You are on page 1of 22

TINJAUAN PUSTAKA A.

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Ada 2 golongan besar PJB, yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik (biru) yang masing-masing memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda. Angka kejadian PJB dilaporkan sekitar 810 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30 % diantaranya telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan pertama kehidupan. Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam masa bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara berkembang banyak yang baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat diperlukan pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta tindakan bedah yang diperlukan. Untuk memperbaiki pelayanan di Indonesia, selain pengadaan dana dan pusat pelayanan kardiologi anak yang adekuat, diperlukan juga kemampuan deteksi dini PJB dan pengetahuan saat rujukan yang optimal oleh para dokter umum yang pertama kali berhadapan dengan pasien1. 1. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik.Terdapat aliran pirau dari kanan ke kiri atau terdapat percampuran darah balik vena sistemik dan vena pulmonalis. Sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari tangankaki adalah penampilan utama pada golongan PJB ini dan akan terlihat bila reduce haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5 gram %. Bila dilihat dari penampilan klinisnya, secara garis besar terdapat 2 golongan PJB sianotik, yaitu (1) yang dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang, misalnya Tetralogi of Fallot (TF) dan Pulmonal Atresia (PA) dengan VSD, dan (2) yang dengan gejala aliran darah ke paru yang bertambah, misalnya Transposition of the Great Arteries (TGA) dan Common Mixing1. 2. Penyakit Jantung Bawaan Non Sianotik

Penyakit jantung bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung dan penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat jantung. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru. Yang akan dibicarakan disini hanya 2 kelompok besar PJB non sianotik; yaitu (1) PJB non sianotik dengan lesi atau lubang di jantung sehingga terdapat aliran pirau dari kiri ke kanan, misalnya ventricular septal defect (VSD), atrial septal defect (ASD) dan patent ductus arteriosus (PDA), dan (2) PJB non sianotik dengan lesi obstruktif di jantung bagian kiri atau kanan tanpa aliran pirau melalui sekat di jantung, misalnya aortic stenosis (AS), coarctatio aorta (CoA) dan pulmonary stenosis (PS)1. B. PATENT DUCTUS ARTERIOSUS Patent ductus arteriousus (PDA) adalah masalah jantung yang terjadi pada beberapa bayi setelah lahir. Pada PDA, aliran darah abnormal terjadi antara dua arteri utama yang berhubungan dengan jantung, yaitu aorta dan arteri pulmonalis. Sebelum lair, arteri tersebut dihubungkan oleh suatu vasa darah yang disebut ductus arteriosus. Vasa ini merupakan bagian penting dalam peredaran darah janin. Pada beberapa bayi, ductus arteriosus tetap terbuka (patent). Hal ini berakibat darah yang kaya oksigen dari aorta bercampur dengan darah yang miskin oksigen dari arteri pulmonalis. Hal ini dapat mengganggu jantung dan meningkatkan tekanan darah di arteri pulmonalis.2

Gambar 1. Perbandingan antara jantung normal dan jantung dengan PDA.2

PDA sering terjadi pada bayi prematur dengan berat badan lahir rendah. PDA terdapat pada sekitar 5-10% dari semua penyakit jantung bawaan. Faktor yang paling berpengaruh pada terjadinya PDA adalah pada 24-48 jam pertama setelah kelahiran. Duktus arteriosus menutup pada 10-15 jam setelah lahir, jadi pirau ini berlangsung singkat. Penutupan permanen terjadi pada usia 2-3 minggu. Menurut beberapa penelitian, infeksi prenatal juga memberi peran besar terjadinya PDA. 2,3 Faktor yang berperan dalam penutupan duktus antara lain: 1. Peningkatan tekanan oksigen arteri (PaO2) menyebabkan konstriksi duktus, sebaliknya hipoksemia akan membuat duktus melebar. Karena itulah PDA lebih banyak ditemukan pada keadaan dengan PaO2 yang rendah termasuk bayi dengan sindrom gangguan pernafasan, prematuritas, dan bayi yang lahir di dataran tinggi. 2. 3. Peningkatan kadar katekolamin (norephinefrin, epinefrin) berhubungan dengan Penurunan kadar prostaglandin berhubungan dengan penutupan duktus.3 Manifestasi klinisnya pada pemeriksaan fisis PDA tampak peningkatan aktifitas precordium, tekanan nadi melebar dengan tekanan diastolic yang rendah dan bounding pada pulsasi perifer. Bunyi jantung pada umumnya normal, kadang-kadang komponen pulmonal dari bunyi jantung ke-2 terdengar agak mengeras. Pada PDA besar dapat terdengar bunyi jantung ke-3 akibat pengisian cepat ventrikel pada saat diastolic dan dapat terdengar di daerah apeks.2 Pada bayi prematur terdengar bising sistolik pada tepi kiri sternum sela iga 2-3 dapat terdengar pada usia 24-72 jam. Bising kontinu yang biasanya terdengar pada anak biasanya tidak terdengar. Pada bayi aterm yang baru lahir dengan PDA biasanya tidak terdengar bising. Kemudian timbul bising sistolik yang secara progresif berubah menjadi bising kontinu yang khas yaitu aksentuasi ada akhir sistolik dan kontinu melewati bunyi jantung ke-2 menuju fase diastolic. Bising terdengar segera setelah bunyi jantung kedua berakhir pada akhir bunyi jantung ketiga pada fase diastolic.3 Pada bayi-bayi premature yang menderita PDA terjadi gangguan distribusi aliran darah sistemik sehingga terjadi penurunan aliran darah sistemik akibatnya organ-organ tubuh lain juga mengalami penurunan aliran darah, seperti aliran darah ke otak atau perubahan dari cerebral blood flow velocity yang akan menimbulkan perdarahan intra konstriksi duktus.

ventricular. Penurunan aliran darah ke saluran cerna dapat menimbulkan necrotizing enterocolitis.3

Gambar 2. Variasi konfigurasi PDA. Konfigurasi digambarkan di sebelah kiri dan contoh angiogram di sebelah kanan.(A) tipe conical ductus, ampula aorta dan konstriksi dekat akhir pembuluh arteri pulmonalis. (B) tipe B ductus sangat besar/ tipe window, dengan pembuluh yang pendek. (C) tipe tubular, tanpa konstriksi. (D) tipe complex ductus, yang memiliki konstriksi multiple. (E) tipe elongated ductus, dengan konstriksi jauh dari tepi anterior trachea. 3

Pemeriksaan Penunjang: 1. Elektrokardiografi Pada tahap-tahap awal gambaran elektrokardiografi pada penderita PDA tidak menunjukkan kelainan, tetapi jika PDA cukup besar pada beberapa minggu kemudian akan tampak gambaran hipertrofi ventrikel kiri dan dilatasi atrium kiri. Pada PDA besar dapat disertai gambrn hipertrofi ventrikel kanan.3 2. Radiologi Gambaran foto thoraks pada penderita PDA yang cukup besar menunjukkan pembesaran atrium dan ventrikel kiri. Tampak peningkatan corakan vascular paru. Dilatasi aorta ascenden biasanya tidak tampak pada bayi prematur dengan PDA. Pada PDA besar tampak segmen pulmonal menonjol. Bila telah terdapat penyakit vascular

paru akan tampak pembesaran ventrikel kanan dan corakan vaskuler paru menjadi menurun.3 3. Ekokardiografi Pada ekokardiografi dapat langsung menunjukkan adanya PDA. Dengan teknik Doppler dapat dilihatkan aliran yang khas pada PDA. Besarnya atrium kiri dapat dinilai dengan mengukur dimensinya dan perbandingan atrium kiri dan aorta (LA/Ao). Rasio normalnya 1,3:1.

Gambar 3. Gambaran echocardiogram pada PDA.2

Tata Laksana Patent Ductus Arteriosus.3 PDA


Neonatus/bayi Anak/ dewasa

Gagal jantung (+)

Gagal jantung (-)

Hipertensi pulmonal (+)

Hipertensi pulmonal (+)

Premature Medikamentosa Indometacin

Cukup bulan

LR

R L

medikamentosa

Hiperoksia

Berhasil

Gagal

Gagal

Berhasil

Reaktif

Non reaktif

Menutup Spontan

Operasi ligasi

Umur >12 mggu Berat >4 kg Transcatheter Closure Konservatif

C. ATRIAL SEPTAL DEFECT SECUNDUM Atrial septal defect (ASD) adalah defek pada sekat yang memisahkan antara atrium kiri dan kanan. ASD diklasifikasikan menjadi: 1. ASD Sederhana dengan defek pada septum dan disekitar fossa ovalis (dikenal sebagai ASD sekundum), defek pada tepi bawah septum (ASD primum) dan defek di sekitar muara vena cava superior (defek sinus venosus) yang sering kali disertai anomaly parsial drainase vena pulmonalis.4 2. ASD Kompleks, yang merupakan bentuk dari defek endocardial cushion yang sekarang dikenal sebagai defek septum atrioventrikularis (AVSD) atau dahulu dikenal sebagai AV canal.4

Gambar 4. Klasifikasi Atrial Septal Defect (http://www.yale.edu/imaging/chd/e_asd/index.html)

ASD merupakan kurang lebih 8% dari seluruh penyakit jantung bawaan, dan sebagian besar merupakan defek septum atrium sekundum. Prevalensi ASD pada remaja lebih tinggi dibandingkan pada masa bayi dan anak oleh karena sebagian besar penderita asimptomatik sehingga baru ditegakkan setelah anak besar dan dewasa.3 Pada ASD sekundum terdapat lubang patologis di fossa ovalis. Defek dapat berukuran kecil sampai sangat besar sehingga mencakup sebagian besar septum. Akibatnya terjadi pirau dari atrium kiri ke atrium kanan, dengan beban volume di atrium dan di ventrikel kanan. 3

Sebagian besar penderita ASD sekundum asimptomatis, terutama pada masa bayi dan anak kecil. Bila pirau cukup besar maka penderita mengalami sesak nafas dan sering mengalami infeksi paru. Gagal jantung pada masa bayi pernah dilaporkan namun sangat jarang. Tumbuh kembang biasanya normal namun bila pirau besar berat badan anak sedikit berkurang.4 Pada pemeriksaan fisik jantung biasanya normal atau hanya sedikit membesar dengan pulsasi ventrikel kanan yang teraba. Komponen aorta dan pulmonal bunyi jantung II terbelah lebar (wide split) yang tidak berubah baik pada saat inspirasi maupun ekspirasi (fixed split). Split yang lebar ini disebabkan oleh beban volume di ventrikel kanan sehingga waktu jeksi ventrikel kanan bertambah lama, sedang split yang tidak bervariasi dengan pernafasan terjadi karena pirau kiri ke kanan bervariasi sesuai dengan berubahnya alur balik ke atrium kanan.3 Bising ejeksi sistolik terdengar di daerah pulmonal akibat aliran darah berlebih melalui katup pulmonal (stenosis pulmonal relatif atau stenosis pulmonal fungsional). Aliran darah yang melintas dari atrium kiri ke kanan tidak menimbulkan bising karena perbedaan tekanan atrium kanan dan kiri kecil. Bising diastolic di daerah tricuspid (tricuspid diastolic flow murmur) dapat terdengar akibat aliran darah yang berlebihan melalui katup tricuspid pada fase pengisian cepat ventrikel kanan.3 Pemeriksaan penunjang: 1. Foto thoraks standar dapat sangat membatu diagnose ASD. Pada penderita ASD dengan pirau yang bermakna, foto thoraks AP menunjukkan atrium kanan yang menonjol, dan dengan konus pulmonalis yang menonjol. Pada foto AP biasanya tampak jantung yan hanya sedikir membesar dan vaskularisasi paru yang bertmabah sesuai dengan besarnya pirau.3 2. Elektrokardiografi Gambaran EKG menunjukkan pola RBBB pada 95% yang menunjukkan terdapatnya beban volume ventrikel kanan. Deviasi sumbu QRS ke kanan (right axix deviation) pada ASD sekundum membedakannya dengan defek primum yang memperlihatkan deviasi sumbu ke kiri (left axix deviation). Blok AV derajat I (pemanjangan interval PR) terdapat pada 10% kasus defek sekundum.3 3. Ekokardiografi

Tujuan utama ekokardiografi pada ASD adalah untuk mengevaluasi pirau dari kiri ke kanan di tiangkat atrium antara lain: a. Mengidentifikasi secara tepat defek diantara atrium b. Memvisualisasikan hubungan seluruh vena pulmonalis. c. Menyingkirkan lesi tambahan lainnya. d. Menilai ukuran ruang-ruang jantung. Pada anak yang lebih besar dilakukan pemeriksaan ekokardiografi secara transesophagus.3 Tata Laksana Defek Septum Atrium.3
ASD

Pirau kecil

Pirau besar

Observasi Gagal jantung (-)

Bayi

Anak/ dewasa

Evaluasi pada usia 5-8 th

Gagal jantung (+) Medikamentosa

HP (-)

HP (+)

PVD (-)

PVD (+) Hiperoksia

Kateterisasi Berhasil FR<1,5 FR>1,5 Umur > 1 th Berat >10kg Gagal Operasi tutup Reaktif

NonReaktif

Konservatif

Transcatheter closure (ASD secundum)/ operasi tutup ASD

Konservatif

D. KRITERIA GAGAL JANTUNG Ada empat parameter yang dapat digunakan untuk klasfikasi gagal jantung yaitu5: 1. Fungsi miokardium 2. Kapasitas fungsional; kemampuan untuk mempertahankan aktivitas harian dan kapasitas latihan maksimal.

3. Outcome fungsional (mortalitas, kebutuhan untuk transplantasi) 4. Derajat aktivasi mekanisme kompensasi (contohnya respon neurohormonal) Klasifikasi untuk anak tidak mudah dibuat karena luasnya kelompok umur dengan variasi angka normal untuk laju nafas dan laju jantung, rentang kemampuan kapasitas latihan yang lebar (mulai dari kemampuan minum ASI sampai kemampuan mengendarai sepeda), dan variasi etiologi yang berbeda pula.Ross dkk tahun 1922 mempublikasikan sistem skor untuk mengklasifikasikan gagal jantung secara klinis pada bayi. Skor Ross ini disejajarkan dengan klasifikasi New York Heart Association (NYHA) dapat memberikan gambaran yang lebih rinci oleh karena peningkatan derajat beratnya gagal jantung sesuai dengan peningkatan kadar norepinefrin plasma dan kadar ini akan menurun setelah dilakukan koreksi ataupun setelah pemberian obat anti gagal jantung5.

Untuk anak lebih dari 1 tahun sampai remaja, Reittmann dkk menganjurkan menggunakan klasifikasi lain. Dengan menggunakan skor ini bila skor lebih dari 6 mempunyai korelasi yang bermakna terhadap menurunnya aktivitas adenilat siklase5.

E. SEPSIS NEONATAL Pada tahun 1991 konsensus The American College of The Physicionsand the society of critical care medicine (ACCP/SCCM) mendefinisikan systematic inflammatory respons syndrome (SIRS) sebagai respon inflamasisistemik terhadap berbagai keadaan klinis yang merusak (trauma, luka bakar, pankreatitis dan infeksi), sedangkan sepsis adalah respons inflamasisistemik terhadap infeksi. Pendapat lain menyebutkan sepsis neonatorum sebagai syndrom klinik penyakit sistematik yang disertai bakteremia danterjadi pada bulan pertama kehidupan. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis yang disertai komplikasi disfungsi organ tunggal dan hipotensi. Syokseptik ditandai dengan sepsis berat yang membutuhkan

resusitasi cairandan dukungan inotropik. Syndrom disfungsi multi organ yaitu kegagalan multiorgan walaupun dukungan terapi telah diberikan separuhnya. Angka kejadian sepsis dinegara berkembang masih cukup tinggi (1,8 18/1000 kelahiran) dibanding dengan negara maju (1-5 pasien/ 1000 kelahiran). Di RSCM periode Januari September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dan seluruh kelahiran hidup dengan tingkat kematian sebesar 14,18 %,tingginya angka kejadian sepsis neonatorum di RSCM karena merupakan RS.Rujukan.6 Sepsis neonatorum dibedakan menjadi sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dan sepsis neonatorum awitan lambat (SWAL). Keduanya berbeda dengan patogenesis, mikroorganisme penyebab, tata laksana dan prognosis. SNAD terjadi pada usia < 72 jam, biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari ibu, baik dalam masa kehamilan maupun selama proses persalinan. SNAL terjadi pada usia > 72 jam, dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang diperoleh selama proses pasalinan tetapi manifestasinya lambat (setelah 3 hari) atau biasanya terjadi pada bayi-bayi yang dirawat di rumah sakit (Infeksi nasokomial). Perjalanan penyakit SNAD biasanya lebih berat, dan cenderung menjadi fulminan yang dapat berakhir dengan kematian. Sepsis lambat mudah menjadi berat, dan sering menjadi meningitis.7,8 1. Etiologi: Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri.8 Pada negara maju kuman yang tersering ditemukan pada infeksi awitan dini adalah kelompok kuman B Streptokokus (GBS), E-coli, Haemophilus influenzae dan Lysteria monosytogenis, sedangkan di FKUI RSCM selama tahun 2002 ditemukan berturut-turut kuman Enterobacter Sp, Acinetobader Sp dan Coli Sp. Berlainan dengan kelompok awitan dini, pada awitan lambat pola kuman yang ditemukan. biasanya terdiri dari kuman nosokomial, antara lain Staphilococus aureus, E-coli, Klebsilla, Pseudamonas, Enterobacter, Candida, GBS, Serratia, Acinetobacter, kuman anaerob dan virus herpes samplex(HSV). Penelitian yang dilakukan di FKUI RSCM memperlihatkan jenis kuman yang tidak banyak berbeda pada awitan dini dan awitan lambat, yaitu Enterabacter sp, Klebsiella sp dan Acinotobacter Sp. Hampir sebagian besar kuman penyebab dinegara berkembang adalah kuman gram negatif berupa kuman enterik, antara lain Entrobacter sp,Klebsiella sp, dan Coli sp. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah, Candida dan Stafilokokus koagulase negatif (CONS) merupakan patogen yang paling umum pada

sepsis awitan lambat.7 Streptokokus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakterial pada vagina / rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya menjalani prosedur-prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter, dan bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator. Organisme yang normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah disebut di atas. Bayi berusia 3 bulan 3 tahun beresiko mengalami bakteremia tersamar, yang bila tidak segera di rawat, kadang-kadang dapat mengarah ke sepsis. Bakteremia tersamar artinya bahwa bakteri telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas. Tanda paling umum terjadinya bakteremia tersamar adalah demam. Hampir 1/3 dari semua bayi rentang usia ini mengalami demam tanpa adanya alasan yang jelas dan penelitian menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial dalam darah. Streptokokus pneumoniae (pneumokokus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus bakteremia tersamar pada bayi berusia 3 bulan 3 tahun.6 2. Patofisiologi Sepsis merupakan akibat interaksi yang kompleks antara mikroorganisme patogen dan pejamu. Tinjauan tentang sepsis menghubungkan patofisiologi yang kompleks dalam terjadinya hipotensi dan obstruksi aliran darah karena pembentukkan mikro trombus pada sistem kapilar. Hal ini akan mengakibatkan disfungsi organ, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ dan akhirnya kematian. Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekuler dan seluler untuk menimbulkan respon sepsis berbeda tergantung mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapan-tahapan pada respon sepsis adalah sama dan tidak tergantung faktor penyebab. Respon inflamasi terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding sel yang dilepas pada saat lisis. Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respon inflamasi dengan melepaskan eksotoksin, super antigen dan komponen antigen sel. Cascade sepsis akan terpicu oleh mikroorganisme tersebut di atas, yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi primer. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel sebagai hasil dari aktifasi makrofag. Pelepasan mediator

ini menyebabkan aktifasi sistem koagulasi dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktifasi tersebut terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi lekosit dan pembentukkan mikrotrombin. Aktifasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul anti trombotik. Manifestasi klinis cascade sepsis ini adalah kebocoran kapiler dan vasodilatasi pembuluh darah yang selanjutnya akan menimbulkan disfungsi organ dan syok. Bila syok, kebocoran kapiler dan vasodilatasi tidak dapat diatasi, maka akan terjadi disfungsi multi organ dan akhirnya kematian. Sebelumnya sepsis dianggap sebagai kelainan inflamasi saja.9 Penelitian terkini menunjukkan bahwa mekanisme sepsis juga mencakup aktivasi koagulasi dan gangguan fibrinologis sehingga tercipta suatu keadaan protrombotik. Hasil akhir dari keadaan ini adalah gangguan fungsi multi organ. Mediator inflamasi primer mengaktivasi neutrofil untuk melekat pada sel endotel, aktivasi trombosit, metabolisme asam arakidonat, dan mengaktivasi sel T untuk memproduksi IFN-, IL-2, IL-4 dan granulocyte macrophage coloni stimulating factor (GMCSF). Agen lain sebagai bagian kaskade sepsis adalah molekul adhesi, kinin, trombin, myocardial depressant substance, beta endorphin, and heat shock protein. Molekul adhesi dan trombin dapat membantu kerusakan endotel, sedangkan IL-4, IL-8, dan heat shock protein dapat melindungi terhadap kerusakan. Sel endotel yang cedera dapat menyebabkan granulosit dan konstituen plasma memasuki jaringan inflamasi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Inflamasi sel endotel menyebabkan vasodilatasi melalui kerja nitric oxide pada otot polos pembuluh darah. Hipotensi berat terjadi akibat produksi nitric oxide yang berlebihan, pelepasan peptida vasoaktif seperti bradikinin, serotonin, dan ekstravasasi cairan ke ruang interstisial akibat kerusakan sel endotel.9 Respons inflamasi sebetulnya bertujuan meningkatkan respons imun untuk mengeliminasi mikro-orgamsme atau produk mikro-organisme tersebut. Bila eliminasi tersebut tidak berhasil, maka inflamasi dapat meluas dan berlebihan sehingga terjadi kerusakan jaringan, gangguan mekanisme koagulasi, renjatan, dan lain-lain. Sebagai respons terhadap mediator proinflamasi, terjadi produksi sitokin anti inflamasi. Dalam

keadaan normal terdapat keseimbangan antara proinflamasi dan anti inflamasi. Beberapa sitokin anti inflamasi IL-4, IL-10 dan IL-13 menghambat produksi sitokin dari leukosit. IL-4 dan IL-10 dapat menghentikan produksi monosit/makrofag yaitu TNF-a, IL-1, IL-6 dan IL-8. IL-1 receptor antagonist (IL-lra) merupakan sitokin antagonis terlarut, menghambat aktivitas IL-1 dengan mengikat reseptor IL-1. Reseptor TNF terlarut (sTNFr) merupakan reseptor yang terdapat di sirkulasi, terikat erat pada sel pejamu, berperan sebagai antagonis TNF. Pemberian IL-10 juga melemahkan produksi TNFa dan menurunkan kematian, sedangkan anti IL-10 dihubungkan dengan mortalitas yang meningkat pada hewan yang terkena sepsis. Sitokin proinflamasi mengaktivasi jalur klasik dan alternatif sistem komplemen. Sistem komplemen merupakan komponen utama innate immunity. Meskipun demikian bila terjadi overaktivasi akan menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan produk komplemen lain akan menimbulkan kemotaksis neutrofil, fagositosis dengan pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, peningkatan agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi dan produksi oksigen radikal toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari sel mast dan peningkatan permeabilitas kapiler, menyebabkan perembesan cairan ke ruang interstisial. Pada model binatang, C5a menyebabkan hipotensi, vasokonstriksi pembuluh darah paru, neutropenia dan kebocoran vaskular disebabkan oleh kerusakan endotel. Trombosit juga terlibat dalam kaskade sepsis, walaupun buktinya belum jelas. Trombosit dapat menyebabkan kerusakan endotel melalui 2 cara, yaitu: menginduksi vasokonstriksi dan stimulasi neutrofil. Turunan trombosit, transforming growth factor bl juga terlibat.9 3. Diagnosis Sepsis dikemukakan sebelumnya, dalam konsep baru Cascade infeksi, diagnosis sepsis neonatus ditetapkan apabila terdapat SIRS yang disertaideteksi baik tersangka infeksi ataupun terbukti infeksi. Tersangka infeksi bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain). Sedang terbukti (suspected infection) infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab. Selain masalah identifikasi kuman/diagnosis klinis sepsis neotarum mempunyai masalah tersendiri. Gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik. Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis) , gambaran

klinis, dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu dengan tempat yang lain.6 Faktor resiko Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor ibu, bayi dan lain-lain. Faktor resiko ibu: a. Ketuban pecah din dan ketuban pecah > 18 jam. Bila ketuban pecah >24 jam maka kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1 % dan biladisertai korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali. b. Infeksi dan demam (> dari 38 0C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh streptokokus group B (GBS), kolonisasi perineal oleh E.coli, dan komplikasi obstetrik lainnya. c. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau. d. Kehamilan multiple. e. Keputihan yang tidak diobati. f. Infeksi saluran kemih (ISK) yang tidak diobati. g. Leukositosis ibu > 18.000/ml.6 Faktor resiko bayi: a. Prematuritas dan berat lahr rendah. b. Resusitasi pada soal kelahiran misalnya pada bayi yang mengalami fetal distres dan trauma pada proses persalinan. c. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan. d. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun atau asplenia. e. Asfiksia neonatorum. f. Cacat bawaan. g. Tanpa rawat gabung. h. Pemberian nutrisi parenteral. i. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.6 4. Gambaran klinis.

Tanda dan gejala sepsis neonatorum tidak spesifik dengan diagnosis banding yang luas termasuk gangguan nafas, penyakit metabolik,penyakit hematologik, penyakit sistem saraf pusat, penyakit jantung dan proses penyakit infeksi lainnya.8 Pelepasan dini mediator inflamasi menyebabkan demam, takikardi, takipnu dan vasodilatasi

(menimbulkan kulit yang hangat). Jika respon tersebut tidak dikontrol dengan baik, akan menyebabkan hipoperfusi,somnolen dan penurunan jumlah urin. Tanda awal mungkin terbatas pada hanya satu sistem seperti apnea, takipnea dengan retraksi, atau tatikardia, namun pemeriksaan laboratorium dan klinis secara menyeluruh biasanya akan mengungkapkan kelainan lainnya. Manifestasi klinis sepsis neonatorum antara lain :

Manifestasi akhir spesis meliputi tanda-tanda edema serebral dan atau trombosis, gagal nafas, sebagai akibat sindrom distres respirasi didapat(ARDS) hipertensi pulmonal, gagal jantung, gagal ginjal. Penyakit-penyakit hepotoseluler dengan hiperbilirubinemia dan peningkatan enzim waktuprotombin (protombin time) dan waktu trombaplostin parsial (partial tombroplostin time (PTT)) yang menunjang syok septik pendarahan adrenal disertai infusiensi adrenal, kegagalan sumsum tulang, (trombositopenia/neutropenia, anemia) dan koagulasi intravaskuler diseminata (diseminated introvascular coagulation- DIC).9 Kriteria Diagnosis Sepsis pada Neonatus: Variabel Klinis o Suhu tubuh yang tidak stabil o Laju nadi > 180 x/mnt atau < 100 x/mnt o Laju nafas > 60 x/mnt dengan retraksi/desaturasi oksigen o Letargi o Intoleransi glukosa (plama glukosa > 10 mmd/L) o Intoleransi minum Variabel Hemodinamik o Tekanan darah < 2SD menurut usia bayi o Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)

o Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan) Variabel perfusi jaringan o Pengisian kembali kapiler/capilary refill > 3 detik o Asam laktat plasma > 3 mmol/L Variabel inflamasi o o o o o o o Leukositosis (> 34.000 /ml) Leukopenia (< 5000/ml) Imatur neotrofil : total neutrofil (IT) ratio > 0,2 Trombositopenia < 100.000/ml CRP > 10/dl atau > 2 SD atas nilai normal IL -6 atau IL -8 > 70 mg/ml 16 sPCR positif

Pemeriksaaan penunjang Evaluasi laboratorium dapat membantu diagnosis dan konfirmasi sepsis. Kultur darah yang positif, cairan serebrospinal atau urin adalah baku emas sepsis. Namun kadangkala hasil kultur pada neonatus pada resiko tinggi dapat dipengaruhi oleh paparan antibiotik sebelumnya. Kultur urin dilakukan jika terdapat kekurangan sepsis awitan lambat. Pemeriksaan laboratorium Bukti adanya infeksi: o Biakan dari tempat yang secara normal steril ( darah, CSS dll) o Ditemukan adanya mikroorganisme dalam jaringan atau cairan o Deteksi antigen ( urin, CSS) o Serologi ibu / neonatus ( sifilis, toksoplasmosis) o Autopsi Bukti adanya radang : o Leukositosis, rasio neutrofil imatur/ total meningkat o Reaktan fase akut : PRC, LED o Sitokin = IL-6 o Pleositosis dalam CSS, sinovia, cairan pleura o Koagulasi intravaskular tersebar, produk pecahan fibrin Bukti adanya penyakit sistem multiorgan :

o Asidosis metabolik : PH , PCO2 o Fungsi paru : PO2, PCO2 o Fungsi ginjal : BUN , kreatinin o Fungsi hati : bilirubin, SGOT, SGPT, amonia, PT,PTT o Fungsi sumsum tulang ; neutropenia, anemia, trombositopenia Petanda diagnosis yang ideal memiliki kriteria yaitu nilai cutoff tepat yang optimal, nilai diagnostik yang baik yaitu sensitivitas mendekati 100%, spesifitas >85%, positive probable value (PPV) >85%, negative probable value (NPV) mendekati 100% dan dapat mendeteksi infeksi pada tahap awal. Petanda hematologik yang digunakan adalah hitung sel darah putih total, hitung neutropil, neutropil imatur, rasio neutropil imatur dengan neutropil total (IT), micro erytrocyte sedimentation rate (ESR), dan hitung trombosit. Tes laboratorium yang dikerjakan adalah CRP, prokalsitonin,sitokin IL6, GCSF, tes cepat (rapid test), untuk deteksi antigen dan panel skrining sepsis.9 Komponen untuk skrining sepsis yang dihubungkan dengan sensitivitas dan spasifitas:

Saat ini kombinasi yang petanda terbaik untuk mendiagnosa sepsis adalah sebagai berikut : IL6 dan IL1ra untuk 1-2 hari setelah muncul gejala ;IL6 (atau IL1ra, IL8, GCSF, TNF, CRP, dan hematological indecis pada hari ke 0 ); CRP, IL6 (atau GCSF dan hematological indices pada hari ke1) ; dan CRP pada hari berikutnya untuk memonitor respon terhadap terapi. Penggunaan CRP dan IL6 secara simultan memiliki sensitivitas. 100% karena peningkatan CRP plasma terjadi pada 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL6 telah menurun.6 Tata laksana: 1. Pengendalian infeksi

Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini : Pada bayi dengan SAD terapi empirik harus meliputi SGB, E, coli, listeria monocytogenes, kombinasi penisilin/ampisilin dengan aminoglikosida umunya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD. Infeksi listeria dapat diobati dengan ampisislin saja, untuk infeksi SGB dan sebagian besar kuman anaerob dengan penisilin. Meskipun demikian terapi kombinasi penisilin/ampisilin dan aminoglikosida sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.6 Pemilihan antibiotik sepsis awitan lambat : kombinasi penisilin / ampisislin dan aminoglikosida dapat juaga digunakan untuk terapi awal SAL. Infeksi nosokomial lebih disukai netilmisin/amikasin. Pada kasus dengan resiko pseudomonas (terdapat lesi kulit topikal) dapat diberikan piperasilin dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Infeksi bakteri negatif gram dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin (ampisilin, atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida., sefalosporin generasi ke 3 dikombinasi dengan aminoglikosida. Antibiotik baru untuk kuman gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain, adalah imipenem/meropenem, karbapenem, aztreonam dan isepremisin.6 Staphylococci sensitive terhadap antibiotic golongan penisilin resisten penisilinase (misal : oksasiklin, nafsilin, dan metilsilin ). Strain resisten yaitu CONS ( Staphylococcus koagulase negatif ) sensitive terhadap vankomisin, kombinasi vankomisin dan aminoglikosida menghasilkan efek bakterisidal yang lebih baik untuk infeksi jamur dapat dipakai = amfoterisin B ( liposomal), pilihan lain yaitu fluconazole. Bila sudah terjadi komplikasi meningitis enteric gram negatif, obat yang saat ini paling baik adalah cefotaxime, oleh karena bakteridalnya tinggi dan toksisitasnya rendah.7 Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tata laksana utama pengobatan sepsis neonatorum berbagai upaya pengobatan tambahan banyak dilakukan dalam upaya memperbaiki mortalitas bayi. Pengobatan tambahan / terapi inkonvensional semacam ini selain mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertahanan tubuh neonatus. Juga dalam mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit dan cascade inflamasi pasien sepsis neonatorum.6

2. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan.10 3. Pengobatan komplikasi Pernafasan : kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, pemberian oksigen, atau kemudian dengan ventilator. mencegah syok dengan pemberian volume expander 10-20 ml/kgBB ( NaCl 0,9%, albumin dan darah). Catatan pemasukan cairan dan pengeluaran urin. Kadang diperlukan pemakaian dopamine atau dobutamin. Hematologi : untuk DIC ( trombositopeni, protrombin time mamanjang, tromboplastin meningkat), sebaiknya diberikan FFP 10 ml/KgBB, vit K, suspensi trombosit, dan kemungkinan transfuse tukar. Apabila terjadi neutropeni, diberikan trasfusi neutrofil. Susunan syaraf pusat : bila kejang beri fenobarbital ( 20 mg/KgBB loading dose) dan monitor timbulnya syndrome inapropiate hiponatremia hormone (SIADH), ditandai dengan ekskresi air turun, hiponatremia, osmolaritas serum turun, naiknya berat jenis urin dan osmolaritas. Metabolic : monitor dan terapi hipo dan hiperglikemia. Koreksi asidosis metabolic dengan bikarbonat dan cairan.8 4. Kortikosteroid Pada awalnya pasien sepsis diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi untuk mengatasi reaksi inflamasi akibat infeksi, akan tetapi hal ini tidak di anjurkan lagi karena terbukti tidak membawa perbaikan. Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi adrenal. Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok septic karena terbukti memperbaiki respons terhadap katekolamin dan meningkatkan survival.6 5. Pemberian Imunoglobulin secara Intravena ( IVIG) Pemberian IVIG dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan antibody tubuh serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah putih. Manfaat pemberian IVIG sebagaitata laksana tambahan masih bersifat kontroversi. Dilaporkan bahwa IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis sepsis neonatorum ( khususnya pada baya BBLR ) dibanding bila dipakai sebagai terapi standar sepsis.6

DAFTAR PUSTAKA

1. Roebiono,

P. 2010. Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan.

http://staff.ui.ac.id/internal/140080169/material/DIAGNOSISDANTATALAKSANAPJB2.pdf.
2. National Heart Lung and Blood Institute. 2012. What Is Patent Ductus Arteriosus. http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/pda/ (7 Februari 2012). 3. Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. 2005. Penanganan Penyakit Jantung Pada

Bayi Dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, UKK. Kardiologi, IDAI.
4. Sastroasmoro S. 1998. Dasar Diagnosa dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan.

Jakarta: Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia.


5. Nur

Ilhaini

Sucipto.

2011.

Gagal

Jantung

Pada

Anak.

http://nurilhainisucipto.blogspot.com/2011/01/gagal-jantung-pada-anak.html (7 Februari 2012).


6. Hegar B. Tribowo P, Irfan, Bermansah E. 2000. Update in Neonatal Infections.

Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM ; Jakarta : 1- 127.


7. Markum A.H. Prematuritas dan Retardasi Pertumbuhan Intrauterine. Dalam: Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid I, cet.3, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996; 221-36.
8. EMedicine. 2012. Sepsis Neonatal. Diunduh dari http://www.emedicine.medscape.com

(7 Februari 2012).
9. Behrman, Kliegman, Arvin. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Nelson textbook of

Pediatrics. edisi,15. Penerbit EGC ; Jakarta 2000 : 653655.


10.

Sumarmo,Gama Herry, Hadinegoro Sri Rezeki. Sepsis dan syok septic.Buku

ajar ilmu kesehtran anak . infeksi dan penyakit tropic. Ikatan dokter anak Indonesia, Jakarta 2002 : 391-398

You might also like