You are on page 1of 27

Dosen: Hadi Zakaria, S.Kom, M.M.

Mahasiswa: Muhamad Rizki Akbar (2010141286)

KATA PENGANTAR
Carut-marutnya dunia pendidikan di Indonesia sungguhnya merupakan sebuah realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai. Ironisnya, di saat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas tentu akan menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan di Indonesia. Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate (lulusan baru) harus dilatih dari awal lagi. Ini merupakan suatu pemborosan bagi pihak perusahaan sebagai pemakai lulusan perguruan tinggi. Maka dari itu, Pendidikan Anak Usia Dini memegang peranan penting dalam pendidikan anak. Karena sesungguhnya pendidikan memang harus dimulai sejak kecil agar anak dapat dididik oleh gurunya dengan metode dan kurikulum yang jelas, dan akan lebih baik lagi bila pendidikan untuk dunia kerja tidak hanya di ajarkan di perguruan tinggi saja, namun sudah diajarkan di SLTA agar mereka dapat menemukan jati diri mereka untuk bekerja menjadi apa di masa mendatang saat mereka dihadapkan di dunia kerja. Mereka secara bertahap harus dikenalkan pada lingkungan kerja seperti lingkungan pertanian, industri, bahkan wirausaha lainnya. Pengenalan itu tidaklah berlebihan, karena proses yang panjang dan bertahap justru lebih efektif untuk membangun skill anak di lembaga nonformal ini untuk dapat bersaing di dunia kerja. Di lain pihak, Indonesia mengalami krisis SDM sebenarnya berpangkal pada buruknya kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Untuk menghadapi krisis, sistem pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor kehidupan domestik dan pada beberapa kasus, juga

memerlukan sumber-sumber di luar batas nasional. Pendidikan memerlukan dana, namun anggaran pendidikan sulit bertambah. Pendidikan memerlukan sumber daya, khususnya sumber daya insani nasional yang terbaik untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, dan produktivitas. Pendidikan memerlukan prasarana dan sarana, materi pengajaran yang baik dan lebih baik. Di berbagai tempat, pendidikan memerlukan pula makanan bagi murid yang lapar agar mereka dalam kondisi siap belajar. Di atas semua itu pendidikan memerlukan hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang, yakni gagasan dan keberanian, keputusan, keinginan baru untuk mengetahui kemampuan diri yang diperkuat oleh suatu keinginan untuk berubah dan bereksperimen (Coombs, 1968 : 15). Berkaitan dengan frasa sistem pendidikan, lebih lanjut diungkapkan bahwa sistem pendidikan tidak hanya mengacu pada tingkat dan tipe pendidikan formal seperti sekolah kejuruan, umum dan spesialisasi, tetapi juga seluruh program dan proses sistematik pendidikan di luar pendidikan formal yaitu yang dikenal dengan pendidikan nonformal. Sistem pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan pendidikan formal maupun nonformal memiliki sejumlah input (masukan), yang diproses untuk memperoleh output (hasil) untuk memenuhi tujuan tertentu. Mengacu pada sistem pendidikan selanjutnya diungkapkan bahwa pendidikan dengan demikian merupakan suatu proses yang berinteraksi dengan lingkungannya. Output yang ingin dihasilkan dari suatu sistem pendidikan ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki oleh lingkungan atau masyarakat. Manusia yang terdidik hendaknya diperlengkapi untuk melayani masyarakat dan mengurus dirinya sendiri sebagai individu baik anggota keluarga, masyarakat, pemimpin, pekerja ekonomi, inovator, warga negara dan warga dunia dan penyumbang kebudayaan. Untuk itu, pendidikan harus mampu meningkatkan basic knowledge (pengetahuan dasar); intellectual and manual skills (keterampilan manual dan intelektual); power of reason critism (daya nalar atau kritik); values, attitudes and motivation (nilai-nilai, sikap dan motivasi); power of creativity and innovation (daya kreatif dan inovasi); cultural appreciation (apresiasi kebudayaan); sense of social responsibillity (tanggung jawab sosial); dan understanding of the modern world (memahami dunia modern).

DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................................. 1 KATA PENGANTAR ........................................................................................................... 2 DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 4 BAB I PERAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEMBENTUK SKILL .............................. 5 BAB II SASARAN DAN KARAKTERISTIK PENDIDIKAN NONFORMAL ................................... 10 1. Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Nonformal ...................................................... 10 2. Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini sebagai Pembentuk Karakter ........................ 11 BAB III PEMBELAJARAN MELALUI BERMAIN .................................................................... 17 a. Bercerita ..................................................................................................................... 18 b. Bernyanyi .................................................................................................................... 18 c. Berdarmawisata.......................................................................................................... 18 d. Bermain peran ............................................................................................................ 18 e. Peragaan/Demonstrasi ............................................................................................... 18 f. Pemberian Tugas ........................................................................................................ 19 g. Latihan ........................................................................................................................ 19 BAB IV PENGARUH DAN PERAN LINGKUNGAN................................................................. 19 1. Pengaruh Lingkungan Nonformal ............................................................................... 19 2. Pengaruh Lingkungan Informal................................................................................... 20 3. Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat................................................................... 21 4. Peranan Keluarga dan Lingkungan.............................................................................. 23 BAB V KESIMPULAN ........................................................................................................ 25 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 26

BAB I
PERAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEMBENTUK SKILL
Lingkungan yang berfungsi melahirkan individu-individu terdidik bukan hanya di lingkungan keluarga yang disebut juga lingkungan pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga lingkungan kedua, tetapi juga lingkungan masyarakat yang disebut juga lingkungan ketiga. (Purwanto, 1986 : 148). Peranan penting pendidikan pada lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau pendidikan nonformal dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia menjadi bagian dari pelbagai golongan dalam masyarakat, baik dengan sendirinya maupun dengan sengaja. Manusia dengan sendirinya adalah bagian dari keluarga, kota, negara dan kelompok agama. Tapi ada juga golongan yang dengan sengaja dimasuki seperti perkumpulan olah raga, serikat pekerja, koperasi, organisasi politik, perkumpulan kesenian dan lain-lain. Melalui kelompokkelompok inilah pendidikan nonformal dilakukan. Pendidikan nonformal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal, terlebih jika dikaitkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya krisis. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sejalan dengan itu, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF) merupakan upaya dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu layanan pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF sangat beragam, yaitu meliputi: (1) pendidikan kecakapan hidup, (2) pendidikan anak usia dini, (3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C, (4) pendidikan keaksaraan, (5) pendidikan pemberdayaan perempuan, (6) pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja (kursus, magang, kelompok belajar usaha), serta (7) pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan nonformal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek. Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan nonformal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan nonformal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan nonformal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut. Tidak hanya itu, lembaga pendidikan nonformal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan nonformal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini. Antonius Sumarno (2001:98), juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan nonformal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Di saat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan nonformal yang menciptakan lapangan pekerjaan. Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan nonformal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan nonformal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri

dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuaian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan nonformal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti. Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan nonformal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan". Pendidikan nonformal diharapkan dapat mengatasi pelbagai problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari (1994 :27) : Apa yang harus kita lakukan, agar kegiatan-kegiatan pendidikan nonformal yang kita selenggarakan benar-benar membawa kemajuan yang berarti, yaitu kemajuan yang lebih besar daripada pembengkakan berbagai problematika yang di hadapi, dan tidak kalah pula pesatnya dibandingkan dengan laju kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain. Pendidikan melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan nonformal memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa), continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training (latihan pekerja atau petani), dan extension service (pelayanan pendidikan tambahan) dan dianggap sebagai sistem bayangan (shadow system). Pelaksanaan pendidikan nonformal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara industri dan negara berkembang. Pada negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan nonformal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok. Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan nonformal berperan untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja, usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak memiliki keterampilan maupun pengetahuan yang dapat

diamalkan bagi dirinya sendiri maupun bagi pembangunan bangsanya. Peran lainnya adalah untuk meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti contohnya guru dan lainnya untuk bekerja di sektor swasta dan pemerintah, agar mereka bekerja lebih efektif. Di Tanzania nonformal berperan untuk menyelamatkan investasi pendidikan dari mereka yang tamat sekolah maupun drop out dari sekolah menengah, namun tidak memperoleh pekerjaan, dengan memberikan kepada mereka pelatihanpelatihan khusus (Coombs, 1968 : 143). Di Indonesia pendidikan nonformal mencakup pendidikan orang dewasa yang bertujuan agar bangsa Indonesia kenal huruf; dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang dewasa; mempergunakan segala sumber penghidupan yang ada; berkembang secara dinamis dan kuat; serta tumbuh atas dasar kebudayaan nasional . Tujuan yang sudah digariskan pada peta pendidikan sejak 27 Desember 1945 oleh BPKNIP ini (Poerbakawatja dan Harahap, 1981:270) masih memiliki relevansi hingga kini apalagi dalam menghadapi globalisasi. Konsep awal dari Pendidikan Nonformal ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Nonformal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya. Penjelasan yang sama terdapat pula di UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), di mana di sana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan di dua jalur, yakni jalur sekolah (pendidikan formal) dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan UU tentang SPN yang diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, istilah jalur pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah berubah menjadi sistem PF, PNF dan PIF. Dalam UU ini dijelaskan bahwa PNF adalah jalur pendidikan diluar PF yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan, terang Syukri (1997:34). Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka

mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan Pendidikan Nonformal penekanan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta

pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Sementara di ayat 3, di sana disebutkan bahwa Pendidikan Nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup (life skills); pendidikan anak usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan; serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Ditilik dari satuan pendidikannya, pelaksanaan Pendidikan Nonformal terdiri dari kursus; lembaga pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM); majelis taklim; serta satuan pendidikan yang sejenis (pasal 26 ayat 4). Di samping itu, dalam pasal 26 ayat 5, di sana dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan hasil program PF setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6).

BAB II
SASARAN DAN KARAKTERISTIK PENDIDIKAN NONFORMAL
1. Sasaran dan Karakteristik Pendidikan Nonformal Sasaran Pendidikan Nonformal dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni

pelayanan, sasaran khusus, pranata sistem pengajaran dan pelembagaan program. Ditilik dari segi pelayanan, sasaran Pendidikan Nonformal adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar (7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, Pendidikan Nonformal mendidik anak terlantar, anak yatim piatu, korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mental maupun cacat tubuh. Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan di lingkungan keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan keterampilan. Di segi layanan masyarakat, sasaran Pendidikan Nonformal antara lain membantu masyarakat melalui program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran Pendidikan Nonformal sebagai penyelenggara dan pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan, program kesenian tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator bahkan turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran di majelis taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat kursus. Sedangkan sasaran Pendidikan Nonformal ditinjau dari segi pelembagaan, yakni kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau pelaksana program pembangunan. Bagaimana dengan karakteristik Pendidikan Nonformal? Secara khusus

Pendidikan Nonformal memiliki spesifikasi yang unik dibanding pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini terlihat dari tujuan Pendidikan Nonformal , yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan, di mana dalam pelaksanaannya tidak terlalu menekankan pada ijazah. Dalam waktu pelaksanaannya, Pendidikan Nonformal terbilang relatif

singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan datang serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus.

10

Isi dari program Pendidikan Nonformal ini berpedoman pada kurikulum pusat pada kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi di mana penekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk Pendidikan Nonformal, hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta didik. Proses belajar mengajar dalam Pendidikan Nonformal pun relatif lebih fleksibel, artinya

diselenggarakan di lingkungan masyarakat dan keluarga. 2. Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini sebagai Pembentuk Karakter Pendidikan merupakan investasi terpenting yang dilakukan orang tua bagi masa depan anaknya. Sejak anak lahir ke dunia, ia memiliki banyak potensi dan harapan untuk berhasil di kemudian hari. Pendidikanlah yang menjadi jembatan penghubung anak dengan masa depannya itu. Dapat dikatakan, pendidikan merupakan salah satu pembentuk fondasi bagi tumbuh dan berkembangnya seorang anak untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Sebagai buah hati, maka dengan penuh rasa kasih sayang para orang tua rela berkorban demi anaknya, karena masa depan anak juga merupakan masa depan orang tua. Keberhasilan ataupun kegagalan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya akan terlihat dari perasaan hatinya manakala menyaksikan kehidupan anaknya ketika dewasa. Pada hakikatnya masa depan anak juga merupakan masa depan bangsa dan negara. Masa depan itu akan terlihat dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan, di saat mana jutaan anak yang ada sekarang ini memasuki usia remaja dan dewasa. Merekalah nantinya yang menjadi pelaku pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Kelak di antara mereka ada yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin bangsa yang kebijakannya akan turut menentukan arah perjalanan bangsa dan negara ini. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kelak akan sangat berbeda dengan kondisi yang ada sekarang ini. Kehidupan mendatang adalah kehidupan modern yang sangat dipengaruhi globalisasi yang semakin masif, ekstensif, dan seolah tanpa batas. Hubungan antar bangsa diwarnai oleh hubungan yang semakin kompetitif, karena semua bangsa berpacu untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat, maka generasi mendatang harus memiliki kecerdasan, keterampilan, produktivitas kerja yang tinggi, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, ahli dan profesional minimal di bidangnya masing-masing.

11

Dunia pendidikan memang sangat diperlukan untuk membentuk generasi seperti itu. Akan tetapi, pendidikan sebagai proses berkelanjutan tidak semata diarahkan kepada hal yang bersifat reaktif atau untuk kepentingan jangka pendek, ia juga harus bersifat proaktif yang artinya pendidikan juga harus berorientasi kepada kemampuan untuk mengantisipasi permasalahan yang lebih luas dan mampu menjawab tantangan yang lebih kompleks di masa yang akan datang. Untuk membentuk generasi yang demikian itu, maka calon-calon generasi mendatang itu harus dipersiapkan pertumbuhan dan perkembangannya sedini mungkin, yakni sejak mereka lahir sampai berusia enam tahun, sehingga mereka memiliki akar yang kuat sebagai fondasi untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi. Arti pentingnya pendidikan dini pada anak telah menjadi perhatian internasional. Dalam pertemuan Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di Dakkar, Senegal, telah menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan untuk semua yang salah satu butirnya menyatakan: memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung. Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia Taman Kanak-kanak (4 - 6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Menurut hasil penelitian di bidang neurologi seperti yang dilakukan oleh Dr. Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0 - 4 tahun mencapai 50% (Cropley, 94). Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang secara optimal. Hasil penelitian di Baylor College of Medicine menyatakan bahwa lingkungan memberi peran yang sangat besar dalam pembentukan sikap, kepribadian, dan pengembangan kemampuan anak secara optimal. Anak yang tidak mendapat lingkungan baik untuk merangsang pertumbuhan otaknya, misal jarang disentuh, jarang diajak bermain, jarang diajak berkomunikasi, maka perkembangan otaknya akan lebih kecil 20 - 30% dari ukuran normal seusianya (Depdiknas, 2003:1). Secara keseluruhan hingga usia delapan tahun, 80% kapasitas kecerdasan manusia sudah terbentuk, artinya kapasitas kecerdasan anak hanya bertambah 30%

12

setelah usia empat tahun hingga mencapai usia delapan tahun. Selanjutnya kapasitas kecerdasan anak tersebut akan mencapai 100% setelah berusia sekitar 18 tahun (Abdulhak, 2002). Oleh sebab itu masa kanak-kanak dari usia 0 - 8 tahun disebut masa emas yang hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga sangatlah penting untuk merangsang pertumbuhan otak anak melalui perhatian kesehatan anak, penyediaan gizi yang cukup, dan pelayanan pendidikan. Menurut psikologi perkembangan dan berdasarkan riset neurologi tentang pertumbuhan otak, usia dini meliputi anak yang berusia 0 - 8 tahun. Dalam hal ini, pendidikan anak usia dini merupakan konsep tentang perlakuan dini terhadap anak yang berada pada usia prasekolah atau usia sekolah yaitu di kelas-kelas awal SD (kelas 1, 2 dan 3) (Supriadi, Pikiran Rakyat). Namun dalam hal ini pembahasan mengenai anak usia dini dibatasi mulai usia 0 6 tahun sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 1 ayat 14 dan pasal 28 ayat 1 bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Sedemikian vitalnya anak usia dini, maka sangat dianjurkan kepada orang tua untuk memberikan vaksinasi dan selalu memberikan nutrisi lengkap dan seimbang kepada anaknya, agar anak mempunyai tubuh yang sehat, kuat dan otak yang cerdas. Orang tua juga harus memperlakukan anak secara hati-hati dan benar, agar anak memiliki karakter dan kepribadian yang tepat untuk perkembangannya lebih lanjut. Anak usia dini dapat digolongkan ke dalam anak usia prasekolah yang pertumbuhannya terbagi dalam dua tahap, yakni: (1) Usia sejak lahir sampai dengan usia 2 tahun. Pada usia ini pertumbuhan anak lebih mengarah kepada fungsi-fungsi biologis. Ia menggunakan mulut sebagai sarana terpenting; (2) Usia antara 2-6 tahun. Pada usia ini perkembangan pancaindra sangat menonjol, sehingga dalam proses belajarnya pun mereka menggunakan pancaindra. Ada tiga macam perkembangan yang terjadi pada usia ini, yakni perkembangan motorik (fungsi gerak), perkembangan bahasa dan berpikir, dan perkembangan sosial. Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan

13

rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan Anak Usia Dini (selanjutnya, PAUD) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, sosio-emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa, dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Seperti halnya jenjang pendidikan lainnya, jenjang PAUD merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, dikenal adanya tiga bentuk jalur pelaksanaan PAUD, yakni; Pertama adalah PAUD jalur pendidikan formal yakni pendidikan yang terstruktur untuk anak berusia empat tahun sampai enam tahun seperti Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), dan bentuk lain yang sederajat. Kedua, PAUD jalur pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran secara fleksibel untuk anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia enam tahun, seperti Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (Play Group), dan bentuk lain yang sederajat. Ketiga, PAUD jalur pendidikan informal sebagai bentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan untuk pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia enam tahun. Pendidikan bisa saja diberikan untuk bayi yang belum lahir seperti yang dilakukan para orang tua dengan cara memperdengarkan musik klasik kepada bayinya yang masih berada dalam kandungan. Secara garis besar, pendidikan biasanya berawal pada saat bayi dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Dalam agama Islam ada anjuran, tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahad, yang berarti bahwa pendidikan itu harus dilakukan sedini mungkin, di mana saja, kapan saja dan berlangsung seumur hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diamanatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Masyarakat, dan Orang Tua. Dalam hal penyelenggaraan PAUD dewasa ini terlihat bahwa masyarakat yang lebih berperan, di mana institusi-institusi pendidikan yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat lebih banyak dan beragam yakni mencapai sekitar 80 persen sedangkan yang dibangun oleh pemerintah hanya 10 persen dari lembaga yang ada. Meski pengelolaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, ternyata angka partisipasi pendidikan di

14

Indonesia di berbagai jenjang pendidikan masih tergolong rendah, termasuk dalam hal ini rendahnya partisipasi anak balita untuk memasuki PAUD. Minimnya pengetahuan orang tua tentang pentingnya PAUD, keterbatasan ekonomi keluarga, dan keterbatasan anggaran biaya pemerintah untuk alokasi penyelenggaraan PAUD merupakan faktor penyebab anak usia balita tidak tersentuh pendidikan. Berdasarkan hasil pendataan Depdiknas tahun 2004, baru sekitar 15,6 persen dari 11,5 juta anak usia 4-6 tahun yang bersekolah di TK, sedangkan untuk anak usia 0-3 tahun, hanya sekitar 15,8 persen yang tersentuh pelayanan anak usia dini. Data itu menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan angka partisipasi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2002, sebanyak 72 persen anak Indonesia usia nol sampai enam tahun di Indonesia, belum tersentuh pendidikan usia dini, karena pada tahun itu baru 7,34 juta atau 28 persen dari 26,1 juta anak usia 0-6 tahun yang mendapat pendidikan usia dini. Sebagian besar di antara mereka, yakni 2,6 juta, mendapatkan pendidikan dengan jalan masuk ke Sekolah Dasar pada usia lebih awal. Sebanyak 2,5 juta anak mendapat pendidikan di Bina Keluarga Balita (BKB), 2,1 juta anak bersekolah di TK atau Raudhatul Atfhal, dan sekitar 100.000 anak di Kelompok Bermain. Berbeda dengan beberapa negara maju yang memandang pembinaan anak usia dini adalah suatu proses persiapan pemberdayaan sumber daya manusia yang sangat penting, sehingga Pendidikan Anak Usia Dini dilakukan secara sangat intensif dan mendapat perhatian yang sangat tinggi. Alasannya bukan karena orang tua mereka bekerja, tetapi justru karena pada orang tua sudah tertanam pemahaman bahwa pada usia dini anak-anak berada pada posisi paling ideal menerima dukungan untuk mengembangkan kepribadian dan jati dirinya. Dengan pemberdayaan yang baik pada usia dini, akan dihasilkan anak-anak yang masa depannya cerah karena mereka menjadi orang dewasa yang kreatif dan mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Kendalanya di Indonesia adalah bahwa tidak setiap orang tua punya pengetahuan dan kesiapan untuk mendidik anaknya secara betul. Seorang ibu memang telah memiliki asam garam dalam mengasuh anak-anak mereka, akan tetapi agar perkembangan potensi anak berjalan maksimal, maka diperlukan kiat-kiat tertentu, seperti pengetahuan tentang psikologi anak, aktivitas yang mereka sukai, dan cara terbaik dalam mendidik mereka. Adakalanya karena faktor ketidaktahuan itulah, maka tidak jarang, dalam beberapa hal orang tua memperlakukan anaknya secara berlebihan atau dengan

15

cara paksaan mengajarkan hal-hal yang sesungguhnya belum saatnya mereka terima sehingga justru menjerumuskan si anak itu sendiri. Oleh karena itu, PAUD memegang peranan penting dalam pendidikan anak. Melalui PAUD anak dapat dididik oleh gurunya dengan metode dan kurikulum yang jelas. Melalui PAUD, mereka dapat bermain dan menyalurkan energinya melalui berbagai kegiatan fisik, musik, atau keterampilan tangan. Mereka juga dapat belajar berinteraksi secara interpersonal dan intrapersonal. Kepada mereka secara bertahap dapat dikenalkan huruf atau membaca, lingkungan hidup, pertanian, dan bahkan industri. Pengenalan itu tidaklah berlebihan, karena dalam penyampaiannya disesuaikan dengan dunia anak, yakni dunia bermain sehingga proses belajarnya menyenangkan. Anak memang sering kali mengekspresikan ide dan perasaannya melalui permainan, sehingga ketika mereka merasa menikmati dan senang dengan apa yang diajarkan itu, maka dengan sendirinya akan bermanfaat bagi perkembangannya. Satuan PAUD seperti Kelompok Bermain merupakan media bagi anak untuk bersosialisasi dalam masyarakat kecil. Kelompok Bermain merupakan kegiatan bermain yang teratur pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan dan program kesejahteraan bagi anak berusia dua tahun sampai enam tahun. Dalam kelompok itu, mereka akan menyesuaikan diri dalam lingkungan yang lebih luas, selangkah lebih mandiri, memiliki kebanggaan menjadi anggota kelompok bermain di luar anggota keluarganya, dan sejumlah manfaat lainnya yang pada gilirannya secara tidak sadar mendorong minat dan potensi anak untuk belajar. Ada empat pertimbangan pokok pentingnya pendidikan anak usia dini, yaitu: (1) menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas, (2) mendorong percepatan perputaran ekonomi dan rendahnya biaya sosial karena tingginya produktivitas kerja dan daya tahan, (3) meningkatkan pemerataan dalam kehidupan masyarakat, (4) menolong para orang tua dan anak-anak. Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi untuk memberikan pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting berfungsi untuk mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini sepatutnya juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak terbatas pada proses pembelajaran yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Artinya, pendidikan anak usia dini dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja seperti halnya interaksi manusia yang terjadi di dalam keluarga.

16

BAB III
PEMBELAJARAN MELALUI BERMAIN
Anak-anak usia dini dapat saja diberikan materi pelajaran, diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan bukan hanya itu saja, mereka bisa saja diajari tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya. Jerome Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya (Supriadi, 2002: 40). Kuncinya adalah pada permainan atau bermain. Permainan atau bermain adalah kata kunci pada pendidikan anak usia dini. Ia sebagai media sekaligus sebagai substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil bermain yang melibatkan semua indra anak. Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Sayangnya, menurut Samples bermain sebagai gagasan yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam berbagai lingkungan budaya (Supriadi, 2002: 40). Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spiritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek. Kritik yang ditujukan kepada sejumlah TK bukan karena mereka mengajarkan berhitung, membaca, dan menulis melainkan caranya yang salah seakan-akan menjadikan TK sebagai miniatur SD. Padahal PAUD itu sesuatu yang lain dengan landasan psikologis dan pedagogis yang berbeda. Belajar Quantum dari De Porter & Hernacki serta revolusi belajar yang dibawakan oleh Dryden & Vos (Supriadi, 2002: 41) meletakkan titik berat pada pendinian belajar pada anak dengan memilih cara-cara yang sesuai, bukan pengakademikan belajar pada usia dini dua hal yang sangat besar perbedaannya.

17

Pembelajaran pada anak usia dini dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa metode (Direktorat PADU,2001; Depdikbud, 1998), di antaranya yaitu: a. Bercerita Bercerita adalah menceritakan atau membacakan cerita yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Melalui cerita daya imajinasi anak dapat ditingkatkan. Bercerita dapat disertai gambar maupun dalam bentuk lainnya seperti panggung boneka. Cerita sebaiknya diberikan secara menarik dan membuka kesempatan bagi anak untuk bertanya dan memberikan tanggapan setelah cerita selesai. Cerita tersebut akan lebih bermanfaat jika dilaksanakan sesuai dengan minat, kemampuan dan kebutuhan anak. b. Bernyanyi Bernyanyi adalah kegiatan dalam melagukan pesan-pesan yang mengandung unsur pendidikan. Dengan bernyanyi anak dapat terbawa kepada situasi emosional seperti sedih dan gembira. Bernyanyi juga dapat menumbuhkan rasa estetika. c. Berdarmawisata Darmawisata adalah kunjungan secara langsung ke obyek-obyek yang sesuai dengan bahan kegiatan yang sedang dibahas di lingkungan kehidupan anak. Kegiatan tersebut dilakukan di luar ruangan terutama untuk melihat, mendengar, merasakan, mengalami langsung berbagai keadaan atau peristiwa di lingkungannya. Hal ini dapat diwujudkan antara lain melalui darmawisata ke pasar, sawah, pantai, kebun, dan lainnya. d. Bermain peran Bermain peran adalah permainan yang dilakukan untuk memerankan tokoh-tokoh, benda-benda, dan peran-peran tertentu sekitar anak. Bermain peran merupakan kegiatan menirukan perbuatan orang lain di sekitarnya. Dengan bermain peran, kebiasaan dan kesukaan anak untuk meniru akan tersalurkan serta dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan. e. Peragaan/Demonstrasi Peragaan/demonstrasi adalah kegiatan di mana tenaga pendidik/tutor memberikan contoh terlebih dahulu, kemudian ditirukan anak-anak. Peragaan/demonstrasi ini sesuai untuk melatih keterampilan dan cara-cara yang memerlukan contoh yang benar.

18

f. Pemberian Tugas Pemberian tugas merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk langsung yang telah dipersiapkan sehingga anak dapat mengalami secara nyata dan melaksanakan tugas secara tuntas. Tugas dapat diberikan secara berkelompok ataupun individual. g. Latihan Latihan adalah kegiatan melatih anak untuk menguasai khususnya kemampuan psikomotorik yang menuntut koordinasi antara otot-otot dengan mata dan otak. Latihan diberikan sesuai dengan langkah-langkah secara berurutan.

BAB IV
PENGARUH DAN PERAN LINGKUNGAN
1. Pengaruh Lingkungan Nonformal Para ahli, baik Piaget maupun Kohlberg (Papalia, et.al, 1998; Parke dan Hetherington, 1994; Santrock, 1999; Singgih, 1991; Rice, 1993) nampaknya sependapat bahwa orang tua mempunya peran besar bagi pembentukan dan perkembangan moral seorang anak. Tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai-nilai moral, etika, budi pekerti bahkan nilai religiusitas sejak dini kepada anak-anaknya akan membekas di dalam hati sanubarinya. John Locke mengibaratkan bahwa hati dan otak pada diri seorang anak masih berupa lembaran kertas kosong putih bersih (tabula rasa dari bahasa Latin yang berarti kertas kosong). Lembaran itu masih bersifat murni, sehingga apapun yang terisi di atas lembaran itu sangat tergantung dari orang tua bagaimana ia menulis, mencoret, menggambar atau mewarnainya. Sementara itu, mendidik dan membimbing anak pun merupakan sebuah seni tersendiri. Tergantung bagaimana tipe pola asuh yang dipergunakan oleh orang tua dalam membimbing anak-anaknya, apakah ia menggunakan pola asuh otoriter, permisif, demokratis, atau situasional. Demikian pula, pendidikan yang telah diterima sejak masa anak-anak akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam diri remaja. Karena itu, tidak bias diabaikan peran dan tanggung jawab orang tua, yang kemudian mendapat pengaruh dari lingkungan pendidikan (sekolah), media masa, maupun situasi sosial politik Negara.

19

Seorang psikolog yang mendirikan aliran ekologis. Urie Brofenbrenner mengungkap bahwa microsystem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan cronosystem, memang mempengaruhi pola pikir dan perilaku individu, termasuk moralitasnya (Papalia, Olds dan Feldman, 1998;2001). Hal ini memang tergantung individu sejauh mana ia menyikapi semua sistem tersebut. Makin terampil dalam menyerap nilai-nilai positif dan menjauhi nilai-nilai negatif, maka makin baik pula ia dalam menerapkan nilai-nilai moral itu dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam keluarga individu dididik untuk menjadi seorang anak yang baik, yang tahu sopan santun dan etika serta mempunyai moral sifat yang terpuji. Selain dari keluarga pendidikan etika dan moral ini diperoleh juga dari pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal di masyarakat. Dari mulai lahir seorang anak akan didik dalam lingkungan keluarga (nonformal) dari yang tidak mengerti menjadi mengerti dan seterusnya hingga mereka dapat mengerti benar tentang bagaimana cara hidup yang baik, berprilaku dan bersopan santun. Selanjutnya seorang individu akan memasuki pendidikan Formal setelah mengalami penggemblengan dalam lingkungan pendidikan keluarga.

2. Pengaruh Lingkungan Informal Lingkungan pendidikan yang ketiga yang tidak kalah penting dan menjadi penentu berhasil tidaknya pendidikan pada lingkungan pendidikan nonformal dan formal adalah pendidikan informal (pendidikan masyarakat). Di sini mereka akan bergaul langsung dengan masyarakat yang mempunyai beraneka ragam sifat dan kepribadian. Mereka dituntut untuk bisa mengaplikasikan hasil dari pendidikan keluarga dan sekolah. Di dalam lingkungan pendidikan informal seorang individu akan diberikan pembelajaran mengenai bagaimana menentukan sikap, bermusyawarah dan sebagainya. Pendidikan informal adalah pendidikan yang dilakukan secara teratur, dengan sadar dilakukan, tetapi tidak terlalu ketat mengikuti peraturan-peraturan yang tetap, seperti pada pendidikan formal di sekolah. Karena pendidikan informal pada umumnya dilaksanakan tidak dalam lingkungan fasik sekolah, maka pendidikan informal identik dengan pendidikan luar sekolah. Oleh karena itu pendidikan informal dilakukan di luar sekolah, maka sasaran pokok adalah anggota masyarakat.

20

Sebab itu program pendidikan informal harus dibuat sedemikian rupa agar bersifat luwes tetapi lugas, namun tetap menarik minat para konsumen pendidikan. Berdasarkan penelitian di lapangan, pendidikan informal sangat dibutuhkan oleh anggota masyarakat yang belum sempat mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal karena sudah terlanjur lewat umur atau terpaksa putus sekolah karena suatu hal. Akhirnya tujuan terpenting dari pendidikan informal adalah program-program yang didasarkan kepada masyarakat harus sejalan dan terintegrasi dengan program-program pembangunan yang di butuhkan oleh rakyat. Lingkungan pendidikan baik Formal, Nonformal, maupun Informal sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan dan keberhasilan pendidikan seorang individu. Dari uraian di atas jelas pembelajaran yang didapatkan dari seorang individu tidak hanya berasal dari satu lingkungan pendidikan saja, melainkan dari banyak lingkungan pendidikan sehingga antara yang satu dengan yang lain saling menyempurnakan dan akhirnya akan menghasilkan didikan yang ideal dan berguna bagi masyarakat dan bangsanya.

3. Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat Kenyataan bahwa masih banyak anak usia dini yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan tak dapat dipungkiri, terlebih bagi masyarakat kelas bawah yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia yang berada di pedesaan. Hal itu disebabkan antara lain kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini masih sangat rendah. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi dan kesehatan untuk peningkatan kualitas anak, nampaknya jauh lebih baik daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hasil penelitian Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Jalal, 2002: 13) menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat memandang belum perlu pendidikan diberikan kepada anak usia dini. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa pemahaman masyarakat terhadap pentingnya PAUD masih sangat rendah serta pada umumnya mereka berpandangan bahwa pendidikan identik dengan sekolah, sehingga bagi anak usia dini pendidikan dipandang belum perlu. Lebih jauh Hadis (2002: 25) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadikan penyebab masih rendahnya kesadaran masyarakat di bidang pendidikan anak usia dini

21

seperti: ketidaktahuan, kemiskinan, kurang berpendidikan, gagasan orang tua tentang perkembangan anak yang masih sangat tradisional, kurang mau berubah, masih sangat konkret dalam berpikir, motivasi yang rendah karena kebutuhan yang masih sangat mendasar, serta masih sangat dipengaruhi oleh budaya setempat yang sempit. Rendahnya tingkat partisipasi anak mengikuti pendidikan prasekolah dapat juga dipengaruhi oleh beberapa hal lainnya seperti: (1) Masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (2) Rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Fakta menunjukkan (Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, 41.092 buah (99.46%) didirikan oleh pihak swasta sedangkan pemerintah hanya mendirikan 225 buah (0.54%). Jumlah TK tersebut tidaklah berimbang dengan jumlah anak yang seharusnya mengikuti pendidikan dini. Memang berhasilnya PAUD merupakan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat terutama keluarga yang merupakan penanggung jawab utama dalam optimalisasi tumbuh kembang anak. Peran pemerintah adalah memfasilitasi masyarakat agar mereka dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Upaya pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat antara lain melalui standarisasi kurikulum guna membantu masyarakat mengontrol penyelenggaraan pendidikan agar tidak merugikan peserta didik maupun masyarakat, peningkatan kemampuan profesi dan akademik bagi tenaga pendidik, peningkatan fungsi keluarga sebagai basis pendidikan anak, serta pengembangan manajemen pembelajaran yang mencakup pengembangan metodologi pembelajaran, pengembangan sarana dan bahan belajar termasuk bacaan anak, pengembangan permainan dan alat permainan serta pengembangan evaluasi tumbuh kembang anak. Dalam rangka memberikan perhatian secara khusus terhadap anak usia dini yang tidak terlayani pada lembaga formal (TK/RA) maka dibentuklah Direktorat PADU di lingkungan Depdiknas. Kehadiran direktorat ini terutama untuk memberikan layanan, bimbingan dan atau bantuan teknis edukatif yang tepat terhadap semua layanan anak usia dini (di luar TK dan RA) yang ada di masyarakat. Masyarakat itu sendiri juga perlu meningkatkan peran sertanya secara aktif dalam pelaksanaan, pembinaan, dan pelembagaan pembinaan anak. Untuk itu pemerintah perlu memberdayakan peran serta masyarakat sebagai upaya menumbuhkan dan

22

mengembangkan kemampuan masyarakat, dengan cara mengembangkan segala potensi yang dimiliki agar masyarakat memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Dalam kondisi seperti ini, sinergi antara pemerintah dengan masyarakat sangat diperlukan. Perlu pula diingat bahwa kebanyakan program PAUD masih berjalan sendiri-sendiri, tidak ada sinergi antar program yang ada di masyarakat. Sinergi berbagai unsur yang berkepentingan dalam pembinaan anak merupakan kunci keberhasilan upaya pembinaan anak. Pemerintah harus memperluas jaringan kemitraan. Jaringan kemitraan merupakan kunci efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan program pendidikan, di mana selama ini tumpang tindih program termasuk pembinaannya, merupakan kesalahan sebagai akibat tidak berjalannya jaringan kemitraan termasuk koordinasi sebagai salah satu komponennya. Di samping itu adanya jaringan kemitraan yang luas di setiap tingkatan institusi masyarakat, mulai dari pusat sampai grass-root, merupakan jawaban atas keberlangsungan suatu program di masyarakat. Program yang mempunyai jaringan kemitraan memiliki ciri-ciri antara lain tingginya komitmen semua unsur yang terlibat dan tingginya rasa memiliki masyarakat terhadap program yang ada. Kedua ciri ini merupakan komponen terpenting untuk menjamin keberlangsungan suatu program yang pada gilirannya mengarah pada pelembagaan program di masyarakat. Perluasan jaringan kemitraan agar efektif hendaknya diarahkan pada penciptaan situasi kondusif yang menumbuh kembangkan komitmen semua unsur dan kepemilikan oleh masyarakat terhadap suatu program.

4. Peranan Keluarga dan Lingkungan Bagi anak usia dini, orang tua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul, berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan sinaps baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang berdinding putih, bersih, dan tenang.

23

Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak. Memang benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor lingkungan merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal dasar tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi menyusut. Jika orang tua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga

pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB, TPA & lembaga PAUD sejenis). Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk bereksplorasi merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak, anak dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya pengalaman-pengalaman baru.

24

BAB V
KESIMPULAN
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting dan mendasar sebab merupakan hulu dalam pengembangan kecakapan manusia. Periode emas dalam tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir hingga usia delapan tahun. Penelitian di bidang neurologi mengungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak 50% terjadi pada empat tahun pertama kemudian mencapai 80% hingga usia delapan tahun dan akhirnya 100% pada usia 18 tahun. Anak-anak yang berada pada rentang usia dini yang memperoleh asupan pendidikan masih sangat sedikit. Anak usia 0 6 tahun berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang terlayani dalam PAUD di jalur pendidikan formal (TK/RA) baru sekitar dua juta anak sehingga peran pendidikan nonformal dalam membantu mengatasi masalah tersebut sangat penting dan mendesak. Kurangnya anak usia dini yang mendapatkan layanan pendidikan yang layak di antaranya karena sebab-sebab berikut ini: (1) Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan pada anak usia dini untuk membentuk kecakapan personal anak. (2) Masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang tersebar di masyarakat terutama di daerah pedesaan. Pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di daerah perkotaan lebih pesat dibandingkan di daerah pedesaan. (3) Rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini guna mengembangkan kecakapan antar personal ini. Terdapat 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, 225 buah atau sekitar 0.54% TK yang didirikan oleh pemerintah, selebihnya dibangun oleh pihak swasta.

25

DAFTAR PUSTAKA
Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif?. Jakarta: Mizan Media Utama. Anwar dan Ahmad, Arsyad. 2007. Pendidikan Anak Dini Usia. Bandung: Alfabeta. Abdulhak, Ishak. (2002). Memposisikan Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 54 59. CHA, Wahyudi dan Damayanti, Dwi Retna. 2005. Program Pendidikan Untuk Anak Usia Dini di Prasekolah Islam. Jakarta: Grasindo. Depdiknas. (2003). Bahan Sosialisasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. (2002). Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal PLSP pada Lokakarya Pengembangan Program PADU, Jakarta. Depdikbud. (1998). Petunjuk Kegiatan Belajar Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdikbud. Direktorat PADU. (2003). Model PADU Terintegrasi Posyandu. Jakarta: Direktorat PADU Ditjen PLSP Depdiknas. Direktorat PADU. (2002). Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP Depdiknas. Direktorat PADU. (2001). Informasi Tentang Pendidikan Anak Dini Usia Pendidikan Prasekolah Pada Jalur Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Direktorat PADU -Ditjen PLSP Depdiknas. Direktorat Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0 6 Tahun. Jakarta: Ditjen PLSP Depdiknas. Gutama. (2003). Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU). Makalah pada Pelatihan Penyelenggara Program PADU, Bandung. Hadis, Fawzia Aswin. (2002). Strategi Sosialisasi Dalam Memberdayakan Masyarakat. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 25 28. Indrawati, Maya dan Nugroho, Wido. 2006. Mendidik dan Membesarkan Anak Usia PraSekolah. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Isjoni. 2007. Saatnya Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jalal, Fasli. (2002). Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 9 18.

26

Rosadi, Damanhuri. (2002). Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Kerangka Otonomi Daerah". Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 60 72. Tientje, Nurlaila N.Q. Mei dan Iskandar, Yul. 2004. Pendidikan Anak Dini Usia Untuk Mengembangkan Multipel Inteligensi. Jakarta: Dharma Graha Group. Trisnamansyah, Sutaryat. (2003). Materi Pokok Perkuliahan Filsafat, Teori, dan Konsep Dasar PLS. Bandung: Makalah tidak diterbitkan. Sudjana, D. (2001). Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah, Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production. __________ (2003). Pendidikan Anak Usia Dini Dalam UU Sisdiknas. Pikiran Rakyat. Supriadi, Dedi. (2002). Memetakan Kembali Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Anak Dini Usia. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 36 42.

27

You might also like