You are on page 1of 22

GAYA MENGAJAR Oleh La tahang Dalam faktanya, banyak siswa mengalami kebingungan dalam menerima pelajaran karena tidak

mampu mencerna materi yang diberikan oleh guru. Ternyata, banyaknya kegagalan siswa mencerna informasi dari gurunya disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya mengajar guru dengan gaya belajar siswa. Sebaliknya, apabila gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa, semua pelajaran (termasuk pelajaran matematika) akan terasa sangat mudah dan menyenangkan. Guru juga senang karena punya siswa yang semuanya cerdas dan berpotensi untuk sukses pada jenis kecerdasan yang dimilikinya. (Chatib, 2009:100). Salah satu implikasi dari penerapan multiple intelligences dalam proses pembelajaran adalah terwujudnya gaya mengajar guru yang menyesuaikan dengan gaya belajar siswa. Bobbi De Porter, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie (2000:85-86) menjelaskan bahwa setiap orang memiliki kecenderungan gaya mengajar atau modalitas mengajar yang biasanya sama dengan gaya belajar masing-masing. Jika kita memiliki kecenderungan belajar secara visual, maka kita akan menjadi guru yang visual pula. Hal itu terjadi secara alamiah. Tetapi, tidak demikian dengan siswa. Sebagian mungkin memiliki modalitas belajar yang sama dengan gurunya, tetapi mungkin banyak yang tidak. Bagi siswa yang modalitasnya tidak sama dengan modalitas mengajarnya guru, kemungkinan tidak akan dapat menangkap semua yang diajarkan atau mendapat tantangan lebih besar dalam mempelajari bahan. Siswa secara harfiah memproses dunia melalui bahasan yang berbeda dengan guru. Bukankah seorang guru akan senang dapat menjangkau semua siswa dengan modalitas berbeda-beda dan melakukannya secara konsisten? Meskipun cara belajar dan mengajar seseorang itu mencerminkan kecenderungan modalitas seseorang, penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak modalitas yang dilibatkan secara bersamaan, belajar akan semakin hidup, berarti, dan melekat, Rose & Nicholl (2002:131) memapaparkan hasil studi yang dilakukan lebih dari 5.000 siswa di Amerika Serikat, Hongkong, dan Jepang, kelas 5 hingga 12, menunjukkan kecenderungan belajar berikut: Visual sebanyak 29%, Auditori sebanyak 34%, dan Kinestetik sebanyak 37%. Namun, pada saat mereka mencapai usia dewasa, kelebihsukaan pada gaya belajar visual ternyata lebih mendominasi, menurut Lynn OBrien, Direktur Studi Diagnostik Spesifik Rickville, Maryland, yang melakukan studi tersebut. Ada sebuah ilustrasi menarik tentang praktik pembelajaran yang diselenggarakan dengan pendekatan multiple intelligences. Ada air dalam cangkir besar yang akan dituangkan dalam 10 botol. Dan, bentuk botolnya pun berbeda-beda. Tidak sama antara satu dengan yang lain. Tetapi, air yang dituangkan ternyata dapat memenuhi bentuk botol yang bermacam-macam itu karena, salah satu sifat air adalah cair, yakni dapat menyesuaikan dengan bentuk yang dialiri. Intinya, ketika air tadi di dalam cangkir, maka bentuk air adalah seperti cangkir. Namun, ketika dituangkan dalam 10 botol yang berbeda, maka diperoleh 10 model bentuk air yang berbedabeda. Nah, bagaimana dalam proses pembelajaran. Tantangan bagi seorang guru adalah bagaimana guru dapat membuat bentuk ilmu pengetahuan atau informasi yang mau ditransfer ke siswa itu sesuai dengan bentuk masing-masing individu siswa. Jika bentuk yang ditransfer sudah sesuai dengan bentuk masing-masing siswa, maka secara otomatis akan dapat masuk ke dalam masigmasing siswa. Dengan kata lain, gaya mengajar guru harus menyesuaikan dengan gaya belajar siswa. Bukan sebaliknya, gaya belajar siswa harus menyesuaikan dengan gaya mengajar guru. Memang, dengan menerapkan pembelajaran berbasis multiple intelligences ini guru akan dibuat

dalam posisi yang sulit. Artinya, tugas seorang guru menjadi berat dan berat. Dan, memang inilah keharusan yang menurut penulis merupakan suatu keniscayaan, jika kita ingin para siswa nantinya akan menjadi manusia pebelajar sejati. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mungkin kita dapat menerapkan pembelajaran berbasis multiple intelligences jika dalam suatu kelas terdapat beragam model belajar yang dimiliki siswa? Untuk keefektifan dalam praktiknya di lapangan, memang pembelajaran yang diselenggarakan berbasis multiple intelligences ini lebih cocok jika diterapkan dalam sistem pembelejaran yang menggunakan sistem kelompok, bukan klasikal. Dan, akan lebih sesuai lagi jika pembelajarannya menggunakan pendekatan personal. Sehingga guru benar-benar akan dapat menggali apa saja yang menjadikeunggulan siswa. Dan, pada akhirnya sekolah akan menghargai masing-masing kelebihan dan keunggulan siswa. Artinya, sekolah tidak lagi membatasi peringkat hanya 1-3, atau hanya sepuluh besar. Tetapi, semua siswa layak menjadi juara, mereka akan mendapat peringkat sesuai dengan bidang kemampuannya masing-masing. Guru harus dapat meyakinkan kepada siswa, bahwa si A juara di bidang ini, si B juara di bidang itu, si C ahli bidang ini, si D mahir di bidang itu, dan seterusnya.

Membangun Pembelajaran Berbasis Gaya Belajar Siswa


Dipublikasikan oleh STKIP Blog on 10 July, 2009 Belum ada komentar Postingan ini masuk kategori [ Artikel Ilmiah ] Berikut ini artikel bagian kedua dari orasi ilmiah yang disampaikan Prof.H.M. Iim Wasliman, DR.,MPd, MSi dalam Acara Wisuda STKIP Persis tahun Akademik 2007-2008 di Hotel Grand Pasundan Bandung, dengan tema Upaya Meningkatkan Proses Pembelajaran yang Efektif dalam Rangka Membangun Mutu Pendidikan II. MEMBANGUN PEMBELAJARAN BERBASIS GAYA BELAJAR SISWA 1. Gaya Belajar Siswa Setiap manusia (anak) memiliki gaya belajar yang unik. Setiap manusia memiliki kekuatan tersendiri Gaya belajar anak itu khas, sebagaimana tanda tangan. Tidak ada gaya belajar yang lebih baik atau lebih buruk dari pada yang lain. 2. Gaya Belajar Orang Orang Terkenal 1. Albert Einstein (ilmuwan): Suka melamun, Guru-gurunya di Jerman mengatakan tak akan pernah berhasil jadi apapun. Pertanyaan Einstein dianggap merusak suasana, lebih

2.

3.

4. 5. 6. 7. 8. 9.

baik jika ia tidak datang ke sekolah. Akhirnya ia berusaha, berjuang sehingga menjadi ilmuwan terbesar sepanjang sejarah. Winston Churchill: Lemah dalam belajar, gugup jika berbicara, dan agak gagap dan cadel. Namun dengan kegigihannya ternyata menjadi seorang pemimpin dan orator terbesar abad ini. Thomas Alva Edison: Sering dihukum di sekolah, dianggap nakal, kalau bertanya dianggap melecehkan guru, dan dikeluarkan dari sekolah. Ibunya mendidik di rumah dengan model pembelajaran yang waktu itu dianggap aneh. Belajar adalah sesuatu yang menyenangkan. Dia membuat permainan untuk mengajar Edison, dia sebut explorasi dunia pengetahuan menjadi sesuatu yang mengasyikan. Sang anak mula-mula kaget, namun kemudian menjadi bergairah, selanjutnya dia mulai belajar dengan cepat dan ibunya tidak perlu mengajarinya lagi. Bahkan dia terus mengeksplorasi, bereksperimen dan oto didak. Pablo Picasso, Apandi (Pelukia besar) William Shakespeare, HAMKA, (penulis, pengarang) Joe Louis, Babe Ruth, Rudi Hartono ( Olah ragawan), Enrico Caruso, Titik Puspa ( Penyanyi) Anna Pavlopa, Irrawati Durban (Penari) Katherine Hepburn, Deddy Mizwar (Aktris/actor) dan Jutaan lainnya.

Mereka semua memiliki gaya belajar khas yang tidak sesuai dengan gaya sekolah mereka. Dan ketidak sesuaian itu terus berlanjut sampai sekarang pada jutaan anak lain. Hal ini sebagai kegagalan sekolah, yang pada umumnya sekolah kita diselenggarakan dengan asumsi setiap orang itu identik. Lebih buruk lagi, semua sekolah kebanyakan diselenggarakan dengan sebuah system evaluasi / ujian yang menghargai hanya sejumlah kecil kemampuan. Penghargaan pada usia dini sering memisahkan yang dinyatakan berbakat dan cerdas dari mereka yang dianggap kurang cerdas dan tidak berprestasi. Kita menganggap kecerdasan itu konstan sejak lahir. Padahal kecerdasan itu tidak konstan. Kecerdasan memiliki iaramanya masing-masing. Lebih baik menganut paham: Setiap orang memiliki prestasi berbagai Kecerdasan yang disebut kecerdasan bawaan. 3.Kecerdasan Majemuk dan Membelajarkannya a. Kecerdasan Linguistik 1) Lazim dijumpai pada: Novelis, penyair, penulis, orator, editor, dan jurnalis. 2)Figur terkenal: Winston Churchil, Hamka, St Taqdir Alisyahbana, Aam Amelia.

3) Ciri Yang menonjol: - Teratur berpegang pada pola - Sistematis Suka mendengarkan - Suka membaca Suka menulis - Mengeja dengan mudah Suka permainan kata - Punya ingatan yg tajam Berdebat/ berargumentasi. 4) Cara Mudah Dalam Belajar: - Bercerita Bermain permainan ingatan (nama-nama) - Baca cerita, lelucon Tulis cerita, lelucon - Wawancara Lakukan permainan kosakata - Kerjakan teka- teki Debat, diskusi - Mengedit, memeriksa naskah- Majalah dinding. b. Kecerdasan Matematis logis 1). Lazim dijumpai pada: Ahli matematika, ilmuwan, pengacara, akuntan. 2). Figur terkenal: Habibi, Emil Salim, Adnan Buyung Nasution 3). Ciri yang menonjol: - Suka berpikir abstrak Suka pada ketepatan - Sangat suka berhitung Suka keadaan teratur - Sangat suka computer Mencatat secara teratur - Sangat suka memecahkan soal -Suka bereksperimen 4). Cara Mudah Dalam Belajar: - Rangsang dengan pemecahan masalah -Gunakan logika - Lakukan permainan berhitung -Berfikir deduktif - Analisis dan tafsirkan data -Gunakan prediksi - Beri eksperimen praktis Dorong kekuatan diri -Kesempatan pecahkan soal -Perkenalkan komputer dini c. Kecerdasan Visual spasial 1). Lazim dimiliki oleh :Arsitek, pelukis, pemahat, navigator, pemain catur, ahli fisika 2). Figur terkenal: Pablo Picasso, Apandi, Jehan, Bung Karno 3). Ciri yang Menonjol: -Berpikir dengan gambar -Memiliki indra warna yg hebat - Menggunakan metafora Memiliki indra konfiguratif

- Suka seni:Menggambar,memahat,Melukis - Mengingat berdasarkan gambar - Mudah membaca peta, grafik,diagram - Kuat dalam membayangkan 4). Cara mudah dalam belajar: - Gunakan gambar untuk belajar Buat coretan, symbol -Padukan seni dg mt pelajaran lain -Gambar diagram, peta, denah -Gunakan pemetaan pikiran -Lakukan visualisasi -Belajar pakai VCD, film, video -Gunakan mimic -Buat pengelompokan -Tandai dg warna d. Kecerdasan Musikal 1). Lazim dijumpai pada: Pemain sandiwara, penggubah lagu, penyanyi, penata musik, penikmat musik, pemain piano, dsb 2). Figur terkenal: Mozart, Bu Kasur, Simanjuntak, Bing Slamet 3). Ciri-ciri yang menonjol: - Sensitif terhadap nada, Minat spiritual, Apresiatif seni. 4). Cara mudah dalam belajar: -Bermain alat musik, Belajar diiringi musik, Paduan suara, -Menulis musik,Ubah suasana hati dg musik e. Kecerdasan Kinestetik 1). Lazim dijumpai pada: Penari, actor, atlet, juara OR, Penemu, Ahli bedah 2). Figur Terkenal: Michael Jordan, Rudi Hartono, Taufik Hidayat 3). Ciri-ciri yg menonjol: - Daya kontrol tubuh baik, Respon yg terlatih, suka menyentuh, suka bermain 4). Cara Mudah dlm belajar: - Gunakan latihan fisik, tarian utk belajar, gerak untuk belajar, Drama, bermain peran, bertepuk, meloncat. f. Kecerdasan Interpersonal atau kecerdasan sosial 1). Lazim dijumpai pada: Politisi, guru, pemimpin religius, Penasihat

2). Sosok terkenal: Muhammad Surya, Aa Gym, Zaenuddin MZ, Sarpingi 3). Ciri-ciri yg menonjol: - Mahir berhubungan dg orang lain, Nikmat berada di tengah orang 4). Cara mudah dlm belajar: - Belajar bersama,beri kebebasan berkomunikasi, bekerja dalam tim, berpasangan dlm belajar, ajari orang lain, padukan sosialisasi g. Kecerdasan Intrapersonal atau kecerdasan Intuitif 1). Lazim dijumpai pada: Novelis, penasehat, filosof, guru, mistikus, org tua bijak, pemuka agama 2). Figur terkenal: Plato, Socrates, Bung Hatta, Rendra, Mohammad Syafei, Ki Hajar Dewantoro 3). Ciri yg menonjol: - Sadar diri, sensitif akan nialai diri, memiliki kemampuan intuitif, sadar kekuatan dan kelemahan diri, suka menyendiri, motivasi diri 4). Cara mudah dalam Belajar: - Pembicaraan dari hati ke hati, tanya jawab, ajarkan bertanya, beri kebebasan untuk berbeda, beri waktu untuk refleksi diri, 4. Bagaimana Siswa Menyerap Informasi a. Hanya 30 % siswa mengingat dari yg mereka dengar selama periode kelas normal. b. Hanya 40 % dari apa yg mereka baca atau lihat, baik berupa teks atau gambar c. Hanya 15 % melalui bantuan taktual, berupa bahan-bahan, kegiatan menulis, dan menggambar.. d. Hanya 15 % melalui kegiatan yang bersifat kinestetik, belajar dengan tindakan fisik, dan terlibat dalam pengalaman nyata
Peranan Multimedia dalam Pembelajaran dan Gaya Belajar Siswa
Artikel ini me-review laporan hasil suatu penelitian yang dilakukan oleh Beacham dkk, (Beacham, N. A., Elliott, A. C., Alty, J. L., Al-Sharrah, A., dalam Media Combinations and Learning Styles: A Dual Coding Approach, Association for the Advancement of Computing in Education (AACE), 2002), yang tujuannya untuk mengetahui apakah perpaduan beberapa jenis media akan meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran yang berbasis komputer. Selain itu, penelitian yang dilaporkan ini juga digunakan untuk mengetahui apakah gaya belajar siswa berpengaruh pada tingkat pemahaman siswa terhadap perpaduan beberapa jenis media ini. Perpaduan

beberapa jenis media yang dilakukan telah mempertimbangakan dual coding theory, yang menyatakan bahwa informasi diproses melalui dua channel yang independent, yaitu channel verbal dan visual. Hasil penelitian mengindikasikan adanya peningkatan pemahaman siswa ketika materi pembelajaran disajikan menggunakan suara dan diagram. Pemahaman berkurang ketika materi pembelajaran disajikan melalui teks dan diagram. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa suara dan diagram dapat meningkatkan pemahaman siswa terlepas dari learning style yang lebih disukai siswa, dan siswa yang gaya belajarnya intuitive cenderung memiliki tingkat pemahaman lebih baik. Landasan TeoriBerdasarkan berbagai hasil penelitian, diyakini bahwa suatu materi pembelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga mengakomodasi tipe pembelajar, dan gaya belajar, bukan hanya menunjukkan gaya mengajar instrukturnya. Salah satu metode yang efektif untuk mencapai hal ini adalah melalui penggunaan berbagai media yang disesuaikan dengan gaya belajar si pembelajar. Salah satu teori yang menjadi dasar dari pemikiran ini adalah dual coding theory yang dikemukakan oleh Paivio (1971).

Menurut dual coding theory, informasi diproses melalui dua channel yang independent, yaitu channel verbal seperti teks dan suara, dan channel visual seperti diagram, animasi, dan gambar. Penelitian lebih lanjut berkaitan dengan dual coding theory yang dilakukan oleh Paivio, Bagget (1989), dan Kozma (1991) mengindikasikan bahwa dengan memilih perpaduan media yang sesuai, hasil belajar dari seseorang dapat ditingkatkan. Sebagai contoh, informasi yang menggunakan kata-kata (verbal) dan ilustrasi visual yang relevan memiliki kecenderungan lebih mudah dipelajari dan dipahami daripada informasi yang menggunakan teks saja, suara saja, perpaduan teks dan suara, atau ilustrasi saja. Sejumlah penting prinsip dan tips untuk mengembangkan bahan-bahan ajar berbasis komputer telah dirumuskan berdasarkan dual coding theory ini. Terlebih lagi, meskipun sudah berumur lebih dari 30 tahun, teori ini tetap relevan dengan perkembangan teknologi dan inovasi dalam bidang pendidikan. Meskipun banyak penelitian yang telah dilakukan sampai saat ini, diperlukan lebih banyak lagi penelitian untuk lebih meyakinkan pengaruh informasi multimedia dalam belajar siswa unruk berbagai learning style yang berbeda. Banyak penelitian yang sudah dilakukan mengenai dual coding theory untuk mempelajari pengaruh informasi multimedia pada pembelajar visual dan verbal, tetapi masih sedikit yang mempelajari pengaruhnya pada pembelajar tipe lain, seperti pembelajar bergaya sensorik, intuitif, sequential, global, aktif, dan reflektif. Penelitian yang dilaporkan dalam artikel ini mencoba mempelajari pengaruh informasi multimedia pada siswa dengan gaya belajar intuitif dan sensorik, yang kemudian dibandingkan dengan siswa bertipe verbal dan visual. Tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan: - Dapatkah perpaduan media yang berbeda meningkatkan pemahaman siswa - Adakah perbedaan pengaruh perpaduan media ini pada siswa dengan gaya belajar yang berbeda? Penelitian ini dianggap penting karena hasilnya diharapkan dapat membantu para penulis materi multimedia untuk memilih perpaduan media yang tepat disesuaikan dengan semua tipe gaya belajar ketika mendesain pembelajaran berbasis komputer. EksperimenDalam penelitian ini, sebanyak 44 siswa (umur 20 24 tahun) dibagi ke dalam 3 kelompok secara acak, masing-masing beranggotakan 13, 14, dan 17 siswa. Kepada tiap kelompok diberikan bahan ajar berbasis komputer yang memiliki perpaduan media yang berbeda. Kelompok 1 : bahan ajar yang memadukan teks dan diagram Kelompok 2 : bahan ajar yang hanya berupa teks Kelompok 3 : bahan ajar yang memadukan suara dan diagram

Bahan ajar dibuat dengan program Macromedia Flash 5 untuk materi pemanfaatan statistik dalam menguji eksperimen (Null Hypothesis and Significance). Materi ini dipilih karena diyakini banyak siswa yang belum memiliki pengetahuan awal sebelumnya tentang materi ini, dan kalau pun siswa telah memiliki pengetahuan awal, mereka tetap menganggap materi ini sulit dipahami. Durasi tiap bahan ajar sama, yaitu 12 menit. Bahan ajar dipresentasikan melalui laptop ke proyektor. Sebelum bahan ajar disampaikan, para siswa ditest lebih dulu mengenai pengenalan atau pengetahuan awal mereka tentang bahan ajar yang akan dipelajari, yaitu tentang null hyphothesis dan significance. Para siswa juga diminta untuk mengisi learning style inventory berdasarkan pada Model Felder-Silverman, yang akan digunakan untuk mengetahui gaya belajar yang mereka miliki. Setelah gaya belajar setiap siswa diketahui, maka diaturlah pengelompokan para siswa ini ke dalam kelompok-kelompok sedemikian rupa sehingga dalam tiap kelompok terdapat berbagai siswa dengan gaya belajar yang berbeda secara proporsional, terutama untuk gaya belajar sensorik dan intuitif. Setelah bahan ajar diberikan dalam durasi waktu yang sama, kepada para siswa dalam tiap kelompok diberikan posttest yang berisi 10 pertanyaan menyangkut materi bahan ajar yang telah disampaikan. Dalam tiap nomor pertanyaan, ditanyakan juga apakah mereka telah mengetahui jawabannya sebelum mengikuti presentasi bahan ajar, apakah presentasi bahan ajar membantu mereka menemukan atau me-recall jawabannya, ataukah mereka belum tahu jawabannya sebelum mengikuti presentasi. Hasil EksperimenHasil eksperimen ditampilkan melalui diagram batang seperti pada Figure 2. Tampak bahwa pengetahuan awal yang dimiliki siswa tentang null hyphothesis dalam Kelompok 1 (teks dan diagram) sebesar 53.8%, Kelompok 2 (teks saja) sebesar 14.3%, dan Kelompok 3 (suara dan diagram) sebesar 29.4%. Sementara pengetahuan awal yang dimiliki siswa tentang significance&rdquo ; dalam Kelompok 1 (teks dan diagram) sebesar 61.5%, Kelompok 2 (teks saja) sebesar 35.7%, dan Kelompok 3 (suara dan diagram) sebesar 35.3%. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebagian besar siswa tidak memiliki pengetahuan awal tentang materi bahan ajar. Dilihat berdasarkan rata-rata hasil post-test, tampak bahwa Kelompok 3 (suara dan diagram) cenderung memiliki nilai tertinggi, diikuti oleh Kelompok 2 (teks aja). Siswa-siswa dalam Kelompok 1 (teks dan diagram) cenderung memiliki nilai yang rendah. Hal yang menarik adalah bahwa sebenarnya Kelompok 1 ini memiliki pengetahuan awal tentang materi bahan ajar yang lebih tinggi dibandingkan dua kelompok lain, tetapi mereka ternyata memiliki hasil post-test yang paling rendah.

Dalam penelitian ini diketahui bahwa secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara nilai pembelajar sensorik, nilai pembelajar intuitif, dan nilai pembelajar seimbang (seimbang antara sensorik dan intuitif, atau gabungan). Namun demikian, ada kecenderungan bahwa nilai pembelajar sensorik lebih tinggi dibandingkan nilai pembelajar intuitif. Nilai tertinggi diperoleh oleh kelompok pembelajar seimbang. Hasil ini mendukung sejumlah teori belajar yang menyatakan bahwa tidak ada gaya belajar tunggal yang lebih baik satu di antara yang lain, melainkan bahwa gaya pembelajar seimbang akan menunjukkan kinerja yang lebih baik.

Pada Figure 3 ditunjukkan perbedaan nilai di antara gaya belajar untuk perpaduan media yang berbeda. Untuk gaya belajar tertentu, perbedaan nilainya lebih nyata. Namun demikian, jika pasangan gaya belajar tersebut dibandingkan (sensorik-intuitif, sequential-global, aktif-reflektif), salah satu di antara keduanya selalu menunjukkan kecenderungan lebih terpengaruh oleh perubahan media daripada yang lainnya. Padapasangan sensorik-intuitif misalnya, terdapat perbedaan nilai yang signifikan pada pembelajar intuitif untuk masing-masing perpaduan media, tetapi tidak untuk pembelajar sensorik. Yang menarik, pembelajar intuitif mendapat nilai tertinggi ketika ditunjukkan pada perpaduan media suara dan diagram, tetapi mendapat nilai terendah ketika ditunjukkan pada perpaduan media teks dan diagram.

Dua hasil utama yang diperoleh dalam penelitian ini adalah: pertama, perpaduan media berbeda yang digunakan untuk menyajikan bahan ajar kepada siswa akan berpengaruh kepada pemahaman siswa. Hasil kedua, para siswa yang memiliki gaya belajar berbeda menunjukkan kinerja yang berbeda untuk setiap perpaduan media berbeda. Kedua hasil penelitian ini mendukung beberapa gagasan dalam dual coding theory. Hasil penelitian ini menyatakan kepada kita bahwa ketika informasi disajikan melalui perpaduan verbal dan visual, kita akan mengingat informasi tersebut lebih banyak dibandingkan ketika informasi tersebut disajikan melalui teks saja. Namun demikian, hasil penelitian ini juga menemukan kasus di mana perpaduan verbal dan visual dapat menyebabkan seseorang mengingat lebih sedikit dibandingkan dengan ketika hanya menggunakan teks, yaitu pada kasus teks dan diagram. Alasan untuk kasus ini barangkali adalah karena teks dan diagram dipadukan, sehingga perhatian seseorang akan terpecah (sesuai dengan cognitive load theory). Penelitian ini juga menghasilkan penemuan bahwa siswa dengan gaya belajar tertentu memiliki nilai test yang lebih tinggi dibandingkan siswa lain dengan gaya belajar berbeda dalam masing-masing kelompok (pada perpaduan media yang sama). Hal ini boleh jadi disebabkan siswa dengan gaya belajar tertentu merasa lebih cocok dengan perpaduan media tertentu pula, misalnya pembelajar sensorik lebih tertarik dengan model presentasi dibandingkan dengan pembelajar intuitif. Pembelajar sensorik lebih tertarik kepada informasi yang disajikan dalam presentasi, sementara pembelajar intuitif lebih tertarik untuk menemukan hubungan antar-elemen informasi. Akibatnya, pembelajar intuitif tidak punya waktu yang cukup untuk mengaktifkan jenis processing yang diharapkan. Alasan lain dapat dikemukakan misalnya, pembelajar sensorik menggunakan strategi surface learning sementara pembelajar intuitif menggunakan strategi deep learning. Aplikasi PraktisAda beberapa aplikasi praktis yang dapat dilakukan berkaitan dengan hasil yang diperoleh melalui penelitian ini. Dari hasil bahwa perpaduan suara dan diagram memiliki efektivitas yang tinggi, maka sebaiknya dalam mengembangkan bahan ajar berbasis komputer, guru dan sekolah memperhatikan aspek ini. Di samping itu, dalam melaksanakan program pembelajaran di kelas, sebaiknya guru juga mempertimbangan perpaduan media ini. Artinya, jangan sampai di dalam kelas seorang guru cenderung hanya menulis di papan tulis saja, berbicara saja, tetapi harus

berupaya memadukan berbagai media, yaitu teks/tulisan, percakapan, gambar dan diagram (misalnya melalui LCD/Proyektor, komputer, televisi, atau media alam langsung). 1. Bagi penulis buku, penerbit, dan berbagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, sebaiknya mengembangkan bahan ajar atau media yang memadukan berbagai media sebagaimana dalam penelitian ini. Dalam buku misalnya, sebaiknya sebuah buku tidak hanya merupakan kumpulan teks, tetapi juga harus dipadukan dengan gambar/diagram. Bagaimana memadukan media suara ke dalam buku? Saat ini di luar negeri sudah banyak beredar buku yang dilengkapi dengan CD-ROM. Oleh karena itu, tidak salah rasanya jika bukubuku di Indonesia juga dilengkapi dengan perangkat multimedia ini. 2. Dalam penelitian ini juga diperkuat pendapat bahwa tidak ada suatu gaya belajar yang terbaik. Oleh karena itu, semua gaya belajar siswa harus bisa diakomodasi dan diperhatikan oleh guru di sekolah, oleh penulis buku (selama ini penulis buku menulis buku sesuai gayanya sendiri, jarang mempertimbangkan gaya belajar pembacanya), dan pengembang perangkat multimedia pendidikan lainnya. KesimpulanHasil penelitian ini tidak saja mendukung dual coding theory, tetapi juga menemukan bahwa pemahaman siswa akan meningkat ketika bahan ajarnya disajikan dalam perpaduan suara dan diagram. Di samping itu, pemahaman siswa dengan gaya belajar tertentu juga meningkat dibandingkan dengan siswa dengan gaya belajar lain untuk perpaduan media yang sama. Jika pemilihan perpaduan media tidak tepat, apapun gaya belajarnya, siswa tidak akan dapat menunjukkan kinerja yang maksimal. Hasil penemuan ini bermanfaat untuk mendesain bahan ajar yang berbasis komputer (termasuk internet dan mobile learning environment).

Gaya belajar siswa


Oktober 30, 2008 oleh RIANA DWI PUSPITAWATI

Gaya Belajar yang kita miliki


Masing masing orang mempunyai gaya dan kebiasaan belajar yang berbeda-beda. Bila kita paham gaya kita, boleh jadi kita lebih pintar dari seharusnya.

Lain ladang, lain ikannya. Lain orang, lain pula gaya belajarnya. Pepatah di atas memang pas untuk menjelaskan fenomena bahwa tak semua orang punya gaya belajar yang sama. Pun bila mereka bersekolah di sekolah atau bahkan duduk di kelas yang sama.

Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti berbeda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang dan ada pula yang sangat lambat. Karenanya, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama.

Sebagian siswa lebih suka guru mereka mengajar dengan cara menuliskan segalanya di papan tulis. Dengan begitu mereka bisa membaca untuk kemudian mencoba memahaminya. Tapi, sebagian siswa lain lebih suka guru mereka mengajar dengan cara menyampaikannya secara lisan dan mereka mendengarkan untuk bisa memahaminya. Sementara itu, ada siswa yang lebih suka membentuk kelompok kecil untuk mendiskusikan pertanyaan yang menyangkut pelajaran tersebut. Cara lain yang juga kerap disukai banyak siswa adalah model belajar yang menempatkan guru tak ubahnya seorang penceramah. Guru diharapkan bercerita panjang lebar tentang beragam teori dengan segudang ilustrasinya, sementara para siswa mendengarkan sambil menggambarkan isi ceramah itu dalam bentuk yang hanya mereka pahami sendiri. Apa pun cara yang dipilih, perbedaaan gaya belajar itu menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagia setiap individu bisa menyerap sebuah informasi dari luar dirinya. Karenanya, jika kita bisa memahami bagaimana perbedaan gaya belajar setiap orang itu, mungkin akan lebih mudah bagi kita jika suatu ketika, misalnya, kita harus memandu seseorang untuk mendapatkan gaya belajar yang tepat dan memberikan hasil yang maksimal bagi dirinya. Tentu saja, sebelum kita sendiri mengajarkannya pada orang lain, langkah terbaik adalah mengenali gaya belajar kita sendiri. Pertimbangan ini yang seringkali kita lupakan. Dengan kata lain, kita sendiri harus merasakan pengalaman mendapatkan gaya belajar yang tepat bagi diri sendiri, sebelum menularkannya pada orang lain. Ada banyak alasan dan keuntungan yang bisa kita dapatkan bila kita mampu memahami ragam gaya belajar, termasuk gaya kita sendiri. Kalangan tua, biasanya menyerap banyak pengetahuan tentang gaya belajar, berdasarkan pengalaman yang telah mereka lewati. Misalnya, mereka pernah bekerja, menjalani latihan militer, mendidik dan membimbing anak, dan sebagainya. Rangkaian pengalaman yang mereka lewati itu, sesungguhnya, adalah bagian dari cara mereka mendapatkan pelajaran berarti yang mungkin bisa kita serap untuk melihat seperti apa sebetulnya gaya belajar yang tepat bagi kita. Apa pun gaya yang akan kita pilih dan ikuti, hal terpenting yang tak boleh dilupakan: lakukan apa yang memang akan bermanfaat bagi Anda! Ada beberapa tipe gaya belajar yang bisa kita cermati dan mungkin kita ikuti bila memang kita merasa cocok dengan gaya itu. Pertama, Gaya Belajar Visual (Visual Learners). Gaya belajar seperti ini menjelaskan bahwa kita harus melihat dulu buktinya untuk kemudian bisa mempercayainya. Ada beberapa karakteristik yang khas bagai orang-orang yang menyukai gaya belajar visual ini. Pertama adalah kebutuhan melihat sesuatu (informasi/pelajaran) secara visual untuk mengetahuinya atau memahaminya, kedua memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, ketiga memiliki pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik, keempat memiliki kesulitan dalam berdialog secara langsung, kelima terlalu reaktif terhadap suara, keenam sulit mengikuti anjuran secara lisan, ketujuh seringkali salah menginterpretasikan kata atau ucapan. Untuk mengatasi ragam masalah di atas, ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan, sehingga belajar tetap bisa dilakukan dengan memberikan hasil yang menggembirakan. Pertama adalah

menggunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi atau materi pelajaran. Perangkat grafis itu bisa berupa film, slide, gambar ilustrasi, coretan-coretan, kartu bergambar, catatan dan kartu-kartu gambar berseri yang bisa digunakan untuk menjelaskan suatu informasi secara berurutan. Gaya belajar kedua disebut Auditory Learners atau gaya belajar yang mengandalkan pada pendengaran untuk bisa memahami dan mengingatnya. Karakteristik model belajar seperti ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, kita harus mendengar, baru kemudian kita bisa mengingat dan memahami informasi itu. Karakter pertama orang yang memiliki gaya belajar ini adalah semua informasi hanya bisa diserap melalui pendengaran, kedua memiliki kesulitan untuk menyerap informasi dalam bentuk tulisan secara langsung, ketiga memiliki kesulitan menulis ataupun membaca. Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan untuk belajar bila kita termasuk orang yang memiliki kesulitan-kesulitan belajar seperti di atas. Pertama adalah menggunakan tape perekam sebagai alat bantu. Alat ini digunakan untuk merekam bacaan atau catatan yang dibacakan atau ceramah pengajar di depan kelas untuk kemudian didengarkan kembali. Pendekatan kedua yang bisa dilakukan adalah dengan wawancara atau terlibat dalam kelompok diskusi. Sedang pendekatan ketiga adalah dengan mencoba membaca informasi, kemudian diringkas dalam bentuk lisan dan direkam untuk kemudian didengarkan dan dipahami. Langkah terakhir adalah dengan melakukan review secara verbal dengan teman atau pengajar. Gaya belajar lain yang juga unik adalah yang disebut Tactual Learners atau kita harus menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar kita bisa mengingatnya. Tentu saja, ada beberapa karekteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa melakukannya. Pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar kita bisa terus mengingatnya. Kedua, hanya dengan memegang kita bisa menyerap informasinya tanpa harus membaca penjelasannya. Karakter ketiga adalah kita termasuk orang yang tidak bisa/tahan duduk terlalu lama untuk mendengarkan pelajaran. Keempat, kita merasa bisa belajar lebih baik bila disertai dengan kegiatan fisik. Karakter terakhir, orang-orang yang memiliki gaya belajar ini memiliki kemampuan mengkoordinasikan sebuah tim dan kemampuan mengendalikan gerak tubuh (athletic ability). Untuk orang-orang yang memiliki karakteristik seperti di atas, pendekatan belajar yang mungkin bisa dilakukan adalah belajar berdasarkan atau melalui pengalaman dengan menggunakan berbagai model atau peraga, bekerja di laboratorium atau bermain sambil belajar. Cara lain yang juga bisa digunakan adalah secara tetap membuat jeda di tengah waktu belajar. Tak jarang, orang yang cenderung memiliki karakter Tactual Learner juga akan lebih mudah menyerap dan memahami informasi dengan cara menjiplak gambar atau kata untuk belajar mengucapkannya atau memahami fakta. Penggunaan komputer bagi orang-orang yang memiliki karakter Tactual Learner akan sangat membantu. Karena, dengan komputer ia bisa terlibat aktif dalam melakukan touch, sekaligus menyerap informasi dalam bentuk gambar dan tulisan. Selain itu, agar belajar menjadi efektif dan berarti, orang-orang dengan karakter di atas disarankan untuk menguji memori ingatan

dengan cara melihat langsung fakta di lapangan. (sumber : http://www.tempo.co.id/edunet/ ; meiky/berbagai sumber)

KARAKTERISTIK BELAJAR SISWA Oleh Agus Priyatmono,S.Pd *)

Seorang guru dituntut memiliki minimal dua kompetensi yang digunakan dalam proses pembelajaran. Kompetensi tersebut adalah kompetensi yang bersifat administrasi dan non administrasi. Kompetensi yang bersifat administrasi digunakan untuk kontrol dalam proses pembelajaran, membantu guru pengganti dan menambah nilai angka kredit. Sedangkan kompetensi yang bersifat non administrasi sebenarnya yang lebih penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran dan lebih dominan. Di antaranya adalah keterampilan mengetahui karakteristik belajar siswa. Memang dalam sistem pembelajaran ada program remidial dan pengayaan untuk perbaikan dan peningkatan prestasi siswa. Namun program tersebut tidak akan berjalan lancar bila hanya semata-mata menjalankan program saja tanpa melihat keheterogenan siswa.

Terkadang guru sering salah paham dengan siswa berkenaan dengan gaya belajar mereka. Seorang guru terkadang marah bila ada seorang siswa yang kurang memperhatikan pelajaran yang sedang disampaikan. Atau guru dengan mudahnya memvonis seseorang siswa itu pandai atau bodoh. Atau siswa itu rajin atau malas dalam belajarnya. Barangkali itu terjadi karena ketidaktahuan guru dengan keheterogenan dari karakteristik belajar siswa. Barangkali kita kenal dengan Albert Einstein, ia dicap oleh gurunya sebagai siswa yang idiot ternyata bersamaan waktu berjalan beliau tercatat dalam sejarah sebagai seorangan fisikawan terbesar abad 20 .Dalam buku Quantum Learning atau Quantum Teaching (diterjemahkan oleh Penerbit Kaifa Bandung) dijelaskan tentang karakteristik belajar seseorang atau gaya belajar seseorang. Dalam buku tersebut diuraikan bahwa siswa memiliki tiga tipe

belajar atau kombinasi dari ketiganya yaitu tipe visual, tipe auditorial dan kinestetik. Ketiga tipe ini memiliki ciri khas dan penanganan khusus pula. Gaya belajar tipe visual adalah gaya belajar yang dominan mengandalkan visual. Ia memiliki ciri seperti : Berbicara dengan cepat Pengeja yang baik Teliti terhadap yang detail ketimbang dibacakan Mengingat apa yang dilihat daripada yang didengar Pelupa dalam menyampaikan pesan verbal singkat Senang terhadap seni daripada musik Sukar atau tidak pandai memilih kata-kata ketika berbicara Senang memperhatikan melalui demonstrasi daripada ceramah. Pembawaannya rapi dan teratur. Suka mengantuk bila mendengarkan penjelasan yang panjang lebar Penanganan belajarnya adalah dengan dibantu kombinasi peraga visual, gambar atau simbol-simbol. Gaya belajar tipe auditorial adalah gaya belajar yang dominan mengandalkan auditorial atau pendengaran. Ia memiliki ciri seperti : Berbicara dengan diri sendiri (Jw : gremengan) saat bekerja atau belajar Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban Pembaca cepat dan tekun, lebih suka membaca

Menggerakkan bibir mereka ketika membaca dan mendengarkan. Pandai dalam menyampaikan pesan verbal Dapat mengulangi dan meniru nada, birama atau warna suara tertentu ketika bercerita. Memiliki kesulitan ketika menulis tapi pandai bercerita dan fasih ketika berbicara Senang berdiskusi, berbicara dan menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar Lebih senang musik dari pada seni yang melibatkan visual Penanganan belajarnya adalah sering diajak diskusi atau menyampaikan sesuatu atau pendapatnya mengenai pelajaran. Gaya belajar tipe kinestetik adalah gaya belajar yang dominan praktek atau eksperimen atau yang dapat diujicoba sendiri. Ia memiliki ciri seperti : Berbicaranya dengan perlahan dan cermat Ketika berbicara dengan seseorang biasanya ia

menyentuh atau memegang orang yang diajak berbicara atau tangannya sibuk dengan memainkan sesuatu umpama pena. Berorientasi pada fisik dan banyak gerak Mengahafal sambil berjalan dan melihat Belajar melalui manipulasi atau praktik Senang berkreasi Banyak menggunakan isyarat tubuh Tidak dapat duduk diam dalam waktu yang lama

Kemungkinan besar tulisannya jelek Tertantang dengan suatu aktivitas yang menyibukkan dan selalu ingin mencoba atau bereksperimen sendiri. Senang dengan aktivitas fisik, olahraga atau kerja praktik Penanganan belajarnya adalah sering dibantu dengan melibatkan mereka dalam belajar secara langsung atau praktik. Khusus untuk tipe ini biasanya prestasi mereka di bawah rerata dan kompensasinya biasanya mereka agak sedikit sebagai pembuat keributan tetapi mereka menonjol di bidang seni/art, olahraga atau ketrampilan. Dengan mengetahui karakteristik belajar siswa ini guru akan dapat memberikan bekal kepada siswanya untuk dapat menghadapi perubahan cara atau pola belajar di tiap jenjang pendidikan. Siswa tidak akan mengalami shock study terhadap perubahan pola pembelajaran tersebut. Dan yang jelas dapat menangani keheterogenan cara belajar siswa. *)Kepala Sekolah Islam Terpadu Al Furqon Palembang; pernah dimuat di majalah pendidikan Dinas Pendidikan Kota Jogjakarta "TERATAI" no.8 edisi II tahun 2002 dan diedit ulang.

Kecerdasan Berbeda, Gaya Belajar Berbeda, mereka disamakan?


By tisna16 - Posted on 12 Agustus 2011 Konon di dunia binatang telah berlangsung musyawarah diantara binatang besar dibawah pimpinan raja rimba Singa. Mereka membicarakan rencana untuk mendirikan sekolah bagi para binatang kecil yang di dalamnya akan diajarkan mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali. Namun dalam musyawarah mereka tidak sepakat tentang subjek mana yang paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Jadi, setiap murid harus belajar memanjat, terbang, berlari, menggali dan berenang. Pada saat sekolah dibuka, para binatang kecil dari seluruh pelosok hutan sangat antusias untuk bersekolah. Seluruh murid bergairah menikmati segala kebaruan dan keceriaan. Sampai tibalah suatu hari yang mengubah keadaan sekolah itu.

Satu murid yang bernama kelinci sangat piawai berlari, namun ketika mengikuti kelas berenang dia hampir tenggelam. Dia berusaha untuk belajar berenang, namun selalu gagal, sehingga mengguncang batinnya. Karena sibuk belajar berenang, si Kelincipun tak pernah dapat lagi berlari secepat sebelumnya. Pada saat yang sama, murid lain yang bernama Elang mengalami kesulitan dalam pelajaran menggali. Elang yang terkenal pandai terbang, selalu gagal dalam pelajaran menggali, sehingga dia harus mengikuti les pelajaran menggali. Les itu menyita waktu sehingga ia melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat ia kuasai. Setiap hari kesulitan-kesulitan muncul dan melanda para binatang siswa sekolah. Setiap siswa sibuk memperbaiki pelajaran yang tidak ia kuasai sehingga mereka tidak punya kesempatan lagi untuk beprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing. Hal ini terjadi karena sekolah tidak menghargai sifat alami mereka. Dongeng di atas dikutip dari pengantar buku Sekolah Para Juara karya Thomas Amstrong (2000). Thomas Amstrong adalah pakar dan praktisi Kecerdasan Majemuk (Multiple Intellegencesi) yang ditemukan oleh Howard Gardner. Amstrong mengilustrasikan kemajemukan potensi setiap orang seperti kecerdasan alami yang dimiliki para binatang. Menurut Gardner setiap orang berbeda karena memiliki kombinasi kecedasan yang berlainan (1987). Lebih lanjut Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli di dalam kemampuan logis-matematis dan bahasa. Apresiasi sekolah diberikan kepada mereka yang memiliki kombinasi kemampuan itu dengan memberi label: murid pandai, bintang pelajar, juara kelas dan ranking tinggi pada setiap pembagian buku raport. Sementara untuk orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain kurang mendapat perhatian. Jarang sekali sekolah yang memberikan penghargaan pada siswa yang memiliki kemampuan misalnya olah raga, kepemimpinan, pelukis dan lain-lain. Saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang Learning Disabled atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logis-matematis dan bahasa. Gardner (1983) mengenalkan Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. Ada beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983)

yaitu: Linguistic Intelligence (Word Smart) Pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya. Logical Mathematical Intelligence (Number / Reasoning Smart) Anak-anak dengan kecerdasan logicalmathematical yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. Visual Spatial Intelligence (Picture Smart) Anak-anak dengan kecerdasan visual spatial yang tinggi cenderung berpikir secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery), sehingga cenderung imaginatif dan kreatif. Bodily Kinesthetic Intelligence (Body Smart) Anak-anak dengan kecerdasan bodily kinesthetic di atas rata-rata, senang bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya. Musical Intelligence (Music Smart) Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam sebuah komposisi musik. Interpersonal Intelligence (People Smart) Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang

baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama denganm orang lain. Intra personal Intelligence (Self Smart) Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan. Naturalist Intelligence (Nature Smart) Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang, pertumbuhan tanaman, dan tata surya. Tahun 1999 Gardner menemukan jenis kecerdasan baru, kecerdasan kesembilan dalam teorinya, yang ia namakan Existence Intelligence Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikapmempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, artikehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yangdihadapinya. Temuan Gardner menuntut semua orang untuk mengevaluasi kembali Paradigma Pendidikan yang diyakininya selama ini, khususnya dalam memandang kecerdasan seorang siswa dan proses pembelajaran yang harus dilakukan. Kita tidak dapat lagi memandang kecerdasan seseorang hanya dari satu atau dua jenis kecerdasan dan menafikan kecerdasan yang lain. Kita tidak dapat lagi mengklasifikasikan seorang siswa sebagai siswa cerdas dan siswa bodoh. Menurut Renee Fuller dalam Gordon Dryden (2000) jika kita ngotot ingin melihat kecerdasan dengan kacamata filter tunggal, banyak kecerdasan akan terselubung sama sekali. Setiap anak secara potensial pasti berbakat tetapi ia mewujudkan dengan cara yang berbeda-beda. Selain kecerdasan, setiap orangpun mempunyai gaya belajar, bekerja dan karakter yang unik. Pakar psikiatri Carl Jung pada tahun 1921 telah memetakan tipe orang berdasarkan cara pandangnya. Dia mengklasifikasikan menjadi empat tipe: perasa (feeler), pemikir (thinker), pelakon (sensor), dan yang mengandalkan intuisi (intuitor). (Dryden: 2000). Sementara Lloyd Geering mengklasifikasikannya menjadi: Pemikir ekstrovert, Pemikir introvert, Perasa ekstrovert, Perasa introvert, Pelakon ekstrovert, Pelakon Introvert, Intuitif ekstrovert, dan Intuitif introvert. (Dryden: 2000). Prof. Ken dan Rita Dunn dari Univ. St. Johns, New York dalam penelitiannya tentang bagaimana seseorang menyerap informasi menyimpulkan tiga gaya belajar yaitu: Visual, Auditorial dan Kinestetik. Meskipun kebanyakan orang memiliki akses ke ketiga gaya visual, auditorial, dan

kinestetik, hampir semua orang cenderung pada salah satu gaya belajar (Bandler dan Grindler, 1981) yang berperan sebagai saringan untuk pembelajaran, pemrosesan, dan komunikasi. Gaya visual mengakses citra visual, yang diciptakan maupun diingat. Seseorang dengan gaya visual memiliki ciri sebagai berikut :

Teratur, memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan Mengingat dengangambar, lebih suka membaca dari pada dibacakan Membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dan menangkap detail: mengingat apa yang dilihat.

Gaya Auditorial mengakses segala jenis bunyi dan kata diciptakan dan diingat. Ciri-ciri yang bergaya auditorial adalah:

Perhatiannya mudah terpecah Berbicara dengan pola berirama Belajar dengan cara mendengarkan, menggerakan bibir/bersuara saat membaca Berdialog secara internal dan eksternal

Gaya kinestetik mengakses segala jenis gerak dan emosi-diciptakan maupun diingat. Seseorang yang bergaya kinestetik mempunyai ciri-ciri:

Menyentuh orang dan berdiri berdekatan, banyak bergerak Belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan saat membaca, menanggapi secara fisik Mengingat sambil berjalan dan melihat.

(Booby dePorter, 1999) Menurut penelitian Dunn pelajar jenis kinestetis paling mengalami kesulitan di sekolah-sekolah tradisional. Sebagian besar mereka mengalami kegagalan dalam belajar karena sekolah-sekolah tradisional tidak mengakomodasi gaya belajar mereka. Sekolah tradisional pada umumnya melaksanakan proses pembelajaran secara visual dan auditorial, sementara pelajar kinestetik membutuhkan gerak, menyentuh, atau bertindak sehingga mereka merasa tidak terlibat, ditinggalkan dan bosan. Mereka tidak tahan duduk berjam-jam hanya untuk mendengarkan. Sebagian besar gurupun tidak memahami gaya alami mereka, sehingga mereka sering dicap siswa nakal, bermasalah, kesulitan belajar. Di dalam kelas mereka sering mendapat teguran dan kena marah guru karena dianggap tidak mau memperhatikan. Ketika mereka berusaha untuk mengikuti pelajaran dengan mencatat setiap kalimat yang diucapkan guru saat menjelaskan, mereka sering kena tegur karena dianggap tidak memperhatikan. Sebagian besar guru menginginkan siswanya duduk manis menyimak yang dia katakan saat menjelaskan. Fenomena saat ini banyak sekolah yang memanfaatkan LKS (lebih tepat kumpulan soal, karena sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai LKS), sangat menguntungkan siswa-siswa dengan gaya visual tetapi siswa-siswa gaya auditorial sangat tersiksa, sulit mengikuti pelajaran. Karena alasan itulah saya terpaksa memindahkan anak saya yang duduk di kelas II SD negeri menjadi turun kembali ke kelas I, ke Sekolah Alam Tangerang, sebuah sekolah yang mengakomodasi

semua gaya belajar. Anak saya gaya belajar dominannya Auditorial, namun di sekolahnya setiap hari hanya mengerjakan LKS sehingga dia tertekan dan kalau dibiarkan bisa mengalami Shutdown Learning (kebuntuan belajar), dan ini sangat fatal untuk masa depan belajrnya. Menurut Dryden ketidak sesuaian gaya sekolah dalam proses pembelajaran dengan gaya belajar siswanya telah menyebabkan kegagalan pada banyak anak dan menjadi penyebab terbesar kegagalan sekolah. Cara pandang sekolah yang mengasumsikan bahwa setiap siswa mempunyai gaya belajar yang sama dan mengklasifikasikan siswa sebagai siswa pintar dan siswa bodoh telah mengingkari fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya dan menjerumuskansebagian siswa pada kegagalan. Oleh karena itu merupakan kewajiban sekolah, guru dan orangtua untuk menemukan gaya belajar siswanya, menemukan jenis-jenis kecerdasannya dan mengakomodasi keragaman tersebut dalam proses pembelajaran serta mendorong seluruh kemampuan potensial mereka. Kebijakan pemerintah dengan memberlakukan kurikulum satuan pendidikan (KTSP), sebelumnyanya Kurikulim Berbasis Kompetensi (KBK), merupakan suatu kesadaran dari pemerintah akan keragaman siswa. Secara konsep dalam KTSP keunikan gaya belajar setiap siswa dan keragaman kecerdasan sangat memungkinkan untuk diakomodasi. Namun pada tataran implementasi sangat sulit untuk diimplementasikan karena terdapat hambatan-hambatan baik struktural maupun kultural. Hambatan struktural tingkat pusat adalah masih dipertahankannya kebijakan UN dalam KTSP dan di daerah masih banyak yang melaksanakan Ulangan Umum Bersama. Untuk menerapkan Kecerdasan Majemuk dibutuhkan sistem evaluasi belajar tersendiri yang sesuai dengan kecerdasan alami siswa, bukan seperti Uan dan Ulangan Umum Bersama. Hambatan kultural muncul dari sikap guru dan sekolah yang malas untuk berubah dan stagnan, alergi dengan pembaharuan serta malas berinovasi. Sementara untuk melayani gaya belajar yang berbeda dan mengoptimalkan kecerdasan setiap siswa dibutuhkan metoda pembelajaran yang berbeda dari metoda pembelajaran yang banyak digunakan saat ini. Dibutuhkan inovasi-inovasi dalam metoda dan strategi pembelajaran sehingga seluruh keunikan siswa terlayani. Ini membutuhkan kerja keras dan keikhlasan! Contoh kasus adalah bagaimana seorang Hellen Keller yang cacat buta dan bisu dapat menjadi seorang yang hebat, sesuatu yang tidak mungkin kalau belajar hanya mengandalkan satu kecerdasan saja. Daftar Pustaka: 1. 2. 3. 4. Thomas Amstrong, Sekolah Para Juara, Kaifa: 2000. Gordon Dryden & Jeannette Bvos, Revolusi Cara Belajar , Kaifa: 1999 Linda Campbell dkk., Pembelajaran Berbasis Multi Intelegensi., Intuisi Press: 2004 Bobbi DePorter dkk., Quantum Teaching., Kaifa: 1999

You might also like