You are on page 1of 5

Remaja dan Perilaku Menyimpang:

Korban dari Perubahan Zaman?


Oleh: Abu Bakar Fahmi

Sebuah adegan yang tak lumrah terekam melalui video handphone. Medio April 2008
sekelompok remaja putri menganiaya temannya sendiri dengan cara memukul
bergantian ke arah kepala—organ vital yang menentukan masa depan setiap orang.

Dari dialog yang terrekam, korban diperintah menunjukkan sikap hormat pada
anggota-anggota geng yang bernama Nero (Neko-neko Dikeroyok). Saat korban
mengangkat tangan ke samping kanan dahinya –seperti layaknya hormat
bendera—seorang temannya mendampar wajahnya berkali-kali. Lalu sesekali menjotos
tepat di hidung dan mulut korban sampai kepala korban terantuk ke belakang. Sebuah
pertunjukan yang paling banter bisa ditemui di atas ring tinju. Namun pertunjukan
yang satu ini lebih dari perhelatan di atas ring tinju: tanpa sarung tangan, dilakukan
dengan keroyokan dan tanpa perlawanan dari pihak lawan.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, beredar pula rekaman video melalui handphone
tentang seorang remaja puteri yang dianiaya oleh sekitar lima remaja puteri
lainnyakorban dipukuli bergantian, diinjak-injak, lalu ditarik rambutnya oleh seorang
remaja putri lainnya sampai berguling-guling ke tanah. Adegan ini disaksikan oleh
beberapa orang di sekitarnya tanpa ada seorang pun yang mencoba melerainya.

Jika berbicara tentang kekerasan, kita mendapati ketakwajaran yang jadi


lumrah—terutama akhir-akhir ini. Kekerasan banyak dijumpai di ruang publik (di jalan
raya, perumahan, kampus dan tempat kerja) maupun ruang privat (di keluarga atau
dalam rumah). Freudian menjustifikasi sebagai potensi bawah sadar yang dibawa oleh
setiap orang. Ketakwajaran yang belum lagi lumrah adalah kekerasan ini dilakukan oleh
perempuan dan pada saat usia pelaku baru menginjak remaja. Perempuan merupakan
sosok yang identik dengan pribadi feminin. Tentang kepribadian feminin, Lips (2005)
memaparkan ciri-cirinya yakni penuh kasih sayang, simpatik, jentel, sensitif, pengasuh,
sentimental, mampu berhubungan sosial dan koopertif. Berbeda dengan ciri
kepribadian maskulin yang kompetitif, dominan, petualang, berani, agresif dan resisten
terhadap tekanan. Namun, kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok remaja putri di
atas lebih cenderung menunjukkan pribadi maskulin daripada feminin. Dalam hal ini,
perilaku yang ditunjukkan tersebut disamping tidak wajar secara perilaku juga tidak
normal jika ditilik dari sudut pandang pelaku.

Perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat biasa
disebut perilaku menyimpang. Disamping kekerasan seperti yang dilakukan remaja
putri di atas, ada banyak perilaku menyimpang yang dilakukan remaja dan makin
mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku tersebut antara lain
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba), perilaku seksual
sebelum menikah, premanisme di kalangan pelajar dan sebagainya.

Masa remaja : berdayung di tengah badai


Masa remaja adalah usia yang niscaya dilewati oleh setiap orang dewasa. Masa ini akan
menguji setiap orang bahwa tidak selamanya hidup dilewati dengan perjalanan yang
mulus dan lurus. Mungkin si pejalan yang remaja itu tahu lurusnya jalan. Namun,
menjalani tidak semudah hanya mengetahui. Seorang pedayung yang hendak menuju
suatu pulau mungkin tahu arah jalannya dan mungkin tahu ada badai di depan, tapi
tidak semua pedayung bisa melewati badai dan sampai pada tempat yang dituju. Masa
remaja adalah masa yang penuh badai dan tidak semua orang bisa lolos melewati masa-
masa itu.
Ada minimal tiga badai yang akan mengguncang masa remaja ini. Pertama, badai
otoritas. Pada masa ini remaja cenderung bersikap dependen. Remaja akan banyak
diterpa oleh otoritas-otoritas lain yang mampu memengaruhi sikapnya. Independensi
didapat melalui penghargaan atas otoritas orang tua, teman sebaya, guru maupun orang
yang dituakan. Kedua, badai rangsang emosi. Remaja menunjukkan emosi yang labil
sehingga mudah dipengaruhi oleh rangsang emosi di luar dirinya. Remaja akan
terdorong bertindak agresif hanya dengan dipanas-panasi oleh teman sepermainannya.
Ketiga, badai ego. Remaja cenderung menunjukkan keakuannya pada orang lain.
Kebutuhan untuk diakui bisa menjerat remaja pada tindakan yang dilarang oleh norma.
Dengan kata lain, remaja bisa saja melakukan tindakan yang melanggar norma asal
dirinya bisa diakui oleh orang lain. Tiga badai di atas sangat memungkinkan remaja
terantuk pada posisi oleng : melakukan berbagai perilaku yang menyimpang dari
norma-norma yang ada di masyarakat.

Pada zaman ini, ada badai besar yang bisa menggulung siapa saja yang tidak cakap
mengendalikannya, yakni badai informasi. Memang, tidak hanya remaja saja yang akan
terpengaruh oleh badai informasi ini. Tapi, badai informasi akan melengkapi ancaman
tiga badai seperti tersebut di atas. Ciri adanya badai ini adalah makin tidak
terbendungnya arus informasi seiring dengan makin mudah didapatnya teknologi
informasi. Remaja bisa dengan mudah memamah informasi tentang apapun. Bisa
dipastikan, hampir semua remaja di kota sudah familier dengan handphone, bahkan
bisa berganti-ganti model sesuai tren terbaru. Internet sudah bisa diakses sampai ke
pelosok, dimana saja dan kapan saja. Internet menyediakan beragam informasi dan
pengetahuan sesuai kebutuhan penggunanya hanya dengan satu dua kali menekan tuts
keyboard. Televisi menjadi penyedia layanan informasi yang paling banyak dikonsumsi,
terlebih banyak handphone yang sudah memiliki fasilitas gambar hidup itu. Media cetak
beragam jumlahnya dan mampu memenuhi beragam hobi dan minat setiap orang.
Derasnya informasi yang mengalir ke segala penjuru ruang sosial di masyarakat
tentunya akan memengaruhi pengguna informasi itu. Informasi yang dikenyam akan
memengaruhi cara pandang, sikap, perilaku, gaya hidup, dan kebiasaan seseorang.
Sebagai misal, belajar tidak harus tatap muka langsung dalam kelas tapi bisa dengan
jarak jauh via internet (e-learning). Berdiskusi tidak harus bersua langsung tapi bisa
lewat mailinglist. Belanja tidak harus ke supermarket tapi tapi dapat dilakukan dalam
kamar dengan menggunakan jasa belanja online. Berkirim kabar tidak lagi harus pakai
surat via pos tapi bisa langsung pakai layanan pesan singkat (sms) atau e-mail.

Alvin Toffler dengan lugas menjelaskan pengaruh (teknologi) informasi terhadap


perilaku seseorang. Menurutnya, setiap jenis teknologi melahirkan lingkungan
teknologi (teknosfer) yang khas. Teknologi informasi sebagai bagian dari teknosfer akan
mewarnai infosfer –yakni budaya pertukaran informasi di antara warga masyarakat.
Infosfer pada gilirannya akan membentuk dan mengubah sosiosfer—yakni norma-
norma sosial, pola-pola interaksi dan organisasi kemasyarakatan. Karena manusia
adalah makhluk sosial, perubahan sosial akan memengaruhi perilaku dan proses mental
seseorang—yakni mengubah psikosfer orang-perorang (Rakhmat, 2004). Dari itu bisa
dimengerti bahwa perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh beragam arus informasi
yang melingkupinya.

Badai informasi pada kalangan remaja


Apa yang bisa dijadikan dalih bahwa kekerasan yang dilakukan remaja dipengaruhi oleh
tayangan kekerasan dalam televisi? Mungkin butuh penelitian yang cermat tentang hal
ini. Namun, bila merujuk teori konstruktivisme, beragam tayangan kekerasan dalam
televisi tidak bisa dianggap remeh, apalagi disisihkan alih-alih menampik tidak ada
hubungannya dengan kekerasan yang dilakukan remaja. Sikap dan perilaku remaja
dikonstruksi dari informasi yang didapat dari lingkungannya. Sementara televisi suda
jadi media yang tidak mungkin dilepas dari keseharian masyarakat, didalamnya tersaji
banyak tayangan yang kurang mendidik bahkan banyak diwarnai adegan kekerasan.
Informasi selebriti mengabarkan kekerasan : perceraian maupun kekerasan yang
dilakukan antarartis. Berita di televisi bertabur kekerasan: perselisihan antarwarga
kampung, perbedaan pandangan antarorganisasi masyarakat, perseteruan
antarpendukung pilkada, penggusuran paksa maupun demonstrasi yang berujung
bentrok fisik. Film tidak enak dinikmati tanpa adegan kekerasan, bahkan film-film yang
diputar di televisi kita sebagian besar dari Hollywood yang penuh adegan kekerasan.
Sinetron-sinetron banyak mengisahkan kekerasan fisik maupun psikis (fitnah, dendam,
iri, munafik). Acara dialog dan diskusi di televisi makin berani mengumbar kekerasan
psikhis dengan cara saling menyudutkan dan saling memancing amarah.

Jika kekerasan ini tampil mengisi ruang dan waktu seseorang tanpa ada reaksi
penolakan, ada saatnya kekerasan dianggap sebagai kejadian yang lumrah adanya.
Kekerasan tidak bisa lagi ditolak sebagai perilaku yang melanggar norma karena sudah
diwajarkan oleh sebagian besar masyarakat. Saat kita menikmati adegan kekerasan
bahkan memengaruhi dan mengubah cara kita memandang kekerasan, pada dasarnya
kita telah mengalami desensitisasi sistematis. Yakni proses yang secara sistematis
memungkinkan seseorang mewajarkan sesuatu karena sesuatu itu muncul berulang-
ulang. Kekerasan akan dianggap wajar jika hal itu muncul secara berulang-ulang dan
seakan diterima di masyarakat sebagai realitas biasa.

Norma-norma sosial makin terbuka untuk dipengaruhi bahkan diubah. Dengan mudah
norma-norma yang berlaku di masyarakat tertentu akan diadopsi oleh norma-norma di
masyarakat lain. Mode pakaian yang baru muncul di Perancis dengan cepat dikonsumsi
oleh masyarakat di kota kecil. Di Jember setiap tahun diadakan Jember Fashion
Carnaval (JFC), yakni karnaval keliling kota dengan menggunakan mode pakaian
kontemporer. Mode pakaian dapat dinikmati di sudut-sudut kota di Jember, tanpa
perlu pergi ke Perancis. Melalui internet, siapa saja bisa berinteraksi dan menemukan
ruang interaksi sosialnya. Minat, bakat, pandangan hidup, gaya hidup, pilihan profesi
bahkan orientasi seksual pun bisa terjalin intens lewat internet. Orang dapat
berinteraksi dan bertukar pikir tanpa perlu banyak tahu latar belakang lawan
interaksinya. Dalam hal ini, komunitas yang terjalin dapat membangun norma-norma
sendiri, bahkan lepas dari norma yang umum berlaku di masyarakat.

Korban yang harus dibela


Perubahan zaman menuju era informasi memiliki andil besar dalam membentuk sikap
dan perilaku remaja. (Teknologi) informasi yang tidak terkendali peran dan fungsinya
turut memengaruhi pola perilaku remaja yang abai terhadap norma yang berlaku.
Artinya, perilaku menyimpang tidak hanya semata-mata bersumber dari remaja itu
sendiri. Tapi, adanya perubahan zaman secara potensial bisa memacu remaja bersikap
dan berperilaku di luar batas normativitas. Keterbukaan informasi dan komunikasi
seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mungkin bukan
satu-satunya sebab, tapi ini merupakan salah satu sebab yang menentukan. Lebih
menentukan lagi karena, satu sisi informasi menyerang deras ke relung hidup sampai
yang paling privat dan sakral, pada sisi lain remaja kurang memiliki kemampuan
otonom dalam memilih normativitas sikap dan perilaku. Lagi, satu sisi lembaga
penyedia informasi menghantam keras ruang hidup di ranah publik, di sisi lain
lembaga-lembaga yang memiliki otoritas norma dan ajaran agama di masyarakat
semakin melemah.

Dalam menanggapi remaja dengan perilaku yang menyimpang akan lebih bijaksana jika
tidak semata-mata menempatkan remaja sebagai ‘tersangka’. Mungkin ya, bahwa
perilaku menyimpang remaja tidak akan muncul jika tidak ada perilaku yang
ditampilkan remaja itu sendiri. Tapi mungkin juga tidak, bahwa perilaku menyimpang
yang dilakukan remaja dipengaruhi pula oleh lingkungan yang melingkupinya.
Lingkungan di sekitar remaja seperti katalisator yang memungkinkan remaja
berperilaku menyimpang. Dalam hal ini remaja ditempatkan sebagai korban dari
lingkungannya. Maka, tidak ada empati yang bisa ditunjukkan kepada korban selain
dengan cara membela korban. Bagaimana pembelaannya?

Pertama, menciptakan lingkungan yang mampu membentuk remaja pada kesadaran


normatif yang otonom. Dengan harapan, remaja mampu menentukan pilihan perilaku
menurut pertimbangannya sendiri dengan bersandar pada norma-norma yang berlaku.
Dalam hal ini remaja diharapkan memiliki kecerdasan normatif, yakni kemampuan
remaja dalam menentukan sikap dan perilaku apapun dengan tetap mengindahkan
norma-norma. Kedua, menguatkan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas norma.
Lembaga-lembaga tersebut diharapkan mampu menopang norma-norma yang ada
sekaligus menyesuaikannya sesuai dengan perubahan zaman. Disini peran keluarga
sebagai lembaga yang memiliki otoritas norma sungguh penting. Mengingat, keluarga
merupakan lembaga pertama dan utama yang mengenalkan remaja pada norma-norma.
Tidak kalah penting dari keluarga adalah sekolah. Pada institusi sekolah inilah keluarga
turut menumpukan harapan. Sekolah adalah institusi yang sengaja dibuat untuk
mendidik remaja agar bisa bersosialisasi di masyarakat dengan baik.
Jika kita benar handak membela, indikasinya bisa bermula dari yang sederhana saja :
kita merasa, perilaku menyimpang remaja, seperti kekerasan yang dilakukan remaja
putri di atas, benar-benar menggelisahkan kita. Ini hanya sebagai pengganti kata-kata
yang terkesan retoris: kita merasa, perilaku tersebut sungguh-sungguh mengiris-iris
hati nurani kita.

Tegal-Jakarta, 19 Juni 2008

Penulis adalah Alumni Psikologi UGM.


Tulisannya bisa dibaca di http://www.abubakarfahmi.blogspot.com

You might also like