You are on page 1of 4

PSikoLogi sbg ILmu PengeTaHuan

Psikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Bahkan sebelum Wundt mendeklarasiikan laboratoriumnya tahun 1879 yang dipandang sebagai kelahiran psikologi sebagai ilmu pandangan tentang manusia dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani kuno. Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan intelekstual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika. Berdasarkan pandangan tersebut, bagian Sejarah Psikologi ini akan dibagi ke dalam beberapa periode dengan berbagai tokohnya.

Bicara sejarah psikolog berarti harus kembali pada filsafat. Di berbagai buku yang membicarakan sejarah psikologi, filsafat selalu menjadi kajian awalnya. Hal ini sungguh sangat wajar karena psikologi mempelajari proses kognitif, dan proses kognitif (dalam hal manusia memperoleh pengetahuan) adalah tema besar yang didialogkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles. Maka dari itu, untuk berbicara sejarah psikologi mau tidak mau harus kembali pada filsafat Yunani kuno tentu dalam tema yang kajiannya menjadi objek psikologi. Banyak buku yang mengkaji sejarah psikologi, namun bagi saya buku Sejarah Psikologi: Dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern milik C. George Boeree adalah yang cukup bisa memberi pemahaman secara sederhana namun padat. Hasil penelusuran Boeree menemukan Aristoteles lah yang secara langsung bisa disebut sebagai perangsang bagi munculnya kajian psikologi. Aristoteles mempunyai teori yang disebut asosianisme. Ide ini awalnya dari Plato, namun Aristoteles yang dipercaya menyusunnya menjadi teori yang lebih rigid. Asosianisme mengungkapkan bahwa dalam proses mengingat ada asosiasi-asosiasi. Asosianisme memiliki empat hukum.

1.Hukum hubungan (The law of contiguity). Hukum ini mengatakan, dalam ingatan, hal atau peristiwa memiliki asosiasi dengan hal atau peristiwa yang berhubungan. Misalnya, jika kita mengingat cangkir, bisa jadi kita juga mengingat piring. Jika kita mengingat microsoft word, bisa jadi juga mengingat komputer. 2.Hukum frekuensi (The law of frequency). Hukum ini mengatakan jika hal atau peristiwa dihubungkan terus-menerus dalam waktu yang cukup lama, maka dua hal atau peristiwa itu akan selalu berhubungan dalam ingatan. Misalnya, jika setiap sesudah makan selalu merokok, maka makan dan merokok selalu berhubungan. Setiap setelah makan yang kita ingat adalah rokok. 3.Hukum kesamaan (The law of similarity). Hukum ini mengatakan jika kita mengingat salah satu hal atau peristiwa yang memiliki kesamaan dengan hal atau peristiwa yang lain, bisa jadi kita akan mengingat hal atau peristiwa yang menjadi kembarannya. Misalnya, jika kita mengingat salah satu dari anak kembar, bisa jadi kita akan mengingat pula kembarannya. Jika kita mengingat sebuah pesta ulang tahun, bisa jadi kita mengingat pula pesta ulang tahun yang lain. 4.Hukum kebalikan (The law of contrast). Hukum ini mengatakan jika kita mengingat hal atau peristiwa, bisa jadi kita akan mengingat hal atau peristiwa lawannya. Misalnya, jika kita mengingat orang yang paling tinggi, bisa jadi kita akan mengingat orang yang paling pendek. Asosiasi menurut Aristoteles bisa didahului oleh aktivitas memandang, merasa, membau. Misalnya, pada saat memandang apel muncul ide tentang apel. Begitu pula saat merasa atau membau apel. Selama 2000 tahun teori asosiasi Aristoteles ini dianggap benar dan cenderung dilupakan. Baru setelah masa pencerahan (Renaisans) asosianisme dikaji kembali. Mereka yang mengkajinya kembali adalah Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, David Hartley, dan James Mill. Semuanya berbicara seputar bagaimana manusia memperoleh pengetahuan: apakah pengetahuan bisa diperoleh dari pancaindera, apakah ada ide bawaan, bagaimana asosiasi antara satu benda dengan benda yang lain dalam pikiran, dan lain sebagainya. Saat itu, para filsof masih tidak percaya psikologi bisa menjadi ilmu, karena berbagai aktivitas dan isi pikiran tidak bisa diukur. Adalah Ernst Weber (1795 1878) yang membantah ketidakpercayaan tersebut. Weber mengeluarkan hukum yang kemudian dikenal Webers Law. Hukum tersebut menyatakan adanya hubungan antara stimulus fisik dengan pengalaman mental. Contohnya: jika kita pernah mengangkat beban seberat 40 kg, setelah itu mengangkat berat 41 kg, kita tidak bisa membedakannya. Berbeda jika beban kedua yang kita angkat seberat 20 kg. Artinya, ada saat di mana kita tidak bisa membedakan dan bisa membedakan. Hal itu sangat terkait dengan proses mental. Kerja-kerja Weber ini dilakukan bersama Gustav Fechner. Hukum Weber dan Fechner disebut oleh Boeree didasari oleh prinsip panteisme Baruch Spinoza. Spinoza mengatakan bahwa di alam semesta hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Manusia dan yang ada dalam alam semesta adalah modifikasi-modifikasi dari yang Esa itu

(Solomon & Higgins, terj., 2002). Weber dan Fechner menggunakan prinsip ini sebagai penjelasan bahwa jiwa termodifikasi dalam fisik. Oleh karena itu jiwa bisa dipelajari dan diukur melalui apa yang tampak secara fisik. Tahap ini disebut tahap psikofisik. Mulai ada titik terang bagi psikologi untuk menjadi ilmu. Pada tahun-tahun berikutnya, para doktor ilmu kedokteran dan fisiologi mulai melakukan penelitian tentang asosiasi. Kajian-kajian tentang asosiasi dan yang terkait dengannya pun, misalnya memori mulai diteliti secara ilmiah. Boeree menyebut Hemann Ebbinghaus sebagai orang pertama yang membuat usaha pengkajian asosiasi secara ilmiah. Ebbinghaus melakukan eksperimen memori dengan cara menyuruh beberapa orang (dan dirinya sendiri) untuk membaca dan mengingat-ingat beberapa kata yang tidak punya arti (nonsense syllables) secara berulang-ulang. Setelah itu daftar kata disingkirkan dan subjek-subjek (dan Ebbingus sendiri) harus menyebut kata-kata tadi. Hasilnya, ada kata-kata yang dingat dan dilupakan. Dari eksperimen ini pula Ebbinghaus membuat kurve ingatan yang dikenal Kurve Retensi dari Ebbinghaus. Kurve tersebut menunjukkan bahwa apa yang sudah dipelajari akan dilupakan. Mulamula banyak sekali yang dilupakan sehingga kurve merosot. Tetapi semakin lama kemerosotan itu semakin berkurang. Dan pada waktu tertentu ada sejumlah katakata yang diingat dalam waktu yang lama. Hukum Ebbinghaus menyebutkan, Semakin banyak hal yang harus dipelajari, semakin banyak pula waktu yang diperlukan. Hukum ini disebut Hukum Ebbinghaus (Sarwono, 2002). Buku Ebbinghaus yang terkenal adalah adalah On Memory: An Investigation in Experimenatl Psychology (1885). Ebbinghaus pun pernah menulis artikel pertama tentang tes inteligensi terhadap anak-anak sekolah. Eksperimen-eksperimen semakin giat dilakukan. Alfred Binet dan Theodore Simon meneliti intelegensi. Kedua orang ini berhasil pula membuat alat tes inteligensi yang kemudian dikenal Binet-Simon Scale of Intelligence. Namun psikologi belum menjadi ilmu. Adalah Wilhelm Wundt yang kemudian berani menegaskan bahwa psikologi bisa menjadi ilmu. Seperti halnya Weber dan Fechner, Wundt percaya pada prinsip panteisme Spinoza dalam hal kajian psikologi disebut panpsikisme. Prinsip itu berbunyi: Setiap peristiwa fisik mempunyai imbangan mentalnya masing-masing, dan setiap peristiwa mental mempunyai imbangan fisiknya masing-masing. Wundt yakin proses-proses mental bisa diukur melalui yang tampak pada fisik. Seiring dengan keyakinannya itu ia melakukan eksperimen secara mendalam, metodis, dan ketat. Wundt meneliti sensasi, atensi, persepsi, perasaan, dan asosiasi, mendirikan laboratorium di Leipzig pada 1876, dan mulai diikuti banyak orang. Wundt lah yang di kemudian hari disebut Bapak Psikologi. Ia yang menandai lahirnya psikologi sebagai ilmu sendiri yang terpisah dari filsafat. Di satu belahan bumi yang lain, Harvard, William James mendirikan laboratorium psikologi, dan ia mengajar psikologi fisiologis dengan mengacu pada Wundt. Pada 1889 James menjadi profesor psikologi dan tahun berikutnya ia menerbitkan dua volume buku The Principles of Psychology. Secara kronologis, sejarah psikologi bisa digambarkan sebagai berikut: Kajian yang berkaitan dengan psikologi dimulai oleh filsafat (Asosianisme Aristoteles) --> Asosianisme baru dikaji kembali pada saat Renaisans (kurang lebih abad 16)

kajian-kajian psikologi masih menjadi bagian filsafat --> kajian-kajian psikologi mulai diteliti oleh doktor ilmu kedokteran dan fisiologi tahap ini disebut tahap psikofisik orang-orang yang berperan adalah Ernst Weber dan Gustav Fechner namun psikologi belum diakui sebagai ilmu, bahkan ada yang yang mengatakan psikologi tidak mungkin bisa menjadi ilmu sendiri --> Wundt menyanggah pesimisme atas psikologi. Berprinsip pada panpsikisme Spinoza ia terus meneliti proses-proses mental seperti sensasi, atensi, persepsi, perasaan, dan asosiasi secara detail dan mendalam --> Wundt disebut sebagai Bapak Psikologi 1879 disebut tahun kelahiran psikologi.

You might also like