You are on page 1of 14

Media Massa

Media massa mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Peran komunikasi sangat menentukan dalam penyampaian informasi maupun suatu kebijakan pemerintah. Sejalan dengan tingkat perkembangan teknologi komunikasi yang kian pesat, maka metode komunikasi pun mengalami perkembangan yang pesat pula. Namun semua itu, mempunyai aksentuasi sama yakni komunikator menyampaikan pesan, ide, dan gagasan, kepada pihak lain (komunikan). Hanya model yang digunakannya berbeda-beda. Bila dirinci secara lebih kongkrit, metode komunikasi dalam dunia kontemporer saat ini yang merupakan pengembangan dari komunikasi verbal dan non-verbal meliputi banyak bidang, antara lain jurnalistik, hubungan masyarakat, periklanan, pameran/eksposisi, propaganda, dan publikasi. Berdasarkan metode dalam komunikasi seperti tersebut tadi, semakin jelas kiranya, bahwa propaganda menjadi salah satu metode dalam komunikasi. Tentunya, karena propaganda menjadi bagian dari kegiatan komunikasi, maka metode, media, karakteristik unsur komunikasi (komunikator, pesan, media, komunikan) dan pola yang digunakan, sama dengan model-model komunikasi lain. Oleh karena itu, unsur komunikasi secara umum juga berlaku bagi propaganda. Menghadapi pemilu, media massa memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting. Sebagai langkah awal perbaikan politik untuk mencapai keberhasilan pemerintahan yang demokratis, sangat ditentukan peran media massa dalam mempropagandakan pesan-pesan yang penuh harapan kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan krisis multidimensional. Apabila pelaksanaan pemilu mendapat dukungan dari sebagian masyarakat maka akan berdampak pada jalannya pemerintahan selanjutnya. Ahli komunikasi massa Harold D Lasswell dan Charles Wright, menyatakan terdapat empat fungsi sosial media massa, yaitu : Pertama, sebagai social surveilance. Pada fungsi ini, media massa termasuk media televisi, akan senantiasa merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi seobjektif mungkin mengenai peristiwa yang terjadi, dengan maksud agar dapat dilakukan kontrol sosial sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam lingkungan masyarakat bersangkutan. Kedua, sebagai social correlation. Dengan fungsi korelasi sosial tersebut, akan terjadi upaya penyebaran informasi yang dapat menghubungkan satu kelompok sosial

dengan kelompok sosial lainnya. Begitupun antara pandangan pandangan yang berbeda, agar tercapai konsensus sosial. Ketiga, fungsi socialization. Pada fungsi ini, media massa selalu merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Keempat, fungsi entertainment. Agar tidak membosankan, sudah tentu media massa perlu juga menyajikan hiburan kepada khalayaknya. Hanya saja, fungsi hiburan ini sudah terlalu dominan mewarnai siaran televisi kita, sehingga ketiga fungsi lainnya, seolah telah terlupakan. Untuk itu, fungsi hiburan haruslah ditata agar seimbang dengan 3 (tiga) fungsi lainnya.

Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa begitu besarnya peran media massa dalam kehidupan masyarakat, yang mampu mempengaruhi dan merubah cara berpikir suatu kelompok masyarakat. Kekuatan media massa ini juga digunakan oleh pemerintah maupun suatu kelompok masyarakat tertentu di suatu pemerintahan untuk mempengaruhi opini publik. Dalam dunia politik pun media massa digunakan sebagai alat penyampaian informasi dan pesan yang sangat efektif dan efisien. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Lasswell (1972), bahwa the study of politics is the study of influence and the influential (ilmu tentang politk adalah ilmu tentang pengaruh dan kekuatan pengaruh). Tampilan media massa akan mengemban beberapa fungsi yang

menggambarkan kedemokrasian dalam pemberitaannya. Fungsi-fungsi tersebut merupakan subsistem dari sistem politik yang ada. Menurut Gurevitch dan Blumer (1990:270) fungsi-fungsi media massa adalah: 1. Sebagai pengamat lingkungan dari kondisi sosial politik yang ada. Media massa berfungsi sebagai alat kontrol sosial politik yang dapat memberikan berbagai informasi mengenai penyimpangan sosial itu sendiri, yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah, swasta, maupun oleh pihak masyarakat. Contoh penyimpangan-penyimpangan seperti praktik KKN oleh pemerintah, penjualan pasir ke Singapura yang mengakibatkan tujuh pulau hilang dan tenggelam (suatu kerugian yang lebih besar dari sekadar perebutan pulau Sipadan dan Ligitan), perilaku masyarakat yang tidak tertib hukum/anarkis, polemik Susno-Polri, dan lainlain. Berbagai permasalahan sosial tersebut akan membuka mata kita bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.

2. Sebagai pembentuk agenda (agenda setting) yang penting dalam isi pemberitaannya. Pembentukan opini dengan cara pembentukan agenda atau pengkondisian politik sehingga masyarakat terpengaruh untuk mengikuti dan mendukung rencanarencana pemerintah. Contohnya: wacana pembatasan subsidi BBM untuk sepeda motor, SKPP Bibit-Candra, dan lain-lain. 3. Media massa merupakan platform (batasan) dari mereka yang punya advokasi dengan bukti-bukti yang jelas bagi para politisi, jurubicara, dan kelompok kepentingan. Ada pembagian lain dari komunikator politik, yaitu yang disebut dengan komunikator profesional (Carey, 1969). Pembagian ini muncul karena kemajuankemajuan dalam dunia teknologi komunikasi. Sehingga ada batasan/pembagian tugas dan peranan penyampaian pesan politik. 4. Media massa mampu menjadi tempat berdialog tentang perbedaan pandangan yang ada dalam masyarakat atau diantara pemegang kekuasaan (yang sekarang maupun yang akan datang). Media massa sebagai sarana untuk menampung berbagai pendapat, pandangan, dan paradigma dari masyarakat yang ingin ikut andil dalam membangun sistem politik yang lebih baik. 5. Media massa merupakan bagian dari mekanisme penguasa untuk mempertahankan kedudukannya melalui keterangan-keterangan yang diungkapkan dalam media massa. Hal ini kerap terjadi pada masa Orba, ketika masa Presiden Soeharto berkuasa yang selalu menyampaikan keberhasilan-keberhasilan dengan maksud agar

masyarakat mengetahui bahwa pemerintahan tersebut harus dipertahankan apabila ingin mengalami kemajuan yang berkesinambungan. 6. Media massa bisa merupakan insentif untuk publik tentang bagaimana belajar, memilih, dan menjadi terlibat daripada ikut campur dalam proses politik. Keikutsertaan masyarakat dalam menentukan kebijakan politik bisa

disampaikan melalui media massa dengan partisipasi dalam poling jajak pendapat dan dialog interaktif. Hasil dari poling atau jajak pendapat tersebut akan merefleksikan arah kebijakan para politisi. Seperti hasil poling akhir-akhir ini dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat pemilih pada pemilu 2009, mengharapkan pemerintah hasil Pemilu dapat memprioritaskan perbaikan ekonomi. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang

memilih untuk prioritas pemberantasan korupsi. Hal ini yang menjadi kekhawatiran para aktivis anti korupsi bahwa hasil itu akan mempengatuhi arah kebijakan pemerintah sebagai kecenderungan sebagian besar kelompok masyarakat. 7. Media massa bisa menjadi penentang utama terhadap semua upaya dari kekuatankekuatan yang datang dari luar media massa dan menyusup ke dalam kebebasannya,integritasnya, dan kemampuannya di dalam melayani masyarakat. Fakta-fakta kebenaran yang diungkapkan oleh media massa dapat

menyadarkan masyarakat tentang adanya kekuatan-kekuatan berupa terorisme atau premanisme, maupun intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang mencoba

mengkaburkan suatu permasalahan. 8. Media massa punya rasa hormat kepada anggota khalayak masyarakat, sebagai kelompok yang punya potensi untuk peduli dan membuat sesuatu menjadi masuk akal dari lingkungan politiknya. Adanya kecenderungan dalam menilai para politisi, komunikator politik, aktivis adalah sebagai pihak yang selalu bicara dengan publik. Oleh karena itu Bryce (1900) menyatakan bahwa khalayak komunikasi (khususnya dalam komunikasi politik) pada umumnya akan terpusat pada masalah opini publik. Dari gambaran di atas mengenai fungsi media massa dalam kaitannya sebagai alat politik, maka semakin jelas bahwa peran media massa sangat besar dalam kekuasaan pemerintahan. Pendapat ini juga dipertegas dengan pernyataan Harold Lasswell, bahwa Politik tidak bisa dipisahkan dari pengertian kekuasaan dan manipulasi yang dilakukan oleh para elit penguasa atau counter elite.

Komunikasi Politik Komunikasi Politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara yang memerintah dan yang diperintah. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka. Dalam praktiknya, komunikasi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab,

dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadangkadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar soal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR. Konsep, strategi, dan teknik kampanye, propaganda, dan opini publik termasuk dalam kajian bidang ilmu komunikasi politik. Kegunaan Komunikasi Politik menurut Rusadi Kantaprawira adalah untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institusi, asosiasi, atau sector kehidupan politik masyarakat dengan sector kehidupan politik pemerintah. Dalam kegiatannya Komunikasi Politik tidak hanya dalam ruanglingkup Internal (nasional) melainkan juga eksternal (Internasional). Menurut Philips dan Alexander, Komunikasi Politik Internasional adalah Komunikasi yang dilakuakan oleh suatu negara nasional (nasional states) untuk mempengaruhi tingkahlaku politik bangsa lain.

a. Aktor: Komunikator Politik Komunikator Politik pada dasarnya adalah semua orang yang berkomunikasi tentang politik, mulai dari obrolan warung kopi hingga sidang parlemen untuk membahas konstitusi negara.Namun, yang menjadi komunikator utama adalah para pemimpin politik atau pejabat pemerintah karena merekalah yang aktif menciptakan pesan politik untuk kepentingan politis mereka. Mereka adalah pols, yakni politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan vols, yakni warganegara yang aktif dalam politik secara part timer ataupun sukarela.

Komunikator politik utama memainkan peran sosial yang utama, teristimewa dalam proses opini publik. Karl Popper mengemukakan teori pelopor mengenai opini publik, yakni opini publik seluruhnya dibangun di sekitar komunikator politik. Komunikator Politik terdiri dari tiga kategori: Politisi, Profesional, dan Aktivis. 1. Politisi adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, seperti aktivis parpol, anggota parlemen, menteri, dsb. 2. Profesional adalah orang yang menjadikan komunikasi sebagai nafkah pencahariannya, baik di dalam maupun di luar politik, yang muncul akibat

revolusi komunikasi. Munculnya media massa lintas batas dan perkembangan media khusus (majalah internal, radio siaran, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Terdiri dari jurnalis (wartawan, penulis) dan promotor (humas, jurubicara, jurukampanye, dsb). 3. Aktivis (a) Jurubicara (spokesman) bagi kepentingan terorganisasi, tidak memegang atau mencita-citakan jabatan pemerintahan, juga bukan profesional dalam komunikasi. Perannya mirip jurnalis. (b) Pemuka pendapat (opinion leader) orang yang sering dimintai petunjuk dan informasi oleh masyarakat; meneruskan informasi politik dari media massa kepada masyarakat. Misalnya tokoh informal masyarakat kharismatis, atau siapa pun yang dipercaya publik.

b. Saluran Komunikasi Politik 1. Komunikasi Massa ialah komunikasi satu-kepada-banyak, komunikasi melalui media massa. 2. Komunikasi Tatap Muka seperti dalam rapat umum, konferensi pers, dsb. Dan Komunikasi Berperantara adalah ada perantara antara komunikator dan khalayak seperti TV. 3. Komunikasi Interpersonal ialah komunikasi satu-kepada-satu, contoh door to door visit, temui publik, dsb. Atau Komunikasi Berperantara contoh pasang sambungan langsung hotline buat publik. 4. Komunikasi Organisasi adalah gabungan komunikasi satu-kepada-satu dan satukepada-banyak. Komunikasi Tatap Muka seperti diskusi tatap muka dengan bawahan/staf. Dan Komunikasi Berperantara seperti pengedaran memorandum, sidang, konvensi, buletin, newsletter, lokakarya, dsb.

c. Pesan Pesan Komunikasi Politik adalah pesan yang berkaitan dengan peran negara dalam melindungi semua kepentingan masyarakat (warga negara). Bentuk pesannya dapat berupa keputusan, kebijakan dan paraturan yang menyangkut kepentingan dari keseluruhan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pembicaraan politik, komunikator lebih banyak menggunakan instrumen komunuikasi yang meliputi : 1. Lambang Pembicaraan Politik adalah kegiatan simbiotik. Kegiatan ini dapat berupa

a. pembicaraan otoritas dilambangkan oleh konstitusi, hukum. b. Pembicaraan Kekuasaan dilambangkan oleh Parade Militer c. Pembicaraan Pengaruh dilambangkan oleh Mimbar Partai, Slogan, Pidato, Editorial. 2. Bahasa Bahasa dalam komunikasi politik merupakan suatu sarana yang sangat penting yang memiliki fungsi sebagai Cover bagi isi pesan (content Message) yang akan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sehingga pesan tersebut memiliki daya tarik (interest) serta mudah diterima oleh komunikan (masyarakat). 3.Opini Publik (Pendapat Umum). Pesan (Message) yang disampaikan oleh Komunikator Politik dilakukan dengan memperhatikan secara seksama pendapat umum atau pendapat yang berkembang dalam realitas kehidupan masyarakat yang ada dan mengemuka melalui media massa cetak, audio, maupun audio visual serta media komunikasi langsung yang berasal dari elemen infrastruktur politik yang mengartikulasi kepentingan masyarakat luas, baik melalui media dialog, diskusi, konsep pemikiran maupun orasi dilapangan (demonstrasi). Semuanya ditujukan untuk memelihara harmonisasi komunikasi antara komunikator politik dengan komunikan atau khalayak (masyarakat).

c.

Media

Dalam menyampaikan komunikasi politik para komunikator politik menggunakan saluran komunikasi politik dan saluran komunikasi persuasive politik yang memliki kemampuan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, bangsa dan negara. Tipe tipe saluran komunikasi politik dimaksud adalah meliputi: 1. Komunikasi Massa Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator politik kepada komunikan (khalayak) melalui media komunikasi massa, seperti, Surat Kabar, Radio, Televisi). 2. Komunikasi Interpersonal Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator kepada Komunikan (khalayak) secara langsung atau tatap muka (face to face). Contohnya, Dialog, lobby, komprensi tingkat tinggi (KTT), dan lain-lain. 3. Komunikasi Organisasi Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator politik kepada komunikan (khalayak) atau Komunikasi Vertikal (dari atas ke bawah) dan horizontal

(dari kiri ke kanan) sejajar. Contohnya, komunikasi antar sesama atasan, dan komunikasi sesama bawahan (staf).

Adapun tipe saluran komunikasi persuasive politik adalah meliputi : 1. Kampanye Massa Adalah proses penyampaian pesan persuasive (pengaruh) yang berupa program asas, platform partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada calon pemilih (calon Konstituen) melalui media massa cetak, radio, maupun televisi, agar memilih partai politik yang dikampanyekannya. Contohnya, kesejahtraan seluruh petani, akan terwujud apabila memilih partai politik yang saya pimpin menang pemilu. 2. Kampanye Interpersonal Adalah proses penyampaian pesan persuasive (pengaruh) yang berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh yang luas terhadap calon pemilih (calon Konstituen) Contohnya, Dialog dan lobby Ketua Tim Sukses Capres-cawapres SBY-JK kepada Ketua Umum Partai politik Bintang Reformasi dan Tim lain kepada partai politik yang lain. 3. Kampanye Organisasi Adalah proses penyampaian pesan persuasive (pengaruh) yang berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada kader, fungsionaris, dan anggota dalam satu organisasi partai politik dan antar sesama anggota agar memilih partai politik yang dikampanyekannya. Contohnya, Ketua Partai Politik memberi pesan persuasive kepada anggotanya (Vertikal) dan atau antar sesama anggotanya (Horzontal).gar menyerukan untuk memilih partai politik yang dikampanyekannya.

d.

Efek

Menurut Ball Rokeah dan De Fleur, akibat (efek) Potensial komunikasi dapat dikategorikan dalam tiga macam, yaitu ; 1. Akibat (efek) Kognitif Yaitu efek yang berkaitan dengan pengetahuan komunikan terhadap pesan yang disampaikan. Dalam kaitannya dengan komunikasi politik, efek yang timbul adalah menciptakan dan memecahkan ambiguitas dalam pikiran orang, menyajikan bahan

mentah bagi interpretasi personal, memperluas realitas social dan politik, menyusun agenda, media juga bermain di atas system kepercayaan orang. 2. Akibat (Efek) Afektif Yaitu efek yang berkaitan dengan pemahaman komunikan terhadap pesan yang disampaikan. Dalam hal ini ada 3 efek komunikasi politik yang timbul, yaitu : a. Seseorang dapat menjernihkan atau mengkristalkan nilai politik melalui komunikasi politik. b. Komunikan bisa memperkuat nilai komunikasi politik c. Komunikasi politik bisa memperkecil nilai yang dianut. 3. Akibat Konatif (perubahan Perilaku). Yaitu efek yang berkaitan dengan perubahan perilaku dalam melaksanakan pesan komunikasi politik yang diterimanya dari komunikator politik. Perwujudan efek komunikasi politik yang timbul adalah dapat berupa partisipasi politik nyata untuk memberikan suara dalam pemilihan umum DPR, DPD, DPRD dan Preisden serta Wakil Presiden dan atau bersedia melaksanakan kebijakan serta keputusan politik yang dikomunikasikan oleh Komunikator Politik.

Politik Media Politik media merupakan sebuah sistem politik, politisi secara individual dapat terus menambah ruang privat dan publiknya, sehingga mereka tetap dapat mengurusi masalah politik ketika ia tengah duduk di kursi kerjanya, yaitu melalui komunikasi yang bisa menjangkau masyarakat sasarannya melalui media massa. Hal ini berarti politisi media berdiri berlawanan dengan sistem yang lebih dulu ada, yakni politik partai. Dalam pengertian konvensional, politisi berupaya untuk memenangkan pemilihan umum dan dapat memerintah sebagai anggota tim partai. Dengan cara ini politik partai menjadi usang, tetapi sistem ini sekarang menjadi hal yang setidak tidaknya menjadi praktik politik yang umum dengan berbagi panggung politik dengan politik media, sebagai sebuah sistem yang sedang menggejala dengan muatan muatannya yang mulai dapat dipahami. Politik media merupakan sebuah sistem politik, istilah ini untuk membandingkannya dengan sistem-sistem lainnya, seperti politik legislatif, politik birokrasi, politik yudisial, serta yang telah dibahas sekilas,

politik partai. Dalam setiap domain tersebut, dapat diidentifikasi peran kunci, kepentingan yang bermacam-macam, aturan perilaku yang rutin, serta politik interaksi yang mapan, yang bila digabungkan dapat memperjelas bentuk khusus dari perjuangan politik. Terdapat 3 (tiga) pelaku dalam politik media, ialah politisi, jurnalis, dan orang -orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khusus. Bagi politisi, tujuan dari politik media adalah dapat menggunakan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan publik yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan program mereka ketika duduk di ruangan kerja. Bagi jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan yang menarik perhatian banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan suara yang independen dan signifikan dari para jurnalis. Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang minimal. Tujuan tersebut merupakan sumber ketegangan konstan yang ada di ketiga aktor tadi. Politisi menghendaki para jurnalis untuk bertindak sebagai pembawa berita yang netral dalam statemen mereka dan dalam rilis pers. Sementara para jurnalis tidak ingin menjadi tangan kanan pihak lain; mereka lebih berharap untuk bisa membuat kontribusi jurnalistik khusus untuk berita, dimana mereka dapat menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, investigasi, dan analisis

berita yang sangat dibenci oleh kalangan politisi. Tentang politik media, jurnalis menilai suara jurnalistik, paling tidak sama besarnya dengan para pembaca dalam jumlah besar, dan para jurnalis ini sama sekali tidak ingin membantu politisi untuk menerbitkan berita mereka kepada publik. Jika jurnalis selalu saja melaporkan berita yang dikehendaki politisi, atau hanya melaporkan berita politik yang sesuai dengan keinginan pembaca, maka jurnalisme hanya akan menjadi profesi yang kurang menguntungkan dan kurang memuaskan bagi praktisinya, atau bahkan bukan lagi menjadi sebuah profesi. Pada dasarnya pihak publik menginginkan untuk mengawasi jalannya politik dan menjaga agar politisi tetap akuntabel dengan upaya yang minimal. Dan dikarenakan adanya kejenuhan pihak politisi dan para jurnalis yang bersaing untuk mendapatkan perhatian publik dalam pasar yang kompetitif, publik cenderung mendapatkan bentuk komunikasi politik yang mereka inginkan. Namun ini tidak berlaku seluruhnya. Kepentingan yang telah melekat pada diri politisi untuk mengontrol muatan berita politik, berpadu dengan kepentingan jurnalis untuk membuat kontribusi yang independen dalam berita, akan menciptakan ketegangan dan

distorsi yang cukup besar. Pendekatan untuk mempelajari politik media dalam buku ini terdiri dari dua poin utama. Pertama, seperti yang telah dibahas, ini akan berfokus pada kepentingan diri yang berbeda dari para partisipan dan bagaimana mereka membentuk sifat politik media. Ini merup akan titik awal yang dari kebanyakan studi tentang politik media, yang cenderung melihat politik media melalui prisma teoritis yang berbeda. Satu riset media yang besar berfokus pada nilai dan konvensi jurnalis, seperti kesenangan mereka untuk meliput persaingan politik (Patterson, 1993; Lichter, Rothman dan Lichter, 1986), ataupun kegiatan rutin dimana reporter mengatur kerja mereka (Cohen, 1962; Sigal, 1973; Epstein, 1973; Gans, 1980). Poin penting dalam riset yang lain adalah penekanan pada sistem simbolik dari politik media, terutama dalam penciptaan ilusi, citra, dan kaca mata yang dapat menyamarkan gambaran realitas (Edelman, 1980; Bernett, 1996).

Peran Politik Media Lebih dari duapuluh tahun silam, terdapat 3 (tiga) kasus yang tidak popular pada pemerintahan di Asia Tenggara yang tidak disukai oleh rakyatnya dan diprotes melalui gerakan perlawanan rakyat. Di Filipina tahun 1986, gerakan People Power berhasil megusir Marcos dari kursi kuasa kepresidenan. Di Thailand tahun 1992 yang terkenal dengan Peristiwa Mei mendepak pemerintah Suchinda Kraprayoon dari kekuasaan negara, dan Indonesia tahun 1998 (McCargo, 1999:131). Media memainkan peranan penting dalam gerakan yang terjadi di negara -negara tersebut, kecuali Myanmar (1988). Asumsi utama dalam kajian demokratisasi adalah, semakin press independent dengan semakin besar kebebasan yang dimiliki maka akan memberi kontribusi positif pada perubahan politik, mendukung transisi demokrasi dan meruntuhkan rezim yang otoritarian. Dengan kata lain, media dapat memainkan peranan yang sangat besar khususnya pada saat babak politik dalam transisi, karena media dapat bertindak sebagai agen perubahan. Neumann menjelaskan bahwa kebebasan memegang peranan penting di Asia Tenggara, khususnya dalam proses liberalisasi politik yang berhubungan dengan munculnya pers yang lebih terbuka dan kritis (Neumann, 1998). Lalu, apa fungsi yang ditunjukkan oleh media sebagai

institusi politik? Salah satu fungsi yang telah dirancang oleh Soeharto dan elite negara dalam negara berkembang adalah, mempromosikan ideologi nasional dan melegitimasi proses pembangunan. Dalam menjalankan fungsi ini, pers adalah

sebagai sebuah agen stabilitas, yang bertugas membantu melestarikan tatanan sosial

politik. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan istilah development journalism. Fungsi kedua adalah memonitor tatanan politik pada masa damai, melakukan checks and balances. Dalam bab yang berjudul why dont we call journalists political actors?, Cook (1998:4) mengemukakan beberapa hal: Pertama, para jurnalis telah bekerja keras untuk mendorong masyarakat agar tidak berpikir bahwa mereka (jurnalis) merupakan aktor politik. Mereka sangat berhasil dalam upaya ini, sehingga mereka pun sepertinya sangat yakin dengan hal ini. Kedua, studi mengenai komunikasi politik berkembang di tengah-tengah sebuah tradisi yang menekankan efek media, dan disiplin ilmu yang terkait dengan studi politik tentang media berita pun telah pula menyembunyikan implikasi dari kegiatan mereka. Pada umumnya, ketika pakar politik merasa nyaman dengan melihat konstribusi politik dari media, maka mereka menjadi kurang memiliki keinginan untuk melihat media berita sebagai sebuah institusi. Dengan kata lain, para jurnalis telah berhasil untuk meyakinkan kalangan akademisi, bahwa mereka bukan aktor politik, dan para peneliti yang membahas tentang studi politik maupun media telah melalaikan hal ini. Fungsi ketiga adalah sebagai fire-fighting, yaitu membantu dalam menentukan hasil dari perubahan politik dan sosial dramatik yang terjadi saat krisis. Beberapa contoh di Asia dapat menunjukkan hal ini, yakni peran media dalam menggulingkan rezim Marcos di Filipina di tahun 1986, atau dukungan yang ditunjukkan pers pada demonstrasi pro demokrasi pada bulan Mei 1992 di Bangkok. Dalam fungsi ketiga ini, pers merupakan agen perubahan (agent of change). Tiga model agen alternatif ini stabilitas, pengendalian dan perubahan merupakan fungsi yang mungkin dapat diperankan oleh pers sebagai institusi politik. Ini dapat memunculkan asumsi bahwa bahwa pers menampilkan peran politik yang spesifik dalam masyarakat tertentu pada suatu titik waktu tertentu pula, misalnya sebagai agen stabilitas dalam rezim otoriter (seperti di Burma sekarang ini), sebagai agen pengendali dalam demokrasi liberal (seperti di Jepang pada tahun 1970-an), dan agen perubahan dalam masyarakat di saat terjadinya transisi politik (seperti di Korea Selatan pada tahun 1987). Namun dalam prakteknya, pers bersifat polivalen, dan dapat saja mengadopsi berbagai model agen secara simultan. Bagian-bagian dari pers yang berbeda, sangat mungkin untuk memberi dukungan, memarahi, atau mencela para pemegang kekuasaan pada saat yang bersamaan. Suatu publikasi tunggal pun dapat menjadi polivalen, misalnya kolumnis dan jurnalis yang berbeda dapat menerapkan bentuk agen politik yang

berbeda, halaman depan yang memuat kritisi mengindikasikan bahwa publikasi ini dimaksudkan untuk mengendalikan pemegang kekuasaan tertentu, sedangkan bagian editorial menampakkan dukungan halus mereka, serta kolumnis yang agresif meminta pengunduran diri pihak penguasa. Mengevaluasi sikap dari peran politik yang ditampilkan oleh pers dalam situasi tertentu memerlukan 2 (dua) kecermatan mendalam mengenai dua faktor berikut: pertama, kepemilikan dan kontrol publikasi; dan kedua, hubungan antara pemilik perusahaan media, jurnalis, dan pemegang kekuasaan. Artikel ini menitikberatkan pada pandangan problematis mengenai media sebagai agen perubahan yang lunak. Kajian mengenai media di negara berkembang cenderung lebih menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa (hegemoni). Dalam hal ini ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Misalnya saja, dalam kasus di Thailand, fokusnya selalu mengenai penggunaan media elektronik oleh pihak militer dan aktor negara lainnya. Media dipandang sebagai pion dari kekuasaan negara, atau sebut saja sebagai aktor yang melayani negara (servant of the state). Kaitannya yang erat dengan kontrol dan sensor negara, dan pamahaman tentang bagaimana aspek media berfungsi dalam titik waktu tertentu, juga kecenderungannya untuk terlalu berpusat pada negara (state-centric). Media pada dasarnya memiliki karakter yang bermacam-macam dan jamak, terlihat dari kenyataan bahwa media cetak sering meliput tentang isu-isu politik. Seiring dengan kekuasaan negara yang semakin melemah di seluruh dunia, sensor dari negara menjadi semakin melemah pula. Upaya untuk mempengaruhi muatan dan nada dari publikasi pemberitaan menjadi tidak selalu berkaitan dengan negara, namun oleh politisi oposisi, petinggi militer, pihak publik, pelobi, perusahaan, dan kelompok non pemerintah, dan pihak lain, semuanya terlibat di sini. Hal menarik untuk menjelaskan tentang konsep peran politik dari media adalah bab yang ditulis oleh pengamat Jepang, Susan Pharr, yang mengemukakan adanya 4 (empat) pandangan yang saling berlawanan, yaitu: pertama media sebagai penonton (spectator); kedua sebagai penjaga (watchdog); ketiga sebagai pelayan (servant); dan keempat sebagai penipu (trickster). Pharr memandang media sebagai penipu, sebuah kosa kata yang dibuatnya sendiri. Menurutnya, penipu merupakan partisipan aktif dalam proses politik. Dampak utama dari peran penipu sebagai pembangun komunitas. Label penipu kemudian

berubah menjadi kosa kata yang positif, yaitu mencerminkan perilaku media yang penuh dengan kebaikan (Pharr, 1996:24-36). Perilaku media secara frekuentatif menampilkan sisi yang ambigu, hipokrit, dan inkonsisten, singkatnya mereka itu bersifat licin dan dan menipu. Menipu dalam konteks ini, meski dapat dipandang sebagai positif, tetapi juga mengandung sisi yang bersifat membahayakan dan destruktif. Pharr berpendapat bahwa media penipu tidak mewakili kepentingan satu kelompok tertentu pun, seperti media di Asia Tenggara yang secara frekuentatif terjebak dalam berbagai kepentingan. Tipuan ini tidak datang dari kurangnya loyalitas, namun dari loyalitas yang berlipat, pluralitas dalam kewajiban, dan beragamnya stakeholder mereka. Sangat jelas bahwa stakeholder mereka yang bermacam-macam menghasilkan kekuatan sekaligus kelemahan. Analis media dari barat cenderung melihat hubungan partisan dalam konteks hubungan formal dan informal antara organisasi media dan partai politik. Dalam konteks Asia Tenggara, definisi ini belumlah memadai; hubungan partisan harus dipahami sebagai rangkaian keseluruhan dari hubungan antar-praktisi, secara paralel dengan dunia media dan politik. Banyak literatur media di negara berkembang menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara (Pharr, 1996:24 -36)

You might also like