You are on page 1of 12

Kajian Nilai dan Makna Filosofis Kisah Mahabharata Monday, May 10, 2010 at 5:57 AM | Posted by pasupati umaseh

Kajian Nilai dan Makna Filosofis Kisah Mahabharata

MAHABHARATA merupakan sastra klasik India yang besar sekali pengaruhnya terhadap khasanah sastra Jawa Kuna, disamping Ramayana. Mahabharata disebut juga Astadasaparwa karena ceritanya dibagi kedalam 18 parwa. kisah Mahabharata, adalah yang terbesar, terpanjang dan salah satu dari dua epos Sansekerta utama dari India kuno, yang lainnya adalah Ramayana. Dengan lebih dari 74.000 ayat, ditambah ayat-ayat prosa yang panjang, atau 1,8 juta kata dalam jumlah, adalah salah satu puisi epik terpanjang di dunia.

Ini berisi delapan belas Parwa (astadasaparwa) atau bagian, yaitu., Adi-Parwa =Pendahuluan, kisah Raja Manu dan lahir serta dibesarkan Keturunan Manu (Pandawa-Korawa). Sabha-Parwa =Pandawa membangun istana indraprasta, permainan judi, dan hidup di pengasingan. Diceritakan pula Saat yudistrira menyelamatkan para saudaranya dari kematian diuji dengan pertanyaan tentang Dharma kehidupan oleh Dewata. Wana-Parwa Dua belas tahun di pengasingan di hutan Wirata-Parwa Tahun dalam pengasingan dihabiskan di kerajaan Wirata. Udyoga-Parwa negosiasi serta Persiapan perang Bhishma-Parwa Bagian pertama dari pertempuran besar, dengan Bisma sebagai komandan untuk Kaurawa. Dan juga bagian dimana Bhagawad-gita di turunkan oleh Sri Khrisna kepada sang arjuna, yang disaksikan oleh kusir kereta prabu Dhritarastra yang diangkat menjadi mentri raja, beliau bernama Sanjaya. Drona-Parwa Pertempuran berlanjut, denga n Drona sebagai panglima. Karna-Parwa Pertempuran lagi, dengan Karna sebagai panglima. Shalya-Parwa Bagian terakhir dari pertempuran dengan Salya sebagai panglima. Sauptika-Parwa Bagaimana Ashwattama dan sisanya Kaurawa membunuh tentara Pandawa dalam tidur mereka sehingga meninggalnya Panca kumara putra dari panca Pandawa. Stri-Parwa Gandari dan para istri ksatria meratapi suami mereka yang meninggal / Orang Mati.

Shanti-Parwa Yudistira menjadi Raja Hastina Anusasana-Parwa Final instruksi dari Bisma kakek dari Pandawa dan Kowara Ashwamedhika-Parwa Upacara kerajaan ashwamedha yang dilakukan Oleh Yudistira. Ashramawasika-Parwa Dretarastra, Gandari dan Kunti pergi ke ashram, dan akhirnya meninggal Di Hutan. Mausala-Parwa pertikaian antara bangsa Yadawa karena senjata mausala Mahaprasthanika-Parwa Bagian pertama perjalanan "besar" menuju kematian dari Yudistira dan saudara-saudaranya. Swargarohana-Parwa Pandawa kembali ke dunia spiritual (swarga).

Buku indah ini disusun oleh Sri Byasa (Krishna Dwaipayana) yang merupakan kakek dari pahlawan epos. Dia mengajarkan epik ini kepada anaknya Suka dan murid Wesampayana beserta murid lainnya. Raja Janamejaya, anak Parikesit, cucu dari para pahlawan kisah, melakukan pengorbanan (yadnya) besar. epik itu dibacakan oleh Wesampayana untuk Janamejaya atas perintah Byasa. Kemudian, Suta membacakan Mahabharata sebagai dilakukan oleh Wesampayana pada Janamejaya, untuk Saunaka dan lain-lain, selama Yadnya yang dilakukan oleh Saunaka di Naimisaranya, yang dekat Sitapur di Uttar Pradesh.

Sangat menarik untuk mengingat pembukaan dan penutupan baris epik ini. ." Ini dimulai dengan: "Byasa menyanyikan tentang kebesaran dan kemegahan tak terlukiskan Tuhan Wasudewa, yang adalah sumber dan dukungan bagi semuanya, yang abadi, tidak berubah, diri bercahaya, yang merupakan yang menjiwai semua makhluk, serta kejujuran dan kebenaran Pandawa. "

Berakhir dengan: "Dengan tangan terangkat, aku berteriak dengan suara keras, tetapi sayangnya, tidak ada yang mendengar kata-kata saya yang dapat memberi mereka kedamaian, kegembiraan dan kebahagian Abadi. orang dapat mencapai kekayaan/kemakmuran dan semua objek keinginan yaitu melalui Dharma (kebenaran). Mengapa orang tidak melakukan Dharma? Seseorang tidak harus meninggalkan Dharma tanpa pengecualian, bahkan dengan risiko hidupnya.. Orang yang tidak melepaskan Dharma keluar dari gairah atau rasa takut atau iri hati atau demi menjaga satu kehidupan. dengan cara ini Bharata Gayatri Renungkanlah (meditasi) setiap hari, ketika Anda hendak tidur dan ketika Anda bangkit dari tempat tidur setiap pagi. Anda akan mencapai segala sesuatu. Anda akan mencapai ketenaran, kemakmuran, umur panjang, kebahagiaan abadi, perdamaian abadi dan keabadian. "

Nilai yang terkandung dalam Astadasaparwa (Mahabharata) Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam teks Astadasaparwa diantaranya adalah: Nilai ajaran dharma, nilai kesetiaan, nilai pendidikan dan nilai yajna (korban suci). Nilai-nilai ini kiranya ada manfaatnya untuk direnungkan dalam kehidupan dewasa ini.

Pertama, Nilai Dharma (kebenaran hakiki) , inti pokok cerita Mahabharata adalah konflik (perang) antara saudara sepupu (Pandawa melawan seratus Korawa) keturunan Bharata. Oleh karena itu Mahabharata disebut juga Mahabharatayuddha. Konflik antara Dharma (kebenaran/kebajikan) yang diperankan oeh Panca Pandawa) dengan Adharma (kejahatan/kebatilan ) yang diperankan oleh Seratus Korawa. Dharma merupakan kebajikan tertinggi yang senantiasa diketengahkan dalam cerita Mahabharata. Dalam setiap gerak tokoh Pandawa lima, dharma senantiasa menemaninya. Setiap hal yang ditimbulkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan, menyenangkan hati diri sendiri, sesama manusia maupun mahluk lain, inilah yang pertama dan utama Kebenaran itu sama dengan sebatang pohon subur yang menghasilkan buah yang semakin lama semakin banyak jika kita terus memupuknya. Panca Pandawa dalam menegakkan dharma, pada setiap langkahnya selalu mendapat ujian berat, memuncak pada perang Bharatayuddha. Bagi siapa saja yang berlindung pada Dharma, Tuhan akan melindunginya dan memberikan kemenangan serta kebahagiaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh pandawa lima, berlindung di bawah kaki Krsna sebagai awatara Tuhan. " Satyam ewa jayate " (hanya kebenaran yang menang).

Kedua, nilai kesetiaan (satya) , cerita Mahabharata mengandung lima nilai kesetiaan (satya) yang diwakili oleh Yudhistira sulung pandawa. Kelima nilai kesetiaan itu adalah: Pertama, satya wacana artinya setia atau jujur dalam berkata-kata, tidak berdusta, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan. Kedua, satya hredaya, artinya setia akan kata hati, berpendirian teguh dan tak terombang-ambing, dalam menegakkan kebenaran. Ketiga, satya laksana, artinya setia dan jujur mengakui dan bertanggung jawab terhadap apa yang pernah diperbuat. Keempat, satya mitra, artinya setia kepada teman/sahabat. Kelima, satya semaya, artinya setia kepada janji. Nilai kesetiaan/satya sesungguhnya merupakan media penyucian pikiran. Orang yang sering tidak jujur kecerdasannya diracuni oleh virus ketidakjujuran. Ketidakjujuran menyebabkan pikiran lemah dan dapat diombang-ambing oleh gerakan panca indria. Orang yang tidak jujur sulit mendapat kepercayaan dari lingkungannya dan Tuhan pun tidak merestui.

Ketiga, nilai pendidikan, sistem Pendidikan yang di terapkan dalam cerita Mahabharata lebih menekankan pada penguasaan satu bidang keilmuan yang disesuaikan dengan minat dan bakat siswa. Artinya seorang guru dituntut memiliki kepekaan untuk mengetahui bakat dan kemampuan masingmasing siswanya. Sistem ini diterapkan oleh Guru Drona, Bima yang memiliki tubuh kekar dan kuat bidang keahliannya memainkan senjata gada, Arjuna mempunyai bakat di bidang senjata panah, dididik menjadi ahli panah.Untuk menjadi seorang ahli dan mumpuni di bidangnya masing-masing, maka faktor disiplin dan kerja keras menjadi kata kunci dalam proses belajar mengajar.

Keempat, nilai yajna (koban suci dan keiklasan) , bermacam-macam yajna dijelaskan dalam cerita Mahaharata, ada yajna berbentuk benda, yajna dengan tapa, yoga, yajna mempelajari kitab suci ,yajna ilmu pengetahuan, yajna untuk kebahagiaan orang tua. Korban suci dan keiklasan yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud tidak mementingkan diri sendiri dan menggalang kebahagiaan bersama adalah pelaksanaan ajaran dharma yang tertinggi (yajnam sanatanam).

Kegiatan upacara agama dan dharma sadhana lainnya sesungguhnya adalah usaha peningkatan kesucian diri. Kitab Manawa Dharmasastra V.109 menyebutkan.: "Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran (satya), atma disucikan dengan tapa brata, budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan (spiritual)"

Nilai-nilai ajaran dalam cerita Mahabharata kiranya masih relevan digunakan sebagai pedoman untuk menuntun hidup menuju ke jalan yang sesuai dengan Veda. Oleh karena itu mempelajari kita suci Veda, terlebih dahulu harus memahami dan menguasai Itihasa dan Purana (Mahabharata dan Ramayana), seperti yang disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 49 sebagai berikut : "Weda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna, dengan jalan mempelajari itihasa dan purana, sebab Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya"

Makna Filosofis Astadasaparwa (Mahabharata)

Tubuh manusia memiliki 10 organ (indriya), yaitu lima organ sensorik ( jinanendriyas) dan lima organ motorik ( karmendriyas), dan sebuah "antahkarana" atau organ/indera internal. Sedangkan organ sensorik dan motorikadalah organ eksternal (bahihkarana). Antahkarana berhubungan langsung dengan tubuh fisik.Antahkarana merupakan bagian intrinsik dari pikiran itu sendiri. Berkat kerja dari bagian inilah pikiran kita bisa merasakan perut yang kosong,dan kemudian merasa lapar. Begitu perut kosong, pikiran mulai mencari makanan, dan hal ini diekspresikan melalui aksi fisik. Jadi terdapat dua bagian, yang satu merupakan bagian intrinsik pikiran, dan satu bagian lagi adalah kesepuluh organ.

Yang mendorong terjadinya aktivitas adalah antahkarana. Antahkarana tersusun atas pikiran sadar (conscious) dan bawah sadar (subconscoius). Maka jika antahkarana menginginkan sesuatu, maka tubuh fisiklah yang bekerja menurut keinginan tersebut.

Dalam Sanskrit dikenal enam arah utama yang dinamakan "disha" atau "pradisha": Utara, Selatan, Timur, Barat, Atas, dan Bawah. Juga terdapat empat sudut yang dinamakan "anudisha": Barat Laut (iishana), Barat Daya (agni), Tenggara (vayu) dan Timur Laut (naerta). Jadi seluruhnya ada sepuluh.

Pikiran sesungguhnya buta. Dengan pertolongan "wiweka" (conscience/hati nurani) maka pikiran bisa melihat dan memvisualisasikan sesuatu. Jadi pikiran dapat dilambangkan dengan Dhritarastra (Seorang raja yg buta dalam kisah Mahabharata), dan daya fisik, yaitu kesepuluh organ dapat bekerja dalam sepuluh arah secara simultan. Jadi pikiran memiliki 10 organ X 10 arah = 100 ekpresi eksternal. Dengan kata lain, ke-100 putra Dhritasastra melambangkan seratus ekspresi eksternal ini.

Bagaimana dengan Pandawa?

Mereka melambangkan lima faktor fundamental dalam struktur manusia. Sadewa/Sahadeva melambangkan faktor padat, mereprestasikan cakra muladhara (kemampuan untuk menjawab segala sesuatu).

Nakula pada cakra svadhisthana. Nakula berarti "air yang mengalir tanpa memiliki batas". "Na" berarti "Tidak", dan "kula" bararti "batas", melambangkan faktor cair. Arjuna, melambangkan energi atau daya, faktor cahaya pada cakra manipura, selalu berjuang untuk mempertahankan keseimbangan. Bhima, putra Pandu, adalah faktor udara "vayu", terdapat pada cakra anahata. Terakhir adalah Yudhisthira, pada cakra vishuddha, dimana terjadi peralihan dari sifat materi ke sifat eterik. Jadi pada pertempuran antara materialis dan spiritualis, antara materi kasar dan materi halus, Yudhisthira tetap tak terpengaruh."Yudhi sthirah Yudhisthirah" artinya "Orang yang tetap tenang/diam saat pertempuran dinamakan Yudhisthira".

Krsna terdapat pada cakra sahasrara. Jadi ketika kundalinii (Keagungan yang tertidur) terbangkitkan, naik dan menuju perlindungan Krsna dengan bantuan Pandawa, maka Jiiva (unit diri) bersatu dengan Kesadaran Agung. Pandawa menyelamatkan jiiva dan membawanya ke perlindungan Krsna.

Sanjaya adalah menteri-nya Dhritarastra. Sanjaya adalah wiweka(Nalar/pertimbangan). Dhritarastra bertanya kepada Sanjaya, karena ia sendiri tidak bisa melihatnya, "Oh Sanjaya, katakan padaku, dalam perang Kuruksetra dan Dharmaksetra, bagaimana keadaan pihak kita?"

Keseratus putra Dhritarastra, pikiran yang buta, mencoba menguasai jiiva, yang diselamatkan oleh Pandawa melalui pertempuran. Akhirnya kemenangan ada di pihak Pandawa, mereka membawa jiiva ke perlindungan Krsna. Inilah arti filosofis dari Mahabharata.

Kuruksetra adalah dunia tempat melakukan aksi, dunia eksternal, yang menuntut kita terus bekerja. Bekerja adalah perintah. "Kuru" artinya "bekerja", dan ksetra artinya "medan", Dharmaksetra adalah dunia psikis internal. Disini Pandawa mendominasi. http://cakepane.blogspot.com/2010/05/kajian-nilai-dan-makna-filosofis-kisah.html

Mahabharata : Nilai-nilai Universal Hindu Dalam Budaya Jawa Filsafat Mahabharata, oleh : Wawan Yulianto I. PENDAHULUAN Modernitas dengan segala gemerlap materialismenya telah membawa manusia pada dunia metropolitan yang menawarkan banyak pilihan hedon, dimana kesenangan bukan lagi sebagai hobi dan pelampiasan nafsu estetis semata melainkan telah menjadi tujuan hidup. Apapun usaha dihalalkan demi tercapainya hasrat, pangkat, bahkan syahwat. Alasannya meningkatkan harkat, martabat, dan akhirat, tetapi sesungguhnya hanya mengumbar nafsu maksiat. Inilah zaman Kali Yuga atau menurut orang Jawa disebut zaman Kalabendu, zaman edan. Zaman Edan menggambarkan sebuah kekacauan dunia dimana semua manusia terjangkit penyakit gila, ada yang gila harta, gila tahta, gila wanita, dan kegilaan-kegilaan lainnya. Siapapun yang tidak ikut gila maka dia tidak akan kebagian (yan ora melu ngedan mundak ora keduman). Demikianlah gambaran kekacauan yang ditawarkan oleh modernitas dan percaturan global dewasa ini. Kemajuan pesat di dalam bidang ilmu pengetahuan, sains, dan tekhnologi tidak disertai dengan hal yang sama dalam bidang kehidupan moral, etika, dan spiritualitas. Bahkan, bidang ini semakin rapuh dibawa arus materialisme, hedonisme, pragmatisme peradaban modern. Hal ini tercermin dengan semakin renggangnya rasa kebersamaan, keakraban, nasionalisme, upayaupaya memajukan kepentingan dan ketertiban umum, pelanggaran nilai-nilai sosial, etika, agama terjadi hampir di semua belahan dunia. Bahkan, yang sangat memalukan adalah negara-negara yang diakui religius, ternyata tingkat korupsinya sangat menonjol. Mengenai hal ini S. Radhakrishnan (1987: 9) mengatakan bahwa kemanusiaan sekarang ini mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Akan tetapi di tengah-tengah semua kekacauan dan carut marut dunia ini, orang Jawa telah memiliki optimisme bahwa seberuntung apapun orang yang tenggelam dalam kegilaan-kegilaan duniawi akan lebih beruntung orang yang tetap eling dan waspada (sabegja-begjaning wong lali isih begja wong kang eling lan waspada). Ketika tujuan hidup manusia (purusa artha) dicapai tidak berdasarkan dharma maka semuanya akan hancur karena dharmalah satu-satunya yang akan memberikan kebahagiaan sejati. Demikianlah Hindu mengajarkan kepada umatnya satyam eva jayante (kebenaran akan selalu menang) dan dharma raksatah-dharma

raksitah (siapa yang menjaga dharma akan dijaga oleh dharma). Dalam pepatah Jawa dikatakan jaya-jaya wijayanti, sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (jayalah orang yang selalu berbuat kebenaran, karena kebenaran akan menghancurkan semua kesombongan dan keangkuhan). Rupanya, falsafah dan budi pekerti orang Jawa tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai universal etika Hindu. Inilah yang akan dibahas dalam tulisan singkat ini, yaitu bagaimana nilai-nilai universal etika Hindu diterjemahkan dan diaplikasikan dalam etika dan kebudayaan Jawa. Dengan memahami ini maka tidak ada lagi keraguan bahwa Hindu telah menanamkan dasar yang kuat dalam kehidupan orang Jawa. II. PEMBAHASAN a. HINDU DAN KEJAWEN Saat ini banyak orang berpandangan bahwa kejawen adalah hasil perpaduan antara tradisi Hindu, Budha, Islam dan kebudayaan asli Jawa. Hal serupa juga diungkapkan oleh Herusatoto (2003: 65) bahwa kejawen adalah bukanlah agama, melainkan kepercayaan yang lebih tepat disebut pandangan hidup atau filsafat hidup orang Jawa. Filsafat hidup Jawa ini terbentuk karena perkembangan kebudayaan Jawa yang dipengaruhi filsafat Hindu dan filsafat Islam. Akhirnya tradisi Jawa, Hindu, tasawuf/mistikisme Islam dan agama melebur menjadi satu, dalam alam pikiran orang Jawa. Berbeda dengan hal itu, Neils Mulder (dalam www.jawapalace.org, 26 Desember 2006) menyatakan bahwa kejawen adalah pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam. Niels Mulder memperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu-Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar bagi perilaku kehidupan. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan rasanya mengatakan bahwa Hindu dan Buddha-lah yang sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar falsafah dan pandangan hidup orang Jawa. b. BUDI PEKERTI JAWA

Budi pekerti Jawa dibangun di atas pondasi kebersamaan dan kegotong-royongan, sikap hidup nrimo, mengutamakan ketentraman batin, tunduk pada norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan hidup serasi dan selaras dengan alam. Hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa etika orang Jawa dibangun oleh nilai-nilai universalitas etika Hindu. Etika seringkali hanya dipahami sebagai aturan tingkah laku dalam kehidupan bermasayarakat, bagaimana manusia berperilaku terhadap manusia lain. Dalam pengertian yang sebenarnya hal itu disebut etiket, bagian dari etika. Sedangkan etika sendiri tidak hanya berbicara etiket, melainkan juga berbicara moralitas, hal-hal mendalam tentang etika, hakikat dari etika. Demikian halnya dengan Etika Hindu yang memaknai etika tidak saja dalam hubungan antara sesama manusia, melainkan juga sebagai landasan hidup spiritual. Ranah etika Hindu dapat dipahami adalah Tri Hita Karana, yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan. Parahyangan berarti hubungan manusia dengan Tuhan yang diwujudkan melalui jalan catur marga. Dalam kehidupan orang Jawa, hal ini diwujudkan dengan sebuah kesadaran awal, yaitu narimo ing pangdum (menerima apapun yang telah diberikan Tuhan). Sebuah keyakinan bahwa segala yang ada dalam kehidupan ini telah digariskan oleh Tuhan, manusia hanya bisa menerima dan terus berusaha dan berdoa. Orang Jawa, demikian pula Hindu mengajarkan bahwa setiap orang yang lahir telah dibekali dengan kualitas atau potensi sendirisendiri yang harus dikembangkan selanjutnya dalam kehidupan yang lebih nyata. Oleh karena semua ini ditentukan oleh Tuhan melalui hukum karmaphalanya, maka manusia diharuskan untuk selalu ber-karma (bertindak) sesuai dengan dharma, dan semua karma itu dilakukan sebagai persembahan (yajna) kepada Tuhan. Dalam kaitannya dengan etika, bahwa setiap tindakan etika harus dilaksanakan dengan kesadaran penuh sebagai persembahan kepada Tuhan. Bahkan dalam yoga sutra patanjali diajarkan bahwa etika adalah dasar spiritual Hindu, yaituPanca Yama Brata, meliputi ahimsa (tidak menyakiti/membunuh), satya (berperilaku bajik), asteya (tidak ingin milik orang lain atau tidak mencuri),brahmacarya (tidak melakukan hubungan seks), dan aparigraha (menolak pemberian yang tidak perlu, hidup sederhana dan tidak serakah) danPanca Nyama Brata, meliputi sauca (murni dan suci diri), santosa (kepuasan batin), tapa (tahan terhadap segala ujian dan godaan), svadhyaya(mempelajari ajaran ketuhanan), dan isvarapranidhana (bhakti kepada Tuhan).

Pawongan berarti keharmonisan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dalam hal ini Hindu mengajarkan bahwa etika harus dilakukan berdasarkantri kaya parisudha, yakni pikiran (manah), perkataan (wak), dan tindakan (kaya). Ini berarti etika Hindu menekankan pada internalisasi nilai etika, bukan sekedar dramaturgi atau topeng saja. Dalam Sarasamuccaya, 79 dijelaskan bahwa pikiranlah yang menentukan segala perkataan dan perbuatan. Oleh karena itu pikiran yang harus diusahakan selalu adalah tidak menginginkan milik orang lain, kasih sayang terhadap semua makhluk, dan percaya pada hukum Karmaphala. Dalam budi pekerti Jawa hal ini diterjemahkan dalam terminologi ojo demen darbeking wong liyo (jangan menginginkan milik orang lain), welas asih marang sesomo (cinta kasih pada sesama), ngunduh wohing pakarti, sopo kang nandur bakal ngunduh (bahwa setiap perbuatan yang dilakukan akan mendatangkan hasil, siapa yang menanam pasti akan memetiknya). Sedangkan perkataan dikatakan sebagai pedang yang paling tajam dan menunjukkan harga diri dan jati diri seseorang. Dalam ungkapan Jawa dikatakan ajining diri saka lati, ajining raga saka busana (harga diri seseorang ditentukan oleh lidahnya (ucapannya), harganya tubuh ditentukan oleh pakaiannya(pakaian di sini sesungguhnya menunjuk pada harta dan tahta)). Dalam Hindu (Nitisastra) diajarkan bahwa dari perkataan orang mendapatkan suka dan duka, dari perkataan orang juga mendapatkan teman atau musuh, bahkan kematian. Perkataan yang harus dikendalikan menurut Sarasamuccaya 75, antara lain (1) tidak berkata-kata kasar; (2) tidak mencaci maki; (3) tidak menfitnah; (4) tidak ingkar janji. Perbuatan demikian juga halnya pikiran dan perkataan adalah satu kesatuan dalam membentuk prilaku Etika Hindu secara utuh. Dalam Etika Jawa ada sebuah ungkapan yang menjadi dasar perbuatan, yaitu yen loro dijiwit yo ojo njiwit (kalau merasa sakit dicubit janganlah kau mencubit). Ini sejalan dengan makna tat twam asi bahwa jiwa setiap makhluk adalah sama, oleh karenanya semua makluk adalah saudara (vasudewa kutumbakam) sehingga menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri. Hindu dan juga orang Jawa mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus diukur dari dampak suatu perbuatan jika menimpa pada dirinya sendiri. Jika orang lain melakukan perbuatan yang menyakiti kita, demikian sebaliknya jika kita melakukan perbuatan serupa kepada orang lain. Sarasamuccaya 76 mengajarkan perbuatanperbuatan yang tidak layak dilakukan, yaitu membunuh (himsa karma), mencuri/mengambil hak milik orang lain (asteya), dan berbuat zina/ prilaku seks menyimpang (gamya gamana). Keseluruhan aspek in dirumuskan dalam satu pepatah Jawa Ojo Dumeh yang bermakna jangan

karena merasa diri mampu lalu berbuat semena-mena. Ada beberapa ungkapan ojo dumeh sebagai berikut: - Ojo Dumeh pinter terus keminter (jangan karena merasa pintar lalu sok pintar). - Ojo Dumeh sugih terus siyo marang wong ringkih (jangan karena merasa diri kaya lalu kejam pada orang yang miskin) - Ojo Dumeh kuoso terus daksiyo marang kawulo (jangan karena berkuasa lalu sewenangwenang pada rakyat). Palemahan adalah bagaimana hubungan manusia dengan alam sekitar atau lingkunganya. Alam semesta adalah kamadhuk, pemberi segala kebutuhan manusia. Dalam kebudayaan Jawa, hal ini diceritakan dalam sebait lagu katawang ibu pertiwi, sebagai berikut: ibu pertiwi, Ibu Pertiwi paring boga lan sandang kang murakabhi, Memberi makan dan sandang yang cukup. Asih mring sesami manusa kang bekti, Kasih kepada semua manusia yang berbakti. ibu pertiwi, mrih susetyo ing sesami, Ibu pertiwi, berlakulah adil pada semua mahluk. ayo sujud mring ibu pertiwi Mari bersujud pada ibu pertiwi. Hanya dengan menjaga keseimbangan dan keserasian alam semesta maka kebahagiaan hidup manusia dapat tercapai (jagadhita) III. KESIMPULAN 1. Kejawen atau pandangan hidup orang Jawa sesungguhnya dibentuk berdasarkan dari agama Hindu dan Buddha. 2. Nilai-nilai universal etika Hindu rupanya telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam budi pekerti Jawa. 3. Ranah Etika Hindu adalah parahyangan, pawongan, dan palemahan. Pada dasarnya ketiganya adalah keharmonisan yang harus diusahakan demi tercapainya kebahagiaan hidup jasmani dan rohani manusia. Sedangkan aspek etika Hindu adalah pikiran (manah), perkataan (wak) dan perbuatan (kaya).

4. Ketiganya juga menjadi dasar-dasar budi pekerti Jawa yang mengutamakan ketentraman batin, kebersamaan, hidup selaras dan harmonis dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, serta tunduk pada hukum alam semesta dan menjaga alam semesta beserta isinya. Bahwa etika Jawa menekankan pada keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan lingkungannya, sejalan dengan ajaran Tri Hita Karana.

DAFTAR PUSTAKA : Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. Gorda, I Gusti Ngurah, 1996. Etika Hindu dan Perilaku Organisasi. Singaraja: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma. ____________, 2004. Membudayakan Kerja Berdasarkan Dharma. Singaraja: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma. ____________, 2006. Etika Hindu: Materi Kuliah Etika Hindu. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar. Gunadha, Ida Bagus. 2003. Refleksi Nilai-Nilai Etika Hindu Dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi: Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Etika Hindu. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia. Herusatoto, Budiono, 2003. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. Kajeng, I Nyoman. 2000. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita. Mulder, Neils. 2006. Kebudayaan Jawa dalam www.jawapalace.org. http://mahabharata-adiparwa.blogspot.com/2011/03/mahabharata-nilai-nilai-universalhindu.html

You might also like