You are on page 1of 19

Laporan Praktikum Teknologi Bioindustri

Hari/tanggal :Kamis, 29 Maret 2012 Dosen Asisten : Drs. Purwoko, M.Si : Rivatul Aliyah Anastasia Christina F34080060 F34080090

PRODUKSI BIOETANOL
Oleh: Kelompok 2 Derbie O. Suryanto Duwi Ichsan Yahya Ahmad Nashih A. Elisabeth Yan Vivi Ady Mentayadiputra Ady Saprudin F34080014 F34090128 F34090134 F34090141 F34090148 F34090150

2012 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

I. A.
Latar Belakang

PENDAHULUAN

Minyak bumi merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui.Dengan menipisnya minyak bumi sebagai sumber energi, maka cepat atau lambat cadangan minyak bumi pasti akan habis. Hal ini mendorong dilakukannya usaha penghematan energi dan pencarian sumber energi alternatif, salah satunya dengan penggunaan etanol . Etanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia, karena sebagian besar rakyatnya sebagai petani dan memilki lahan pertanian yang luas untuk menyediakan bahan baku pembuatan etanol, seperti singkong, sorgum, molase, nira, dan ampas tebu. Produksi etanol yang saat ini dikembangkan adalah yang dapat dibuat dari bahan baku yang mengandung glukosa, pati, dan selulosa. Salah satu bahan baku yang mengandung glukosa adalah molases, dimana glukosa dapat langsung di konversi menjadi etanol. Molases merupakan by product dari industri gula yang bersifat asam dan mengandung glukosa, gula invert, garam-garam, dan bahan non gula. Dengan ketersedian molases yang melimpah sebagai by product industri gula dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Proses fermentasi merupakan salah satu cara yang banyak dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan mikroorganisme, Saccharomyces cereviseae khususnya pada praktikum ini. Dasar pemilihan fermentasi adalah karena kondisi operasinya berlangsung pada tekanan atmosfer dan suhu ambient, selain itu bahan baku yang digunakan bersifat renewable. Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan pengujian produksi bioetanol berbahan baku molases dengan menggunakan biakan Saccharomyces cereviseae.

B.

Tujuan

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah memproduksi bioetanol berbahan baku molases dengan biakan Saccharomyces cereviseae, dan melakukan pengamatan tentang jumlah gas yang tebentuk, pH, kadar gula sisa, kadar alkohol pada produk akhir.

II.
A. Alat dan Bahan

METODOLOGI

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah erlenmeyer, pipet, gelas piala, kertas pH, otoklaf, lup, tabung ulir, leher angsa, spektrofotometer, pH meter, oven, destilator, dan alkoholmeter.Bahan yang digunakan adalah biakan Saccharomyces cereviseae, molasses, akuades, larutan urea, asam sulfat 10%, alkohol, larutan DNS.

B. 1.

Metodologi

Produksi bioetanol Pengenceran molases dengan air dengan perbandingan 1 : 4 dalam erlenmeyer sebanyak 450 ml (diperhatikan jumlah ml untuk pengaturan pH) kemudian dibuat larutan urea dengan konsentrasi 1 g/L sebanyak 50 ml (diperhatikan jumlah ml untuk pengaturan pH). Kedua larutan tersebut diatur pH-nya menjadi 4,5 dengan menggunakan asam sulfat encer, lalu bagi masingmasing menjadi 5 bagian (molases di erlenmeyer, sedangkan urea dalam tabung ulir) kemudian disterilisasikan dalam 121oC selama 15 menit dan dinginkan. Larutan dicampurkan secara aseptis dan diinokulasi dengan biakan Saccharomyces cereviseae sebanyak 1 lup kedalam labu erlenmeyer. Labu erlenmeyer ditutup dengan leher angsa yang diisi dengan larutan asam sulfat 10%.Sebelum diinokulasi, untuk jam ke 0 ambil sebanyak 10 ml campuran media steril untuk blanko spektrofotometer. Jam ke 0 langsung diamati, tidak perlu digunakan leher angsa. Sebelum diinkubasi pada suhu kamar, labu erlenmeyer ditimbang dan diberi label dan digunakan untuk pengamatan jam 0, 24, 48, 72, 96.

2.

Jumlah Gas Terbentuk

Labu erlenmeyer pada jam pengamatan ditimbang, kemudian nilai tersebut dikurangi dengan nilai berat labu Erlenmeyer sebelum diinkubasi. 3. pH pH meter dicelup kedalam produk akhir kemudian dibaca nilai yang tertera. Setelah digunakan, pH meter dibilas menggunakan akuades dan dimatikan. 4. Kadar Gula Sisa

Molases diambil sebanyak 0.5 ml dan dimasukkan ke labu tera 100 ml, dtambahkan akuades sampai tanda tera.Sampel molases yang telah diencerkan diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke tabung ulir, kemudian ditambah 3 ml DNS, dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm menggunakan spektrofotometer.Kadar gula sisa diukur dengan memplotkan absorbansi pada kurva standar.

5.

Kadar Alkohol

Sebanyak 80 ml molases didestilasi dengan menggunakan destilator sampai molases sisa 40 ml. Molases dituang ke gelas ukur, kemudian dimasukkan alkoholmeter hingga mengambang. Nilai kadar alkohol dilihat dari strip alkoholmeter yang mengambang di permukaan.

III.
A. Hasil
[Terlampir]

PEMBAHASAN

B.

Pembahasan

Etanol (etil alkohol) merupakan salah satu produk mikrobial yang diproduksi pada fase eksponensial. Alkohol sudah dikenal sejak zaman dahulu, dan sekarang pneggunaanya sudah sangat luas terutama di bidang industri (Tjokroadikoesoemo,1993). Etanol disebut juga etil etanol dengan rumus kimia CH3CH2OH di bidang industri dapat digunakan sebagai bahan bakar alat pemanas, penerangan, atau pembangkit tenaga, pelarut bahan kimia, obat-obatan, detergen, oli dan lilin.Selain itu etanol juga digunakan dalam keperluan dilaboratorium ataupun keperluan rumah tangga.Etanol tidak hanya dapat dibentuk oleh mikroba saja, tetapi banyak jenis tumbuhan dan fungi mampu membentuk etanol.Khamir seperti juga pada jenis-jenis fungi lainnya merupakan organisme aerob.Dalam lingkungan tanpa oksigen khamir mampu memfermentasikan karbohidrat menjadi etanol dan karbondioksida pada beberapa jenis bakteri anaerob dan bakteri fakultatif anaerob, senyawa heksosa dan pentosa dapat di fermentasikan menjadi alkohol sebagai produk utama / produk samping (Schlegel, 1994). Fermentasi merupakan proses perubahan-perubahan kimia dalam suatu substrat organik yang berlangsung karena aksi katalisator biokimiawi yaitu enzim yang dihasilkan oleh mikrobamikroba hidup tertentu (Tjokroadikoesoemo, 1993). Penguraian metabolik senyawa organik yang berlangsung dalam satu organisme, dengan ada atau tanpa oksigen molekuler dan menggunakan senyawa organik, baik sebagai zat pengoksid maupun substrat yang dioksid.Dwijoseputro (1994), menyatakan bahwa istilah fermentasi sering diganti dengan peragian. Ragi-ragi tersebut mempunyai persamaan yaitu manghasilkan fermen atau enzim yang dapat mengubah substrat menjadi bahan lain dengan mendapat keuntungan berupa energi. Desrosier (1988), berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses fermentasi antara lain: 1. pH Mikrobia tertentu dapat tumbuh pada kisaran pH yang sesuai untuk pertumbuhan.pH mempengaruhi pertumbuhan khamir dan produk yang dihasilkan. Untuk proses pembuatan bioetanol dengan menggunakan khamir Saccharomyces cerevisiae. PH optimum untuk pertumbuhan mikroba adalah antara 36 (Judoamidjojo, 1992). PH yang terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikroba sehingga proses konversi substrat pun tergangu. Untuk itu perlu ditambahkan asam untuk menurunkan PH sampai kondisi optimal.Demikian pula jika PH terlalu rendah maka Saccharomyces cerevisiae tidak dapt tumbuh, jadi perlu ditambahkan basa sampai berada pada kondisi optimum.

2.

Suhu Suhu yang digunakan selama fermentasi akan mempengaruhi mikrobia yang perperan dalam proses fermentasi. Pada pembuatan bioetanol menggunakan mikroba Saccharomyces cerevisiae Suhu optimum yang harus digunakan adalah antara 25-30 C. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan mikroba mati dan proses produksi bioetanol pun terhenti. Namun jika suhu terlalu rendah, aktifitas mikroba yang terhenti dan etanol pun tidak terbentuk. 3. Oksigen Pengaturan udara akan mempengaruhi populasi mikrobia dalam substrat. Pada proses fermentasi pembuatan bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae, kondisi fermentasi yang dibutuhkan adalah aerob (membutuhkan oksigen). Jadi pada pembuatan bioetanol pengaturan oksigen dibuat cukup dan jangan sampai kekurangan karena dapat mengurangi kecepatan aktifitas mikroba dan konversi substrat menjadi etanol semakin lambat. 4. Substrat Mikrobia memerlukan substrat yang mengandung nutrisi sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhannya. Pada proses pembuatan bioetanol dibutuhkan substrat karbon (glukosa) dan nitrogen yang cukup, sebab yang akan dikonfersi menjadi etanol adalah substrat yang mengandung gula. Uji derajat keasaman (pH) dengan menggunakan alat pH meter adalah sebuah metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran aktifitas ion hidrogen secara potensiometri/elektrometri dengan menggunakan pH meter.(Volk, 1993).Pada prinsipnya pengukuran suatu pH adalah didasarkan pada potensial elektro kimia yang terjadi antara larutan yang terdapat didalam elektroda gelas (membrane gelas) yang telah diketahui dengan larutan yang terdapat diluar elektroda gelas yang tidak diketahui. Hal ini dikarenakan lapisan tipis dari gelembung kaca akan berinteraksi dengan ion hydrogen yang ukurannya relative kecil dan aktif, elektroda gelas tersebut akan mengukur potensial elektrokimia dari ion hidrogen atau diistilahkan dengan potential of hydrogen. Untuk melengkapi sirkuit elektrik dibutuhkan suatu elektroda pembanding.Sebagai catatan, alat tersebut tidak mengukur arus tetapi hanya mengukur tegangan. pH meter akan mengukur potensial listrik (pada gambar alirannya searah jarum jam) antara merkuri Cloride (HgCl) pada elektroda pembanding dan potassium Gambar 1. Skema elektroda pH meterchloride (KCl) yang merupakan larutan didalam gelas elektroda serta potensial antara larutan dan elektroda perak.Tetapi potensial antara sampel yang tidak diketahui dengan elektroda gelas dapat berubah tergantung sampelnya, oleh karena itu

perlu dilakukan kalibrasi dengan menggunkan larutan yang equivalen yang lainya untuk menetapkan nilai dari pH. Elektroda pembanding calomel terdiri dari tabung gelas yang berisi potassium kloride (KCl) yang merupakan elektrolit yang mana terjadi kontak dengan mercuri chloride (HgCl) diujung larutan KCl. Tabung gelas ini mudah pecah sehingga untuk menghubungkannya digunkan keramic berpori atau bahan sejenisnya. Elektroda semacam ini tidak mudah terkontaminasi oleh logam dan natrium. Elektroda gelas terdiri dari tabung kaca yang kokoh yang tersambung dengan gelembung kaca tipis yang.Didalamnya terdapat larutan KCl sebagai buffer pH 7.Elektroda perak yang ujungnya merupakan perak kloride (AgCl2) dihubungkan kedalam larutan tersebut.Untuk meminimalisir pengaruh elektrik yang tidak diinginkan, alat tersebut dilindungi oleh suatu lapisan kertas pelindung yang biasanya terdapat dibagian dalam elektroda gelas.(Suwargana, 2008). Untuk menentukan kadar gula sisa pada molases setelah dijadikan bahan baku bioetanol dapat melalui uji DNS. Prinsip uji ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS) dan membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm, dengan pemanasan sebagai pengikat antara dua larutan. DNS akan menjaga kestabilan hasil hidrolisis enzim dan mengikat gula sisa dari bioetanol (Amykasim, 2008). Kultivasi etanol dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis mikroba dan konsentrasi substrat. Mikroba yang dipakai harus mampu menghasilkan etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu hidup pada suhu yang tinggi, tetap stabil pada kondisi kultivasi dapat bertahan hidup pada pH rendah . Saccharomyces cerevisiae sering digunakan dalam kultivasi etanol sebab mampu menghasilkan etanol dalam jumlah yang besar pada media yang sesuai. Di samping itu, pada kultivasi Harus digunakan substrat dengan konsentrasi optimum untuk pertumbuhan khamir, agar dihasilkan etanol dengan jumlah yang maksimum. Saccharomyces cerevisiae tersedia dalam bentuk kultur murni dan ragi. Ragi biasanya digunakan dalam pembuatan roti (bakers yeast) dan pembuatan minuman beralkohol (brewing yeast dan wine yeast). Pada kultivasi menggunakan kultur murni diperlukan penyiapan inokulum secara khusus dan dalam bentuk ragi dapat langsung digunakan sebagai inokulum pada kultivasi etanol. Sifat fisik dan kimia etanol tergantung pada gugus hidroksilnya. Gugus ini menyebabkan polaritas molekul dan menyebabkan ikatan hidrogen antarmolekul. Kedua sifat tersebut menyebabkan perbedaan sifat fisik alkohol berat molekul rendah dengan senyawa hidrokarbon yang mempunyai berat molekul ekuivalen. Spektrografi infra merah menunjukkan bahwa dalam keadaan cair ikatan hidrogen terbentuk karena tarik-menarik antara atom hidrogen pada gugus hidroksil molekul satu dengan atom hidrogen pada gugus hidroksil molekul yang kedua. Sifat

tersebut dapat dianalogikan seperti sifat air, walaupun ikatan pada air lebih kuat sehingga membentuk gugusan yang lebih dari dua molekul. Ikatan hidrogen pada etanol terjadi etanol terjadi pada fase cair, sedang pada fase gas senyawa ini bersifat monomerik. Bahan yang digunakan sebagai substrat dalam memproduksi alkohol adalah bahan yan mengandung karbohidrat. Satu diantara energi alternatif yang relatif murah ditinjau aspek produksinya dan relatif ramah lingkungan adalah pengembangan bioetanol dari limbah-limbah pertanian (biomassa) yang mengandung banyak lignocellulose seperti bagas (limbah padat industri gula) atau tandan kosong kelapa sawit. Material berbasis lignoselulosa (lignocellulosic material) memiliki substrat yang cukup kompleks karena didalamnya terkadung lignin, polisakarida, zat ekstraktif, dan senyawa organik lainnya . Bagian terpenting dan yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida khususnya selulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan konversi biomassa seperti bagas menjadi etanol, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum dikonversi menjadi etanol. Secara umum sintesis bioetanol yang berasal dari biomassa terdiri dari dua tahap utama, yaitu hidrolisis dan fermentasi. Hidrolisa adalah proses antara reaktan dengan menggunakan air atau asam supaya suatu persenyawaan pecah atau terurai. Hidrolisis bertujuan untuk memecah polisakarida menjadi monosakarida. Polisakarida (dapat berupa pati) dapat diubah menjadi alkohol melalui proses biologi dan kimia (biokimia), reaksinya sebagai berikut (C6H10O5)n + n H2O Pati larutan HCl n(C6H12O6) glukosa

Zat-zat penghidrolisis ada beberapa macam, antara lain : 1. Air : Kelemahan zat penghidrolisa ini adalah prosesnya berjalan lambat, kurang sempurna dan hasilnya kurang baik. Biasanya ditambahkan katalisator. Untuk mempercepat reaksi dapat dipakai uap air pada temperatur tinggi. 2. Asam : Asam biasanya berfungsi sebagai katalisator dengan pengaktif air dengan kadar asam yang encer. Umumnya kecepatan reaksi sebanding dengan ion H+ tetapi konsentrasi yang tinggi hubungannya tidak terlihat lagi. Dalam industri asam yang dipakai H2SO4, HCl, asam oksalat. Tetapi asam oksalat jarang digunakan karena harganya mahal. HCl lebih menguntungkan karena lebih reaktif dibandingkan H2SO4. 3. Basa: Basa yang dipakai dalam 3 bentuk yaitu basa encer , basa pekat, dan basa padat. 4. Enzim: Suatu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Penggunaan dalam industri misalnya pembuatan alkohol dari tetes tebu dan enzim. Peruraian pati oleh air berjalan lambat. Usaha usaha yang dapat dilakukan untuk mempercepat atau menyempurnakan reaksi adalah dengan mengatur variabel yang berpengaruh pada proses, sebagai berikut :

Katalisator, yang dapat digunakan untuk hidrolisa diantaranya enzim atau asam yaitu HCl, H2SO4, HNO3 Suhu dan tekanan, hal ini mengikuti persamaan Arrhenius, dimana makin tinggi suhu makin cepat jalannya reaksi. Pencampuran, pada proses basah dapat dilakukan dengan cara mengaduk, untuk proses kontinyu dapat dilakukan dengan mengatur masuknya bahan agar timbul olakan. Perbandingan zat pereaksi, salah satu pereaksi apabila diberi berlebihan agar dapat menggeser kesetimbangan kearah kanan. Suspensi pati yang rendah kadarnya justru memberikan hasil yang lebih baik karena molekul zat pereaksi mudah bergerak (Groggins, 1958).

Glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisa kemudian difermentasi oleh yeast (Sacharomyces cereviseae) untuk menghasilkan etil alkohol (etanol) dan CO2 melalui reaksi sebagai berikut. C5H10O5 2 C2H5OH + 2CO2 Yeast (S. cerevisiae) Enzim selulase Proses hidrolisis umumnya digunakan pada industri etanol adalah menggunakan hidrolisis dengan asam (acid hydrolysis) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau dengan menggunakan asam klorida (HCl). Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim yang sering disebut dengan enzymatic hydrolysis yaitu hidrolisis dengan menggunakan enzim jenis selulase atau jenis yang lain. Biasanya digunakan Keuntungan dari hidrolisis dengan enzim dapat mengurangi penggunaan asam sehingga dapat mengurangi efek negatif terhadap lingkungan. Kemudian setelah proses hidrolisis dilakukan fermentasi menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi menjadi etanol Mengukur kadar bioetanol dalam cairan fermentasi adalah salah satu hal penting yang harus diketahui saat membuat bioetanol. Ada banyak cara untuk mengukur bioetanol. Setiap metode pengukuran memiliki keunggulan dan kekurangan.Beberapa metode tersebut adalah analisis dengan GC (Gas Chromatography), HPLC (High Performance Liquid Chromatography), metode enzim, dan hydrometer. Tiga metode yang pertama sangat sensitif, dapat mengukur kadar bioetanol dalam konsentrasi yang sangat rendah, tetapi juga lebih rumit dan mahal. Metode enzim relatif lebih mudah dan murah dibandingkan dengan metode GC atah HPLC.Saat ini tersedia beberapa produk enzim kit untuk mengukur bioetanol, tetapi metode ini masih cukup mahal untuk digunakan secara komersial.Metode terakhir adalah metode yang paling mudah, murah, tetapi kelemahannya adalah kurang teliti. Destilasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk memisahkan dan memurnikan cairan.Destilasi terdiri dari pemanasan cairan sampai pada titik didihnya, penghantaran uap pada alat pendingin dimana terjadi kondensasi dan mengambil zat yang telah terkondensasi.Prinsip pada destilasi adalah pemisahan dua zat atau lebih yang mempunyai perbedaan titik didih.Jika (Glukosa) (etanol) (gas)

zat-zat yang dipisahkan mempunyai perbedaan titik didih yang jauh berbeda, dapat digunakan metode isolasi biasa. Zat yang memiliki titik didih rendah akan cepat terdestilasi daripada zat yang bertitik didih tinggi. Uap zat yang bersifat volatil dan memiliki titik didih yang rendah akan masuk ke dalam pipa pada kondensator (terjadi proses pendinginan) sehingga akan turun berupa tetesan-tetesan yang turun ke dalam penampung atau disebut juga destilat. Dalam praktikum ini, etanol yang terkandung dalam produk akhir akan terdestilasi terlebih dahulu. Pada pengujiankadar alkohol, digunakan alat berupa alkoholmeter atau hidrometer. Alkoholmeter ini merupakan alat untuk mengukur berat jenis (atau kepadatan relatif) dari cairan, yaitu rasio kepadatan cairan dengan densitas air. Alat ini umumnya terbuat dari kaca dan terdiri dari sebuah batang silinder dan bola pembobotan dengan merkuri untuk membuatnya mengapung. Cairan yang akan diuji dituangkan ke dalam wadah yang tinggi, seringkali sebuah silinder lurus dan hidrometer dengan perlahan diturunkan ke dalam cairan sampai mengapung bebas. Pengoperasiannya didasarkan pada prinsip Archimedes bahwa suspensi pada fluida akan didorong oleh kekuatan yang sama dengan berat fluida yang dipindahkan. Dengan demikian, semakin rendah kerapatan zat tersebut, lebih jauh hidrometer akan tenggelam. Pada pengujian, alkoholmeter yang diam akan terapung kemudian skala kadar alkoholnya dapat dibaca pada miniskus bawah destilat (Farx, 2012). Pengamatan yang dilakukan pada saat praktikum adalah pengamatan mengenai jumlah gas yang terbentuk dalam bentuk gas karbonioksida (CO2).Jumlah gas CO2 ini menunjukkan seberapa banyak etanol yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supriyanto dan Wahyudi (2012) bahwa secara teoritis, tiap molekul glukosa akan menghasilkan 2 mol etanol dan 2 mol karbondioksida, dan melepaskan energi. Dengan begitu, tiap jumlah gas karbondioksida yang dihasilkan relevan dengan jumlah etanol yang dihasilkan. Gas yang dihasilkan akan menguap sehingga akan terjadi pengurangan bobot dari bobot labu awal yang berisi media dan mikroba sebelum diinkubasi. Hasil dari praktikum dapat digambarkan melalui Gambar 1 berikut ini.
14 12 10 8 6 4 2 0 0 -2 0 0.089 50 100 Lama fermentasi (jam) 150 2.05 4.78 gas CO2 yang dihasilkan

11.97

Gambar 2. Hubungan lama fermentasi dengan jumlah gas karbondioksida yang dihasilkan Dari Gambar 1, terlihat bahwa jumlah karbondioksida yang dihasilkan meningkat dengan meningkatnya fermentasi hingga waktu fermentasi ke-3 (72 jam). Pada kelompok pertama yaitu jam ke-0, belum terbentuk bioetanol, ditandai dengan belum adanya kehilangan bobot karena gas CO2. Pada hari fermentasi ke-1 (waktu 24 jam), sudah mulai ditemukan adanya gas karbondioksida yang terbentuk. Hal ini meningkat hingga hari berikutnya, dan sangat memuncak pada jam ke-72 jam (hari ke-3) dengan peningkatan yang sangat signifikan menjadi 11,97 gram. Pada hari pengamatan terakhir, jumlah gas CO2 yang terbentuk menurun lagi secara drastis dari 11,97 gram menjadi 4,78 gram. Di sini terlihat penurunan aktivitas Saccharomyces cerevisiae dalam menghasilkan bioetanol.Namun, perubahannya sangat mencolok. Terdapat kemungkinan lain yaitu sebenarnya gas karbondoksida yang dihasilkan tidak benar-benar 11,97 gram pada jam ke-72. Hal ini dapat dikatakan sebagai penyimpangan karena dilihat dari angkanya pun, sangat menyimpang dari nilai yang lain. Seharusnya, pada waktu fermentasi tersebut, berada di antara 2,05 (jam ke-48) dan 4,78 (jam ke-96). Apalagi, jika dikaitkan dengan hasil percobaan berikutnya, jumlah gas pada jam tersebut tidak relevan. Kesalahan yang mungkin terjadi adalah kekurangtelitian dalam penimbangan bobot, misalnya kesalahan kaliberasi. Parameter berikutnya yang diamati adalah nilai pH.Nilai derajat keasaman ini memperlihatkan secara tidak langsung mengenai keberadaan produk bioetanol pada media.Hasil praktikum dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
6.75 6.7 6.7 6.65 6.6 6.55 6.5 6.45 6.4 6.35 6.3 6.25 0 20 40 60 80 100 120 Lama Fermentasi (jam) 6.3 6.4 pH 6.5 6.6

Gambar 3. Hubungan lama fermentasi dengan pH Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa dari jam ke-0, nilai pH menunjukkan nilai 6,7. Telah terjadi peningkatan basa dari media awal yang bernilai 4,5. Seharusnya nilai pH ini

4,5 karena menurut Budiyanto (2003), derajat keasaman akan mempengaruhi kecepatan fermentasi dan pH yang optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 4-4,5. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh dua hal.Kemungkinan pertama adalah kekurangakuratan pH-meter yang digunakan.Kesalahan ini dapat terjadi apabila kaliberasi pH-meter tidak sesuai.Kemungkinan lainnya adalah terjadi perubahan akibat sampel tidak langsung diukur melainkan disimpan terlebih dahulu pada lemari pendingin selama beberapa hari.Oleh karena itu, terjadi perubahan.Akan tetapi, kemungkinan pertama lebih logis. Pada hari berikutnya, nilai pH pada produk menurun hingga 6,5. Ini berarti media semakin asam. Begitu juga pada hari-hari selanjutnya hingga mencapai titik 6,3. Namun pada hari fermentasi terakhir, terjadi perubahan tren pH menjadi meningkat yaitu 6,6. Media menjadi semakin basa.Namun, hanya mencapai titik mendekati netral. Pada pemikiran praktikan sebelumnya, produk yang dihasilkan berupa etanol yang mengandung gugus OH, sehingga seharusnya pH media dan produk menjadi lebih besar. Namun, pada literatur yang diperoleh, terlihat bahwa data dari jam ke-0 hingga jam ke-72 sesuai dengan teori. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.Media fermentasi berupa molases ditambahkan dengan urea sebagai sumber N bagi khamir. Kecenderungan media fermentasi akan semakin asam karena amonia pada urea yang digunakan sel khamir sebagai sumber nitrogen diubah menjadi NH4+. Molekul NH4+ akan menggabungkan diri ke dalam sel sebagai R-NH3. Dalam proses ini H+ ditinggalkan dalam media, sehingga semakin lama waktu fermentasi semakin rendah pH media (Judoamidjojo et al., 1989). Oleh karena itu, terlihat adanya penurunan pH. Sumber lain menyebutkan, penurunan pH juga dapat disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba seiring dengan lamanya fermentasi. Mikroba yang bertambah menghasilkan etanol lalu mengkonversinya menjadi asam asetat dan asam-asam lainnya dalam proses lanjut. Oleh karena itu, pH semakin menurun (Simanjuntak, 2009). Pada hasil terakhir, terlihat terjadi penyimpangan pH yang meningkat menjadi 6,6. Hal ini dapat terjadi kesalahan karena praktikan kurang memperhatikan penjelasan asisten saat praktikum. Pada saat praktikum, hasil yang terbaca pada pH-meter seharusnya dikurangi 0,4 karena kondisi alat. Ada kemungkinan praktikan tidak mengerjakannya. Jika pH ini dikurangi 0,4 maka hasil sebenarnya adalah 6,2 sehingga tren sesuai teori. Selain gas karbondioksida yang dihasilkan dan nilai pH, hal lain yang menunjukkan keberhasilan produksi bioetanol oleh Saccharomyces cerevisiae adalah jumlah biomassa. Jumlah biomassa yang meningkat menunjukkan terjadinya pertumbuhan mikroba penghasil bioetanol. Dengan semakin banyaknya mikroba yang terbentuk, maka konversi substrat molases menjadi bioetanol akan semakin besar. Terlebih lagi karena etanol termasuk metabolit primer yang produksinya berasosiasi dengan pertumbuhan.Oleh karena itu, dampak yang ditimbulkan adalah semakin tingginya bioetanol yang dihasilkan.Pada teori praktikum, jumlah biomassa ini dinilai dalam bobot kering.Hal ini dilakukan berhubung dengan substrat cair yang digunakan.Dengan adanya filtrasi, produk bioetanol dan substrat cair dapat terpisah dari biomassa.Kemudian, biomassa pada kertas saring dikeringkan dengan oven, sehingga jumlah biomassa yang telah

tumbuh dapat dinilai.Namun, pada saat praktikum, parameter ini tidak diukur.Hal yang dilakukan adalah pengukuran alkohol pada filtrat hasil fermentasi. Pengukuran alkohol pada filtrat hasil fermentasi dilakukan dengan cara melakukan distilasi filtrat media dan produk dengan adanya hubungan dengan pendingin balik untuk kondensasi. Pada praktikum ini, perlu dilakukan pengaturan suhu supaya tidak terjadi tekanan ke atas yang berlebih, yang dapat menyebabkan molases tertarik ke tabung untuk uap alkohol.Pada bagian kelompok 2, hal ini kurang diperhatikan sehingga terdapat molases yang berpindah ke bagian tabung tersebut.Berikutnya, uap alkohol yang telah didistilasi, dikondensasi sehingga menjadi bentuk cairan.Hubungan antara pipa dengan tabung tersebut dipastikan tertutup rapat dengan penggunaan alumunium foil.Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pengeluaran uap alkohol ke udara.Hasil distilasi digunakan untuk pengukuran dengan alkoholmeter.Hasil pengukuran dengan alkoholmeter dapat dilihat pada grafik berikut ini (Gambar 3).
16 14 12 10 8 6 4 2 0 0 20 40 60 80 100 120 Lama Fermentasi (jam) 0 4 kadar alkohol (%) 12 14 15

Gambar 4. Hubungan lama fermentasi dengan kadar alkohol Gambar 3 menunjukkan hasil bahwa pada jam ke-0 belum terbentuk alkohol. Pada jam ke-24, alkohol sudah mulai terbentuk dengan kadar alkohol 4%. Pada jam ke-48 alkohol yang dihasilkan meningkat secara tajam menjadi 12%. Berikutnya, alkohol yang dihasilkan meningkat dengan peningkatan yang semakin mengecil hingga hari terakhir pengamatan.Ini menunjukkan kondisi dimana Saccharomyces cerevisiae masih beraktivitas dalam mengkonversi substrat gula menjadi bioetanol, namun tidak setinggi pada waktu fermentasi (jam) ke-48. Jika dilihat tren kurva yang dihasilkan, data etanol yang dihasilkan sesuai dengan teori yang telah dijelaskan sebelumnya.Etanol merupakan metabolit primer sehingga produksinya berasosiasi dengan pertumbuhan. Kurva tersebut sama dengan kurva pertumbuhan mikroba, dimana terjadi fase lag, eksponensial hingga menuju stasioner. Berikutnya, data mengenai alkohol ini sesuai dengan literatur. Bailey (1986) menyebutkan bahwa proses fermentasi dapat

dijalankan secara batch maupun kontinyu. Fermentasi secara batch membutuhkan waktu sekitar 50 jam, pH awal 4,5 dan suhu 20-30oC untuk menghasilkan yield etanol 90% dari nilai gula teoritis. Hasil akhir etanol sekitar 10-16% v/v. Pada praktikum, fermentasi dilakukan secara batch.Dari grafik tersebut terlihat bahwa peningkatan terbesar adalah pada jam ke-48. Jam ke-48 dekat dengan jam ke-50. Oleh karena itu, alkohol yang dihasilkan merupakan puncak peningkatan produksi etanol. Pada akhir fermentasi, kadar alkohol adalah 15%. Ini sesuai karena berada pada range 10-16%. Adanya penurunan laju produksi etanol pada fermentasi tersebut terkait dengan masalah fermentasi.Masalah ini adalah terjadinya inhibisi produk etanol.Akibat dari inhibisi produk etanol adalah rusaknya struktur membran plasma mikroba serta terjadinya denaturasi protein. Hal tersebut akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba penghasil etanol terhambat sehingga menurunkan produktivitas. Terjadinya inhibisi produk etanol ini dapat diatasi dengan pengambilan produk etanol secara terus-menerus dari fermentor (Supriyanto dan Wahyudi, 2012). Pengukuran selanjutnya yang dilakukan adalah pengukuran kadar gula (glukosa) dengan metode DNS. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui substrat sisa fermentasi yang tidak terkonversi menjadi bioetanol.Semakin lama waktu fermentasi, sisa substrat yang tidak terkonversi menjadi bioetanol seharusnya menjadi semakin kecil karena sebagian besar substrat telah dikonsumsi oleh mikroba dan dikonversi menjadi bioetanol.Hasil praktikum dapat dilihat pada Gambar 4.
0.3 0.25 0.2 0.155 0.15 0.1 0.05 0 0 20 40 60 80 100 120 Lama fermentasi (jam) 0.036 0.013 0.12 Kadar glukosa 0.241

Gambar 5. Hubungan lama fermentasi dengan kadar glukosa (substrat) Hasil dari praktikum (Gambar 4) menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa pada kelompok dua meningkat dari konsentrasi glukosa di awal.Hal ini tidak sesuai teori.Seharusnya konsentrasi substrat menurun karena dikonsumsi oleh Saccharomyces cerevisiae.Penyimpangan

ini dapat terjadi karena kekurangtelitian dalam praktikum, baik dalam pengenceran substrat maupun dalam penambahan pereaksi DNS sehingga nilainya lebih besar.Selanjutnya pada waktu fermentasi ke-48, konsentrasi glukosa menurun hingga hari fermentasi terakhir. Hal ini sesuai dengan teori dan hubungan dengan kadar alkohol pada pengukuran sebelumnya. Dengan adanya penurunan substrat glukosa, proses fermentasi untuk menghasilkan bioetanol berjalan lancar. Namun, penurunan substrat pada kelompok lima lebih kecil jika dibandingkan penurunan pada kelompok 4 dari kelompok sebelumnya. Ini sesuai dan berhubungan dengan hasil-hasil sebelumnya yaitu terjadi peningkatan produksi dengan laju yang menurun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

IV.
A. Kesimpulan

PENUTUP

Berdasarkan hasil pada praktikum dapat disimpulkan bahwa produksi bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae akan mengalami peningkatan produksi hingga waktu fermentasi (jam) ke-48. Setelah itu, akan terjadi peningkatan produksi dengan laju yang menurun karena inhibisi dari produk bioetanol yang dihasilkan. Produksi bioetanol ini dapat diamati dengan mengukur gas karbondioksida yang dihasilkan, pH, biomassa kering, kadar alkohol dan kadar glukosa (substrat sisa). Peningkatan produksi bioetanol ditandai dengan peningkatan produksi gas karbondioksida, penurunan pH, peningkatan biomassa, peningkatan kadar alkohol serta penurunan kadar glukosa. Produksi gas karbondioksida meningkat karena merupakan hasil samping konversi glukosa dalam fermentasi.Penurunan pH terjadi karena pelepasan ion H+ dan konversi menjadi asam organik.Peningkatan biomassa menunjukkan peningkatan produksi karena etanol merupakan metabolit primer. Penurunan kadar glukosa terjadi karena pengkonsumsian dan pengkonversian oleh mikroba menjadi etanol. Terdapat sedikit penyimpangan pada pengukuran gas CO2, pH dan kadar glukosa akibat kekurangtelitian praktikan maupun kondisi proses serta keterbatasan alat.

B.

Saran

Dari praktikum, dapat disarankan adanya pengerjaan penimbangan labu yang lebih teliti untuk pengukuran gas karbondioksida yang dihasilkan. Selain itu, pada pengukuran pH, akan lebih baik jika pH-meter yang digunakan dikaliberasi secara tepat. Selain itu, pengukuran pH akan lebih baik jika dilakukan tepat pada hari pengamatan, tidak ditunda dengan penyimpanan karena dapat terjadi sedikit perubahan akibat proses mikrobial. Pada pengukuran kadar alkohol, sebaiknya praktikan lebih teliti dan sabar menjaga proses distilasi supaya tidak terjadi pemasukan molases pada tabung untuk alkohol. Selain itu, pada percobaan dengan DNS, perlu dilakukan ketelitian yang lebih tinggi dalam mengukur substrat untuk pengenceran maupun pengambilan pereaksi DNS supaya warna yang dihasilkan lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Amykasim. 2008. Bioetanol. http://amykasim.blogspot.com/2008_03_01_ archive.html.[31 Maret 2012] Bailey, James E. dan David F. Ollis. 1986. Biochemical Engineering Fundamentals 2ndedition. Singapura: McGraw-Hill Book Co. Budiyanto, M. A. K. 2003. Mikrobiologi Terapan. Malang: UMM Press. Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan. Desrosier, N. W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M. Muljohardjo. Jakarta: UI Press. Farx. 2011. Hidrometer/Alkoholmeter. http://artikelteknikkimia.blogspot.com/2011/12/ hidrometer-alkoholmeter.html [31 Maret 2012]. Judoamidjojo. 1992. Teknologi Fermentasi. Edisi 1 cetakan 1. Jakarta: Rajawali Press. Judoamidjojo, R.M., E.G. Said, dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti, Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Schlegel, H. G., 1994. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Simanjuntak, Riswan. 2009. Studi Pembuatan Etanol dari Limbah Gula (Molase) [skripsi]. Medan: Departemen Teknologi Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Supriyanto, Tri dan Wahyudi. 2010. Proses Produksi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae dengan Operasi Kontinyu pada Kondisi Vakum. http://eprints.undip.ac.id/13471/1/ Artikel_Ilmiah.pdf [31 Maret 2012] Tjokroadikoesoemo, S. 1993. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Volk, Wesley A., 1993. Mikrobiologi Dasar. edisi ke-5. Jakarta: Erlangga. Suwargana, 2008. pH Meter. http://suwargana.multiply.com/journal/item/16?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2 Fitem. [31 Maret 2012]

LAMPIRAN

REKAP DATA PRAKTIKUM GOLONGAN P4 PRODUKSI BIOETANOL Uji DNS (kadar gula sisa) Kelompok 1 2 3 4 5
Persamaan kurva standar Pencarian nilai konsentrasi glukosa

Nilai DNS 0,281 0,452 0,212 0,045 -0,001


y=1,981x-0,026 x=(y+0,026)/1,981

Kelompok 1 2 3 4 5 Uji pH Kelompok 1 2 3 4 5 Kadar Alkohol Kelompok 1 2

Konsentrasi glukosa 0,155 0,241 0,120 0,036 0,013

Nilai pH 6,7 6,5 6,4 6,3 6,6

Kadar Alkohol (%) 0 4

3 4 5 Uji CO2 yang dihasilkan Kelompok 1 2 3 4 5 *keterangan:

12 14 15

Jumlah CO2 yang dihasilkan 0 0,089 2,05 11,97 4,78

1.Jumlah gas CO2 terbentuk menggambarkan jumlah etanol yang terbentuk 2.Lama pengamatan (kelompok_1: 0 jam, kelompok_2: 24 jam, kelompok_3: 48 jam, kelompok_4: 72 jam, kelompok_5: 96 jam.

You might also like