You are on page 1of 41

BAB I PENDAHULUAN

Insidensi Tuberculosis (TBC) dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama. Di Indonesia TBC merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita TBC di dunia. Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Mengingat besarnya masalah TBC serta luasnya masalah semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TBC terutama menyerang paru-paru sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TBC dapat juga menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TBC menular melalui droplet infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat. Pada sedikit kasus, TBC juga ditularkan melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini, bakteri yang berperan adalah Mycobacterium bovis. Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan Masyarakat. Di Indonesia maupun diberbagai belahan dunia. Penyakit tuberculosis merupakan penyakit menular yang kejadiannya paling tinggi dijumpai di India sebanyak 1.5 juta orang, urutan kedua dijumpai di Cina yang mencapai 2 juta orang dan Indonesia menduduki urutan ketiga dengan penderita 583.000 orang. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Pada waktu penderita batuk butir-butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk kedalam parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru. Menurut WHO (1999), di Indonesia setiap tahun terjadi 583 kasus baru dengan kematian 130 penderita dengan tuberkulosis positif
1

pada dahaknya. Sedangkan menurut hasil penelitian kusnindar 1990, Jumlah kematian yang disebabkan karena tuberkulosis diperkirakan 105,952 orang pertahun. Kejadian kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah. Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal. Penyakit tuberkulosis ini dijumpai disemua bagian penjuru dunia. Dibeberapa Negara telah terjadi penurunan angka kesakitan dan kematiannya. Angka kematian berkisar dari kurang 5 - 100 kematian per 100.000 penduduk pertahun. Angka kesakitan dan kematian meningkat 100.000 penduduk. Penyakit tuberculosis dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama yaitu tuberculosis paru dimana penyakit tuberculosis ini yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Kedua yaitu tuberculosis ekstra paru dimana Tuberculosis ini adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru,, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelejar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Di makalah ini penulis akan membahas tuberculosis ekstra paru mulai dari definisi, organ organ apa saja yang terkena dan bagaimana penanganannya. Tuberkulosis paling sering menyerang paru tapi TB juga sangat berbahaya karena dapat menyerang organ selain paru. TB bisa menclok di kelenjar getah bening, usus, tulang, otak dan selaputnya, laring, ginjal, rahim, bahkan payudara. Tuberkulosis bisa mengenai setiap organ pada tubuh manusia, walaupun sebagian besar tuberkulosis mengenai paru, tapi kejadian ekstra paru atau penyakit TB di luar paru dilaporkan mencapai 5 hingga 30 persen. Penampakan TB ekstra paru ini biasanya tidak khas, muncul perlahan dan diagnosis terkadang tidak terpikirkan dan cenderung terlambat. Ini suatu fenomena yang penting, karena akibat lambatnya diagnosis akan berakibat lambatnya pengobatan sehingga terjadi cacat atau keadaan mengancam nyawa. Dikira kista di rahim tak tahunya malah TB dirahim. Dikira rematik tak tahunya TBC tulang. Salah satu mekanisme timbulnya TB ekstra paru ini adalah reaktifasi fokus TB lama. Reaktifasi ini meningkat sejalan peningkatan kasus, seperti manula (usia lanjut), pemakaian obat imunosupresif atau steroid, malnutrisi, plavelensi AIDS dan adanya penyakit penyerta seperti liver dan ginjal. Lokasi lesi TB paru dan ekstra paru pada saat infeksi primer dipengaruhi oleh derasnya aliran darah dan tingginya tekanan oksigen seperti di apeks paru, korteks ginjal dan daerah pertumbuhan pada tulang panjang. TB ekstra paru dapat menular, tapi penularannya tidak
2

seperti TB paru yang melalui kontak langsung lewat udara yang tercemar bakteri tuberkulosis. TB ekstra paru menular melalui darah dan cairan tubuh yang terinfeksi bakteri tuberkulosis. Biasanya penularan terjadi melalui transfusi darah.

BAB II TUBERCULOSIS EXTRA PULMONAL

II.1 DEFINISI Tuberculosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru,, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelejar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.

II.2 EPIDEMIOLOGI Tuberkulosis paling sering menyerang paru tapi TB juga sangat berbahaya karena dapat menyerang organ selain paru. TB bisa menclok di kelenjar getah bening, usus, tulang, otak dan selaputnya, laring, ginjal, rahim, bahkan payudara. Tuberkulosis bisa mengenai setiap organ pada tubuh manusia, walaupun sebagian besar tuberkulosis mengenai paru, tapi kejadian ekstra paru atau penyakit TB di luar paru dilaporkan mencapai 5 hingga 30 persen.

II.3 KLASIFIKASI 1. Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan Misal : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal 2. Tuberkulosis Ekstra Paru Berat Misal : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudatif dupleks, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

II.4 ORGAN ORGAN YANG TERKENA DAN PENANGANANNYA A. TUBERCULOSIS KELENJAR LIMFE Anatomi dan fisiologi Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh. Kelenjar ini mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter
4

terhadap kuman kuman / bakteri bakteri yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel sel tumor ganas ( kanker ). Di samping itu bertugas pula membentuk sel-sel limfosit darah tepi.

Definisi Limfadenitis Tuberkulosis, suatu peradangan pada satu atau lebih kelenjar getah bening. Penyakit ini masuk dalam kategori tuberkulosis di luar paru. Tuberkulosis sendiri dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam kepustakaan Sanskrit kuno. Nama "tuberculosis" berasal dari kata tuberculum yang berarti benjolan kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini. Begitu juga dengan limfadenitis, penyakit ini ditandai benjolan pada bagian leher penderitanya.

Patogenesis Siklus munculnya penyakit ini adalah bakteria dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limfa di leher, sering tanpa tanda TBC paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar di dekatnya satu demi satu terkena radang yang khas dan dingin ini. Di samping itu, dapat terjadi juga perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan jebol, mengeluarkan bahan keperti keju. Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan menggangsir, disertai sekret yang jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi, demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma. Limfadenitis sendiri disebabkan oleh berbagai infeksi dari berbagai organisme, seperti bakteri, virus, protozoa, riketsia, dan jamur. Untuk penyebarannya ke kelenjar getah bening melalui infeksi pada kulit, hidung, telinga, dan mata.

Macam-macam Limfadenitis TB Secara umum, limfadenitis terdiri dari beberapa macam tergantung penyebabnya, yakni : - Limfadenitis submandibuler, disebabkan adanya sakit gigi atau karies dentis atau pula infeksi stomatitis yang menimbulkan adanya pembesaran kelenjar getah bening mandibuler. - Limfadenitis daerah aksila disebabkan adanya infeksi pada telapak tangan. - Limfadenitis dan inguinal, Paronichya di ibu jari kaki atau infeksi di kaki bagian bawah yang sering membuat rasa nyeri untuk berjalan.

Gejala Klinis Gejala untuk menganalisa apakah terkena penyakit ini adalah kelenjar getah bening yang terserang biasanya akan membesar dan jika diraba terasa lunak dan nyeri, selain itu gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tekan, dan tanda radang. Kulit di atasnya terlihat merah dan terasa hangat, pembengkakan ini akan menyerupai daging tumbuh atau biasa disebut dengan tumor. Dan untuk memastikan apakah gejala-gejala tersebut merujuk pada penyakit limfadenitis maka perlu adanya pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan di bawah mikroskop. Limfadenitis pada taraf parah disebut limfadenitis kronis. Limfadenitis ini terjadi ketika penderita mengalami infeksi kronis, misal pada kondisi ketika seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher (limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat berhubungan satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak seperti abses

tetapi tidak nyeri seperti abses banal. Apabila abses ini pecah ke kulit, lukanya sulit sembuh oleh karena keluar secara terus menerus sehingga seperti fistula. Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat terjadi sedemikian rupa, besar dan berhubungan sehingga leher penderita itu disebut seperti bull neck. Pada keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan limfoma malignum. Limfadenitis tuberkulosa diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi, terutama yang tidak disertai oleh tuberkulosa paru.

Penatalaksanaan Pengobatannya sama dengan TB paru, demikian juga dengan lamanya makan obat. Bila terjadi abses yang di sertai infeksi sekunder tentunya di perlukan antibiotika. Kadang-kadang di perlukan operasi untuk mengeluarkan kelenjar yang membesar. Pengobatan yang tidak teratur akan menyebabkan penyakitnya tidak kujung sembuh dan menjadi kronis dimana seringnya terjadi fistel dan ulkus baru

B. TUBERKULOSIS TULANG Definisi Spondilitis Tuberkulosa ialah suatu bentuk infeksi tuberkulosis ekstrapulmoner yang mengenai tulang belakang (vertebra). Infeksi mulai dari korpus vertebra, menjalar ke diskus intervertebralis dan kemudian mencapai alat-alat dan jaringan di dekatnya.Tuberkulosis sebagai suatu penyakit sistemik yang dapat menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sedi. Lesi pada tulang dan sendi hampir selalu
7

disebabkan penyebaran hematogen dari kompleks primer pada bagian tubuh lain. Biasanya tejadi 6 36 bulan setelah infeksi primer, tetapi dapat saja timbul bertahun tahun kemudian.

Etiologi Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 5 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas.

Patogenesis Tiga mekanisme terjadinya patogenesis tuberculosis tulang :

Kompleks Primer Lesi primer biasanya pada paru paru, faring atau usus dan kemudian melalui saluran limfe menyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer kompleks.

Penyebaran Sekunder Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra pulmoner.

Lesi Tersier Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberkulosis paru akan menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi juga diperkirakan masih tinggi.

Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.

Kumar membagi perjalanan penyakit ini dlam 5 stadium, yaitu : 1. Stadium Implantasi Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
9

2. Stadium Destruksi Awal Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 6 minggu. 3. Stadium Destruksi Lanjut Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang terjadi 2 3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan ( wedging anterior ) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus. 4. Stadium gangguan neurologis Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu : Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris. Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.

10

Derajat III

: Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipestesi/anestesia

Derajat IV

: Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif / sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.

5. Stadium deformitas residual Stadium ini terjadi kurang lebih 3 5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.

Gambaran klinik Secara klinik gejala tuberculosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberculosis pada umumnya yaitu badan lemah lesu, nafsu makan berkurang, berat
11

badan menurun, suhu sedikit meningkat ( subfebris ) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak anak sering disertai dengan menangis pada malam hari ( night cries ). Pada tuberculosis vertebrae servikal ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravetebral, inguinal, poplitea atau bokong, adanya sinus pada daerah paravetebral atau penderita datang dengan gejala gejala paraparesis, paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.

Diagnosis Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu : 1. pemeriksaan klinik dan neurologis lengkap 2. foto tulang belakang posisi AP dan lateral 3. foto polos toraks posisi PA 4. uji mantoux 5. biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

Pemeriksaan laboratorium 1. Peningkatan LED dan mungkin disertai dengan leukositosis 2. uji mantoux positif 3. pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikrobakterium 4. biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional 5. pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan foto thorax untuk melihat adanya tuberkulosis paru


12

foto polos vertebrae, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebrae, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravetebral.

pada foto AP, abses paravetebral di daerah servikal berbentuk sarang burung ( birds nets ), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses berbentuk fusiform

pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebrae yang hebat sehingga timbul kifosis pemeriksaan foto dengan zat kontras pemeriksaan melografi dilakukan bila terdapat gejala gejala penekanan sumsum tulang pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi pemeriksaan MRI

Penatalaksanaan Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia. Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa :

1. Tirah baring 2. memperbaiki keadaan umum penderita 3. pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi maupun yang tidak dioperasi 4. pemberian obat anti tuberkulosa Obat obatan yang diberikan terdiri atas :

Isonikotinik hidrasit ( INH ) dengan dosis oral 5 mg / kg BB per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak anak 10 mg / kg BB. Asam para amino salisilat. Dosis oral 8 12 mg / kg BB Etambutol. Dosis oral 15- 25 mg /kg BB per hari Rifampisin. Dosis oral 10 mg / kg BB diberikan pada anak anak. Pada orang dewasa 300 400 mg per hari.
13

Sreptomisin. Pada saat ini tidak digunakan lagi.

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. Regimen yang dipergunakan di amerika dan eropa adalah INH dan Rifampisin selama 9 bulan atau INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilaknjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan. Di korea diberikan kombinasi antara INH + Rifampisin selama 6 12 bulan atau INH + Etambutol selama 9 18 bulan.

Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah : Kategori 1 Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-) / rontgen (+), diberikan dalam dua tahap, yaitu :

Tahap I, diberikan Rifampisin 450mg, Etambutol 750 mg, INH 300mg dan pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama kali ) ( 60

Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan tiga kali seminggu ( intermiten ) selama 4 bulan ( 54 kali )

Kategori 2 Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh / gagal pengobatan yang diberikan dalam 2 tahap, yaitu :

Tahap I, diberikan streptomisin 750 mg ( injeksi ), INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya diberikan 2 bulan pertama ( 60 kali ) dan obat lainnya selama 3 bulan ( 90 kali )
14

Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu ( intermiten ) selama 5 bulan ( 66 kali )

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila :


Keadaan umum penderita bertambah baik Laju endap darah menurun dan menetap gejala gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebrae

2. Terapi Operatif Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses ( abses dingin ), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses Dingin ( cold abses ) Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu : 1. Debridemen fokal 2. kosto-transveresektomi 3. debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan

Paraplegia
15

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia yaitu : 1. pengobatan dengan kemoterapi semata mata 2. laminektomi 3. kosto transveresektomi 4. operasi radikal 5. osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Indikasi operasi Indikasi operasi yaitu : 1. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan tuberkulostatik. 2. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase secara terbuka dan sekaligus debridemen serta bone graft. 3. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adnya penekanan langsung pada medula spinalis. Operasi kifosis Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

C. PLEURITIS TB Epidemiologi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
16

tuberkulosis pada tahun 2002. 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Hampir sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB1). TB ekstra paru berkisar antara 9,7 sampai 46% dari semua kasus TB. Organ yang sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro intestinal lainnya, organ genitourinary, peritoneum, dan perikardium. Pleuritis TB merupakan TB ekstraparu kedua terbanyak setelah limfadenitis TB2). Angka kejadian pleuritis TB dilaporkan bervariasi antara 4% di USA sampai 23% di Spanyol. Insidensi pleuritis TB meningkat seiring dengan peningkatan insidensi TB ekstraparu oleh karena pandemik HIV. Insidensi Pleuritis TB pada HIV/AIDS dilaporkan bervariasi antara 15-90 % 3). Patofisiologi Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post primer (reaktivasi). Secara tradisional, pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan Pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil TB. Beberapa kriteria yang mengarah ke Pleuritis TB primer : (i). Adanya data tes PPD positif baru, (ii). Rontgen thorax dalam satu tahun terakhir tidak menunjukkan adanya kejadian tuberkolosis parenkim paru, (iii). Adenopati Hilus dengan atau tanpa penyakit parenkim.

17

Umumnya, efusi yang terjadi pada Pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui dan proses penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus. Pleuritis TB dapat berasal dari reaktivasi atau TB post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien turun. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa umur rata-rata pasien dengan reaktivasi TB adalah 44,6 tahun. Pada kasus Pleuritis TB rekativasi, dapat dideteksi TB parenkim paru secara radiografi dengan CT scan pada kebanyakan pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada lobus superior atau segmen superior dari lobus inferior. Bekas lesi parenkim dapat ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB reaktivasi. Efusi yang terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda adanya TB parenkim yang aktif5). Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat penyebaran basil TB secara langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik pada TB post primer (reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura terjadi 10-30% dari kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan bilateral. PPD test dapat negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya juga negatif.

Gambaran Klinik Gambaran klinis dari Pleuritis TB yang paling sering dilaporkan adalah batuk (7194%), demam (71-100%), nyeri dada pleuritik (78-82%) dan dispneu. Batuk yang terjadi biasanya nonproduktif terutama ketika tidak terdapat lesi paru aktif. Keringat malam, sensasi mengigil, dyspneu, malaise, dan penurunan berat badan merupakan keluhan umum. Demam dan nyeri dada umumnya terdapat pada pasien muda, sedangkan batuk dan dyspneu umumnya pada pasien yang lebih tua. Durasi rata-rata dari gejala penyakit sekitar 14 hari pada pleuritis TB primer dan 60 hari pada pleuritis TB reaktivasi. Pasien dengan TB efusi pleura dan HIV bergejala dalam periode yang lebih lama dan mempunyai gejala tambahan seperti takipneu, keringat malam hari, malaise, diare, dan mempunyai kemungkinan lebih banyak terjadi hepatomegali, splenomegali dan limfadenopati. Hasil tes PPD negatif dilaporkan pada 30% pasien immunokompetan, dan lebih dari 50% pada pasien terinfeksi HIV. Pemeriksaan fisik ditemukan berkurangnya suara nafas dan perkusi pekak diatas tempat efusi. Pleral friction rub dilaporkan pada 10% pasien5). Pada keadaan tidak diberikannya obat anti
18

tuberkulosis, resolusi dari efusi yang terjadi pada pleuritis TB biasanya spontan dalam beberapa bulan. Akan tetapi, setengah dari kasus yang tidak diterapi akan berkembang menjadi bentuk tuberkulosis paru dan ekstraparu yang lebih berat yang dapat berakibat pada kecacatan dan kematian. Sekule lain pada pleuritis TB primer adalah terjadinya sisa penebalan pleura yang potensial menyebabkan pembatasan ventilasi. Infeksi kronik aktif dapat mengawali berkembangnya tuberkulosa empyema. Pecahnya kavitas parenkim ke ruang pleura dapat berkembang menjadi fistula bronkhopleural dan pyo-pnemothoraks. Diagnosis Pleuritis TB tidak selalu mudah didiagnosis, karena tidak selalu ada gambaran khas seperti adanya eksudat yang kaya limfosit pada cairan efusi, granuloma nekrotik kaseosa pada biopsi pleura, hasil positif dari pewarnaan Ziehl Neelsen atau kultur Lowenstein dari cairan efusi atau jaringan sampel dan sensitivitas kulit terhadap PPD11. Diagnosis dari Pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan biopsi pleura. Pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa penelitian meneliti adanya penanda biokimia seperti ADA, ADA isoenzim, Lisozim, dan limfokin lain untuk meningkatkan efisiensi diagnosis. Hasil thorakosintesis efusi pleura dari Pleuritis TB primer mempunyai karakteristik cairan eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura >30g/dL, rasio LDH cairan pleura dibanding serum > 0,5 dan LDH total cairan pleura >200U. Cairan pleura mengandung dominan limfosit (sering lebih dari 75% dari semua materi seluler), sering dikiuti dengan kadar glukosa yang rendah. Sayangnya, dari kharakteristik diatas tidak ada yang spesifik untuk tuberkulosis, keadaan lain juga menunjukkan kharakteristik yang hampir mirip seperti efusi parapnemonia, keganasan, dan penyakit rheumatoid yang menyerang pleura. Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif (0-1%). Isolasi M.tuberculosis dari kultur cairan pleura hanya didapatkan pada 20-40% pasien Pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA dan kultur yang negatif dari cairan pleura tidak mengekslusi kemungkinan Pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada kasus primer dan kultur menunjukkan hasil positif hanya pada 25-33% pasien. Sebaliknya, pada kasus reaktivasi pemeriksaan BTA sputum positif pada 50% pasien dan kultur positif pada 60% pasien. Hasil tes tuberkulin yang positif mendukung penegakkan diagnosis pleuritis TB di
19

daerah dengan prevalensi TB yang rendah (atau tidak divaksinasi), akan tetapi hasil tes tuberkulin negatif dapat terjadi pada sepertiga pasien. Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk Pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif. Hasil biopsi perlu diperiksa secara PA, pewarnaan BTA dan kultur. Beberapa penelitian meneliti aktivitas ADA (adenosin deaminase) untuk

mendiagnosis Pleuritis TB. Disebutkan bahwa kadar ADA > 70 IU/L dalam cairan pleura sangat menyokong ke arah TB, sedangkan kadar < 40 IU/L mengekslusi diagnosis. Sebuah meta analisis dari 40 penelitian yang diterbitkan sejak tahun 1966 sampai 1999 menyimpulkan bahwa tes aktivitas ADA (sensitivitas berkisar antara 47,1 sampai 100% dan spesifitas berkisar antara 0-100%) dalam mendiagnosis Pleuritis TB sangat baik (cukup baik untuk menghindari dilakukannya biopsi pleura pada pasien muda dari daerah dengan prevalensi TB yang tinggi). INF- sebuah sitokin yang mempunyai hubungan dengan Th, terbukti mempunyai hubungan yang erat dengan efusi pleura yang disebabkan oleh karena TB. (menggunakan cut off point 140 pg/mlPada sebuah penelitian, INF- dalam cairan pleura) mempunyai sensitivitas 85,7% dan spesifitas 97,1% pada pasien dengan pleuritis TB. Pemeriksaan dengan PCR (polymerase chain reaction) didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA mikobakterium. Karena efusi pada pleuritis TB mengandung sedikit basil TB, secara teori sensitivitasnya dapat ditingkatkan mengunakan PCR. Banyak penelitian yang mengevaluasi efikasi PCR untuk mendiagnosis pleuritis TB dan menunjukkan bahwa sensitivitas berkisar antara 2090% dan spesifitas antara 78-100%. Penanganan Perjalanan alamiah dari efusi pleura TB yang tidak diterapi akan terjadi resolusi spontan dalam 4-16 minggu dengan adanya kemungkinan perkembangan TB paru aktif atau TB ekstraparu pada 43-65% pasien. Data ini menyimpulkan pentingnya diagnosis dan terapi yang tepat untuk kasus ini. Berdasarkan pedoman tata laksana DOTS, pasien dengan sakit berat yang luas atau adanya efusi pleura bilateral dan
20

sputum BTA positif, diberikan terapi kategori I (Fase Intensif dengan 4 macam obat : INH, Rifampisin, Pyrazinamide, Etambutol selama 2 bulan dan diikuti dengan fase lanjutan selama 4 bulan dengan 2 macam oabat : INH dan Rifampisin). Pada pasien dengan pleuritis TB soliter harus diterapi dengan INH, Rifampisin dan Pyrazinamid selama 2 bulan diikuti dengan terapi INH dan rifampin selama 4 bulan. Pasien dengan HIV/AIDS dan pleuritis TB diterapi sama dengan pasien yang HIV negatif. Thorakosintesis berulang tidak diperlukan ketika diagnosis telah dapat ditegakkan dan terapi telah dimulai, tapi thorakosintesis mungkin diperlukan untuk mengurangi gejala. Penggunaan kortikosteroid menurut review metaanalisis Cochrane menunjukkan kurangnya data yang mendukung bahwa kortikosteroid efektif pada Pleuritis TB.

D. MENINGITIS TUBERKULOSIS Definisi Adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer. Secara histiologik meningitis tuberkulosis merupakan meningo-ensefalitis tuberkulosa dimana terjadi invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf pusat. Klasifikasi Rich membagi meningitis tuberkulosa dalam empat jenis menurut klasifikasi patologik yaitu : a. Tuberkulosis miliaris yang menyebar Jenis ini merupakan komplikasi dari tuberkulosis miliaris, biasanya dari paru paru yang menyebar ke selaput otak secara hematogen. Sering terjadi pada anak dan jarang pada dewasa. Pada selaput otak terdapat tuberkel tuberkel yang kemudian pecah sehingga terjadi peradangan difus dalam ruang subarakhnoid. Tuberkel ini juga terdapat pada dinding pembuluh darah kecil di hemisfer otak bagian cekung dan dasar otak.
21

b. Bercak bercak pengijuan fokal Disini terdapat bercak bercak pada sulkus sulkus dan terdiri dari pengijuan yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa dan epitel. Terjadi penyebaran ke selaput otak dan dapat menyebabkan peradangan yang luas. c. Peradangan akut meningitis pengijuan Jenis ini paling sering dijumpai lebih kurang 78%. Pada jenis ini terjadi invasi langsung pada selaput otak dari fokus tuberkulosis primer, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel baru pada selaput otak dan jaringan otak. Meningitis timbul karena tuberkel tersebut pecah dan terjadi penyebaran kuman ke dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus. d. Meningitis proliferatif Dapat terjadi pada pembuluh darah selaput otak yang mengalami peradangan berupa endarteritis dan panarteritis. Akibat penyempitan lumen arteri-arteri tersebut dapat terjadi infark otak.

Etiologi Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa jenis hominis, jarang oleh bovinum atau aves. Faktor risiko: - sosio ekonomi rendah - penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari - perumahan tidak memenuhi syarat kesehatan minimal - hidup dan tinggal atau tidur berdesakan - kekurangan gizi - higiene yang buruk - faktor suku atau ras - kurang atau tidak mendapatfasilitas imunisasi Meningitis tuberkulosa dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, paling sering terjadi pada umur di bawah 2 tahun yaitu antara 9 sampai 15 bulan. Jarang pada umur di bawah 6 bulan.

22

Patofisiologi Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar otak. Fokus primer biasanya di paru- paru. Meningitis tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran tuberkulosis paru-paru. Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung oleh karena penyebaran hematogen, melainkan melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih. Tuberkel kemudian melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang sub arakhnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Penyebaran kuman dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan arakhnoid, CSS, ruang sub arakhnoid dan ventrikulus. Akibat reaksi radang ini terbentuknya eksudat kental serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuklear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fbroblas. Ekudat ini dapat juga terkumpul terutama di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya sehingga proses sebenarnya adalah meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus sylvii, foramen magendi, foramen luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema pail dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi di pembuluh darah yang berjalan dalam ruang subarakhnoid berupa kongesti, peradangan dan penyumbatan, sehingga selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian korteks, medula oblongata dan ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak dengan segala akibatnya.

Gambaran Klinis Stadium I Stadium prodromal berlangsung lebih kurang 2 minggu sampai 3 bulan. Permualaan bersifat sub akut dengan tanda-tanda infeksi umum. a. Pada anak kecil, gejala dan tanda nya : - tanpa panas atau kenaikan suhu yang ringan - muntah - tidak nafsu makan dan berat badan turun - murung, cengeng, dan mudah tersinggung
23

- tidur terganggu - gangguan kesadaran apatis b. Pada anak yang lebih besar, gejala dan tandanya : - nyeri kepala - tidak nafsu makan - muntah-muntah - obstipasi - pola tidur terganggu c. Pada dewasa, gejala dan tandanya : - panas yang hilang timbul - nyeri kepal - konstipasi - tidak ada nafsu makan - fotofobia - nyeri punggung - halusinasi - delusi - sangat gelisah

Stadium II Gejala dan tandanya yaitu : - kejang umum atau fokal terutama anak bayi - tanda-tanda rangsangan meningeal nyata, tubuh kaku dan opistotonus - peningkatan tekanan intrakranial - muntah lebih hebat - nyeri kepala yang bertambah berat - kesadaran yang makin menurun - terdapat gangguan nervi kranialis : N. II, III, IV, VI, VII dan VIII

Stadium III Gejala dan tanda yaitu :


24

- suhu tidak teratur dan semakin tinggi - pernapasan dan nadi tidak teratur ( cheyne-stokes atau kussmaul) - retensi atau inkotinensia urin - gangguan kesadaran makin menurun sampai koma

Diagnosis Anamnesis diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita tuberkulosi, keadaan sosioekonomi, imunisasi, dsb. Gejala-gejala yang khas untuk meningitis tuberkulosa ditandai dengan tekanan intrakranial yang meninggi : muntah yang hebat, nyeri kepala yang progresif. Pungsi lumbal memperlihatkan CSS yang jernih, kadang sedikit keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan dakan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10 500/ml dan kebanyakan limfosit, kadar glukoasa rendah antara 20 -40 mg%, kadar klorida di bawah 600 mg%. CSS dan endapan sarang laba-laba dapat dibiakan atau dikultur menurut pengecatan Ziehl-Nielsen atau Tan Thiam Hok. Tes tuberkulin biasa dilakukan pada bayi dan anak, hasil sering kali negatif karena keadaan anergi. Pemeriksaan lainnya seperti : foto dada dan kolumna vertebralis, rekaman EEG, dan CT scan.

Penanganan Perawatan umum Perawatan penderita meliputi kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi, perawatan kandung kemih dan defekasi. Waspada terhadap hiperpireksia, gelisah atau kejang. Pengobatan 1. Isoniazida atau INH Dosis 10 20 mg/kg BB/hari (pada anak) dan pada dewasa dengan dosis 400 mg/hari. ES : poli neuritis. 2. Streptomisin
25

Dosis 30-50 mg/kg BB/hari selama 3 bulan secara IM sampai CSS menjadi normal. Obat jenis lain dapat diteruskan selama 2 tahun. Bersifat : ototoksik, mengganggu sumsum tulang dan nefrotoksik, neuropati. 3. Rifampisin Dosis 10-20 mg/kg BB/hari. Orang dewasa 600 mg/hari dengan dosis tunggal. Hati-hati : neuritis optika pada anak < 5 tahun. ES : muntah, kelainan darah perifer, gangguan hepar, dan flu-like symptoms. 4. PAS atau para amino salicylic acid Dosis 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal 12 gram /hari. ES : gangguan nafsu makan. ES : demam, mual, muntah, diare, artritis dan terganggunya nafsu makan. 5. Etambutol Dosis 25 mg/kg BB/ hari sampai 1500 mg/hari, selama 2 bulan. ES : neuritis optika. ES : hepatotoksik, polineuropati dan kejang. 6. Kortikosteroid (prednison) Dosis 2-3 mg.kg BB/hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 24 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kg BB/hari selama1-2 minggu. Diberikan bila ada edema otak. 7. Tuberkulin intratekal Untuk mengaktivasi enzim lisosomalyang menghancurkan eksudat di bagian dasar otak. 8. Pemberian enzim proteolitis Untuk menghalangi adesi. Bila berhasil maka nyeri kepala dan gannguan mental akan hilang.

26

E. TUBERKULOSIS GINJAL Insidens Tuberkulosis saluran kemih dapat timbul pada segala usia dari usia muda sampai orang tua dengan keadaan umum kurang baik.

Patofisiologi Basil tuberkulosis mencapa ginjal atau epididimis secara hematogen dan menyebabkan gambaran patologik yang khas berupa kelainan granulomatosa dengan pengkijauan sentral yang akhirnya cenderung mengalami kalsifikasi atau membentuk kaverne. Dari ginjal terjadi penyebaran infeksi secara desendens melalui ureter yang dapat mengalami striktur fibrosa. Di kandung kemih, tuberkulosis mulai tampak sebagai bengkak dan kemerahan sekitar muara ureter di trigonum. Tuberkulosis menyebar di kandung kemih dengan tukak kecil di mukosa yang menjadi fibrotik dan mengakibatkan pengerutan. Penyebaran tuberkulosis ke saluran kemih dapat terjadi puluhan tahun setelah kompleks primer. Tuberkulosis saluran kemih tidak jarang ditemukan bersamaan dengan tuberkulosis sekunder tulang belakang. Penyebaran hematogen ke prostat atau epididimis tidak berkaitan dengan tuberkulosis ginjal.

27

Tuberkulosis ginjal pada awalnya merupakan penyebaran milier kiri dan kanan di korteks. Sarang milier ini berkembang menjadi rahang granulasi yang mengalami nekrosis secara perkijauan yang mungkin membentuk kaverne atau sembuh lokal dengan fibrosis, pengerutan, retraksi dan kalsifikasi. Perforasi nekrosis kaliks di pielum menyebabkan penyebaran secara desendens. Tuberkulosis di pielum, ureter, kandung kemih dan prostat pada prinsipnya menunjukkan gambaran yang sama, kecuali pengkijauan tidak menyebabkan kaverne melainkan ulkus. Fibrosis menyebabkan retraksi dan penyempitan sehingga terjadi obstruksi dengan segala konsekuensinya.

Gambaran Klinik Gambaran klinik tuberkulosis saluran kemih ditentukan oleh kelainan patologik yang disebabkan penyakit. Pada tuberkulosis ginjal yang mengalami radang tuberkulosis, nekrosis dan kaverne. Keluhan mungkin sedikit walaupun keluhan umum tetap ada karena dampak penyakit sistemik atau gangguan faa ginjal progresif. Dapat juga terjadi obstruksi, perdarahan atau radang. Insidens tuberkulosis ginjal dianggap jauh lebih tinggi daripada yang berhasil didiagnosis. Pielitis dan sistisis dengan penyebaran asendens dan desendens mungkin disebabkan oleh radang bakterial nonspesifik sebagai infeksi ikutan selain radang spesifik tuberkulosis. Epididimitis spesifik tuberkulosis merupakan infeksi spesifik kronik yang sering tembus di kulit skrotum menyebabkan fistel tunggal atau multipel. Nyeri tidak menjadi gejala penting. Pada palpasi, epididimitis mungkin agak keras demikian juga vas deferens teraba mirip dengan rantai tasbih.

Diagnosis Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan sekret untuk mencari Mycobacterium tuberculosis Biakan kuman dan pemeriksaan patologik anatomi selain pemeriksaan jasmani dan pecitraan terarah juga dilakukan. Kesulitan diagnostik disebabkan oleh keanekaragaman manifestasi klinis penyakit tersebut menurut tingkat penyakit dan penyulitnya. Ada beberapa tanda yang bisa menimbulkan kecurigaan
28

adanya tuberkulosis saluran genital, seperti kemih nanah steril, epididimitis kronik tanpa atau disertai fistel, gejala infeksi saluran kemih yang tidak bisa hilang dengan pengobatan biasa, kalsifikasi pada parenkim ginjal dan adanya fokus infeksi tuberkulosis di tempat lain.

Penatalaksanaan Penanganan pada garis besar dianjurkan sama dengan dan sesuai dengan terapi tuberkulosis lainnya. Terapi medis merupakan terapi dasar. Antituberkulosis diberikan dalam kemasan kombinasi. Pembedahan pada penderita tuberkulosis dapat dipertimbangkan bila terapi medis gagal, seperti penyaliran atau pengeluaran sarang atau sisa sarang tuberkulosis. Organ yang rusak yang menganggu dan untuk memperbaiki perubahan atau penyulit sekunder seperti stenosis saluran kemih atau kerusakan kandung kemih. Tindak bedah baru dikerjakan setelah diberikan tuberkulosis. Tindak bedah pada penderita yang pernah mengidap tuberkulosis harus dilakukan dengan perlindungan tuberkulosis sebagai tindak profilaktik mencegah kambuhnya tuberkulosis.

F. TUBERKULOSIS PERITONEAL Definisi Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system gastroinbtestinal, mesenterium dan organ genetalia interna. Penyakit ini jarang bersiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain. Di Negara yang sedang berkembang
29

tuberculosis peritoneal masih sering dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat lainnya walaupun sudah jarang ada kecendrungan meningkat dengan meningkatnya jumlah penderita AIDS dan Imigran. Karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang jelas maka diagnosa sering tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan. Tidak jarang penyakit ini mempunyai keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol.

Insidens Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita disbanding pria dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering decade ke 3 dan 4. Tuberkulosis peritoneal dijumpai 2 % dari seluruh Tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberculosis Abdominal. Di Amerika Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara penyakit extra paru sedangkan peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB paru yang aktif. Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di negara maju. Di Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberculosis peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di Rumah Sakit King Edward III Durban Afrika selatan menemukan 145 kasus tuberculosis peritoneal selamaperiode 5 tahun (1984-1988) sedangkan dengan cara Peritonoskopi. Daldiono menemukan sebanyak 15 kasus di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta selama periode 1968-1972 dan Sulaiman di rumah sakit yang sama periode 1975-1979 menemukan sebanyak 30 kasus tuberkulosa peritoneal begitu juga Sibuea dkk melaporkan ada 11 kasus Tuberkulosis peritoneal di Rumah sakit Tjikini Jakarta untuk periode 19751977. Sedangkan di Medan Zain LH melaporkan ada 8 kasus selama periode 19931995.

Patogenesis Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara:


30

1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru 2. Melalui dinding usus yang terinfeksi 3. Dari kelenjar limfe mesenterium 4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadipada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu (infeksi laten Dorman infection. Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat. Jika organism nintrasseluler tadi mulai bermutiplikasi secara cepat. Patologis Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa : 1. Bentuk eksudatif Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarnaputih kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecilkecil yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang, Cairanasites kadang-kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor. 2. Bentuk adhesif Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadangkadang terbentuk fistel.
31

Hal

ini

disebabkan

karena

adanya

perlengketanperlengketan. Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus dan peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi . Tuberkeltuberkel biasanya lebih besar.

3. Bentuk campuran Bentuk ini kadang-kadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dankemudian bentuk adhesive. Pemberian hispatologi jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan pengkejutan umumnya ditemukan.

Gejala klinis Pada pemeriksaan jasmani gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam, pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya keluhan. Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan kahexia, pada wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses tuberculosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genital bisa ditemukan tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovari.

Diagnosis Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis, leukositosis ringan ataupun leukopenia , trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberculin hasilnya sering negative. Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan exudat dengan protein > 3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000sel/ml.
32

Biasanya lebih dari 90% adalah limfosit LDH biasanya meningkat. Cairan asites yang perulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari 5 % yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif. Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur BTAnya yang positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang telah disetrifugejengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu. Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma neprotik, penyakit pancreas , kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi. Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal<0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya >0,96. Penurunan PH cairan asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis. Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive adalah pemeriksaan ADA (adenosin deminase actifity), interferon gama (IFN dan PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai Sensitifitas 100%. ) Spesifitas 95%, dan dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif dari sirosis hati ataumalignancy. Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari tuberculosis peritoneal (14 10,6 u/l) Hafta A dkk dalam suatu penelitian yang membandingkan konsentrasi ADA terhadap pasien tuberculosis peritoneal , tuberculosis peritoneal bersamaan dengan sirosis hati dan passien-pasien yang hanya sirosis hati. Mereka mendapatkan nilai ADA 131,1 38,1, u/l pada pasien tuberculosis peritoneal, 29 18,6 u/l pada pasien tuberculosis dengan sirosis hati dan 12,9 7 u/l pada pasien yang hanya mempunyai sirosis hati, sedangkan pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah dijumpai Nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada konsentrasi asietas dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi falsenegatif. Untuk ini pemeriksaan Gama interferon (INF adalah lebih baik walaupun nilainya )
33

dalah sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih rendah lagi disbanding kedua pemeriksaan tersebut. Fathy ME melaporkan angka sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gama interferon adalah 90,9 % , ADA : 18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesifitas 100%.(17). Peneliti lain yang meneliti kadar ADA adalah Bargava. Bargava dkk melakukan penelitian terhadap kadar ADA pada cairan esites dan serum penderita peritoneal tuberculosis. Kadar ADA >36 u/l pada cairan esites dan > 54 u/l pada serum mendukung suatu diagnosis tuberculosis peritoneal. Perbandingan cairan asites dan serum (asscitic / serum ADA ratio) lebih tingggi padatuberculosis peritoneal dari pada kasus lain seperti sirosis, sirosisdengan spontaneous bacterial peritonitis,Budd chiary dan Ratio > 0,984 menyokong suatu tuberculosis. Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125.CA-125 (Canker antigen 125) termasuk tumor associated glycoprotein dan terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada ovarium orang dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis, myoma uteri daan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang lain sepeerti endometrium, tuba falopi, endocervix, pancreas,ginjal,colon juga pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati, peradangan peritoneum seperti tuberculosis,pericardium dan Pleura namun beberapa laporan yang menemukan peningkatan kadar CA-25 pada penderita tuberkulossis peritoneal seperti yang dilaporkan oleh Sinsek H (Turkey 1996). Zain LH (Medan 1996).(8,21) Zain LH di Medan pada tahun 1996 menemukan dari 8 kasus tuberculosis peritoneal dijumpai kadar CA-125 meninggi dengan kadar rata-rata 370,7 u/ml (66,2 907 u/ml) dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125 disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang dominan maka tuberculosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnose. Bebrapa peneliti menggunakan CA-125 ini untuk melihat respon pengobatan seperti yang dilakukan Mas MR dkk (Turkey, 2000) menemukan CA-125 sama tingginya dengan kanker ovarium dan setelah pemberian anti tuberkulosa kadar serum CA-125 menjadi normal dimana yang sebelumnya kadar rata-rata CA-125,
34

475,80 5,8 u/ml (Normal < 35 u/ml) setelah 4 bulan pengobatan anti tuberkulosa. Akhir-akhir ini Teruya J dkk pada tahun 2000 di Jepang menemukan peningkatan kadar CA 19-9 pada serum dan cairan asites penderita tuberculosis peritoneal dan setelah diobati selama 6 minggu dijumpai penurunan CA19-9 menjadi normal. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Rontgen : Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin dapat membantu jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar. Ultrasonografi : Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong) menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen. Abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama. Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsy secara tertutup dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosa. CT Scan : Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari tuberculosis peritoneal. Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang membandingkan tuberculosis peritoneal dengankarsinoma peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan melihat gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma. Peritonoskopi (Laparoskopi) :
35

Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan simtom sakit perut yang tak jelas penyebabnya (27,28) dan cara ini dapat mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsy yang terarah dapat dilakukukan pemeriksaan histology dan bisa menemukan adanya gambaran granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bisa ditemui BTA hampir 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah bila didapat granuloma yang lebih spesifik yaitu jika didapati granuloma dengan perkejuan. Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal : 1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul. 2. Perlengketan yang dapat berpariasi dari ahanya sederhana sampai hebat(luas) diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat ekstensif. 3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul. 4. Cairan esites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai.

Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakanalat biopsy khusus nsekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walaupun pada umumnya gambaran
36

peritonoskopi peritonitis tuberculosis dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi anatomi menyokong suatu peritonitis tuberkulosa. Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena secara tehnis dianggap mengandung bahaya dan sukar dikerjakan. Adanya jaringan perlengketan yang luas akan merupakan hambatan dankesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit di dalam rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga sulit untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik.

Pengobatan Pada dasarnya pengobatan sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obat-obat seperti streptomisin, INH, Etambutol, Ripamficin dan pirazinamid memberikan hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih. Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,namun npemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap Mikobakterium tuberculosis. Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara retrospektif terhadap pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sdakit perut dan sumbatan pada usus. Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah pengobatan terlihat bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat adanya perlengketan.

Prognosis
37

Peritonitis tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate.

BAB III KESIMPULAN

38

Di Indonesia TBC merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita TBC di dunia. Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Mengingat besarnya masalah TBC serta luasnya masalah semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TBC terutama menyerang paru-paru sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TBC dapat juga menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TBC menular melalui droplet infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat. Pada sedikit kasus, TBC juga ditularkan melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini, bakteri yang berperan adalah Mycobacterium bovis. Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal. Penyakit tuberkulosis ini dijumpai disemua bagian penjuru dunia. Dibeberapa Negara telah terjadi penurunan angka kesakitan dan kematiannya. Angka kematian berkisar dari kurang 5 - 100 kematian per 100.000 penduduk pertahun. Angka kesakitan dan kematian meningkat 100.000 penduduk. Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan Masyarakat. Di Indonesia maupun diberbagai belahan dunia. Penyakit tuberculosis merupakan penyakit menular yang kejadiannya paling tinggi dijumpai di India sebanyak 1.5 juta orang, urutan kedua dijumpai di Cina yang mencapai 2 juta orang dan Indonesia menduduki urutan ketiga dengan penderita 583.000 orang. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Pada waktu penderita batuk butir-butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk kedalam parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru. Penyakit tuberculosis dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama yaitu tuberculosis paru dimana penyakit tuberculosis ini yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Kedua yaitu tuberculosis ekstra paru dimana Tuberculosis ini adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru,, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelejar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
39

kencing, alat kelamin dan lain-lain. Di makalah ini penulis akan membahas tuberculosis ekstra paru mulai dari definisi, organ organ apa saja yang terkena dan bagaimana penanganannya. Tuberkulosis paling sering menyerang paru tapi TB juga sangat berbahaya karena dapat menyerang organ selain paru. TB bisa menclok di kelenjar getah bening, usus, tulang, otak dan selaputnya, laring, ginjal, rahim, bahkan payudara. Tuberkulosis bisa mengenai setiap organ pada tubuh manusia, walaupun sebagian besar tuberkulosis mengenai paru, tapi kejadian ekstra paru atau penyakit TB di luar paru dilaporkan mencapai 5 hingga 30 persen. Penampakan TB ekstra paru ini biasanya tidak khas, muncul perlahan dan diagnosis terkadang tidak terpikirkan dan cenderung terlambat. Ini suatu fenomena yang penting, karena akibat lambatnya diagnosis akan berakibat lambatnya pengobatan sehingga terjadi cacat atau keadaan mengancam nyawa. Dikira kista di rahim tak tahunya malah TB dirahim. Dikira rematik tak tahunya TBC tulang. Salah satu mekanisme timbulnya TB ekstra paru ini adalah reaktifasi fokus TB lama. Reaktifasi ini meningkat sejalan peningkatan kasus, seperti manula (usia lanjut), pemakaian obat imunosupresif atau steroid, malnutrisi, plavelensi AIDS dan adanya penyakit penyerta seperti liver dan ginjal. Lokasi lesi TB paru dan ekstra paru pada saat infeksi primer dipengaruhi oleh derasnya aliran darah dan tingginya tekanan oksigen seperti di apeks paru, korteks ginjal dan daerah pertumbuhan pada tulang panjang. TB ekstra paru dapat menular, tapi penularannya tidak seperti TB paru yang melalui kontak langsung lewat udara yang tercemar bakteri tuberkulosis. TB ekstra paru menular melalui darah dan cairan tubuh yang terinfeksi bakteri tuberkulosis. Biasanya penularan terjadi melalui transfusi darah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta. 1994.
2. Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku

Kedokteran. EGC. Jakarta. 2005.

40

3. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Karta. 2000.
4. Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw Hill. 2006.

5. http://id.wikipedia.org/wiki/Tuberkulosisekstraparu yang diunduh pada tanggal 30 Januari 2011.


6. http://medlinux.blogspot.com/2009/01/Tuberkulosisekstraparuperitoneal yang diunduh

pada tanggal 30 januari 2011.


7. Klasifikasi dan penanganan Tuberkulosis ekstra paru yang diunduh dalan halaman

website www.scribd.com//tuberkulosisektraparusalurankemih pada tanggal 31 januari 2011.

41

You might also like