You are on page 1of 16

http://ayahkita.blogspot.com/2008/08/kemampuan-berpikir-kritis-kreatifpro.

html Kemampuan Berpikir Kritis Kreatif & Pro Aktif

Kali ini kita akan berbicara tentang kemampuan berpikir kritis, kreatif dan proaktif. Para orang tua dan guru yang berbahagia mengapa saya sering sekali mengangkat masalah pembelajaran yang berbasiskan hafalan.....Karena cara pembelajaran ini akan berakibat sangat fatal terhadap kemampuan level berpikir otak anak-anak kita. Ada 3 tingkatan kualitas otak dalam berpikir Yang pertama adalah berpikir Kritis, Yang Lebih Tinggi lagi adalah berpikir Kreatif dan yang paling tinggi adalah berpikir Pro aktif. Para orang tua dan guru yang berbahagia.....Apa kira-kira perbedaan dari masing-masing level cara berpikir tersebut...? Yang pertama Kritis; Kritis adalah suatu pola tingkatan berpikir kita yang selalu dapat melihat sisi-sisi kekurangan dari sebuah konsep atau pemikiran; terutama konsep dan pemikiran orang lain. Oleh karena itu pada tingkatan berpikir Kritis seseorang akan selalu melakukan Kritisi terhadap konsep atau hasil karya orang lain tanpa bisa memberikan solusinya. Tingkatan yang lebih tinggi yakni Kreatif; Kreatif adalah suatu pola tingkatan berpikir kita yang tidak hanya bisa melihat sisi lemah sebuah konsep atau pemikiran namun sekaligus ia juga bisa mengusulkan berbagai ide yang dapat digunakan sebagai pemecahannya. Oleh karena itu pada tingkatan berpikir kreatif seseorang tidak hanya berhasil menemukan sisi lemah dari sebuah konsep namun juga melahirkan konsep-konsep baru yang jauh lebih sempurna. Salah satu contoh buah pemikiran kreatif yang luar biasa adalah Kecerdasan Beragam atau Multiple Intelligence; yang dicetuskan oleh Howard Gardner pada tahun 1983. Tingkatan yang paling tinggi dari semuanya adalah cara berpikir proaktif; Proaktif adalah suatu tingkatan pola berpikir manusia yang bisa memprakirakan hal-hal apa mungkin menjadi permasalahan manusia dimasa mendatang dan mulai mempersiapkan solusinya sejak masa sekarang. Salah satu contoh pemikiran yang fenomenal tentang hal ini adalah Buku Karangan Alvin Tofler yang berjudul The Future Shock. Dengan Gamblang Tofler memberikan pandangan-pandangan bahwa akan terjadi pergeseran besar dalam sistem budaya manusia, dari sekian banyak pergeseran, salah satunya adalah pergeseran dari Budaya Mendengar menjadi Budaya Melihat ;

Efek dari hal ini akan menimbulkan serentetan pergeseran di bidang-bidang lain dimana kita tidak hanya harus siap menghadapi bahkan sangat perlu mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi. Ada lagi sebuah pemikiran yang luar biasa dasyat tentang berpikir proaktif ini telah dituangkan kedalam buku yang berjudul Management by Two Thousand XXX karangan George Berner. George Berner secara garis besar melukiskan kemajuan perjalanan teknologi manusia sampai dengan tahun 2500 an, buku yang luar biasa dasyat ini telah melahirkan sebuah prediksi pemikiran bahwa pada tahun 2500; manusia sudah akan mulai bermigrasi ke Planet Mars, karena pada tahun 2400an ; manusia telah berhasil menciptakan teknologi pengatur Iklim, hal ini terjadi setelah kira-kira tahun 2300an manusia telah bisa membuat sistem tata udara dst..... Anda mungkin bisa saja berpikir bahwa....ah itu kan hanya sebuah khayalan dan impian manusia saja....? Namun ternyata di negara maju, buku ini telah mengispirasi banyak Ilmuan dan peneliti untuk semakin giat melakukan berbagai riset dan penelitiannya. Luar biasa bukan......? Sementara bangsa-bangsa lain sudah berada pada tingkatan berpikir Pro Aktif..... jauh kedepan memikirkan suatu proses migrasi manusia untuk membentuk sebuah kehidupan baru di Planet Mars, sementara menurut anda sudah berada dilevel manakah pola berpikir mayoritas bangsa kita saat ini.....? Para orang tua dan guru yang berbahagia...Edward De Bono menyatakan bahwa yang paling membuat saya sedih saat ini adalah bahwa sistem pembelajaran yang diterapkan disekolah pada umumnya yang cenderung bersifat hafalan ini bahkan telah membuat anak-anak kita sulit sekali untuk bisa mencapai tataran berpikir kritis sekalipun. Para orang tua dan guru yang berbahagia......Sekali lagi mari kita renungkan kembali......kira-kira sudah berada dilevel manakah pola berpikir bangsa kita saat ini.......? dengan model pembelajaran hafalan yang masih terus dipertahankan oleh sekelah-sekolah anak kita sampai saat ini Menurut anda, kira-kira akan mencapai level manakah pemikiran anak-anak generasi penerus bangsa kita kelak....?

Pengertian Berpikir Kritis Berpikir keritis merupakan upaya pendalaman kesadaran serta kecerdasan membandingkan dari beberapa masalah yang sedang dan akan terjadi sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan dan gagasan yang dapat memecahkan masalah tersebut. setiap orang memiliki pola pikir yang berbeda. Akan tetapi, apabila setiap orang mampu berpikir secara kritis, masalah yang mereka hadapi tentu akan semakin sederhana dan mudah dicari solusinya. Oleh karena itu, manusia diberikan akal dan pikiran untuk senantiasa berpikir bagaimana menjadikannya hidupnya lebih baik, dan mampu menjalani suatu masalah sepelik apapun yang diberikan kepadanya. Pengertian Berpikir Kritis Kunjungi CIRI-CIRI BERPIKIR KRITIS: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2034769-ciri-ciriberpikir-kritis/ Berpikir keritis merupakan upaya pendalaman kesadaran serta kecerdasan membandingkan dari beberapa masalah yang sedang dan akan terjadi sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan dan gagasan yang dapat memecahkan masalah tersebut. setiap orang memiliki pola pikir yang berbeda. Akan tetapi, apabila setiap orang mampu berpikir secara kritis, masalah yang mereka hadapi tentu akan semakin sederhana dan mudah dicari solusinya. Oleh karena itu, manusia diberikan akal dan pikiran untuk senantiasa berpikir bagaimana menjadikannya hidupnya lebih baik, dan mampu menjalani suatu masalah sepelik apapun yang diberikan kepadanya. Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/communication-media-studies/2034770-pengertianberpikir-kritis/#ixzz1qrMNloY0 Ciri prilaku berpikir kritis 1. Menanggapi atau memberikan komentar terhadap sesuatu dengan penuh pertimbangan 2. Bersedia memperbaiki kesalahan atau kekeliruan 3. Dapat menelaah dan menganalisa sesuatu yang datang kepadanya secara sistematis 4. Berani menyampaikan kebenaran meskipun berat dirasakan 5. Bersikap cermat, jujur dan ikhas karena Allah, baik dalam mengerjakan pekerjaan yang bertalian dengan agama Allah maupun dengan urusan duniawi 6. Kebencian terhadap suatu kaum, tidak mendorongnya untuk tidak berbuat jujur atau tidak berlaku adil. 7. Adil dalam memberikan kesaksikan tanpa melihat siapa orangnya walaupun akan merugikan diri sendiri, sahabat dan kerabat 8. Keadilan ditegakkan dalam segala hal karena keadilan menimbulkan ketentraman, kemakmuran, dan kebahagiaan. Keadilan hanya akan mengakibatkan hal yang sebaliknya Kunjungi Pengertian Berpikir Kritis : http://id.shvoong.com/social-sciences/commun ication-mediastudies/2034770-pengertian-berpikir-kritis/

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2034769-ciri-ciri-berpikir-kritis/#ixzz1qrMchz9e

http://navelmangelep.wordpress.com/2011/11/08/hakikat-berpikirkritis-dan-implementasinya-dalam-pembelajaran-matematika/ HAKIKAT BERPIKIR KRITIS DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


08 Nov

Pada hakikatnya manusia dianugerahi dikaruniai berbagai potensi terutama kemampuan berpikir. Dalam hal berpikir, maka manusia juga memiliki potensi untuk berpikir kritis. Dalam rangka upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan khususnya pendidikan matematika, maka pengembangan kemampuan berpikir kritis sangat berperan. Oleh karena itu berpikir kritis perlu diajarkan baik secara khusus dan independen maupun secara terintegrasi dalam setiap disiplin ilmu atau lintas kurikulum demi meningkatkan efektivitas belajar (khususnya matematika yang berorientasi pada peningkatan keterampilan metakognitif). Mengajar berpikir kritis di sekolah merupakan suatu upaya dalam rangka menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah yang diajarkan di sekolah dengan masalah-masalah di lapangan (dunia nyata). Sehingga perlu mengambil pengalaman kelas dari mengajar berpikir kritis yang relevan dengan kehidupan siswa. Implikasinya adalah bahwa guru harus merancang dan melaksanakan suatu koneksi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diharapkan siswa/mahasiswa di luar kelas. Sebagai pengajar, guru perlu menciptakan dan meningkatkan berpikir kritis, sehingga bermakna intelektual bagi siswa menyongsong era globalisasi yang penuh tantangan dan iklim kehidupan yang sangat kompetitif. HAKIKAT BERPIKIR

Berpikir adalah hasil kerja pikiran. Pikiran manusia dan proses-proses berpikirnya selalu nampak sama, misterius dan menakjubkan. Penelitian mengenai hakikat berpikir baru menjadi bidang ilmu eksperimental yang relatif belum lama. Plato berpendapat bahwa pikiran adalah organ yang hanya berkaitan dengan ide-ide murni, artinya tidak ada hubungannya dengan penginderaan, karena penginderaan adalah fungsi badan rendah. Aristoles berpendapat bahwa pikiran yang melakukan tindakan berpikir itu merupakan potensi atau salah satu fungsi akal, disamping fungsi penginderaan, perasaan dan kehendak. Akal adalah potensi yang memiliki pelbagai kesanggupan,seperti kemampuan berpikir, kemampuan menyadari, kemampuan menghayati, mengerti dan memahami. Jadi, pemikiran, kesadaran, penghayatan, pengertian atau pemahaman, semuanya merupakan istilah yang berarti bahwa kegiatan akal itu berpusat atau bersumber dari kesanggupan seseorang yang disebut dengan intelegensi (sifat kecerdasan). Intelengensi sendiri mempunyai kemampuan menghasilkan pemikiran-pemikiran atau penemuan dan menciptakan pikiran dengan cepat dan tepat (teori),juga mempunyai kesanggupan memecahkan problema (praktek). Intelegensi sebagai potensi atau kesanggupan dan kemampuan jiwa manusia yang dibawa sejak lahir yang kemudian mengalami proses pengembangan dan peningkatan itu, berpusat di otak. Tetapi kualitas dan mutunya, selain dipengaruhi oleh beberapa faktor luar, perkembangannya juga tergantung pada cara berpikir yang metodis. Berpikir bisa diartikan sebagai Seluruh kisaran proses Mental yang sadar, (Descartes) yang terkenal dengan diktumnya yang berbunyi Cogito ergo sum, Saya berpikir, sebab itu saya ada). Berpikir adalah gejala-gejala yang terjadinya karena adanya kesadaran didalam diri manusia yang memiliki kemampuan untuk membentuk pengetahuan-pengetahuan (data-data) (Berpikir Biasa). Berpikir adalah proses nalar, menyusun ketahuan-ketahuan yang ada menuju kepada suatu kesimpulan yang benar (Berpikir Logis). Berpikir adalah serangkaian aktivitas akal budi (rasio) manusia untuk dapat membedabedakan hal-hal yang memang berbeda (realitas) dan menyamakan hal-hal yang memang sama (objektif) serta mencari nisbat antara kedua hal tersebut untuk mencapai suatu kebenaran. (Berpikir Ilmiah)

Berpikir adalah proses dialektis yang terarah untuk menemukan sesuatu hakikat kebenaran yang integral dan universal. (Berpikir Filsafati). Berpikir adalah proses belajar untuk mendekati kenyataan apa yang ada di sekitar kita dan yang ada pada diri kita sendiri dalam usaha mencapai kepastian (keyakinan) tentang ke Esaan Tuhan. (Berpikir Theologis). Dari definisi di atas terkandung sudah apa berpikir, tujuannya dan tahapan-tahapan atau tingkat-tingkat berpikir yang proses, langkah-langkah dan polanya akan kami bicarakan pada bagian kedua yaitu Bagaimana Berpikir. Menurut Galotti (1989) dalam (Martin, 1994,h. 379) bahwa berpikir didefinisikan sebagai tindakan yang melebihi informasi yang diberikan. Bagi pula, Nickerson (1986) menyatakan bahwa sebagian besar psikolog kognitif mendefinisikan berpikit sebagai suatu upaya yang disengaja dan sadar untuk memperoleh suatu hasil. Sedangkan menurut Suriasumantri, J. S. (1984,h. 42) bahwa berpikir adalah suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Menurut Websters New Encyclopidic Dictionary: All New 1994 Edition, h. 1078; dijelaskan bahwa berpikir (thinking) adalah the action of using ones mind to produce thoughts (berpikir adalah kegiatan yang menggunakan akal untuk menghasilkan idea-idea). Ada enam (6) elemen dasar dalam berpikir yang dikenal sebagai FRISCO ( Focus, Reason. Inference, Situation. Clarity, Overview) yaitu (1) Focus, (2) Nalar/ alasan, (3) penyimpulan, (4) situasi, (5) kejelasan, dan (6) tinjauan ( Ennis, 199, h. 48). Ada 12 keterampilan berpikir yang dikenal sebagai Taknonomi Ennis yang meliputi: (1) memfokuskan pada pertanyaan, (4) mengeritik kredibilitas suatu sumber, (5) meninjau dan mengeritik laporan suatu sumber, (6) menyimpulkan dan mengeritik deduksi, (7) menyebabkan dan mengeritik induksi, (8) mengambil nilai keputusan, (9) mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi, (10) memperkenalkan asumsi, (11) menentukan suatu tindakan, dan (12) mempengaruhi yang lain ( Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, h. 199). Penalaran, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah merupakan proses kognitif yang sangat saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Penalaran meliputi berbagai simpulan dari pengetahuan mutakhir dan keyakinan ; pengambilan keputusan meliputi evaluasi dari hasil alternatif atau mengambil pilihan diantara hasil alternatif tersebut; sedangkan pemecahan masalah meliputi usaha untuk mencapai setiap variasi dari tipe-tipe tujuan (Glass & Holyoak, 1986,h. 333;jacob, 1977, h. 20). Dengan demikian, penalaran tercakup dalam kategori umum yang disebut berpikir. Pada hakikatnya berpikir bertujuan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui, yaitu sesuatu yang disebut kebenaran. Jadi, untuk mencapai kebenaran manusia berpikir. Objek berpikir manusia, dapat dibedakan kedalam dua macam yaitu Objek Material, yaitu segala sesuatu yang bisa dicapai oleh pikiran, dan Objek Formal, yaitu mencari kebenaran tentang objek material BERPIKIR MATEMATIS

Salah satu Faktor-faktor penting yang turut menunjang terbentuknya berbagai kemampuan seseorang dalam mempelajari matematika adalah kepribadian dan kejiwaan seseorang yang belajar matematika. Di samping minat, motivasi, sikap, apresiasi terhadap matematika, maka kemampuan mengendalikan dan mendisiplinkan diri untuk membentuk kebiasaan belajar yang baik sangat penting dalam belajar matematika. Pendapat Morgan dan King menunjang hal ini, karena menurut mereka bahwa berpikir adalah suatu perilaku simbolik atau urutan proses simbolisasi dari hasil belajar dan pengalaman masa lalu yang dapat didorong atau dihambat oleh kebiasaan-kebiasaan yang telah terbentuk dalam diri seseorang. Dampak pengendalian diri terhadap kebiasaan seseorang akan terlihat pada kebiasaan untuk bersifat teliti, tekun, kritis serta sifat-sifat positif lainnya yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan belajar matematika. Potensi intelektual serta sarana belajar yang memadai tidak akan banyak bermanfaat tanpa kemampuan mendisiplinkan diri dalam membentuk kebiasaan yang baik untuk belajar matematika. Pada dasarnya, pada setiap orang yang normal, kemampuan-kemampuan yang dikemukakan untuk belajar matematika pada bagian ini, dapat dimiliki lewat proses dan aktivitas yang baik di sekolah, karena menurut Trow, pada setiap orang terdapat 3 kemampuan utama yaitu kemampuan penyesuaian diri, kemampuan belajar dan kemampuan berpikir abstrak. Dengan demikian terdapat kemungkinan pada setiap siswa untuk mendapatkan kemampuan-kemampuan khusus tersebut di atas dalam perkembangan mental dan intelektual serta kepribadiannya bila mempelajari matematika di sekolah sebagaimana mestinya. Kemampuan-kemampuan yang diperoleh dalam mempelajari matematika di sekolah akan dapat memampukan para siswa mencapai tujuan-tujuan kurikuler maupun tujuan pendidikan, bila para guru matematika menyadari bahwa mengajar matematika bukan sekedar membuat siswa mengerti obyek-obyek matematika, tetapi di pihak guru setidak-tidaknya juga memiliki kemampuan-kemampuan di atas dalam kadar yang lebih tinggi dari para siswa, paling tidak hampir sama dengan siswa. Gambaran tentang berbagai kemampuan dalam belajar matematika tersebut punya sangkut paut yang erat dengan kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar matematika, terutama dalam persiapan dan perencanaan pengajaran, dan ditunjang oleh pemilikan kemampuan-kemampuan yang disebut di atas yang jauh lebih baik dari para siswa. Khusus di Indonesia ada 10 kemampuan yang perlu dicapai dalam mengajarkan materi-materi bidang studi matematika yaitu (1) penerapan algoritma termasuk kemampuan

berhitung, (2) mengubah teorema ke dalam pernyataan matematika, (3) mengorganisasi data, (4) memanfaatkan simbol, (5) mengenal pola, (6) membuat interpretasi fisis, (7) menarik kesimpulan melalui penalaran, (8) penciptaan model, (9) menciptakan sintesis baru, (10) menunjukkan matematika dalam pengalaman intelektual. Ada dua bahaya menurut Cornelius yang sering terjadi dalam proses belajar mengajar matematika, terutama yang diakibatkan oleh anggapan yang ekstrim tentang matematika yakni (1) pemahaman yang menekankan pada anggapan bahwa matematika hanya sebagai alat penolong untuk menjawab soal-soal, sehingga matematika dianggap sekedar sebagai sekumpulan obyek yang dapat menjawab berbagai soal. Bila jawaban-jawaban terhadap soalsoal telah ditemukan maka dianggap bahwa itulah tujuan belajar yang akan dicapai, yang sebenarnya hal ini hanya merupakan tujuan jangka pendek. Akibatnya, tujuan-tujuan jangka panjang dalam rangka pembentukan kemampuan penalaran dalam berpikir tidak tercapai. Hal ini juga mengakibatkan sering terjadinya proses belajar yang berjalan sepintas lalu karena hanya menghafal di luar kepala urutan langkah penyelesaian soal serta rtumus-rumus yang digunakan tanpa berpikir dan yang diutamakan adalah kecepatan dan ketrampilan berhitung semata-mata. Hal ini menjadikan cara berpikir yang kaku dan membuat pikiran siswa mengalami kesukuran dalam membiasakan diri melakukan aktivitas-aktivitas belajar yang sepanjang hidupnya, khususnya bila diperhadapkan dengan masalah-masalah yang memerlukan kemampuan analisis untuk pemecahannya; (2) pemahaman yang menekankan matematika hanya sebagai bidang telaah yang terdiri dari sekumpulan struktur-struktur abstrak sehingga sebagian besar usaha belajar sering mengabaikan contoh-contoh konkrit. Matematika dianggap hanya sebagai permainan otak yang dibuat dengan bahasa-bahasa khusus yang tak berarti. Anggapan ini mengarah pada pemahaman bahwa matematika hanyalah hubungan-hubungan yang abstrak sehingga sangat menyesatkan, membingungkan dan sulit atau tidak dapat dimengerti sama sekali. Kedua hal tersebut di atas merupakan petunjuk bahwa para guru sering tidak menyadari bahwa ada tujuan khusus yang paling esensial yang harus dicapai dalam aktivitas belajar mengajar matematika melalui penyajian topik-topik bidang studi matematika di sekolah. Tujuan yang dimaksud adalah terbentuknya kemampuan komputasi, kemampuan mengaplikasikan matematika secara internal maupun eksternal untuk mendapatkan nilai kepraktisannya dan juga kemampuan berpikir logis dan abstrak. Lebih jauh lagi, untuk tujuan jangka panjang melalui kegiatan belajar mengajar matematika dapat menjadikan proses berpikir setiap siswa sebagai sarana dan media untuk membentuk kemampuan berpikir matematis yang nantinya dapat digunakan dalam berbagai usaha pemecahan masalah baik dalam bidang studi matematika maupun dalam bidang-bidang ilmu lain. Membentuk keterampilan dan kebiasaan berpikir matematis sangat perlu bagi para siswa di sekolah karena selain memudahkan terbentuknya keterampilan belajar matematika dan memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan matematika pada umumnya, juga punya dampak positif bagi cara berpikir dalam menghadapi masalah dalam berbagai aspek kehidupan. Tentunya untuk mencapai tujuan-tujuan yang dimaksudkan, banyak tergantung pada kualitas proses belajar yang diciptakan guru. Untuk itu memerlukan perencanaan dan persiapan untuk menghasilkan suatu sistim pembelajaran yang efisien dan efektif.

Pembentukan dan pengembangan berpikir matematis tidak dengan sendirinya terjadi walaupun para siswa diwajibkan belajar matematiak selama bertahun-tahun di sekolah. Walaupun bidang studi matematika dianggap sebagai ilmu yang mengembangkan disiplin berpikir menurut penalaran logis dan diharpkan bahwa berpikir logis telah tertuang dan telah dapat diserap serta dimengerti para siswa dalam semua aspek kehidupannya selama mereka mengikuti bidang studi matematika, namun belum dapat dijamin terbentuknya kebiasaan berpikir matematis sebagaimana mestinya. Setelah melewati sejumlah waktu yang sangat banyak di sekolah yang digunakan untuk mengajar dan belajar matematika, biasanya perhatian lebih banyak diberikan pada isi dan teknik-teknik penyelesaian soal untuk mencari jawaban, tapi sangat kecil perhatian untuk melakukan pemecahan melalui langkah-langkah penyelidikan dan pengkajian yang sistimatis dan logis. Hal ini dapat disebabkan karena memang proses tersebut banyak diabaikan dalam buku-buku karena lebih menekankan pada isinya. Mungkin juga karena guru tidak mengerti cara dan langkah-langkah, tahapan, komponen serta kondisi dan syarat-syarat yang diperlukan dalam berpikir matematis yang merupakan sumber untuk mampu menyelidki proses yang diharapkan dalam belajar matematika. Dengan kata lain, seringguru tidak menghayati fungsi matematika sebagai alat berpikir. Makna berpikir matematis berdasarkan pada konsep tentang berpikir yang diartikan sebagai cara yang digunakan manusia untuk meningkatkan pengertiannya tentang lingkungannya dengan menggunakan usaha-usaha pemantauan, pengendalian, penelitian ataupun pengkajian terhadap lingkungan tersebut. Pengertian tentang berpikir ini bertolak dari asumsi bahwa setiap individu selalu berusaha meningkatkan kesadarannya mengenai ruang lingkup berpikirnya sehingga dapat melakukan pilihan-pilihan dalam jangkauan yang lebih luas. Berpikir matematis dikaitkan dengan konsep berpikir tersebut berarti cara untuk meningkatkan pengertian terhadp matematika dengan menyusun data dan informasi yang diperoleh melalui penelitian atau pengkajian terhadap obyek-obyek matematika. Sebelum dapat menggunakan cara berpikir matematis, ada suatu tahap pendahuluan di mana informasi dipisah-pisahkan dan kemudian diterjemahkan ke dalam simbol-simbol. Pola dan cara berpikir matematis dapat diterapkan pada setiap materi bidang studi matematika dan digunakan bila mengerjakan soal-soal dalam setiap bidang yang sesuai secara tepat. Ada 3 komponen dalam berpikir matematis menurut Burton, yaitu: (1). Operasi-operasi dalam berpikir matematis, yaitu proses melakukan pengerjaanpengerjaan matematis dengan menggunakan unsur-unsur matematika sebagai perangsang berpikir dan dilakukan berdasarkan beberapa cara, metode atau operasi-operasi yang penggunaannya dapat dikenal menurut sifat-sifat aturan matematika. Proses ini hakekatnya adalah telaah terhadap hubungan-hubungan antara unsur-unsur dalam matematika dan merupakan operasi-operasi utama dalam mengerjakan matematika. Operasi-operasi yang dilakukan dalam proses ini antara lain menghitung, mengulang, mengurutkan, memangkatkan, menjumlah, mengurang, mengali, membagi, menyamakan, memasangkan, menggabung, mengkombinasikan, mengganti, membentuk kelas yang ekivalen, mengelompokkan. (2). Proses dalam berpikir matematis yakni proses inti kegiatan matematika dalam usaha untuk menerapkan langkah-langkah berpikir secara umum. Ada 4 proses dalam proses ini, yaitu

pendalaman (specializing), memperkirakan (conjecturing), menghasilkan kesimpulan (generalizing), dan memperkuat keyakinan (convincing). Pendalaman adalah penggunaan suatu cara yang ampuh untuk mengkaji arti suatu pertanyaan atau soal dengan melakukan pengujian terhadap contoh-contoh tertentu. Pendalaman merupakan kunci dalam proses belajar dengan pendekatan induktif. Pendugaan adalah memperkirakan pola-pola yang mendasar yang nantinya dapat digunakan untuk penyelidikan, pengungkapan secara jelas dan tepat dan kemudian secara meyakinkan dapat memberikan sokongan yang kuat untuk membenarkan pola yang diperoleh dalam memecahkan soal atau masalah. Menghasilkan kesimpulan adalah proses membuat pernyataan-pernyataan kesimpulan dari hasil pemahaman terhadap pola atau keteraturan yang ditemukan yang telah teruji. Pernyataan-pernyataan yang muncul dapat menjadi patokan yang digunakan sebagai petunjuk untuk menghasilkan pola urutan, keteraturan dan makna dari sejumlah data yang banyak. Keberhasilan dalam proses ini pada beberapa tahapan penarikan kesimpulan dalam pemecahan soal-soal dan masalah yang rumit banyak tergantung pada kemampuan seseorang dalam melakukannya dengan cermat. Meyakinkan adalah proses pengujian untuk memperkuat kesimpulan yang dibuat, agar dapat diterima secara umum oleh banyak orang. Bila secara individu kesimpulan yang dilakukan telah diyakini maka pihak lain perlu diyakinkan. Proses penguatan ini dapat dilakukan dalam proses belajar secara induktif melalui langkah-langkah pendalaman, pendugaan kemudian penyimpulan, namun dapat juga dilakukan dalam proses belajar dengan pendekatan deduktif mulai dari penyimpulan kemudian pendugaan lalu pendalaman. (3). Dinamika berpikir matematis yaitu suatu proses berpikir yang bergerak meningkat dan meluas, seolah-olah membentuk spiral, untuk mencapai pengertian dan kesadaran sebagai hasil berpikir dinamis. Proses ini dimulai dengan usaha manipulasi yang didorong dan dirangsang oleh dugaan-dugaan serta rasa ingin tahu untuk menemukan unsur-unsur yang perlu diselidiki. Unsur-unsur tersebut dapat berupa obyek fisik, diagram, ide atau simbol yang harus ditemukan pada suatu situasi konkrit yang harus dapat diterima untuk ditafsirkan. Kesenjangan antara apa yang diharapkan dalam melakukan manipulasi dengan apa yang benar-benar terjadi, menimbulkan ketegangan yang dapat memberi kekuatan untuk tetap menjaga berlangsungnya proses. Bila beberapa pola atau keteraturan hubungan dapat ditemukan, maka ketegangan mereda dan akan beralih menjadi keberhasilan, kekaguman, kesenangan atau rasa ingin tahu lebih lanjut, di mana keadaan ini dapat menggerakkan proses selanjutnya. Meskipun dugaan tentang apa yang diperoleh dan sedang dihadapi seringkali masih belum jelas untuk dimengerti, usaha manipulasi selanjutnya tetap diperlukan sampai apa yang diduga dapat diungkapkan dalam bentuk hasil pemikiran yang diartikulasikan. Ungkapan hasil pemikiran tidak harus secara verbal tetapi lebih baik dalam bentuk konkrit, diagram, simbol yang dapat menyatakan dengan jelas hal-hal mendasar dan penting yang dicapai, sebagai hasil proses manipulasi. Proses ini berlangsung secara berkesinambungan dalam kegiatan belajar matematika. Dengan demikian, dinamika berpikir matematis biasanya berlangsung melewati proses pengalaman berulang berupa manipulasi (manipulating), menduga untuk menemukan pola (getting a sense of pattern) kemudian menyatakan pola yang diperoleh secara simbolik (articulating that pattern symbolically).

Suatu hal yang penting untuk dipahami dan disadari dalam proses dinamika berpikir matematis adalah bahwa bersamaan dengan berlangsungnya kegiatan manipulasi, mencari pola dan menyatakan pola sebagai aktivitas kognitif yang menggerakkan proses berpikir matematis, juga terjadi proses reaksi afektif yang melewati tiga fase yakni (a) melibatkan diri (entry), (b) mencari pemecahan (attack) dan (c) meninjau kembali (review). Pasang surutnya arus proses dinamika berpikir pada jenjang kognitif dipetakan oleh reaksi-rekasi afektif tersebut. Fase entry adalah fase yang terjadi pada saat usaha manipulasi seseorang untuk mencari arti atau maksud soal, dalam mana terjadi pembangkitan tanggung jawab dan rasa keterikatan. Selain itu terjadinya rasa heran, ingin tahu atau ketegangan dalam fase ini menciptakan kebutuhan afektif. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan proses penyelidikan yang berlanjut, yang pada gilirannya akan memuaskan kebutuhan kognitif pada saat menemukan polapola dasar. Menurut Bruner, sebagaimana dinyatakan oleh Burton, tahapan usaha bekerja keras untuk mencari maksud soal ini, dianggap sebagai bagian dari kebutuhan manusia dalam memecahkan konflik kognitif. Ada dua makna afektif dalam menghadapi konflik tersebut. Dapat terjadi, seseorang akan menarik diri meninggalkan kegiatan ini karena merasa gagal dan tidak mampu. Dilain pihak, seseorang akan terus berusaha bergerak maju dari fase entry ke fase beikutnya yaitu mencari pemecahan (attack). Fase attack adalah fase yang di dalamnya seseorang melibatkan diri lebih jauh dan berusaha melakukan pencarian cara dan alternatif pemecahan . Hal ini hanya mungkin terjadi pada seseorang yang telah mengalami dan menyadari adanya keberhasilan pada pemecahan sebelumnya, yang memberinya kepercayaan diri untuk mengatasi kemungkinan adanya kegagalan pada kesempatan berikut. Pada tahap ini terletak adanya saling ketergantungan antara kawasan kognitif dan kawasan afektif dalam mencari-cari pola, yang nantinya membawa akibat penting dan positif terhadap proses belajar untuk mencapai keinginan berhasil. Fase review adalah fase di mana seseorang berussaha menggunakan kesempatan untuk meninjau dan memikirkan kembali serta memperluas keberhasilan dan pengalaman, setelah dapat mengungkapkan hasilnya secara simbolik berupa pola-pola yang ditemukan. Kesempatan ini digunakan untuk melihat kembali secara umum dan menyeluruh untuk dibandingkan terhadap keadaan yang sebenarnya dan terhadap pengalaman dalam mencari pemecahan di samping untuk mencari langkah maju dengan cara mengkaji pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang dikemukakan untuk menguji hasil-hasil yang dicapai agar dapat diterima dan berlaku umum. Secara keseluruhan, uraian tentang berpikir matematis dikaitkan dengan fase-fase aspek afektif tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: dalam melewati fase-fase tadi perlu digaris bawahi adanya keterhubungan antara kognisi dan emosi. Bila seseorang memperoleh hasil-hasil konkrit yang dapat diterima kebenarannya pada saat memanipulasi unsur-unsur matematika, akan timbul keinginan yang kuat untuk mencari pemecahan dengan mengembangkan kemampuan menemukan pola-pola dari konkrit yang diperdalam. Selanjutnya timbul rasa ingin tahu dan ketegangan emosional yang dapat menunjang usaha pemecahan menuju pada suatu keadaan untuk berupaya sedapat mungkin mengungkapkan pola yang dicari. Keadaan ini, bagi yang berhasil akan diikuti oleh kepuasan atas keberhasilan. Keadaan puas ini akan diisi oleh keinginan melakukan peninjauan kebali hasil-hasil dan langkah-langkah kegiatan yang telah

dilakukan untuk selanjutnya dapat timbul kebutuhan untuk menempatkan dan memanfaatkan bentuk pengertian-pengertian yang telah dicapai dalam ruang lingkup yang lebih luas. Proses ini berlangsung terus dalam suatu daur yang berkesinambungan selama belajar matematika. Proses berpikir matematika, dimensi-dimensi kawasan kognitif dan afektif saling bergantungan dalam mana perwujudannya dapat beralih dalam bentuk keterhubungan antara fungsi-fungsi intelektual dengan emosional. Keadaan ini turut berperan dalam mempelajari dan mengajarkan matematika, terutama bagi kepentingan perorangan. Kemampuan abstraksi dan generalisasi merupakan faktor penting yang harus terjadi dalam proses belajar dan berpikir matematis agar keterlibatan dimensi afektif juga dapat terjadi. karena abstraksi merupakan aspek intensif (penguat) dari berpikir matematis, sedangkan generalisasi merupakan aspek ekstensif (perluasan wawasan) dari berpikir matematis. Untuk mampu melaksanakannya, diperlukan dorongan aspek-aspek afektif yang cukup besar dalam diri seseorang yang belajar matematika antara lain minat, sikap serta motivasi yang positif dan kuat terhadap matematika. Peranan guru di sekolah adalah berusaha menciptakan kebiasaan berpikir matematis sambil memberi kemungkinan sebesar mungkin kepada para siswa untuk menjelajahi fase-fase yang dipersyaratkan untuk itu, sambil berusaha menghilangkan sifat cepat merasa gagal karena tidak mampu menelusuri alur berpikir matematis ddalam belajar. BERPIKIR KRITIS

Kritik artinya: memberi pertimbangan, mencela, mengecam dan berusaha menemukan kesalahan pemikiran orang lain kemudian menolaknya. Orangnya disebut kritikus. Sikap dan jalan pemikirannya disebut kritis. Beberapa ahli mendefinisikan berpikir kritis, antara lain sebagai berikut : Berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang berfokus pada keputusan apa yang diyakini atau apa yang dilakukan ( Ennis, 1987). Berpikir kritis adalah berpikir terbaik ( better thinking) ( Perkins, 1987). Berpikir kritis adalah pembedaan antara berpikir yang terarah pada kesepakatan lawan penjelasan suatu tujuan ( Nickerson, 1987); (1) (3) disajikan dalam Bruning, et al., 1995, h. 198). Selanjutnya, menurut Websters New Encyelopedic Dictionarg: All New 1994 Edition, h. 239; dijelaskan bahwa berpikir kritis dapat didefinisikan sebagai yang berpikir yang sifatnya

membutuhkan pendapat/ keputusan yang cermat. Suatu definisi yang menyoroti tiga (3) dimensi penting dari berpikir kritis, yaitu: (1) kesempurnaan berpikir, (2) elemen berpikir, dan (3) domain berpikir ( Barnes, 1992, h. 9). Kesempurnaan berpikir meliputi: kejelasan, ketelitian, ketegasan, ketepatan, kesesuaian, konsistensi, kelogisan, ke dalam, kelengkapan, signifikansi, kejujuran, dan kecukupan. Sedangkan, elemen berpikir mencakup pemahaman dan kemampuan untuk memformulasikan, menganalisis, dan menilai terhadap: (1) masalah atau pertanyaan pada isu, (2) maksud atau tujuan bepikir, (3) kerangka referensi atau hal-hal yang tercakup, (4) membuat asumsi, (5) konsep dan idea sentral yang tercakup, (6) prinsip atau teori yang digunakan, (7) pembuktian, (8) inter-pretasi dan klaim yang dibuat, (9) penyimpulan, penalaran, dan kerangka berpikir yang diformulasikan, dan (10) implikasi dan konsekuensi yang diikuti ( Barnes, 1992, h.11). Berpikir mempunyai kemungkinan untuk salah dan keliru. Sebab kadang-kadang berpikir menghadapi sebagian hambatan-hambatan yang membuatnya melenceng dari jalannya yang lurus dan dapat menghalanginya untuk sampai pada realitas yang ingin dicapainya. Apabila pemikiran sesorang banyak mengalami hambatan ini akan membuatnya menjadi statis dan tidak mampu menerima pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran baru. Dan apabila sudah sampai pada keadaan yang demikian itu maka pemikirannya bakal kehilangan nilainya yang besar dalam kehidupan, dan tidak lagi berfungsi dalam proses pemilihan antara benar dan salah. Kesalahan dalam berpikir bisa disebabkan oleh karena berpegang teguh pada pikiran-pikiran lama secara fanatik, tidak cukup alasan dan data-data, sikap memihak yang emosi dan apriori , dan kesalahan penalaran. Orang yang berpikir kritis tidak puas hanya dengan satu pendapat atau jawaban tunggal. Ia akan selalu berusaha mencari hal-hal apa yang ada di belakang gejala, di belakang fakta-fakta yang dihadapinya. Sikap ingin tahunya menimbulkan motivasi kuat untuk belajar dan karena motivasi itu timbullah sikap kritis. Ia tidak ingin cepat percaya, karenanya ia mencari informasi sebanyak-banyaknya sebelum ia menentukan pendapatnya untuk menanggapi, mengoreksi atau membetulkan kesalahan suatu pikiran atau pendapat. Karena itu, sikap kritis harus disertai pula sikap cermat, selektif, analisis dan logis. Bagi seseorang yang bersikap kritis, maka hukum-hukum alam, data-data empiris merupakan hal sangat penting dan utama. Ia dapat membedakan dengan baik antara hukum alam, hipotesa, teori, dugaan dan pendapat, dan ia teliti dalam membandingkan fenomena-fenomena yang serupa. IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Menumbuhkan kemampuan metkognisi Salah satu kondisi yang harus dimunculkan secara terencana dan bertujuan untuk menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis dalam proses pembelajaran matematika adalah berporsesnya potensi metakognisi siswa, sehingga mampu melakukan aktivitas Belajar tentang bagaimana Belajar. Hal ini penting karena merupakan salah satu pendekatan pembelajaran untuk menyoroti belajar tentang pentingnya pengawasan, monitoring, dan perencanaan strategis belajar siswa dalam hal belajar. Istilah metakognisi menggambarkan tinjauan seorang siswa yang secara efektif dapat memiliki suatu jangkauan strategis berbeda

dengan belajar rutin sehingga guru dapat memonitor prestasi belajar, membuat perubahan di mana perlu. Metakognisi merupakan keterampilan kompleks. Metakognisi dibutuhkan siswa untuk menguasai suatu jangkauan keterampilan intelektual khusus, kemudian mengumpulkan dan mengumpulkan kembali keterampilan-keterampilan ini ke dalam strategi belajar yang tepat untuk suatu masalah khusus atau isu-isu dalam konteks yang berbeda (Sharples & Mathews, 1989, h. 13). Berbagai hasil belajar yang diharapkan tercakup dalam pencapaian kompleks yang dimaksud, dapat diklasifikasikan atas kategori : pemahaman, penalaran logis, berpikir kritis, berpikir saintifik, berpikir kreatif, pemecahan masalah (Linn & Gronlund, 1995, h. 200; Gronlund & Linn, 1990, h. 193). Bagaimana siswa secara berangsur-angsur menguasai keterampilan metakognisi ini merupakan suatu proses yang cukup lama. Namun, guru dapat memulai, lebih awal disekolah. Dengan model keterampilan ini, guru dengan cara spesifik melatih siswa dalam keterampilan dan strategi khusus (seperti perencanaan suatu evaluasi, analisis masalah) dan dengan struktur mengajar mereka sedemikian sehingga siswa terfokus pada bagaimana mereka belajar dan juga pada apa yang mereka pelajari. Mengajar Berpikir Kritis Guru-guru matematika perlu ditantang untuk menghadapi konteks masa kini dalam pendidikan, khsusnya dalam pendidikan matematika dengan mempertanyakan : Apakah keterampilan berpikir kritis dapat diajarkan secara langsung dalam bidang studi matematika ataukah akan dikembangkan sebagai bagian dari kurikulum reguler dengan mengintegrasikannya ke dalam disiplin yang berkaitan ? Tentu, penanaman berpikir kritis lintas kurikulum adalah perlu, dan diminati. Secara objektif guru dapat dibimbing dalam mendesain pendekatan mengajarnya sedemikian sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, sambil mengembangkan konten pelajaran. Bagaimanapun, berpikir kritis dapat diajarkan secara langsung untuk meningkatkan kemampuan metakognisi untuk memacu keberhasilan apresiasi kompleksitas studi siswa secara interdisipliner. Adapun alasan untuk membiasakan pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan berpikir kritis adalah : (1) berpikir kritis dapat memperbaiki efektivitas kemampuan berpikir manusia ; (2) berpikir kritis dapat cepat mengembangkan berpikir urutan tertinggi (higher order thinking) dan kemampuan literacy. Mengajar berpikir kritis dengan sendirinya merupakan bagian integral dari pengembangan komptensi profesional. Agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, maka mereka harus diajar oleh guru-guru yang adalah pemikir kritis dan kreatif, yang merealisasikan dan mensimulasikan kualitas ini dalam setiap fase mengajarnya. Sebagian besar strategi, efektif untuk mengembangkan kondisi dan potensi para guru ke dalam suatu kebiasaan berpikir analisis kritis dalam pembelajaran. Walaupun hal ini bergantung pada konteksnya, tetapi ada faktor-faktor yang relevan dengan kesuksesan seperti dukungan, yang meliputi : (1)

kurikulum, (2) kerjasama staf , (3) kepiawaian staf pengajar , dan (4) dapat mengajarkannya kepada seluruh siswa (Barnes, 1992, h.33). Untuk dapat terkondisi sebagaimana yang dimaksud maka perlu ada Persiapan Untuk Mengajar Berpikir Kritis pada setiap guru. Persiapan untuk mengajar berpikir kritis adalah: (1) telah menguasai keterampilan berpikir dan siap untuk mengajarkannya lebih familiar eksplisit, lebih tepat dan secara metakognitif; (2) penguasaan disiplin ilmu; (3) meningkatkan keterampilan berpikir kritis melalui kegiatan-kegiatan seminar, konferensi atau lokakarya tingkat regional/ nasional/internasional; (4) belajar bagaimana mengajar berpikir kritis; dan (5) mampu meredesain pelajaran. Selanjutnya faktor yang tidak kalah pentingnya adalah keterampilan berpikir disiplin khusus, yaitu : (1) argumentasi, (2) definisi, (3) strategi pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, (4) konseptualisasi atau klasifikasi, dan (5) kreativitas (Barnes, 1992, h. 67 68).

You might also like