You are on page 1of 120

Anjuran berzakat dan ancaman bila tidak membayarnya

Sep 11, '08 11:15 PM untuk semuanya

Anjuran berzakat dan ancaman bila tidak membayarnya Penulis: Al Ustadz Qomar Su'aidi, Lc Fiqh, 07 November 2004, 03:44:55 Anjuran dalam Menunaikan Zakat Firman Allah Taala (yang artinya) : "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka" . (At Taubah : 103)

Ayat ini mengajarkan untuk mengambil sedekah dari hartanya kaum mu'minin, baik itu shodaqoh yang ditentukan (zakat) ataupun yang tidak ditentukan (tathowa) demi untuk membersihkan mereka dari kotornya kebakhilan dan rakus. Juga mensucikan mereka dari kehinaan dan kerendahan dari mengambil dan makan haknya orang fakir. Dan juga untuk menumbuh kembangkan harta mereka dan mengangkatnya dengan kebaikan dan keberkahan akhlak dan mu'amalah sampai mengantarkan mereka menjadi orang yang berhak mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Firman Allah Ta'ala: "Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian." (Adz-Dzariyat : 19)

Dalam ayat ini Allah Ta'ala telah mengkhususkan sifat-sifat yang mulia dengan berbuat baik. Dan kebaikan mereka nampak jelas dari menegakkan shalat malam, memohon ampun di waktu malam dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana kebaikan mereka yang nampak jelas dalam memberi dan menunaikan haknya orang-orang fakir demi kasih sayang dan rohmah bagi mereka. Firman Allah Taala (yang artinya) : "(Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan

zakat." (Al Hajj:41)

Allah telah menjanjikan dengan menunaikan zakat merupakan tujuan untuk bisa tegak dan kokoh di muka bumi ini. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tiga perkara yang aku bersumpah atas tiga perkara tersebut dan menceritakan kepada kalian maka jagalah : Tidak akan berkurang harta yang dishodaqohkan dan tidak seorang hamba dianiaya dengan satu kedholiman kemudian dia bersabar (atas kedholiman) kecuali Allah akan menambahkan baginya dengan kemuliaan. Dan tidaklah seorang hamba membuka pintu meminta-minta kecuali Allah akan membaginya pintu kefakiran." (Turmudzi Kitab AzZuhd 4:487(2325) dari hadits Abi Habsyah)

Dari masih banyak hadits-hadits tentang anjuran untuk menunaikan zakat serta keutamaankeutamaannya.

Ancaman Bagi yang Tidak Menunaikan Zakat

Telah banyak dalil-dalil baik itu dari Al-Kitab ataupun As-Sunnah tentang ancaman keras bagi orang yang bakhil dengan zakat dan enggan untuk mengeluarkannya. Firman Allah Taala (yang artinya) : "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam lalu dibakar dengannya dahi mereka lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka :"Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu" (At Taubah : 34-35). Firman Allah Taala (yang artinya) : "Sekali-sekali janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat." (Ali Imron : 180)

Oleh karenanya harta yang tidak ditunaikan zakatnya maka itu termasuk harta simpanan yang pemiliknya akan disiksa dengannya pada hari kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah

shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah seseorang yang memiliki emas atau perak kemudian tidak ditunaikan haknya, apabila datang hari kiamat dibentangkan baginya batubatu yang lebar dari neraka kemudian dia akan dipanggang di atas batu-batu itu di dalam neraka jahannam kemudian disetrika perut, dahi dan punggungnya. Setiap kali sudah dingin maka akan dikembalikan seperti semula yang satu hari adalah sama dengan 50.000 tahun sampai diputuskan perkaranya diantara manusia maka dia akan melihat jalannya, apakah ke surga atau neraka." (HR. Muslim Kitab Zakat 7:67 no. 2287 dari hadits Abu Hurairah)

Kemudian lanjutan hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang memiliki onta, sapi dan kambing yang tidak ditunaikan zakatnya akan mengalami nasib yang sama pula dari siksa di hari kiamat.

Juga sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain : "Barang siapa yang Allah telah berikan harta kepadanya kemudian dia tidak menunaikan zakatnya maka pada hari kiamat nanti hartanya akan berujud ular yang botak yang mempunyai dua titik hitam diatas kepalanya yang mengalunginya kemudian mengambil dengan kedua sisi mulutnya sambil berkata: "Aku adalah simpananmu, aku adalah hartamu". Kemudian beliau membaca ayat: "Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang telah Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya bahwa kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka, harta-harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat." (HR. Bukhori Kitab Zakat 3:268 no.1403 dari hadits abu Hurairah; Muslim Kitab Zakat 7:74 no. 2294)

Hukum Bagi yang Tidak Mau Membayar Zakat

Dalam hal ini ada beberapa kriteria dari orang-orang yang tidak mau membayar zakat : 1. Seorang yang tidak mau membayar zakat tapi masih meyakini akan wajibnya. Para ulama menghukumi bahwa pelakunya berdosa dan tidak mengeluarkannya dari keislamannya. Kepada penguasa (hakim) agar memaksa pelakunya supaya mau membayar zakat serta memberikan hukuman pelajaran kepadanya (tahdzir). Dan mengambil hak zakat dari orang tersebut sesuai dengan kewajibannya, tidak boleh lebih. Kecuali pendapatnya Imam Ahmad dan Imam Syafi'i (pendapat lama) maka mengambilnya separuh dari hartanya

sebagai hukuman baginya. Sebagaimana hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : " Dan barang siapa yang tidak mau menunaikannya (zakat) maka kami akan mengambilnya dan separuh hartanya adalah hak dari hak-hak wajib bagi Tuhan kami, tidak halal bagi keluarga Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam darinya sedikitpun." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, Hakim, Baihaqi dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya).

Adapun Ibnu Taimiyah menghukumi orang yang seperti itu adalah kafir dalam batinnya, walaupun secara dzahir tidak dikafirkan, akan tetapi disikapi seperti sikapnya orang-orang murtad yang diberi kesempatan bertaubat tiga kali, kalau tidak mau bertaubat maka hukumnya dibunuh. (lihat Fatawa 7:611, mausu'ah Fiqh Ibnu Taimiyah 2:877; Mughni 4:67; majalah Buhuts Islamiyah Darul ifla' edisi 58 tahun 1420H hal. 11; Fiqh Sunnah 1:403)

2. Kalau yang tidak mau membayar zakat itu sekelompok orang yang mereka memiliki kekuatan tapi masih berkeyakinan akan wajibnya.

Para ulama menghukumi agar diperangi sampai mereka mau membayar zakat sebagaimana kisahnya Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. (HR. Jama'ah dari Abu Hurairah)

Juga haditsnya Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia supaya mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan (bersaksi) bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka menegakkan sholat dan menunaikan zakat, maka kalau mereka telah mengerjakannya terjagalah dari darah dan harta mereka kecuali haknya Islam dan hisab mereka di sisi Allah." (HR. Bukhari & Muslim)

3. Tidak mau membayar zakat dengan mengingkari akan wajibnya.

Berkata Ibnu Qudamah : "Barang siapa yang mengingkari karena jahil (tidak tahu) atau dia termasuk orang yang tidak tahu karena baru masuk Islam atau dia tinggal di daerah terpencil yang jauh dari daerah yang mengetahui akan wajibnya maka tidak dikafirkan. Adapun kalau

dia seorang muslim yang tinggal di negeri Islam di tengah-tengah ahli ilmu maka hukumnya murtad." (Mughni 4:6-7)

(Dikutip dari tulisan ustadz Qomar Sua'idi, Lc, yang diarsipkan eks. tim Zisonline, al akh Fikri Thalib) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=786 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Definisi Zakat dan Hikmah disyariatkannya Zakat

Sep 11, '08 11:14 PM untuk semuanya

Definisi Zakat dan Hikmah disyariatkannya Zakat Penulis: Al Ustadz Qomar Su'aidi, Lc Fiqh, 07 November 2004, 03:36:50 Definisi Zakat

1. Menurut Bahasa (lughoh)

Dari asal kata "zakkaa - yuzakkii - tazkiyatan - zakaatan" yang berarti : 1. Thoharoh (membersihkan/mensucikan) Firman Allah Taala (yang artinya) : "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (At-Taubah:103)

2. Namaa' (tumbuh /berkembang)

Firman Allah Taala (yang artinya) : "Allah memusnahkan ribaa' dan menyuburkan sedekah" (Al-Baqarah:276)

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Abu Rabsyah Al-An Maary. "Harta tidak akan berkurang dengan dishodaqohkan" (HR. Tirmidzi, kitab Az Zuhd jilid 4 hal. 487 no. 2325, kata Imam Tirmidzi "Hadits ini hasan shohih")

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqolani : "Tanaman itu telah Zakka, yakni berkembang & tumbuh" (Fathul Baari, kitab zakat jilid 3 hal. 262)

3. Al-Barokah Firman Allah Taala (yang artinya) : "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya" (Saba' : 39)

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairoh radhiallohu anhu : Allah Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi: "Hai anak Adam berinfaklah niscaya Aku akan berinfak untukmu". (HR. Bukhori, Kitab Tafsir surat Hud 8 : 352 (4684); Muslim, Kitab Zakat 7:81 no. 2305)

4. Al-Madh (Pujian) Dalam hadits Abu Hurairoh tentang kisah Zainab Ummul Mukminin : " . . . Bahwa Zainab namanya adalah Barroh maka dikatakan 'Dia memuji dirinya' maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menamainya Zainab." (HR. Muslim, Kitab Al Azab Juz 14, hal. 346 no. 5572)

5. Amal Sholeh Firman Allah Taala (yang artinya) : "Dan kami menghendaki supaya tuhan mereka mengganti mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu" Imam Al-Farro' mengatakan: arti 'yang lebih baik kesuciannya' adalah yang lebih baik amal sholehnya. (lihat An Nihayah karya Ibnu Al Atsir jilid 2 hal. 307; Lisanul Arab karya Ibnul Mandzur jilid 6 hal 64-65)

II. Menurut Hukum (Istilah syara')

1. Pendapatnya Al-Hafidz Ibnu Hajar : "Memberikan sebagian dari harta yang sejenis yang sudah sampai nashob selama setahun dan diberikan kepada orang fakir dan semisalnya yang bukan dari Bani Hasyim dan Bani Mutholib." (Al-Fath 3:262)

2. Pendapat Ibnu Taimiyah : "Memberikan bagian tertentu dari harta yang berkembang jika sudah sampai nishob untuk keperluan tertentu." (Mausu'ah Fiqh Ibnu Taimiyah 2 : 876; Fatawa 25:8)

3. Pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassaam : "Hak wajib dari harta tertentu, untuk golongan tertentu pada waktu tertentu." (Taudhihul Ahkam 3:5)

III. Zakat Dalam Bahasa Al-Qur'an

Sedangkan Al-Qur'an Al-Karim telah menyebutkan tentang zakat dengan berbagai ungkapan, terkadang dengan ungkapan zakat, shodaqoh, infaq/nafaqoh dan Al-'afwu.

1. Zakat Ungkapan ini paling banyak disebutkan bahkan sering digabungkan dengan perintah shalat sampai diulang dalam 82 ayat (lihat Taudih al akham 3:5). Firman Allah Taala (yang artinya) : "Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku" (Al Baqoroh : 43)

2. Shodaqoh Firman Allah Taala (yang artinya) : "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu " (At Taubah : 103)

3. Infaq/Nafaqoh Firman Allah Taala (yang artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu." (Al Baqoroh:267)

4. Al-'Afwu Firman Allah Taala (yang artinya) : "Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan" (Al Baqoroh:219)

Hukum Menunaikan Zakat

Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan termasuk dari pondasi Islam yang agung. Maka hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi persyaratan. Dasarnya adalah dari Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma'.

Firman Allah Ta'ala: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus." (Al-Bayyinah :5)

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan utusanNya, menegakkan sholat, menunaikan zakat, menunaikan haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan." (lihat Bukhari Kitabul Iman 1:49 (8) dari hadits Ibnu Umar, Muslim, Kitabul Iman 2:130(113).

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz bin Jabbal ra. ke

negeri Yaman : "Terangkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang dipungut dari orang-orang kaya diantara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir dari mereka". (HR. Muslim Kitabul Iman 1:147(121))

Adapun Ijma', maka kaum muslimin disetiap masa telah ijma' akan wajibnya zakat. Juga para sahabat telah sepakat untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayarnya dan menghalalkan darah dan harta mereka karena zakat termasuk dari syi'ar Islam yang agung. (Mughni, karya Ibnu Qudamah 4:5)

Syaikh Abdullah Al Bassam menerangkan (Taudihul ahkam:3/12): Para ulama berselisih kapan diwajibkannya zakat, akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa kewajiban zakat di tetapkan dalam tiga fase: 1. Zakat diwajibkan secara mutlak tidak ada batasan atau rincian akan tetapi hanya perintah untuk memberi, memberi makan dan berbuat baik, ini berlangsung ketika sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hijrah. Allah berfirman: "Pada harta-harta mereka ada hak orang yang meminta dan ", didalam surat Fushilat Allah mengancam yang tidak mengeluarkan zakat; "Orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat", dalam surat AlMudatsir Allah memasukkan orang-orang yang tidak memberi makan orang miskin sebagai Al-Mujrimin (orang yang berdosa) "... dan Tidak memberi makan orang miskin". (AlMudatsir : 44) 2. Tahun kedua Hijriyah diterangkanlah hukum zakat dengan rinci, diterangkan harta yang wajib dizakati dan kadar nishabnya serta jumlah yang harus dikeluarkan sebagai zakat". 3. Tahun kesembilan Hijriyah ketika manusia masuk Islam dengan berbondong-bondong dan semakin luas daerah Islam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim petugas-petugas untuk mengambil zakat .

Hikmah Disyariatkannya Zakat

Diantara hikmah disyari'atkannya zakat adalah : a. Menguatkan rasa kasih sayang antara si kaya dengan si miskin. Hal ini dikarenakan fitrahnya jiwa manusia adalah senang terhadap orang yang berbuat kebaikan (berjasa

kepadanya). b. Mensucikan dan membersihkan jiwa serta menjauhkan jiwa dari sifat kikir dan bakhil. c. Membiasakan seorang muslim untuk memiliki sifat belas kasihan. d. Memperoleh keberkahan, tambahan dan ganti yang lebih baik dari Allah Ta'ala. e. Sebagai ibadah kepada Allah Ta'ala (lihat Risalah Fi Zakat oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).

(Dikutip dari tulisan ustadz Qomar Sua'idi, Lc, yang diarsipkan eks. tim Zisonline, al akh Fikri Thalib) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=785 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Manfaat Zakat Hati dan Zakat Harta (Maal)

Sep 11, '08 11:14 PM untuk semuanya

Manfaat Zakat Hati dan Zakat Harta (Maal) Penulis: Al Akh Syamsu Muhajir Fiqh, 08 November 2004, 00:51:27 Manfaat Zakat Hati Dan Zakat Harta

A. Definisi zakat Secara bahasa, zakat artinya berkembang dan bertambah dalam kebaikan dan kesempurnaan. Dikatakan, sesuatu itu zakat, jika sesuatu itu berkembang baik menuju kesempurnaan.

Sesuatu bisa berkembang dengan baik apabila keadaan sesuatu itu bersih dari kotoran dan penyakit. Seperti halnya badan kita, hewan dan tumbuhan bisa berkembang dengan baik jika keadaannya baik dan bersih dari kotoran dan segala penyakit. Demikian pula hati manusia bisa berkembang dengan baik dan sempurna manakala hati itu baik serta bersih dari kotoran dan segala penyakit.

B. Zakat Hati Dosa dan kemaksiatan yang dilakukan manusia laksana hama pada tumbuhan. Ibarat pasir pada emas dan perak. Demikian pula penyakit hati seperti hasud, sombong, congkak, merendahkan manusia, bodoh, besar kepala, keras hati menjadi penghambat berkembangnya hati. Bahkan terkadang sampai mematikan hati seperti halnya hama yang menghambat pertumbuhan tanaman dan bahkan mematikannya.

Maka, agar hati itu menjadi baik dan agar hati berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan maka hati itu harus dibersihkan terlebih dahulu dari segala penyakit dan kotorannya. Caranya ialah dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah, menjauhi kemaksiatan dan yang dilarang Allah dan banyak bertaubat kepada-Nya. Allah Taala berfirman, )

30)

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman hendaknya mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kehormatannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (An-Nur: 30) Allah Subhanahu wa Taala mengatakan di dalam ayat ini bahwa sucinya hati itu terjadi setelah menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, yaitu menundukkan pandangan dari yang diharamkan Allah Taala. Allah Taala telah menguji kita dengan memberikan nafsu senang melihat sesuatu yang indah-indah, senang melihat wanita berwajah cantik, tetapi harus diketahui bahwa yang disenangi oleh nafsu itu ada yang diharamkan dan ada yang dihalalkan. Apabila seseorang sanggup menahan nafsunya dari yang diharamkan Allah, maka Allah akan mengganti dengan yang lebih baik seperti sejuknya hati, tenangnya hati, senang dan gembiranya hati.

Dalam hadits disebutkan, ) ) Barangsiapa meninggalkan sesuatu (yang haram) karena Allah niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. (HR Ahmad dengan sanad shahih)

Mengingat hati itu selalu terikat dengan sesuatu yang dicintainya, maka ketika hatinya bersih, hanya Allah yang dicintainya maka dia hanya menghamba dan tunduk kepada Allah saja. Sedangkan jika di hati itu sudah bercabang kecintaannya pada selain Allah, maka dia akan tunduk kepada apa yang dia cintai. Perbuatan manusia ikut pada kemauan dan keadaan hatinya.

Dalam ayat lain Allah berfirman, Apabila dikatakan kepadamu kembalilah maka kembalilah karena ini lebih suci bagi kalian. (Ath-Thur: 28)

Ayat ini menerangkan orang yang meminta izin atau bertamu tetapi pemilik rumah belum berkenan menerimanya sehingga dia memohon agar sang tamu kembali kemudian tamu ini mengikuti permohonannya maka itu lebih suci bagi yang bertamu.

Jadi supaya hati bisa berkembang dengan baik menuju kebaikan dan kesempurnaan adalah dengan membersihkan terlebih dahulu dari dosa dan maksiat dan membersihkannya dari penyakit-penyakitnya.

Adapun perkara yang dapat menjadikan hati berkembang dan yang dapat menjadikan hati baik, sempurna, dan suci adalah tauhid, yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah ()

Tauhid bukan hanya sebagai pengembang hati tetapi juga berfungsi sebagai pembersih hati yaitu membersihkan keyakinan-keyakinan (aqidah) yang batil, membersihkan hati dari keinginan-keinginan yang tidak benar dan tauhid ( ) merupakan bahan dasar yang menjadikan hati tumbuh dan berkembang dengan baik, yaitu ketika tidak ada lagi di hatinya

tuhan-tuhan selain Allah, tidak ada lagi kemauan dan keinginan kecuali karena Allah. Di hatinya hanya ada Allah dan kebenaran yang bisa berbuah menjadi amalan ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah.

Maka dari itu, tidak ada pelajaran yang melebihi ketinggian dan kemuliaan tauhid karena faidahnya yang fundamental karena yang dipelajari adalah Dzat Yang Maha Agung dan Maha Mulia dan aqidah merupakan dasar bangunan Islam setiap muslim yang menjadi penentu kekokohan dan rapuhnya ke-Islaman seseorang. Allah Taala berfirman: ) 6) Celakalah orang-orang musyrik yang mereka itu tidak menunaikan zakat. (Fush-shilat: 56) Kebanyakan ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata zakat di ayat ini adalah tauhid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir) Di samping tauhid, amalan ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah juga berfungsi sebagai pembersih dan mensucikan hati. Allah Taala berfirman: ) 9) Sungguh beruntung orang yang mensucikan hatinya. (Asy-Syams:9)

Juga firman-Nya: ) 18) Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri? (An Naaziat: 18) Zakkaa pada ayat ini adalah amalan ketaatan kepada Allah.

Namun demikian bagi orang yang telah dikaruniai taufiq dan hidayah oleh Allah mampu menjalankan ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah tidak diperbolehkan untuk merasa dan menganggap dirinya sudah bersih dan suci. Allah Taala berfirman: Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mengganggap dirinya bersih. (an-Nisa: 49)

Maka, janganlah kalian mengatakan dirimu suci. (an-Najm: 32) Pada hakikatnya hanya Allah yang menjadikan seseorang itu bersih dan suci dan hanya Allah Taala yang mengabarkan kebersihan dan kesucian seseroang. Allah Taala berfirman: tetapi Allah yang membersihkan/mensucikan siapa yang Dia kehendaki. (An-Nisa49)

Maka manfaat hati yang sudah dizakati (dibersihkan) akan dapat memudahkan seseorang untuk menerima kebenaran, senang dalam menerima hidayah/petunjuk dari Allah. Lapang dada menerima Islam, senang dan gembira dalam menjalankan ketaqwaan kepada-Nya. Sedangkan jika hati kotor maka yang terjadi adalah sebaliknya, yakni sulit menerima kebenaran dan petunjuk, sempit dan sesak dadanya terhadap syariat Islam dan berat untuk menjalankan ketaqwaan kepada Allah.

C. Zakat Harta Adapun manfaat zakat harta adalah seperti yang difirmankan Allah:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. (At-Taubah: 103)

Allah mengumpulkan dalam ayat ini tentang manfaat zakat harta yaitu membersihkan dan mensucikan karena harta tidak akan suci/berkembang tanpa dibersihkan terlebih dahulu.

Lebih jauh Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah menerangkan manfaat zakat harta itu, sebagai berikut: 1. Untuk menyempurnakan keislaman seorang hamba karena zakat termasuk rukun Islam. Rasulullah (Shalallahu alaihi wassallam) bersabda:

Islam itu dibangun di atas lima dasar mengucapkan syahadat bahwa tidak ada ilah yang hak selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitul Haram.

2. Sebagai bukti benarnya iman orang yang berzakat karena nafsu itu sangat senang pada harta maka seseorang tidak akan menyerahkan hartanya kecuali karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari harta itu yaitu ridho Allah yang nilainya jauh lebih baik dan lebih sempurna untuk hamba.

3. Untuk mensucikan akhlak orang yang berzakat karena dengan zakat dia akan keluar dari golongan orang-orang yang bakhil/pelit dan masuk pada golongan orang-orang derma.

4. Zakat dapat melapangkan dada dan menenangkan hati tetapi dengan dua syarat yaitu : 4a. Ketika mengeluarkan zakat harus lapang dada bukan dengan terpaksa, sehingga hati akan mengikutinya karena hatinya akan gelisah ketika seseorang meninggalkan kebiasaan baiknya. 4b. Dia harus sanggup mengeluarkan hartanya dari hatinya sebelum dikeluarkan dari tangannya, karena tidak bermanfaat mengeluarkan dengan tangannya tetapi masih diikat oleh hatinya.

5. Sebagai bentuk kesempurnaan iman karena kita senang manakala saudara kita memberikan hartanya pada kita dan begitu pula saudara kita akan senang kalau kita beri dia harta. Rasulullah (Shalallahu alaihi wassallam) bersabda : Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.(HR. Muslim)

6. Zakat menjadi sebab masuk surga karena surga itu diperuntukkan bagi orang baik pembicaraannya, suka menebar salam, memberi makan dan orang yang shalat malam ketika manusia sedang tidur.

Surga itu bagi orang yang memperbagus pembicaraannya, suka menebar salam, suka memberi makan, dan mendirikan shalat malam sedangkan manusia sedang tidur. (HR. Tirmidzi hadits hasan shahih)

7. Menjadikan masyarakat muslimin seperti satu keluarga, munculnya sifat kepedulian orang yang mampu kepada orang yang lemah, yang kaya kepada yang miskin, menyadari bahwa saudaranya yang lemah dan miskin butuh derma dan kepeduliannya, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadanya. Allah Taala berfirman: Berbuatlah ihsan/kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (Al-Qashash: 77)

8. Zakat dapat meredam sifat memberontaknya orang-orang fakir. Perbedaan sosial yang mencolok sering memunculkan ketidakharmonisan sosial. Si kaya naik mobil, si fakir berjalan kaki. Si kaya tinggal di istananya, si fakir tidur beralas tikar dan berselimut angin dingin. Si kaya makan segala yang dia mau, si fakir harus menguras tenaga dan keringat hanya untuk sesuap nasi. Tetapi jika si kaya bersifat derma dan peduli pada saudaranya maka ini dapat menenangkan keadaan dan meredam kecemburuan sosial dan meredam munculnya benih-benih pemberontakan si miskin terhadap si kaya.

9. Zakat dapat mencegah dosa-dosa harta seperti pencurian, perampasan, perampokan dan penipuan. Karena orang miskin merasa bahwa pada orang kaya ada haknya yang ditahan, sehingga menghambat terlaksananya kebutuhan si miskin.

10. Zakat dapat menyelamatkan dari panasnya hari kiamat. Rasulullah (Shalallahu alaihi wassallam) bersabda: Setiap orang dalam naungan shodaqohnya pada hari kiamat. (HR. Ahmad)

11. Zakat dapat mendorong manusia untuk mengetahui dan mempelajari syariat dan hukum Allah karena zakat tidak bisa dilaksanakan tanpa didahului ilmu.

12. Zakat dapat menumbuhkan dan mengembangkan harta, karena zakat melindungi harta dari penyakit-penyakitnya dan Allah akan memberkati harta yang bersih. Dalam hadits disebutkan: Tidaklah zakat itu mengurangi harta. (HR. Bukhori)

Seringnya penyakit harta itu dapat memberangus harta secara keseluruhan seperti kebakaran, kebangkrutan, atau sakit yang menguras hartanya. 13. Zakat itu dapat menjadi sebab turunnya kebaikan, dalam hadits disebutkan: Tidaklah suatu kaum menolak zakat harta mereka kecuali mereka telah menolak turunnya hujan dari langit. (HR. Ibnu Majah)

14. Zakat dapat meredam murka Allah. 15. Zakat dapat mencegah dari mati jelek (suul khotimah). Dalam hadits disebutkan: Dari Anas Radliyallahu anhu dia berkata, Rasulullah (Shalallahu alaihi wassallam) bersabda, Zakat itu dapat meredam murka Allah dan mencegah mati jelek. (HR. Tirmidzi) 16. Zakat itu mencegah turunnya bala dari langit. 17. Zakat dapat menghapus kesalahan dan dosa, Rasulullah (Shalallahu alaihi wassallam) bersabda, Shodaqoh/zakat itu dapat memghapus kesalahan sebagaimana air dapat meredam api. (HR. Tirmidzi, hadits hasan shahih).

Inilah manfaat zakat hati dan zakat harta semoga kita mampu melaksanakannya dengan baik dan benar. Berikut tabel Perhitungan Zakat :

Silakan klik www.salafy.or.id/download.php, temukan file zakat.gif untuk mendownloadnya. Allahu a'lam. Maraji : 1. Mawaridul aman karya Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah Rahimahullah. 2. Syarhul Mumti zadil mustaqni karya Asy-Syaikh Al-Utsaimin Rahimahullah.

(Dikutip dari artikel Manfaat Zakat Hati dan Zakat Harta (Maal), ditulis oleh Panitia Ramadhan majelis Taklim dan Dakwah As-Sunnah, al Akh Syamsu Muhajir dengan

murajaah Al Ustadz Usamah Mahri, Malang. Dikirim via Email oleh Akhi Khudori, Malang dan edit oleh redaksi) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=801 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Zakat Fitrah seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam

Sep 11, '08 11:13 PM untuk semuanya

Zakat Fitrah seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Penulis: Syaikh Salim & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Fiqh, 28 Oktober 2004, 05:03:44 1. Hukumnya

Zakat Fitri ini (hukumnya) wajib berdasarkan hadits (dari) Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma:Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri [pada bulan Ramadhan kepada manusia].194)[HR Bukhari (3/291) dan Muslim (984) dan tambahannya pada Muslim] Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri.195)[Riwayat Abu Daud (1622) dan An NasaI (5/50), padanya ada Al Hasan ber-ananah. Dan hadits sebelumnya sebagai syahid]

Sebagian Ahlul ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah mansukh oleh hadits Qais bin Saad bin Ubadah, ia berkata: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam memerintahkan kami dengan shadaqah fithri sebelum diturunkannya (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkannya

(kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami, tetapi kami mengerjakan (mengeluarkan zakat fithri). Al Hafidz Rahimahullah menjawab sangkaan tersebut dengan perkataannya (3/368): bahwa pada sanadnya ada rawi yang tidak dikenal196) [Akan tetapi hadits tersebut mempunyai penguat, dan dikeluarkan oleh An NasaI (5/49) dan Ibnu Majah (1/585) dan Ahmad (6/6), Ibnu Khuzaimah (4/81) dan Al Hakim (1/410) dan Al Baihaqi (4/159) dari beberapa jalan, dan sanadnya shahih] dan kalaupun dianggap shahih tidak ada dalil yang menunjukkan atas naskh (diahapusnya) hadits Qais yang menunjukkan wajibnya zakat fithri, mungkin Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mencukupkan dengan perintah yang pertama, karena turunnya suatu kewajiban tidaklah menggugurkan kewajiban yang lain. Imam Al Khathabiy Rahimahullah berkata dalam Maalimus Sunan (2/214): Ini tidak menunjukkan hilangnya kewajiban zakat fithri, tetapi hanya menunjukkan tambahan dalam jenis ibadah, tidak mengharuskan dimansukhknya hukum sebelumnya, kedudukan zakat harta (sebagaiman) kedudukan zakat fithri (yaitu) berkaitan dengan riqab (orang perorang).

2. Siapa yang Wajib Zakat ?

Zakat fithri wajib atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun hamba. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu gantang kurma, atau satu gantang gandum atas hamba dan orang yang merdeka, kecil dan besar dari kalangan kaum muslimin.197)[HR Bukhari (3/291) dan Muslim (984)]

Sebagian Ahlul ilmi ada yang mewajibkan zakat fithri pada hamba yang kafir karena hadits Abu Hurairah Radhiallahu anhu: Hamba tidak ada zakatnya kecuali zakat fithri.198) [HR Muslim (982)] Hadits ini umum, sedang hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits khusus jadi penentu hadits umum. Yang lain berkata, Tidak wajib atas orang yang puasa karena hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri, pensuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan (memberi)

makanan bagi orang yang miskin.199) [Telah lewat takhrijnya] Imam Al Khathabiy dalam Maalimus Sunan (3/214) menegaskan: Zakat fithri wajib atas orang yang puasa yang kaya atau orang fakir yang mendapatkan makanan dari dia, jika illat diwajibkannya karena pensucian, maka seluruh orang yang puasa butuh akan hal itu, jika berserikat dalam illat berserikat pula dalam hukum. Al Hafidz menjawab (3/369): Pensucian disebutkan untuk menghukumi yang dominan, zakat fithri diwajibkan pula atas orang yang tidak berpuasa seperti diketahui keshahihannya atau orang yang masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari.

Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithri wajib juga atas janin, tetapi kami tidak menemukan dalil akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut sebagai anak kecil atau besar, baik menurut masyarakat maupun istilah.

3. Macam Zakat Fithri

Zakat Fithri dikeluarkan berupa satu gantang gandum, satu gantang kurma, satu gantang susu, satu ganang anggur kering atau salt (sejenis gandum yang tidak berkulit), karena hadits Abu Said Al Khudri Radhiallahu anhu: Kami mengeluarkan zakat (pada zaman Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam) satu gantang makanan, satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang susu kering, satu gantang anggur kering.200) [HR Bukhari (3/294) dan Muslim (985)] Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan atu gantang gandum, satu gantang korma dan satu gantang salt.201) [Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (4/80) dan Al Hakim (1/409-410) Telah ikhtilaf dalam tafsir lafadz makanan dalam hadits Abu Said Al Khudri, ada yang bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang bilang selain itu, namun yang paling kuat (yang membuat hati ini tenang) lafadz di atas mencakup seluruh yang dimakan termasuk hinthah dan jenis lainnya, tepung dan adonan, semuanya telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma:

Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat Ramadhan satu gantang makanan dari anak kecil, besar, budak dan orang yang merdeka. Barangsiapa yang memberi salt (sejenis gandum yang tidak berkulit) akan diterima, aku mengira beliau berkata, Barangsiapa yang mengeluarkan berupa tepung akan diterima, barangsiapa yang mengeluarkan berupa adonan, diterima.202) [Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah (4/180), sanadnya hasan] Dari beliau Shalallahu alaihi wassalam bersabda: Zakat fithri satu gantang makanan, barangsiapa yang membawa gandum diterima, yang membawa korma diterima, yang membawa salt (gandum yang tidak berkulit) diterima, yang membawa anggur kering diterima, aku mengira beliau berkata: yang membawa adonan diterima.203) [Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah (4/180), sanadnya hasan]

Adapun hadits-hadits yang menafikan adanya hinthah (gandum) atau bahwasanya Muawiyah Radhiallahu anhu berpendapat untuk mengeluarkan dua mud dari samara (gandum) Syam, dan bahwa satu mud hinthah itu melebihi yang ada di sini. Ini dikuat-kan oleh perkataan Abu Said: Dulu makanan kami adalah gandum, anggur kering, susu yang dikeringkan dan korma.204) [Telah lewat takhrijnya]

Yang membantah seluruh dalil orang yang menyelisihi kita adalah satu pembahasan yang akan datang ketika menjelaskan takaran zakat fithri, menurut hadits-hadits yang shahih yang menegaskan adanya hinthah bahwa dua mud hinthah sama dengan satu gantang anggur, agar kaum muslimin yang mendudukkkan sahabat sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa pendapat Muawiyah bukanlah ijtihad hasil dari pemikiran sendiri, tetapi berdasarkan hadita marfu sampai kepada Rasululllah Shalallahu alaihi wassalam.

4. Ukuran Zakat Fithri

Seorang muslim diperbolehkan zakat fithri sesuai dengan jenis yang disebutkan tadi, mereka ikhtilaf tentang hinthah, ada yanga mengatakan setengah gantang ini yang rajih, dan yang paling sahahih berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam: Tunaikanlah satu gantang gandum atau korma, untuk dua orang satu gantang dari gandum atas orang merdeka, hamba, anak kecil atau besar.205) [Riwayat Abu Daud (2340), NasaI

(7/281), Al Baihaqi (6/31) dari Ibnu Umar dengan sanad shahih].

Gantang yang teranggap adalah gantangnya penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiallahu anhuma: Timbangan yang teranggap adalah timbangannya Ahlu Mekah, dan kiloan yang teranggap adalah kiloan-nya orang madinah.206) [Riwayat Abu Daud (2340), NasaI (7/281), Al Baihaqi (6/31) dari Ibnu Umar dengan sanad shahih]

5. Siapakah yang harus dibayar zakatnya?

Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang dibawah tanggungannya, baik anak kecil maupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiallahu anhuma: kami diperintah oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam (mengeluarkan) shadaqah fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan hamba dari orang-orang yang membekalinya.207) [Dikeluarkan oleh Daruquthni (2/141) dan Ibnu Umar dengan sanad dhaif (lemah). Dan dikeluarkan Al Baihaqi (4/161) dari jalan yang lain dari Ali, dan sanadnya terputus. Dan padanya ada jalan yang mauquf dari Ibnu Umar pada Inu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (4/37) dengan sanad shahih. Maka -dengan jalan-jalan inimaka haditsnya menjadi hasan]

6. Kemana Disalurkannya

Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.208) [Telah lewat takhrijnya]. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam di dalam Majmu Fatawa (2/71-78) serta murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya yang bagus Zaadul Maad (2/44).

Sebagian Ahlul ilmi berpendapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi (pendapat) ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membentahnya pada kitab yang telah disebutkan baru saja, maka lihatlah kitab tersebut, karena hal itu sangat penting.

Termasuk amalan sunah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk diberikan kepada yang berhak pent). Sungguh Nabi Shalallahu alaihi wassalam telah mewakilkan kepada Abu Hurairah Radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah mengkhabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan.209) [Dikeluarkan oleh Bukhari (4/396)]

Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar Radhiallahu anhuma mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintahan, pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum Iedul Fithri, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (4/83) dari jalan Abdul Warits dari Ayyub, aku katakan: Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu gantang? Berkata Ayyub: Apabila petugas telah duduk (bertugas). Aku katakan: Kapankah petugas itu mulai bertugas? Beliau menjawab: Satu hari atau dua hari sebelum Idul Fithri.

7. Waktu Penunaian Zakat Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar (rumah) menuju sholat Id dan tidak bleh diakhirkan (setelah) shalat atau dimajukan penunaiannya, kecuali satu atau dua hari (sebelum Id)210) [Lihat pada kitab Ahkamul Idain fis Sunnah Al Muthaharah karya Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cet.maktabah Al Islamiyah] berdasarkan perbuatan Ibnu Umar Radhiallahu anhuma berdasarkan kaidah rawi hadits diketahui dengan makna riwayatnyamaka apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan shadaqah dari beberapa shadaqah (yang ada).211) [Telah lewat takhrijnya]

8. Hikmah Zakat

Allah 'Azza wa Jalla mewajibkan zakat sebagai pensucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin

untuk mencukupi (kebutuhan ) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma yang telah lalu.

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka AlMubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Zakat Fitrah". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=777 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Menunaikan zakat, upaya pembersihan harta kita

Sep 11, '08 11:13 PM untuk semuanya

Menunaikan zakat, upaya pembersihan harta kita Penulis: Panitia Ramadhan majelis Taklim dan Dakwah As-Sunnah Fiqh, 23 Oktober 2004, 13:08:00 Bersihkan harta dengan berzakat

Pengertian zakat

Zakat, secara bahasa berarti tambahan (az-ziyadah) dan pensucian (ath-thaharah). Adapun secara syari, zakat adalah hak (bagian) yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu, untuk dibagikan kepada golongan tertentu dan di waktu tertentu.

Kedudukan zakat dalam Islam Zakat adalah termasuk salah satu rukun Islam yang lima. Rukun Islam yang lima yaitu : Bersyahadat, shalat, puasa, zakat dan haji ke baitullah bagi yang mampu.

Hikmah disyariatkannya zakat : 1) Terjalinnya hubungan kasih sayang antara si kaya dan si miskin. 2) Membersihkan dan mensucikan jiwa, menjauhkan, diri dari sifat kikir/ bakhil. (QS. AtTaubah : 103) 3) Membiasakan diri berbuat dermawan, bersikap mulia dan rasa iba terhadap orang-orang yang membutuhkan. 4) Melimpahkan barakah, berkembangnya harta serta mendapatkan balasan/ ganti yang lebih baik dari sisi Allah I. (QS. Saba : 39)

Hukum Zakat Wajib hukumnya mengeluarkan zakat, berdasarkan : 1. Dalil Al-Quran, firman Allah subhanahu wataala : Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat (QS. Baqarah : 43)

2. Dalil dari As-Sunnah Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman : Beritahu kepada mereka, bahwa Allah subhanahu wataala mewajibkan zakat. Ambillah zakat itu dari orang-orang kaya di antara meerka. Dan bagikanlah kepada orang-orang miskin di antara mereka. (Hadits Muttafaqun alaih) 3. Dalil Ijma Kaum Muslimin telah bersepakat tentang wajibnya zakat. Para sahabat Nabi pun telah bersepakat bolehnya memerangi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.

Dalil tentang hal ini diantaranya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam

Bab Wajibnya Zakat, Bab Memungut Inaq (anak kambing betina umur satu tahun ke bawah) dalam shadaqoh", dan Bab Memerangi orang yang enggan menunaikan zakat.

Barangsiapa yang menolak dengan sadar tentang kewajiban menunaikan zakat, maka ia KAFIR. Dan brangsiapa yang yakin tentang wajibnya zakat tetapi ia enggan menunaikannya maka ia FASIQ (maksiat kepada Allah subhanahu wataala).

Ancaman bagi orang yang tidak menunaikan zakat. Allah subhanahu wataala berfirman : ) 34)

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu" (QS. At-Taubah : 34 - 35)

Syarat-syarat wajib zakat : 1) Beragama Islam (bukan orang kafir) 2) Telah mencukupi nishabnya. 3) Telah lewat masa satu tahun (haul), kecuali hasil bumi, zaktnya dikeluarkan seketika selesai panen.

Golongan penerima zakat Berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 60, golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan :

1) Orang-orang fakir, 2) Orang-orang miskin, 3) Pengurus-pengurus (amil) zakat, 4) Para mu'allaf (orang yang baru masuk Islam atau orang-orang yang diharapkan keislamannya), 5) Budak, untuk memerdekakan dirinya, 6) Gharimin (orang-orang yang berhutang), 7) Mujahidin (orang-orang yang berjihad di jalan Allah), 8) Ibnussabil (orang-orang yang sedang kehabisan bekal dalam perjalanan)

Kedudukan petugas zakat

Kedudukan petugas zakat diakui oleh syariat Islam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengutus sebagian sahabat untuk menarik zakat dari orang-orang kaya dan menyalurkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

Sebagai contoh, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mengutus Umar Ibnul Khattab untuk menarik zakat dari Khalid Ibnul Walid, Ibnul Jamil dan selainnya.

Termasuk kewajiban kaum muslimin adalah menyambut dan memuliakan mereka karena mereka sedang dalam menjalankan tugas agama mengingatkan dan membantu orang-orang kaya melaksanakan kewajibannya menunaikan zakat./**

(Dikutip dari artikel Pengertian Zakat, ditulis oleh Panitia Ramadhan majelis Taklim dan Dakwah As-Sunnah, al Akh Syamsu Muhajir dengan murajaah Al Ustadz Usamah Mahri, Malang. Dikirim via Email oleh Akhi Khudori, Malang dan edit oleh redaksi) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=766 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Beberapa faidah ibadah berpuasa kita

Sep 11, '08 11:11 PM untuk semuanya

Beberapa faidah ibadah berpuasa kita Penulis: Al Ustadz Abdurrahim Fiqh, 23 Oktober 2004, 12:52:33 Beberapa Faidah Puasa Semua perintah Allah Subhanahu wa Taala yang Dia syariatkan, pasti mengandung faedah dan manfaat dan semua yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Taala pasti karena berakibat mudharat dan bahaya bagi hamba Allah Subhanahu wa Taala, baik bahaya di dunia maupun di akhirat. Baik dipahami maupun maupun tidak, baik di sadari ataupun tidak pasti karena bahayanya.

Demikian halnya dengan syariat puasa Romadhon yang sedang yang kita jalani ini, pasti mengandung manfaat dan faedah. Walaupun, sepintas lalu kebanyakan orang yang kalah dengan nafsunya beranggapan bahwa puasa itu hanya sebagai beban yang memberatkan, atau hanya sekedar sebagai ujian keimanan dari Allah ,atau hanya sekedar sebagai amalan ibadah yang berhak dihargai dengan suatu balasan dan pahala seperti halnya orang jual beli dengan penentuan harga, atau hanya sekedar untuk latihan pengekangan nafsu dan atau hanya sekedar untuk mengangkat manusia dari derajat hewan. Sebenarnya, semua pelaksanaan perintah Allah Subhanahu wa Taala yang dilaksanakan sebagai amalan ibadah, yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan bagi orang beriman dan bertakwa perintah Allah Subhanahu wa Taala itu adalah qorrotul uyun (penyejuk hati), kelezatan hati, sebagai dasar ketenangan dan ketentraman hidup, sebagai makanan hati yang utama dan sebagai sumber kekuatan manusia yang hakiki yang hanya dengan ini kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba bisa dicapai, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, yaitu hidup sibuk dengan upaya peningkatan iman dan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Taala.

Seperti sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam : Dijadikan (oleh Allah) penyejuk hatiku dalam sholat. (HR. Ahmad dan An-Nasai) Allah Subhanahu wa Taala berfirman : Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57)

Menahan lapar di bulan puasa ataupun diluar bulan puasa ketika berpuasa maupun tidak, pasti mengandung faedah dan manfaat yang sangat besar untuk kesehatan badan dan kesehatan hati.

Hal ini sudah diterangkan oleh Rasulullah shollallohu alaihi wasallam dan telah dicontohkan oleh Beliau dan keluarga Beliau.

Sayyidatina Aisyah rodhiyallohu anha berkata : Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang walaupun dengan roti gandum dua hari berturut-turut sampai Beliau wafat. (Muttafaqun alaihi)

Beliau bersabda : Orang yang paling banyak kenyang di dunia adalah yang paling lama lapar di akhirat. (HR. Al-Bazzar )

Al-Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkan dengan sanad hasan dengan lafadz : Orang yang banyak kenyang di dunia mereka adalah orang yang banyak lapar di akhirat.

Al-Imam Al-Baihaqi meriwayatkan : Dunia adalah penjaranya orang mukmin dan surganya orang kafir.

Al-Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari Rasulullah bahwa Beliau bersabda :

Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya kemudian berikutnya. Kemudian akan datang suatu kaum mereka memberikan persaksian padahal tidak diminta persaksiannya. Mereka banyak bernadzar tetapi tidak menunaikannya. Dan banyak di kalangan mereka orang-orang gemuk/ gendut.

Al-Imam Thabrani dan Ibnu Abi Dunya meriwayatkan hadits : Akan terjadi pada ummatku seseorang memakan semua jenis makanan, meminum semua jenis minuman, memakai semua jenis pakaian dan banyak berbicara. Maka, mereka itulah paling jeleknya ummatku.

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan hadits :

Tidaklah Bani Adam memenuhi kantong yang lebih jelek dari perutnya, hendaknya Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya, jika tidak bisa tidak (terpaksa) maka makanlah sepertiga makanan sepertiga untuk minuman dan sepertiganya untuk nafasnya. (HR. Imam Tirmidzi) Setelah membawakan sebagian hadits-hadits di atas, Al-Imam Ash-shonani rahimahullah berkata : Hadits ini menunjukkan atas tercelanya banyak makan dan kenyang karena menimbulkan berbagai penyakit dan memberatkan seseorang untuk melaksanakan hukum syari/ ibadah.

Manfaat lapar terhadap kesehatan badan adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Masiwaih : Sekiranya manusia mau mengamalkan hadits ini (riwayat Tirmidzi) mereka akan selamat dari sakit dan berbagai penyakit, menutup rumah sakit dan mengistirahatkan toko obat/ apotik. Hal itu karena sumber segala penyakit adalah kenyang.

Al-Harits seorang dokter Arab mengatakan :

Yang banyak membunuh manusia adalah karena manusia suka memasukkan makanan pada perut sebelum makanan dalam perut dicerna. Yang lain mengatakan : Kalau kamu bertanya pada ahli kubur, apa penyebab kematianmu? Kebanyakan mereka menjawab,kenyang.

Adapun manfaat lapar untuk kesehatan hati, para ulama telah menerangkannya : Luqman al Hakim berwasiat pada putranya : Wahai putraku jika kamu penuhi lambungmu maka akan tidur pikiranmu, membisukan hikmah, mendudukkan anggota badan dari beribadah dan pada perut kosong itu banyak faedahnya yaitu menjernihkan hati , mencerdaskan manusia dan menajamkan bashiroh. Kenyang itu menyebabkan kedunguan, membutakan hati dan memperbanyak uap dan cairan dalam lambung. Berkata Dzunnun ailaihissalam : Saya tidak pernah kenyang kecuali saya berbuat maksiat atau berkeinginan untuk bermaksiat. Berkata Aisyah radiyallahu anha: Bidah pertama yang terjadi setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam adalah kenyang sesungguhnya suatu kaum ketika kenyang perutnya keras nafsunya untuk mendapatkan dunia Berkata al Imam ash Shanani rahimahullah : Sesungguhnya lapar itu adalah penjaga dari penjagaan Allah dan pertama yang terhindar dengan lapar adalah dorongan syahwat jima dan syahwat berbicara karena bagi orang yang lapar tidak ada keinginan untuk berbicara kecuali sangat penting sehingga dia terhindar dari berbagai penyakit lisan, pada orang yang lapar juga tidak bangkit padanya syahwat jimanya sehingga terhindar dari penyaluran syahwat yang diharomkan, orang lapar juga sedikit tidur karena orang yang banyak makan dan minum akan banyak tidur yang dapat membawa kepada kerugian di dunia dan akhiratnya, terluput dari berbagai kemamfataan duniawi dan ukhrowi.

Berkata Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah : Lapar itu menyebabkan lembutnya hati, kuatnya pemahaman, lembutnya jiwa, lemahnya nafsu dan kemarahan. Sedangkan kenyang menyebabkan lawannya.

Berkata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah : Wahai Bani Adam, makanlah sepertiga perutmu, minumlah sepertiga perutmu dan biarkan sepertiga untuk bernafas dan berfikir.

Ibnu Abi Dunya meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata : Aku tidak pernah kenyang sejak aku masuk Islam.

Diriwayatkan dari Amir bin Qois , bahwa dia berkata : Jauhilah oleh kalian kenyang, karena kenyang itu mengeraskan hati.

Telah berkata Malik bin Dinar rahimahullah : Tidak semestinya, seorang mukmin menjadikan perutnya paling besar cita-citanya dan menjadikan syahwatnya menguasai dirinya.

Berkata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah : Adalah bapak kita Adam diuji dengan makan, dan terus kalian akan diuji dengan makan sampai hari kiamat. Beliau juga berkata : Barangsiapa mampu menguasai perutnya maka dia akan mampu menguasai amal sholehnya. Beliau juga berkata : Tidaklah hikmah itu berada di perut yang penuh.

Diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Abi Dawud bahwa telah dikatakan padanya : Lapar itu banyak menolong seseorang bersegera melakukan kebaikan.

Berkata Abu Imran Al-Juwaini : Sesungguhnya nafsu, jika lapar dan haus maka bersih hati dan lembut dan jika perut

kenyang dan lega maka hatinya buta. Beliau berkata : Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar, dan pangkal segala kebaikan dunia dan akhirat adalah takut kepada Allah. Sesungguhnya Allah memberikan dunia ini kepada orang yang dicintai dan yang tidak, dan sesungguhnya lapar itu di sisi Allah ada simpanan yang ditunda dan tidak diberikan kecuali kepada orang yang dicintai-Nya. Berkata Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah : Saya tidak pernah kenyang selama 16 tahun, karena kenyang itu memberatkan badan, menghilangkan kecerdasan, membuat banyak tidur dan melemahkan seseorang untuk melakukan ibadah.

Demikian kehidupan Rasulullah dan para shahabat. Beliau dan para shahabatnya lebih memilih banyak lapar dari pada kenyang karena kefahamannya terhadap faedah lapar dan bahaya kenyang, lebih memilih mengekang syahwatnya daripada menurut syahwat, dan bukannya pada mereka tidak ada makanan tetapi beliau-beliau lebih memilih keadaan yang lebih baik dan lebih sempurna daripada lawannya. Mereka makan dan minum sekedar dapat melaksanakan ibadah, karena hanya untuk itu (untuk beribadah) diciptakannya jin dan manusia.

Seringnya Rasulullah makan tiga hari sekali sampai wafat bukan makan sehari tiga kali seperti budaya kita. Allah berfirman : Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam : 59)

Ketika sholat sudah dilalaikan padahal sholat adalah tiang agama dan amalan yang diperintah untuk dijaga agar dikerjakan pada waktu-waktu terbaiknya maka amalan selain sholat sudah pasti akan lebih dilalaikan lagi.

Sholat adalah ukuran kedisiplinan seseorang, dan tidak ada yang lebih dapat melalaikan

sholat dan ibadah lainnya selain karena memperturutkan hawa nafsu, lebih mempertaruhkan hawa nafsu dan lebih memperturutkan kemauan hawa nafsunya daripada menjalankan hakhak Allah.

Semoga puasa kita pada bulan dan tahun ini diterima di sisi Allah sebagai ibadah yang diridhoi Allah, bermanfaat pada diri kita, baik dalam kehidupan di dunia, lebih-lebih sebagai bekal pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak-anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. Wallahu alam bishshowab. Maraji : 1. Tafsir Taisirul karimur Rohman, Al-Imam As-Sadi. 2. Bahjatun Nadzirin syarah Riyadhussholihin, karya Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly.AlImam Ibnul Qoyyim. 3. Jamiul Ulum wal Hikam karya Al-Imam ibnu Rajab rahimahullah. 4. Subulussalam Syarah Bulughul Maram, karya Al-Imam As-Shonani rahimahullah.

(Dikutip dari artikel Diantara Faidah Puasa, ditulis oleh ustadz Abdurrahim, Malang. Dikirim via Email oleh Akhi Khudori, Malang dan edit oleh redaksi) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=764 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Beberapa faidah ibadah berpuasa kita

Sep 11, '08 11:11 PM untuk semuanya

Beberapa faidah ibadah berpuasa kita Penulis: Al Ustadz Abdurrahim Fiqh, 23 Oktober 2004, 12:52:33 Beberapa Faidah Puasa Semua perintah Allah Subhanahu wa Taala yang Dia syariatkan, pasti mengandung faedah dan manfaat dan semua yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Taala pasti karena berakibat mudharat dan bahaya bagi hamba Allah Subhanahu wa Taala, baik bahaya di dunia maupun di akhirat. Baik dipahami maupun maupun tidak, baik di sadari ataupun tidak pasti karena bahayanya.

Demikian halnya dengan syariat puasa Romadhon yang sedang yang kita jalani ini, pasti mengandung manfaat dan faedah. Walaupun, sepintas lalu kebanyakan orang yang kalah dengan nafsunya beranggapan bahwa puasa itu hanya sebagai beban yang memberatkan, atau hanya sekedar sebagai ujian keimanan dari Allah ,atau hanya sekedar sebagai amalan ibadah yang berhak dihargai dengan suatu balasan dan pahala seperti halnya orang jual beli dengan penentuan harga, atau hanya sekedar untuk latihan pengekangan nafsu dan atau hanya sekedar untuk mengangkat manusia dari derajat hewan. Sebenarnya, semua pelaksanaan perintah Allah Subhanahu wa Taala yang dilaksanakan sebagai amalan ibadah, yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan bagi orang beriman dan bertakwa perintah Allah Subhanahu wa Taala itu adalah qorrotul uyun (penyejuk hati), kelezatan hati, sebagai dasar ketenangan dan ketentraman hidup, sebagai makanan hati yang utama dan sebagai sumber kekuatan manusia yang hakiki yang hanya dengan ini kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba bisa dicapai, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, yaitu hidup sibuk dengan upaya peningkatan iman dan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Taala.

Seperti sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam : Dijadikan (oleh Allah) penyejuk hatiku dalam sholat. (HR. Ahmad dan An-Nasai) Allah Subhanahu wa Taala berfirman :

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57)

Menahan lapar di bulan puasa ataupun diluar bulan puasa ketika berpuasa maupun tidak, pasti mengandung faedah dan manfaat yang sangat besar untuk kesehatan badan dan kesehatan hati.

Hal ini sudah diterangkan oleh Rasulullah shollallohu alaihi wasallam dan telah dicontohkan oleh Beliau dan keluarga Beliau.

Sayyidatina Aisyah rodhiyallohu anha berkata : Keluarga Muhammad tidak pernah kenyang walaupun dengan roti gandum dua hari berturut-turut sampai Beliau wafat. (Muttafaqun alaihi)

Beliau bersabda : Orang yang paling banyak kenyang di dunia adalah yang paling lama lapar di akhirat. (HR. Al-Bazzar )

Al-Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkan dengan sanad hasan dengan lafadz : Orang yang banyak kenyang di dunia mereka adalah orang yang banyak lapar di akhirat.

Al-Imam Al-Baihaqi meriwayatkan : Dunia adalah penjaranya orang mukmin dan surganya orang kafir.

Al-Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari Rasulullah bahwa Beliau bersabda :

Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya kemudian

berikutnya. Kemudian akan datang suatu kaum mereka memberikan persaksian padahal tidak diminta persaksiannya. Mereka banyak bernadzar tetapi tidak menunaikannya. Dan banyak di kalangan mereka orang-orang gemuk/ gendut.

Al-Imam Thabrani dan Ibnu Abi Dunya meriwayatkan hadits : Akan terjadi pada ummatku seseorang memakan semua jenis makanan, meminum semua jenis minuman, memakai semua jenis pakaian dan banyak berbicara. Maka, mereka itulah paling jeleknya ummatku.

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan hadits :

Tidaklah Bani Adam memenuhi kantong yang lebih jelek dari perutnya, hendaknya Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya, jika tidak bisa tidak (terpaksa) maka makanlah sepertiga makanan sepertiga untuk minuman dan sepertiganya untuk nafasnya. (HR. Imam Tirmidzi) Setelah membawakan sebagian hadits-hadits di atas, Al-Imam Ash-shonani rahimahullah berkata : Hadits ini menunjukkan atas tercelanya banyak makan dan kenyang karena menimbulkan berbagai penyakit dan memberatkan seseorang untuk melaksanakan hukum syari/ ibadah.

Manfaat lapar terhadap kesehatan badan adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Masiwaih : Sekiranya manusia mau mengamalkan hadits ini (riwayat Tirmidzi) mereka akan selamat dari sakit dan berbagai penyakit, menutup rumah sakit dan mengistirahatkan toko obat/ apotik. Hal itu karena sumber segala penyakit adalah kenyang.

Al-Harits seorang dokter Arab mengatakan : Yang banyak membunuh manusia adalah karena manusia suka memasukkan makanan pada perut sebelum makanan dalam perut dicerna. Yang lain mengatakan : Kalau kamu bertanya pada ahli kubur, apa penyebab kematianmu? Kebanyakan mereka menjawab,kenyang.

Adapun manfaat lapar untuk kesehatan hati, para ulama telah menerangkannya : Luqman al Hakim berwasiat pada putranya : Wahai putraku jika kamu penuhi lambungmu maka akan tidur pikiranmu, membisukan hikmah, mendudukkan anggota badan dari beribadah dan pada perut kosong itu banyak faedahnya yaitu menjernihkan hati , mencerdaskan manusia dan menajamkan bashiroh. Kenyang itu menyebabkan kedunguan, membutakan hati dan memperbanyak uap dan cairan dalam lambung. Berkata Dzunnun ailaihissalam : Saya tidak pernah kenyang kecuali saya berbuat maksiat atau berkeinginan untuk bermaksiat. Berkata Aisyah radiyallahu anha: Bidah pertama yang terjadi setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam adalah kenyang sesungguhnya suatu kaum ketika kenyang perutnya keras nafsunya untuk mendapatkan dunia Berkata al Imam ash Shanani rahimahullah : Sesungguhnya lapar itu adalah penjaga dari penjagaan Allah dan pertama yang terhindar dengan lapar adalah dorongan syahwat jima dan syahwat berbicara karena bagi orang yang lapar tidak ada keinginan untuk berbicara kecuali sangat penting sehingga dia terhindar dari berbagai penyakit lisan, pada orang yang lapar juga tidak bangkit padanya syahwat jimanya sehingga terhindar dari penyaluran syahwat yang diharomkan, orang lapar juga sedikit tidur karena orang yang banyak makan dan minum akan banyak tidur yang dapat membawa kepada kerugian di dunia dan akhiratnya, terluput dari berbagai kemamfataan duniawi dan ukhrowi.

Berkata Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah : Lapar itu menyebabkan lembutnya hati, kuatnya pemahaman, lembutnya jiwa, lemahnya nafsu dan kemarahan. Sedangkan kenyang menyebabkan lawannya.

Berkata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah :

Wahai Bani Adam, makanlah sepertiga perutmu, minumlah sepertiga perutmu dan biarkan sepertiga untuk bernafas dan berfikir.

Ibnu Abi Dunya meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata : Aku tidak pernah kenyang sejak aku masuk Islam.

Diriwayatkan dari Amir bin Qois , bahwa dia berkata : Jauhilah oleh kalian kenyang, karena kenyang itu mengeraskan hati.

Telah berkata Malik bin Dinar rahimahullah : Tidak semestinya, seorang mukmin menjadikan perutnya paling besar cita-citanya dan menjadikan syahwatnya menguasai dirinya.

Berkata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah : Adalah bapak kita Adam diuji dengan makan, dan terus kalian akan diuji dengan makan sampai hari kiamat. Beliau juga berkata : Barangsiapa mampu menguasai perutnya maka dia akan mampu menguasai amal sholehnya. Beliau juga berkata : Tidaklah hikmah itu berada di perut yang penuh.

Diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Abi Dawud bahwa telah dikatakan padanya : Lapar itu banyak menolong seseorang bersegera melakukan kebaikan.

Berkata Abu Imran Al-Juwaini : Sesungguhnya nafsu, jika lapar dan haus maka bersih hati dan lembut dan jika perut kenyang dan lega maka hatinya buta. Beliau berkata : Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar, dan pangkal segala kebaikan dunia dan akhirat adalah takut kepada Allah. Sesungguhnya Allah memberikan dunia ini kepada orang yang dicintai dan yang tidak, dan sesungguhnya lapar itu di sisi Allah ada

simpanan yang ditunda dan tidak diberikan kecuali kepada orang yang dicintai-Nya. Berkata Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah : Saya tidak pernah kenyang selama 16 tahun, karena kenyang itu memberatkan badan, menghilangkan kecerdasan, membuat banyak tidur dan melemahkan seseorang untuk melakukan ibadah.

Demikian kehidupan Rasulullah dan para shahabat. Beliau dan para shahabatnya lebih memilih banyak lapar dari pada kenyang karena kefahamannya terhadap faedah lapar dan bahaya kenyang, lebih memilih mengekang syahwatnya daripada menurut syahwat, dan bukannya pada mereka tidak ada makanan tetapi beliau-beliau lebih memilih keadaan yang lebih baik dan lebih sempurna daripada lawannya. Mereka makan dan minum sekedar dapat melaksanakan ibadah, karena hanya untuk itu (untuk beribadah) diciptakannya jin dan manusia.

Seringnya Rasulullah makan tiga hari sekali sampai wafat bukan makan sehari tiga kali seperti budaya kita. Allah berfirman : Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam : 59)

Ketika sholat sudah dilalaikan padahal sholat adalah tiang agama dan amalan yang diperintah untuk dijaga agar dikerjakan pada waktu-waktu terbaiknya maka amalan selain sholat sudah pasti akan lebih dilalaikan lagi.

Sholat adalah ukuran kedisiplinan seseorang, dan tidak ada yang lebih dapat melalaikan sholat dan ibadah lainnya selain karena memperturutkan hawa nafsu, lebih mempertaruhkan hawa nafsu dan lebih memperturutkan kemauan hawa nafsunya daripada menjalankan hakhak Allah.

Semoga puasa kita pada bulan dan tahun ini diterima di sisi Allah sebagai ibadah yang

diridhoi Allah, bermanfaat pada diri kita, baik dalam kehidupan di dunia, lebih-lebih sebagai bekal pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak-anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. Wallahu alam bishshowab. Maraji : 1. Tafsir Taisirul karimur Rohman, Al-Imam As-Sadi. 2. Bahjatun Nadzirin syarah Riyadhussholihin, karya Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly.AlImam Ibnul Qoyyim. 3. Jamiul Ulum wal Hikam karya Al-Imam ibnu Rajab rahimahullah. 4. Subulussalam Syarah Bulughul Maram, karya Al-Imam As-Shonani rahimahullah.

(Dikutip dari artikel Diantara Faidah Puasa, ditulis oleh ustadz Abdurrahim, Malang. Dikirim via Email oleh Akhi Khudori, Malang dan edit oleh redaksi) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=764 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri

Sep 11, '08 11:11 PM untuk semuanya

Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Penulis: Ustadz Abu Hamzah Yusuf Fiqh, 21 Juli 2003, 02:26:13

Di antara amalan yang menyempurnakan puasa kaum muslimin di bulan yang penuh barokah ini adalah zakatul fithr. Zakat ini disebut demikian karena ia wajib ditunaikan pada saat kaum muslimin berbuka (menyelesaikan ibadah puasanya di bulan Ramadhan). Oleh karenanya disebut pula sebagai shodaqoh Ramadhan.

Menunaikan Zakat Fithri Sebagian para ulama menukilkan ijma' (kesepakatan) ulama tentang wajibnya menunaikan zakat ini. Dan ini adalah pendapat yang rajih/ kuat meskipun pada kenyataannya ada beberapa ulama yang menyatakan sunnahnya zakat fithri ini. Di antara yang memperkuat pendapat sebagian besar para ulama adalah hadits dari Ibnu 'Umar Radiyallahu 'anhu bahwa: "Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri (ketika Ramadhan berakhir) bagi setiap orang merdeka atau budak, lelaki atau perempuan, yang besar maupun kecil dari kalangan muslimin berupa kurma (tamr) atau gandum sebanyak 1 sha'. Dan beliau memerintahkan agar zakat ini ditunaikan sebelum kaum Muslimin keluar menuju lapangan (untuk menunaikan) sholat Ied. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Yang pasti, Allah Ta'ala mensyariatkan ibadah ini karena mempunyai keutamaan dan hikmah yang besar.Maka di antara hikmah dari zakat fithri adalah: 1. Sebagai pembersih bagi orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, menyempurnakan kekurangan pahala puasanya di bulan Ramadhan oleh karena perbuatan sia-sia/ dosa. 2. Sebagai bentuk rasa syukur yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Taala, setelah mampu menyelesaikan ibadah Ramadhan dengan baik. 3. Mempererat ukhuwwah antara kaum muslimin, di mana dengan pemberian zakat ini akan terjalin hubungan yang baik antara dhu'afa dan aghniya. Kaum dhu'afa tak lagi disibukkan dengan kerja keras banting tulang bahkan kadang terpaksa mengemis untuk memperoleh makanan yang akan dimakannya pada saat Idul Fithri. Dengan demikian mereka akan turut bergembira dan merasakan kemenangan di hari tersebut. Demikianlah di antara hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dzat yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui segala sesuatu. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Fathul Baari (III/369) berkata: "Zakat Fithri diwajibkan untuk orang yang berpuasa dan juga orang yang tidak berpuasa sebagaimana hal ini telah diketahui keshahihannya. Demikian pula orang yang baru masuk Islam sesaat

sebelum terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia pun terkena kewajiban menunaikannya."

Dengan apa zakat fithri dibayarkan Dari hadits di atas kita ketahui bahwa zakat fithri adalah dengan memberikan gandum dan tamr (kurma) seberat 1 sha'. Lalu apakah terbatas hanya pada dua jenis makanan ini? Maka pertanyaan ini akan terjawab dengan hadits marfu' (sanadnya sampai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam) yang diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudry bahwasanya dia berkata: "Kami dahulu memberikan zakat fithri di masa Nabi Shalallahu alaihi wassalam seukuran 1 sha' makanan atau 1 sha' kurma atau 1 sha' gandum atau 1 sha' aqith (susu kambing yang dipanaskan hingga berbusa lalu diambil saripatinya dan dibiarkan hingga mengeras) atau 1 sha' anggur kering."

Ternyata dalam dua hadits ini, tidak kita dapati penyebutan beras atau sagu sebagai bahan makanan pokok di negeri ini. Sehingga apakah kita harus mencari bahan-bahan yang tersebut dalam dua hadits di atas untuk membayar zakat fithri kita?

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah, pendapat yang paling masyhur di dalam madzhab Hanbali (madzhabnya pengikut Imam Ahmad ibnu Hanbal) adalah pendapat bahwa membayar zakat dengan bahan-bahan selain yang disebutkan dalam dua hadits di atas adalah tidak sah. Akan tetapi pendapat ini, wallahu a'lam, adalah pendapat yang marjuh/ lemah. Sebab dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa'id Al-Khudry mengatakan: "Kami (para sahabat Nabi) memberikan zakat fithri di masa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam berupa 1 sha' makanan." Abu Sa'id Al-Khudry berkata: "Dan makanan kami pada saat itu adalah gandum, anggur kering, dan aqith."

Riwayat ini menunjukkan bahwa makanan yang dibayarkan adalah makanan pokok yang paling banyak dibutuhkan oleh penduduk suatu negeri. Dan ini adalah pendapat ulama dari madzhab Malikiyyah dan Syafi'i dan diriwayatkan pula dari Imam Ahmad, serta dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi'iy rahimahullah ta'ala. Syaikh Abdullah ibnu Abdirrahman ibnu Shalih Al-Bassam dalam Taisirul 'Allam

keterangan beliau terhadap kitab Umdatul Ahkam (I/404) mengatakan: "Bahan makanan yang paling utama untuk zakat fithri (dari bahan-bahan makanan yang ada) adalah bahan makanan pokok yang paling dibutuhkan oleh kaum muslimin (faqir dan miskin) setempat." Sehingga di Indonesia, bahan makanan yang paling baik untuk zakat fithri adalah beras. Wallahu a'lam.

Berapa ukurannya

Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa ukuran (takaran) 1 sha' adalah sha' nabawy (seukuran 4 mud yang ditakar dengan dua tangan Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam). Dan apabila dikonversikan ke satuan timbangan (berat) maka 1 sha' nabawy setara dengan 2040 (dua ribu empat puluh) gram atau 2,04 kg. Wallahu a'lam.

Bolehkah menggantikan bahan pokok dengan uang yang senilai? Al-Imam An-Nawawy menukilkan dalam Syarah Muslim (VII/53) bahwa seluruh ulama (kecuali Abu Hanifah) tidak membolehkan zakat fithri yang dibayarkan dengan uang. Dan inilah yang rajih/ kuat berdasarkan beberapa hal: 1. Hadits tentang zakat fithri menunjukkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mensyariatkan zakat ini untuk ditunaikan dalam bentuk makanan. 2. Amalan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dan sahabatnya menunjukkan bahwa mereka selalu menunaikan zakat ini berupa makanan, padahal kita mengetahui bahwa di masa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam pun telah beredar uang dinar dan dirham. Namun beliau dan para sahabatnya tetap menunaikan zakat dengan bahan makanan, tidak dengan dinar dan dirham.

Siapa yang harus dibayarkan zakatnya Setiap kaum muslimin (laki-laki dan perempuan) harus membayar zakatnya masing-masing jika dia memiliki kemampuan untuk membayarnya. Sehingga seorang wanita atau anak kecil yang memiliki harta harus menunaikan dengan hartanya. Adapun bila dia tidak memiliki harta maka yang harus membayar adalah orang yang menanggung nafkahnya kalau dia memiliki sesuatu yang lebih dari apa yang harus ia nafkahkan kepada orang-orang

yang berada di bawah tanggungannya pada malam Ied dan esoknya. Bila dia tidak memiliki sesuatu kecuali apa yang harus dia nafkahkan untuk tanggungannya maka tidaklah wajib baginya untuk membayar, sebagaimana dikatakan oleh jumhur ulama. Adapun hamba sahaya, maka wajib bagi tuannya untuk membayar zakat budak tersebut berdasarkan hadits dari Abu Hurairah: "Tidak ada kewajiban untuk membayarkan shodaqoh seorang hamba sahaya kecuali zakat fithri." (HR. Muslim).

Kepada siapa zakat fithri diberikan

Zakat fithri diberikan kepada yang berhak menerimanya. Mereka adalah orang-orang faqir dan miskin. Ibnu Abbas Radiyallahu anhu meriwayatkan: "Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri, pensuci bagi orang yang puas dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan (memberi) makanan bagi orang yang miskin." Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Majmu' Fatawa (II/71-78) serta Ibnul Qoyyim dalam kitab beliau Zadul Ma'ad (II/44).

Lalu mengapa zakat fithri ini tidak disalurkan kepada 8 golongan Sebagian para ulama menganggap bahwa zakat fithri disalurkan kepada 8 golongan. Mereka meng-qiyas-kannya dengan zakatul maal yang memang diberikan kepada 8 golongan sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Taala dalam surat At-Taubah ayat 60. Namun qiyas ini tidaklah dibenarkan. Karena dalil dari Al-Qur'an ini adalah dalil yang bersifat umum. Sedangkan untuk zakat fithri adalah dalil khusus yaitu hadits Ibnu Abbas yang telah disebut di atas.

Bolehkah membentuk kepanitiaan untuk zakat fithri Di antara sunnah Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dalam penunaian zakat fithri adalah pembentukan panitia khusus yang menerima zakat fithri dari kaum muslimin serta menyalurkannya kepada yang berhak menerima. Beliau telah mencontohkan hal ini di masa hidupnya. Diceritakan oleh Abu Hurairah: "Rasulullah memberitahukan kepadaku agar aku mengurus zakat Ramadhan."

Ibnu Khuzaimah (dalam kitab [IV/83]) mencantumkan satu riwayat dari Abdul Warits dari Ayyub bahwasanya Ibnu Umar pernah menyalurkan zakat fithri melalui panitia yang dibentuk oleh pemerintah muslimin satu atau dua hari sebelum Idul Fithri. Abdul Warits bertanya kepada Ayyub: "Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu sha' (zakat fithri)?" Ayyub menjawab: "Setelah panitia mulai bertugas." Abdul Warits bertanya lagi: "Kapankah panitia itu mulai bertugas?" Maka beliau menjawab: "Satu atau dua hari sebelum Idul Fithri."

Kapan zakat fithri ditunaikan

Ia harus ditunaikan (disampaikan kepada yang berhak) sebelum kaum muslimin keluar menuju tanah lapang untuk melaksanakan shalat Ied. Dan para ulama sepakat bahwa ia tidak boleh ditunda sama sekali. Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar ra: "Bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam memerintahkan kum muslimin untuk membayarkan zakatnya sebelum keluarnya mereka untuk menjalankan shalat Ied." Adapun memajukannya satu atau dua hari sebelum Iedul Fithri, maka hal ini diperbolehkan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan riwayat dari Al-Bukhari dari Ibnu Umar Radiyallahu anhu. Dan Ibnu Abbas Radiyallahu anhu meriwayatkan suatu hadits bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda: "Barangsiapa menunaikan zakat fithri sebelum shalat ied maka ia adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah dilakasanakan shalat iedul fithri maka ia dianggap sebagai salah satu jenis shodaqoh saja dan zakatnya tidak diterima." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lainnya dengan sanad yang hasan). Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah zakat fithri. Oleh sebab itu, kami mengajak segenap kaum muslimin untuk menunaikan zakat fithri sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam, sehingga Allah Subhanahu wa Taala menyempurnakan pahala ibadah puasa kita di bulan Ramadhan ini dengan zakat fithri yang kita tunaikan. Amin. (Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf, Bulletin al Wala wal Bara Edisi ke-2 Tahun ke-1 / 29 November 2002 M / 24 Ramadhan 1423 H, url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/2.htm)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=121 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Lagi, hadits-hadits lemah sekitar Ramadhan

Sep 11, '08 11:03 PM untuk semuanya

Lagi, hadits-hadits lemah sekitar Ramadhan Penulis: Syaikh Salim & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Fiqh, 28 Oktober 2004, 05:15:09 Hadits-hadits dhaif yang tersebar seputra bulan Ramadhan

Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan:

Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orangorang sesat dari sunnah, dan mematahkan takwilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu Sunnah. Sejak bertahuntahun sunnah telah tercampur dengan hadits-hadits dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.

Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia ini walaupun sedikit perhatianpun, wlaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan yang shahih yang menyingkap yang bathil. Maksud kami bukan membahas dengan detail

masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan mashyur di kalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini sangat disesalkan- menduduki kedudukan yang tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits: Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat (riwayat Bukhari 6/361), dan sabda beliau: Agama itu nasehat(riwayat Muslim no.55)

Maka kami katakan wabillahi taufiq:

Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih walau banyak- yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif. Semoga Allah merahmati Al Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan: (Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya. Jadikanlah imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup) kita.

Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia pada bulan Ramadhan diantaranya: 1. Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Mauduat (2/188-189) dan Abul Yala di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al Muthalibul Aaliyah (Bab/A-B/ tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Masud Al Ghifari. Hadits ini maudhu (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata: Masyhur dengan kelemahannya. Juga dinukilkan perkataan Abu Nuaim, Dia suka memalsukan hadits, dan Bukhari, berkata, Mungkarul hadits dan dari An Nasai, matruk (ditinggalkan)

haditsnya.

Ibnul Jauzi menghulumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al Bajali. 2. Wahai manusia, sungguh bulan yang agung twlah (menaungi) kalian, bulan yang didalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara wajib pada bulan yang lain. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al Ashbahani dalam At Targhib (q/178,b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jadan dari Said bin Al Musayyib dari Salman. Hadits ini sanadnya dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Saad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat, berkata Ibnu Main, Dhaif berkata Ibnu Abi khaitsamah, Lemah di segala penjuru, dan berkata Ibnu Khuzaimah, Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya. Demikianlah di dalam Tahdizbut Tahdzib (7/322-323). Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. Berkata Ibnu Hajar di dalam Al Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jadan, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As Suyuthi di dalam Jamul Jawami (no. 23714-tertib urutannya). Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (1/249), Hadits yang mungkar. 3. Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Said, dai Ad Dhahhak dari ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad Dhahhak tidak mendengarkan dari ibnu Abbas. Diriwayatkan oleh At Thabrani di dalam Al Ausath (1/q 69/ Al Majmaul Bahrain) dan Abu Nuaim di dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah. Berkata Abu Bakar Al Atsram, Aku mendengar Imam Ahmad dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin muhammad- berkata, Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam- pent) yang dhaif itu, Ibnu Abi Hatim berkata, Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia. Al Ajalaiy berkata, Hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari ahli Syam ini tidak membuatku kagum, demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/427).

Aku katakan: dan Muhammad bin Sulaiaman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaiman dinaskhkan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya. 4. Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun tersebut. Hadits ini diriwayatkan Bukhari dengan muallaq* dalam Shahih-nya (4/160 Fathul Bari) tanpa sanad. Ibnu Khuzaimah telah memalsukan hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870), At Tirmidzi (723), Abu Daud (2397), Ibnu Majah (1672) dan Nasai di dalam Al Kubra sebagaimana dalam Tuhfatu Asyraaf (10/373), Baihaqi (4/228) dan Ibnu Hajar dalam Taghliqut Taliq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul bari (4/161): Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit: idhthirab (goncang), tidak diketahuinya keadaan Abil muthawwas dan diragukan pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah.

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkannya: Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya sehingga hadits ini dhaif juga. Wa badu: Inilah empat hadits yang didhifkan oleh para ulama dan dilemahkan oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering)mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.

Tidak menutup kemungikinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna-makna yang benar, yang sesuai dengan syariat kita yang lurus baik dari Al Quran maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam, dan terlebih lagi segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad ini dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya (yakni Al Isnad) adalah: Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar.

Mudah-mudahan Allah memberi rizki pada kami kebaikannya. Wahai saudaraku yang haus akan ketaatan kepada Allah, inilah sifat puasa Nabi dihadapanmu. Dan inilah petunjuknya dalam puasa Ramadhan, bersegeralah kepada kebaikan. Wasubhaanakallahu wa bihamdika, asyhadu anlaa ilaha illa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaika.

Ditulis oleh: Penuntut Ilmu Syari Ali Hasan Ali Abdul Hamid Saalim Al Hilali 25 Ramadhan 1403 H

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka AlMubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "HADITS-HADITS DHAIF YANG TERSEBAR SEPUTAR BULAN RAMADHAN". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al

Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=778 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Lagi, hadits-hadits lemah sekitar Ramadhan

Sep 11, '08 11:02 PM untuk semuanya

Lagi, hadits-hadits lemah sekitar Ramadhan Penulis: Syaikh Salim & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Fiqh, 28 Oktober 2004, 05:15:09 Hadits-hadits dhaif yang tersebar seputra bulan Ramadhan

Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan:

Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orangorang sesat dari sunnah, dan mematahkan takwilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu Sunnah. Sejak bertahuntahun sunnah telah tercampur dengan hadits-hadits dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.

Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia

ini walaupun sedikit perhatianpun, wlaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan yang shahih yang menyingkap yang bathil. Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan mashyur di kalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini sangat disesalkan- menduduki kedudukan yang tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits: Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat (riwayat Bukhari 6/361), dan sabda beliau: Agama itu nasehat(riwayat Muslim no.55)

Maka kami katakan wabillahi taufiq:

Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih walau banyak- yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif. Semoga Allah merahmati Al Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan: (Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya. Jadikanlah imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup) kita.

Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia pada bulan Ramadhan diantaranya: 1. Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Mauduat (2/188-189) dan Abul Yala di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al Muthalibul Aaliyah (Bab/A-B/ tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Masud Al Ghifari. Hadits ini maudhu (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata: Masyhur dengan

kelemahannya. Juga dinukilkan perkataan Abu Nuaim, Dia suka memalsukan hadits, dan Bukhari, berkata, Mungkarul hadits dan dari An Nasai, matruk (ditinggalkan) haditsnya.

Ibnul Jauzi menghulumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al Bajali. 2. Wahai manusia, sungguh bulan yang agung twlah (menaungi) kalian, bulan yang didalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara wajib pada bulan yang lain. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al Ashbahani dalam At Targhib (q/178,b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jadan dari Said bin Al Musayyib dari Salman. Hadits ini sanadnya dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Saad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat, berkata Ibnu Main, Dhaif berkata Ibnu Abi khaitsamah, Lemah di segala penjuru, dan berkata Ibnu Khuzaimah, Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya. Demikianlah di dalam Tahdizbut Tahdzib (7/322-323). Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. Berkata Ibnu Hajar di dalam Al Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jadan, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As Suyuthi di dalam Jamul Jawami (no. 23714-tertib urutannya). Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (1/249), Hadits yang mungkar.

3. Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Said, dai Ad Dhahhak dari ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad Dhahhak tidak mendengarkan dari ibnu Abbas. Diriwayatkan oleh At Thabrani di dalam Al Ausath (1/q 69/ Al Majmaul Bahrain) dan Abu Nuaim di dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah. Berkata Abu Bakar Al Atsram, Aku mendengar Imam Ahmad dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin muhammad- berkata, Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam- pent) yang dhaif itu, Ibnu Abi Hatim berkata, Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia. Al Ajalaiy berkata, Hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari ahli Syam ini tidak membuatku kagum, demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/427).

Aku katakan: dan Muhammad bin Sulaiaman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaiman dinaskhkan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya. 4. Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun tersebut. Hadits ini diriwayatkan Bukhari dengan muallaq* dalam Shahih-nya (4/160 Fathul Bari) tanpa sanad. Ibnu Khuzaimah telah memalsukan hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870), At Tirmidzi (723), Abu Daud (2397), Ibnu Majah (1672) dan Nasai di dalam Al Kubra sebagaimana dalam Tuhfatu Asyraaf (10/373), Baihaqi (4/228) dan Ibnu Hajar dalam Taghliqut Taliq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul bari (4/161): Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit: idhthirab (goncang), tidak diketahuinya keadaan Abil muthawwas dan diragukan

pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah. Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkannya: Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya sehingga hadits ini dhaif juga. Wa badu: Inilah empat hadits yang didhifkan oleh para ulama dan dilemahkan oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering)mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.

Tidak menutup kemungikinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna-makna yang benar, yang sesuai dengan syariat kita yang lurus baik dari Al Quran maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam, dan terlebih lagi segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad ini dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya (yakni Al Isnad) adalah: Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar.

Mudah-mudahan Allah memberi rizki pada kami kebaikannya. Wahai saudaraku yang haus akan ketaatan kepada Allah, inilah sifat puasa Nabi dihadapanmu. Dan inilah petunjuknya dalam puasa Ramadhan, bersegeralah kepada kebaikan. Wasubhaanakallahu wa bihamdika, asyhadu anlaa ilaha illa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaika.

Ditulis oleh: Penuntut Ilmu Syari Ali Hasan Ali Abdul Hamid Saalim Al Hilali 25 Ramadhan 1403 H

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka AlMubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab

"HADITS-HADITS DHAIF YANG TERSEBAR SEPUTAR BULAN RAMADHAN". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=778 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Zakat Fitrah seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam

Sep 11, '08 10:54 PM untuk semuanya

Zakat Fitrah seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Penulis: Syaikh Salim & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Fiqh, 28 Oktober 2004, 05:03:44 1. Hukumnya

Zakat Fitri ini (hukumnya) wajib berdasarkan hadits (dari) Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma:Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri [pada bulan Ramadhan kepada manusia].194)[HR Bukhari (3/291) dan Muslim (984) dan tambahannya pada Muslim] Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri.195)[Riwayat Abu Daud (1622) dan An NasaI (5/50), padanya ada Al Hasan ber-ananah. Dan hadits sebelumnya sebagai syahid]

Sebagian Ahlul ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah mansukh oleh hadits Qais bin Saad bin Ubadah, ia berkata: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam memerintahkan kami

dengan shadaqah fithri sebelum diturunkannya (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkannya (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami, tetapi kami mengerjakan (mengeluarkan zakat fithri). Al Hafidz Rahimahullah menjawab sangkaan tersebut dengan perkataannya (3/368): bahwa pada sanadnya ada rawi yang tidak dikenal196) [Akan tetapi hadits tersebut mempunyai penguat, dan dikeluarkan oleh An NasaI (5/49) dan Ibnu Majah (1/585) dan Ahmad (6/6), Ibnu Khuzaimah (4/81) dan Al Hakim (1/410) dan Al Baihaqi (4/159) dari beberapa jalan, dan sanadnya shahih] dan kalaupun dianggap shahih tidak ada dalil yang menunjukkan atas naskh (diahapusnya) hadits Qais yang menunjukkan wajibnya zakat fithri, mungkin Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mencukupkan dengan perintah yang pertama, karena turunnya suatu kewajiban tidaklah menggugurkan kewajiban yang lain. Imam Al Khathabiy Rahimahullah berkata dalam Maalimus Sunan (2/214): Ini tidak menunjukkan hilangnya kewajiban zakat fithri, tetapi hanya menunjukkan tambahan dalam jenis ibadah, tidak mengharuskan dimansukhknya hukum sebelumnya, kedudukan zakat harta (sebagaiman) kedudukan zakat fithri (yaitu) berkaitan dengan riqab (orang perorang).

2. Siapa yang Wajib Zakat ?

Zakat fithri wajib atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun hamba. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu gantang kurma, atau satu gantang gandum atas hamba dan orang yang merdeka, kecil dan besar dari kalangan kaum muslimin.197)[HR Bukhari (3/291) dan Muslim (984)]

Sebagian Ahlul ilmi ada yang mewajibkan zakat fithri pada hamba yang kafir karena hadits Abu Hurairah Radhiallahu anhu: Hamba tidak ada zakatnya kecuali zakat fithri.198) [HR Muslim (982)] Hadits ini umum, sedang hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits khusus jadi penentu hadits umum. Yang lain berkata, Tidak wajib atas orang yang puasa karena hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan

zakat fithri, pensuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan (memberi) makanan bagi orang yang miskin.199) [Telah lewat takhrijnya] Imam Al Khathabiy dalam Maalimus Sunan (3/214) menegaskan: Zakat fithri wajib atas orang yang puasa yang kaya atau orang fakir yang mendapatkan makanan dari dia, jika illat diwajibkannya karena pensucian, maka seluruh orang yang puasa butuh akan hal itu, jika berserikat dalam illat berserikat pula dalam hukum. Al Hafidz menjawab (3/369): Pensucian disebutkan untuk menghukumi yang dominan, zakat fithri diwajibkan pula atas orang yang tidak berpuasa seperti diketahui keshahihannya atau orang yang masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari.

Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithri wajib juga atas janin, tetapi kami tidak menemukan dalil akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut sebagai anak kecil atau besar, baik menurut masyarakat maupun istilah.

3. Macam Zakat Fithri

Zakat Fithri dikeluarkan berupa satu gantang gandum, satu gantang kurma, satu gantang susu, satu ganang anggur kering atau salt (sejenis gandum yang tidak berkulit), karena hadits Abu Said Al Khudri Radhiallahu anhu: Kami mengeluarkan zakat (pada zaman Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam) satu gantang makanan, satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang susu kering, satu gantang anggur kering.200) [HR Bukhari (3/294) dan Muslim (985)] Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam mewajibkan atu gantang gandum, satu gantang korma dan satu gantang salt.201) [Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (4/80) dan Al Hakim (1/409-410) Telah ikhtilaf dalam tafsir lafadz makanan dalam hadits Abu Said Al Khudri, ada yang bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang bilang selain itu, namun yang paling kuat (yang membuat hati ini tenang) lafadz di atas mencakup seluruh yang dimakan termasuk hinthah dan jenis lainnya, tepung dan adonan, semuanya telah dilakukan oleh para sahabat

berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat Ramadhan satu gantang makanan dari anak kecil, besar, budak dan orang yang merdeka. Barangsiapa yang memberi salt (sejenis gandum yang tidak berkulit) akan diterima, aku mengira beliau berkata, Barangsiapa yang mengeluarkan berupa tepung akan diterima, barangsiapa yang mengeluarkan berupa adonan, diterima.202) [Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah (4/180), sanadnya hasan] Dari beliau Shalallahu alaihi wassalam bersabda: Zakat fithri satu gantang makanan, barangsiapa yang membawa gandum diterima, yang membawa korma diterima, yang membawa salt (gandum yang tidak berkulit) diterima, yang membawa anggur kering diterima, aku mengira beliau berkata: yang membawa adonan diterima.203) [Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah (4/180), sanadnya hasan]

Adapun hadits-hadits yang menafikan adanya hinthah (gandum) atau bahwasanya Muawiyah Radhiallahu anhu berpendapat untuk mengeluarkan dua mud dari samara (gandum) Syam, dan bahwa satu mud hinthah itu melebihi yang ada di sini. Ini dikuat-kan oleh perkataan Abu Said: Dulu makanan kami adalah gandum, anggur kering, susu yang dikeringkan dan korma.204) [Telah lewat takhrijnya]

Yang membantah seluruh dalil orang yang menyelisihi kita adalah satu pembahasan yang akan datang ketika menjelaskan takaran zakat fithri, menurut hadits-hadits yang shahih yang menegaskan adanya hinthah bahwa dua mud hinthah sama dengan satu gantang anggur, agar kaum muslimin yang mendudukkkan sahabat sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa pendapat Muawiyah bukanlah ijtihad hasil dari pemikiran sendiri, tetapi berdasarkan hadita marfu sampai kepada Rasululllah Shalallahu alaihi wassalam.

4. Ukuran Zakat Fithri

Seorang muslim diperbolehkan zakat fithri sesuai dengan jenis yang disebutkan tadi, mereka ikhtilaf tentang hinthah, ada yanga mengatakan setengah gantang ini yang rajih, dan yang paling sahahih berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam: Tunaikanlah satu gantang gandum atau korma, untuk dua orang satu gantang dari gandum

atas orang merdeka, hamba, anak kecil atau besar.205) [Riwayat Abu Daud (2340), NasaI (7/281), Al Baihaqi (6/31) dari Ibnu Umar dengan sanad shahih].

Gantang yang teranggap adalah gantangnya penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiallahu anhuma: Timbangan yang teranggap adalah timbangannya Ahlu Mekah, dan kiloan yang teranggap adalah kiloan-nya orang madinah.206) [Riwayat Abu Daud (2340), NasaI (7/281), Al Baihaqi (6/31) dari Ibnu Umar dengan sanad shahih]

5. Siapakah yang harus dibayar zakatnya?

Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang dibawah tanggungannya, baik anak kecil maupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiallahu anhuma: kami diperintah oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam (mengeluarkan) shadaqah fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan hamba dari orang-orang yang membekalinya.207) [Dikeluarkan oleh Daruquthni (2/141) dan Ibnu Umar dengan sanad dhaif (lemah). Dan dikeluarkan Al Baihaqi (4/161) dari jalan yang lain dari Ali, dan sanadnya terputus. Dan padanya ada jalan yang mauquf dari Ibnu Umar pada Inu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (4/37) dengan sanad shahih. Maka -dengan jalan-jalan inimaka haditsnya menjadi hasan]

6. Kemana Disalurkannya

Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.208) [Telah lewat takhrijnya]. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam di dalam Majmu Fatawa (2/71-78) serta murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya yang bagus Zaadul Maad (2/44).

Sebagian Ahlul ilmi berpendapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi (pendapat) ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membentahnya pada kitab

yang telah disebutkan baru saja, maka lihatlah kitab tersebut, karena hal itu sangat penting.

Termasuk amalan sunah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk diberikan kepada yang berhak pent). Sungguh Nabi Shalallahu alaihi wassalam telah mewakilkan kepada Abu Hurairah Radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah mengkhabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan.209) [Dikeluarkan oleh Bukhari (4/396)]

Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar Radhiallahu anhuma mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintahan, pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum Iedul Fithri, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (4/83) dari jalan Abdul Warits dari Ayyub, aku katakan: Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu gantang? Berkata Ayyub: Apabila petugas telah duduk (bertugas). Aku katakan: Kapankah petugas itu mulai bertugas? Beliau menjawab: Satu hari atau dua hari sebelum Idul Fithri.

7. Waktu Penunaian Zakat Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar (rumah) menuju sholat Id dan tidak bleh diakhirkan (setelah) shalat atau dimajukan penunaiannya, kecuali satu atau dua hari (sebelum Id)210) [Lihat pada kitab Ahkamul Idain fis Sunnah Al Muthaharah karya Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cet.maktabah Al Islamiyah] berdasarkan perbuatan Ibnu Umar Radhiallahu anhuma berdasarkan kaidah rawi hadits diketahui dengan makna riwayatnyamaka apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan shadaqah dari beberapa shadaqah (yang ada).211) [Telah lewat takhrijnya]

8. Hikmah Zakat

Allah 'Azza wa Jalla mewajibkan zakat sebagai pensucian diri bagi orang-orang yang

berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kebutuhan ) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma yang telah lalu.

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka AlMubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Zakat Fitrah". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=777 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan

Sep 11, '08 10:54 PM untuk semuanya

Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan Penulis: Al Ustadz Ahmad Hamdani Fatwa-Fatwa, 18 Oktober 2004, 05:26:46 Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan

Kalau jasmani seseorang dapat menjadi kuat disebabkan latihan fisik, maka puasa dapat memperkuat jiwa. Pada diri seseorang yang berpuasa, suplai bahan makanan dan minuman yang merupakan bahan bakar aktifitas kehidupan manusia berkurang sehingga pembuluhpembuluh darah menyempit. Seiring dengan menyempitnya pembuluh-pembuluh darah itu berarti menyempit pula tempat aliran setan dalam tubuh.

Keadaan seperti ini akan membuat nafsu syahwat terpenjara (dari hubungan sex atau persetubuhan) dan memenangkan anggota badannya dengan cara yang menakjubkan. Inilah hakikat puasa. Dengan demikian puasa adalah perisai dari serangan nafsu syahwat bagi orang-orang yang bertaqwa.

Puasa memiliki dua keutamaan khusus yang tidak ditemukan pada ibadah badan lainnya, yaitu: 1. Puasa merupakan amal tersembunyi. Pada umumnya orang lain tidak mengetahuinya dan kemungkinan besar sedikit tercampur dengan unsur riya.

2. Puasa sebagai benteng bagi orang-orang yang bertaqwa dari musuh Allah yaitu setan yang jalannya dalam rangka menguasai manusia adalah hawa nafsu syahwat.

Allah berfirman dalam hadits qudsi tentang keutamaan puasa: ). / / )-/

Puasa itu untukKu dan Aku yang akan membalasnya. (HR. Bukhari 3/3, 9/175 dan Muslim 157-158)

Sebenarnya cukuplah satu hadits qudsi yang mulia itu menunjukkan keutamaannya.

Akan tetapi orang-orang yang berpuasa itu berbeda dan bertingkat-tingkat dalam hal mendapatkan pahala dan keutamaannya.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ). ( / / / /

Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya selain dari rasa lapar dan dahaga. (HR. Ibnu Majah 1/539, Ad-Darimi 2/21, Ahmad 2/446, 373 dan Al-Baihaqi

4/270 dari jalan Sa'id Al-Muqbiri dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)

Hal ini terjadi disebabkan orang yang berpuasa tidak mengerti hakekat puasa sehingga tidak melaksanakannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dan puasanya tidak mendatangkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga.

Dalam kaitan ini kami kutipkan fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Fauzan yang berhubungan dengan puasa berupa tanya jawab sekitar puasa dan Ramadlan. Semoga bermanfaat.

Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab beliau Haqiqatus Shiyam hal. 87-100:

Tanya:

Beberapa orang melakukan safar (bepergian) pada bulan Ramadlan. Dalam rombongan itu ada yang berbuka dan ada yang berpuasa. Di antara yang berbuka mengejek yang berpuasa dengan alasan bahwa berbuka itu lebih utama. Pertanyaan: Berapakah jarak boleh mengqashar shalat? Apakah bila seseorang safar pada suatu hari boleh berbuka puasa? Apakah perbedaan safar maksiat dan safar ketaatan kepada Allah?

Jawab: Menurut kesepakatan kaum muslimin (ulama) berbuka puasa diperbolehkan bagi musafir jika safar itu bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya seperti haji, jihad, berdagang, dan yang semisalnya. Para ulama masih bersilang pendapat bila safarnya untuk bermaksiat pada Allah seperti safar dengan niat merampok.

Orang yang safar boleh mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut kesepakatan ulama meskipun tidak merasa haus dan lapar, baik tersedia makanan minuman atau tidak. Orang yang mengatakan bahwa orang yang safar tidak boleh berbuka kecuali yang lemah untuk berpuasa, maka orang tersebut diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Begitu pula orang yang mengingkari orang yang berbuka (ketika safar), maka dia diminta untuk bertaubat dari pendapatnya itu.

Juga orang yang mengatakan bahwa orang yang berbuka (ketika safar) itu berdosa, ia harus bertaubat dari ucapannya itu. Karena semua itu bertentangan dengan Kitabullah, sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan ijma' umat.

Menurut pendapat imam yang empat, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, bagi musafir diperbolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat dan hal ini lebih afdhal.

Para ulama tidak bersilang pendapat dalam hal pembolehan berbuka puasa bagi musafir. Sedangkan yang masih diperselisihkan justru pembolehan berpuasa bagi musafir. Sekelompok ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa orang yang sedang safar harus berbuka, bahkan tidak diperbolehkan berpuasa sehingga meskipun ia berpuasa tetap wajib mengqadlanya. Pendapat ini dipegang oleh Abdurrahman bin 'Auf, Abu Hurairah, dan lainlain radliyallahu 'anhum. Sebagaimana pula madzhab Dhahiri. Mereka berdalil dengan hadits:

Tidak termasuk kebaikan puasa dalam safar (bepergian). (HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan madzhab yang empat membolehkan puasa bagi musafir dengan dasar ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari Anas radliyallahu 'anhu: ). (

Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. (HR. Bukhari)

Hal ini karena mereka memahami firman Allah:

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara hak dan bathil). Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)

Adapun ukuran safar yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut Imam Ahmad dan Syafi'i adalah jarak perjalanan dua hari dengan kendaraan unta atau jalan kaki sejauh lebih kurang 16 farsakh (satu farsakh lebih kurang 8 km pent) seperti jarak antara Mekah-Ashfahan atau Mekah-Jedah. Sedangkan Abu Hanifah dan kelompok ulama salaf dan khalaf lainnya menentukan jarak perjalanan 3 hari.

Menurut pendapat yang paling kuat adalah boleh berbuka dan menqashar shalat pada bepergian kurang dari dua hari[1]. Disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengqashar shalat ketika di Arafah dan Muzdalifah serta Mina yang diikuti oleh penduduk Mekah dan beliau tidak memerintahkan mereka menyempurnakan shalat mereka.

Tanya:

Apakah seorang safar pada pertengahan hari boleh berbuka?

Jawab: Ada dua pendapat yang masyhur mengenai masalah ini. Keduanya dari Imam Ahmad. Yang paling benar adalah seseorang diperbolehkan berbuka ketika safar di pertengahan hari (sebelumnya ia berpuasa pent). Sebagaimana hal ini tertera dalam kitab-kitab Sunan. Para shahabat berbuka bila keluar safar pada pertengahan hari dan disebutkan bahwa yang

demikian itu sunnah yang dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berniat puasa waktu safar. Kemudian beliau dijamu dan beliau makan. Para shahabat melihat beliau.

Sedangkan apabila seorang tiba di tempat tujuan pada pertengahan hari, para ulama masih berselisih pendapat dalam menentukan kewajiban berpuasa. Akan tetapi dia wajib mengqadla baik berpuasa atau tidak. Orang yang sering bepergian ke suatu tempat tertentu boleh berbuka seperti pedagang yang pergi ke kota lain, tukang pos yang bepergian untuk kemaslahatan kaum muslimin dan lain-lain. Sedangkan orang yang bepergian jauh dengan naik kapal besar ditemani istrinya, membawa perbekalan lengkap dan dia terus-menerus demikian maka dia tidak boleh mengqashar shalat maupun berbuka puasa.

Orang-orang pedalaman seperti Badui Arab, Turki dan selainnya yang bermukim pada musim panas di suatu tempat, bila mereka dalam perjalanan dari tempat musim dingin ke tempat musim panas atau sebaliknya, maka boleh mengqashar shalat. Sedangkan bila telah singgah di tempat musim dingin atau tempat musim panas tidak boleh berbuka dan mengqashar shalat.

Tanya:

Ada seorang yang safar di bulan Ramadlan tidak merasa lapar, haus maupun lelah. Apakah yang lebih utama baginya puasa atau tidak?

Jawab: Menurut ijma' ia lebih utama berbuka meskipun dia tidak merasa berat dan berpuasa juga diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama mengatakan tidak berpahala bila ia puasa.

Tanya:

Ada seorang imam masjid bermadzhab Hanafi menyebutkan bahwa dia membaca kitab bahwa bila seseorang berpuasa di bulan Ramadlan tidak berniat pada akhir waktu isya' atau sahur maka puasanya tidak berpahala. Apakah pendapat ini dibenarkan?

Jawab: Setiap muslim yang mengetahui bahwa puasa Ramadlan itu wajib hukumnya, ia tentu berpuasa bulan itu dengan niat. Bila ia tahu besok akan puasa haruslah ia meniatkan puasa. Niat itu tempatnya di hati. Setiap orang akan mengetahui apa yang ia inginkan mesti meniatkannya dengan dilafalkan atau tidak. Melafalkan niat bukan wajib menurut ijma' kaum muslimin. Keumuman kaum muslimin berpuasa dengan diiringi niat.

Yang menjadi perselisihan adalah pengkhususan (ta'yin) niat untuk bulan Ramadlan, apakah hal ini wajib atau tidak?

Ada tiga pendapat dalam madzhab Imam Ahmad: Pertama, tidak cukup niat mutlak[2], harus meniatkan puasa Ramadlan. Kedua, boleh secara mutlak seperti pendapat Abu Hanifah. Ketiga, cukup secara mutlak tidak dengan niat tertentu (ta'yin) selain niat puasa Ramadlan. Riwayat yang ketiga ini dari Ahmad dipilih oleh Al-Hiraqi dan Abul Barkat. Maka saya katakan bahwa orang yang mengetahui keinginannya mesti akan berniat. Bila ia tahu besok Ramadlan maka ia akan menta'yin (menentukan niatnya) artinya tidak cukup berniat secara mutlak karena Allah ta'ala memerintahkannya niat menunaikan kewajibannya yaitu puasa bulan Ramadlan. Maka bila ia tidak melakukan berarti belum terbebas dari kewajiban.

Adapun bila seseorang tidak mengetahui bahwa besok bulan Ramadlan tidak wajib atasnya ta'yin dan barangsiapa mewajibkan ta'yin tanpa ia mengetahui yang dita'yin sungguh berarti ia mewajibkan dua perkara yang berlawanan. Berpuasa dengan cara seperti itu, yaitu dengan niat mutlak, cukup baginya. Apabila berpuasa dengan cara seperti itu diniatkan puasa sunnah lalu diketahui bahwa hari itu adalah bulan Ramadlan, maka yang lebih mendekati kebenaran adalah cukup baginya niat mutlak tersebut. Seperti seorang yang dititipi barang atau uang miliknya sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa titipan itu miliknya lalu ia sedekahkan pada orang lain. Lalu tak lama kemudian ia mengetahui bahwa ternyata titipan itu miliknya, maka ia tidak perlu menyerahkan barang itu kedua kalinya, tetapi ia hendaknya mengatakan: Titipan yang kuberikan padamu itu adalah milikku. Dan riwayat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad menyatakan bahwa manusia itu mengikuti niat imamnya yaitu bahwa berbuka atau berpuasa ditentukan oleh ulama. Sebagaimana disabdakan Nabi

shallallahu 'alaihi wa sallam:

Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa, Idul Fithri kalian adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Idul Adlha adalah hari kalian menyembelih[3]. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau mengatakan: Hadits ini hasan gharib. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Ash-Shahihah no. hadits 224 dan Al-Irwa no. hadits 905)

Tanya:

Apakah seseorang yang berpuasa bulan Ramadlan memerlukan niat tiap hari atau tidak?

Jawab: Setiap orang yang mengetahui bahwa besok Ramadlan dan dia menginginkan puasa maka dia pasti telah berniat, baik dilafalkan atau tidak. Hal ini merupakan perbuatan kebanyakan kaum muslimin.

Tanya:

Apakah seseorang diperbolehkan berbuka puasa dengan semata melihat terbenamnya matahari?

Jawab: Bila seorang telah melihat hilang seluruh bulatan matahari maka ia harus berbuka tanpa menghiraukan masih ada warna merah yang tampak di ufuk barat. Yaitu ketika seluruh bulatan matahari telah hilang dan langit bagian timur akan tampak hitam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam katakan:

Apabila malam telah datang dari sini dan siang telah menghilang dari sini serta matahari telah terbenam dari sini (barat) maka berbukalah orang yang berpuasa. (HR. Bukhari 4/171

dan Muslim no. 1100)

Tanya:

Bolehkah makan sahur setelah adzan subuh pada bulan Ramadlan?

Jawab: Bila muadzin adzan sebelum terbit fajar sebagaimana adzan pertama Bilal pada jaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Damaskus, maka seorang boleh makan dan minum beberapa saat setelah adzan itu. Apabila ia ragu apakah sudah terbit fajar atau belum maka hendaknya ia makan dan minum hingga tampak jelas terbit fajar. Walaupun setelah itu ia tahu bahwa makan setelah terbit fajar masih diperselisihkan para ulama tentang wajib qadla` baginya.

Pendapat yang paling benar adalah tidak diwajibkan mengqadla`. Riwayat ini adalah riwayat dari Umar, sekelompok ulama salaf dan khalaf. Sedangkan menurut pendapat ahli fiqih yang empat, wajib qadla` atasnya.

Tanya:

Ada seorang yang pingsan setiap kali berpuasa, pilek dan mulutnya berbuih terus-menerus sampai berhari-hari belum sadar hingga dikira gila dan tidak jelas keadaannya, bagaimana tentang hal ini?

Jawab: Apabila puasanya menyebabkan ia sakit seperti itu maka hendaknya ia berbuka dan mengqadla`. Bila hal ini terus menimpanya tiap kali ia berpuasa dan dia tidak mampu untuk puasa maka ia harus memberi makan tiap hari seorang miskin.

Tanya:

Seorang perempuan hamil melihat darah serupa haidl dan darah haidl. Para bidan memutuskan ia harus berbuka karena untuk memberi makan janin yang dikandungnya tetapi wanita itu tidak sakit, apakah ia boleh berbuka atau tidak?

Jawab: Bila wanita hamil itu mengkhawatirkan keadaan janinnya maka ia wajib berbuka dan wajib mengqadla` serta memberi makan tiap hari satu orang miskin 1 liter roti dan lauknya.

*****

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah bin Al-Fauzan (anggota Kibaril Ulama Arab Saudi) dalam kitab Nur 'ala Darbi Fatawa hal. 73-81:

Tanya:

Apakah hukum bersiwak pada bulan Ramadlan?

Jawab: Tidak diragukan lagi bahwa siwak merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dianjurkan pelaksanaannya. Banyak keutamaan bersiwak. Bersiwak pernah dilakukan maupun diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bersiwak sangat baik terutama pada tempat-tempat yang dibutuhkan seperti sebelum wudlu, ketika akan shalat, ketika membaca Al-Qur`an, ketika bau mulut mulai berubah, ketika bangun tidur sebagaimana biasa dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bersiwak disunnahkan pada semua waktu termasuk waktu Ramadlan. Yang benar adalah seseorang disunnahkan bersiwak tiap hari di bulan Ramadlan pada pagi hari dan sore dan tidak benar anggapan bahwa seseorang disunnahkan hanya bersiwak pada sore hari saja. Bahkan para shahabat melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersiwak terus menerus sampai tak terhitung jumlahnya dalam keadaan berpuasa. Maka bersiwak itu hukumnya sunnah, boleh dikerjakan oleh yang berpuasa ataupun tidak berpuasa. Akan tetapi dalam hal ini seorang harus berhati-hati ketika menggosok gigi dengan miswak (alat siwak) agar tidak melukai gusi yang dapat mengakibatkan pendarahan.

Tanya:

Apakah seorang yang berpuasa qadla` dan puasa sunnah boleh memutuskan puasanya?

Jawab: Apabila ia berpuasa qadla` tidak boleh memutuskannya dan wajib menyempurnakannya. Adapun bila ia berpuasa sunnah boleh memutuskan puasanya itu, tidak ada kewajiban menyempurnakan puasa sunnah. Pernah suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk rumah dalam keadaan puasa sunnah lalu menjumpai makanan yang dihadiahkan para shahabat lalu beliau makan (dan memutus puasanya). Hal ini menunjukkan bahwa puasa sunnah tidak wajib disempurnakan.

Tanya:

Apabila seorang berpuasa suatu hari kemudian ia safar pada pertengahan hari apakah ia berbuka pada hari itu?

Jawab: Bila seseorang berniat puasa dan telah mengerjakannya lalu bepergian pada pertengahan hari maka hendaknya ia berbuka jika jarak perjalanan dari rumah ke tempat tujuan kurang lebih 80 km. Akan tetapi kalau ia mau menyempurnakannya maka lebih afdlal sebab sebagian ulama ada yang mewajibkan menyempurnakan puasa model ini.

Tanya:

Apakah keutamaan hari-hari 10 akhir bulan Ramadlan?

Jawab: Hari-hari ini memiliki keutamaan yang besar dan agung. Pada hari-hari itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dibandingkan malam-malam sebelumnya. Beliau melakukan i'tikaf pada malam akhir Ramadlan dan tidak keluar dari masjid selain menunaikan hajatnya. Banyak kaum muslimin mengharapkan menjumpai malam lailatul qadar pada 10 hari terakhir bulan mubarak itu.

Tanya:

Apakah keutamaan bersedekah pada bulan Ramadlan?

Jawab: Bersedekah pada bulan Ramadlan lebih utama (afdlal) daripada bersedekah pada bulanbulan lainnya. Pada bulan itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sangat dermawan, sangat mudah mengeluarkan sedekah ibarat angin yang bertiup kencang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan dan lebih dermawan pada bulan Ramadlan ketika Jibril menemuinya untuk mengajari Al-Qur`an pada setiap malam pada bulan itu. Kedermawanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat itu lebih baik daripada angin sepoi-sepoi (angin yang bertiup terus-menerus dan bermanfaat).[4] (HR. Bukhari dengan 1/30 Fath dan Muslim no. 2307). Dalil ini menunjukkan keutamaan sedekah bulan Ramadlan di mana pada bulan ini banyak orang yang miskin berpuasa. Bila seorang berbuat baik kepada mereka berarti ia membantu ketaatan kepada Allah terhadap mereka. Amal itu dilipatkan pahalanya karena kemuliaan waktu dan tempatnya (berdasarkan nash -pent) sebagaimana amal-amal dilipatkan pahalanya pada dua masjid Mekah dan Madinah (masjid Nabawi) yaitu shalat di dua masjid tersebut berpahala 1000 kali lipat dibanding shalat di tempat lainnya.

Tanya:

Bagaimana keterangan tentang keutamaan lailatul qadr dan ayat-ayat yang menerangkannya!

Jawab: Allah memuliakan keadaan malam itu dan menamakannya lailatul qadr karena pada malam itu ditentukan ajal, rezki seorang makhluk dan apa-apa yang akan terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman: "Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (AdDukhan: 4). Disebut juga lailatul qadr karena dia adalah malam yang ditentukan dan dimuliakan di sisi-Nya. Juga disebut malam lailatul mubarak (malam yang diberkahi). Allah berfirman: "Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam penuh barakah." (44:33). "Dan tahukah kamu apakah malam lailatul qadr itu. Lailatul qadr lebih baik daripada 1000 bulan."

(Al-Qadr: 2-3). Artinya beramal pada malam yang penuh berkah itu dilipatgandakan pahalanya semisal 1000 bulan beramal pada malam-malam selain bulan ini. Seribu bulan lebih kurang 83 tahun. Ayat ini menunjukkan tentang keutamaannya oleh karena itu beliau selalu menunggu-nunggu datangnya malam itu. Beliau bersabda:

Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam lailatul qadr dengan mempercayai adanya malam itu dan mengharap pahalanya maka akan diampuni dosanya yang telah lewat dan yang akan datang. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu).

Hal lain yang juga menunjukkan keutamaan dan kebesarannya ialah pada malam itu turun para malaikat dan Jibril (pemimpin para malaikat) untuk mengatur segala urusan. Malaikatmalaikat Allah tidak turun ke bumi kecuali untuk menyelesaikan urusan besar. Kemudian Allah mensifati malam tersebut dengan malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar. Maka barangsiapa tidak mendapatkan kebaikan pada malam itu, sungguh Allah tidak memberinya kebaikan yang banyak.

Allah dengan hikmah-Nya yang maha luas merahasiakan malam itu pada bulan Ramadlan agar kaum muslimin bersungguh-sungguh mencarinya pada tiap malam. Sehingga mereka mempunyai banyak amal dan terkumpullah amal-amal pada semua malam bulan itu dengan malam lailatul qadr.

Tanya:

Apakah makna ayat "... tetapi janganlah kamu campuri para istri itu sedang kamu beri'tikaf." (Al-Baqarah: 187)

Jawab: Allah melarang mencampuri istri dalam keadaan i'tikaf di masjid setelah membolehkan mencampurinya pada bulan Ramadlan. Orang-orang yang beri'tikaf tidak boleh mencampuri istri-istrinya, baik dengan jimak maupun mubasyarah[5], baik pada malam atau siang hari jika orang yang beri'tikaf itu tidak berpuasa. Karena makna i'tikaf secara bahasa ialah

meninggalkan perkara-perkara yang banyak dan meluangkan waktu untuk beribadah. Apabila seseorang mencampuri istrinya maka batallah i'tikafnya. Demikian pula bila ia keluar masjid tanpa ada kebutuhan mendesak juga membatalkan i'tikaf. Seperti pergi ke pasar dan lainnya.

Ayat di atas menunjukkan bahwa i'tikaf itu harus diadakan di masjid yang dipakai untuk shalat berjama'ah dan memiliki imam rawatib. Tidak boleh i'tikaf menyendiri di mushalla, rumah atau tanah lapang atau masjid yang tidak ditegakkan shalat jama'ah. Orang yang beri'tikaf di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama'ah di dalamnya berada di antara dua keadaan yaitu antara i'tikaf dan meninggalkan shalat jama'ah. Bila ia tetap di dalam masjid berarti ia meninggalkan shalat berjama'ah padahal shalat berjama'ah wajib hukumnya. Atau ia keluar dari masjid untuk shalat berjama'ah di masjid yang didirikan shalat jama'ah tiap shalat 5 waktu yang hal ini menghilangkan makna i'tikaf. Maka i'tikaf harus diadakan di masjid-masjid yang didirikan padanya shalat jama'ah karena lafadh ayat menyebutkan fil masajid (di masjid-masjid).

I'tikaf disebutkan pada akhir-akhir ayat puasa i'tikaf seharusnya dan lebih baik dilakukan ketika seorang dalam keadaan berpuasa dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak i'tikaf selain bulan Ramadlan yakni ketika puasa.

Tanya:

Saya seorang pemuda yang pernah tidak melaksanakan puasa tahun yang lalu sedangkan puasa tahun berikutnya saya berpuasa dengan sempurna. Bagaimana saya mengqadla` puasa pada bulan yang aku tinggalkan? Apakah saya harus berpuasa tiap bulan atau memberi makan 60 orang miskin? Aku ingin berpuasa tahun ini selama tiga bulan apakah hal itu dibenarkan? Bagaimana cara melaksanakannya dengan bersambung atau terputus (berselang-seling)?

Jawab: Jawaban dari pertanyaan anda perlu perincian. Yaitu jika anda meninggalkan puasa itu karena meninggalkan shalat (meninggalkan shalat menurut beliau kafir -pent) maka anda tidak berkewajiban mengqadla` puasa yang telah anda tinggalkan. Karena waktu itu anda

belum masuk Islam. Adapun setelah anda bertaubat yakni setelah melaksanakan shalat maka anda wajib mengqadla` puasa dan menunaikan seluruh syi'ar Islam yang diwajibkan. Bila anda menunda mengqadla` puasa tanpa udzur maka anda wajib memberi makan seorang miskin tiap hari sebagai ganti puasa yang anda tunda qadla`nya itu. Apabila anda tunda qadla` puasa karena ada udzur hingga datang Ramadlan berikutnya maka anda wajib mengqadla`nya setelah Ramadlan.

Tanya:

Apa hukum bercelak, memakai parfum bagi seorang muslimah pada bulan Ramadlan?

Jawab: Adapun celak, obat tetes mata dan apa-apa yang diletakkan di mata bagi orang yang berpuasa terkadang dapat masuk ke tenggorokan sehingga membatalkan puasanya. Sebagian ulama melarang memakai celak bagi orang yang berpuasa atau meletakkan sesuatu pada matanya seperti obat tetes mata, karena hal ini bisa menembus mata hingga ke tenggorokan tanpa disadarinya. Sedangkan harum-haruman, kosmetik yang biasa dipakai wanita tidak membatalkan puasa. Namun bagi muslimah hendaknya memakai harum-haruman atau parfum dan kosmetik di dalam rumah saja dan menjauhi benda-benda itu untuk dipakai di luar rumah. Bahkan ia harus menutup wajahnya bila keluar rumah. Allah berfirman: : ....

Dan hendaklah kamu (para wanita muslimah) tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan tunaikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 33).

Walaupun wanita itu keluar menuju masjid untuk beribadah tetap dilarang bertabaruj (berhias) dan memakai parfum. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Janganlah kamu mencegah wanita-wanita menuju masjid Allah dan hendaklah mereka

keluar tanpa berhias dan berharum-haruman. (Mutafaq 'alaihi; lihat Umdatul Ahkam, hadits no. 58, hal. 31)

Syarat mereka boleh keluar menuju masjid adalah tidak berhias dan tidak memakai parfum atau wangi-wangian. Kaum muslimah sekarang banyak melakukan perbuatan melanggar syariat Allah, keluar rumah dengan berhias, membuka aurat dan wajah, memakai parfum dan celak mata yang tidak dilakukannya ketika di dalam rumah (untuk suaminya, pent).

-----------------------------------------------------[1] Yakni kembali pada makna safar secara umum.

[2] Niat mutlak adalah meniatkan berpuasa tanpa menentukan puasa apa yang ia lakukan. Sedangkan niat ta'yin adalah meniatkan dengan detail puasa apa yang ia akan lakukan esok harinya, wajib atau sunnah, puasa ramadlan atau qadla atau nadzar dan lain-lain.

[3] Maksudnya puasa dan berbuka bersama kebanyakan kaum muslimin.

[4] Bahjatun Nadhirin, Syaikh Salim Al-Hilali.

[5] Mubasyarah bermakna dua yaitu mempergauli isteri dengan jimak dan mempergauli isteri tanpa jimak dengan menutupkan kain di atas farjinya yang meskipun suami mengeluarkan mani, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana keterangan Aisyah radliyallahu 'anha ketika seorang bertanya tentang mubasyarah: :

"Apa yang boleh dilakukan seorang yang berpuasa terhadap istrinya?" Beliau menjawab: "Semuanya boleh dilakukan selain jimak.(Jimak atau jima' adalah hubungan seks/sex atau bersetubuh/persetubuhan,red)" (HR Abdur Razak dalam bukunya Al-Mushanaf 4/190/8439 dengan sanad shahih)

Akan tetapi hendaknya yang perlu diperhatikan bahwa keluarnya mani (tanpa jimak) tidak membatalkan puasa dan mubasyarah itu perkara lain. Kita tidak menganjurkan orang yang

berpuasa Ramadlan ketika syahwat jimak sedang memuncak untuk mubasyarah dengan istrinya. Hal ini dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalam larangan (yakni berjimak pent). Biasanya orang yang mendekati daerah terlarang akan memasukinya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa berada di sekitar daerah penjagaan, dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya. (Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani hal. 420).

Wallahu a'lam.

(Dikutip dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M, penulis Ustadz Ahmad Hamdani, judul asli Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan). Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=758 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Hadits-hadits Lemah yang Berkaitan dengan Bulan Ramadlan

Sep 11, '08 10:54 PM untuk semuanya

Hadits-hadits Lemah yang Berkaitan dengan Bulan Ramadlan Penulis: Al Ustadz Azhari Asri Fiqh, 13 Oktober 2004, 08:02:33 Sering kali kita mendengar para khatib di atas mimbar membawakan hadits-hadits tentang Ramadlan dan keutamaannya. Di antara hadits-hadits yang mereka bawakan ada yang

shahih dan ada yang dlaif, bahkan maudlu' (palsu). Namun sangat disayangkan ketika membawakan hadits-hadits lemah, mereka tidak menerangkan tentang kelemahannya kepada hadirin yang awam tentang permasalahan hadits sehingga orang-orang yang mendengarnya menyangka bahwa hadits-hadits itu adalah ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal sama sekali bukan!

Oleh karena itu penulis mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai nasehat kepada seluruh kaum muslimin, baik para khatibnya maupun pendengarnya.

Tidak Boleh Beramal dengan Hadits Lemah dalam Hal Fadlailul A'mal (Keutamaan Amal)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hafidhahullah berkata: "Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu telah masyhur bahwa hadits dlaif boleh diamalkan dalam fadlailul a'mal. Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan. Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau bahwa hal itu telah disepakati. Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena perselisihan dalam masalah ini ma'ruf. Sebagian besar para muhaqiq (peneliti hadits) berpendapat bahwa hadits dlaif tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaankeutamaan.

Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam Qawaid At-Tahdits hal. 94 mengatakan bahwa pendapat tersebut (yakni hadits dlaif tidak diamalkan secara mutlak, pent) diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam 'Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma'in dan dalam Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakar bin Al-Arabi. Pendapat itu juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm.

Aku (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada keraguan padanya karena beberapa perkara: Pertama, hadits dlaif hanya mendatangkan sangkaan yang salah (dhanul marjuh). Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits dlaif dalam fadlailul a'mal, hendaknya dia mendatangkan bukti.

Sungguh sangat jauh! Kedua, yang aku pahami dari ucapan mereka tentang fadlail a'mal

yaitu amal-amal yang telah disyariatkan berdasarkan hadits shahih, kemudian ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi orang yang mengamalkannya. Maka hadits lemah dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam fadlailul a'mal. (Yakni dari segi adanya dalil tentang asal amal itu, bukan dari segi adanya dalil yang menetapkan pahala yang khusus pada amal itu. (Ilmu Ushulil Bida' hal. 15)), karena hal itu bukan pensyariatan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yang diharapkan oleh pelakunya.

Oleh karena itu ucapan sebagian ulama dimaksudkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara fadlail walaupun tidak didukung secara ijma' sebagaimana keterangan Imam Nawawi. Yaitu pada amal yang shahih berdasarkan Kitab dan Sunnah.

Dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits lemah diperbolehkan jika telah ada hadits shahih yang menunjukkan disyariatkannya amal itu. Akan tetapi kebanyakan orang yang berpendapat seperti itu tidak memaksudkan makna itu. Buktinya kita menyaksikan mereka beramal dengan hadits-hadits dlaif yang tidak terkandung dalam hadits-hadits shahih.

Seperti Imam Nawawi dan yang mengikutinya menganggap sunnah menjawab ucapan orang yang mengumandangkan iqamah ketika mengucapkan dua kalimat (qad qamatis shalah, qad qamatis shalah) dengan ucapan aqamahallah wa adamaha (semoga Allah menegakkannya dan melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini lemah (Lihat keterangan kedlaifannya dalam Al-Irwa` 241, Ilmu Ushul Bida' 157.).

Amal ini tidak ditetapkan pensyariatannya kecuali pada hadits lemah tersebut. Meskipun demikian mereka menganggap hal itu sunnah. Padahal perkara sunnah adalah salah satu hukum di antara kelima hukum[Yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.] yang harus ditetapkan berdasarkan dalil.

Betapa banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyariatkan dan disunnahkan bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits dlaif yang tidak ada asal pensyariatannya dalam hadits shahih. Akan tetapi di sini tidak mungkin untuk mencantumkan berbagai contoh. Cukuplah salah satu contoh yang telah aku sebutkan.

Yang terpenting di sini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlail tidak mutlak menurut orangorang yang berpendapat dengannya. Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Tabyinul 'Ujab hal. 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang fadlail walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu' (palsu).

Seharusnya hal itu diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya meyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits lemah dan mensyariatkan apa yang tidak disyariatkan. Atau sebagian orang-orang jahil menyangka bahwa hadits itu adalah shahih. Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain-lain.

Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. . Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap dusta, maka dia termasuk pendusta.

Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?! Tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara fadlail, sebab semuanya adalah syariat.

Inilah tiga syarat penting diperbolehkan beramal dengan hadits lemah: 1. Hadits itu tidak maudlu'. 2. Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu dlaif. 3. Tidak memasyhurkan beramal dengannya.

Tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya. Kalaupun mereka mengetahui kelemahannya mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits-hadits shahih! Oleh

karena itu banyak ibadah-ibadah di kalangan kaum muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanadsanad yang shahih.

Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi. Sebab satu pun di antara syaratsyarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tampak.

Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidh Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh beramal dengan hadits lemah berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam fadlail sebab semuanya adalah syariat.

Inilah yang hak, karena hadits dlaif yang tidak ada penguatnya kemungkinan adalah dusta, bahkan pada umumnya dusta dan palsu. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dlaif termasuk dalam ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "...yang tampak bahwa hadits itu dusta." Yaitu dia menampakkan seperti itu. Oleh karena itu Al-Hafidh menambahkan dengan ucapannya: 'Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?!'

Hal ini dikuatkan dengan perkataan Imam Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk dalam hadits (yang berisi ancaman tersebut). Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidh: 'Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?'

Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidh tersebut. Adapun jika ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu' dan tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan fadlail adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al-Hafidh. Sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dlaif, bukan maudlu'. Sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.

Apa yang kami sebutkan tidak menafikan bahwa Al-Hafidh menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dlaif. Sebab kita katakan bahwa Al-Hafidh menyebutkan

perkataan itu kepada orang-orang yang membolehkan memakai hadits lemah dalam perkara fadlail selama tidak maudlu'. Seakan-akan beliau berkata kepada mereka: 'Jika kalian berpendapat demikian maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini.'

Al-Hafidh tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam pembolehan (beramal dengan hadits-hadits lemah, pent) dengan syarat-syarat itu. Bahkan di akhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kita terangkan.

Kesimpulannya bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlailul a'mal tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat tersebut dan konsisten dengan syaratsyarat iltu ketika mengamalkan hadits lemah. Wallahul muwaffiq." Sampai di sini keterangan Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal. 34-38.

Hadits-hadits Lemah yang Berkaitan dengan Bulan Ramadlan

Setelah kita mengetahui bahwa pendapat yang kuat dalam masalah hadits dlaif adalah tidak boleh dipakai sekalipun dalam fadlailul a'mal dan seandainya diperbolehkan harus dipenuhi syarat-syarat tersebut.

Maka pada pembahasan terakhir ini kita akan menukil beberapa hadits lemah yang diucapkan para khatib dan diamalkan di bulan Ramadlan dari kitab Shifat Shaum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadlan karya Syaikh Salim Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hal. 109-113. Beliau berdua menyebutkan beberapa hadits beserta penilaiannya. ...

Seandainya hamba-hamba itu mengetahui apa yang ada di bulan Ramadlan niscaya umatku berangan-angan agar Ramadlan setahun penuh. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadlan dari ujung tahun ke tahun berikutnya. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1886, Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudlu'at 2/188-189, Abu Ya'la dalam Musnadnya sebagaimana di dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah (qaf 46/alif-ba/naskah

manuskrip) dari jalan Jarir bin Ayub Al-Bajali dari Sya'bi dari Nafi' bin Bardah dari Abu Mas'ud Al-Ghifari). Hadits ini maudlu', cacatnya pada Jarir bin Ayyub. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Lisanul Mizan (2/101) dan berkata: "Dia terkenal dengan kelemahannya." Kemudian Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Nu'aim tentang dia: "Dia pemalsu hadits," sedang dari Bukhari: "Dia meriwayatkan hadits mungkar" dan dari Nasai: "Dia matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)!! Ibnul Jauzi menghukumi dia sering memalsukan hadits. ... ...

Wahai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada bulan itu sebagai kewajiban dan shalat malam sebagai sunnah. Barangsiapa bertaqarub di dalamnya dengan satu kebaikan, maka dia seperti menunaikan suatu kewajiban pada bulan lain... Ramadlan adalah bulan awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya adalah kemerdekaan dari api neraka... Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1887, Al-Muhamili dalam Amalinya no. 293, Al-Ashbahani dalam At-Targhib (qaf/178, ba'/naskah manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid bin Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.

Sanad hadits ini lemah, karena kelemahan Ali bin Zaid. Ibnu Sa'ad berkata: "Dia (Ali bin Zaid) lemah, tidak dapat dijadikan hujah." Ahmad bin Hanbal berkata: "Dia tidak kuat." Ibnu Ma'in berkata: "Dia dlaif." Ibnu Abi Haitsamah berkata: "Dia dlaif dalam segala hal." Ibnu Khuzaimah berkata: "Aku tidak berhujah dengannya karena hapalannya jelek." Demikian dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323).

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits tersebut, dengan ucapan: "Jika hadits ini shahih." Ibnu Hajar berkata dalam Al-Athraf: "Tidak diperselisihkan tentang Ali bin Zaid bin Jad'an, dia adalah dlaif.

Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya (Abu Hatim) di dalam I'lalul Hadits 1/249): "Hadits ini mungkar."

Puasalah kalian, niscaya kalian sehat.

Ini adalah potongan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam Al-Kamil 7/2521 dari jalan Nahsyal bin Said dari Ad-Dlahhak dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma. Nahsyal adalah matruk, dia berdusta dan Ad-Dlahhak tidak mendengar langsung dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma. Diriwayatkan pula oleh At-Thabrani dalam Al-Ausath (1/qaf 69/alif Majma'ul Bahrain). Demikian pula Ibnu Bukhait dalam Juz'unya sebagaimana dalam Syarhul Ihya' 7/401 dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abu Shalih dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu.

Sanad hadits ini lemah. Abu Bakar Al-Atsram berkata: "Aku mendengar Ahmad berkata: "Mereka (orang-orang Syam) meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Zuhair." Abu Hatim berkata: "Hapalan Zuhair jelek. Haditsnya ketika di Syam lebih munkar daripada haditsnya di Irak karena hapalannya jelek." Al Ajali berkata: "Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh penduduk Syam darinya tidak menakjubkan aku." Demikian dalam Tahdzibul Kamal 9/417.

Aku (Syaikh Ali) katakan bahwa Muhammad bin Sulaiman adalah penduduk Syam. Biografinya terdapat dalam Tarikh Dimasyk 15/qaf 386 naskah manuskrip). Riwayatnya dari Zuhair sebagaimana ditegaskan oleh para imam- adalah munkar. Di antaranya adalah hadits ini.

Barangsiapa membatalkan (puasanya) satu hari dari bulan Ramadlan tanpa udzur dan sakit, maka tidak dapat diqadla` walaupun dia puasa sepanjang tahun. Hadits ini disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya (4/160 Fathul Bari) secara mu'alaq tanpa sanad. Disebutkan sanad-sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1987,

Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, Nasai dalam Al-Kubra, sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 10/373, Al-Baihaqi 4/228, Ibnu Hajar dalam Ta'liqut Ta'liq 3/170 dari jalan Abul Muthawwis dari ayahnya dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu.

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 4/161: "Hadits ini banyak diperselisihkan pada Habib bin Abi Tsabit. Sehingga hadits ini memiliki tiga 'ilat (cacat), yaitu: idltirab (sanadnya goncang), keadaan Abul Muthawis majhul (tidak dikenal), Abul Muthawwis mendengar dari ayahnya dari Abu Hurairah diragukan.

Ibnu Khuzaimah setelah meriwayatkan hadits ini berkata dengan ucapan: "Aku tidak mengetahui siapa Ibnul Muthawis dan ayahnya." Sehingga hadits ini juga dlaif.

Demikian empat hadits yang didlaifkan oleh para ulama. Meskipun demikian masih sering terdengar dan terbaca pada setiap bula Ramadlan yang diberkahi ini khususnya. Memang sebagian hadits tersebut mengandung makna yang shahih yang terdapat dalam syariat kita yang lurus ini, namun tidak boleh kita sandarkan hadits yang tidak shahih itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Wallahu a'lam.

(Dinukil dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M rubrik Mabhats, penulis ustadz Azhari Asri (murid syaikh Yahya al Hajuri dan syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah). http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=30) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=753 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Fatwa Syaikh tentang Hukum I'tikaf

Sep 11, '08 10:52 PM untuk semuanya

Fatwa Syaikh tentang Hukum I'tikaf Penulis: Syaikh Abdullah Bin Abdullah Aziz Bin Baz Fiqh, 16 November 2003, 05:11:25 Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentang hukum I'tikaf

Pertanyaan: Apakah hukum I`tikaf bagi laki-laki dan wanita? Apakah berpuasa merupakan syarat untuk syahnya I`tikaf? Kemudian amalan apa saja kah yang baik dilakukan oleh orang yang beri`tikaf? Kapan waktu memasuki tempat i`tikaf dan kapan keluar dari sana ?

Jawaban: I`tikaf hukumnya Sunnah bagi laki-laki dan wanita sebagaimana telah datang dari Rasululullah Shalallahu 'alaihi wassalam, bahwasanya beliau dulu beri`tikaf di bulan Ramadhan. Kemudian pada akhirnya, i`tikaf beliau tetapkan pada sepuluh hari terakhir. Para istri-istri beliau juga beri`tikaf bersama beliau Shalallahu 'alaihi wassalam, dan juga setelah beliau wafat.

Tempat beri`tikaf adalah mesjid-mesjid yang didirikan shalat berjamaah padanya. Apabila waktu i`tikafnya diselingi oleh hari Jumat, maka yang lebih utama adalah beri`tikaf di mesjid yang mengadakan shalat Jumat, jika itu memungkinkan. Tidak ada waktu-waktu tertentu bagi i`tikaf dalam pendapat Ulama yg terkuat .Juga tidak disyaratkan berpuasa walaupun dengan berpuasa lebih utama.

Disunnahkan bagi seseorang yang beri`tikaf agar memasuki tempat beri`tikaf saat dia berniat i`tikaf dan keluar dari padanya setelah lewat masa yang dia inginkannya. Diperbolehkan baginya boleh memotong waktu tersebut jika ada keperluan lain, karena i`tikaf adalah sunnah dan tidak menjadi wajib jika dia telah memulainya, kecuali jika dia bernadzar.

Disunnahkan beri`tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan untuk mengikuti Rasululllah Shalallahu 'alaihi wassalam. Disunnahkan bagi seseorang yang beri`tikaf saat itu

untuk memasuki tempat i`tikafnya setelah shalat Fajar hari ke-21 dan keluar dari sana apabila telah selesai sepuluh hari. Jika dia memotongnya maka tidak mengapa, kecuali jika i`tikaf nadzar sebagaimana telah dijelaskan.

Yang lebih diutamakan adalah menyediakan tempat khusus di dalam mesjid untuk beristirahat jika memungkinkan. Dianjurkan bagi yang beri`tikaf agar memperbanyak dzikir, membaca qur`an,istighfar, berdoa dan mengerjakan shalat-shalat Sunnah selain pada waktuwaktu yang dilarang. Tidak dilarang bagi teman-teman seseorang yang beri`tikaf untuk mengunjunginya dan berbicara dengan mereka sebagaimana Rasululullah Shalallahu 'alaihi wassalam dahulu dikunjungi oleh beberapa istrinya dan berbicara dengan mereka.

Pada suatu saat Shofiyah mengunjungi beliau saat I`tikaf di bulan Ramadhan. Hal ini menunjukan kesempurnaan sifat tawadhu` dan baiknya beliau terhadap istri-istri beliau, semoga shalawat dan salam dilimpahkan atas beliau. -----------------------------------------------------------------------

Referensi: Dinukil dari Tuhfatul ikhwan bi ajwibatin muhimmatin tata`allaqu bi arkanil islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Penerjemah Abu Abdillah Alee Masaid As salafee Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=341 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Hukum-hukum sekitar I'tikaf dalam pandangan Ulama' Sep 11, '08 10:51 PM Ahlusunnah untuk semuanya

Hukum-hukum sekitar I'tikaf dalam pandangan Ulama' Ahlusunnah

Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani Fiqh, 20 Oktober 2004, 04:42:53 Hukumnya Itikaf adalah sunnah di bulan ramadhan dan yang lainnya sepanjang tahun, dalilnya adlah firman Allah Subhanahu wa Taala : Sedang kalian dalam kedaan Itikaf di masjid. (QS. Al-Baqarah :187) Disertai hadist-hadist shahih tentang Itikaf Nabi shalallahu alaihi wasallam. Demikian pula atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf dalam masalah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf, karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq. *(Dulu disini pada cetakan yang lalu ada hadist, dalam masalah keutamaannya Barangsiapa beritikaf suatu hari kemudian aku hilangkan, karena di kemudian hari jelas bagi saya lemahnya. Telah saya takhrij dan saya komentari dengan rinci dalam kitab Silsilah Dhoifah 5347. Saya singkap penyakitnya yang sempat tersamarkan kepada saya dan juga kepada Al Haistany sebelum saya). Telah terdapat riwayat bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam itikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Syawal *(Potongan dari hadist Aisyah radhiyallahu anha, riwayat Bukhari Muslim dan Ibu Khuzaimah , dalam kitab shahih merekatelah ditahkrij dalam shahih Abu Dawud), dan ahwa Umar radhiyallahu anhu berkata kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam Dahulu aku bernadzar di zaman jahiliyah untuk Itikaf semalam di Masjidil Haram? Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda : Penuhilah nadzarmu. (maka Umar Itikaf semalam).*(riwayat Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah dan tambahan itu pada Bukhari dalam ssebuah riwayat, seperti terdapat dalam Mukhtasar Shahih Bukhari (995) dan telah ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud juga no: 2136-2137).

Dan lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist Abi Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ber itikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam Itikaf selama 20 hari. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya telah ditakhrij dalam sumber yang lalu no: 2126-2130).

Yang paling utama adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi shalallahu alaihi wasallam Itikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah 2223 telah ditakhrij dalam Al-Irwa (996) dan Shahih Abi Dawud no :2125).

Syarat-syaratnya : 1. Tidak disyariatkan kecuali di dalam masjid-masjid berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Taala : Dan janganlah kalian melakukan jima[1]dengan mereka sedang kalian beritikaf di masjid-masjid). (Al Baqarah 187, Imam bukhari berdalil dengan ayat ini atas apa yang kami sebutkan, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar : Sisi pendalilan dari ayat itu bahwa kalau seandainya Itikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima itu hanya padanya, karena jima itu membatalkan Itikaf secara ijma, maka diketahui dengan penyebutan masjid bahwa dimaksudkan Itikaf itu tidak boleh kecuali di masjid). [dan jangan kalian melakukan jima... yakni Jangan berjima dengan mereka ibnu Abbas mengatakan : kata ( ) semuanya berarti jima, akan tetapi Allah

mengkinayahkan apa yang Ia kehendaki dengan apa yang Allah kehendaki. Riwayat Baihaqi (4/321) dengan sanad yang perawinya terpercaya.] Berkata Aisyah radhiyallahu anha : Disunnahkan, bagi seorang Itikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima dengan mereka, dan tidak Itikaf melainkan pada masjid jami (yang digunakan untuk shalat jamaah). Disunnahkan pula bagi yang Itikaf untuk berpuasa. (Riwayat Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Abu Dawud dengan sanad yang Hasan, riwayat yang selanjutnya dari Aisyah radhiyallahu anha, dan telah di takhrij dalam Shahih Abu Dawud (2135) dan Irwaul Ghalil no 996.) 2. Dan hendaklah pada masjid jami agar tidak terpaksa keluar masjid untuk melaksanakan shalat jumat, karena keluar untuk itu adalah wajib. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu anha yang lalu dalam sebuah riwayat. (dan tidak ada Itikaf kecuali di masjid jami'.). (Riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas : Sesungguhnya perkara yang paling Allah benci adalah bidah dan sesungguhnya termasuk bidah adalah Itikaf di masjid-

masjid yang ada di rumah).

Kemudian saya dapati pada hadist yang shahih dan jelas yang mengkhususkan keumuman makna (masjid-masjid) yang tersebut dalam ayat, yaitu hanya pada tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsa dengan hadist Nabi shalallahu alaihi wasallam : Tidak ada Itikaf kecuali pada 3 masjid itu). (Diriwayatkan oleh Thahawi, ismaily dan Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman, dan telah ditakhrij dalam Silsilah shahihah no :2787 bersama dengan riwayat-riwayat yang lain. Dari apa yang saya sebutkan diatas dan semuanya shahih).

Dan diantara ulama salaf yang berpendapat demikian sebagaimana yang telah saya dapati, adalah sahabat Hudzaifah bin Al Yaman dan Sa'id bin Al Musayyib juga 'Atha rahimahullah. Akan tetapi Atha tidak menyebutkan Masjidil Aqsa. Yang lain mengatakan masjid jami secara mutlak, tetapi yang lain menyelisihi mereka, dan mengatakan : Walaupun dalam masjid (atau mushala pent) rumahnya. Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa mengambil pendapat yang sesuai dengan hadist, itulah yang semestinya, wallahu Subhanahu wa Taala alam. 3. Disunnahkan untuk yang melakukan Itikaf agar berpuasa sebagaimana yang lalu dari penjelasan Aisyah radhiyallahu anha.[2] Yang dibolehkan untuk orang yang berItikaf sbb : a. Dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Berkata Aisyah radhiyallahu anha : Sesungguhnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam keadaan beritikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya sisir rambutnya. Dalam riwayat : Lalu saya cuci kepalanya dan diantara aku dan dia kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia, ketika itu beliau dalam keadaan Itikaf. (Riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dan tambahan lafadz itu dari keduanya. Telah ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud (2131-2132) ). b. Dibolehkan untuk seorang yang Itikaf dan yang lain untuk berwudhu dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi shalallahu alaihi wasallam :

Nabi shalallahu alaihi wasallam berwudhu ringan di dalam masjid. ( Riwayat Baihaqi dengan sanad baik dan Ahmad (51364) secara ringkas dengan snad yang shahih). c. Dibolehkan pula membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu bertikaf didalamnya, karena Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi shalallahu alaihi wasallam [3]. [Disebut Khiba salah satu bentuk rumah-rumah orang arab yang terbuat dari bulu unta atau wol, dan bukan dari rambut, dibuat diatas 2 tiang atau 3.Nihayah.] Jika beliau beritikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu alaihi wasallam[4]. [Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadist Aisyah radhiyallahu anha, riwayat perbuatan Aisyah itu diriwayatkan oleh Bukhari adapun yang menerangkan perintah Nabi shallallahu alahi wa sallam, ada pada riwayat Muslim. Telah lewat takhrijnya pada hal.34 pada catatan kaki no.39]. Dan pernah beliau shalallahu alaihi wasallam satu kali beritikaf di qubah (semacam payung pent) kecil[5] [aitu tenda kecil yang diatasnya melingkar. Suddah artinya semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, yang dimaksud, bahwa beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang, sebagaimana yang dikatakan As-Sindy, lebih utama kita katakan : supaya pikiran orang yang beritikaf tidak tersibukkan orang yang lewat didepannya agar mendapatkan maksud dan ruh dari Itikaf itu, sebagaimana yang diucapkan Ibnu Qoyyim : Kebalikan dari apa yang dilakukan orang-orag bodoh dimana orang-orang beritika membuat semacam ruang tamu dan berbincang-bincang didalamnya. Ini adalah satu macam, sedang Itikaf Nabi shallallahu alaihii wa sallam adalah macam yang lain (berbeda, red), Allahlah yang memberi taufiq.] dengan naungan tikar[6]].[Ini adalah ujung hadist Abu Said Al-Khudri, riwayat Muslim dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya dan telah di Tahkrij dalam Shahih Abu Dawud no.1251] Dibolehkannya Wanita beritikaf dan menengok suaminya di masjid a. Dibolehkannya seorang wanita menengok suaminya yang ada di tempat Itikafnya, dan hendaknya suaminya mengantarkannya sampai keluar pintu masjid, berdasarkan ucapan Shafiyah Radhiyallahu anha : Ketika itu Nabi shalallahu alaihi wasallam beritikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu alaihi wasallam katakan : Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan. Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. Shafiyah radhiyallahu anha tinggal di kampung Usmah

bin Zaid. Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Umi Salamah radhiyallahu anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka melihat Nabi Shalallahu alaihi wasallam keduanya mempercepat (langkahnya). Maka Nabi shalallahu alaihi wasallam berkata : Pelan-pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai (istri Rasulullah sendiri, red). Lalu keduanya mengatakan : Subhanallah ! Wahai Rasulullah. Maka Nabi shalallahu alaihi wasallam mengatakan : Sesungguhnya setan mengalir pada seseorag seperti mengalirnya darah Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.. (Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud tambahan, terakhir pada hadist itu dikeluarkan oleh Abu Dawud, telah ditakhrij dalam shahih Sunan Abu Dawud ,2144-2134). b. Bahkan dibolehkan bagi wanita untuk Itikaf bersama suaminya, atau sendirian. Berdasarkan ucapan Aisyah radhiyallahu anha : Telah Itikaf bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Umm Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap shalat. (Riwayat Bukhari telah ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud no.2138, riwayat yang lain adlah riwayat Said bin Manshur seperti terdapat dalam Fathul Bari4/281. Akan tetapi Darimi menyebutnya Zaenab 1/22 Wallahu alam.) Aisyah juga mengatakan : Dahulu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam beritikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteriisteri beliau beritikaf setelahnya. (Riwayat Bukhari Muslim dan selain keduanya telah di takhrij hal.35, catatan kaki no.2) Saya katakan : Bahwa itu terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita Itikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan waki-walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat (menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal ini, dan kaidah fiqih mengatakan : Menghindari keruskan itu lebih didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaukan). 3. Jima membatalkan Itikaf berdasarkan firman Allah : Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah Itikaf (di masjid).

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu anhu : Jika seorang yang Itikaf melakukan jima bata; Itikafnya, dan hendaklah dia memulainya kembali. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 3/920 dan Abdurrazzaq 4/363 dengan sanad yang shahih dan yang dimaksud dari kata (Istanafa) dalam lafadz 2 hadist adalah mengulangi Itikafnya). Dan tidak ada kafarah bagi dia karena tidak terdapat dalil dari Nabi shalallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya. Maha suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tiada Illah yang hak melainkan Engkau, aku minta ampun kepada-Mu dan bertaubat Kepada-Mu.

Selesai mengoreksi dan membenahinya, juga menambahnya dengan tambahan-tambahan baru, dengan pena penulisnya pada fajar hari ahad 26 Rajab tahun 1406 H, semoga Allah Subhanahu wa Taala memberikan Shalawat dan salam-Nya kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam yang ummi, juga kepada keluarga dan sahabatnya.

(Dinukil dari terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Suaidi, Bab Itikaf, Hal : 72 - 84 , Penerbit Cahaya Tauhid Press) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=762 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

I'tikaf seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam

Sep 11, '08 10:51 PM untuk semuanya

I'tikaf seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Penulis: yaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Fiqh, 20 Oktober 2004, 04:36:21 1. Hikmahnya Al 'Allamah Ibnul Qayyim berkata: Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqomah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah 'Azza wa Jalla tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah 'Azza wa Jalla secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah 'Azza wa Jalla. Sedangkan makan dan minum dengan berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkannya, menghalangi dan menghentikannya. Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yang menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hambaNya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah 'Azza wa Jalla, dan disyariatkannya (Itikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dan disyariatkannya Itikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah meng-ingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepadaNya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semua kepada-Nya dan semua betikanbetikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan dengan berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia

berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur mankala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari Itikaf yang agung itu.163) [ Zaadul Maad (2/86-87)] 2. Makna Itikaf Yaitu berdiam(tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai Mutakif dan Akif.164) [Al Mishbahul Munir (3/424) oleh Al Fayumi, dan Lisanul Arab (9/252) oleh Ibnu Mandhur.] 3. Disyariatkannya Itikaf Disunnahkannya pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal.165)[ Riwayat Bukhari (4/226) dan Muslim (1173)] Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam Wahai Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), sesungguhnya aku ini pernah nadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram. Beliau bersabda: Tunaikanlah nadzarmu. Maka ia (Umar) pun beritikaf pada malam harinya. 166)[ Riwayat Bukhari (4/237) dan Muslim (1656)]

Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sering beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang mana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh hari. 167)[ Riwayat Bukhari (4/245]

Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. 168) [Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173) dari Aisyah] 4. Syarat-syarat Itikaf

a. Tidak disyariatkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Taala: Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu169) [ Yakni Janganlah kamu menjimaki mereka. Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zadul Masir (1/193) oleh Ibnul Jauzi]. (QS. Al Baqarah: 187)

b. Dan masjid-masjid di sini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid, pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulia (yaitu) sabda beliau Shalallahu 'alaihi wassalam : Tidak ada Itikaf kecuali pada tiga masjid (saja).170) [Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan mengenai hal ini pada kitab yang berjudul Al Inshaf fi Ahkamil Itikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid] c. Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radiyallahu 'anha yang telah disebutkan.171) [ Dikeluarkan oleh Abdul Razak dalam Al Mushannaf (8037) dan riwayat (8033) dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas].

5. Perkara-perkara yang boleh dilakukan: a. Diperbolehkan keluar masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya), Aisyah Radiyallahu 'anha berkata: Dan sesungguhnya rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang Itikaf di masjid [dan aku berada dalam kamarku] kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain: aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau (ada) utbah pintu] {dan waktu itu aku sedang haidh] dan adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang Itikaf.172) [hadits riwayat Bukhari (1/342) dan Muslim (297) dan lihat Mukhtasar Shahih Bukhari no.167 oleh Syaikh kami Al Albani rahimahullah dan Jamiul Ushul (1/3451) oleh Ibnu Atsir]. b. Orang yang sedang Itikaf dan yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam: Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam berwudlu di dalam masjid dengan wudlu yang ringan.173) [Dikeluarkan oleh Ahmad (5/364) dengan sanad yang shahih].

c. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang Itikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beritikaf, karena Aisyah Radiyallahu 'anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beritikaf174) [Sebagaimana dalam shahih Bukhari (4/226)] dan hal ini atas perintah Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam 175) [Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173)]. d. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam jika Itikaf dihamparkan untuknya kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At Taubah.176) [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (642-zawaidnya) an Al baihaqi, sebagaiman yang dikatakan oleh Al Bushiri dari dua jalan . Dan sanadnya hasan]. 6.Itikafnya wanita dan kunjungannya ke masjid a. Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat Itikaf, dan suaminya diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radiyallahu 'anha berkata: Dahulu Nabi (Shalallahu 'alaihi wassalam) (tatkala beliau sedang) Itikaf [pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjunginya pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliau berdiri bersamaku untuk mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki-laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda: Tenanglah177)[Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci], ini adalah Shafiyyah bintu Huyay (istri Rasulullah sendiri, red) , kemudian keduanya berkata: Subhanallah (Maha Suci Allah), ya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Beliaupun bersabda: Sesungguhnya syetan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada

aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelekan di hati kalianatau beliau berkata: sesuatu-178) [Dikeluarkan oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan tambahan yang terakhir ada pada Abu daud (7/142-143 di dalam Aunul Mabud)] b. Seorang wanita boleh Itikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. Berdasarkan ucapan Aisyah Radiyallahu 'anha: Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam Itikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Al mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau Itikaf setelah itu.179)[ Telah lewat takhrijnya] berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah-pent): pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita Itikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dali yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah Fiqhiyah: Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka AlMubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "I'tikaf". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=761 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Malam Lailatul Qadar - Malam Seribu Bulan

Sep 11, '08 10:50 PM untuk semuanya

Malam Lailatul Qadar - Malam Seribu Bulan Penulis: yaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Fiqh, 18 Oktober 2004, 05:19:43 Malam Lailatul Qadar

Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Quran Al Karim yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul Qur'an, red), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih yang menjelaskan tentang malam tersebut.

1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman : [ ] - :

(yang artinya) [1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. [2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? [3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. [5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. [QS Al Qadar: 1 - 5]

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan nan penuh hikmah : [ ] - : (yang artinya) : "Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [4] Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang

penuh hikmah, [5] (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, [6] sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."[QS Ad Dukhoon: 3 - 6]

2. Waktunya

Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar, membawakan perkatan para ulama dalam masalah ini, lihatlah). Imam SyafiI berkata : Menurut pemahamanku, wallahu alam, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : Apakah kami mencarinya di malam hari?, beliau menjawab : Carilah di malam tersebut.. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (6/388).

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits Aisyah Radiyallahu anha, dia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam beritikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda : (yang artinya) Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.. (HR Bukhari 4/255 dan Muslim 1169)

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya. (HR Bukari 4/221 dan Muslim 1165). Ini menafsirkan sabdanya : (yang artinya) Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah pada tujuh hari yang terakhir. (Lihat maraji diatas).

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radiyallahu anhu, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda : Aku

keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga diangkat tidak bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29,27,25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan, lima). (HR Bukhari 4/232).

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah. Maka dengan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisahkan.

Kesimpulannya : Jika seseorang muslim mencari malam Lailatul Qadar, carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari ppada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu alam.

Paling benarnya pendapat lailatul qadr adalah pada tanggal ganjil 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah, Ia berkata : Adalah Rasulullah beritikaf pada 10 terakhir pada bulan Ramadhan dan berkata : Selidikilah malam lailatul qadr pada tanggal ganjil 10 terakhir bulan Ramadhan.

3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar

Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759).

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759) Disunnahkan untuk memperbanyak doa pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radiyallahu anha, (dia) berkata : Aku bertanya, Ya Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?. Beliau menjawab, Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fafu annii. Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.. (HR Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al Hanbali.) Saudaraku semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaatiNya engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan sholat) pada sepuluh malam hari terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu dan perbanyaklah amalan ketaatan. Dari Aisyah Radiyallahu anha, Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya. (HR Bukhari 4/233 dan Muslim 1174). Juga dari Aisyah Radiyallahu anha, (dia berkata) : Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya. (HR Muslim 1174).

4. Tanda-tandanya

Ketahuilah hamba yang taat mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dariNya dan membantu dengan pertolongaNya sesungguhnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya. Dari Ubay Radiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi. (HR Muslim 762).

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam beliau bersabda : (yang artinya) Siapa diantara kalian yang ingat ketika terbit bulan, seperti syiqi jafnah. (HR Muslim 1170. Perkataannya Syiqi Jafnah, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadli Iyadh berkata :Dalam hadits ini ada isyarata bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.) Dan dari Ibnu Abbas Radiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan. (HR Thyalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka AlMubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Malam Lailatul Qadar". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=757 Kata kunci: tauziah series

tidak ada komentar

Siapa yang layak membayar fidyah secara syar'i ?

Sep 11, '08 10:46 PM untuk semuanya

Siapa yang layak membayar fidyah secara syar'i ? Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami Fiqh, 17 Oktober 2004, 05:32:06 Fidyah

1. Bagi Siapa Fidyah itu ? Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya (yang ditinggalkan, red) seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya) Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa, hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin. (QS Al Baqarah 184).

Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu.

2. Penjelasan Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh (sudah dihapuskan hukumnya, red) berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa Radiyallahu 'anhu, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari atas seorang miskin. (HR Bukhari 8/135).

Oleh karena itulah Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu dianggap menyelisihi jumhur shahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan) : Diberi rukhsah (keringanan, red) bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa, hendaknya memberi makan seorang yang miskin dan tidak ada qadha, kemudian dimansukh oleh ayat (yang artinya) : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS Al Baqarah 185).

Telah sahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. (Ibnu Jarud (381), Al Baihaqi (4/230), Abu Daud (2318) sanadnya shahih).

Sebagian orang ada yang melihat zhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh (dalil yang menghapuskan, red), hingga mereka menyangka Hibrul Ummah (Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan!!!.

3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al Baqarah 185) Mansukh

Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena salafush shalih Radiyallahu 'anhu menggunakan kata naskh untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak, zhahir dan selainnya, adapun mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya, sehingga mereka menamakan istitsna (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan zhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa Arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. (Lihat Ilamul Muwaqiin 1/35 karya Ibnu Qayyim dan Al Muwafaqat (3/118) karya Asy Syathibi).

Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang Arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilah (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan salafus shalih dengan pengertian yang baru, yang mengandung penghilangan hukum syari terdahulu dengan dalil syari mutakahirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.

4. Ayat Tersebut Bersifat Umum

Yang menguatkan hal ini, ayat diatas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang biasa berpuasa, atau tidak biasa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Salamah bin al Akwa Radiyallahu 'anhu : Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam, barangsiapa yang mau berpuasa, maka berpuasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat (yang artinya) : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS Al Baqarah 185).

Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhshah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itusendiri. Jika rukhshah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja, kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan (ditolak, red) itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?

Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, hukum pertama mansukh dengan dalil al Quran adapun hukum kedua dengan dalil dari Sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari Kiamat.

Yang menguatkan akan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh : Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia

dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui juka khawatir akan keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya. Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radiyallahu 'anhu : Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam saat datang ke Madinah, menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura, sampai kemudian Allah mewajibkan puasa (Ramadhan) turunlah ayat : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (QS Al Baqarah 183). Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat : (yang artinya) Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al Quran (QS Al Baqarah 185).

Allah menetapkan puasa bagi orang mukim dan sehat, serta memberi keringanan (rukhshah) bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya (HR Abu Daud dalam Sunannya (507), Al Baihaqi dalam sunannya (4/200), Ahmad dalam Musnad (5/246-247) dan sanadnya shahih.

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.

Oleh karena itu Ibnu Abbas Radliyallahu 'anhu mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu 'anhu dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman shahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahli ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh al Qurthubi dalam tafsirnya. (Al Jami li Ahkamil Quran, 2/288).

5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz hanya ijtihad ?

Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim, apa yang telah tsabit (tetap penyebutannya) dari Ibnu Abbas dan Muadz hanyalah semata-mata pendapat, ijtihad dan pengkabaran, sehingga tidak bisa naik ke tingkatan hadits marfu yang bisa mengkhususkan

perkara yang sifatnya umum dalam al Quran, membatasi yang mutlak dan menafsirkan yang global, maka jawabannya adalah sebagai berikut : a. Dua hadist ini memiliki hukum marfu menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan RasulNya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua sahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya al Quran, mengabarkan ayat Al Quran, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits yang musnad. (Lihat Tadribur Rawi (1/192-193) karya Imam Suyuthi, Ulumul Hadits (24) karya Ibnu Shalah). b. Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, darimana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari Sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh (sudah dibatalkan, red). Dari Malik dari Nafi bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatrkan anaknya, beliau berkata : Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin. (Al Baihaqi dalam as Sunan (4/230) dari jalan Imam SyafiI, sanadnya shahih).

Daruquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, beliau (Ibnu Umar) berkata : Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha. Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha, sanadnya jayyid. Dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

c. Tidak ada sahabat yang menentang Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu. (Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (3/21)).

6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya

Keterangan ini menjelaskan makna : Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui, yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi kalau mengkhawatirkan diri dan anaknya, dia bayar fidyah tidak mengqadha. 7. Musafir Gugur Puasanya dan Wajib mengqadha

Barangsiapa menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha, perkataan ini tertolak karena al Quran menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir : (yang artinya) Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS Al Baqarah 184).

Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firmanNya : (yang artinya) Dan wajib orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) : memberi makan seorang miskin. (QS Al Baqarah 184).

Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat itu, bahwa ayat ini adalah khusus untuk mereka.

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka AlMubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Fidyah". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia) Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=756 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Kafarat / Denda dalam Puasa Ramadhan

Sep 11, '08 10:45 PM

untuk semuanya

Kafarat / Denda dalam Puasa Ramadhan Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly Fiqh, 08 November 2003, 04:08:20 1. Kafarat bagi laki-laki yang menjima'i isterinya Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha' puasanya dan membayar kafarat yaitu : membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.

Ada yang mengatakan : kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, -ed), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya, -ed) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'.

Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.

2. Gugurnya kafarat Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan. Allah berfirman (yang artinya) : Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan" [Al-Baqarah : 286]

Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.

3. Kafarat hanya bagi laki-laki Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja.

Wallahu 'alam

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=322 Kata kunci: tauziah series tidak ada komentar

Petunjuk tentang Qunut Witir Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam

Sep 11, '08 10:45 PM untuk semuanya

Petunjuk tentang Qunut Witir Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Penulis: Abul 'Abbaas Musa ibn John Richardson

Fiqh, 08 November 2004, 17:19:31 Judul Pelajaran : Penjelasan tentang do'a qunut yang dilakukan dalam sholat Witir, dari perspektif hadits dan perspektif fiqih

(Disampaikan oleh Shaykh Muhammad Bin Umar bin Salim Bazmul saat mengajar di Universitas Umm al-Quraa, Saudi Arabia)

Pelajaran terbagi menjadi dua bagian utama :

Bagian Pertama: Riwayat-riwayat yang diperbincangkan kesahihannya Bagian Kedua : Masalah yang berhubungan dengan do'a qunut yang dilakukan dalam sholat Witir

Penyusun mengumpulkan seluruh riwayat yang shahih dari Nabi (Shallallahu 'alaihi wasallam) dan pernyataan para sahabatnya yang berhubungan dengan qunut dalam sholat witir.

Kemudian beliau mengumpulkan yang termasuk dalam kategori sahih, agar supaya membedakan antara (riwayat) orang-orang yang tak dapat diterima dan yang bisa diterima, dalam rangka memusatkan pada prinsip dasar dalam pelajaran tersebut yang layak diambil, yang didasarkan semata-mata pada masalah yang berkenaan dengan doa qunut dalam sholat Witir.

Beliau juga mengumpulkan dari madzhab fiqih terkenal yang telah yang menjelaskan tentangnya, termasuk madzhab Dhahiriyyah.

Penyusun kemudian kembali dan meneliti masalah tersebut satu-persatu, memilah sesuai dengan riwayat yang sahih, menggunakan manhaj para Ulama meneliti,berargumentasi, dan mengambil kesimpulan.

Sebagian dari kesimpulan dalam studi (beliau) sebagai berikut:

1. Bahwa doa qunut dalam sholat witir (di bulan Ramadhan, red) diperbolehkan dilakukan semua sepanjang tahun. [Ishaq bin Rahawaih memilih qunut (witir) dilaksanakan sepanjang tahun, simak Mukhtasar Qiyamullail 125, lihat juga kitab at-Tarjih fii Masaailil Thaharah was Shalah oleh DR. Muhammad bin 'Umar Bazmul hal 362-385. Dan kata Ma'mar:"Sesungguhnya aku qunut witir sepanjang tahun kecuali awal Ramadhan sampai dengan pertengahan saya tidak qunut, demikian juga dikalukan oleh Hasan al-Bahsri, ia menyebutkan dari Qatadah dan lainnya. Lihat Mushannaf 'Abdurrazzaq 3/120 dengan sanad yang shahih. Serta Dari Ibrahim an-Nakha'i telah berkata 'Abdullah:"ia tidak pernah qunut Shubuh sepanjang tahun dan ia qunut witir setiap malam sebelum ruku'." Kata Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah:"Ini atsar yang kami pegang. HR Ibnu Abi Syaibah 2/305-306 atau 2/205]".

2. Termasuk sunnah Nabi ( Shallallahu 'alaihi wasallam) yakni kadang-kadang melaksanakannya dan kadang-kadang meninggalkannya.

3. Menyambung (di atas), yakni setiap malam yang telah ditetapkan adalah separuh malam terakhir dari bulan Ramadhan, yakni dimulai dengan malam yang yang keenambelas.[Dari 'Amr dari Hasan, bahwasanya 'Umar radiyallaahu 'anhu menyuruh Ubay radiyallaahu 'anhu mengimami shalat tarawih pd bulan Ramadhan, dan beliau menyuruh Ubay radiyallaahu 'anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan Ramadhan mulai malam 16 Ramadhan. HR Ibnu Abi Syaibah 2/205 no.10]

4. Qunut (semestinya) ditinggalkan saat separuh pertama dari bulan Ramadhaan, terlebih jika sholat tersebut dilakukan berjamaah dengan orang-orang, sebab hal ini menyimpang dari Sunnah, dan tidak dikenal luas.

5. Diperbolehkan melakukan doa qunut pada (malam) pertama dan kedua dari separoh bulan Ramadhaan.

6. Do'a qunut dalam witir dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruku', walaupun yang terbaik dilaksanakan sebelum ruku'.[Hadits Ubay bin Ka'ab:"bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku'. HR Abu Dawud no 1427, Ibnu Majah no 1182, sanad hadits shahih (lihat 'Irwaul Ghalil 1/167 hadits no 426 dan

Shahih Sunan Abi Dawud no 1266). Dan sebagaimana hadits Hasan bin Ali radiyallaahu 'anhuma, dan ini riwayat yg shahih dari 'Abdullah bin Mas'ud dan 'Abdullah bin Umar radiyallaahu 'anhuma, bahkan diriwayatkan dari jumhur Sahabat, sebagaimana diriwayatkan Ibrahim al-Qamah:"Sesungguhnya Ibnu Mas'ud dan para Sahabat Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku'."Simak Diriwayatkan olsyaieh Ibnu Abi Syaibah 2/302 atau 2/202 no 12, dikatakan oleh al-hafizh dalam "Addirayah" sanadnya hasan. Syaikh Albani berkata sanadnya jayyid menurut syarat Muslim (Irwaa'ul Ghalil 2/166). Juga Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : "Boleh juga doa qunut sesudah ruku' dan ditambah dengan melaknat orang2 kafir, lalu shalawat kepada Nabi shallalaahu 'alayhi wasallam dan mendoakan kebaikan untuk kaum muslimin, pada pertengahan Ramadhan, karena ada dalil dari para Shahabat radiyallaahu 'anhuma di zaman Umar radiyallaahu 'anhu. Simak Qiyamu Ramadhan hal.31-32]

7. Termasuk menyimpang dari Sunnah yakni bertakbir (Allahu akbar) sebelum dan sesudah qunut, ketika (memilih) berdoa qunut sebelum ruku'.

8. Termasuk Sunnah adalah bahwa imam mengeraskan suaranya saat berdo'a qunut, dan para jama'ahnya mengucapkan "amiin".

9. Termasuk Sunnah, untuk tidak memanjangkan do'a qunut, dan yang terbaik adalah mencukupkan diri untuk merujuk pada apa yang telah yang diberitakan Nabi (Shallallahu 'alaihi wasallam), sehingga dia hanya diperbolehkan untuk memperpanjang sesuai pernyataan yang telah tetap.

10. Tidak ada ketetapan yang mengharuskan orang-orang untuk berdo'a qunut dengan cara tertentu, tidak bebas melakukan apapun, sebab cara yang terbaik adalah yang telah shahih riwayatnya.

11. Merupakan Sunnah bagi imam orang-orang untuk tidak berdo'a qunut pada separuh pertama bulan Ramadhaan, (akan tetapi) melakukan qunut tersebut pada separuh terakhir, serta memohon (dalam qunut) untuk membinasakan kaum kafir pada doa qunutnya.

12. Diperbolehkan mengangkat tangan pada do'a qunut, atau membiarkan tangan tetap di

samping (seperti posisi sebelumnya/tidak mengangkat tangan), atau mengangkat tangan di awal qunut dan menurunkan tangan di akhir qunut, semua cara ini diperbolehkan.

13. Tidak diizinkan untuk menyeka/menyapu wajah dengan tangan setelah qunut.

14. Diperbolehkan mengucapkan shalawat kepada Nabi (Shallallahu 'alaihi wasallam) di (dalam) do'a qunut. 15. Abdullaah ibn Masud dan Ubay ibn Kab (semoga Allah meridloi keduanya) yang telah meriwayatkan banyak tentang do'a qunut di (dalam) sholat witir.

16. Sholat yang paling menyerupai sholat witir adalah paling adalah Maghrib, sebab sholat Maghrib adalah witir di sore [/siang] hari.

17. Apa saja yang dikerjakan dalam qunut nazilah (yang dilakukan dalam sholat wajib) juga dapat dikerjakan dalam doa qunut dalam sholat witir. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa sesuatu yang disahkan dalam amalan wajib adalah juga disahkan untuk amalan sunnah, kecuali jika disana ada dalil khusus yang melarangnya.

Dan beliau berharap kiranya dapat membantu menghidupkan kembali manhaj Ulama' di (dalam) meneliti, mengumpulkan dalil-dalil, menerimanya dan menolaknya dalil dalam kaitan dengan kesahihannya, dan kemudian membuat kesimpulan yang berdasar padanya.

Semoga Allaah mengabulkan doa penyusun, sera memberikan bimbingan, dan keteguhan.

[Dari abstrak pelajaran yang disampaikan Syaikh Muhammad Bazmul pada Universitas Umm al-Quraa, Saudi Arabia] Masalah yang keempat: Apakah posisi tangan diangkat dalam doa qunut ? Berikut hukum yang ditetapkan dalam doa qunut :

1) Yakni seseorang mengangkat tangannya;

[keterangan ust Abu Hamzah Yusuf : Dzahir perkataan Ahlul ilmi (tentang kaifiyat mengangkat tangan) : bahwasanya kedua tangan digandengkan seperti orang yang sedang memohon, meminta dari orang lain agar memberikannya sesuatu. Adapun dibentangkan dan saling berjauhan antara kedua tangan , maka aku tidak mengetahui ada asalnya dalam Sunnah tidak pula dari perkataan ulama

2) Yakni seseorang membiarkan tangannya berada disampingnya;

3) Yakni seseorang mengangkat tangannya di awal qunut dan menurunkan tangannya di akhir qunut.

Dalil (yang berkenaan dengan poin di atas): 1) Nabi (Shallallaahu alaihi wasallam) menaikkan tangannya yang digunakan untuk berdoa qunut an-nazilah, yakni memohon (kepada Allah, red) untuk membinasakan kaum (kafir). [Sahihh: Ahmad 3/137, al-Mu'jam as-Saghir, dan al-Baihaqi didalam Dalaa'il anNubuwwah dan As-Sunan Al-Kubraa. Lihat juga: Irwaa' Al-Ghalil ( 2/181)].

Dan 'Abdullaah ibn Mas'ud dahulu mengangkat tangannya saat qunut.

2) Az-Zuhri meriwayatkan, mengacu pada perbuatan Shahabat Nabi : "Mereka dahulu tidak menaikkan tangannya dalam Witir di bulan Ramadhan."

3) Az-Zuhri meriwayatkan bahwa Ibn Mas'ud dahulu mengangkat tangannya di(dalam) Witir, dan setelah itu membiarkan tangannya di sampingnya.

Musa Abul-'Abbaas Musa ibn John Richardson ('Aziziyyah, Makkah, Saudi Arabia) menyatakan : bahwa tindakan Ibn Mas'ud sesuai disini, sebab beliau adalah sahabat Nabi dan perbuatan ini adalah tauqifi, dibatasi oleh dalil, maka beliau tidak akan melakukan berbagai hal didalam shalat menurut pendapatnya sendiri, melainkan beliau mempelajari hal tersebut dari Nabi (Shallallaahu alaihi wasallam). Dan Allah Taala mengetahui yang terbaik.

Masalah yang keenam: Apakah doa qunut dan ucapan Amiin" para makmum/jamaah dilaksanakan dengan suara keras?

[Ringkasan] Mengingat tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka dulu (sahabat) mengucapkan "Amiin" di belakang imam mereka sepanjang qunut witr, maka dapat diambil dalil melihat perbuatan Sahabat pada qunut an-naazilah (doa untuk memohon perlawanan atas orangorang (musuh, red) yang dilakukan pada sholat yang wajib), karena ucapan mereka "Amiin" di belakang Imam dalam sholat adalah amalan (yang) dilaksanakan dalam sholat wajib. Hal ini telah tetap dalilnya dilakukan dalam sholat Maghrib, yang mana [sholat Magrib ini merupakan, red] witir yang wajib, dengan begitu diperbolehkan juga untuk melakukannya didalam sholat yang tidak wajib, berdasarkan pada prinsip yang disebutkan dalam kaidah berikut : ... Apa saja yang telah ditetapkan untuk qunut nazilah (yang dilakukan pada sholat yang wajib) adalah juga dapat diamalkan dalam qunut pada sholat witir. Hal ini didukung oleh bahwa amalan apapun yang disyariatkan dalam amalan wajib adalah juga disyariatkan dalam amalan sunnah, kecuali jika disana ada dalil khusus yang melarang hal tersebut.

(1) Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits hasan dalam Musnad Ahmad (2746), Abu Dawud (1443), Ibn Khuzaimah (618), al-Haakim (1/225), al-Bayhaqi dalam as-Sunan alKubraa (2/200). Dan telah disepakati oleh al-Haakim, Ibn Khuzaimah, dan al-Albaani (Irwaa' al-Ghalil:2/163). [Datang dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu anhu] Dan Allah Taala mengetahui yang terbaik.

You might also like