You are on page 1of 11

PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEMERINTAHAN SBY-JK

A. Partai Politik Menurut Giovanni Sartori partai politik adalah suatu kelompok masyarakat yang mengikuti pemilihan umum, dan melalui pemilihan umummampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik (A party is any political group that present at elections, and is capable of placing through elections candidates for public office). Partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bias menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bias lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan. Secara umum partai politik dapat dikatakan sebagai suatu kelompok yang terorganisir dimana anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Partai politik merupakan sarana bagi masyarakat untuk turut serta dalam proses jalannya pemerintahan dan pengelolaan Negara. Sebagai lembaga politik, partai politik tidak dapat berdiri sendiri, sebuah partai politik dapat menjadi besar atau bahkan terpuruk ditentukan oleh masyarakat. B. Fungsi Partai Politik 1) Sebagai Sarana komunikasi Politik Pada bagian ini partai politik berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah.dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan sebaliknya. Peran partai politik sebagai jembatan sangat penting, karena disatu pihak kebijakan pemerintah harus

dijelaskan kepada masyarakat, dan dipihak lain pemerintah harus tanggap dengan tuntutan pemerintah. 2) Sebagai Sarana sosialisasi Politik Fungsi dari sosialisasi partai politik adalah upaya menciptakan citra bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting karana tujuan partai politik adalah untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. 3) Sebagai Sarana Rekrutmen Politik Dalam hal ini partai politik berupaya mencari kader-kader yang dapat menjadi pemimpin baik di tingkat internal partai maupun di tingkat nasional. Para kader yang dipilih melibatkan segala golongan dengan maksud kesempatan partisipasi dalam politik menjadi lebih luas. Ada berbagai cara yang dapat ditempuh untuk melakukan rekrutmen politik, yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain. 4) Sebagai sarana Pengatu konflik Partai politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga Negara dengan pemerintahnya. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian diantara masyarakat dan bersama dengan itu meyakinkan pendukungnya.

C. Hasil Kinerja dan Kelemahannya pada Pemerintahan SBY-JK

1) Kenaikan harga BBM

SBY pada tanggal 19 Desember 2004 menaikkan harga elpiji sebesar 42 persen, dari Rp 3.000 menjadi Rp 4.250 per kilogram. Selain itu, harga Pertamax juga dinaikkan 62 persen menjadi Rp 4.000 per liter, dan Pertamax Plus naik 52 persen

menjadi Rp 4.200 per liter. Dan yang terparah tahun 2005 SBY menaikkan harga BBM hingga 126 persen hingga melejitkan angka kemiskinan hingga 17,6 persen.

Pada 2008 harga minyak dunia terus melambung, bahkan sampai menyentuh $145/barrel. Dengan alasan membumbungnya harga minyak dunia ini pada pertengahan 2008 SBY kembali manaikkan harga BBM hingga dua kali, dengan total kenaikan 45 persen.

2) Tingkat penganguran

Tingkat pengangguran masih tinggi atau jauh dari target yang dijanjikan pemerintahan SBY-JK. Tingkat pengangguran sangat terlihat terbuka. Meski menunjukkan penurunan setelah pada 2005 yang mencapai 11,24 persen, namun secara rata-rata pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Target pemerintah soal tingkat pengangguran pada 2008 diharapkan tinggal sebesar 6,6 persen. Namun data Februari 2008 menunjukkan pengangguran masih 9,43 juta jiwa atau 8,46 persen.

3) Tingkat Inflasi

Setidaknya salah satu indikator makro ekonomi yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintahan SBY-JK untuk mengendalikan harga kebutuhan pokok. Yakni tingkat inflasi. Inflasi di era SBY-JK yang cenderung fluktuatif membuktikan ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat.

4) Penuntasan kasus Korupsi

Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) berprestasi dalam membongkar kasus korupsi di DPR, namun kinerja KPK masih sangat dirasakan tebang pilih. Sebagai contoh untuk kasus BLBI, sampai saat ini belum ada tersangka BLBI yang divonis hukum. KPK pun tidak lepas sorotan dari keefektifan dan keefisenannya dalam mengembalikan uang negara dari para koruptor.

5) Pemberantasan Illegal Logging

Sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi. Pemberantasan illegal logging turut menentukan proses penegakan hukum, di samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang korup.

6) Pewujudan Pendidikan yang murah dan Berkualitas

Dalam amanat Undang-Undang Dasar disebutkan bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen. Hal ini mengingat banyak terdapat gedung sekolah yang hampir ambruk, gaji guru yang amat rendah, dan hal-hal negatif lain yang muncul di daerah. Pemerintah SBY mengkampanyekan sekolah gratis dan mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk sekolah karena sekolah sudah digratiskan. Selain itu juga

keluarnya kebijakan tentang biaya operasional sekolah (BOS) diyakini mampu membantu sekolah untuk mengembangkan kwalitas sekolahnya.

Pemilu 2004 tergolong unik, karena disini diikuti oleh banyak partai politik yangikut meramaikan kancah perpolitikan indonesia. Ada 5 partai besar dari 225 partai yang ada dalam pemilu. Sementara itu setiap partai besar merupakan pusat dari kumpulan organisasi yang saling berkaitan satu sama lain. Sehingga kelima partai itu semakin kuat untuk bersaing secara sehat. Perjalanan kehidupan partai politik di Indonesia memberi gambaran bahwa empat masalah yang perlu dikaitkan dengan unsur-unsur organisasi yaitu bagaimana hubungan antara partai dengan masyarakat pendukung partai, peranan ideologi di dalam kehidupan partai serta peranannya bagi kelancaran perputaran mesin partai. Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan oleh partai politik dengan segala struktur yang tersedia. Mereka harus mengadakan komunikasi informasi, isu dan gagasan politik. Di sini media massa banyak berperan sebagai alat komunikasi politik dan membentuk kebudayaan politik. SBY mengadu kepada mayoritas rakyat yang memilihnya dan DPR dibenci semesta rakyat, kebijakan pemerintah urung bisa dilaksanakan tanpa persetujuan DPR. Jika tidak ada Partai Golkar di pemerintahan pada 2004, kesuksesan pemerintahan yang dikampanyekan SBY adalah kemustahilan. Segala klaim kesuksesan, dari penurunan harga BBM, swasembada beras, penghapusan utang (yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan), PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT) hingga Kredit Usaha Rakyat (KUR), tidak akan pernah bisa berjalan tanpa dukungan Golkar di parlemen.Bahkan,penambahan menteri dari unsur Golkar pun belum sebanding dengan jaminan bekerjanya program pemerintahan yang diberikan Golkar via DPR.

Terlepas dari itu semua, koalisi yang dibangun harus tetap berlandaskan pada pembentukan koalisi permanen.Koalisi terebut mesti diikat lewat kontrak yang detail dan terbuka menjadi standar etika dan fatsun politik baru yang harus dilakukan oleh calon presiden dan wakil presiden ke depan. Kejelasan bentuk koalisi 20092014 harus menjadi perhatian serius semua elite politik, pers, penggiat demokrasi, dan kalangan akademis demi menjaga keindahan demokrasi dan keajekan jalannya pemerintahan negeri ini.

Meskipun sementara jumhur ahli politik berkesimpulan bahwa presidensialisme dan multipartai adalah kombinasi yang sulit,partai pemenang 2009 harus sanggup membuktikan bahwa anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Itu akan tercapai jika etika politik koalisi dikedepankan dengan menghormati partai utama dalam menentukan soal pencapresan dan membagi portofolio kabinet bersamasama di bawah kepemimpinan presiden terpilih.

Seperti hasil penghitungan suara yang kita saksikan sekarang, konsekuensi multipartai adalah tiadanya pemenang pemilu mayoritas. Sementara konsekuensi presidensialisme adalah terpilihnya presiden yang populer di mata rakyatnya.Jebakan perkawinan ini adalah bisa jadi presiden terpilih bukan berasal dari partai politik mayoritas meskipun dia bisa jadi pemenang mutlak.Atau,meskipun berasal dari partai pemenang pemilu legislatif, presiden terpilih belum memiliki dukungan yang cukup untuk mengamankan roda pemerintahan yang dia pimpin karena kemenangannya belum mayoritas.

Reformasi dan Hilangnya Trust Golkar dan PDIP adalah dua partai besar warisan Orde Baru yang kenyang dengan pergulatan politik di tingkat nasional. Keduanya pun memiliki kisah perjalanan yang berwarna-

warni sejak kemunculannya di era Orde Baru, hingga eksistensi mereka di era Reformasi. Secara khusus, sejak tuntutan reformasi di tubuh Golkar bergulir seiring tumbangnya rezim politik Orde Baru, partai yang berlambang pohon beringin ini muncul dengan wajah baru dengan mengusung paradigma universal yang menjunjung tinggi pluralisme kebangsaan. Di masa Orde Baru, sulit menafikan paradigma eksklusif yang menempel pada identitas partai Golkar. Posisi Golkar sebagai perpanjangan tangan kekuasaan mengidentifikasi dirinya sebagai satu-satunya partai yang harus dituju agar otoritas kekuasaan bisa dicapai. Tentu saja hal ini bertentangan dengan nilai-nilai ideal demokrasi yang menjunjung tinggi partisipasi dan pilihan bebas individu dalam berpolitik. Tatkala gagasan reformasi bergulir, keran demokratisasi politik terbuka luas. Muncullah beraneka-ragam partai politik yang menunjukkan kebebasan berbekspresi di bidang politik telah tersalurkan. Rakyat pun semakin cerdas dalam menentukan pilihan politiknya. Posisi Golkar sejajar dengan partai-partai lain yang menawarkan diri untuk dipilih oleh rakyat berdasarkan kecenderungan hati nurani mereka. Hasilnya, suara partai ini tidak lagi sesignifikan pada masamasa sebelumnya. Meski demikian, euforia reformasi tidak serta-merta menghadirkan suasana baru dalam kehidupan politik. Partai-partai politik yang bertujuan untuk mewadahi aspirasi politik rakyat mengalami krisis kepercayaan di hati publik. Politik yang terwujud dalam sistem kepartaian tidak lagi berfungsi sebagai seni mengabdikan diri untuk kesejahteraan bersama, namun jalan untuk mencapai kepentingan sendiri atau kelompok. Kekuasaan eksekutif dan legislatif yang dihuni sebagian besar kader partai politik tidak mampu menjadi katalisator perubahan. Kalaupuan ada perubahan, maka ia hanya berlangsung dalam struktur kekuasaan, namun karakteristik penguasa tidak berbeda dengan masa-masa sebelumnya.

Dalam situasi seperti ini, sistem politik memasuki babak dilema demokrasi pluralis. Di satu sisi, peran partai politik diandaikan bebas, sesuai dengan otonominya. Namun di sisi lain, ia bisa memunculkan destruksi dan menghancurkan demokrasi itu sendiri. Setiap partai politik berpotensi menggunakan kesempatan untuk meningkatkan atau mengabadikan ketidakadilan ketimbang menguranginya.

Konsolidasi Kebangsaan Dalam situasi seperti ini, setiap partai politik perlu mematangkan pola berpikir dan kembali pada tujuan utamanya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Beban amanah di pundak setiap Parpol dewasa ini sangatlah berat. Instabilitas politik yang tak kunjung usai seharusnya menjadi agenda pemikiran yang paling utama. Jika tidak, maka situasi politik tetap berada dalam kubangan ketidakpastian dan dilema demokrasi yang tak berujung. Kita patut berguru kembali pada semangat para founding father negeri ini di masa revolusi kemerdekaan. Meski ideologi mereka berbeda-beda, namun tujuan utama adalah mengusir penjajah demi mewujudkan kemerdekaan. Saat ini, nasionalisme kita kembali diuji tatkala riak-riak pemisahan diri beberapa wilayah dan egoisme kelompok semakin menyeruak ke permukaan. Musuh kita tidak lagi berwujud sebagai the others berupa kaum kolonial asing. Musuh tersebut telah berubah wujud menjadi kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial akibat kebijakan sentralistik di bidang sosial, ekonomi dan politik masa lalu. Musuh itu bisa juga berupa neo-feodalisme, etnosetrisme, fundamentalisme, dan fanatisme. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kita bersatu membangkitkan nasionalisme tersebut dengan merangkul berbagai kepentingan atas dasar kepentingan bangsa.

Jika nasionalisme masa lalu, seperti yang ditegaskan Ernst Renan, bersumber pada kesatuan visi untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka, maka nasionalisme saat ini adalah kesatuan visi untuk meneguhkan rasa kebangsaan. Upaya meneguhkan rasa tersebut ditopang persamaan sifat, harapan, maupun cita-cita, dan menciptakan rasa permusuhan yang mampu menggerakan emosi nasional masyarakat. Di sinilah signifikansi peran Golkar dan PDIP sebagai dua sosok partai besar. Dengan jumlah konstituen yang besar, keduanya memiliki potensi untuk membangkitkan harapan bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan. Meski PDIP dari awal masa pemerintahan SBY-JK telah menyatakan diri sebagai partai oposisi, namun ia bukanlah musuh pemerintah. Daya Oposisi tersebut merupakan aset politik yang setiap saat memberi kritik konstruktif untuk menjaga stabilitas politik. Di pihak lain, eksistensi Golkar yang masih mengantongi sebagian besar pilihan rakyat serta memiliki kader di jajaran eksekutif dan legislatif, berpotensi menjadi katalisator kepentingan rakyat dan pemerintah. Pengalaman kedua partai tersebut juga di level politik praktis tidak perlu diragukan. Kita boleh menaruh kepercayaan penuh pada Golkar dan PDIP sebagai partai besar yang tetap berpegang teguh pada asas nasionalisme kebangsaan dan ideologi Pancasila. Kedua partai tersebut menjadi ikon national glue party (partai perekat nasional) dengan dukungan konstituen yang besar dan merata dengan segudang pengalaman akan pentingnya nasionalisme kebangsaan..

Koalisi Kebangsaan dan Solidaritas Politik Realitas bangsa yang majemuk seperti Indonesia membutuhkan perekat agar mampu bergerak berdasarkan visi kebangsaan yang sama. Aktivitas politik yang bercita-cita mewujudkan stabilitas politik tidak akan muncul dalam situasi kerja eksklusif tanpa kerja sama.

Sebab masyarakat politik merupakan aktivitas antar manusia dengan ciri dan karakter yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian, tidak ada aktivitas politik jika tidak ada kemajemukan. Atas dasar itu pula, orang membangun jaringan relasi dan koalisi satu sama lain yang memungkinkan lahirnya solidaritas. Kekuasaan dapat diperoleh dari solidaritas tersebut. Kekuasaan adalah solidaritas, dan solidaritas adalah kekuasaan. Solidaritas politik hanya bisa terbangun lewat pemahaman yang mendalam atas realitas plural. Dalam konteks itu, sekat-sekat ideologi tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya membangun keutuhan bangsa. Fanatisme ideologis mengaburkan tujuan utama sebuah bangunan politik. Partai-partai politik lebih berorientasi kepadanya ketimbang pada aplikasi program. Ideologi mendistorsi makna yang seharusnya diyakini dan dijalani individu serta memunculkan pemiskinan politik yang terwujud dalam tiga hal: 1) pragmatisme politik; 2) ruang publik tereduksi menjadi pasar; dan 3) penolakan terhadap pluralitas. Golkar dan PDIP adalah dua partai besar yang telah mengalami lika-liku interaksi politik. Kita tidak menutup mata atas kenyataan bahwa interaksi politik antara dua partai tersebut di masa lalu diwarnai ketegangan. Namun saat ini, keduanya menyadari persoalan utama yang lebih substansial adalah memperkokoh keutuhan bangsa dengan upaya membangkitkan kekuatan sosial, ekonomi dan politik rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan wadah yang mampu mengikat kekuatan politik di antara mereka lewat jalur koalisi kebangsaan. Meski demikian, harus diakui bahwa prinsip koalisi rawan membentur tembok memori kolektif yang penuh stigma dan trauma. Memori kolektif tersebut biasanya disertai dendam kolektif yang menghalangi tumbuhnya sikap saling mengerti di antara pihak yang berkoalisi. Karena itu, jika Golkar dan PDIP membangkitkan kekuatan bangsa lewat koalisi kebangsaan, maka hal tersebut adalah sebuah tindakan yang menandai kematangan dalam berpolitik.

Pengalaman-pengalaman pahit di masa lalu adalah bahan pelajaran berharga untuk berperilaku di masa depan. Kematangan berpolitik ditunjukkan dengan cara menghilangkan stigma partai politik di mata publik yang terkenal pragmatis. Jika kedua partai tersebut berhasil menghapus stigma tersebut, maka akan menyisakan harapan besar pada partai politik Golkar dan PDIP sebagai dua partai besar penjaga nasionalisme kebangsaan. Pada akhirnya, publik tidak perlu menyisakan beragam kekhawatiran atas pertemuan dua partai besar tersebut. Yang perlu dilakukan adalah mendukung upaya-upaya politik yang lebih mengedepankan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Demokrasi seharusnya menjadi sarana kerja sama, agar ambisi bisa disatukan demi kepentingan yang lebih besar.

You might also like