You are on page 1of 31

B. Pembaharuan Islam di Mesir 1.

Latar Belakang Sejarah Pembaharuan di Mesir Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibu kotanya merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir. Kerajaan Romawi Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat pengembangan Islam yang keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan Kholifah Umar Bin Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur merupakan target pengembangan misi keislaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi tidak dapat menghambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam sebagai agama baru memberikan keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu tidak diperoleh dari pemerintahan Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi yang labil karena berkembangnya konflik keagamaan. Mesir menjadi wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada 640 M, Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang kemudian ia dijadikan gubernur di sana. Kemudian diganti oleh Abdullah Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut konflik yang menjadi salah satu sebab terbunuhnya Usman ra. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah ( sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani.[8] Segera setelah Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan mengambil peranan yang sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang dilakoninya pada masa yang lalu, misalnya : a. Menjadi sentral pengembangan Islam di wilayah Afrika, bahkan menjadi batu loncatan pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar (Aljajair dan Tunisia). b. Menjadi kekuatan Islam di Afrika, kakuatan militer dan ekonomi. c. Pengembangan Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada masa Nabi Musa yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian. d. Menjadi wilayah penentu dalam pergulatan perpolitikan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah dengan tergusurnya Ali Bin Abi Thalib dalam peristiwa Majlis Tahkim. Bagaiamanapun Mesir adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran politik dan kesejarahan. Bagaimana tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk selalu dapat berperan dan memberikan sumbangan terhadap perjalanan sejarah Islam itu sendiri. Dari segi ekonomi dan politik, ia memberikan sumbangan yang cukup besar terutama sektor perdagangan dan pelabuhan Iskandariyah yang memang sejak kerajaan Romawi Timur merupakan pelabuhan yang ramai. Sedangkan dari segi pembangunan hukum Islam, Mesir merupakan daerah yang ikut melahirkan

bentuk dan aliran hukum Islam terutama dengan kehadiran Imam Syafii, yang hukum-hukumnya sangat kita kenal. Setelah kehancurn kerajaan Islam di Bagdad, Mesir tampil dengan format perpolitikan yang baru, yang berkembang bersama kerajaan Daulat Fatimiyah. Kerajaan Daulat Bani Fathimiyah adalah salah satu dari tiga kerajaan besar Islam, yaitu Daulat Safawiyah di Parsi dan Kerajaan Moghul di India, pasca kejayaan Islam pada masa Daulat Bani Abasiyah di Bagdad dan Bani Umaiyah di Spanyol. Kehadiran Mesir bersama Daulat Bani Fathimiyah yang didirikan oleh aliran/sekte Syiah (kerajaan Syiah) telah memberikan isyarat adanya kekuatan Islam di saat Islam mengalami kemunduran. Statemen tersebut bukanlah sebuah apologi, karena bukti-bukti eksistensi kerajaan tersebut sampai saat ini masih dapat kita jumpai, misalnya berdirinya Universitas Al-Azhar yang didirikan oleh Nizamul Mulk sebagai pusat kajian keilmuan Islam. Ketika melacak sejarah Mesir, akan lebih menarik dari munculnya (kekhalifahan) dinasti Fatimiyah yang membangun Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam besar tertua yang dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-klasik sampai modern, yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme. Setelah Dinasti Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk sampai tahun 1517 M, mereka inilah yang sanggup membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang membendung kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk. Dengan demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran dari pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam yang lain. Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh pemerintahan Utsmani di Istanbul. Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia. Pada tanggal 2 Juni 1798 M, ekspedisi Napoleon mendarat di Alexandria ( Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk dan berhasil menguasai Kairo. Setelah ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah ketika bertempur melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan datanglah pasukan Sultan Salim III ( Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam rangka mengusir Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah Muhammad Ali yang kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani.[9]

Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam, khususnya di Mesir yang menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping membawa pasukan yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian.[10] Harun Nasution menggambarkan ketika Napoleon datang ke Mesir tidak hanya membawa tentara, akan tetapi terdapat 500 orang sipil 500 orang wanita. Diantara jumlah tersebut terdapat 167 orang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan membawa 2 unit percetakan dengan huruf Latin, Arab dan Yunani, tujuannya untuk kepentingan ilmiah yang pada akhirnya dibentuk sebuah lembaga ilmiah dinamai Institut dEgypte terdiri dari ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi politik, dan sastera seni. Lembaga ini boleh dikunjungi terutama oleh para ulama dengan harapan akan menambah pengetahuan tentang Mesir dan mulailah terjadi kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka.[11] Alat percetakan yang dibawa Napoleon tersebut menjadi perusahaan percetakan Balaq, perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang. Sedangkan peralatan modern pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Prancis merupakan hal yang asing dan menakjubkan bagi orang Mesir pada saat itu. Abdurrahman al-Jabarti, ulama al-Azhar dan penulis sejarah, pada tahun 1799 berkunjung ke Institut dEgypte; sebuah lembaga riset yang didirikan oleh Napoleon di Mesir. Ketika kembali dari kunjungan itu, al-Jabarti berkata, saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada kita, ungkapan al-Jabarti itu merefleksikan kemunduran Islam berhadapan dengan Barat, dan menunjukkan aktivitas ilmiah mengalami kemunduran umat Islam ketika itu.[12] Di samping kemajuan teknologi yang dibawa Napoleon, ia juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan Revolusi Prancis seperti: 1) Sitem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan raja absolut yang menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh anaknya, serta tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena keduanya tidak ada. 2) Ide persamaan ( egaliter) dalam arti sama kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal pemerintahan, cara mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari Kairo dan daerah-daerah lain. 3) Ide kebangsaan dengan menyebutkan orang Prancis merupakan suatu bangsa (nastion) dan kaum Mamluk merupakan orang asing yang datang ke Mesir walaupun beragama Islam. Pada saat itu yang ada hanya umat Islam dan tidak sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.[13] Menurut Philip K. Hitti, Napoleon Bonaparte mendarat di Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan menghukum kaum Mamluk yang dituduh dalam pidato kedatangannya dalam bahasa Arab sebagai muslim yang tidak baik, tidak seperti dirinya dan orang Prancis untuk mengembalikan kekuasaan Porte. Tujuan utamanya melancarkan serangan hebat kepada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah Timur, sehinga ia memiliki daya tawar untuk

menguasai dunia. Akan tetapi penghancuran arnada Prancis di Teuluk Aboukir ( 1 Agustus 1798 ), tertahannya ekspedisi di Akka ( 1799) serta kekalahan pertempuran Iskandariyah ( 21 Maret 1801) mengagalkan ambisi Napoleon di Timur.[14] Diantara keberhasilan yang telah dicapai oleh orang sipil Prancis di Mesir sebagai berikut: a. Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya berlibat ganda. b. Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta Stone. c. Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan yang kepala negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal ini tentu saja sulit diterima oleh para menguasa pada saat itu.[15] Hal inilah yang membuka mata para pemikir-pemikir Islam untuk melakukan perubahan meninggalkan keterbelakangan menuju modernisasi di berbagai bidang khususnya bidang pendidikan. Upaya pembaharuan dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, kemudian diikuti oleh pemikir-pemikir lainnya. Sementara yang sedang terjadi dan berkembang di Mesir pada saat itu antara lain dalam bidang pendidikan sangat doktrinal, metode penguasaan ilmu menghafal di luar kepala tanpa ada pengkajian dan telaah pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan sedemikian rupa ke kepala murid dan mahasiswa. Para murid dan mahasiswa tinggal menerima apa adanya. Diskusi dan dialog menjadi barang langka dalam pengkajian keislaman. Selain itu filsafat dan logika dianggap tabu sebagai mata kuliah di perguruan tinggi dan madrasah. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa jenuh dengan cara menerima ilmu dengan metode menghafal luar kepala.[16] Belum lagi realitas sosial keagamaan secara umum yaitu berkembangnya pengaruh paham keagamaan dalam tarikat yang membuat iklim Islam makin terorientasi kepada akhirat. Zuhud ekstrem dari metode tarikat membuat ummat Islam lebih berusaha mengurusi alam ghaib, ketimbang dunia realitas. Pelarian kepada dunia akhirat membuat umat Islam tidak mempunyai semangat perjuangan melawan dominasi kezaliman disekitarnya, termasuk kezaliman penguasa. Guru-guru tarikat akhirnya menjadi top figur dalam kepemimpinan agama. Setelah meninggal dunia pun kuburan para syaikh tarikat ini masih dimuliakan dan dianggap sebagai wali yang selalu diziarahi. Namun ummat Islam yang menziarahi itu tidak benar-benar menginsyaratkan kepada akhirat, tapi hanya meminta berkah dan mengais keberuntungan material terhadap makna kekeramatan yang dihajatkan mereka. Pada klimaksnya, timbullah pengkultusan individu berlebihan yang membuat seseorang akan mudah terpuruk kepada perilaku musyrik. Karena mereka lebih mengutamakan meminta kepada para wali yang ada di dalam kubur sehingga mengabaikan berdoa langsung kepada-Nya. Kondisi sosial keagamaan juga demikian, sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya lebih mementingkan tindakan individual. Ukhuwah Islamiyah yang menekankan kepada kebersamaan, persatuan, dinamisme hidup, rasionalitas berpikir dalam lapangan keagamaan, dan sebagainya telah hilang dikalangan umat Islam. Termasuk di kalangan Universitas Al-Azhar sendiri, yang digambarkan oleh Muhammad Abduh sudah kehilangan roh intelektual dan jihad keagamaan yang berpijak kepada kebenaran Al-Quran

dan Sunnah Nabi.[17] Pembaharuan Islam di Mesir menurut John L. Esposito dilatarbelakangi oleh ortodoksi sunni yang mengalami proses kristalisasi setelah bergulat dengan aliran muktazilah, aliran syiah dan kelompok khawarij yang kemudian disusul dengan sufisme yang pada tahapan selanjutnya mengalami degenerasi. Degenerasi dan dekadensi aqidah dan politik nepotisme dan absolutis yang bertentangan semangat egaliterianisme yang diajarkan Islam setelah merajalelanya bidah, kurafat, fabrikasi dan supertisi di kalangan umat Islam dan membuat buta terhadap ajaran-ajaran Islam yang orisinal. Maka tampilah pada abad peralihan 13 ke-14 seorang tokoh Ibnu Taimiyah yang melakukan kritik tajam sebagai reformis ( Tajdid) dengan seruannya agar umat Islam kembali kepada Al-Quran, Sunnah serta memahami kembali ijtihad.[18] Lebih jauh Muhamamd Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan salah satu pendorong mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak begitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.[19] Al-Azhar yang selama ini berkembang menjadi simbol kajian keilmuan, juga terjangkit penyakit kejumudan dengan hanya mengajarkan ilmu agama dan melarang segala bentuk kajian keilmuan yang berangkat dari sisi rasionalitas, sistematik dan ilmiyah. Keterbukaan dalam melakukan pemikiran keislaman dan pendidikan dengan orientasi pada sikap rasionalitas merupakan barang baru, yang sama sekali tidak berkembang di kalangan umat Islam Mesir, dan tawaran-tawaran semacam itu akan menimbulkan reaksi yang keras, yang berkembang dari mereka yang tidak mau menggunakan rasionalitas dan pembahasan sistematis terhadap ajaran Islam. Hal tersebut sangat wajar karena umat Islam telah jatuh pada sikap kehangatan sufisme dan mistisisme. Kehadiran Napoleon ini sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan pengajaran Barat, yang sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola pemikiran umat Islam, dan ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat pengkajian dan pembaharuan dalam Islam. Maka pada tahap perkembangannya pola pembaharuan Islam Kontemporer di Mesir lebih mengarah kepada hal-hal berikut: Pertama, pembaharuan sistem berfikir artinya tata cara berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir tradisional yang dogmatik.Kedua, upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan melakukan aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi dan hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam percaturan dunia. 2. Tokoh-Tokoh Pembaharuan di Mesir dan pemikirannya Tokoh-tokoh pembaharuan dalam Islam di Mesir antara lain: Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida dan murid serta pengikut Muhammad Abduh seperti Muhammad Farid Wajdi, Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Saad Zaghlul, Ahmad Lutfi al-Sayid, Ali Abdul Raziq dan Taha Husain. a. Muhammad Ali Pasya Muhammad Ali, adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Orang tuanya bekerja sebagai seorang penjual rokok, dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tidak memperoleh kesempatan untuk masuk

sekolah dengan demikian dia tidak pandai membaca maupun menulis. Meskipun ia tak pandai membaca atau menulis, namun ia adalah seorang anak yang cerdas dan pemberani, hal itu terlihat dalam karirnya baik dalam bidang militer ataupun sipil yang selalu sukses.[20] Setelah dewasa, Muhammad Ali Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan karena ia rajin bekerja jadilah ia disenangi Gubernur dan akhirnya menjadi menantu Gubernur. Setelah kawin ia diterima menjadi anggota militer, karena keberanian dan kecakapan menjalankan tugas, ia diangkat menjadi Perwira. Pada waktu penyerangan Napoleon ke Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan tentara ke Mesir, diantaranya adalah Muhammad Ali Pasya, bahkan dia ikut bertempur melawan Napoleon pada tahun 1801.[21] Rakyat Mesir melihat kesuksesan Muhammad Ali dalam pembebasan mesir dari tentara Napoleon, maka rakyat mesir mengangkat Muhammad Ali sebagai wali mesir dan mengharapkan Sultan di Turki merestuinya. Pengakuan Sultan Turki atas usul rakyatnya tersebut baru mendapat persetujuannya dua tahun kemudian, setelah Turki dapat mematahkan intervensi Inggris di Mesir. Setelah ekspedisi Napoleon Bonaparte, muncul dua kekuatan besar di Mesir yakni kubu Khursyid Pasya dan kubu Mamluk. Muhammad Ali mengadu domba kedua kubu tersebut, dan akhirnya berhasil menguasai Mesir. Rakyat semakin simpati dan mengangkatnya sebagai wali di Mesir.[22] Posisi inilah kemudian memungkinkan beliau melakukan perubahan yang berguna bagi masyarakat Mesir. Setelah Muhammad Ali mendapat kepercayaan rakyat dan pemerintah pusat Turki, ia menumpas musuh-musuhnya terutama golongan Mamluk yang masih berkuasa di daerah-daerah, akhirnya Mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, akan tetapi lama kelamaan ia asyik dengan kekuasaannya, akhirnya ia bertindak sebagai diktator. Pada waktu Muhammad Ali meminta kepada Sultan agar Syiria diserahkan kepadanya, Sultan tidak mengabulkannya. Muhammad Ali Pasya marah dan menyerang serta menguasai Syiria bahkan serangan sampai ke Turki. Muhammad Ali dan keturunannya menjadi raja di Mesir lebih dari satu setengah abad lamanya memegang kekuasaan di Mesir. Terakhir adalah Raja Farouk yang telah digulingkan oleh para jenderalnya pada tahun 1953. Dengan demikian berakhirlah keturunan Muhammad Ali di Mesir.[23] Salah satu bidang yang menjadi sentral pembaruannya adalah bidang-bidang militer dan bidangbidang yang bersangkutan dengan bidang militer, termasuk pendidikan. Kemajuan di bidang ini tidak mungkin dicapai tanpa dukungan ilmu pengetahuan modern.[24] Atas dasar inilah sehingga perhatian di bidang pendidikan mendapat prioritas utama. Sungguhpun Muhammad Ali Pasya tidak pandai baca tulis, tetapi ia memahami betapa pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan suatu negara. Ini terbukti dengan Muhammad Ali Pasya berpendapat bahwa kekuasaan dapat dipertahankan hanya dengan dukungan militer yang kuat yang dibentuk melalui ekonomi dan pendidikan. Maka pembangunan pendidikan, ekonomi dan militer segera dilakukan demi kelanggengan kekuasaannya di Mesir. Modernisasi yang dilakukannya antara lain: mengirim mahasiswa ke Prancis, mendatangkan dosen dari Prancis, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu militer, kesehatan, ekonomi dan penerjemahan.[26] Philip K. Hitti menuliskan berdasarkan catatan sejarah yang ditemukannya antara tahun 1813

sampai 1849, Muhammad Ali Pasya telah mengirimkan 311 mahasiswa yang belajar di Italia, Prancis, Inggris, Austria atas biaya pemerintah yang mencapai E. 273.360. Subjek yang dipelajari antara lain militer dan angkatan laut, teknik mesin, kedokteran, farmasi, kesenian dan kerajinan dan bahasa Prancis mempunyai kedudukan khusus dalam kurikulum di Mesir.[27] Harun Nasution menyimpulkan modernisasi di Mesir pada masa Muhammad Ali Pasya sebenarnya pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian untuk memperkuat kedudukannya, ia tidak ingin orang-orang yang dikirimnya tidak boleh lebih dalam menyelami ilmunya, sehingga mahasiswa berada dalam pengawasan yang ketat.[28] Selain mendirikan sekolah beliau juga mengirim pelajar-pelajar ke Eropa terutama ke Paris + 300 orang. Setelah itu mereka kembali ke Mesir diberi tugas menerjemahkan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Arab, dan mengajar di sekolah-sekolah yang ada di Mesir.[29] Philip K. Hitty mengemukakan bahwa Muhammad Ali Pasya tidak hanya menerapkan corak dan model pendidikan Barat, tapi juga mempercayakan pendidikan kepada orang Barat, bahkan gurunya kebanyakan didatangkan dari Eropa.[30] Keberhasilan di bidang militer telah merubah Mesir menjadi negara modern yang kekuatannya mampu menandingi kekuatan militer Kerajaan Usmani, serta bermunculanlah para tokoh intelektual di Mesir yang kelak melanjutkan gagasan-gagasan beliau khususnya dalam bidang pendidikan. Hal-hal ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali sebenarnya, pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu hal-hal yang akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya, dan oleh karena itu mahasiswa-mahasiswa itu berada dibawah pengawasan yang ketat.[31] Mereka tak diberi kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi, dengan mengetahui bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis dan dengan membaca buku-buku Barat seperti karangan-karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu dan lain-lain, timbullah ide-ide baru mengenai demokrasi, parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan republik, konstitusi, kemerdekaan berfikir dan sebagainya. Pada mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilmu-ilmu baru ini hanya terbatas bagi orang-orang yang telah ke Eropa dan yang telah tahu bahasa Barat. Kemudian faham-faham ini mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat, pada permulaannya dengan perantaraan kontak mereka dengan mahasiswa-mahasiswa yang kembali dari Eropa dan kemudian dengan adanya terjemahan buku-buku Barat itu kedalam bahasa Arab. Yang penting diantara bagianbagian tersebut bagi perkembangan ide-ide Barat ialah bagian Sastra. Di tahun 1841, diterjemahkan buku mengenai sejarah Raja-raja Prancis yang antara lain mengandung keterangan tentang Revolusi Prancis. Satu buku yang serupa diterjemahkan lagi tahun 1847.[32] Sepintas pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali hanya bersifat keduniaan saja, namun dengan terangkatnya kehidupan dunia umat Islam sekaligus terangkat pula derajat keagamaannya. Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali merupakan landasan pemikiran dan pembaharuan selanjutnya. Pembaharuan Muhammad Ali dilanjutkan oleh Tahtawi, Jamaludin AlAfghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan murid-murid Muhammad Abduh lainnya. b. Al-Tahtawi

Thahthawi dilahirkan di Thahta, sebuah kota kecil di Mesir, tiga tahun setelah Napoleon menginjakkan kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu, mempelajari ilmu-ilmu agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa silam. Ia selalu tertarik mendengar kisah-kisah semacam itu, satu hal yang kemudian sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya. Dia adalah seorang pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi turut memainkan peranan. Ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh kekayaan di Mesir harta orang tua al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di Al-Azhar pada tahun 1822.[33] Ia adalah murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-Atthar yang banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Prancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Syaikh Al-Attar melihat bahwa Tahtawi adalah seorang pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam pikirannya, dan oleh karena itu ia selalu memberi dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan. Setelah selesai dari study di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama dua tahun, kemudian diangkat menjadi imam tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian dia diangkat menjadi imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad Ali ke Paris . Disamping tugasnya sebagai imam ia turut pula belajar bahasa Prancis sewaktu ia masih dalam perjalanan ke Paris .[34] Dengan adanya pengiriman mahasiswa ke Prancis maka lahirlah tokoh-tokoh mahasiswa yang brilian seperti Al Tahtawi yang pandai bahasa Prancis kemudian ditunjuk menjadi pimpinan dalam penerjemahan buku-buku teknik dan kemiliteran. Kemudian pada Tahun 1836 didirikan sekolah penerjemahan yang kemudian dirubah menjadi sekolah bahasa-bahasa asing. Al Tahtawi tugasnya mengoreksi buku-buku yang diterjemahkan murid-muridnya yang menghasilkan hampir seribu buah buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[35] Selain sebagai pemimpin dalam penerjemahan buku-buku asing, Al Tahtawi menerbitkan surat kabar resmi yang diberi nama Al-Waqa-i Ul-Mishriyah yang memuat berita-berita tentang kemajuan Barat termasuk teori-teori politik yang didasarkan kepada keadilan dan kerakyatan. [36] Al-Tahtawi juga mengarang buku-buku dalam penyebaran pengetahuan modern kepada khalayak ramai. Diantara beberapa buku terpentingnya: Taukhlisul Ibriz fi talkhishi Bariz ( intisari dan kesimpulan tentang Paris), Manahijul albab al-Mishriyah fi manahijil adab al-ashriyah ( Jalan bagi orang Mesir untuk mengetahui Literatur Modern), dan buku Al-Mursyidul Amin lil Banati wa al-Banin ( petunjuk bagi Pendidikan putra-dan puteri), buku Al Qaul as Sadid fi al Ijtihadi wa alTaqlid ( perkataan yang benar tentang Ijtihad dan Taqlid). Pemikiran al-Tahtawi ini belum seradikal tokoh-tokoh setelahnya, seperti pendidikan puteri hanya dilakukan di rumah, menyekolahkan wanita masih dihukum makruh, sedangkan ulama harus mengetahui ilmu modern agar dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan modern, yang pada konsekuensinya mengandung arti ijtihad masih terbuka, akan tetapi belum berani dijelaskan secara terang-terangan karena masih dianggap radikal pada saat itu. [37] Thahthawi tinggal di Prancis selama lima tahun. Sekembalinya ke Mesir, ia menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Paris dalam sebuah buku yang kemudian menjadi salah

satu sumber penting sejarah pemikiran modern dalam Islam. Yakni, Takhlis al-Ibriz ila Talkhis Bariz. Dalam buku ini, Thahthawi memuji pencapaian yang dilakukan negara-negara Eropa, khususnya Prancis. Ia menggambarkan kondisi Prancis yang bersih, anak-anak yang sehat, orangorang yang sibuk bekerja, semangat belajar yang terpancar dari wajah kaum mudanya, dan kelebihan-kelebihan lainnya yang ia saksikan selama berada di Prancis. Selain memberikan pujian, Thahthawi juga memberikan beberapa kritikan terhadap masyarakat Prancis. Ia mengatakan bahwa kaum pria di negeri itu telah menjadi budak para wanitanya dan orang-orang Prancis pada umumnya sangat materialistis. Begitu menginjakkan kakinya di bumi Mesir, Thahthawi bertekad untuk memajukan tanah airnya. Memori Prancis dengan segala keindahan dan kedisiplinan warganya selalu menjadi obsesinya. Bukunya, Takhlis, yang diterbitkan hanya beberapa bulan setelah kedatangannya di Mesir adalah salah satu bukti dari tekadnya yang begitu kuat untuk meng-Eropakan Mesir. Di Kairo, ia mendirikan lembaga penerjemahan yang disebut Sekolah Bahasa. Lembaga ini mirip dengan fungsi Bayt al-Hikmat pada masa-masa awal kerajaan Abbasiyyah. Thahthawi sendiri menerjemahkan sekitar 20 buku berbahasa Prancis dan mengedit puluhan karya terjemahan lainnya. Sebagian besar buku-buku yang disupervisinya adalah buku-buku sejarah, filsafat, dan ilmu kemiliteran. Buku penting yang diterjemahkannya sendiri adalah Considerations sur les Causes de la Grandeur des Romains et de leur Decadence karya filsuf Prancis Montesquieu. Beliau sangat berjasa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan di Mesir karena menguasai berbagai bahasa asing dan berhasil mendirikan sekolah penerjemahan dan menjadikan bahasa asing tertentu sebagai pelajaran wajib di sekolah. Di antara pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya terutama ditujukan kepada pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan memberikan kesempatan belajar yang sama antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang posisi yang menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan putra-putri yang cerdas.[38] Bagi al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada anak-anak dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Quran, agama, dan matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap III, adalah pendidikan tinggi yang tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai disiplin ilmu.[39] Dalam proses belajar mengajar, al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab merusak perkembangan anak didik.[40] Dari buku-buku yang diterjemahkannya, terlihat kecenderungan Thahthawi terhadap filsafat politik. Satu tema yang kemudian menjadi isu sentral dari pemikiran-pemikirannya, khususnya ketika ia berbicara tentang kondisi Mesir dan bangsa Arab modern. Sayangnya, lembaga penerjemahan yang sangat berjasa itu harus ditutup ketika penguasa Mesir yang juga cucu Muhammad Ali, Abbas Hilmi I, mulai tidak menyukainya dan membuang-nya ke Khortoum, Sudan. Baru pada pemerintahan Said, anak keempat Muhammad Ali menggantikan

kemenakannya, ia diperbolehkan pulang ke Kairo, dan kembali memegang peranan dalam gerakan penerjemahan buku-buku asing. Pada pemerintahan Ismail, cucu Muhammad Ali yang lain, Thahthawi dilibatkan berbagai kegiatan ilmiah, termasuk menjadi anggota komisi penerbitan pemerintah di Boulaq yang kemudian populer dengan sebutan mathbaah boulaq. Di Boulaq, Thahthawi memberi banyak masukan buku-buku berbahasa Arab klasik yang perlu diterbitkan. Di antaranya al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun yang populer itu. Di samping kesibukannya sebagai penerjemah dan mengawasi proyek penerjemahan, Thahthawi masih menyempatkan menulis beberapa buku penting. Di antaranya alMursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin yang ditulis untuk generasi muda dan Manahij al-Albab al-Mishriyya fi Mabahij al-Adab al-Ashriyya tentang sosiologi Mesir. Dalam hal agama dan peranan ulama, al-Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan modern. Diantara hasilhasil karyanya yang terpenting adalah: a) Takhlisul Abriiz Ila Takhrisu Bariiz. b) Manahijul Bab Al-Mishriyah fi Manahijil Adab al-Ashriyah. c) Al-Mursyid al-amin lil banaat wal banien.

d) Al-Qaulus sadid fi ijtihad wat taliid. e) Anwar taufiq al-jalil fi akhbari mishra wa tautsiq bani Israil.[41]

c. Jamaluddin al-Afgani Jamaluddin Al Afghani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1838 sebagai seorang anak dengan kualitas Intelektual yang sangat luar biasa. Ia meninggal dunia pada tahun 1897 M. Dalam silsilah keturunannya al-Afghani adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali ra. Pada umur 18 tahun ia telah menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, filsafat, politik, ekonomi, hukum dan agama. Karena keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka pada saat umur 18 tahun tersebut ia telah mempesona dunia intelektual dan politik dengan gaya agitasinya yang sungguh menakjubkan. Ketika baru berusia dua puluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad Azam Khan menjadi Perdana Menteri. [42] Pengaruh agitasinya telah melahirkan suatu revolusi di Afganistan (Kabul) yang memaksa dia harus mengungsi ke India untuk kali pertama pada 1867, sebagai awal dari petualangan keilmuan dan politiknya. Jamaludin Al-Afgani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara ke negara Islam lainnya. Pengaruh terbesar ditinggalkan di Mesir. Ketika zaman Al Tahtawi buku-buku diterjemahkan sudah menyebar dan di dalamnya terdapat salah satunya ide trias politika dan patriotisme, maka pada tahun 1879 Al-Afgani membentuk partai al-Hizb al-Wathan ( Partai Nasionalis) dengan slogan Mesir untuki orang Mesir mulai kedengaran dengan memperjuangkan universal, kemerdekaan pers dan pemasukan unsurunsur Mesir ke dalam bidang militer.[43]

Di India, ia juga merasa tidak bebas untuk bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, nampaknya India adalah sebuah persinggahan sementara, karena ternyata pengaruh Jamaluddin telah menumbuhkan semangat kebangsaan untuk melawan Inggris, yang sudah barang tentu sangat dibenci oleh mereka. Maka pada tahun 1871 ia pergi ke Mesir untuk kali ke dua dan menetap di sana selama 8 tahun (1879). Pada mulanya menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab.[44] Di tempat ia tinggal kemudian menjadi tempat pertemuan murid-muridnya. Disanalah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Muridnya berasal dari berbagai golongan, seperti orang pemerintahan, pengadilan, dosen dan mahasiswa Al-Azhar serta perguruan tinggi lain.[45] Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Ketika itu ide-ide al-Tahtawi sudah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, diantaranya ide trias politica dan patriotisme, maka pada tahun 1879 atas usaha Al-Afghaniterbentuklah partai Al-Hizb al-Watani (partai nasional).[46] Tujuan partai ini untuk memperjuangkan pendidikan universal dan kemerdekaan pers. Atas sokongan partai ini al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa waktu itu, yakni Khedewi Ismail. Masa delapan tahun menetap di Mesir itu mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam disana menurut M.S. Madkur, al-Afghanilah yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan Mesir modern,demikian Madkur, adalah hasil dari usaha-usaha Jamaludin al-Afghani.[47] Selama delapan tahun menetap di Mesir ia pergi ke Paris , disini ia mendirikan perkumpulan AlUrwatul Wusqa yang anggotanya terdiri dari orang-orang Islam dari India , Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Diantara tujuan yang ingin dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa Islam kepada kemajuan. Kemudian di Paris inilah ia bertemu dengan muridnya yang setia yaitu Muhammad Abduh dan kemudian ia kembali ke Istambul, sampai akhir hayatnya.[48] Selama di Mesir al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain: a) Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang Salib. b) Ummat Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan saja. c) Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).[49] Pan Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas menurut al-Afgani: a) Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan. b) Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur. c) Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup, dan kehidupan manusia bukan sekedar ikutan belaka. d) Setiap generasi ummat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan

pendidikan pada manusia-manusia bodoh dan juga memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin.[50] Melihat hal tersebut, maka orientasi pembaharuan Islam Mesir terutama yang dilakukan oleh Jamaluddin al-Afghanilebih mengarah kepada pembaharuan cara berpolitik di kalangan umat Islam. Oleh sebab itu gerakan pembaharuan Mesir Jamaluddin Al-Afghaniadalah gerakan Politik. Untuk mengetahui lebih jelas pemikiran pembaharaun Jamaluddin Al Afghani, berikut ini adalah pokok-pokok pikirannya : 1) Islam mengalami kemunduran dan kejumudan berfikir bukan disebabkan oleh karena Islam tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan keadaan masa kini, melainkan karena umat Islam tidak mampu menginterpretasikannya dengan kemampuan ijtihad dan kebanyakan umat Islam telah meninggalkan ajarannya dengan mengikuti ajaran baru yang dimanipulisir untuk kepentingan asing. 2) Bahwa kemunduran Islam dilapangan politik disebabkan oleh : Desintegrasi politik atau perpecahan dikalangan umat Islam, corak pemerintahan yang bersifat absolut (otoriter), pemimpin negara yang tidak disukai oleh rakyat (tidak kredible), mengabaikan masalah pertahanan atau militerisasi, administrasi dipegang oleh mereka yang tidak berkompenten, adanya intervensi oleh negara asing. Untuk itu diperlukan pola pemerintahan yang dapat menarik partisipasi masyarakat secara aktif dalam bentuk demokratisasi dan terbentuknya majlis syuro yang menjamin adanya partisipasi masyarakat secara komunal dan individual. 3) Bahwa untuk pembaharuan dan pengembangan semangat keIslaman perlu digalakan solidaritas Islam dalam bentuk program aksi Pan Islamisme . Gerakan Pan Islamisme tersebut berusaha melakukan pembaharuan di bidang perpolitikan Islam dengan tujuan menyadarkan umat Islam dari bahaya dominasi bangsa asing. Oleh sebab itu perlu diadakan kegiatan-kegiatan : agitasi dan propaganda untuk menggerakkan kaum muslimin agar melakukan pergerakan pemikiran dan pergolakan kebangsaan, melakukan gerakan anti Eropa mulai tahun 1882 sebagai reaksi masuknya Inggris pada tahun 1880. Melakukan agitasi dan klarifikasi guna merubah sikap dan pandangan bangsa Eropa , ia mengatakan bahwa : nasionalisme dan patriotisme bukanlah sebuah gerakan fanatisme dan ekstrimisme, penghargaan dan kemulyaan diri yang sedang diperjuangkan bukanlah sebuah chauvinisme seperti yang dituduhkan oleh bangsa asing. Untuk mensosialisasikan dan mengembangkan gagasan pembaharuan politik, maka didirikan media Al Urwat Al Wutsqo yang didirikan di Prancis pada tahun 1884 bersama muridnya yaitu Muhammad Abduh, yang hanya berumur 8 bulan, tetapi mempunyai dampak yang luar biasa, yaitu : berkembangnya semangat menentang bangsa Barat, adanya usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan Islam, adanya semangat untuk mempersatukan umat Islam di dunia (Pan Islamisme). Dalam bidang politik, Jamaluddin Al-Afghani mengatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang didukung oleh rakyat, karena pemerintahan yang didukung oleh konstitusi akan dapat berdiri, berjalan stabil dan dapat bertahan dari intrik-intrik bangsa asing. Sedangkan dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan suatu bangsa, dan ilmu pula sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang kadangkala berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang mengembangkan pertanian, industri, dan perdagangan, yang menyebabkan penumpukan

kekayaan dan harta. Tetapi filsafat menurutnya merupakan ilmu yang paling teratas kedudukannya di antara ilmu-ilmu yang lain.[51] Ketika ia kembali lagi ke India tepatnya di Hyderabad Deccau, pada tahun 1879 dan menerbitkan sebuah buku yang sempat menggegerkan dunia barat yaitu Pembuktian kesalahan kaum Matrialis. Pokok-pokok pikir yang dikembangkan oleh Jamaluddin Al Afghani yang pernah dikembangan pada awal abad ke 19. Prinsip pemikiran tersebut oleh Jamaluddin dikembangkan dengan radikal dan revolusioner. Barangkali hal tersebut disebabkan bahwa gerakan pembaharuan Islam ala Jamaluddin adalah gerakan politik yang tentu menempatkan jargon anti dominasi Barat sebagai agenda aksinya. Pada tahun 1892 ia kembali ke Istambul dan mendapat sambutan yang luar biasa dari kerajaan Turki Utsmani dengan diberi hadiah uang 775 pound dan tempat tinggal yang sangat layak, akan tetapi jiwa Jamaluddin bukanlah jiwa konseptor yang hanya duduk di belakang meja, tetapi jiwa dia adalah konseptor dan petualang, maka ia kemudian pergi ke Paris untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat, mengkritik habis pola pemerintahan otokrasi Shah Nasiruddin Qochar, yang ternyata efektif membangkitkan perlawanan rakyat, sehingga Shah Qachar terbunuh pada 1 Mei 1895 dalam pergolakan rakyat tersebut. Dalam pembaharuannya Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan, jika ada pertentangan antara ajaran agama dengan keadaan maka dibutuhkan interpretasi baru yang tercantum dalam al-Quran dan al-Hadits. Kemunduran Islam bukan karena Islamnya, akan tetapi karena umat Islam meninggalkan ajaran yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran dari luar lagi asing bagi Islam. Pemahaman iman kepada qada dan qadar tidak diubah menjadi fatalisme, akan tetapi mengandung arti sebab musabab.[52] Jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam yang mengalami kemunduran, menurut Al-Afgani harus dengan cara melenyapkan pengertian yang salah, kembali kepada ajaran dasar Islam yang sebenarnya, hati disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan dan kesediaan berkorban untuk kepentingan umat, serta bentuk pemerintahan otokrasi harus diubah menjadi demokrasi dengan mengutamakan musyawarah. [53] Pan Islamisme yang ditawarkan Jamaludin al-Afgani bukan berarti leburnya sekalian kerajaan Islam yang ada menjadi satu kerajaan. Biar masing-masing kerjaan itu berdiri sendiri dalam batas kuasa dan negara masing-masing, tetaoi mereka harus mempunyai satu pandangan hidup. Kesatuan pandangan hidup itu kembali kepada ajaran Islam. Perbedaan faham agama, mazhab-mazhab dan firqah-firqah janganlah menjadi penghambat dari pada kesatuan kaum Sunnah dan Syiah. [54] Pembaharuan Pendidikan yang dilakukan Al-Afghani adalah didasari pada pendapatnya bahwa Islam adalah relevan pada setiap zaman, kondisi, dan bangsa. Untuk itu kemunduran umat Islam adalah karena tidak diterapkannya Islam dalam segala segi kehidupan dan meninggalkan ajaran Islam murni. Jalan untuk memperbaiki kemunduran Islam hanyalah dengan membuang segala bentuk pengertian yang bukan berasal dari Islam, dan kembali pada jaran Islam murni. Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika situasi menginginkan.[55] Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas utama agar umat Islam bisa

bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam hal menuntut ilmu tidak dibatasi kepada lakilaki saja melainkan perempuan pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut. Kemudian, pada tahun 1892 ia pergi ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid, namun kemudian ia terjebak dan tidak bisa keluar dari Istanbul karena dijadikan tahanan hingga ia wafat pada 9 Maret tahun 1897 terkena serangan kangker rahang.[56] d. Muhammad Abduh Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki, dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).[57] Orang tuanya sangat memperhatikan pendidikannya. Pada tahun1862 ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta . Hanya dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan gurunya. Pada umur 10 tahun (th. 1859) ia telah mampu menghafal Al Quran. Muhammad Abduh terlahir di desa dan keluarga kelas bawah dan mengenyam pendidikan yang menggunakan metode menghafal di luar kepala, seperti yang ditulisnya dalam pengalaman hidupnya sebagai berikut: Satu setengah tahun saya belajar di masjid Syekh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini karena metodenya yang salah, guru-guru mulai mengajak kita dengan menghafal istilah-istilah nahwu atau fiqh yang tak kita ketahui artinya. Guru-guru tak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti-arti istilah itu.[58] Perjalanan hidupnya, setelah ia enggan sekolah karena menjenuhkan bertemu dengan seorang tokoh sufi Syekh Darwisy Khadr paman dari ayahnya yang berhasil membujuknya untuk belajar kembali. Kemudian ia meneruskan pendidikan di Al-Azhar Kairo, ia bertemu dengan Jamaludin alAfghani dan kemudian ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa inilah ia mulai membuat karangan untuk harian al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum.[59] Di pusat pengkajian Islam ini mulai tampak kemampuan intelektualnya yang sangat luar biasa. Hal tersebut dibuktikan dengan kritik pendidikan yang dikembangkannya, ia melihat bahwa system pendidikan di Universitas Al-Azhar sangat kuno dan lamban untuk dapat mengikuti perkembangan zaman serta sangat terikat dengan aturan-aturan tradisional, untuk itu perlu diganti dengan metode modern yang ternyata lebih efektif. Kemudian setelah selesai studinya ia mengajar di Al-Azhar , Darul Ulum dan di rumahnya sendiri. Selain mengajar ia aktif menjadi redaktur Al Waqa-I al-Misriyah. Dalam peristiwa revolusi Urabi Pasya, ia dituduh terlibat di dalamnya yang menyebabkan dipenjara dan dibuang ke luar negeri pada tahun 1882. Selama di penjara bersama Al-Afgani mendirikan majalah Al Urwah al Wusqa, dan pada tahun 1888 diperbolehkan pulang ke Mesir tetapi tidak diizinkan untuk

mengajar karena Pemerintah Mesir takut akan peengaruhnya kepada mahasiswa, ia bekerja sebagai hakim dan terakhir menjadi Mufti Mesir sampai ia meninggal pada tahun 1905.[60] Syeikh Muhammad Abduh memperoleh pendidikan tradisional yang kemudian disempurnakan berkat hubungannya dengan Jamaludin Al Afgani dan menerbitkan majalah Al Urwatul Wusqa selama beberapa bulan di Paris. Ketika ia menjadi mufti besar di Mesir ia berkeinginan keras melaksanakan pembaharuan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada masalah-masalah keagamaan dan menuliskannya untuk mengkaji kembali ajaran-ajaran Islam sehingga ia dikenal sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam. [61] Muhammad Abduh bergabung dengan Jamaludin Al Afgani, ia mendirikan geraka politik dan keagamaan yang disebut Urwa al-Wusqa dan menerbitkan majalah Al Manar. Pada Tahun 1988 ia kembali ke Mesir dan menjabat sebagai mufti besar pada tahun 1889. Pada tahun 1894 menjadi dewan Majlis Agung Universitas Al-Azhar dan pada tahun 1897 menerbitkan karya teologi dan hukum dengan judul Risalat al-Tauhid. Muhammad Abduh ketika terjadi kemerosotan kondisi Islam pada saat itu sangat mengganggu hati dan pikirannya, dia mengikuti pemikiran Ibnu Taimiyah yang mencela tahayul dan bidah yang telah mencemari keimanan. Maka timbul gagasan pembaharuan intelektual dan politik, agama serta unifikasi politik di bawah satu pemimpin utama. Ia menebarkan pemikiran bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan ilmu pengetahuan. Dia menafsirkan beberapa ayat alQur`an secara rasional dan mengakui kekurangan skolatisisme Islam.[62] Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharuan yang banyak perhatiannya dalam bidang pendidikan dengan cara berusaha keras melakukan penyadaran intelektual karena menurutnya pendidikan merupakan lembaga strategis untuk mengadakan perubaha-perubahan sosial secara sistematik. Politik hanyalah jalan untuk mendayagunakan ide-ide pembaharuannya yang pada saat itu masih bersifat otokratis dan harus berhadapan dengan kekuatan kolonialisme asing.[63] Diantara gagasan dalam bidang pendidikan, Muhammad Abduh sangat menentang sistem pendidikan dualisme, sekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, dan sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern. Muhammad Abduh dalam bidang politik tentang bentuk pemerintahan tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan yang terpenting mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berfikir. Hal ini nampaknya memiliki kesamaan pendapat dengan tokoh Islam sebelumnya Ibnu Taimiyah yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan disesuaikan dengan kehendak umat melalui ijtihad. Kekuasaan negara harus harus dibatasi oleh konstitusi, pemerintah wajib berlaku adil terhadap rakyat. Pemerintah yang adil wajib rakyat mematuhi dan setia kepadanya.[64] Lebih jauh Muhammad Abduh menyalahkan para faqih dan penguasa pada saat itu yang menyebabkan kebodohan, faqih tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sedangkan penguasa tidak mempertanggung jawabkan kebijaksanaan dan tidak tahu cara memerintah dan berlaku adil bahkan memanfaatkan fiqih untuk kepentingan penguasa. Sedangkan dalam hal gender, menurut Abduh pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama, memiliki nalar dan perasaan yang sama dan jika wanita memiliki kualitas menjadi dan kualitas

membuat keputusan, maka keunggulan pria tak berlaku lagi.[65] Jamaludin al-Afgani dan Muhammad Abduh tidak menamakan dirinya sebagai mujadid, begitu juga murid-muridnya lebih banyak menggunakan islah atau perbaiakan, karena memang keduanya membawa perbaikan, pembaharuan dalam Islam dan membersihkan bidah-bidah penyelewengan dalam Islam agar agama Islam kembali kepada keaslian dan kemurniannya. Jamaludin Al-Afgani bercita-cita hendak melaksanakan tauhid tertinggi dalam Islam dengan mempersatukan semua negara Timur dalam satu ikatan Islam dan membebaskan dirinya dari penjajahan Barat. Sedangkan Muhammad Abduh ingin melaksanakan ajaran dalam memperbaiki pendidikan Islam yang dimulai dengan memasukan pengetahuan umum ke dalam Al-Azhar dan meratakan ajaran salaf yang tidak mengenal perselisihan mazhab, tetapi hanya mengenal al-Qur`an dan sunnah sebagai sumber hukum Islam yang terpokok.[66] Dalam taktik dan cara bekerja antara Jamaludin al-Afgani dan Muhammad Abduh berbeda karena memiliki pembawaan dan berlainan asal kedatangannya. Jamaludin berasal dari bangsawan, lahir dalam keluarga yang keras dan revolusioner, pernah hidup mewah, tidak merasa kecil menghadapi bangsa asing, sedangkan Muhammad Abduh terlahir dari keluarga tani di Mesir dalam sebuah desa kecil, tidak ada yang memperhatikan, menghadapi kesukaran hidup baik lahir maupun bathin. Dengan latar belakang itulah Muhammad Abduh tumbuh dan pikirannya hidup bekerja untuk mencari jalan keluar tidak hanya untuk dirinya akan tetapi untuk masyarakat Mesir dan umat Islam pada umumnya. [67] Muhammad Abduh mulai berkenalan dengan Jamaludin al-Afgani pada tahun 1872 di Mesir , yang pada saat itu Mesir terbenam dalam kegelapan, sinar peradaban suram dan kemajuan serta perubahan hampir tak ada. Muhammad Abduh dan Jamaludin bertemu di Al-Azhar antara mahasiswa dan gurunya. Ia turut menerima pelajaran mantiq dan filsafat yang diajarkan Jamaludin pada usia Abduh 30 tahun. Antara keduanya rapat pergaualan memiliki persamaan dalam hal penderitaan dan nasibnya. Persesuaian antara keduanya dalam kemerdekaan dan pembangunan umat Islam dengan kekuatan sendiri yang dicita-citakan, sementara perbedaannya antara keduanya, Al-Afgani sangat revolusioner dan menghadapi perubahan selekas-lekasnya dalam segala hal lapangan. Sedangkan Muhammad Abduh menghendaki perubahan yangn tenang, sedikir demi sedikit, setapak demi setapak dalam mencapai tujuan, menurutnya perubahan secara revolusioner yang radikal tidak akan mendapatkan perubahan akhlak sebagai dasar perubahan yang tetap. Oleh karena itu ia menghendaki perubahan pendidikan, terutama dalam bidang budi pekerti dan agama sebagai syarat kemajuan seluruh umat Islam. [68]

Diantara hasil karya Muhammad Abduh adalah : 1) Risla at-Tauhid berisi tentang akidah, keagamaan dan isi pidato-pidato ketika di Beirut. 2) Syarah Kitab al- Bashir an-Nashriyah 3) Tashnf al-Qdhi Zainudin ( tentang logika) 4) Al- Islm wan Nashrniyah maal ilmi wa al-madaniyah yang berisi tentang pembelaan terhadap Islam dari serangan agama Kristen.

5) Tafsir al-Qur`an al-Hakm dengan memasukan kajian filsafat al-Qur`an. 6) Majalah al-Manar [69] Rencana pembaharuan Muhammad Abduh antara lain: 1) Menyusun agama Islam kembali kepada bentuk yang asli. 2) Memperbaharui bahasa Arab. 3) Menuntut pengakuan hak-hak rakyat terhadap pemerintah.[70] Menurut pendapat Abduh agama dan pengetahuan tidak bertentangan antara satu sama lainnya sehingga tidak mustahil akal dapat menerima kebenaran aturan agama, tanpa mengurangi penghargaan terhadap kesucian wahyu Tuhan. [71] Atas pengaruh Jamaludin al-Afghanidan syeikh Muhammad Abduh sebagai dua pemimpin modernisme yang utama dalam Islam telah mulai merubah pemikiran menerima pemikiranpemikiran dan membela aliran muktazilah pada abad XX , sedangkan sebelumnya sejak muktazilah dijadikan aliran resmi di zaman khalifah Abbasyiah ( khalifah al-Makmun ) dianggap bidah dan menyesatkan dan dicap golongan kafir , golongan fadihah ( memalukan ) yang dikarang oleh para pengikut Al-Asyariyah dan al Maturidiyah sebagai lawan aliran muktazilah. Hal ini disebabkan karena salah satunya pernah memaksakan kekerasan dalam penyiaran ajaranajarannya di permulaan abad 9 masehi. Dengan memaksakan faham mihnah (ujian dalam menempati posisi penting di pemerintahan dan pemuka-pemuka dalam masyarakat harus diuji bahwa orang yang memiliki faham al quran qadim adalah syirik harus dihukum, seperti yang terjadi kepada tokoh hadis Ahmad bin Hambal yang dihukum penjara. [72] Menurut Harun Nasution, Muhammad Abduh dalam Kitab Risalah At-Tauhid mengenai penggunaan akal dapat mengetahui Tuhan dan sifat-sifat kesempurnaannya,kewajiban berterima kasih, kebaikan dan kejahatan, kewajiban berbuat baik serta menjauhi perbuatan jahat dan akal dapat membuat hukum mengenai hal-hal tertentu untuk diamalkan oleh manusia.[73] Muhammad Abduh menilai bahwa Islam adalah agama rasional, Islam sungguhpun datang dengan hal-hal yang sulit untuk difahami, tidak mungkin membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Jika ada teks ayat yang pada zahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, maka akal wajib berkeyakinan bahwa bukanlah arti lahir dimaksud dan selanjutnya akal boleh memilih antara memakai takwil atau menyerah diri kepada Tuhan. Akal juga mulai dipakai kembali untuk memberi interpretasi baru kepada ayat-ayat yang bersifat zanni sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[74] Kedudukan akal menurut Muhammad Abduh sama dengan kedudukan nabi bagi suatu umat. Akal merupakan salah satu kriteria pembedaan antara sesama manusia. Perbedaan antara manusia hanya ada pada akal dan pengetahuan dan tidak ada yang dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan kecuali kesucian akal dari rasa ragu-ragu.[75] Sebagai gagasan utama Muhammad Abduh, pembaharuan berangkat dari asumsi dasar semangat rasional yang harus mewarnai sikap pikir masyarakat dalam memahami ajaran Islam. Jika semangat ini telah dapat ditumbuhkan, kecenderungan taklid dan pintu ijtihad tertutup akan

mudah terkikis. Seiring dengan itu diharapkan masyarakat memiliki cara pandang terhadap Islam bahwa ajarannya tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[76] Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam mewujudkan gagasan pembaharuannya adalah melalui Universitas al-Azhar. Menurutnya, seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan kembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di al-Azhar.[77] Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya, dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern. Di Mesir Muhammad Abduh diserahi jabatan Mufti Mesir, disamping itu ia diangkat menjadi anggota Majelis Perwakilan (Legilative Council), Muhammad Abduh pernah juga di serahi jabatan hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil. Pokokpokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek, yaitu:[78] Pertama, aspek kebebasan, antara lain; dalam usaha memperjuangkan cita-cita pembaharuannya, Muhammad Abduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan. Kedua, aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan untuk mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan seperti itu akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa yang menyertainya. Ketiga, aspek keagamaan, dalam masalah ini Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu terbuka. Keempat, aspek pendidikan antara lain, al-Azhar mendapatkan perhatian perbaikan, demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat perhatiannya. Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal diluar kepala perlu diganti dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.[79] Muhammad Abduh dan kiprahnya dalam agenda pembaharuan islam kontemporer adalah sosok pembaharu yang sangat kita kenal dan tidak mungkin terlupakan oleh sejarah pembaharuan Islam di Mesir yaitu Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Kedua orang tersebut mempunyai hubungan yang sangat dekat dan erat karena kedua tokoh tersebut adalah Guru dan Murid. Namun demikian tidak berarti terdapat kesamaan visi dan pemberdayaan umat melalui program pembaharuan Islam. Pembaharuan Jamaluddin Al Afghani adalah pembaharuan (modernisasi) politik Islam yang menekankan adanya kebangkitan dan rasa solidaritas keIslaman (Pan Islamisme) yang diaplikasikan dengan pendekatan radikal dan revolusioner, karena keadaan pada saat itu menghendaki gerakan revolusioner untuk membangkitkan semangat keIslaman dan keagamaan. Sedangkan Muhammad Abduh melakukan program pembaharuan pada segala bidang dengan agenda aksi yang bersifat evolusi dan sentuhan kearah pergerakan pemikiran. Pada saat menjadi rektor Universitas Al-Azhar tahun 1901, ia melakukan reformulasi system pendidikan di lembaga kajian kebanggaan Islam tersebut. Ia mengatakan bahwa pendidikan harus memperhatikan relevansi dan signifikansinya terhadap kehidupan manusia. Ada dua dasar pertimbangan diberlakukannya pokok kajian keilmuan, yaitu : relevensi ilmu dengan alokasi waktu

yang dibutuhkan dan relevansi ilmu dengan kebutuhan hidup manusia (Human Needs). Dengan demikian suatu ilmu itu tidak perlu diajarkan dan sekaligus dipelajari kalau secara prinsip tidak mempunyai relevansi dengan kebutuhan hidup manusia dan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari ilmu tersebut. Pembaharuan aspek sistem pendidikan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap berkembangnya kualitas umat Islam dan kalau itu terjadi akan mendorong lahirnya gerakan baru yaitu gerakan kesadaran kemanusiaan. Di samping pemikiran-pemikiran tersebut, juga terdapat program pembaharuan lain yang ternyata juga sangat penting, karena menyangkut jiwa dan api Islam dalam diri umat. Pembaharuan bidang theologi adalah purifikasi ajaran Islam untuk memperoleh semangat keislaman, yang dilakukan dengan jalan : memerangi sikap hidup yang fatalisme dan taklid, melakukan liberalisme dalam pemikiran dan pemahaman keIslaman, terutama dalam memahami hukum-hukum Islam tetapi masih dalam kerangka menjaga kesucian dan kebenaran wahyu itu sendiri, melakukan upaya pembangunan kembali (Reformulasi) teks hukum Islam klasik agar lebih sistematis dan rasional sehingga dapat memberi manfaat bagi kehidupan. Pemikiran pembaharuan tersebut dilakukan dalam rangka membangkitkan kembali dunia Islam agar ia dapat berkembang dalam aktualisasi dunia yang sangat cepat dan aplikatif tersebut. Secara khusus bahwa program pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai 3 tujuan utama, yaitu : membebaskan akal manusia dari rutinitas yang membosankan, membebaskan manusia Islam dari budaya imitasi (meniru) yang cenderung mencerabut rasa kebanggaan diri dan kemampuan aktualisasi diri. membebaskan manusia muslim dari kemandegan berfikir (Stagnasi Intelektual). e. Murid dan Pengikut Muhammad Abduh. 1. Rasyid Ridha Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di AlQalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Quran di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di AlMadrasah al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli .[80] Setelah lulus di Madrasah al-Wathaniyah di Tripoli ia meneruskan pendidikan di sekolah milik Syaikh Husain al-Jisr, seorang yang telah dipengaruhi ide-ide modern. Di Madrasah ini, selain bahasa arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis, dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain AlJisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli .[81] Kemudian ia belajar ide-ide pembaharaun Jamaludin al-Aghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wusqa. Sewaktu Muhammad Abduh dibuang ke Beirut, ia mendapat kesempatan untuk berjumpa dan berdialog. Kemudian pada bulan Januari 1898 ia pindah ke Mesir untuk belajar dan berguru lebih dekat dengan Muhammad Abduh.[82] Setahun kepindahannya ke Mesir, ia mendirikan majalah al-Manar untuk menyiarkan ide-ide pembaharuan gurunya, begitu juga artikel-artikel yang ditulis gurunya dimuat di majalah tersebut. Begitu juga tafsir-tafsir yang disampaikan oleh Muhammad Abduh, ia catat dan setelah diperiksa

disiarkan melalui majalah al-Manar tersebut. Sehingga ketika sang guru meninggal dunia, tafsirnya baru sampai Surat An-Nisa ayat 125, ia teruskan menjadi tafsir karangannya yang menurutnya adalah pemikiran Muhammad Abduh.[83] Rasyid Ridha sangat terkenal bersama dengan Abduh (gurunya) menerbitkan majalah al-Manar yang kemudian menjadi sebuah tafsir modern yang bernama Tafsir al-Manar. Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridha memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, peradaban Barat modern harus dipelajari oleh umat Islam. Hal ini relevan dengan pendapat gurunya (Muhammad Abduh) bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk kemajuan mereka.[84] Beliau juga berpendapat bahwa mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam. Usaha yang dilakukan di bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader Muballig yang tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Kairo dengan nama Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad.[85] Dalam lembaga tersebut Ridha memadukan antara kurikulum Barat dan kurikulum yang biasa diberikan madrasah tradisional. Ide-ide pembaharuan Rasyid Ridla beberapa diantaranya di bidang agama, pendidikan dan bidang politik. Dalam bidang agama umat Islam lemah karena tidak mengamalkan ajaran agama Islam yang murni melainkan ajaran yang sudah bercampur dengan kurafat dan bidah, sehingga ajaran Islam harus kembali kepada Al-Quran dan sunnah Rasululah Saw dan tidak terikat kepada ulama terdahulu yang tidak sesuai dengan tuntutan hidup modern. Lebih lanjut faham fanatisme mazhab yang menyebabkan perpecahan umat Islam harus diganti dengan toleransi bermazhab. Dalam bidang pendidikan ia sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan dengan cara mendorong dan menghimbau untuk menggunakan kekayaan bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan Islam, membangun lembaga pendidikan lebih utama dari membangun masjid. Ia juga membangun Sekolah Missi Islam dengan nama Madrasah ad-Dawah wa al-Irsyad dengan tujuan mencetak kader-kader mubaligh yang tangguh sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris kristen. Sedangkan di bidang politik ia pernah menjadi presiden kongres Suriah pada tahun 1920. Ide-ide di bidang politik adalah tentang Ukhuwah Islamiyah yang menyerukan umat Islam bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan dan tunduk kepada sistem hukum dalam satu kekuasaan negara yang berbentuk khilafah yang dibantu para ulama dan bertanggung jawab kepada ahlu al-hali wa-alaqdi yang anggota terdiri dari ulama dan tokoh masyarakat.[86] Disamping itu Rasyid Ridha memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang ditulis al-Ghozali, antara lain Ihya Ulumuddin sangat mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya terhadap agama. Rasyid Ridha mulai mencoba dan menerapkan ide-idenya ketika masih berada di Suria, tetapi usahausahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas, karena itu ia memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada tahun 1898 M. Rasyid Ridha hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dan dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama al- Manar untuk menyebarluaskan ideidenya dalam pembaharuan.[87] Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan gurunya, terutama dalam

titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya. Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, dan perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab yang membawa kemunduran ummat Islam, karena faham fatalisme, ajaran-ajaran tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran ummat Islam menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis. Dalam hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha berpendapat bahwa derajat akal itu lebih tinggi, akan tetapi hanya dapat dipergunakan dalam masalah kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam masalah ibadah. Diantara aktivis beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang dinamakan dengan al-dakwah wal irsyad pada tahun 1912 di kairo. Para lulusan dari seoah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang membutuhkan bantuan mereka. Kemudian melalui majalah al-Manar ia menjelaskan bahwa inggris dan Prancis yang berusaha membagi-bagi daerah Arab ke dalam kekuasaannya masing-masing. Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolute, kholifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan ummat Islam ke dalam satu system pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan hukum perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.[88] Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada diantara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan paham ummat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh, tetapi dalam hal pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding Rasyid Ridha. Perbedaan antara guru dan murid tersebut sangat terlihat, misalnya dalam hal paham-paham teologi dan juga dalam Tafsir al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan apa adanya ia tidak mentakwil.[89] Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Rasyid Ridha merasa perlu diadakan pembaharuan di bidang pendidikan, dan melihat perlu ditambahkannya kedalam kurikulum mata pelajaran berikut : teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, kesehatan, bahasa asing, disamping fiqih, tafsir, hadist dan lain-lain.[90] Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 jumadil ula 1354/ 22 agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Quran ditangannya.

2. Qasyim Amin Qasyim Amin lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi, tetapi menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke Prancis sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu hukum, setelah selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir. Dalam hal pembaharuan di masyarakat ia lebih

mengutamakan dalam hal memperbaiki nasib wanita. Ide inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir al-marah (emansipasi wanita). Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar seperdua dari jumlah penduduk Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan pembaharuan, karena itu kebebasan dan pendidikan wanita perlu mendapat perhatian. Ide Qasyim Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya ialah pendapat bahwa penutupan wajah wanita bukanlah ajaran Islam.[91] Qasim amin adalah seorang ahli hukum lulusan Prancis, menurut Muhammad Abduh sang guru wanita dalam Islam memiliki kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat dari luar Islam yang mengubah wanita memiliki kedudukan rendah di masyarakat. Dengan ide dari guru tersebut ia mengupas tentang emansipasi wanita ( Tahrir al-Mar`ah) dengan berpendapat bahwa kaum wanita harus memperoleh pendidikan. Wa nita harus diberikan hak yang sama dalam soal perkawinan, memilih jodoh dan hak menuntut cerai serta menganjurkan monogami. Begitu juga tentang penutupan wajah wanita bukan merupakan ajaran Islam. Penutupan wajah hanyalah kebiasaan yang kemudian dianggap merupakan ajaran Islam. Wanita harus bergaul dengan kaum pria, tidak ada pemisahan diantara keduanya.[92] Tidak terdapat dalam Al-Quran dan Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah wanita murupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah adalah kebiasaan yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam. Dan karena kritik dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia perlu memberi jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-marah al-jadilah (wanita modern). Ide-ide ini, tentu ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju, tapi sekarang ini usaha itu sudah dapat dirasakan hasilnya.[93] 3. Ali Mubarak Beliau dipandang sebagai pelopor pendidikan modern di Mesir, karena mampu memadukan antara pendidikan yang berazaskan Islam dengan pendidikan Barat yang diperolehnya ketika belajar di Prancis. Ali Mubarak dipandang sebagai peletak dasar dari Laihah Rajab, semacam rencana pendidikan yang terpadu bagi bangsa Mesir yang berdasarkan kerakyatan dengan sasaran pengembangan lembaga pendidikan, penelitian lembaga pendidikan di daerah dan penerbitan administrasi pendidikan yang dipusatkan di kantor pemerintah daerah.[94] Sebagai hasil dari Laihah Rajab itu, lembaga-lembaga pendidikan berkembang dengan pesat, baik kualitas maupun kuantitas, tetapi keasliannya tetap terpelihara. Pada perkembangan selanjutnya mendapat pengakuan yang wajar dari pemerintah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. 4. Thaha Husain Beliau sangat berhasil dalam bidang pendidikan. Terbukti setelah selesai di al-Azhar, kemudian ke Prancis untuk memperdalam ilmu pengetahuannya. Dan sekembalinya di Mesir, beliau diangkat menjadi pejabat penting dalam pemerintahan khususnya dalam urusan kementerian pendidikan. Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga ahli yang diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang dapat memajukan Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang memprihatinkan dan terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, di banding

dengan Dunia Barat. Menurut beliau, universitas tersebut mencerminkan intelektual, keilmiahan, dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan intelektual.[95] Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya.[96] Taha Husain ketika kecil mendapat penyakit yang membuat ia kehilangan penglihatan. Ia meneruskan pendidikan di Al-Azhar dan bertemu dengan ide-ide Muhammad Abduh dan muridmuridnya Lutfi al-Sayid kemudian meneruskan pendidikan di Paris dan kembali ke Mesir pada tahun 1919 untuk menjadi dosen di Universitas Kairo dan Universitas Alexandria serta menjadi menteri pendidikan pada tahun 1950-1952. [97] Ide-ide pembaharuannya berkisar di bidang pendidikan yang berorientasi kepada kebudayaan untuk memajukan Mesir. Dengan menggunakan metode kritis ilmiah menganalisa syair-syair kuno Arab yang berakhir pada satu kesimpulan sebagain besar syair jahili perlu diragukan keautentikan dan kebenarannya, hanya sebagian kecil saja syair itu ditulis pada masa pra Islam. Ide ini mendapat tantangan dari kaum ulama karena akan mengakibatkan keraguan terhadap pengajaran bahasa Arab yang digunakan sebagai pengantar agama Islam. Seperti meragukan kebenaran ada tidaknya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail karena tidak adanya bukti peninggalan sejarah, walaupun ada disebutkan dalam al-Qur`an.[98] Kitab yang menghebohkan pada saat itu adalah Fi al-Adab al-Jahily salah satu diantaranya mengajak untuk tidak menerima kebenaran cerita fiksi yang ada dalam kitab-kitab seperti Taurat, Injil dan Al-Quran, akan tetapi biarkan sejarah yang membuktikannya. Begitu juga ia berpendapat bahwa Mesir merupakan bagian dari kebudayaan Barat dari segi kultural bukan dari segi geografi. Dalam bidang pendidikan , tujuan pendidikan adalah peradaban dan ilmu pengetahuan sebagai bagian vital dalam pengajaran kebijakan berwarga negara yang kondusif dan demokratis. Pendidikan dasar harus bersifat universal dan diwajibkan, sedangkan pendidikan menengah sedikit mengalami kesukarann karena ada beberapa macam pendidikan seperti keagamaan, asing dan negeri, akan tetapi pemerintah harus mengadakan kontrol, sekolah asing harus mengajarkan bahasa nasional bahasa Arab, sejarah, geograpi dan agama nasional ( Islam), begitu juga sekolah misionaris kristen harus mengajarkan agama Islam kepada siswanya yang beragama Islam. Sekolah-sekolah tingkat dasar yang berada di bawah al-Azhar harus berada di bawah pengawasan pemerintah. Sekolah-sekolah negeri harus segera diperbanyak, pendidikan menengah harus tersedia bagi siapa saja yang sanggup membayar, sedangkan bagi keluarga miskin digratiskan. Perguruan tinggi tidak banyak diatur agar tetap absolut indefendent. Sedangkan materi pelajaran harus dirubah.[99]

5. Saad Zaglul Pada tahun 1871 ia belajar di Al-Azhar menjadi muridnya Muhammad Abduh dan pernah menjadi pembantu dalam memimpin majalah Al-Waqai al-Mishriyah sang guru Muhammad Abduh.

Dalam karirnya ia pernah menjadi Menteri Pendidikan, kemudian pindah ke Kementerian Kehakiman, dan tahun 1913 menjadi wakil ketua DPR. Ide-ide pembaharuannya di bidang politik berhasil mengadakan perlawanan politik terhadap kolonial Inggris yang pada akhirnya Inggris mengabulkan kemerdekaan kepada Mesir pada tahun 1922. Setelah medeka ia mendirikan partai Wafd dan ditunjuk menjadi perdana Menteri.[100] Ide pembaharuannya adalah merubah faham nasionalisme arab menjadi nasionalisme Mesir, dalam bidang pendidikan, pendidikan harus terbuka untuk semua orang termasuk fakir miskin, jumlah sekolah diperbanyak, bahasa inggris sebagai bahasa pengantar diganti dengan bahasa Arab dan mendirikan Perguruan Tinggi Hakim Agama.[101] Selain tokoh-tokoh pembaharuan di Mesir ini, masih banyak yang berjasa seperti yang dituliskan Harun Nasution, antara lain Syaikh Muhammad al-Bakhit, Syaikh Mustafa al-Maraghi, Syaikh Ali Surur al-Zankalun , Muhamma Farid Wajdi, Tantawi al-Jauhari,Ahmad Taimur, Sayyid Mustafa Luthfi al-Manfaluti dan Muhammd Hafiz Ibrahim.[102]

C. Pembaharuan Islam di Turki 1. Latar Belakang Pembaharuan di Turki Kekalahan militer Turki Usmani di Lepanto ( 1571M), dan kegagalan dalam menaklukan Wina (1683M) merupakan tanda pergeseran kekuatan. Militer Kristen Eropa lebih kuat dibandingkan dengan Militer Turki Usmani. Solusi yang ditempuhnya adalah harus mengadopsi kemajuankemajuan yang telah dicapai Eropa. Adopsi kemajuan tersebut melahirkan gerakan pembaharun di Turki.[103] Turki adalah bekas jantung tempat salah satu kekhalifahan terbesar Islam, yakni Turki Usmani. Oleh karena itu keterikatan bangsa Turki dengan Islam berlangsung sangat kuat sebab mereka bangsa terkemuka di dunia Islam selama beratus-ratus tahun lamanya. Ini merupakan suatu indikasi tentang betapa pentingnya Islam dalam kehidupan nasional rakyat Turki. Secara politis setiap orang yang bertempat tingal di Turki, tetapi secara kebudayaan orang Turki adalah hanya orang Islam.[104] Langkah-langkah pembaharuan yang dilakukan adalah, pertama mengirim para pelajar ke luar negeri, kedua pengiriman duta besar ke Eropa, ketiga mendatangkan guru dari Eropa,mendirikan selokah teknik militer, Pembentukkan badan penerjemah,menulis beberapa buku matematiaka, geografi, kedokteran, sejarah dan agama, pendirian penerbitan dan percetakan. Bangsa Turki adalah orang-orang dan bermartabat dengan suatu persepsi mengenai mereka sendiri sebagai masyarakat terhormat dan unggul. Dengan demikian Turki sebuah identitas kebangsaan yang membanggakan warganya. Contoh paling ekspresif mengenai hal ini ditinjukkan oleh Ziya Gokalp ( 1876-1924) dalam salah satu pernyataannya I am Turk, my religion and may race are noble dan ungkapan yang lebih fanatik dan angkuh dikatakan Mustafa Kemal menyatakan Saya adalah Turki, merongrong saya sama dengan menghancurkan Turki.[105] Pembaharuan yang terjadi di Turki terdapat tiga aliran: aliran Barat, aliran Islam dan aliran nasonalis. Menurut tokoh yang beraliran Barat, Turki mundur karena bodoh yang disebabkan

syariah yang menguasai seluruh kehidupan bangsa Turki, solusinya Barat harus dijadikan guru, tokohnya Tewfik Fikret. Kedua menurut Aliran Agama, Syariat Islam tidak menjadi penghalang kemajuan. Turki mundur karena tidak menjalankan syariat Islam, sehingga Syariat Islam harus dijalankan di Turki, tokohnya Mehmed Akif. Ketiga aliran nasionalis berpendapat kemunduran Turki disebabkan karena Umat Islam yang enggan mengakomodir perubahan-perubahan, tokhnya Zia Gokalp.[106] Begitu juga dalam Pembaharuan Pendidikan Islam dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya, dan dengan memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami oleh Bangsa Eropa, maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut adalah : (1) pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Eropa, (2) golongan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni, (3) usaha yang berorientasi pada Nasionalisme. 1. Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pendidikan modern di Barat. Mereka berpandangan, pada dasarnya kekuatan dan kesejahteraan yang dialami Barat adalah hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Golongan ini berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh Barat sekarang ini merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan itu harus dikuasai kembali. Cara pengembalian itu tidak lain adalah melalui pendidikan, karena pola pendidikan Barat dipandang sukses dan efektif, maka harus meniru pola Barat yang sukses itu. Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat, mulai timbul di Turki Utsmani akhir abad ke 11 H / 17 M setelah mengalami kalah perang dengan berbagai negara Eropa Timur pada masa itu.[107] Pada dasarnya, mereka (golongan ini) berpandangan bahwa pola pendidikan Islam harus meniru pola Barat dan yang dikembangkan oleh Barat, sehingga pendidikan Islam bisa setara dengan pendidikan mereka. Mereka berpandangan bahwa usaha pembaharuan pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan lembaga pendidikan / sekolah dengan pola pendidikan Barat, baik sistem maupun isi pendidikannya.[108] Jadi intinya, Islam harus meniru Barat agar bisa maju. 2. Golongan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Islam itu sendiri merupakan sumber dari kemajuan dan perkembangan peradaban Ilmu Pengetahuan modern. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya. Sebab-sebab kelemahan umat Islam meurut mereka adalah karena tidak lagi melaksanakan ajaran Agama Islam sebagaimana mestinya. Ajaran Islam yang sudah tidak murni lagi digunakan untuk sumber kemajuan dan kekuatan. Pola ini dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, dan Muhammad Abduh.[109] 3. Usaha yang berorientasi kepada Nasionalisme. Golongan ini melihat di Barat rasa Nasionalisme ini timbul bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern sehingga mengalami kemajuan yang menimbulkan kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan ini pada umumnya mendorong Bangsa timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme mereka masing-masing. Yang mendorong berkembangnya nasionalisme adalah karena kenyataannya mereka terdiri dari berbagai bangsa dengan latar belakang dan sejarah perkembangan kebudayaan yang berbeda satu sama lain.[110]

Golongan ini berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam dengan memperhatikan situasi dan kondisi objektif umat Islam yang bersangkutan. Dalam usaha mereka bukan semata mengambil unsur-unsur budaya Barat yang sudah maju, tetapi juga mengambil unsur dari budaya warisan bangsa yang bersangkutan. Ide kebangsaan inilah yang akhirnya menimbulkan timbulnya usaha merebut kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri dikalangan pemeluk Islam. Sebagai akibat dari pembaharuan dan kebangkitan kembali pendidikan ini terdapat kecendrungan dualisme sistem pendidikan kebanyakan negara tersebut, yaitu sistem pendidikan modern dan sistem pendidikan tradisional. [111] Diantara beberapa tokoh pembaharuan di Turki adalah Sultan Salim III, Sultan Mahmud II, Tanzimat, Kelompok Usmani Muda, Turki muda, dan Mustafa Kemal. Sebelum Sultan Mahmud II gerakan pembaharuan sudah dimulai akan tetapi belum banyak perubahan yang terjadi, seperti pada tahun 1644-1702 Husen Koprulu dan Damad Ibrahim (1719-1730 M) keduanya menjadi Wajir Agung mengadakan pembaharuan akan tetapi mendapat tantangan dari Feyzullah sebagai syaikh al-Islam yang menyebabkan konflik internal dan berhasil wajir tersebut.[112] [1] Prof. Dr. H. Abubakar Atjeh, Muhyi Atsaris Salaf, h. 21 [2] Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 2003.hlm. 21 [3] Lihat Harun Nasution, dalam buku Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan Gerakan,h.5-6, yang membagi sejarah Islam kedalam tiga periode besar: Klasik, pertengan dan modern. [4] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: hal. 109 [5] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan Gerakan,h. 3. [6] Oxpord,h. 105 [7] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam sejarah pemikiran dan Gerakan, h. 6 [8] M. Riza Sihbudi dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, (Bandung, PT. Eresco,1993).h. 81-82.) [9] Prof. Dr. Jaih Mubarok,M.Ag, Sejarah Perdaban Islam,Pustaka Islamika, 2008 cet-1.h.227 [10] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan , h. 28-33. [11] Ibid . h.23 [12] Ibid [13] Ibid. h. 24-25 [14] Philip K. Hitti, History of The Arabic , ( Terjemahan R. Cecep Lukman), Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, h. 924 [15] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada. 1998, hal. 65-66.

[16] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 59 [17] Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, Pustaka, Panjimas, Jakarta, 1986, hln. 90-92 [18] John J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta, 1995, cet.5.h.1 [19] T. Al-Tanawi, Muzzakir Al-Imam Muhammad Abduh, Qahirah Darul Hilal, t.t. hlm. 29 [20] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 69. [21] Ibid.h. 69 [22] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 34-35. [23] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, hlm. 71 [24] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.h.36 [25] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.h.36-38 [26] Jaih Mubarok, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, CV. Pustaka Islamika, 2008. Cet1. H.228 [27] Philip K. Hitti, History of the Arab, h. 926. [28] Harun Nasution, Op.Cit. h. 39-41 [29] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran h. 148-149. [30] Philip K. Hitty, History of the Arabs (London: Mc. Millan & Co. Ltd., 1974), h. 724. [31] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.h.30-31 [32] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta. H.71-72 [33] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm.34 [34] Ibid. hlm.34-45 [35] Ibid. hlm. 36 [36] Ibid. H. 37 [37] Ibid. H.39-41 [38] Qasim Amin, Takhrir al-Marah (Kairo: Sadar al-Maarif, 1970), h. 42 [39] Ibid , h. 221

[40] Qasim Amin, Takhrir al-Marah , h. 221-222 [41] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 76 [42] DR. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta , hlm.155-156 [43] Ibid. H. 31 [44] DR. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta, h.155-156 [45] Prof. Dr. Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam. H.51-52 [46] Prof. Dr. Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam.h. 44 [47] Prof. Dr. Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam.h. 45 [48] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 78 [49] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 77 [50] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 77 [51] Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 158. [52] Ibid. H. 47 [53] Ibid. H. 48 [54] Ibid. H. 22 [55] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992.h.300 [56] Prof. Dr. Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam.h.53-54 [57] Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 159 [58] Harun Nasution, Op.Cit. h.50 [59] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 79 [60] Ibid.h. 50-53 [61] John J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, h.30 [62] Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 966. [63] Ahmad Barmawi, M.Ag, 118 Tokoh Muslim Genius Dunia, Jakarta, Restu Agung, 2006, cet-

1, h. 34 [64] Dedi Supriyadi,M.Ag., Perbandingan Fiqh Siyasah, Bandung, Pustaka Setia, 2007, cet1.h.136-137. [65] Ahmad Barmawi, M.Ag., Op.Cit. h. 35 [66] Prof. Dr. H. Abubakar Atjeh, Op. Cit. H. 11. [67] Ibid. H. 13. [68] Ibid. H. 36-37 [69] Ibid. H. 40-41 [70] Ibid. H. 41 [71] Ibid. H. 42 [72] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Sejarah Analisa perbandingan h. 58. [73] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta. UI Press, 1986, cet-2.h. 98. [74] Ibid. H. 98-99 [75] Harun Nasution, Ibid.h. 97 [76] Ahmad Barmawi, M.Ag., Op.Cit. h. 34 [77] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.), h. 181. [78] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 80-82

[79] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta , hlm. 80-82 [80] Dr. Ali Mufrodi, Op. Cit, hlm. 162. [81] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h.60 [82] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam,h. 60-61 [83] Ibid. H. 62 [84] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Cet. II; Bandung: Mizan, 1995), h.151 [85] Drs. Asmuni Yusran, Op. Cit, hlm. 78 [86] Ibid. H. 38-41

[87] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h.61 [88] Risan Rusli, pemikiran teologi modern dalam islam, ( Palembang , IAIN Raden Fatah Press, 2005.)hlm. 67-68 [89] Risan Rusli, pemikiran teologi modern dalam islam, ( Palembang , IAIN Raden Fatah Press, 2005)hlm. 71-72 [90] Prof. Dr. Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam.h.71 [91] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 70-71 [92] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h.70-71 [93] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. 70-71 [94] Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.h.223 [95] Syahrin Harahap, Al-Quran dan Sekularisasi (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 99. [96] Syahrin Harahap, Al-Quran dan Sekularisasi , h. 99. [97] Harun Nasution, Op.Cit. h. 77 [98] Albert Hourani, Arabic Thought in Liberal Age, 1798-1939, Canbrige University Press,1991.h.326 [99] C.C. Adam, Islam and Modernism in Egypt, Oxpord University Press, 1933, h. 258. [100] Harun Nasution, Op.Cit. h.72-73 [101] Harun Nasution, Op.Cit. h. 74 [102] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 68 [103] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Islamika, 2008, cet-1. h. 208 [104] Ajid Tohir: Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, h.218 [105] Ajid Tohor, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. H. 219 [106] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, h.215 [107] Drs. Edi Yusrianto, M.Pd. Lintasan Sejarah Pendidikan Islam. Pekanbaru : Intania Grafika. Hal.51 [108] Dra. Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. 1995. Hal : 118 [109] Drs. Edi Yusrianto. Lintasan Sejarah Pendidikan Islam. Hal : 53 [110] Dra. Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta. H.124

[111] Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, h.50-51 [112] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, h. 208
http://jorjoran.wordpress.com/2011/02/28/pembaharuan-islam-di-mesir-dan-turkimakalah/ 8 april 2012

You might also like