You are on page 1of 2

SHOLAT JAMAK DI PEMUKIMAN Sholat jamak adalah mengampulkan pelaksanaan dua sholat dalam satu waktu baik dengan

didahulukan pelaksanaannya atau diakhirkan contohnya melaksanakan Sholat Asar dan Dhuhur di waktu sholat Dhuhur atau sebaliknya. Semua ulama sepakat bahwa sholat yang dibolehkan untuk dijamak adalah sholat Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya karena hal ini didasarkan pada Hadits-hadits yang shohih yang menjelaskan bahwa Nabi pernah sholat jamak pada sholat-sholat di atas. Hukum menjamak sholat ini boleh ( .)Namun para ulama, terutama madhab yang empat, berbeda pendapat pada hukum menjamak sholat di pemukiman. Para ulama ini terbagi menjadi dua kelompok ; ada yang membolehkan menjamak sholat di pemukiman dan ada yang tidak membolehkan. Kelompok yang membolehkannya adalah kelompok Syafiiyah, Malikiyah dan Hanabilah dan kelompok yang tidak membolehkannya adalah kelompok Hanafiyah. Adapun dalil Kelompok yang membolehkan adalah sebagai berikut : 1. Hadits yang diriwayatkan dari Shahih Bukhari yang berbunyi : 2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abi Salmah bin Abd. Rahman yang berbunyi : : Akan tetapi kelompok yang membolehkan ini masih bebeda pendapat pada pelaksanaan sholat jamak itu sendiri. Menurut Syafiiyah yang diperbolehkan hanya menjamak sholat Dhuhur dengan Asar dan Maghrib dengan Isya dengan jama taqdim saja. Sedangkan menurut Malikiyah hanya sholat jamak antara Maghrib dan Isya saja dengan jamak taqdim saja itupun disyaratkan harus di masjid dan hukum menjamak sholat Dhuhur dan Asar pada waktu itu hukumnya makruh. Dan pendapat Hanabilah hanya jamak Maghrib dengan Isya saja baik dengan jamak taqdim atau jamak takhir, itupun hanya berlaku untuk orang yang sudah ada di masjid. Adapun dalil kelompok yang tidak membolehkan adalah hadits yang berbunyi : : , : ,

Dengan berdasarkan Hadits tersebut, kelompok Hanafiyah berpendapat bahwa sholat jamak di pemukiman tidak boleh karena selama hidupnya, Nabi Muhammad mengerjakan sholat jamak hanya dua kali yaitu ketika di Arafah dan di Muzdalifah. Mengenai Hadits yang dijadikan dalil untuk membolehkannya itu adalah hadits yang masih diragukan kashahihannya.

Sumber referensi :
1. Syeh Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut : Dar el-Fikr 2. Abdurrahman al Juzairi, kitab al fiqh ala al madzahib al arbaah, Beirut :

Dar el-Fikr
3. Sayyid al Bakriy, Ianah at Tholibin, Beirut ; Dar el-Fikr

You might also like