You are on page 1of 5

Sinkroni - Diakroni

Untuk memahami konsep dari terminologi Sinkroni diakroni, dalam hal ini perlu disinggung hal ihkwal konsep tentang budaya yang tertuju pada konsep evolusionisme dan difusionisme. Evoluionisme adalah suatu perspektif dalam antropologi yang menekankan meningkanya kompleksitas kebudayaan sepanjang masa waktu, sedangkan difuionisme adalah perspektif dalam antropologi yang menekankan transmisi gagasan dari suatu tempat ketempat lain. (Fedyani, 2005: 25). Evolusionisme Klasik merupakan sebuah paradigma yang berkembang pada akhir abad ke 19. Evolusionisme klasik berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan manusia sejak paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks (yakni, pada masa peradaban barat abad ke 19). Paradigm ini mengalami kendala karena mengandalkan data tangan kedua, suatu etnosentrisme implisit, dan kecenderungan menghasilkan teori-teori spekulatif dan tidak bisa diuji. Akan tetapi evolusionisme klasik memiliki andil besar bagi pengembangan metode komparatif, yang terbukti merupakan kontribusi amat penting bagi antropologi. Difusionisme popular khususnya di Inggris dan Jerman pada awal abad kedua puluh, paradigm ini terutama berupaya menjelaskan kesamaan-kesamaan di antara pelbagai budaya. Difusi adalah proses historis dari perubahan kebudayaan melalui transmisi lintas-budaya dari objek-objek materi dan perilaku juga keyakinan yang dipelajari. Difusionis Eropa terkemuka adalah Fritz Graebner (1911) dan Wilhelm Schmidt (1939). Di Amerika Serikat, paradigma ini mengekspresikan dirinya melalui konsep daerah kebudayaan dan tampak secara mencolok dalam karya Clark Wissler (1917) dan Alfred Kroeber (1939). Namun, semenjak pertengahan abad ke-20 difusionisme tak lagi memiliki pendukung yang signifikan (Fedyani, 2005: 63) Pendekatan diakroni dalam evolusionisme dan difusionisme digunakan untuk menemukan gambaran hubungan unsur-unsur kebudayaan sepanjang waktu, dan lawan dari diakroni adalah sinkroni yang untuk memahami konsep daripada sinkroni perlu disinggung terlebih dahulu setidaknya konsep dari struktural-fungionalisme, strukturalisme. Struktural-Fungsionalisme adalah suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Malinowski dan A.R Radcliffe Brown di Inggris. Prinsif yang melandasi paradigm ini adalah analogi biologi; StrukturalFungsionalme berasumsi bahwa komponen-kompenen sistem sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sistem. Di Amerika Serikat, paradigm ini menimbulkan dampak terbesar terhadap kalangan sosiolog, di mana Talcott Parsons (1937) adalah salah satu tokoh yang terpenting. Paradigma struktural-fungsionalisme secara utuh hanya mengilhami sedikit, itu pun kalau masih ada , penelitian antropologi masa kini, akan tetapi bagaimana pun konsep fungsi selalu tersirat dalam semua teori antropologi mengenai struktur masyarakat (Fedyani, 2005: 64). Strukturalisme adalah paradigma yang dibangun oleh ahli antropologi Prancis yaitu Claude LviStrauss. Strukturalisme merupakan strategi penelitian untuk mengungkap struktur pemikiran manusia yakni strukutur dari proses pikiran manusia yang oleh kaum strukturalis dipandang sebagai gejala lintas

budaya. Strukturalisme berasumsi bahwa pikiran manusia senantiasa distruktur menurut oposisi biner, dan kaum strukturalis menklaim bahwa oposisi-oposisi tersebut tercermin dalam pelbagai variasi fenomena budaya, termasuk bahasa, mitologi, kekerabatan dan makanan. (Fedyani, 2005: 64-65), Dalam bahasa tokoh yang dikenal sebagai strukturalis adalah Ferdinand de Saussure, sedangkan Lvi-Strauss sendiri lebih dikenal dalam pembokarannya terhadap mitos-mitos bersama Barthes yang kelak berpindah haluan pada post-strukturalis. Pendekatan sinkroni dalam struktural-fungsionalisme digunakan untuk menunjukan unsur-unsur kebudayaan bersama-sama pda waktu yang sama (relasional dalam batas waktu tertentu). Dari kedua perspektif tersebut, terdapat satu perspektif yang mensintesiskan sekaligus mengkritisi kedua konsep daripada sinkroni dan diakroni. Perspektif tersebut adalah perspektif interaktif yang di dalamnya mengandung aspek sinkroni dan diakroni.

Berikut tabel yang menggambarkan pendekatan sinkroni dan diakroni juga interaktif pada pelbagai paradigma, yang ditulis kembali oleh Achmad Fedyani (2005: 24) yang bersumber dari Alan Barnard (2000):

PERSPEKTIF DIAKRONI, SINKRONI, DAN INTERAKTIF Perspektif Diakroni : Evolusionisme Difusionisme Marxisme (dalam batas tertentu) Pendekatan daerah kebudayaan (dalam batas tertentu)

Perspektif Sinkroni : Relativisme (termasuk kebudayaan dan kepribadian) Strukturalisme Strukutural-fungsionalisme Pendekatan kognitif Pendekatan daerah kebudayaan (kebanyakan) Fungsionalisme (dalam batas tertentu) Interpretivisme (dalam batas tertentu)

Perpektif Interaktif : Transaksionisme Prosesualisme feminisme Feminisme Post-stukturalisme Postmodernisme Fungsionalisme (dalam batas tertentu) Interpretivisme (dalam batas tertentu) Marxixme (dalam batas tertentu)

APLIKASI PENDEKATAN DIAKRONI Aplikasi pendekatan diakroni telah penulis coba paparkan melalui gambaran pada tugas DPG tentang Humanisme Sebagai Ideologi Representasi Peradaban Dari Yunani Klasik, Modernisme, Dan Postmodernisme, dalam tugas tersebut penulis mencoba memaparkan dinamika masyarakat dalam menerjemahkan humanism melalui ideolgi-idelogi yang berkembang dari satu era menuju era yang lain.

APLIKASI PENDEKATAN SINKRONI Aplikasi pendekatan sinkroni akan penulis coba aplikasikan pada fenomena bahasa melalui paradigm semiotika. Semiotika merupakan perkembangan dari strukturalisme yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, Pierce adalah tokoh lain yang mempunyai kaitan erat dengan konsep semiotika. Dalam beberapa teori semiotika, terutama yang dikembangkan oleh C.S Morris, meskipun ada benang merah dari konsep pertandaan bahasa Ferdinand de Saussure, Morris mempunyai konsep yang lebih kompleks. Konsep itu terbagi ke dalam tiga dimensi, antara lain: Sintaktik yang berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individu ataupun kombinasinya; Semantik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signifikasi atau maknanya; dan Pragmatik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunaannya (interpreter) khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkret dalam berbagai peristiwa (discourse) serta efek atau dampaknya terhadap pengguna[1] (Yasraf Amir Piliang, 2003:256-257). Begitu pun dalam analisis struktural, kajian analisisnya menggali hubungan tanda-tanda yang bersifat abstrak dengan tanda-tanda yang bersifat konkret (relasional). Dalam aplikasi pendekatan sinkroni ini, penulis akan coba dengan sedehana menerapkannya pada konsep semiotika yang dikembangkan oleh C.S Morris melalui pendekatannya tentang pragmatis sehubungan dengan bahasa pada kurun waktu tertentu yaitu pada waktu peristiwa Pilkada (pemilihan

kepala daerah) Jawa Barat berlangsung dengan adanya konsep daripada akronim DAI, HADE, dan AMAN. Dalam pandang pendekatan sinkroni, ketiga akronim tersebut eksis dengan korelasi waktu peristiwa berlangsung dan memiliki nilai pragmatis yakni penggunaannya di masyarakat. Secara semantik (diakronis) terminologi dai adalah bahasa yang memiliki makna biasa sebagai konsensus dari masyarakat untuk menunjukan seseorang yang dianggap tokoh masyarakat dan yang dianggap memiliki pandangan keagamaan yang tinggi (Dai), sedangkan hade adalah terminologi dalam bahasa Sunda yang memiliki arti bahasa dalam bahasa Indonesia sebgai bagus (cakap) lalu aman adalah bahasa yang dalam bahasa Sunda dan Indonesia memiliki arti yang sama yaitu suatu kondisi yang kondusif dan terkendali. Tetapi dalam konteks Pilkada Jawa Barat 2008, ketiga terminologi tersebut tidak sesederhana bahasa konvensional sebagaimana konsesnsus umum di masyarakat Jawa Barat. Dalam ketiga bahasa tersebut termuat konsep semiotik pragmatik yaitu relasi dan penggunaan ketiga kata tersebut di masyarakat Jawa Barat pada batas waktu tertentu (sinkroni) yaitu pda waktu Pilkada 2008 di Jawa Barat. Kenapa harus berdasarkan waktu dan tempat tertentu, karena peristiwa tersebut mungkin tidak akan berlaku di belahan lain Indonesia di luar Jawa Barat di sinilah relevansi dari pendekatan sinkroni efektif diaplikasikan. Dalam penggunaannya di masyarakat Jawa Barat tahun 2008 pada konteks Pilkada, ketiga terminologi tersebut memiliki makna lain diluar surface meaning (makna dasar/permukaan), ketiga terminologi tersebut memiliki deep meaning (makna dalam/tersembunyi), di mana terminologi tersebut memiliki konsep icon sebagai representasi dari ketiga calon kepala daerah (gubernur). dai, hade dan aman memiliki representasi yang menggambarkan konsep lain yang hanya berlaku ketika perhelatan Pilkada 2008 di Jawa Barat, pada waktu tersebut, orang-orang yang memiliki posisioning publik cukup berpengaruh seperti polisi dan aparat pemerintah akan berhati-hati mengeluarkan ketiga kata tersebut, karena ketiga kata tersebut bersifat relasional (paradigmatik) terhadap suatu kondisi tertentu, apabila biasannya aparat pemerintah dengan biasa mengatakan mari kita aman-kan Jawa Barat, akan lain maknannya bagi masyarakat Jawa Barat apabila pernyataan itu didengar ketika Pilkada Jawa Barat 2008 berlangsung, karena kata aman dalam konteks tersebut memiliki korelasi erat dengan salah satu calon yang bertanding dalam Pilkada 2008 tersebut, artinya makna tersebut sudah bukan ajakan pada masyarakat untuk menciptakan suasana damai dan kondusif di Jawa Barat, tetapi maknanya akan menjadi perintah pada masyarakat untuk memilih salah satu calon daripada peserta Pilkda Jawa Barat yang secara eksplisit menunjukan pada Agum Gumelar dan Numan, begitu pun dengan bahasa Jawa Barat mah boga pamimpinna hade (dalam bahasa Sunda) memiliki konotasi lain pada waktu tertentu yang menunjukan salah satu calong yaitu Ahmad Heriawan dan Dede Yusuf. Sama halnya dengan pernyataan Jawa Barat harus mendengar kata-kata Dai tentu saja akan memiliki konotasi khusus pada Dani Setiawan dan Iwan Sulanjana yang merupakan peserta Pilkada JAwa Barat 2008. Demikianlah konsep dari pendekatan sinkroni yang diaplikasikan melalui paradigma semiotika (strukturalisme) efektif dalam membongkar bahasa dalam batas tertentu.

Daftar Pustaka

Leche, John 2001 50 filusuf kontemporer: dari strukturalisme sampai postmodernisme. Kanisius. Yogjakarta.

Fedyani Saifudin, Achmad 2005 Antrpopologi Kontemporer: suatu pengantar kritis mengenai paradigma. Kencana. Jakarta

You might also like