Professional Documents
Culture Documents
"urn:schemas-microsoft-com:office:office" />
Namun, budaya malas (lalu mencontek saat ujian), individualitas (lalu menyelimuti
sikap empati), tindakan permusuhan (menyelubungi kasih sayang lalu menimbulkan
kekerasan), pemuasan diri (lalu mengumbar nafsu diri dengan pornografi, minum
minuman yang memabukkan, narkoba dan seksualitas) merebak marak dan bukan hal
yang sulit ditemukan di sekolah. Guru mengajar pelajaran di tengah arus budaya yang
dengan mudah menggerus apapun yang terangkai dalam anjuran positifnya. Guru
agama melafadzkan dalil-dalil yang segera menguap oleh suhu panas pergaulan bebas!
Di sekolah kita ada keterkoyakan budi pekerti. Di sekolah kita ada kebolongan akhlak
mulia. Tapi ini mungkin argumen yang terlalu berlebihan.
Yang bisa digelar hanyalah fakta-fakta yang kasat mata: di sekolah para siswi
berseragam minimalis, di luar jam sekolah (baik di dalam sekolah maupun di luar)
berdandan a la artis. Para siswa menunjukkan kejantanan dengan sembarang merokok
di jalanan. Handphone jadi sarana penyebaran pornografi yang disepakati oleh hasrat
nafsu diri. Ada siswi yang menanggung beban berat akibat janin yang mengembang
dalam perut yang ketat. Zat adiktif menyebar terlalu dekat dalam lingkungan pergaulan
siswa, bahkan sampai di kolong meja kelas sekolah!
Namun, sekolah tidak sedang dalam kekoyakan yang sempurna. Juga tidak dalam
bolong yang bulat utuh. Ada realitas sekolah yang sesaat bisa menambal kekurangan itu.
Sekolah banyak menggelar ritual keagamaan. Sekolah tiada lengkap tanpa musholla.
Musholla padat dengan sholat dhuha. Para siswa mengorganisir diri dalam pengajian-
pengajian. Sekolah tidak kehabisan stok siswa yang diutus dalam lomba kaligrafi atau
musabaqah tilawatil Qur’an. Sekolah masih cukup fakta untuk dikatakan memiliki
religiusitas yang langgeng. Namun, yang seperti itukah? Pada satu hal, fakta-fakta
religius di sekolah tersebut ada baiknya. Pada hal lain, fakta-fakta tersebut belum bisa
memenuhi keunggulan religius itu sendiri. Fakta-fakta religius itu pada satu sisi
membanggakan, pada sisi yang lain melenakan. Adanya perilaku negatif siswa seperti
tersebut di atas menunjukkkan bahwa ada fungsi pendidikan yang perlu dilempengkan,
ada peran pendidikan yang perlu segera ditambal.
Sebagai kawah pendidikan bagi anak remaja, kita banyak berharap dari sekolah. Tapi,
lebih dari itu, sesungguhnya sekolah banyak berharap dari kita! Lantas apa yang bisa
kita lakukan?
Kalau pada negara maju globalisasi berefek pada kemampuan kompetisi, pada Dunia
Ketiga (Third World), termasuk Indonesia, globalisasi berefek antara lain pada
penyesuaian (adjustment) dan tantangan budaya (cultural challenge). Yang terjadi
adalah kegamangan masyarakat kita dalam menanggapi globalisasi. Globalisasi jadi
gurita yang mencengkeramkan kaki-kakinya melalui struktur (pembagian kerja, hak,
modal dan resiko), pembudayaan (identitas, kognisi, nilai, norma dan bentuk simbol)
dan tindakan—berupa interaksi global (Thernborn, 2000). Pada resonansi budaya yang
kurang berimbang, masyarakat hanya meniru saja budaya baru yag timbul dari
luar—dan dengan bangga ditonjolkan sebagai apresiasi atas globalisasi demi
menghindari tuduhan anti kemajuan.
Hasil akhirnya adalah religius dalam tindakan. Akhlak, inilah esensi hadirnya agama.
Ini pula esensi diutusnya Rasulullah saw. Allah swt berfirman dalam QS. Al-Qalam ayat
4, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” Dalam hadits
riwayat Ahmad dan Baihaqy, Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan akhlak.” Dengan penekanan yang tidak
kalah kuat akan pentingnya akhlak, seorang penyair, Ahmad Syauqi Bey berkata,
“kekalnya suatu bangsa adalah selama akhlaknya kekal, jika akhlaknya sudah lenyap,
musnah pulalah bangsa itu.” Lantas, apa itu akhlak? Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin
memberikan pengertian bahwa “akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa,
daripadanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan
pikiran”(Razak, 1989).
Pada tingkat identitas dan kognisi (cara pandang), religiusitas yang tinggi pada
seseorang akan nampak seperti kesadaran atas eksistensi ketuhanan pada sosok
penggembala kambing yang ditemui Umar bin Khattab ra. Diriwayatkan oleh Abdullah
bin Dinar bahwa pada suatu hari dia berjalan bersama Umar bin Khattab ra. Dari
Madinah ke Mekkah. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan seorang anak gembala
yang sedang turun dari tempat penggembalaan dengan kambing-kambingnya yang
banyak. Khalifah ingin menguji sampai dimana anak gembala itu bersikap amanah.
Khalifah bertanya, “wahai gembala, juallah padaku seekor anak kambing itu.” Gembala
itu menjawab, “aku hanya seorang budak”. Lalu khalifah menimpali, “katakan saja pada
tuanmu kalau anak kambing itu telah dimakan serigala.” Segera anak gembala itu
menjawab, “kalau begitu dimana Allah?”
Karena itu, pendidikan agama harus bisa membangkitkan religiusitas. Karena kahekat
pendidikan Islam adalah kesadaran atas identitasnya sebagai seorang muslim dan
mampu mewarnai diri dan di luar dirinya agar sejalan dengan Islam. Pesan Islam
adalah akhlak. Dari akhak inilah pondasi peradaban terbangun. John Gardner, seorang
cendekiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan
Kesejahteraan (Health, Education and Welfare—HEW) dalam pemerintahan Presiden
John F. Kennedy mengatakan, “no nation can achieve greatness unless it believes in
something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great
civilization” (tidak ada bangsa yang mampu mencapai kebesaran kecuali jika bangsa ini
percaya kepada sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu memiliki dimensi moral untuk
menopang suatu peradaban yang besar). Agama, menurut Madjid (2004), adalah sistem
kepercayaan, dan agama yang besar memiliki dimensi moral yang besar untuk
menopang peradaban yang besar. Peradaban besar terbangun dari keteladanan!
Bangsa yang religius ini merindukan siswa yang giat belajar mandiri (sebagai ganti dari
mencontek), siswa yang hormat pada yang lebih tua, tenggang rasa pada yang seusia
dan mencintai pada yang lebih muda, siswa yang menebarkan kebaikan tanpa pandang-
pilih, siswa yang mampu mengelola energinya dengan prestasi dan aktualisasi
kemampuan. Siswa yang tegar dengan segala lika-liku hidup (sehingga tidak mudah
terjerumus pada kenikmatan yang melalaikan). Siswa yang memiliki otonomi moral
atau akhlak sehingga tidak mudah terbawa oleh ajakan-ajakan negatif, bakhan mampu
mengingatkan jika orang lain terlanjur berperilaku negatif. Ini bukan doktrin, ini
harapan yang terkumpul oleh kerinduan atas budaya religius yang makin terkikis oleh
derasnya kemajuan peradaban—sehingga lupa menyingsingkan lengan baju, bergegas
membenah diri. []