudah atau berakhir begitu diproklamasikannya kemerdekaan suatu negara dari penjajahan. Justru dampak-dampak tersebut masih dirasakan sampai sekarang. Roman ini mengisahkan cerita seorang Heiho yang bernama Tamin yang pulang dari pengembaraannya dari Burma. Dalam roman ini Tamin diposisikan sebagai orang yang berhianat terhadap bangsa dan negaranya sendiri. Saat orang-orang desanya berjuang sekuat tenaga melawan penjajah, Tamin malah berdiri di samping Belanda dan sekutunya untuk melawan temannya sendiri.

Sebenarnya Tamin tak sepenuhnya bersalah atau berkhianat terhadap bangsanya ketika menjadi Heiho. Pada waktu itu ia sangat terpengaruh oleh propaganda Jepang dan sekutunya. Di saat sahabat-sahabat kecilnya seperti Pardan dan Gamik membela bangsanya dengan cucuran darah, Tamin malah berdiri di samping penjajah. Sungguh ironi mendengar cerita seperti itu. Pardan teman Tamin terkarib, teman mandi di kali, teman mengembala, teman bersama, teman memancing ikan yang selalu bermain bersamanya meninggal saat ia pergi ke Surabaya dalam perang melawan Nica. Ia telah tak ada, Tamin. Ia pergi ke Surabaya pada zaman berontak, zaman perang melawan Nica. Tak lama ia pergi. Seminggu setelah itu jenazahnya dibawa pulang. Tak ada orang kampung yang begitu dihargai matinya. Orang kota banyak yang datang ke desa ini mengikuti upacara penguburan. Ramai sekali waktu itu, Tuan Bupati dan Tuan Wedana ikut datang menghormat jisimnya. Tidak. Tidak ada yang lebih mulia daripada dia dalam kematiannya. Nisannya masih dipuja sampai sekarang, setiap tahun. Begitu tertusuknya hati Tamin saat mendengarkan cerita itu, begitu juga dengan Gamik, teman Tamin yang kerdil. .Dalam kekerilannya, ia memiliki jiwa yang besar. Ketika musim hujan seperti ini, serdadu Belanda datang mencari pemuda dan tentara ke kampung kita. Ia bersama keenam temannya melakukan perlawanan di sepanjang kali, di samping sawah Pak Banji. Belanda itu terlalu banyak, semua temannya bisa lolos, tinggal Gamik seorang diri. Ia diketemukan keesokan harinya di pinggir pematang, tubuhnya robek-robek oleh peluru bedil. Tak seorang pun akan melupakan peristiwa ini. Gamik menang, Tamin. Sebab waktu itu orang tahu, ke dalam prahoto mereka sebagai korban. Suatu hari saat penduduk desa beserta Tamin sedang rapat memperbaiki makam Gamik, cerita kematian Gamik menjadi acara yang paling menarik bagi warga desa, mereka menceritakan sahut menyahut secara detil tentang peristiwa kematian Gamik. Hati Tamin pun rasanya semakin sakit mendengar cerita warga desa tentang perjuangan sahabatnya itu. Rasa bersalah dan menyesal beradu berkecambuk dalam dada Tamin. Terlebih lagi saat ia disuruh bercerita tentang dirinya yang berkenala jauh. Tamin bingung hendak bercerita tentang apa, karena dia adalah seorang pengkhiat bangsa dan negara. .Haruskah ia berkata di hadapan mereka, bahwa dalam zaman pemberontakan ia bertempur di samping Belanda untuk menindas pengacau, mengejar tentara perampok an sisa-sisa kekuatan Jepang yang tidak mau menyerah pada sekutu? Ia diajar sejak di Singapura bahwa Jepan di Jawa menyerahkan persenjataannya pada kaum penjahat. Dan bagaimana juga rindunya terhadap kampung halaman. Tak ada yang tahu soal itu, tak ada satu pun, termasuk orangtuanya. Akhirnya tamin mengarang cerita tentang kisahnya bahwa bertempur di Gunung Putrid an Gunung Cupu, di pinggir Tasik. Terus, kebohongan-kebohongan terus ia ciptakan untuk menutupi dirinya yang sebenarnya pada penduduk desa. Di satu sisi ia sangat merasa bersalah terhadap keluarga dan seluruh penduduk desanya. Bahkan orangtua Tamin kehilangan sawah yang mereka cintai, nyawa hidup. Kolonialisme di sini terlihat dari propaganda Jepang dan sekutu terhadap Tamin yang rela pergi ke Burma meninggalkan keluarganya selama 7 tahun. Dalam pengembaraanya hal yang dilakukannya hanyalah berkelahi dan menembak untuk membela Jepang dan sekutunya.

Sinopsis Pulang mengisahkan seorang pemuda pribumi yang menjadi tentara Heiho, yang memerangi bangsanya sendiri. Nama pemuda itu Tamin. Tujuh tahun lamanya Tamin menjadi Heiho dan tinggal di Jepang. Kisah dimulai ketika si tokoh utama Tamin berkeinginan pulang kembali ke Indonesia. Tamin sangat rindu pada keluarga dan kampong halamannya. Selama ini, orang-orang di kampung halamannya menganggap Tamin sebagai pahlawan gerilya yang telah berjuang membela bangsa dan negaranya dari penjajah. Itulah sebabnya ketika Tamin datang, orang-orang sekampung mengelu-elukannya. Padahal kenyataannya Tamin adalah seorang pengkhianat bangsa. Tamin adalah seorang tentara penjajah yang melawan negaranya sendiri. Hal inilah yang menggelisahkan hati Tamin saat ia pulang. Bahkan orangtuanya sendiri tidak tahu bahwa ia adalah tentara Heiho. Melihat kenyataan ini, Tamin terpaksa berbohong ketika ia disuruh menceritakan pengalamannya bertempur selama tujuh tahun. Ia mengarang cerita bagaimana bergerilya di hutam-hutan di Jawa Barat dan bertempur melawan penjajahan Belanda. Betapa cerita bohong ini menggelisahkan dan menyiksa perasaan Tamin. Lebih-lebih ketika dirinya diminta untuk menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Karena tidak kuat mengingkari hati nuraninya, Tamin diamdiam pergi meninggalkan desanya. Ia pergi mengembara. Namun dalam pengembaraannya pun Tamin merasa tersiksa. Ia khawatir jika ada orang yang tahu dan membocorkan keadaan dirinya yang sebenarnya kepada orang-orang kampong halamannya. Suatu hari dalam pengembaraannya Tamin bertemu dengan Pak Banji, seorang tetangga kampung halamannya. Dari cerita pak Banji, Tamin baru tahu bahwa Ayahnya telah meninggal. Pak Banji juga mengabarkan bahwa orang-orang sekampungnya mengharapkan ia pulang. Mereka sangat ingin mendengarkan kisah perjuangan Tamin melawan penjajah. Mendengar cerita Pak Banji di satu sisi Tamin senang belum mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun di sisi lain, ia sangat sedih karena ayahnya telah meninggal dunia. Karena dua perasaan yang bercampur aduk itulah Tamin memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Ia bertekat untuk membangun kampung halamannya sebagai wujud penyesalan karena telah melawan bangsanya sendiri. Dalam hati kecil ia berkeyakinan bahwa sebenarnya dirinya tidak sepenuhnya bersalah ketika menjadi tentara Heiho. Waktu itu ia sangat terpengaruh dengan propaganda Jepang dan sekutunya. Dan tekatnya membangun kampungnya adalah manifestasi terhadap kecintaannya kepada kampung halaman tercintanya.

You might also like