You are on page 1of 152

172 / vol. 36 no. 6 September - Oktober 2009 ISSN: 0125-913 X http://www.kalbe.co.

id/cdk Artikel : Berita Terkini : Profil : 399 403 408 413 417 438 442 444 455 436 435 431 Sefalgia pada Penderita Obstructive Sleep Apnea di Laboratorium Tidur RS Mitra Kemayoran, Jakarta Maula Gaharu, Andreas Prasadja Botulinum Toksin A untuk Terapi Spastisitas Otot pada Sindrom Upper Motor Neuron V. Lorensia, Vita Kurniati Lubis Deteksi Klinis Sklerosis Multipel Khrisma Wijayanti Myasthenia Gravis: Current Review Rizaldy Pinzon Rabies: Diagnosis dan Penatalaksanaan Carta A. Gunawan Pemberian Aspirin pada Malam Hari Menurunkan Tekanan Darah Suplemen Folat Menurunkan Risiko Terlepasnya Plasenta Kejadian Hipoglikemia pada Pasien DM tipe 2 Berisiko Tinggi Sebabkan Demensia Kebanyakan Cola Menyebabkan Masalah pada Otot Uji Klinik Testosteron Gel Vitamin dan Sport DR. Dr. Muhammad Munawar, FESC, FACC, FSCAI: Harus Menjaga Kejujuran dan Komunikasi Antara Pasien Jangan Putus 172 / vol. 36 no. 6 September - Oktober 2009 ISSN: 0125-913 X http://www.kalbe.co.id/cdk Artikel : Berita Terkini : Profil : 399 403 408 413 417 438 442 444 455 436 435 431 Sefalgia pada Penderita Obstructive Sleep Apnea di Laboratorium Tidur

RS Mitra Kemayoran, Jakarta Maula Gaharu, Andreas Prasadja Botulinum Toksin A untuk Terapi Spastisitas Otot pada Sindrom Upper Motor Neuron V. Lorensia, Vita Kurniati Lubis Deteksi Klinis Sklerosis Multipel Khrisma Wijayanti Myasthenia Gravis: Current Review Rizaldy Pinzon Rabies: Diagnosis dan Penatalaksanaan Carta A. Gunawan Pemberian Aspirin pada Malam Hari Menurunkan Tekanan Darah Suplemen Folat Menurunkan Risiko Terlepasnya Plasenta Kejadian Hipoglikemia pada Pasien DM tipe 2 Berisiko Tinggi Sebabkan Demensia Kebanyakan Cola Menyebabkan Masalah pada Otot Uji Klinik Testosteron Gel Vitamin dan Sport DR. Dr. Muhammad Munawar, FESC, FACC, FSCAI: Harus Menjaga Kejujuran dan Komunikasi Antara Pasien Jangan Putus

Petunjuk untuk Penulis CDK menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan kepustakaan ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah berisi 2000 - 3000 kata ditulis dengan program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda, font Euro-stile atau Times New Roman 10 pt. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel / skema / grafik / ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- jelasnya dan telah dimasukkan dalam program MS Word. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974 ; 457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat : Redaksi CDK Jl. Letjen Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id Tlp: (021) 4208171. Fax: (021) 42873685 Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online) maka (para) penulis hendaknya menyadari bahwa makalah yang diterbitkan juga akan dapat lebih mudah dimanfaatkan oleh lingkungan yang lebih luas. Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e mail; oleh karena itu untuk keperluan tersebut tentukan contact person lengkap dengan alamat e-mailnya. Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan

atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 Petunjuk untuk Penulis CDK menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan kepustakaan ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah berisi 2000 - 3000 kata ditulis dengan program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda, font Euro-stile atau Times New Roman 10 pt. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel / skema / grafik / ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- jelasnya dan telah dimasukkan dalam program MS Word. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974 ; 457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat : Redaksi CDK Jl. Letjen Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id Tlp: (021) 4208171. Fax: (021) 42873685 Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online) maka (para) penulis hendaknya menyadari bahwa makalah yang diterbitkan juga akan dapat lebih mudah dimanfaatkan oleh lingkungan yang lebih luas. Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e mail; oleh karena itu untuk keperluan tersebut tentukan contact person lengkap dengan alamat e-mailnya. Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat

masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 daftar isi content Editorial 396 English Summary 398 Artikel Sefalgia pada Penderita Obstructive Sleep Apnea di 399 Laboratorium Tidur RS Mitra Kemayoran, Jakarta Maula Gaharu, Andreas Prasadja Botulinum Toksin A untuk Terapi Spastisitas Otot 403 pada Sindrom Upper Motor Neuron V. Lorensia, Vita Kurniati Lubis Deteksi Klinis Sklerosis Multipel 408 Khrisma Wijayanti Myasthenia Gravis: Current Review 413 Rizaldy Pinzon Rabies: Diagnosis dan Penatalaksanaan 417 Carta A. Gunawan Disfagia Neurogenik Fase Orofaringea Pasca-stroke Iskemik 422 pada Perempuan Pasca-melahirkan Laurentius Aswin Pramono Profil obat anti tuberkulosis (OAT): Rifampisin dan Etambutol 426 Berita Terkini Pemberian Aspirin pada Malam Hari Menurunkan Tekanan Darah 431 Suplemen Coenzyme Q10 Mengurangi Miopati akibat Terapi Statin 432 Mendengkur: Tanda Kesulitan pada Balita? 433 Albumin Meningkatkan Efek Diuretik Furosemid 434 Suplemen Folat Menurunkan risiko Terlepasnya Plasenta 435 Kejadian Hipoglikemia pada Pasien DM tipe 2 436 Berisiko Tinggi Sebabkan Demensia Kebanyakan Cola Menyebabkan Masalah pada Otot 438 Kecemasan Meningkatkan Intensitas Nyeri dan Disabilitas 439 Losartan Memberikan Manfaat bagi Pasien 440 dengan Regurgitasi Mitral Derajat Sedang Zinc untuk Diare 441 Uji Klinik Testosteron Gel442 Vitamin dan Sport 444 Keamanan Tinzaparin 446 St. John s Wort untuk Anak 448 Hati-hati dengan Cell Phone Elbow atau Cubital Tunnel Syndrome 449

Exforge HCT, 3 Macam Obat Antihipertensi dalam 1 Tablet 450 Praktis 451 Informatika Kedokteran 454 Profil 455 Info Produk 456 Laporan Khusus 458 Kegiatan Ilmiah 463 Gerai 465 Antar Sejawat 467 Agenda 468 RPPIK 470 395

Tahukah Anda bahwa gangguan tidur bisa merupakan faktor risiko pelbagai penyakit ? Salah satu yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan ialah hubungannya dengan stro ke dan penyakit jantung. Artikel di edisi ini membahasnya dalam hubungannya dengan sefa lgia keluhan yang pasti pernah diderita oleh setiap orang. Artikel lain mengenai beberapa penyakit yang relatif kurang dikenal, tetapi pentin g diketahui agar dapat didiagnosis sedini mungkin; miastenia gravis sering tersama r dengan kelemahan umum; demikian juga sklerosis multipel. Botulinum toksin juga akan dibicarakan dalam hubungannya dengan indikasi medis mengurangi spastisitas; cara ini relatif lebih efektif, tetapi bersifat invasif sehingga dengan demikian masih kurang populer. Informasi kedokteran terbaru dapat sejawat ikuti melalui rubrik Berita Terkini. Selamat membaca Redaksi Editorial CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009396 Redaksi mengucapkan : Selamat menunaikan ibadah puasa. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H. Minal Aidzin Wal Faidzin. Mohon Maaf Lahir & Bathin. Tahukah Anda bahwa gangguan tidur bisa merupakan faktor risiko pelbagai penyakit ? Salah satu yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan ialah hubungannya dengan stro ke dan penyakit jantung. Artikel di edisi ini membahasnya dalam hubungannya dengan sefa lgia keluhan yang pasti pernah diderita oleh setiap orang. Artikel lain mengenai beberapa penyakit yang relatif kurang dikenal, tetapi pentin g diketahui agar dapat didiagnosis sedini mungkin; miastenia gravis sering tersama r dengan kelemahan umum; demikian juga sklerosis multipel. Botulinum toksin juga akan dibicarakan dalam hubungannya dengan indikasi medis mengurangi spastisitas; cara ini relatif lebih efektif, tetapi bersifat invasif sehingga dengan demikian masih kurang populer. Informasi kedokteran terbaru dapat sejawat ikuti melalui rubrik Berita Terkini. Selamat membaca Redaksi Editorial CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009396 Redaksi mengucapkan : Selamat menunaikan ibadah puasa. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H. Minal Aidzin Wal Faidzin. Mohon Maaf Lahir & Bathin.

ISSN: 0125-913 X http://www.kalbe.co.id/cdk Alamat Redaksi Gedung KALBE Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 Tlp: 021-4208171 Fax: 021-4287 3685 E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id http://twitter.com/CDKMagazine Nomor Ijin 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 Penerbit Kalbe Farma Pencetak PT. Temprint Susunan Redaksi Ketua Pengarah Dr. Boenjamin Setiawan, PhD Pemimpin Umum Dr. Erik Tapan Ketua Penyunting Dr. Budi Riyanto W. Manajer Bisnis Nofa, S.Si, Apt. Dewan Redaksi Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir, MSc. Dr. Michael Buyung Nugroho Dr. Karta Sadana Dr. Sujitno Fadli Drs. Sie Djohan, Apt. Ferry Sandra, Ph.D. Budhi H. Simon, Ph.D. Tata Usaha Dodi Sumarna Redaksi Kehormatan Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta Prof. Dr. Abdul Muthalib, SpPD KHOM

Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonsia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Prof. DR. Dr. Charles Surjadi, MPH Pusat Penelitian Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta Prof. DR. Dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta DR. Dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Kanker Dharmais, Jakarta DR. Dr. med. Abraham Simatupang, MKes Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Prof. Dr. Sarah S. Waraouw, SpA(K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado Prof. DR. Dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/ Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta Prof. DR. Dra. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Prof. Dr. Faisal Yunus, PhD, SpP(K) Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Dr. R.M. Nugroho Abikusno, MSc., DrPH Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS Fakultas KedokteranUniversitas Udayana Denpasar, Bali Prof. DR. Dr. Ignatius Riwanto, SpB(K) Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RS Dr. Kariadi, Semarang Dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD Universitas Trisakti/ Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta Prof. DR. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI Sub Dept. Alergi-Imunologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K) Departemen Radiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN Departemen Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Dr. Hendro Susilo, SpS(K) Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo, Surabaya Prof. DR. Dr. Darwin Karyadi, SpGK Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, M.Kes Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

ENGLISH SUMMARY ENGLISH SUMMARY Cephalgia among Obstructive Sleep Apnea Patients in Sleep Laboratory, Mitra Kemayoran Hospital, Jakarta Maula Gaharu*, Andreas Prasadja** * Neurologist, WIN Pain Clinic,Kelapa Gading, Jakarta ** Physician, Sleep Technologist, Sleep Disorder Clinic RS Mitra Kemayoran, Jakarta Background Cephalgia and sleep disorders are closely related; especially in Obstructive Sleep Apnea (OSA) Objective To evaluate frequency of cephalgia among Obstructive Sleep Apnea patients Method A cross-sectional study was done on sleep disorder patients in sleep laboratory Mitra Kemayoran Hospital Jakarta, from January until Desember 2007. Result There were 65 patients, only 4 has no OSA based on PSG examination; 21.3% were mild, 23.0% moderate and 55.7% severe OSA. Men consisted of 98.4%. Mostly more than 45 years of age (57.4% -mean 43.86 13.87 years). Mean Body Mass Index (BMI) 26.53 (SD 5.14). Mean neck circumference 44.84 cm (SD 7.99). Mean Apnea Hypopnea Index (AHI) 38.90 (SD 25.55) and lowest Oxygen saturation 72.40% (SD 11.17). Fourty-two people had OSA and cephalgia (68.9%) with mean AHI 43.25 (SD 25.28), BMI 26.99 (SD 5.52), neck circumference 45.92 cm (SD 8.18) and oxygen saturation 71.69 (SD 11.50). Conclusion Cephalgia often followed sleep disorder OSA; this co-morbidity warrants better management. Keyword: Cephalgia, Obstructive Sleep Apnea (OSA)

CDK 2009; 36(6) : 399-402 Myasthenia Gravis: Current Review Rizaldy Pinzon Department of Neurology, Bethesda Hospital, Yogyakarta, Indonesia Abstract Myasthenia gravis (MG) is an acquired autoimmune disorder characterized clinically by weakness of skeletal muscles and fatigability on exercise. Weakness increases during the day and improves with rest. Extraocular muscle (EOM) weakness or ptosis is present initially in 50% of patients and 90% occurs during the course of illness. AChE inhibitors and immunomodulating therapies are the mainstays of treatment. In mild form, AChE inhibitors are used. Important risk factors for poor prognosis include age older than 40 years, a progressive disease, and thymoma. Key words : myasthenia - immunology v diagnosis v treatment - prognosis CDK 2009; 36(6) : 413-416 Rabies : Diagnosis and Management Carta A. Gunawan Dept. of Internal Medicine Faculty of Medicine, Mulawarman University/A. Wahab Sjahranie General Hospital Samarinda, East Kalimantan, Indonesia Abstract Rabies is an acute viral infection affecting central nervous system with 100% mortality. Rabies is a vaccine-preventable zoonotic disease, and safe and effective vaccines are available, but it remains a major health problem in Asia, Africa, South America. In Indonesia rabies cases are reported from almost all provinces. Lack of vaccine and immunoglobulin availability and its cost make the majority did not get proper treatments.

Mortality is reported approximately 55,000 / year, mostly men (7 : 3), 30-50 % are children under 15 years. The most common biting animals are dogs (90 %), mostly in lower extremities. Incubation period varies from 7 days to more than one year, mostly 1 v 3 months. Virus reaches central nerve system through peripheral nerves, multiplies in brain neuron and moves to motoric and autonomic nerve systems. Clinical manifestations comprises 4 stages : prodromal, acute neurologic symptoms, central nerve system impairments, coma. Most patients show furious state, some show paralytic type. Death is due to cardiorespiratory failure. Diagnosis mostly based on very specific clinical presentations. Other examinations are viral isolation, RT-PCR, rapid fluorescent antibody test, histopathologic examination. Management include patient isolation, early wound treatment, tetanus toxoid/ immunoglobulin, antibiotics, anti rabies vaccine, anti rabies immunoglobulin, symptomatic and supportive treatments, treatments of complications. Early and proper treatments can give 100 % survival rate, but if virus has reached central nervous system mortality is 100 %. Prevention measures are control in animals and wild dogs, animals vaccination, preexposure vaccination for high risk people, including travellers to endemic areas. Key words: Rabies, furious, paralytic, mortality. CDK 2009; 36(6) : 417-421 CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

HASIL PENELITIAN HASIL PENELITIAN Sefalgia pada Penderita Obstructive Sleep Apnea di Laboratorium Tidur RS Mitra Kemayoran, Jakarta Maula Gaharu*, Andreas Prasadja** *Dokter Spesialis Saraf WIN Pain Clinic, Kelapa Gading, Jakarta ** Dokter Sleep Technologist, Sleep Disorder Clinic RS Mitra Kemayoran, Jakarta ABSTRAK Latar Belakang: Sefalgia dan gangguan tidur diyakini terdapat keterkaitan antara keduanya, bahkan gangguan tidur Obstructive Sleep Apnea (OSA) lebih sering disertai sefalgia dibandingkan gangguan tidur lain. Tujuan: Mengetahui sefalgia pada gangguan tidur Obstructive Sleep Apnea. Metode: Penelit ian potong lintang pada populasi penderita gangguan tidur yang diperiksa di Laboratorium Tidur RS Mitra Kemayoran Jakarta. Periode penelitian Januari hingga Desember 2007. Sebelum dilakukan pemeriksaan polisomno grafi (PSG), pasien diberi kuesioner mengenai manifestasi kilnis gangguan tidur. Hasil: Dari 65 orang, hany a 4 orang tidak mengalami OSA berdasarkan pemeriksaan PSG. Derajat OSA pada sampel terdiri dari ringan 21. 3%, sedang 23.0% dan berat 55.7%. Proporsi laki-laki 98.4%. Rerata usia 43.86 tahun (SD 13.87). Kelom pok usia terbanyak pada kelompok usia >45 tahun (57.4%). Rerata Body Mass Index (BMI) 26.53 (SD 5.14). R erata lingkar leher 44.84 cm (SD 7.99). Rerata Apnea Hypopnea Index (AHI) 38.90 (SD 25.55) sedangkan rerata s aturasi oksigen terendah 72.40% (SD 11.17). Manifestasi sefalgia pada OSA didapatkan pada 42 orang (68.9% ) dengan rerata AHI 43.25 (SD 25.28), BMI 26.99 (SD 5.52), lingkar leher 45.92 (SD 8.18) dan saturasi oksi gen terendah 71.69 (SD 11.50). Didapatkan kemaknaan pada kejadian sefalgia dengan AHI dan derajat OSA. Kesimpul an: Sefalgia sering menyertai OSA, sehingga perlu dicermati pada tatalaksana sefalgia. Kata kunci: Sefalgia, Obstructive Sleep Apnea (OSA) PENDAHULUAN Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan tidur yang sudah lama dikenal. Broadbent pada tahun 1877 pertama kali melaporkan gangguan tidur tersebut yang ditandai rasa kantuk berlebih saat siang hari. Prevalensi OSA sekitar 0,3-7,5% pada populasi(1), namun di Amerika kasus yang tidak terdiagnosis mencapai 82-93% pada kelompok usia dewasa muda. Sekitar 26% populasi mempunyai risiko OSA, terutama pada kelompok umur 30-49 tahun (25%) dan 50-64 tahun (33%).(2) Pria lebih sering mengalami OSA dibandingkan wanita (25% : 10%). Sefalgia merupakan manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita gangguan tidur. Beberapa penelitian melaporkan keterkaitan antara sefalgia, OSA dan mendengkur.(3) Sefalgia banyak ditemukan pada populasi umum dengan tidur mendengkur.(4) Sedangkan pada OSA, 18-41% kasus mengalami sefalgia.(3) Namun demikian kaitan antara derajat OSA dengan sefalgia tidak selalu bermakna.(5)

Penelitian ini bertujuan mengetahui sefalgia pada pasien yang menjalani polisomnografi untuk penentuan OSA. Selain itu, dicoba mencari faktor yang mungkin menjadi penyebab seperti kadar saturasi oksigen dan derajat OSA. METODOLOGI Penelitian dilakukan di Laboratorium Tidur RS Mitra Kemayoran Jakarta sejak Januari hingga Desember 2007 menggunakan disain potong lintang. Populasi penelitian adalah penderita gangguan tidur yang datang ke Laboratorium Tidur RS Mitra Kemayoran Jakarta. Pasien diberi kuesioner berupa beberapa pertanyaan tertutup mengenai manifestasi klinis yang dialami, kemudian dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan dan tekanan darah. Setelah itu dilakukan pemeriksaan menggunakan overnight Polisomnografi merk Embla tipe S-10. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

HASIL PENELITIAN HASIL PENELITIAN Body Mass Index (BMI) merupakan perbandingan berat badan dengan tinggi badan, nilai normal 18.5-24.9 kg/m2. Obesitas ditentukan berdasarkan BMI. Derajat OSA ditentukan berdasarkan Indeks Apnea-Hipopnea (AHI) yang merupakan jumlah apnea dan hipopnea setiap satu jam tidur (>30 berat, 16-30 sedang, 6-15 ringan dan <5 normal). Hipopnea ditandai dengan penurunan >50% aliran udara respirasi. Penurunan kadar saturasi oksigen terbagi menjadi ringan (85-89%), sedang (80-84%) dan berat (<80%). Pengolahan data dengan program SPSS versi 10.0. Hubungan faktor risiko antar kelompok dinilai dengan uji Chi Square atau uji mutlak Fisher dan batas kemaknaan 5%. Perbedaan nilai rerata dan deviasi standar (SD) antar kelompok menggunakan Student t test. Data ditampilkan dalam bentuk teks, grafik dan tabel. HASIL A. Karakteristik subyek penelitian Dari 65 orang hanya 4 orang yang tidak mengalami OSA pada pemeriksaan PSG. Laki-laki mendominasi sampel (98.4%); lebih dari separuh berada pada kelompok umur > 45 tahun (58%). (Grafik. 1) Rerata usia 43.86 tahun (SD 13.87) dengan rerata Body Mass Index (BMI) 26.53 kg/m2 (SD 5.14) dan rerata lingkar leher 44.84 cm (SD 7.99). Pada pemeriksaan PSG didapatkan rerata Apnea-Hypopnea Index (AHI) 38.90 (SD 25.52) dan rerata saturasi oksigen terendah 72.40% (SD 11.17). (Tabel.1) Tabel 1. Sebaran medis (n=61) BMI Obesitas53 86.9 Non Obesitas 8 13.1 Desaturasi Oksigen Berat46 75.4 Sedang4 6.6 Ringan 11 18 Derajat OSA Berat34 55.7 Sedang14 23.0 Ringan 13 21.3 Tabel 2. Perbedaan nilai rerata variabel pada OSA dengan sefalgia Ya Rerata SD Tidak Rerata SD Usia 43.76 13.88 43.76 13.88 0.930 BMI 26.99 5.52 26.99 5.52 0.303 Lingkar leher 45.92 8.18 45.92 8.18 0.116 AHI 43.25 25.28 43.25 25.28 0.047 Saturasi oksigen 71.69 11.50 74.00 10.53 0.460 Tabel 3. Sebaran karakteristik medik OSA dengan sefalgia

Derajat OSA Berat28 66.7 0.040 Sedang8 19.0 0.018 0.045 0.747 Ringan BMI* Obesitas6 38 14.30 90.5 0.569 0.409 0.141 0.560 2.938 11.459 Non-Obesitas Gasping Ya4 25 9.5 59.5 0.270 0.673 6.072 Tidak EDS Ya17 36 40.5 85.7 0.294 0.562 8.165 Tidak Hipertensi Ya6 26 14.3 61.9 0.403 0.604 5.397 Tidak Mendengkur* Ya16 42 38.1 100 0.681 0.204 0.442 Tidak Unfreshed Ya36 85.70 0.220 0.757 10.133 Tidak Insomnia Ya6 19 14.30 45.20 1.000 0.380 3.395 Tidak Nokturia Ya23 29 54.80 69.0 0.948 0.237 2.679 Tidak 13 31.0 Ket : *) Uji Fisher Exact CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

HASIL PENELITIAN insomnia; ditandai dengan periode henti nafas berulang, kadang disertai mendengkur dan kantuk berlebih pada siang hari. HASIL PENELITIAN insomnia; ditandai dengan periode henti nafas berulang, kadang disertai mendengkur dan kantuk berlebih pada siang hari. OSA disebabkan oleh menyempitnya saluran nafas atas secara periodik saat tidur. Penyempitan ini disebabkan oleh kelainan struktur anatomis atau gangguan neuromuskular.(2) Faktor risiko OSA meningkat seiring bertambahnya usia serta berkorelasi dengan obesitas dan jenis kelamin. Prevalensi meningkat pada dekade 5-6.(1) Pada penelitian ini, 58% kasus OSA banyak terjadi pada kelompok usia > 45 tahun dan didominasi pria (98.4%). Sefalgia sering menyertai OSA; dibandingkan gangguan tidur lain, sefalgia lebih sering terjadi pada gangguan tidur OSA.(5) Literatur melaporkan prevalensi sefalgia pada OSA antara 30% hingga >50%.(7) Pada penelitian ini, 68.9% OSA disertai keluhan sefalgia. Pada penelitian Neau JP dkk (7), sekitar 32.31% penderita OSA mengalami sefalgia yang lebih dari separuh (58.5%) berupa sefalgia pagi hari. Sedangkan Radford SBG dkk (8) melaporkan OSA pada 80.64% penderita sefalgia tipe klaster. Kelman L dkk (9) melaporkan sekitar separuh penderita migren mengalami gangguan tidur. Pada penelitian ini kami tidak melakukan klasifikasi sefalgia. Kendati keterkaitan antara OSA dan sefalgia masih kontroversial, hipoksia intermiten diyakini berperan pada abnormalitas vaskular pada OSA.(2,10,11) Bahkan hiperkoagulasi dapat terjadi akibat hipoksia intermiten tersebut.(12) Pada penelitian ini rerata saturasi oksigen terendah 71.69%, sedangkan pada penelitian lain rerata saturasi oksigen 88.4%.(8) Sama dengan penelitian Sand T dkk(13) dan Idiman F dkk(6), pada penelitian ini tidak didapatkan kemaknaan sefalgia dengan saturasi oksigen terendah. Kendati demikian hipoksia diyakini menjadi penyebab pada sefalgia pada ketinggian (altitude headache), bahkan Kudrow L dkk(14) melaporkan sefalgia pada OSA terjadi pada kadar saturasi oksigen terendah 65%. Berdasarkan derajat OSA, kami menemukan kemaknaan pada AHI>30; serupa dengan Radford SBG dkk (8) yang melaporkan 80% OSA dengan sefalgia mulai terjadi pada derajat OSA ringan-sedang (Respiratory Disturbance Index (RDI)>5). Pada penelitian lain yang menghubungkan durasi tidur dengan sefalgia, kelompok durasi tidur pendek ( 6 jam) lebih banyak mengalami sefalgia dibandingkan kelompok durasi tidur normal.(9) Fragmentasi tidur pada OSA akan mengurangi durasi tidur secara bermakna. Berbeda dengan Dodick DW dkk(16) yang menyatakan bahwa pemicu sefalgia pada penderita gangguan tidur adalah disfungsi sistim regulasi tidur. Penelitian ini tidak melakukan intervensi terapi. Neau JP dkk(7)

melakukan uvulopalatopharyngoplasti dan pemasangan continuous positive air pressure (CPAP) pada OSA dengan sefalgia; setelah setahun pemantauan didapatkan perbaikan pada 70.6% kasus meski tidak didapat perbedaan bermakna antara kedua modalitas tersebut. SIMPULAN Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan tidur yang sudah lama dikenal. Keterkaitan antara sefalgia dan OSA masih kontroversial, namun dengan memperhatikan komorbiditas sefalgia pada OSA diharapkan tatalaksana sefalgia dapat bersifat holistik. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

HASIL PENELITIAN HASIL PENELITIAN DAFTAR PUSTAKA 1. Sharma KS, Kumpawat S, Banga A, Goel A. Prevalence and risk factors of obstructi ve sleep apnea syndrome in a population of Delhi,India. Chest 2006;130:149-156 Guilleminault C, Abad VC. Obstructive sleep apnea syndromes. Med Clin N Am 2004;88:611-630 3. Ohayon MM. Prevalence and risk factors of morning headaches in the general popul ation. Arch Intern Med 2004;164:97-102 4. Ulfberg J, Carter N, Talback M, Edling C. Headache, snoring and sleep apnoea. J neurol 1996;243:621-5 5. Aldrich MS, Chauncey JB. Are morning headache part of obstructive sleep apnea syndrome? Arch Intern Med 1990;150:1265-7 6. Idiman F, Oztura I, Baklan B, Ozturk V, Kursad F, Pakoz B. Headache in sleep apn ea syndrome. Headache 2004;44:603-606 7. Neau JP, Paquereau J, Bailbe M, Maurice JC, Ingrand P,Gil R. Relationship betwee n sleep apnoea syndrome, snoring and headache. Cephalalgia 2002;22:333-39 8. Radford SBG, Newman A. Obstructive sleep apnea and cluster headache. Headache 2004;44:607-10 9. Kelman L, Rains JC. Headache and sleep: examination of sleep patterns and compla ints in a large clinical sample of migraineurs. Headache 2005;45:904-10 10. Foster GE, Poulin MJ, Hanly PJ. Sleep apnoea & hypertension: Physiological b ases for a causal relation: Intermittent hypoxia and vascular function: implications for ob structive sleep apnoea. Exp Physiol 2007;92:51-65 11. Kanel R, Dimsdale JE. Hemostatic alteration in patients with obstructive sle ep apnea and the implications for Cardiovascular Disease. Chest 2003;124:1956-67 12. Mc Nicholas WT, Bonsignore MR. Sleep apnoea as an independent risk factor fo r cardiovas cular disease: current evidence, basic mechanism and research prioriti es. Eur Respir J 2007;29:156-178 13. Sand T, Hagen K, Schrader H. Sleep apnoea and chronic headache. Cephalalgia 2003;23:90-95 14. Kudrow L, MacGinty DJ, Phillips ER, Stevenson M. Sleep apnea in cluster head ache. Cephalalgia 1984;4:33-8 15. Dodick DW, Eros EJ, Parish JM. Clinical, anatomical and physiologic relation - ship between sleep and headache. Headache 2004;43:282-92 Pada CDK-171, vol. 36 (5) th. 2009 terdapat kesalahan penulisan dan cetak : 1. Daftar isi halaman 317 : Halaman 355 dan 358 dicetak dua kali, seharusnya sat u kali.

2. Artikel Diare pada HIV oleh dr. Yuly : Halaman 344-6 terdapat kekurangan keterangan pada diagram 2. Enteropatogen penyebab diare pada 100 sampel tinja anak dengan AIDS.ERATA Diagram 2. Enteropatogen penyebab diare pada 100 sampel tinja anak dengan AIDS Mohon maaf atas kesalahan/kekurangan ini. Berikut kami muat kembali diagram tersebut dengan keterangannya yang benar. 3. Profil Prof. Dr. Djoko Widodo, DTM&H, SpPD-KPTI halaman 378, terdapat kesalah an tulis/cetak : -Kolom 1, paragraf 4, kalimat 1 : Beliau telah mengumpulkan 9 artikel karya ilmi ah hasil penelitian, 6 artikel karya ilmiah hasil penelitian dan banyak lagi tulisan ilmiah sebagai penulis utama dan pembantu. Seharusnya : Beliau telah membuat 9 karya ilmiah hasil penelitian yang dipublika sikan sebagai penulis utama, 6 karya ilmiah hasil penelitian yang dipublikasikan sebagai penulis pembantu dan banyak lagi tulisan ilmiah sebagai penulis utama dan pembantu. -Kolom 3, paragraf 4, kalimat 1: ......Apec......., seharusnya : APEC -Kolom 3, paragraf 4, kalimat 2 : ......Sudjono Djuned Pusponegiri......, seharu snya Sudjono Djuned Pusponegoro. Redaksi CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Botulinum Toksin A untuk Terapi Spastisitas Otot pada Sindrom Upper Motor Neuron V. Lorensia, Vita Kurniati Lubis Innogene Kalbiotech Pte,Ltd, Jakarta, Indonesia SINDROM UPPER MOTOR NEURON (UMN) Sindrom upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulan gejala motorik pada pasien yang mengalami lesi jaras kortikospinal.1 Lesi upper motor neuron dapat terjadi pada pasien yang mengalami stroke, cerebral palsy, trauma otak atau cedera medula spinalis, serta pada penyakit neurodegeneratif seperti sklerosis multipel, atau ensefalopati hipoksia pada korteks, kapsula interna, batang otak atau medula spinalis. Pada lebih dari 80% penderita stroke terjadi kerusakan jaras kortikospinal.2,3 Data American Heart Association 2009 menunjukkan bahwa di Amerika, setiap tahunnya sekitar 795.000 orang mengalami serangan stroke (serangan baru atau serangan ulangan). Stroke juga merupakan penyebab kematian ke-3 setelah penyakit jantung koroner dan kanker serta merupakan penyebab kecacatan jangka panjang yang utama.4 Stroke merupakan penyebab kematian nomor satu di rumahrumah sakit di Indonesia dan juga merupakan penyebab kecacatan jangka panjang yang utama di Indonesia.6 Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 25% atau 125.000 orang di antaranya meninggal dan sisanya menderita kecacatan ringan atau berat. Angka ini terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2020, jumlah penderita stroke akan meningkat 2 kali lipat.5 Dilihat dari segi umur, penderita stroke di Indonesia terbanyak pada kelompok usia produktif. Oleh karena itu apabila kecacatan yang terjadi dapat diatasi, maka penderita stroke yang produktif tersebut masih dapat terus berkarya.7 Tanda-tanda Klinis dan Perjalanan Penyakit Sindrom upper motor neuron menunjukkan tanda negatif (paralisis) dan tanda positif (spastisitas otot). Tanda negatif muncul segera setelah terjadi lesi upper motor neuron, disusul tanda positif sesudah beberapa hari. Berbagai tipe spastisitas otot pada sindrom upper motor neuron:8-11 Spastisitas, yaitu refleks meregang klonus dan tonik yang berlebihan. Secara klinis, karakteristik spastisitas adalah tahanan otot yang berlebihan terhadap regangan pasif. Istilah spastisitas sering digunakan sebagai istilah kolektif untuk semua gejala positif, bahkan juga untuk gejala yang tidak melibatkan refleks regangan. Spasme otot fleksor dan ekstensor Kontraksi bersamaan, yaitu kontraksi otot antagonis bersamaan dengan kontraksi otot agonis saat gerakan volunter, sehingga kontraksi otot antagonis ini menjadi tahanan terhadap gerakan otot agonis.

Sinkinesia, yaitu gerakan involunter alat gerak saat alat gerak sisi berlawanan melakukan gerak volunter. Distonia spastik, yaitu kontraksi otot tonik saat istirahat. Kontraktur, yaitu deformitas permanen akibat spastisitas otot yang terus-menerus sehingga otot memendek. Gambar 1. Perjalanan penyakit sindrom upper motor neuron (modifikasi dari Gracies JM)9 Gambaran Klinis Gambaran klinis sindrom UMN dapat berupa pola hemiplegia postural abnormal seperti adduksi bahu, fleksi siku dan pergelangan tangan, adduksi panggul, ekstensi lutut dan fleksi pergelangan kaki. Postur ini diduga akibat meningkatnya aktivitas neuron motorik otot, akan sangat mengganggu aktivitas harian penderita dan menimbulkan masalah-masalah berikut: Simptomatik: spasme, klonus, nyeri, postur tubuh abnormal Fungsi pasif: -Terganggunya kemampuan untuk merawat tubuh dan kebersihan diri, berpakaian -Kesulitan posisi untuk makan, tidur dan duduk Fungsi aktif: -Kesulitan memegang, meraih, melepaskan dan memindahkan obyek -Keterbatasan mobilitas, berjalan dan menopang tubuh CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Spastisitas Otot Spastisitas sering dibagi berdasarkan distribusinya. Distribusi spastisitas otot harus diperhatikan untuk menentukan penatalaksanaan :11,12 Kelainan setempat (fokal) ; misalnya fleksi siku, adduksi paha. Kelainan multipel (multifokal) ; misalnya mengenai beberapa sendi pada ekstremitas yang sama. Kelainan regional/multi-ekstremitas ; misalnya diplegia spastik. Kelainan menyeluruh (generalisata) ;misalnya spastisitas otot difus, kekakuan, klonus difus. Istilah spastisitas fokal sesungguhnya tidak tepat sebab bukan spastisitasnya yang setempat (fokal) melainkan masalah yang timbul akibat spastistas tersebut yang bersifat setempat. Pada keadaan ini, botulinum toksin merupakan salah satu pilihan pertama sebagai penatalaksanaan farmakologik.11 Gambar 2. Contoh spastisitas otot/spastisitas setempat (kiri), multipel (tengah) dan regional (kanan) pada sindrom UMN (Courtesy of Nathaniel Mayer1) PENATALAKSANAAN Diagnosis spastisitas otot tidak sulit, namun penanganannya masih sering menjadi tantangan bagi para klinisi. Tujuan penanganan spastisitas adalah antara lain meningkatkan mobilitas dan lingkup gerak sehingga pasien dapat melakukan kegiatan sehari-hari, seperti makan, berpakaian, merawat kebersihan tubuh dan lain-lain, agar kualitas hidup pasien meningkat. Di samping penanganan konservatif berupa latihan fisik, peregangan dan latihan posisi, pilihan penanganan juga meliputi penggunaan obat-obat antispastik oral dan injeksi lokal penghambat neuromuskular dengan fenol dan botulinum toksin.13 Pemilihan program penatalaksanaan yang paling tepat memerlukan informasi penyebab, sifat maupun tanda sindrom UMN yang terjadi. Pada umumnya tanda positif lebih berespons terhadap terapi farmakologis daripada tanda negatif. Terapi perifer akan lebih bermanfaat pada spastisitas otot setempat dan multipel, sedangkan spastisitas otot regional dan generalisata akan berespons lebih baik terhadap terapi sentral (Tabel 1). Tabel 1. Pilihan Terapi Untuk Penatalaksanaan Spastisitas Otot Pada Sindrom UMN10,12 Terapi perifer (fokal/setempat) Terapi sentral (sistemik) Botulinum neurotoksin (BoNT) Obat oral Fenol Baklofen intratekal Local anesthetic block Implantasi stimulator SSP (susunan saraf pusat) Serial casting Bracing Fisioterapi Prosedur bedah ortopedi

Musculotendinous lengthening Transfer/pembebasan tendon Neurektomi motorik Fusi sendi Strategi terapi yang paling efektif melibatkan kombinasi prosedur, intervensi dan terapi farmakologis yang ditentukan oleh kebutuhan tiap pasien (Gb.3)14. Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan sindrom UMN14 Pasien dengan kontraktur membutuhkan terapi bedah, dan pasien yang mengalami spastisitas otot berat dapat berhasil baik dengan terapi langsung ke otot yang spastik.14 Terapi Farmakologis 1. Terapi sentral/sistemik15-19: Diindikasikan untuk spastisitas otot generalisata dan regional. Obat sistemik akan menyebabkan relaksasi otot menyeluruh dengan cara menghambat neurotransmiter eksitatorik atau meningkatkan kerja neurotransmiter inhibitorik pada sistem saraf pusat Obat sistemik oral mempunyai efek samping menekan sistem saraf pusat yang bermakna (kantuk, dan lain-lain) sehingga meningkatkan risiko jatuh dan fraktur, terutama pada orang tua. . CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Contoh obat yang bekerja sentral : Baclofen, Dantrolen, Tizanidine, Clonidine, Gabapentin.Baclofen paling sering digunakan, namun banyak efek sampingnya yaitu infeksi di tempat injeksi, menimbulkan kantuk dan depresi pernapasan, serta gejala putus obat (withdrawal symptom) yang menyulitkan. Apabila terapi oral gagal baru diberikan secara intratekal. 2. Terapi perifer, meliputi: a. Obat anestesi lokal (lidokain, bupivakain, etidokain) efeknya singkat, hanya 2-8 jam b. Obat kemodenervasi : Neurolitik seperti fenol (3-5%) dan alkohol (35%-60%) menyebabkan denaturasi non-spesifik dan gangguan fungsi saraf normal. Efek samping rasa terbakar, nyeri dan disestesi di tempat injeksi20 Botulinum toksin tipe A dan B menghambat penglepasan asetilkolin dari neuron motorik secara selektif, sehingga mempunyai efek kemodenervasi selama 3-6 bulan.12, 21- 25 MEKANISME KERJA TOKSIN BOTULINUM Botulinum toksin merupakan terapi pilihan untuk spastisitas otot fokal dan multifokal pada sindrom UMN dengan menyuntikkannya ke otot sasaran yang spastik. Tersedia botulinum toksin A dan botulinum toksin B; botulinum toksin A merupakan serotipe yang paling banyak dipelajari dan dipakai untuk tujuan terapetik.26 Botulinum toksin merupakan salah satu toksin kuat yang bekerja menghambat transmisi neuromuskular melalui hambatan pelepasan asetilkolin.13 Setelah diinjeksikan, toksin botulinum akan berikatan dengan membran sel neuron pada saraf terminal dan masuk ke neuron secara endositosis. Rantai ringan toksin botulinum berikatan dengan tempat spesifik di protein membran sel yaitu SNAP-25 (synaptosomal associated protein-25), VAMP (vesicle associated membrane protein) dan syntaxin, sehingga fusi vesikel asetilkolin di membran sel akan dicegah dan pelepasan vesikel asetilkolin tersebut ke sinaps akan dihambat . 27 Gambar 4. Mekasnisme kerja botulinum toksin (diadaptasi dari Moore)28 BOTULINUM TOKSIN A untuk SPASTISITAS pada SINDROM UMN Manfaat Klinis Kerja botulinum toksin A sangat selektif sehingga mampu mengurangi spastisitas otot secara tepat dan efektif. Onset botulinum toksin A berkisar antara 1 sampai 3 hari setelah injeksi; biasanya efek maksimal tercapai sesudah 3 sampai 4 minggu dan bertahan hingga 3 sampai 6 bulan.12, 21-25 Efek tersebut berupa relaksasi otot yang berkontraksi berlebih pada penderita sindrom UMN, menghasilkan perubahan biomekanik fungsi otot yang membuatnya dapat diregang dan diluruskan;11 sehingga memberi manfaat klinis sebagai berikut:11,27, 29 Meningkatkan fungsi aktif dan pasif: perbaikan mobilitas, aktivitas, fungsi sehari-hari dan kemandirian Meningkatkan kenyamanan pasien: mengurangi nyeri, posisi

alat gerak yang lebih baik untuk duduk dan tidur Mengurangi abnormalitas postur tubuh Mencegah atau menunda komplikasi muskuloskeletal Meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan Mengurangi beban perawatan Pada Tabel 2 dibahas berbagai manfaat dan masalah berbagai terapi spastisitas yang tersedia. 11, 54 Tabel 2. Perbandingan Berbagai Terapi Untuk Spastisitas Terapi Keuntungan Masalah Obat-obat oral Baclofen dan Dantrolen-murah Tizanidine (biaya 7 x Baclofen) Gabapentin, Pregabalin Tepat untuk spastisitas generalisata

40% pasien tidak mampu menoleransi efek samping atau tidak memberikan efek antispastik yang memadai sebelum efek samping terjadi Botulinum Tepat untuk spastisitas fokal toksin Tingkat keberhasilan terapi signifikan lebih tinggi dibanding terapi oral Botulinum toxin dapat menghasilkan efek relaksasi fokal, terkontrol,durasi dapat diperkirakan, tidak mengakibatkan gangguan sensorik biaya karena tingkat keberhasilan terapi lebih besar dibanding terapi oral dan durasi lama (bertahan 4-6 bulan) Butuh klinisi terlatih untuk pemberiannya Fenol dan Lebih murah dibanding Nyeri saat diberikan penghambat botulinum toxin A Potensial menyebabkan komplikasi saraf motorik Memberikan rentang terapi multifokal yang lebih luas bila dikombinasikan dengan botulinum toksin berat yang irreversibel seperti gangguan sensorik Efek relaksasi dan durasi tidak dapat diperkirakan Butuh klinisi terlatih untuk pemberiannya Baclofen Butuh alat mahal Butuh rawat inap untuk tindakan dan intratekal Bertahan sampai 8-10 tahun Penelitian menunjukkan Mahal, namun lebih efektif dari segi

respons sebelum pemasangan pompa Relatif tidak banyak masalah

pemasangan pompa Butuh rawat inap lama untuk penilaian pasien Butuh kepatuhan pasien dan edukasi Butuh kontrak untuk pembaharuan pompa

Fenol Butuh pungsi lumbal, namun Hanya untuk pasien yang mengalami intratekal lebih mudah dibandingkan dengan Baclofen intratekal Produk murah disabilitas yang parah dengan keterbatasan fungsi fisik dan mungkin juga keterbatasan kognitif dan harapan hidup Dapat menyebabkan inkontinensia urin dan feses Operasi Prosedur bedah saraf dan ortopedi Mahal tapi perbaikan bermakna Indikasi dan pasien terbatas Nyeri, permanen, invasif Efektivitas dan hasil bervariasi Parestesia dan perubahan pola BAB/BAK

CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Bukti Klinis Manfaat Sudah banyak publikasi yang mendukung penggunaan botulinum toksin untuk penatalaksanaan spastisitas otot pada sindrom UMN, terutama atas botulinum toksin A.26,31 Penggunaan botulinum toksin A pada spastisitas otot ekstremitas atas pada pasien pasca-stroke dan pasca-trauma kepala telah memasuki uji klinis fase III (Tabel 3), juga untuk sediaan botulinum toksin A dari Asia (Lanzhou Institute) telah memasuki uji klinis fase III.32 Tabel 3. Uji Klinis Placebo-Controlled Botulinum Toksin untuk Penatalaksanaan Spastisitas Otot Ekstremitas Atas Pasien Pasca-stroke Studi(tahun) JumlahpasienDurasistroke(mean) Otot yangdiinjeksiGrup terapidibandingkandenganplaseboHasil Simpson33 39 37 bulan BB, FCR, FCU 75 U Botox Dengan dosis 300 U, Ashworth (1996) 150 U Botox skor berkurang bermakna. 300 U Botox Dengan dosis 75 dan 300 U, terjadi perbaikan skor penilaian global. Dengan dosis 75 U, terjadi perbaikan kekuatan menggenggam yang bermakna. Tidak ada perbedaan dalam kejadian tidak diinginkan antar grup. Hesse34 24 7,45 bulan BB, Brachialis, 1.000 U Tidak ada perbedaan skor Ashworth (1998) FCR, FCU, FDP, Dysport+ES, dan posisi alat gerak yang berFDS 1.000 U makna antar grup. Dysport, plasebo+ES Bakheit35 (2000) 83 Tidak ada keterangan BB, FCU, FCR, FDP, FDS 500 U Dysport 1.000 U Dysport 1.500 U Dysport Berkurangnya skor Ashworth yang bermakna dan perbaikan ROM dalam grup terapi aktif. Perbaikan yang bermakna dalam parameter fungsional. Smith36 (2000) 21 (2 pasien dengan 36 bulan Otot fleksor (nama tidak

500 U Dysport Berkurangnya spastisitas di pergelangan tangan dan jari secara trauma disebutkan) 1.000 U bermakna sehubungan dengankepala) Dysport luasnya rent ang gerak pasif per1.500 U gelangan tangan Dysport Kekuatan BTXA bergantung dosis. Tidak ada perubahan pada disabilitas alat gerak atas. Bhakta37 40 3,1 tahun BB, 1.000 U Tonus otot flexor siku tangan (2000) Brakioradialis, FDS, FDP, FCU Dysport dan jari berkurang bermakna, perbaikan rentang gerak pergelangan tangan, berkurangnya beban dan disabilitas pasien. Bakheit38 59 Tidak ada BB, FDS, FDP 1.000 U Berkurangnya skor Ashworth (2001) keterangan FCR,FCU Dysport secara bermakna, rentang gerak pasif siku bertambah secara bermakna pada minggu ke-16, tidak ada perbaikan fungsional yang bermakna Brashear29 (2002) 126 4,75 tahun FCR, FCU, FDP, FDS pada semua subyek, Ditambah injeksi tambahan di FPL pada 10 pasien dan 64 di otot ibu jari 200-240 U Botox Berkurangnya skor Ashworth secara bermakna dan perbaikan dalam skala penilaian disabilitas 4 poin (higiene, berpakaian, posisi alat gerak, nyeri). Tidak ada perbedaan kejadian yang tidak diinginkan yang bermakna. Brashear39 (2004) 15 NA BB, FCU, FCR, FDS, FDP 10.000 U BTX-B (MyoBloc) BTX-B tidak mengurangi tonus otot fleksor di siku, pergelangan atau jari selama periode 16 minggu. Sering ditemukan mulut kering. Childers40 (2004) 91 25,8 bulan BB, FCU, FCR,

FDS, FDP 90 U Botox 180 U Botox 360 U Botox Respon berkurangnya tonus otot bergantung dosis, namun penilaian fungsi global dan nyeri tidak bergantung dosis. Suputtitada41 (2005) 50 8,4 bulan BB, FCU, FCR, FDS, FDP 350 U Dysport 500 U Dysport 1.000 U Dysport Dari tiga dosis, semuanya mengurangi tonus otot secara bermakna dan dosis optimal yangdisarankan untuk terapi pasiendengan gerakan volunte r residualadalah 500 U Tabel 4. Uji Klinis Randomized-Controlled Botulinum Toksin untuk Penatalaksanaan Spastisitas Otot Kaki pada Pasien Pasca-stroke Studi(tahun) JumlahpasienDurasistroke(mean) Otot yangdiinjeksiGrup terapiHasil Burbaud42 (1996) 23 23,5 bulan Triceps surae, soleus, TP, FDL 1000 U Dysport Dengan BTX terjadi perbaikan skor Asworth, penilaian pasien, dorsofleksi aktif. BTX kurang efektif pada pasien dengan durasi spastisitas yang lebih panjang. Plasebo Reiter43 (1998) 18 23,6 bulan Tidak ada keterangan GM, GL, TP, FHL, diinjeksi berdasarkan postur alat gerak dan aktivitas EMG pada grup pertama

190-320 U Rata-rata skor Asworth berkurang 1 point tiap grup namun efek lebih singkat pada grup kedua. Perubahan rentang gerak yang bermakna pada tiap grup. Perbaikan pada kecepatan melangkah dan lebar langkah pada setiap grup 100 U Hanya di TP ditambah ankle tapping selama 3 minggu Kirazli44 (1998) 20 (<12 bulan) Soleus, TP GL, GM 400 U Botox ke otot sasaran Dengan 400 U Skor Ashworth berkurang bermakna pada kedua grup. Tonus otot berkurang bermakna lebih baik pada minggu ke-2 dan -4, namun tidak pada minggu ke-8 dan -12. 3 ml 5% fenol untuk menghambat nervus tibial Johnson45 (2004) 21 (<12 bulan) GM, GL, TP 800 U Dysport Dikombinasi dengan FES Perbaikan yang bermakna pada kecepatan berjalan dan perbaikan fungsional pada grup terapi. Hanya latihan Bayram46 (2006) 12 36,6 bulan GM, GL, TP, soleus 100 U Botox to TP dengan ES singkat Perbaikan dalam skor Ashworth, Rentang gerak, klonus, skor penilaian global dan waktu jalan menempuh 10 meter pada kedua grup. Tidak ada perbedaan bermakna antar grup. Efek berlangsung lebih singkat

pada grup pertama.

400 U Botox ke semua otot sasaran Keterangan : GM, gastrocnemius medialis; GL, gastrocnemius lateralis; TP, tibial is posterior; FHL, flexor hallucis longus; FDL, flexor digitorum longus; ES,Electri cal stimulation; FES, functional electrical stimulation; Profil Keamanan Botulinum toksin A menjadi sorotan pada meta-analisis data keamanan berskala besar.47 Analisis gabungan sembilan studi acak ganda placebo-controlled pada pasien dengan spastisitas alat gerak juga telah dilaporkan.48 Botulinum toksin A mempunyai profil keamanan yang baik. Efek samping lokal dapat oleh kerja toksin botulinum yang berlebihan pada otot sasaran atau otot di sekitarnya.49 Difusi toksin tersebut ke daerah sekitar dapat mengakibatkan hambatan transmisi pada ujung-ujung saraf di sekitar otot sasaran.50 Efek samping sistemik pada organ atau otot distal berupa mulut kering, pandangan kabur, berkurangnya kontrol defekasi dan urinasi, kelemahan umum, disfagia dan disarthria.51 Efek samping flu-like syndrome, fatigue, reaksi kulit lokal dan nyeri di tempat injeksi, berhubungan dengan mekanisme kerja atau teknik injeksi , biasanya dapat diatasi dengan mengurangi dosis.10 Keterangan : BB, biceps brachii; FCU, flexor carpi ulnaris; FCR, flexor carpi ra dialis; FDP, flexor digitorum profundus; FDS, flexor digitorum superficialis; FPL, flexor pol licis longus; CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Resistensi yang diperantarai oleh antibodi terhadap botulinum toksin A ditandai oleh berkurangnya respon relaksasi atau atrofi pada otot lokasi injeksi; diperkirakan terjadi pada 3-10% kasus.16,50 Dosis seminimal mungkin yang menghasilkan efek klinis bermakna serta frekuensi injeksi yang tidak terlalu sering akan mengurangi kecenderungan terbentuknya antibodi terhadap botulinum toksin A.52 Efisiensi Biaya Terapi Studi A.Ward dkk. pada spastisitas fokal (flexed wrist clenched hand spasticity) menunjukkan terapi oral hanya sukses pada 35% pasien; kesuksesan terapi botulinum toksin A sebagai lini pertama terapi 73% dan pada kelompok botulinum toksin sebagai terapi lini kedua adalah 68%.53 Tabel 5. Tingkat keberhasilan rata-rata untuk terapi spastisitas post-stroke fokal (flexed wrist clenched hand spasticity) Terapi Tingkat keberhasilan (%) Oral therapy Mean Min Max 95% CI* 35 10 80 24-46 BTX-A as first-line therapy 73 55 85 68-78 BTX-A as second-line therapy 68 40 85 60-76 *95% confidence interval. BTX-A = botulinum toxin type-A. Terapi botulinum toksin A juga lebih efektif dari segi biaya dibanding terapi oral. Pada studi ini juga disebutkan bahwa biaya untuk terapi yang sukses. pada kelompok botulinum toksin tipe A sebagai terapi lini pertama adalah 942, pada kelompok terapi botulinum toksin A sebagai lini kedua adalah 1387 dan pada kelompok terapi oral adalah 1697.53 RINGKASAN Terapi spastisitas otot pada sindrom upper motor neuron (stroke, cerebral palsy, trauma otak atau cedera medula spinalis, penyakit neurodegeneratif seperti sklerosis multipel, atau ensefalopati hipoksia) masih menjadi tantangan bagi para klinisi. Botulinum toksin merupakan terapi pilihan untuk spastisitas otot fokal dan multifokal pada sindrom UMN dengan menyuntikkannya ke otot sasaran yang spastik. Studi A.Ward dkk. pada spastisitas fokal (flexed wrist clenched hand spasticity) menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan terapi botulinum toksin A sebagai lini pertama lebih tinggi dari terapi oral (terapi Botulinum toxin sebagai lini pertama 73% , Botulinum toksin sebagai terapi lini kedua 68%, sedangkan pada pasien yang mendapat terapi oral hanya 35%). Terapi botulinum toksin A juga lebih efektif dari segi biaya. DAFTAR PUSTAKA 1. Mayer NH, Esquenazi A. Muscle overactivity and movement dysfunction in the upper

motoneuron syndrome. Phys Med Rehabil Clin N Am 2003;14:855-83. 2. Peltonen M, Stegmayr B, Asplund K. Time trends in long term survival after st roke. Stroke 1998; 29:1358 1365. 3. Sheean G. Neurophysiology of spasticity. In: Barnes MP, Johnson GR, eds. Upper M otor Neuron Syndrome and Spasticity. Cambridge University Press, 2001: 12 78. 4. American Heart Association, Heart Disease and Stroke Statistics. 2009 update. American Heart Association (www.strokeaha.org) 5. Yayasan Stroke Indonesia. Tahun 2020, penderita stroke meningkat 2 kali. www. yastroki.co.id 6. Kelompok Studi SerebrovasculaR & Neurogeriatri Perdossi. Konsensus Nasional P engelolaan Stroke di Indonesia. Jakarta, 1999. 7. Lamsudin R. Algoritma Stroke Gajah Mada (Tesis Doktor). Yogyakarta; UGM. 1997 8. Mayer NH. Clinicophysiologic concepts of spasticity and motor dysfunction in adults with an upper motoneuron lesion. Muscle Nerve 1997;20:S1-S13. 9. Gracies JM. Pathophysiology of impairment in patients with spasticity and use of stretch as a treatment for spastic hypertonia. Phys Med Rehab Clin N Am. 2001;12:747-68. 10. Sheean G. Botulinum toxin treatment of adult spasticity. Expert Rev Neurothe rapuetics 2003;3:773-85. 11. Ward AB. Spasticity treatment with botulinum toxins. J Neural Transm. 2008;1 15:607-16. 12. Brin MF. Dosing, administration, and a treatment algorithm for use of botuli num toxin A for adult-onset spasticity. Muscle Nerve 1997;20:S208-S220 13. Ozcakir S, Sivrioglu K. Botulinum toxin in poststroke spasticity. Clin Med R es. 2007;5:132-8. 14. Ward AB (2002) A summary of spasticity management a treatment algorithm. Eur J Neurol (9 Suppl) 1: 48 52 15. Goldstein EM. Spasticity management: an overview. J Child Neurol. 2001;16:16 -23. 16. Gracies JM, Nance P, Elovic E, McGuire J, Simpson DM. Traditional pharmacolo gical treatments for spasticity part II: general and regional treatments. Muscle Nerve. 1997;20:S92-S120. 17. Nance PW, Young RR. Antispasticity medications. Phys Med Rehabil Clin N Am. 1999;10:337-55. 18. Satkunam LE. Rehabilitation medicine: 3. Management of adult spasticity. CMA J 2003;169:1173-9. 19. Esquenazi A. Falls and fractures in older post-stroke patients with spastici ty: consequences and drug treatment considerations. Clin Geriatr. 2004;12:27-35. 20. Gracies JM, Elovic E, McGuire J, Simpson D. Traditional pharmacological trea tments for spasticity part I: local treatments. Muscle Nerve 1997;20:S61-S91. 21. Brin MF. Botulinum toxin: Chemistry, pharmacology, toxicity and immunology. Muscle Nerve 1997;20:S146-S68. 22. Bell KR, Williams F. Use of botulinum toxin type A and type B for spasticity in upper and lower limbs. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2003;14:821-35. 23. Brashear A, Gordon MF, Elovic E et al for the BOTOX Post-Stroke Spasticity S tudy Group. Intramuscular injection of botulinum toxin for the treatment of wrist and finger spasticity after a stroke. N Engl J Med. 2002;347:395-400. 24. Brashear A, McAfee AL, Kuhn ER, Ambrosius WT. Treatment with botulinum toxin type B for upper-limb spasticity. Arch Phys Med Rehabil. 2003;84:103-7. 25. Gordon MF, Brashear A, Elovic E, et al. A multicenter, open-label study of t he safety and efficacy of repeated botulinum toxin type A doses in poststroke, focal, upper limb spasticity [abstract]. Neurology. 2002;58:A221. 26. Brin MF, Hallett M, Jankovic J. Scientific and Therapeutic Aspects of Botuli

num Toxin. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins; 2002. 27. Simpson DM, Gracies JM, Graham HK, et al. Assessment: Botulinum neurotoxin f or the treatment of spasticity (an evidence-based review). Neurology 2008;70:1691-8. 28. Moore P, ed. Handbook of botulinum toxin. Oxford: Blackwell Science, 1995. 29. Brashear A, Gordon MF, Elovic E, et al. Intramuscular injection of botulinum toxin for the treatment of wrist and finger spasticity after a stroke. N Engl J Med. 2002;347:395-400. 30. Rosales RL, Chua-Yap AS. Evidence-based systematic review on the efficacy an d safety of botulinum toxin-A therapy in post-stroke spasticity. J Neural Transm. 2008;115:617-23. 31. Pidcock FS. The emerging role of therapeutic botulinum toxin in the treatmen t of cerebral palsy. J Pediatr. 2004;145:S33-S5. 32. URL : http://clinicaltrials.gov/ct2/results?term=Botulinum+toxin+type+A+for+ Spasticity 33. Simpson DM, Alexander DN, O Brien CF, et al. Botulinum toxin type A in the tre atment of upper extremity spasticity: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Neurology. 1996;46:1306-10. 34. Hesse S, Reiter F, Konrad M, Jahnke MT. Botulinum toxin type A and short-ter m electrical stimulation in the treatment of upper limb flexor spasticity after stroke: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Clin Rehabil. 1998 ;12:381-8. 35. Bakheit AM, Thilmann AF, Ward AB, et al. A randomized, double-blind, placebo -controlled, dose ranging study to compare the efficacy and safety of three doses of botulinum toxin type A (Dysport) with placebo in upper limb spast icity after stroke. Stroke. 2000;31:2402-6. 36. Smith SJ, Ellis E, White S, Moore AP. A double-blind placebo-controlled stud y of botulinum toxin in upper limb spasticity after stroke or head injury. Clin Rehabil. 2000;14:5-13. 37. Bhakta BB, Cozens JA, Chamberlain MA, Bamford JM. Impact of botulinum toxin type A on disability and carer burden due to arm spasticity after stroke: a randomised double blind placebo controlled trial. J Neurol Neurosurg P sychiatry. 2000;69:217-21. 38. Bakheit AM, Pittock S, Moore AP, et al. A randomized, double-blind, placebocontrolled study of the efficacy and safety of botulinum toxin type A in upper limb spasticity in patients with stroke. Eur J Neurol. 2001;8:559-65. 39. Brashear A, McAfee AL, Kuhn ER, Fyffe J. Botulinum toxin type B in upper-lim b poststroke spasticity: a double-blind, placebo-controlled trial. Arch Phys Med Rehabil. 2004;85:705-9. 40. Childers MK, Brashear A, Jozefczyk P, et al. Dose-dependent response to intr amuscular botulinum toxin type A for upper-limb spasticity in patients after a stroke. Arch Phys Med Rehabil. 2004;85:1063-9. 41. Suputtitada A, Suwanwela NC. The lowest effective dose of botulinum A toxin in adult patients with upper limb spasticity. Disabil Rehabil. 2005;27:176-84. 42. Burbaud P, Wiart L, Dubos JL, et al. A randomised, double blind, placebo con trolled trial of botulinum toxin in the treatment of spastic foot in hemiparetic patients. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1996;61:265-9. 43. Reiter F, Danni M, Lagalla G, Ceravolo G, Provinciali L. Low-dose botulinum toxin with ankle taping for the treatment of spastic equinovarus foot after stroke. Arch Phys Med Rehabil. 1998;79:532-5. 44. Kirazli Y, On AY, Kismali B, Aksit R. Comparison of phenol block and botulin us toxin type A in the treatment of spastic foot after stroke: a randomized, double-blind trial. Am J Phys Med Rehabil. 1998;77:510-5. 45. Johnson CA, Burridge JH, Strike PW, Wood DE, Swain ID. The effect of combine d use of botulinum toxin type A and functional electric stimulation in the treatment of spastic drop foot after stroke: a preliminary investigation. Ar ch Phys Med Rehabil. 2004;85:902-9. 46. Bayram S, Sivrioglu K, Karli N, Ozcan O. Low-dose botulinum toxin with short

-term electrical stimulation in poststroke spastic drop foot: a preliminary study. Am J Phys Med Rehabil. 2006;85:75-81. 47. Naumann M, Jankovic J. Safety of botulinum toxin type A: a systematic review and meta-analysis. Curr Med Res Opin. 2004;20:981-90. 48. Turkel C, Bowen B, Liu J, Brin M. A pooled analysis of the safety of botulin um toxin type A in the treatment of poststroke spasticity [abstract]. Arch Phys Med Rehabil. 2004;85:e8. 49. Klein AW. Contraindications and complications with the use of botulinum toxi n. Clin Dermatol. 2004;22:66-75. 50. Simpson DM, Blitzer A, Brashear A, et al. Assessment:Botulinum neurotoxin fo r the treatment of movement disorders (an evidence-based review): Report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the America n Academy of Neurology. Neurology 2008;70:1691-8. 51. Borodic GE, Joseph M, Fay L, Cozzolino D, Ferrante RJ. Botulinum A toxin for the treatment of spasmodic torticollis: dysphagia and regional toxin spread. Head Neck. 1990;12:392-8. 52. Jankovic J, Vuong KD, Ahsan J. Comparison of efficacy and immunogenicity of original versus current botulinum toxin in cervical dystonia. Neurology 2003;60:1186-8. 53. Ward A, Roberts G, Warner J, Gillard S. Cost-effectiveness of Botulinum Toxi n type A in the treatment of post-stroke spasticity. J Rehabil Med. 2005; 37: 54. Sheean G. Botulinum toxin treatment of adult spasticity: a benefit risk assess ment. Drug Saf 2006;29:31 48 CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Deteksi Klinis Sklerosis Multipel Khrisma Wijayanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Surabaya ABSTRAK Penyakit sklerosis multipel dahulu diduga jarang terjadi di Asia karena iklimnya yang tropis, namun saat ini di beberapa negara di Asia termasuk di Indonesia telah dilaporkan adanya kasus-kasu s sklerosis multipel. Karena itu, penyakit ini perlu mendapatkan perhatian agar dapat dikenali lebih awal. Skerosi s multipel adalah salah satu kelainan neurologi berupa inflamasi dan demielinisasi sistem saraf pusat. Sklerosis multipel terjadi karena proses autoimun yang dipicu oleh beberapa fakt or, di antaranya oleh virus. Penyakit ini mempunyai gejala yang sangat bervariasi. Gejala umum yang sering te rjadi adalah gangguan penglihatan, diplopia, ataksia, tremor, parestesia, kelemahan spastik anggota gerak, d isfungsi kandung kemih, fatigue dan sebagainya. Diagnosis sklerosis multipel selalu ditegakkan berdasarkan riway at penyakit, gejala klinis, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan tambahan MRI, analisis cairan serebrospinal da n tes potensial cetusan (evoked potential). Penanganan penderita sklerosis adalah dengan pendekatan tim perawatan kesehatan. PENDAHULUAN Sklerosis mutipel adalah salah satu kelainan sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Penyakit ini merupakan penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan struktur otak baik sel-sel otak maupun serabut-serabut saraf yang ada di dalamnya. Saat ini lebih dari 2,5 juta orang di dunia menderita sklerosis multipel. Kelainan saraf ini menyebabkan kecacatan pada orang dewasa muda terutama di Amerika dan Eropa. Amerika Serikat memiliki jumlah pasien sklerosis multipel paling banyak. Kurang lebih 500 ribu orang Amerika menderita penyakit ini dengan rata-rata 200 orang terdiagnosis sklerosis multipel setiap minggunya (1). Di Asia dahulu diduga jarang terjadi, terutama karena iklimnya yang tropis; namun ternyata di Jepang, Taiwan Filipina dan bahkan Singapura telah dilaporkan kasus sklerosis multipel. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ras Asia tidak terbebas dari risiko sklerosis multipel(2). Di Indonesia, pada pertemuan ahli saraf ASEAN di Jakarta (2005) dilaporkan dua penderita sklerosis multipel pada wanita muda usia empat puluhan(3). Ketiadaan studi epidemiologi penyakit ini di Asia menyebabkan prevalensinya rendah; tercatat kurang lebih 1-9 pasien per 100.000. Rendahnya prevalensi penyakit ini di negara-negara Asia mungkin karena tidak terdiagnosis akibat kurangnya kesadaran publik, kurangnya akses publik ke ahli saraf dan untuk melakukan pemeriksaan MRI. Pada tulisan ini dibahas definisi, etiologi, patologi, manifestasi klinis, diagnosis dan penanganan sklerosis multipel.(1) DEFINISI

Sklerosis multipel adalah inflamasi dan demielinisasi sistem saraf pusat. Demielinisasi adalah istilah untuk hilangnya mielin (lapisan pembungkus serabut saraf). Mielin membantu mempercepat hantaran impuls saraf. Jika substansi ini mengalami inflamasi dan hilang, akan terbentuk penambalan jaringan parut atau sklerosis. Area jaringan parut ini disebut sklerosis multipel. Demielinisasi ini yang menjadi penyebab timbulnya gejala. karena kecepatan hantar saraf menjadi lebih lambat. Sklerosis multipel lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 3:2 dan lebih sering pada usia 20-40 tahun.(4) ETIOLOGI DAN PATOLOGI (4,5,6) Penyebab sklerosis multipel belum diketahui pasti. Kerusakan mielin pada sklerosis multipel mungkin karena respon abnormal berlebihan dari sistem imun tubuh yang normalnya melindungi tubuh melawan invasi organisme (bakteri, virus). Pada proses autoimun, sistim imun menyerang jaringan dan selnya sendiri dalam hal ini mielin. Para peneliti tidak tahu pencetusnya, tetapi merupakan kombinasi beberapa faktor. Salah satu teori menyebutkan bahwa virus yang hidup dorman di dalam tubuh mungkin merupakan pencetus proses autoimun ini. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi virus MS, tetapi yang ada hanya virus biasa seperti virus measles atau virus herpes yang mungkin berperan sebagai pencetus. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Faktor pencetus ini akan mengaktifkan limfosit di peredaran darah yang masuk ke otak dan membuat mekanisme pertahanan otak menjadi lemah. Suatu ketika di dalam otak sel ini mengaktifkan unsur-unsur lain pada sistem imun sebagai jalan bagi mereka untuk menyerang dan menghancurkan mielin. Beberapa peneliti men- duga virus campak (rubeola) sebagai virus penyebab penyakit ini. Serum dan cairan serebrospinal penderita sklerosis multipel ternyata mengandung berbagai antibodi campak dan ada bukti bahwa zat anti tersebut dihasilkan dalam otak. Penelitian lain menyebutkan kemungkinan adanya faktor genetik sehingga ada orang-orang yang lebih rentan terhadap serangan berbagai virus pada sistem saraf pusat. Virus ini mempunyai masa inkubasi yang lama dan mungkin hanya berkembang dalam kaitannya dengan status imun yang abnormal atau terganggu. Antigen histokompatibilitas tertentu (HLA-A3 dan HLA-A7) ternyata juga banyak ditemukan pada penderita sklerosis multipel. Adanya antigen ini berkaitan dengan defisiensi imunologis terhadap infeksi virus. Beberapa keadaan lain yang dianggap sebagai faktor pencetus di antaranya adalah kehamilan, infeksi (terutama yang disertai demam), stres emosional dan cedera. Serangan pertama biasanya dapat sembuh sempurna. Remisi biasanya terjadi dalam waktu 1 sampai 3 bulan dan disusul dengan serangan- serangan berikutnya. Akhirnya penyembuhan tidak lagi sempurna dan pasien akan menderita kerusakan permanen tambahan pada setiap kali serangan. Lesi sklerosis multipel terjadi hanya di substansia alba susunan saraf pusat. Hasil pemeriksaan otopsi memperlihatkan lesi yang paling nyata ditemukan pada traktus piramidalis; juga di kolumna posterior medula spinalis, sekitar ventrikel-ventrikel otak, traktus optikus, batang otak, pedunkulus serebeli dan di sekitar vena-vena besar. Pada fase akut, tempat-tempat yang terkena mengalami edema, radang dan berwarna merah muda, diameternya berkisar antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Makrofag membersihkan daerah-daerah yang mengalami degenerasi mielin dan saat fase aktif mereda terjadi gliosis reaktif. Akhirnya terdapat daerah-daerah demielinisasi yang mengkerut yang disebut plak. Silinder akson dan badan selnya tidak mengalami kerusakan meskipun jaringan parut dapat merusak serabut akson di bawahnya sehingga menganggu fungsi penghantaran serabut saraf. Gejala-gejala sklerosis multipel akibat demielinisasi menjadi ireversibel dengan berlanjutnya penyakit. Manifestasi patologi yang menonjol adalah proses inflamasi dan demielinisasi multifokal dan multifasik. MANIFESTASI KLINIS (4,7) Sklerosis multipel gejala yang timbul terkena. Tidak ada multipel mempunyai merupakan suatu kondisi yang bervariasi dan tergantung pada area sistem saraf pusat yang pola tertentu; setiap penderita sklerosis gejala yang berbeda, bervariasi dari waktu

ke waktu dan dapat berubah tingkat keparahannya walaupun pada orang yang sama. Tidak ada sklerosis multipel yang tipikal; semua orang yang menderita sklerosis multipel akan mengalami lebih dari satu gejala; walaupun ada gejala yang umum namun tidak semua orang akan mengalaminya.

Gejala-gejala umum yang sering timbul adalah: 1. Gejala visual. Sejumlah besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada kedua mata. Salah satu mata mungkin mengalami kebutaan total selama beberapa jam sampai beberapa hari. Gangguan-gangguan visual ini akibat neuritis saraf optikus. Selain itu juga ditemukan diplopia akibat lesi batang otak yang menyerang nukleus atau serabut-serabut traktus otot-otot ekstraokuler. 2. Tanda-tanda serebelum. Gejala yang sering ditemukan adalah nistagmus (gerakan osilasi cepat bola mata dalam arah horisontal atau vertikal). Ini menunjukkan bahwa traktus serebelaris dan traktus kortikospinalis juga ikut terserang. Gejala lain adalah ataksia serebelar, intention tremor, gangguan keseimbangan dan disartria. 3. Gangguan sensorik ; dapat terjadi paraestesi yang berbedabeda tingkatannya dari hari ke hari, tingling, rasa terbakar, nyeri seperti nyeri wajah dan nyeri otot. Jika lesi terjadi di kolumna posterior medula spinalis servikalis, fleksi leher menyebabkan sensasi seperti syok yang menjalar ke bawah (tanda Lhermitte). Gangguan proprioseptif sering menimbulkan ataksia sensorik dan inkoordinasi lengan. Sensasi getar seringkali menghilang. Karena gangguan sensorik tidak dapat diperagakan secara obyektif maka gejala-gejala tersebut dapat disalahduga sebagai histeria. 4. Kelemahan spastik anggota gerak. Keluhan yang sering didapat adalah kelemahan satu anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota gerak. Pasien mungkin merasa lelah dan berat pada satu tungkai dan saat berjalan terlihat jelas tugkai terseret dan kurang terkontrol. Keadaan spastis yang lebih berat disertai spasme otot yang nyeri. Refleks tendon hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada. Tanda Babinski positif. Tanda-tanda ini merupakan indikasi terserangnya lintasan kortikospinal. 5. Bicara abnormal yaitu bicara pelan, kata-kata tidak jelas, perubahan ritme bicara dan disfagi (sulit menelan). 6. Fatigue/Kelelahan : adalah salah satu gejala yang sering terjadi pada MS berupa macam-macam kelelahan pada general fatigue yang tidak dapat diprediksi atau tidak sesuai dengan beratnya aktivitas. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA 7. Bladder dan bowel syndrome (disfungsi kandung kemih). Lesi traktus kortikospinalis sering menimbulkan gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul gangguan berkemih berupa gangguan frekuensi dan urgensi yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang spastis. Selain itu juga timbul retensi akut dan inkontinensia. 8. Gangguan afek. Banyak pasien menderita euforia, perasaan senang yang tidak realistik; diduga disebabkan terserangnya substansia alba lobus frontalis. 9. Seksual; dapat terjadi impotensi, ejakulasi dini, serta kehilangan sensasi. 10. Kognitif dan emosional : kehilangan memori sementara, kehilangan konsentrasi, pertimbangan dan pemikiran. Beberapa gejala dapat terlihat nyata tetapi yang lainnya seperti kelelahan, pengurangan sensasi, masalah memori dan konsentrasi sering tersembunyi. PERJALANAN PENYAKIT (4,8) Bukan saja gejala sklerosis multipel yang bervariasi, perjalanan penyakitnya pun juga demikian. Walaupun sebagian besar penderita mengalami cacad ringan selama hidup mereka dapat hidup normal dan mempunyai harapan hidup yang mendekati normal, kasus tertentu dapat berkembang menjadi malignant. Tipe perjalanan penyakit sklerosis multipel adalah: 1. Relapsing / Remitting Multiple Sclerosis Kira-kira 80% pasien pada awalnya akan memperlihatkan bentuk ini : ada serangan yang tidak dapat diprediksi berupa gejala baru dan gejala yang sudah ada akan bertambah berat. Serangan dapat terjadi dalam periode yang bervariasi (hari/bulan) dan ada fase penyembuhan total atau sebagian. Walaupun secara klinis tidak aktif selama beberapa bulan atau tahun, studi MRI menunjukkan adanya aktivitas inflamasi yang asimtomatis. Penyakit ini dari waktu ke waktu gejalanya akan menjadi lebih berat dengan fase penyembuhan yang makin singkat setelah setiap serangan. Hal ini terjadi karena gliosis dan kehilangan akson secara berulang yang akan mempengaruhi terjadinya plaque. Penderita MS kemudian akan masuk pada fase progresif. 2. Secondary Progressive Multiple Sclerosis Ditandai dengan progresivitas dan tidak berhubungan dengan relaps. Kira-kira 50% pasien relapsing/remitting MS akan berkembang menjadi secondary progressive MS dalam waktu 10 tahun dan 80% dalam 20 tahun setelah onset. 3. Primary Progressive Multiple Sclerosis Menyerang sekitar 10-15 % pasien MS, ditandai dengan ketiadaan serangan yang bervariasi, tetapi dengan onset yang lambat dan mantap akan menyebabkan perburukan gejala. Pada fase ini ada akumulasi defisit dan kecacatan dan akan menetap atau berlanjut selama bertahun-tahun.

4. Benign Multiple Sclerosis Diagnosis jenis ini adalah retrospektif. Studi lanjutan memperlihatkan bahwa sebagian besar pasien tipe ini akan secepatnya masuk pada fase secondary progressive. DIAGNOSIS(9) Gejala, tanda dan perjalanan penyakit dari sklerosis multipel sangat bervariasi, menyerang bagian tubuh yang berbeda dan dengan derajat yang berbeda-beda menimbulkan potensi misdiagnosis. Tidak ada tes yang langsung dapat membuktikan sklerosis multipel. Diagnosis sklerosis multipel selalu didasarkan pada gejala klinis. Besarnya variasi gejala, tanda dan perjalanan penyakit sklerosis multipel menuntut adanya kriteria diagnosis. Beberapa peneliti telah mengembangkan kriteria diagnosis yang menggolongkan pasien ke dalam subkategori berdasarkan kepastian diagnosis. Pada tahun 1965, Schumacher mengembangkan kriteria diagnosis untuk sklerosis multipel; Diagnosis pasti sklerosis multipel harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Tidak hanya memperlihatkan gejala tetapi juga harus menunjukkan bukti obyektif keterlibatan susunan saraf pusat. 2. Mempunyai riwayat yang mengindikasikan dua atau lebih lesi terpisah pada susunan saraf pusat. 3. Mempunyai tanda, terutama pada substansia alba (keterlibatan traktus motorik dan sensorik). 4. Mengalami sedikitnya dua kali relaps pada satu bulan terpisah dan lamanya sedikitnya 24 jam. 5. Telah mengalami gejala antara usia 10 - 50 tahun 6. Telah diuji oleh ahli saraf yang kompeten yang menyimpulkan bahwa tidak ada penjelasan lain untuk gejala dan tanda tersebut. Pada tahun 1983, Poser mengklasifikasikannya menjadi 4 kategori yaitu: 1. Clinically definite multiple sclerosis Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih dari satu lesi dan dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI atau evoked potential. 2. Laboratory supported definite multiple sclerosis Terbukti ada dua lesi dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi. Jika hanya satu lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked potential dan kadar Ig G abnormal 3. Clinically probable multiple sclerosis Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesis dan bukan dari keduanya, terbukti ada lebih dari satu lesi. Jika hanya terbukti satu lesi dari anamnesis dan hanya satu dari pemeriksaan neurologi, evoked potential atau adanya bukti pada MRI dan pemeriksaan Ig G CSF normal. 4. Laboratory supported probable

CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Saat ini pedoman kriteria diagnosis sklerosis multipel yang diterima dan digunakan secara luas adalah kriteria Mc.Donald. Kriteria ini menyajikan petunjuk spesifik menggunakan penemuan MRI, analisis cairan serebrospinal dan visual evoked potential sebagai bukti serangan kedua pada individu yang telah mempunyai episode demyelinating tunggal (yang disebut clinically isolated syndrome); dengan demikian dapat mengkonfirmasikan hasil diagnosis dengan cepat. Petunjuk ini juga memudahkan proses diagnostik pada pasien dengan progresivitas kecacatan yang mantap tanpa serangan yang bervariasi. Pada tahun 2005 panel internasional untuk diagnosis sklerosis multipel mengemukakan revisi kriteria McDonald. Fokusnya pada demonstrasi obyektif penyebaran lesi. MRI diintegrasikan dengan metode diagnosis klinis dan paraklinis lainnya. Kriteria revisi ini memudahkan diagnosis sklerosis multipel pada pasien dengan gejala yang bervariasi termasuk penyakit monosimptomatik yang mengarah ke sklerosis multipel, penyakit dengan tipe relapsing-remitting, dan penyakit dengan progresivitas yang tersembunyi tanpa serangan yang jelas dan tanpa remisi. Terminologi sebelumnya menggunakan kriteria diagnosis seperti sklerosis multipel definite dan sklerosis multipel probable, saat ini sudah tidak direkomendasikan lagi.(10) Magnetic Resonance Imaging (MRI) (11) MRI adalah metode pencitraan (imaging) yang disukai untuk mendeteksi adanya plaque atau scar yag disebabkan oleh sklerosis multipel. Teknologi ini dapat mendeteksi lesi yang berbeda di susunan saraf pusat dan membedakan lesi lama dari yang baru atau aktif. Namun diagnosis sklerosis multipel tidak dapat sematamata dibuat hanya berdasarkan MRI karena ada penyakit lain yang menyebabkan gambaran lesi atau kerusakan yang serupa. Bisa juga ditemukan pada orang sehat terutama pada orang tua. Di sisi lain hasil MRI yang normal tidak bisa mengesampingkan diagnosis sklerosis multipel. Sekitar 5% pasien yang telah dikonfirmasi menderita sklerosis multipel berdasarkan kriteria diagnosis, tidak menunjukkan gambaran lesi pada MRI. Pasien ini mungkin mempunyai lesi di tulang belakang atau tidak dapat terdeteksi oleh MRI. MRI otak tidak dapat membedakan antara plak pada sklerosis multipel dan infark multipel pada vaskulitis serebral atau arteriosklerosis. Meskipun dilaporkan MRI memiliki sensitifitas 90-100% tetapi spesifisitasnya rendah yaitu 57-80%. Bagaimanapun kebanyakan penderita sklerosis multipel mempunyai lesi pada otak atau tulang belakang yang dapat dideteksi dengan dengan MRI. PEMERIKSAAN KLINIS Riwayat Penyakit dan Tes Fungsi Saraf Riwayat penyakit dahulu harus dicari dengan seksama yang mungkin mengindikasikan penyakit sklerosis multipel. Jenis kelamin, sejarah keluarga, dan umur pada saat awal gejala muncul juga dipertimbangkan. Tes fungsi saraf mengevaluasi fungsi mental, emosional, bahasa, koordinasi dan gerakan, penglihatan, keseimbangan, dan fungsi pancaindra.

Tes lain yang mungkin perlu. Jika diagnosis sklerosis multipel masih meragukan maka diperlukan tes tambahan yaitu tes evoked potentials, cairan serebrospinal dan tes darah. Evoked potentials merekam respon listrik sistem saraf pada perangsangan jalur sensorik spesifik misalnya pada jalur saraf visual, pendengaran dan jalur sensorik umum; demielinisasi akan menyebabkan respon saraf menjadi lambat. Tes ini menyediakan bukti adanya scar pada jalur saraf yang tidak tampak pada uji neurologi. Visual evoked potential paling bermanfaat untuk mengkonfirmasi diagnosis sklerosis multipel. Analisis cairan serebrospinal adalah untuk mengetahui tingkat protein tertentu pada sistem imun dan untuk mencari adanya oligoclonal bands yang mengindikasikan adanya respon imun di dalam susunan saraf pusat. Oligoclonal bands ditemukan di dalam cairan spinal 90-95 % penderita sklerosis multipel, namun juga bisa terdapat pada penyakit lain sehingga tidak dapat dijadikan bukti positif sklerosis multipel. Meskipun tidak ada tes darah untuk mendiagnosis pasti sklerosis multipel, tes darah dapat mengesampingkan penyebab lain. Beberapa kondisi yang menyerupai sklerosis multipel adalah penyalit Lyme, penyakit kolagen vaskular, kelainan herediter dan AIDS. PENANGANAN (7) Penanganan sklerosis multipel bersifat simtomatik. Selama fase akut pasien harus beristirahat, tetapi jangan sampai tirah baring total. Hormon adrenokortikotropik atau glukokortikoid dipakai selama fase akut untuk mempercepat remisi. Manfaat pengobatan sulit dinilai karena sifat episodik penyakit dan kerjanya mungkin tidak spesifik atau berdasarkan efek antiinflamasi. Agen-agen imunosupresif dan plasmaferesis dilaporkan bermanfaat dalam menstabilkan pasien dan memperlambat kerusakan. Pasien mengalami perubahan dalam semua fungsinya v penglihatan, mobilitas dan koordinasi, nutrisi, kebersihan, dan komunikasi sehingga dibutuhkan pendekatan tim perawatan kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Rincian Daftar Pustaka ada pada Redaksi. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Myasthenia Gravis: Current Review Rizaldy Pinzon Neurology Department, Bethesda Hospital, Yogyakarta, Indonesia ABSTRACT Myasthenia gravis (MG) is an acquired autoimmune disorder characterized clinical ly by weakness of skeletal muscles and fatigability on exercise. Weakness increases during the day and impr oves with rest. Extraocular muscle (EOM) weakness or ptosis is present initially in 50% of patients and 90% occurs during the course of illness. AChE inhibitors and immunomodulating therapies are the mainstays of tre atment. In mild form, AChE inhibitors are used. Important risk factors for poor prognosis include age older than 40 years, a progressive disease, and thymoma. Key words: myasthenia - immunology diagnosis treatment - prognosis INTRODUCTION Myasthenia gravis is an autoimmune disorder caused by the presence of autoantibodies specific to human nicotinic acethylcholine receptor (AchR), which is concentrated in the post synaptic region of the neuromuscular junction(1). MG is uncommon. Estimated annual incidence is 2 per 1,000,000. The female-to-male ratio is said classically to be 6 : 4, but as the population aged, the ratio is now equal. MG can presents at any age(2). Among children population in Hong Kong the estimated prevalence is 1: 4000(3). Myasthenia gravis was the commonest type of non inherited NMJ disorders (62%), mostly ocular type (89%). Epidemiological study in England(4) found 100 cases in a population of 684 000 (prevalence 15 per 100 000 population, 95% CI: 12v18). The commonest presenting symptoms and signs were ptosis (64%) and diplopia (64%). A population-based study in Greece found the average annual incidence of seropositive myasthenia gravis was 7.40/million population/year (women 7.14; men 7.66). The point prevalence rate was 70.63/million (women 81.58; men 59.39)(5). This review discusses the clinical aspect, treatment, and prognosis of MG based on previous current literature. CASE ILLUSTRATION A 22 year-old female presented with major complaints of ptosis and diplopia. Patient felt that the weakness became more severe in the afternoon and after activities (especially during daylight). The eyelids had the same width in the morning, but the left eyelid dropped as day progresses. Double vision became more severe in the afternoon and after activities like reading, causing letters look double after 15 minutes. The object become double in horizontal direction; more pronounced when looking upward. The symptom improved after rest (nap), and relieved in the

morning (after night sleep). She didnt have headache, blurred vision, speech disturbance, swallowing difficulties, extremities and/or general weakness. The symptoms was slowly progressed within months. There were no symptoms of malignancy, thyroid disease, and generalized weakness. DISCUSSION Pathophysiology When an action potential travels down a motor nerve and reaches the nerve terminal, acetylcholine (Ach) molecules are released from the presynaptic vesicles and adhere to Ach receptors (AchRs) at the peaks of postsynaptic folds. Channels in the AchRs open, allowing Na+ and other cations to enter into the muscle fiber endplate and depolarize it. The multiple depolarizations will sum up, and if large enough, trigger an action potential, which travels along the muscle fiber to produce contraction(1). In MG, there is a reduction of AchRs available at the muscle endplate and flattening of the postsynaptic folds causing reduction of available endplates; producing fewer endplate potentials that might fail to be translated into an action potential. The end result is an inefficient neuromuscular transmission(6). MG is Ab-mediated, producing loss of or compromised function of skeletal muscle nicotinic acetylcholine receptors (AChRs). Three mechanisms have been implicated: (a) autoantibodies against AChR cross-link surface AChR and induce their endocytosis, resulting in their depletion from the postjunctional membrane; (b) the autoantibodies themselves interfere directly with AChR function by blocking acetylcholine-binding sites; and (c) the autoantibodies contribute to destruction of endplates with consequent AChR loss. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Patients become symptomatic once the ACh receptors is reduced to approximately 30% of normal. The disease does not affect smooth and cardiac muscle because they have a different cholinergic receptors antigenicity(1). The role of thymus in the pathogenesis of MG is not entirely clear, but 75% of MG patients have some degree of thymus abnormality (eg, hyperplasia in 85% of cases, thymoma in 15% of cases). Given the immunologic function of thymus and clinical improvement following thymectomy, thymus is suspected to be the site of autoantibody formation. However, the stimulus that initiates the autoimmune process has not been identified(1). Why the disease afflicts first and predominantly the extraocular muscles remains unanswered. It probably has to do with the physiology and antigenicity of the muscles(6). Symptoms and Signs The usual initial complaint is specific muscle weakness rather than generalized. The severity typically fluctuates over hours; least severe in the morning and worse as the day progresses. It also varies over the course of weeks or months, with exacerbations and remissions(1). Ophthalmic symptoms Among patients, 75% initially complain of ocular disturbance, mainly ptosis and diplopia. Eventually, 90% of patients with MG develop ocular symptoms. Ptosis may be unilateral or bilateral, and may shift from eye to eye(6). Ptosis is usually most prominent upon sustained upward gaze or repeated eyelid closure (blinking). In cases of unilateral ptosis, the contralateral lid may assume a ptotic position upon occluding the ptotic eye or lifting the ptotic lid with a finger (Hering phenomenon)(1). Extraocular muscle involvement does not follow a certain pattern. Any acquired ocular motility disturbance with ptosis, but normally reacting pupils, should raise the clinical suspicion of MG(2). General symptoms and signs Weakness occur in facial, oropharyngeal, limb, and trunk muscles, without any other sign of neurologic deficit, such as sensory loss, change in deep tendon reflexes, or muscle atrophy(6). Weakness may involve limb musculature with myopathic-like proximal weakness greater than distal muscle weakness. Isolated limb muscle weakness as the presenting symptom is rare and occurs in fewer than 10% of patients(2). Supporting additional examination Fatiguability test In ocular MG, fatiguability test can be done by asking the patient to blink repeatedly or gaze upward for an extended time Simpson test). Increased drooping is a sign of fatigue. The phenomenon of enhanced ptosis can be demonstrated in patients with bilateral ptosis by elevating and maintaining the more ptotic eyelid in a fixed position. The opposite eyelid slowly falls and may close completely(7).

The lid-twitch sign is another way to test for fatiguability. The patient is directed to look down for 10-15 seconds and then to refixate quickly in the primary position. Observation of an upward overshoot of the lid with several twitches, followed by repositioning of the lid to the original ptotic state, identifies the easy fatiguability and rapid recovery of the muscle. The peek sign occurs when the palpebral fissure widens after a period of voluntary eyelid closure(1,7). Anti-acetylcholine receptor antibody This test is reliable for diagnosing autoimmune MG. The antiAChR antibody (Ab) is positive in 74% of patients. Results are positive in about 80% of patients with generalized myasthenia and in 50% of those with pure ocular myasthenia(2). Antistriated muscle (anti-SM) Antistriated muscle (anti-SM) Ab is another important test in patients with MG. It is present in about 84% of patients with thymoma younger than 40 years and less often in patients without thymoma(2). Tensilon or Prostigmin test In ocular myasthenia without systemic manifestations, up to 95% of patients will have a positive Tensilon or Prostigmin test (7). Neurophysiological test Electromyography is used to confirm the diagnosis of MG, but usually are not available on an emergency basis(1). Repetitive nerve stimulation (RNS) should lead to a decremental response in compound action potentials on EMG. A stimulation rate of 1-5 per second should result in a = 10% decrease in amplitude by the fourth action potential. RNS results are less likely to be positive in patients with ocular MG. Single fiber electromyography (SFEMG) records action potentials from single muscle fibers in a motor unit. SFEMG is a substitute for the RNS in patients with ocular MG, being much more sensitive. This test is technically demanding and operator dependent. It has a lower specificity, and can give positive results in other neuromuscular disorders(6). Other test for diagnosis exclusion Thyroid function tests are indicated to rule out associated Graves disease or hyperthyroidism. This is essential especially in patients with ocular MG where concomitant hyperthyroidism is most frequent. MRI or CT of mediastinum (thin slices) is indicated to rule out a thymoma or thymic enlargement(6). CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Diagnosis Myasthenia gravis diagnosed from clinical characteristics. An array of biological, pharmacological, and instruments test can assist diagnosis. A negative result does not definitely exclude MG(8). Table 1. Myasthenia gravis classification (Osserman and Gerkins) Degree I Symptoms and signs Purely ocular (ptosis and diplopia) II A Mild generalized (ocular and extremities, no prominent bulbar sugns) II B Moderate generalized (ocular and/ or bulbar signs, variable limb muscle involvement, no crises III Acute fulminating generalized signs with prominent bulbar involvement and crises IV Late severe generalized and prominent bulbar signs and crises Differential diagnosis Disorders of neuromuscular junction [NMJ] are clinically heterogeneous. The clinical expressions of these disorders are myasthenic features in the form of variable muscle weakness and fatigability. The name myasthenic syndromes [MS] is given to a group of disorder of NMT with different pathophysiology from acquired autoimmune myasthenia gravis(9,10). Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS) Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS) is a rare condition caused by abnormality of acetylcholine (ACh) release at the neuromuscular junction. Cancer is eventually found in 40% of patients with LEMS; usually small cell lung cancer (SCLC), although LEMS also has been associated with other cancers(11). A comparative study of clinical pattern between MG and LEMS from 101 patients showed that LEMS do not affect ocular weakness in all cases(12). Botulism The effects of the toxin are limited to blockade of peripheral cholinergic nerve terminals, including those at neuromuscular junctions, postganglionic parasympathetic nerve endings, and peripheral ganglia. This blockade produces a characteristic bilateral descending paralysis of the muscles innervated by cranial, spinal, and cholinergic autonomic nerves but no impairment of adrenergic or sensory nerves. Botulism has severe, progressive, and symmetric pattern(13). Treatment The aim of MG treatment is to achieve three essential objectives : (1) Optimise neuromuscular transmission, (2) Reduce or neutralise the consequences of the autoimmune reaction, and (3) modify the natural history of MG by inducing remission, defined as permanent condition of absence of symptoms without treatment(8). AChE inhibitors and immunomodulating therapies are the

mainstays of treatment. In the mild form of the disease, AChE inhibitors are initially used. Most patients with generalized MG require additional immunomodulating therapy(2). Other novel treatments for MG are Plasma Exchange, Immunoglobulin, and thymectomy. Plasmapheresis or plasma exchange is effective, especially in preparation for surgery or as short-term management of an exacerbation. A consensus meeting on IVIg concluded that IVIg treatment (2g/ kgBW) was most useful in acute deteriorating disease, minimising the risk of bulbar or respiratory weakness requiring intensive care support. It was also useful temporarily in patients with severe condition when other treatments had not yet effective. Use in chronic condition and as a primary treatment was not recommended. No significant difference was found in an randomised controlled trial comparing plasmapheresis and IVIg treatment. Mechanism of Immunoglobulin Therapy are: (1) Microbial and toxin inhibition, (2) Complement deactivation., (3) Receptor Blockade, (4) Anti Idiotypes, and (5) Modulating Cytokine Production(14). Thymectomy is an important treatment option in MG, especially if a thymoma is present. It has been proposed as a first-line therapy in most patients with generalized myasthenia. Thymectomy may induce remission. American Association of Neurology recommended thymectomy for nonthymomatous autoimmune MG patients. Thymectomy is recommended as an option to increase the probability of remission or improvement(15). Prognosis In ocular MG, >50% of cases evolve to generalised MG within a year, spontaneous remission in < 10%(8). Approximately 15-17% of patients will remain having strictly ocular symptoms over a mean follow-up period of 17 years. Those patients are referred as ocular MG. The rest develop a generalized weakness and are referred as generalized MG(6). A study of 37 patients MG showed that the presence of thymoma associated with poorer outcome. REFERENCE 1. Newton E. Myasthenia Gravis, eMedicine Journal, December 2001 2. Shah AK. Myasthenia Gravis, eMedicine Journal, August 2002 3. Chung WY, Wong HY, The Epidemiology of Myasthenia Gravis in Hongkong, HK Medicin e 2000; 12 4. Robertson NP, Deans J, Compston DAS, Myasthenia Gravis: a Population Based Epide miological Study in Cambridgeshire, England. J Neurol Neurosurg Psychiatry; 1998; 65:492v496 5. Poulas K, Tsibri E, Kokla E, Papanastasiou D, Tsouloufis T, Marinou M, Tsantili P, Papapetropoulos T, Tzartos SJ, Epidemiology of seropositive myasthenia gravis in Greece. J Neurol N eurosurg Psychiatry 2001;71:352v356 6. Awwad S. Myasthenia Gravis, eMedicine Journal, September 2001

7. Skorin L. Testing for Myasthenia Gravis. Optometry Today 1999 8. Cornelio F. Myasthenia Gravis. European Neurological Society 12th meeting, Berli n 2002. 9. Aleem MA, Raveendran S, Saddique S, Manivannan R. Myasthenic Syndromes, Indegene Publ. Co . 2000 10. Bromberg MK. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. MGnyc.org , 2000 11. Sanders DB. Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome, eMedicine Journal, March 2001 12. Wirtz PW, Sotodeh M et al. Difference in Distribution of Muscle Weakness bet ween Myasthenia Gravis and The LambertvEaton Myasthenic Syndrome, J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;73 :766v768 13. Kim J. Botulism. eMedicine Journal, October 2001 14. Wiles CM, Brown P, Chapel H, et.al. Intravenous Immunoglobulin in Neurological Disease: A Specialist Review. J Neurol Neurosurg Psychiatr. 2002, 72:440v448 15. Gronseth GS, Barohn RJ. Practice parameter: Thymectomy for autoimmune myasthenia gravis (an evidence-based review). Report of the Quality Standards Subcommittee of the Amer ican Academy of Neurology, Neurology 2000;55:7v15 16. Kalita RJ, Misra UK, Kar D, Agarwal A,. Misra SK. A Study of Myasthenia Gravis in Patients with and without Thymoma. Neurol India 2000;48 : 343-346 CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Rabies: Diagnosis dan Penatalaksanaan Carta A. Gunawan Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman/ RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda, Kalimantan Timur PENDAHULUAN Rabies merupakan salah satu penyakit infeksi pada manusia yang paling lama dikenal. Istilah rabies sudah dikenal sejak zaman Babilonia sekitar abad ke-23 SM dan Democritus menulis secara jelas tentang hewan yang menderita rabies pada tahun 500 SM. Tulisan tentang rabies pada manusia dengan gejala hidrofobia dibuat oleh Celsus pada abad pertama dan gejala klinis rabies ditulis secara jelas oleh dokter Italia bernama Fracastoro pada abad ke-16. Pada tahun 1880 Louis Pasteur mendemonstrasikan adanya infeksi pada susunan saraf pusat (SSP) sedangkan virus rabies sendiri baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada tahun 1960.1,2 Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf pusat manusia dan mamalia (ensefalitis virus) dengan mortalitas 100 %. Penyebabnya adalah virus rabies yang termasuk genus Lyssa virus, famili Rhabdoviridae.3 Virus rabies single stranded RNA berbentuk seperti peluru berukuran 180 x 75 nm.1 Rabies adalah penyakit zoonosis, penularan melalui jilatan atau gigitan hewan seperti anjing, kucing, kera, musang, serigala, raccoon, kelelawar.3,4 Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan, pernah dilaporkan pada 3 kasus.5 Walaupun telah tersedia vaksin rabies yang efektif dan aman bagi manusia dan hewan sehingga rabies dapat dicegah (vaccinepreventable disease), sampai saat ini rabies masih menjadi masalah kesehatan penting di berbagai negara Asia, Afrika dan Amerika Latin mengingat ketersediaan vaksin dan imunoglobulin yang terbatas dan relatif mahal; sebagian besar pasien meninggal tanpa penanganan memadai. Boleh dikatakan rabies merupakan penyakit zoonosis mematikan yang terabaikan (neglected zoonotic disease). Tanggal 28 September telah ditetapkan oleh WHO sebagai hari rabies sedunia (World Rabies Day). EPIDEMIOLOGI Rabies ditemukan pada hampir semua negara di dunia, kecuali Australia, Inggris, sebagian besar Skandinavia, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Selandia Baru, Brunai, Jepang, Taiwan.4 Jumlah kematian karena rabies di seluruh dunia diperkirakan mencapai 55.000 orang per tahun dan terbanyak di negara Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Eurasia. terbanyak di negara Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Eurasia. Negara endemis rabies antara lain India, Sri Lanka, Pakistan,

Bangladesh, China, Filipina, Thailand, Indonesia, Meksiko, Brasilia, Amerika Serikat dan Amerika Tengah.2,3 Negara dengan kejadian rabies tertinggi di dunia adalah India dengan 30.000 kasus kematian per tahun atau 3 : 100.000 penduduk (1990 v 2002), kurang lebih 60 % dari kematian karena rabies di seluruh dunia.6,7 Sampai tahun 2001 di Indonesia terdapat 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Papua. Tahun 2007 terdapat 10 provinsi dari 33 provinsi yang dinyatakan bebas rabies yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY Yogyakarta, Bali, NTB, Irjabar, Papua. Dari tahun 1997 sampai 2003 dilaporkan lebih dari 86.000 kasus gigitan hewan tersangka rabies di seluruh Indonesia (ratarata 12.400 kasus per tahun) dan yang terbukti rabies 538 orang (rata-rata 76 kasus per tahun). Dari tahun 2004 sampai 2007 dilaporkan berturut-turut 1.308, 889, 1.708, 1.396 kasus gigitan hewan tersangka rabies di Indonesia. Kejadian sesungguhnya mungkin lebih besar karena sebagian pasien meninggal di rumah tanpa terdiagnosis. Di Provinsi Kalimantan Timur dari tahun 2001 sampai 2006 tercatat 15 kasus kematian karena rabies (data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur). Kejadian rabies lebih banyak pada laki-laki.9,10 Laporan dari India tahun 1992 v 2002 atas lebih dari 9.000 kasus menunjukkan 71,1 % pasien rabies adalah laki-laki; dewasa (> 14 tahun) lebih banyak daripada anak-anak (64,7 % : 35,3 %)2. Laki-laki lebih banyak kontak dengan hewan pembawa virus rabies sehubungan dengan kegemaran memelihara hewan dan aktivitas di luar rumah, seperti bekerja di ladang, bekerja di hutan, berburu. Di Indonesia hewan penggigit yang paling banyak adalah anjing (90 %), kucing (6 %), monyet dan lain-lain (4 %).11 Penelitian di India menunjukkan hewan penggigit adalah anjing (96,2 %), kucing (1,7 %), hewan lain (2,1 %).2 Di Brazilia hewan penggigit terbanyak adalah serigala, anjing, kucing dan kelelawar.12 Pada bulan Juli - September 2005 dilaporkan 6 kematian karena rabies yang disebabkan oleh gigitan kelelawar vampir (Desmodus rotundus) di daerah pedesaan Alto Turi, Provinsi Maranhao, CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Brazilia; di daerah ini gigitan kelelawar vampir sering terjadi (3,9 % populasi atau lebih dari 900 orang selama tahun 2004).12 Harijanto13 dari Sulawesi Utara mendapatkan bahwa kasus rabies paling banyak terjadi karena gigitan anjing di ekstremitas bawah. Penelitian di India yang mencakup lebih dari 9.000 kasus selama 10 tahun menunjukkan lokasi gigitan terbanyak adalah ekstremitas bawah (56,2 %), ekstremitas atas (20,9 %) dan tangan (17,0 %), lokasi lain adalah kepala/ leher (11,5 %), badan (1,7 %), lain-lain (2,1 %).14-16 PATOGENESIS Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah luka gigitan, sistem kekebalan tubuh.1,3 Pada gigitan di kepala, muka, leher 30 hari; gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari; gigitan di tungkai, kaki, jari kaki 60 hari (Webster).11 Penelitian epidemiologis di India menunjukkan pada gigitan di ekstremitas bawah masa inkubasi 15 v 545 hari (rata-rata 75 hari), sedangkan gigitan pada tangan 8 v 360 hari (rata-rata 60 hari), gigitan pada badan rata-rata 45 hari, dan gigitan pada kepala/wajah 12 v 180 hari (rata-rata 22 hari).2 Masa inkubasi kebanyakan 31 v 90 hari (53,2 %), 15 v 30 hari (17,9 %), 91 v 180 hari (14,0 %), masa inkubasi antara 0 v 14 hari 5,1 %, 181 v 365 hari 5,1 %, lebih dari 1 tahun 4,7 %.2 Data menunjukkan 85 % kasus masa inkubasinya antara 2 minggu sampai 6 bulan. Penelitian lain di Bangalore, India menunjukkan 95 % kasus masa inkubasinya < 6 bulan.17 Penyebaran virus secara sentripetal melalui endoneurium sel Schwann dan aliran aksoplasma, mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60 v 72 jam.1 Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/ jam menuju SSP (otak dan medula spinalis) melalui cairan serebrospinal. Di otak virus memperbanyak diri di semua neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen, saraf volunteer maupun saraf otonom, selanjutnya mencapai otot skeletal, otot jantung, medula adrenal, ginjal, mata, pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi, urin dan air susu.1 MANIFESTASI KLINIS Dibagi menjadi 4 stadia: stadium 1 prodromal tidak khas; stadium 2 seperti ensefalitis akut; stadium 3 ensefalitis rabies; stadium 4 kematian.1,3 Stadium prodromal berlangsung 1 v 4 hari, ditandai demam, nyeri kepala, malaise, nyeri otot, lelah, anoreksia, mual, muntah, nyeri tenggorok, batuk. Bila disertai parestesi dan fasikulasi di tempat inokulasi virus, harus dicurigai infeksi rabies. Sensasi ini ditemukan pada 50-80 % pasien, berhubungan dengan multiplikasi virus di jaringan saraf ganglion dorsalis. Pada stadium 2 terjadi gejala neurologis akut khas furious (buas) bila mengenai midbrain dan medula spinalis atau sebagian kecil paralitik (atipikal) bila mengenai medula spinalis saja.1 Kasus

paralitik dilaporkan dari Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia.18 Di India diperkirakan 20 % kasus rabies bermanifestasi paralitik.2 Tipe paralitik ditandai kelemahan umum, parestesi, demam, kesulitan menelan dan sesak napas, tanpa agitasi. Pada bentuk furious, pasien menjadi hiperaktif, halusinasi, agitasi, menggigit, diselingi periode tenang. Timbul bermacam-macam fobia karena rangsang luar seperti hidrofobia (khas untuk rabies), aerofobia, fotofobia. Pada stadium 3 timbul gangguan fungsi SSP ditandai diplopia, hipersalivasi, gangguan menelan, gerakan involunter, fluktuasi suhu tubuh, dan dapat terjadi orgasme spontan. Selain itu didapatkan gejala otonomik seperti hipertermi, takikardi, hipertensi, hipersalivasi. Meskipun sering kejang, pasien biasanya tetap sadar. Gejala eksitasi dapat berlanjut sampai pasien meninggal. Kematian pada stadium ini terjadi karena gagal napas akibat kontraksi hebat otot-otot pernapasan atau keterlibatan pusat pernapasan dan henti jantung akibat stimulasi nervus vagus. Apabila pasien tidak meninggal pada stadium ini, pasien akan masuk stadium paralisis yang ditandai demam, nyeri kepala, paralisis ekstremitas yang digigit, mungkin difus atau simetris atau dapat menyebar asendens seperti sindrom Guillain Barre, kaku kuduk, kesadaran menurun, disorientasi, stupor dan akhirnya koma. Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah gejala rabies tampak, berlangsung beberapa jam sampai berbulan-bulan dan akhirnya meninggal karena kelumpuhan otot pernapasan. Pada stadium koma dapat terjadi berbagai komplikasi seperti peningkatan tekanan intrakranial, kelainan hipotalamus berupa diabetes insipidus dan SAHAD, hipertensi atau hipotensi, hipertemi atau hipotermi, rabdomiolisis, apnea, aritmia, henti jantung.1,19 Penelitian di India menunjukkan hidrofobia pada 95,7 % pasien, aerofobia 66,4 %, fotofobia 33,2 % dan paralisis 21,3 %.2. Suatu keadaan menyerupai rabies adalah rabies histerik yaitu reaksi psikologis orang-orang yang kontak dengan hewan atau pasien yang diduga mengidap rabies. Orang rabies histerik akan menolak minum air (pseudohidrofobia) sedangkan pasien rabies sering merasa haus dan pada awalnya menerima air dan minum, namun terjadi spasme laring.19 Kriteria diagnosis rabies (WHO) adalah kasus suspek (berdasarkan gambaran klinis saja), kasus probable (kasus suspek plus riwayat kontak dengan hewan pengidap rabies), kasus confirmed CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Pemeriksaan penunjang: isolasi virus dari saliva, apusan tenggorok, trakea, kornea, cairan serebrospinal, urin; deteksi RNA virus melalui reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR); deteksi neutralizing antibody dalam serum pasien yang tidak divaksinasi; pemeriksaan indirect fluorescent antibody test, rapid fluorescent focus inhibition test (RFFIT) untuk deteksi antibodi spesifik (di Amerika Serikat sebagai tes standard, hasilnya dapat diperoleh dalam 48 jam); pemeriksaan fluorescent antibody test (FAT) untuk identifikasi antigen virus rabies di jaringan otak, cairan serebrospinal, urin; pemeriksaan histopatologis untuk mendapatkan negri bodies, suatu badan asidofilik berbentuk bulat dengan butir-butir basofilik di dalamnya, di jaringan otak (positif pada 71 v 90 % pasien rabies).1 Rabies harus dipikirkan pada semua pasien dengan gejala neurologis dan psikiatris akut atau gejala laringofaringeal yang tidak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang digigit hewan di daerah endemis rabies.1 Diagnosis banding rabies antara lain ensefalitis virus herpes, enterovirus, arbovirus (misal virus West Nile, Japanese encephalitis), virus Nipah. Rabies paralitik harus dibedakan dari sindrom Guillain Barre, poliomielitis, ensefalitis virus, ensefalitis postvaksinasi. 1 Ensefalitis post-vaksinasi biasanya karena pemberian VAR generasi lama yaitu nerve tissue vaccine (1 : 200 -1 : 1600) yang sejak tahun 2005 tidak diproduksi lagi.1 PENATALAKSANAAN Penanganan meliputi isolasi pasien untuk menghindari rangsangan yang menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan; penanganan luka dengan pencucian, desinfeksi, debridement, pemberian tetanus toksoid atau tetanus imunoglobulin serta antibiotik; pemberian vaksin anti rabies (VAR) dan atau serum anti rabies (SAR); terapi simptomatik dan suportif seperti pemberian sedatif, analgetik, antikonvulsan; terapi terhadap komplikasi respirasi dan kardiovaskuler seperti pemasangan ventilator, defibrilasi.1 Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak dengan hewan pengidap rabies, kecuali kontak hanya jilatan pada kulit utuh. Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue culture vaccine, suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti human diploid cell vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964 dengan nama dagang Imovax, purified vero cell rabies vaccine (PVRV), diproduksi mulai tahun 1985 dengan nama Verorab, purified chick embryo cell vaccine (PCEC) dengan nama Rabipur yang mulai dipasarkan tahun 1985. Vaksin generasi lama seperti suckling mouse brain vaccine (SMBV), suatu nerve tissue vaccine dan duck embryo vaccine (DEV), suatu non-nerve tissue vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan komplikasi ensefalomielitis post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis.1 Namun demikian nerve tissue vaccine masih diproduksi dan dipergunakan di beberapa negara Asia. WHO merekomendasikan pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen), sedangkan Depkes RI menganjurkan pemberian tiga kali pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb).8,21

Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen Thai Red Cross Intradermal (TRC-ID), dengan pemberian 0,1 ml intradermal 2 dosis pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90.22 Jika sudah mendapat vaksin rabies dalam 5 tahun terakhir, bila digigit anjing tersangka rabies, vaksin diberikan hanya 2 dosis yaitu hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap.21 VAR dapat diberikan pada ibu hamil atau bayi. SAR diberikan pada orang dengan luka gigitan multipel, luka lebar dan dalam, jilatan pada mukosa, luka di leher dan kepala, jari tangan atau kaki, atau di genitalia. Human rabies immune globulin (BayRab, Imogam) diberikan dengan dosis tunggal 20 IU/ kgBB : setengah dosis infiltrasi daerah sekitar luka dan setengah dosis intramuskuler di tempat yang berlainan dengan suntikan VAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama VAR.1,3 Pemberian VAR maupun SAR dapat menimbulkan efek samping ringan lokal maupun sistemik seperti nyeri, eritema, edema tempat suntikan, demam, nyeri kepala, mual, nyeri otot, nyeri sendi. Pada pemberian HDCV gejala seperti sindrom Guillain Barre sangat jarang terjadi, sedangkan ensefalomielitis tidak pernah dilaporkan lagi pada pemberian PVRV.1 Reaksi anafilaksis sangat jarang. Dalam dekade terakhir ini tidak ada perkembangan yang berarti dalam penanganan infeksi rabies. Jackson dkk23 menuliskan perlunya penanganan rabies secara lebih agresif dengan pemberian VAR, SAR, ribavirin, interferon alfa dan ketamin. PROGNOSIS Kematian karena rabies boleh dikatakan 100 % bila virus sudah mencapai sistem saraf. Dari tahun 1875 sampai 1972 dilaporkan 10 pasien sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 sampai sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup.24 Berbagai penelitian dari tahun 1986 sampai 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing rabies yang segera mendapat VAR dan SAR menunjukkan angka survival 100 %.25 Data dari India yang dikumpulkan dari 22 rumah sakit di 18 negara bagian selama tahun 1992 v 2002 (> 9000 kasus rabies), menunjukkan hanya 20,9 % pasien mendapat VAR dan hanya 1,3 % mendapat SAR, 40,5 % pasien tidak mendapatkan terapi CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA sama sekali; hanya 55,8 % pasien yang sempat dirawat di rumah sakit dan 50,6 % pasien dilaporkan meninggal di rumah.2 Data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur selama tahun 2001 2006 menunjukkan 1.617 kasus gigitan anjing yang dilaporkan dan 855 (52,9 %) pasien mendapat VAR. PENCEGAHAN Diperlukan kontrol terhadap hewan pengidap rabies dan anjing liar, vaksinasi hewan peliharaan yang berpotensi terkena rabies, vaksinasi profilaksis (pre-exposure immunization) pada individu berisiko tinggi terpapar virus rabies seperti dokter hewan, pekerja di kebun binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang, petugas laboratorium penelitian yang bekerja dengan virus rabies dan wisatawan ke daerah endemis rabies seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka.1,26 Beberapa penelitian menunjukkan risiko rabies karena gigitan anjing di daerah endemis 1 v 3,6 : 1000 wisatawan/ bulan.27 Vaksinasi profilaksis diberikan secara intramuskuler (0,5 ml) pada hari 0, 7 dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun. Dosis VAR pada anak sama dengan orang dewasa. Pada wanita hamil dan menyusui sebaiknya vaksinasi profilaksis ditunda. Efektifitas vaksin dilaporkan mencapai 100 %.27,28 Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah pencucian luka secara benar dan pemberian segera VAR dan SAR pada pasien yang mengalami gigitan hewan pengidap rabies karena bila virus sudah mencapai sistem saraf kematian mencapai 100 %. DAFTAR PUSTAKA 1. Harijanto PN, Gunawan CA. Rabies. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simad ibrata M, Setiati S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Pusat Pener bitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta 2006, pp 1736-1740. 2. Sudarshan MK, Madhusudana SN, Mahendra BJ, Rao NSN, Narayana DHA, et al. Assessi ng the burden of human rabies in India : results of a national multi-center epidemi ological survey. J Infect Dis 2007; 11: 29-35 3. Hanlon CA, Corey L. Rabies virus and other rhabdovirus. In : Kasper DL, Braunwal d E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (Eds). Harrison`s Principles of Internal Med icine. 16th ed. Vol. 1. Mc Graw Hill, New York 2004, pp 1155-1160. 4. Warrel DA, Warrel MJ. Viral encephalitis. Rabies and related viruses. In : Stric kland GT (Ed). Tropical Medicine. 7th ed. WB Saunders Co, Philadelphia 1991, pp 219-226. 5. Robinson P. Rabies virus. In : Garback SL, Bartlet JG, Blacklow NR (Eds). Infect ious Diseases.

WB Saunders Co, Philadelphia 1992, pp 1853-1857. 6. WHO. World Survey of Rabies, No. 35 for the year 1999. WHO/ CDS/ CSR/ EPH/ 2002. 10. Geneva 7. WHO. Rabies vaccines WHO position paper. Wkly Epidemiol Rec 2002; 77: 109-119. 8. Widarso, Purba W, Windyaningsih C. Current status on rabies control in Indonesia . Rabies Control in Indonesia v Country Report 2003, pp 1-17. 9. Mitmoonpitak C, Tepsumethanon V, Wilde H. Rabies in Thailand (veterinary aspects ). Epidemiol Infect 1998; 120: 165-169. 10. Cleaveland S. The growing problem for rabies in Africa. Trans R Soc Med Hyg 1998; 92: 131-134. 11. Widodo D. Rabies. Dalam : Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid 1. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1996, pp 427-434. 12. Knegt LV, Renoiner EIM, Araujo WN, et al. Exposures to vampire-bats (Desmodu s rotundus) in a rural population following an outbreak of rabies-related deaths- Maranhao S tate, Brazil, 2005. J Infect Dis 2006; 10 (suppl. 1): S105 13. Harijanto PN. Penanganan kasus rabies di Manado, Sulawesi Utara. Simposium M asalah Penyakit Rabies. Samarinda, 4 Oktober 2004. 14. Singh J, Jain DC, Bhatia R, Ichpujani RL, Harit AK, Panda RC, et al. Epidemi ological characteristics of rabies in Delhi and surrounding areas 1998. Indian Paediatr 2 001; 38: 1354-1360. 15. Gohil HK, Dhillon R, Tiwari KN. Human rabies situation in and around Delhi. J Assoc Prev Control Rabies India 2003; V (182): 11-15. 16. WHO-APCRI National multi-centric rabies survey, 2004. 17. Sudarshan MK, Nagaraj S, Savitha B, Veena SG. An epidemiological study of ra bies in Bangalore city. J Indian Med Assoc 1995; 93: 14-16. 18. Gunawan CA. Rabies : kasus tipikal dan atipikal (paralitik). Abstrak. KONAS PETRI XIII, PERPARI IX, PKWI X. Bandung, 30 Agustus v 2 September 2007. 19. Fishbein DB, Bernard KW. Rabies virus. In : Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds). Mandell, Douglas and Bennett`s Principles and Practice of Infectious Diseases. 4 th ed. Churchill Livingstone, Philadelphia 2000, pp 1527-1541. 20. WHO. WHO Recommended Surveillance Standards. WHO/ CDS/ CSR/ ISR/ 99.2/ EN/ e n/ 21. WHO. Current WHO Guide for Rabies Pre and Post Exposure Treatment in Humans. 1998 22. WHO. Report on Consultation on Intradermal Application of Human Rabies Vacci ne. WHO, Geneva, 1995. 23. Jackson AV, Warrel MJ, Rupprecth VE, et al. Management of rabies in human. C lin Infect Dis

2003; 36: 60-63. 24. Warrel MJ. Rabies. In : Cook GC (Ed). Manson`s Tropical Diseases. 20th ed. W B Saunders Company, London 1996, pp 700-720. 25. Seghal S. Five year longitudinal study of purified vero cell rabies vaccine for post-exposure prophylaxis of rabies in Indian population. J Common Dis 1997; 29: 23-28. 26. Keystone JS, Kozarsky PE. Health advice for international travel. In : Kaspe r DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (Eds). Harrison`s Principles of Intrna l Medicine. 16th ed. Vol. 1. Mc Graw Hill, New York 2004, pp 725-731. 27. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI). Konsensus Imu nisasi Dewasa. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2003. 28. Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda MEG, et a l. Reevaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull WHO 2005; 83: 360-368. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 421

AbstrakSeorang perempuan 29 tahun datang ke rumah sakit karena kesadaran menurun , gangguan fungsi menelan, 3 hari pasca-melahirkan. Selain serangan stroke saat ini, terdapat riwa yat stroke 7 bulan yang lalu. Pasien didiagnosis disfagia neurogenik fase orofaringeal pasca-stroke iskemik, s troke iskemik pada thalamus dan crus-posterior kapsula interna kanan, suspek pneumonia aspirasi, dan G2P2A0 SC. Penatalaksanaan berupa edukasi tentang penyakit, tatalaksana medikamentosa, diet, dan latihan rehabilit asi medik untuk fungsi penelanan. Melalui penatalaksanaan yang terpadu dari berbagai bidang, yaitu THT, neuro logi, gizi, dan rehabilitasi medik, prognosis kesembuhan pasien adalah baik. Namun, perlu dipantau fungsi pen elanan dan kemungkinan AbstrakSeorang perempuan 29 tahun datang ke rumah sakit karena kesadaran menurun , gangguan fungsi menelan, 3 hari pasca-melahirkan. Selain serangan stroke saat ini, terdapat riwa yat stroke 7 bulan yang lalu. Pasien didiagnosis disfagia neurogenik fase orofaringeal pasca-stroke iskemik, s troke iskemik pada thalamus dan crus-posterior kapsula interna kanan, suspek pneumonia aspirasi, dan G2P2A0 SC. Penatalaksanaan berupa edukasi tentang penyakit, tatalaksana medikamentosa, diet, dan latihan rehabilit asi medik untuk fungsi penelanan. Melalui penatalaksanaan yang terpadu dari berbagai bidang, yaitu THT, neuro logi, gizi, dan rehabilitasi medik, prognosis kesembuhan pasien adalah baik. Namun, perlu dipantau fungsi pen elanan dan kemungkinan LAPORAN KASUS Disfagia Neurogenik Fase Orofaringeal Pasca-stroke Iskemik pada Perempuan Pasca-melahirkan Laurentius Aswin Pramono Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ABSTRAK serangan stroke berulang. Kata kunci: disfagia, neurogenik, stroke iskemik, perempuan pasca-melahirkan PENDAHULUAN Disfagia adalah kondisi morbiditas yang sering ditemukan pascastroke. Disfagia sering menjadi keluhan utama pasien di samping kelemahan motorik atau kelumpuhan otot wajah. Insidensnya berkisar antara 19-81%.1 Kondisi disfagia berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia aspirasi yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.1,2 Selain itu, disfagia pasca-stroke meningkatkan lama perawatan di rumah sakit, pemberian obat, dan penurunan kualitas hidup. Penurunan kualitas dan kuantitas makanan yang masuk akan menyebabkan malnutrisi. Diagnosis dini disfagia penting agar dapat segera dilakukan pemberian nutrisi yang adekuat.2,3,4 Beberapa gejala yang mengarah ke disfagia, yaitu 1) sulit memulai proses menelan, 2)

rasa makanan tersangkut di tenggorok, 3) perubahan suara, 4) sulit mengunyah atau kelemahan otot mastikator, 5) batuk setelah makan, 6) banyak air liur, 7) kesulitan berbicara, 8) pneumonia berulang, 9) diagnosis atau gejala klinis stroke dan 10) penggunaan obat-obat seperti nitrat, antikolinergik, serta antipsikotik.4 Disfagia pada stroke merupakan masalah tambahan yang perlu diperhatikan, di samping masalah paralisis motorik lain yang menghambat aktivitas pasien. KASUS Seorang perempuan berusia 29 tahun datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluh nyeri kepala hebat, muntah terus-menerus, lemah sisi kiri tubuh. Pasien sulit makan, sulit menelan, banyak air liur menetes karena tidak dapat menelan. Kesulitan menelan pasien adalah pada makanan cair, makanan padat masih dapat ditelan perlahan-lahan. Pasien mengaku sempat beberapa kali tersedak saat makan. Pasien masih dapat mengunyah saat makan. Tiga hari sebelum masuk RS pasien melahirkan dengan cara SC (operasi caesar). Pada 13 jam sebelum masuk RS, pasien mengeluh nyeri kepala hebat. Pasien tidak dapat bangun, tubuh sangat lemah, bicara kacau tapi sedikit-sedikit masih menyambung, dan menangis karena nyeri kepala hebat. Perubahan suara tidak ada. Pada hari itu, pasien makan dan minum sangat sedikit karena sulit menelan. Pandangan dobel, baal, dan kesemutan tidak ada. Ada riwayat demam. Pasien segera dibawa ke IGD RSCM Bagian Neurologi dan Bagian Kebidanan. Ada riwayat stroke iskemik 7 bulan sebelumnya. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, hepatitis, dan batuk lama disangkal. Riwayat gangguan menelan sebelum sakit saat ini tidak ada. Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran turun, tanda vital dalam batas normal, konjungtiva pucat, lain-lain dalam batas normal. Pemeriksaan fisis neurologi mendapatkan hemiparesis duplex dan disfagia. Pemeriksaan fisis telinga dan hidung dalam batas normal. Pemeriksaan fisis tenggorok terdapat kesulitan menelan, uvula tertarik ke kiri, lain-lain dalam batas normal. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

LAPORAN KASUS LAPORAN KASUS Hasil laboratorium menunjukkan anemia leukositosis (tanda infeksi), serta penurunan kadar albumin. Pada pemeriksaan CT Brain didapatkan infark lama di basal ganglia kiri dan lesi iskemik di thalamus dan crus posterior kapsula interna kanan. Pada pemeriksaan FEES (flexible endoscopy evaluation of swallowing) didapatkan disfagia neurogenik pada fase orofaringeal dengan risiko penetrasi dan aspirasi yang tidak dapat diatasi oleh refleks batuk karena refleks batuk tidak adekuat. FEES merupakan pemeriksaan penunjang kasus disfagia dengan nilai diagnostik penting. Pemeriksaan ini mengevaluasi fungsi menelan dengan menggunakan nasofaringoskop serat optik lentur. Pasien didiagnosis disfagia neurogenik fase orofaringeal pascastroke iskemik, stroke iskemik talamus dan crus-posterior kapsula interna kanan, suspek pneumonia aspirasi, dan G2P2A0 SC. Pasien mendapat cairan elektrolit, aspirin, statin, amiodaron, sukralfat, neuroprotektor, antibiotik seftriakson, dan ranitidin. Selain itu, pasien mendapat makanan lunak 6 x 200 ml per hari bertahap dari padat sampai cair, latihan di unit rehabilitasi medik untuk memperbaiki fungsi gerak dan mobilisasi, serta miring kanan dan kiri. Pasien dirawat sebagai stroke di Bagian Neurologi RSCM selama satu minggu. Setelah pulang, dua minggu sekali pasien kontrol ke poliklinik endoskopi THT RSCM untuk pemeriksaan FEES sampai fungsi penelanan menjadi lebih baik dan pasien dapat menelan cairan. Pasien diberi edukasi tentang penyakit, tatalaksana medikamentosa, diet, dan latihan rehabilitasi medik untuk fungsi menelan. DISKUSI Diagnosis kasus ini ditegakkan berdasarkan beberapa hal. Pada anamnesis didapatkan pasien mengalami semua tanda dan gejala stroke iskemik. Pasien juga memiliki riwayat stroke 7 bulan sebelumnya. Pasien sulit makan karena sulit menelan, banyak air liur menetes karena tidak dapat menelan. Jenis makanan yang sulit ditelan pasien adalah yang berbentuk cairan, sementara makanan padat masih dapat ditelan perlahan-lahan. Jumlah makanan pasien sedikit. Pasien mengaku beberapa kali tersedak saat makan. Pasien masih dapat mengunyah saat makan; bicara kacau, namun suara tidak berubah. Pasien mengaku tidak mengalami sensasi makanan tersangkut di daerah leher atau dada saat menelan. Ada riwayat demam yang mengarah ke kecurigaan pneumonia aspirasi. Hal ini diperkuat dengan adanya leukositosis. Diagnosis banding disfagia mekanik disingkirkan melalui pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang; disfagia mekanik terutama disebabkan oleh sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor atau benda asing. Penyebab lain adalah radang mukosa esofagus, striktur lumen esofagus, serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar, misalnya oleh pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening di mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta.5 Disfagia akibat gangguan emosi (disfagia psikis) dikaitkan dengan adanya

riwayat stres belakangan ini, hendaya pada kegiatan sehari-hari, dan apakah gangguan menelan hanya terjadi saat stres saja, atau terus menerus.5 Diagnosis stroke iskemik ulang sangat penting karena stroke merupakan salah satu etiologi penting disfagia.2,4 Pada pasien ditemukan hemiparesis duplex, salah satu tanda stroke. Pada pemeriksaan fisis dada/paru ditemukan rhonki positif, hal yang menguatkan adanya pneumonia aspirasi pada pasien yang sebelumnya sudah ada riwayat tersedak berulang, demam, dan leukositosis.7 Pemeriksaan penunjang FEES memiliki kelebihan dapat memvisualisasikan langsung faring dan laring setinggi plika vokalis untuk mengevaluasi proses menelan fase faring dan dapat mendeteksi adanya aspirasi tanpa disertai batuk. Pemeriksaan ini menjadi pilihan untuk disfagia pada stroke.2,4 Pada pasien, kesimpulan pemeriksaan FEES adalah disfagia neurogenik fase orofaringeal dengan risiko penetrasi dan aspirasi yang tidak dapat diatasi oleh refleks batuk karena refleks batuk tidak adekuat. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kemungkinan pneumonia aspirasi dengan ditemukannya leukositosis, tanpa sumber infeksi lain. Pasien juga anemia. Kadar albumin juga rendah, hal ini menjadi tanda malnutrisi pada pasien. Disfagia neurogenik pasca-stroke sebaiknya dikelola komprehensif oleh beberapa ahli seperti THT, saraf, rehabilitasi medik, dan gizi (atau ahli gizi/dietisien).2 Spesialis saraf menatalaksana penyakit dasarnya, yaitu stroke iskemik. Modifikasi diet tergantung pada berat dan karakteristik disfagia dengan pembatasan diet pada konsistensi yang aman. Modifikasi diet dilakukan berdasarkan hasil evaluasi proses menelan, contohnya FEES4,8 yang memerlukan kerjasama spesialis rehabilitasi medik dengan ahli gizi. Terapi lainnya yaitu terapi intervensi (latihan) oleh spesialis rehabilitasi medik. Pasien dan klinisi hendaknya menetapkan disiplin tinggi untuk meningkatkan keluaran klinis perbaikan fungsi menelan pada pasien.9 Karena pasien sulit menelan cairan, sebaiknya diberi makanan dengan tesktur yang lebih tebal/kental. Ada urutan pemberian makan untuk pasien disfagia yang sulit menelan cairan.8 Cairan diusahakan diberikan bersama makanan padat, dengan perlahan-lahan dari konsistensi padat sampai yang sedikit lunak misalnya puding. Hindari makan terlalu cepat. Secara bertahap, CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

LAPORAN KASUS LAPORAN KASUS berikan cairan bila fungsi menelan sudah baik. Kebutuhan cairan pasien adalah 35 mL/hari (sesuai usia).8 Bila kebutuhan tidak dapat dipenuhi maka disarankan pemberian minum melalui NGT. Bila tetap sulit, jalan terakhir adalah pemberian cairan intravena. Cegah dehidrasi dan malnutrisi karena akan menambah masalah dan morbiditas. Pasien ini pada masa nifas sehingga perlu diperhatikan kebutuhan gizinya. Medikamentosa untuk relaksasi otot polos yang berperan dalam proses menelan dan mengurangi spasme esofagus perlu diberikan pada pasien dengan compliance pengobatan yang baik. Obat yang dipilih adalah nifedipine 30 mg10 selama kurang lebih 4 minggu. Hati-hati dengan efek samping hipotensi yang akan memperburuk vaskularisasi otak pasien. Hentikan pengobatan bila ada tanda dan gejala hipotensi; bila pemantauan tidak mungkin, sebaiknya obat ini tidak diberikan. Untuk masalah pneumonia aspirasi, pasien dapat diberi antibiotik seftriakson selama perawatan di rumah sakit (1 x 2 g/hari). Antibiotik oral yang dapat digunakan adalah amoksisilin/asam klavulanat (golongan penisilin) selama 7 hari walaupun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan sefalosporin generasi ketiga; selain itu, peluang resistensinya juga lebih besar. Pemberian seftriakson juga lebih dianjurkan pada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap penisilin.7 Prognosis kesembuhan pasien adalah baik dengan beberapa catatan; pasien masih harus mendapat penanganan lanjutan terhadap risiko pneumonia aspirasi. Selain itu, perlu penanganan adekuat terhadap fungsi menelan dan risiko serangan stroke iskemik berulang. Penatalaksanaan disfagia neurogenik fase orofaringeal yang terpadu dan adekuat akan memperbaiki prognosis. Selain ahli THT, saraf, gizi, dan rehabilitasi medik, dibutuhkan keinginan kuat pasien dan dorongan seluruh keluarga. DAFTAR PUSTAKA 1. Martino N, Foley N, Bhogal S, Diaman N, Speechley M, Teasel R. Dysphagia after s troke: incidence, diagnosis, and pulmonary complication. Stroke 2005;36:2756-63 2. Heart and Stroke Foundation of Ontario. Management of dysphagia in acute stroke: an educational manual for the dysphagia screening professional. Januari, 2006 3. Brown AE. Implementation of a dysphagia management programs for acute stroke sur vivors: the Quinte Health Care experience, final report. Stroke Strategy of Southern Ont ario, 2002 4. Tamin S. Disfagia orofaring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N (editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 20

06. 5. Soepardi EA. Disfagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N (editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 2006. 6. Misbach HJ. Stroke, aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen. Balai penerbit F KUI, Jakarta, 1999: h.1-25. 7. Dahlan Z. Pneumonia bentuk khusus. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadi brata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta; Pusat P enerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2006 8. Finestone HM, Finestone LSG. Rehabilitation medicine: diagnosis of dysphagia and its nutritional management for stroke patients. Can Med Assoc J 2003;169(10): 1041-4 4 9. Carnaby G, Hankey JH, Pizzi J. Behavioural intrevention for dysphagia in acute s troke: a randomised controlled trial. Lancet Neurol 2006;5:31-7 10. Perez I, Smithard DG, Davies H, Kalra L. Pharmacological treatment of dyspha gia in stroke. Dysphagia 1998;13:12-16 CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 425 DIABETES GASTROENTEROLOGI

FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI Profil obat anti tuberkulosis (OAT): Rifampisin dan Etambutol Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Prinsip pengobatan penyakit TB : OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai kategori pengobatan. OAT tunggal (monoterapi) tidak dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien minum obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Jenis, sifat dan dosis OAT (Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI 2006) Tahap awal (intensif): (2-3 bulan) Pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, pasien menular umumnya menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap lanjutan: (4 atau 7 bulan) Pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah kekambuhan. Paduan OAT dan peruntukannya 1. Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: -Pasien baru TB paru BTA positif -Pasien TB paru BTA negatif foto torak positif -Pasien TB ekstra paru 2. Kategori 2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya : -Pasien kambuh -Pasien gagal -Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus) 3. OAT sisipan (HRZE) OAT sisipan sama dengan OAT tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama 1 bulan. Efek samping OAT Efek samping ringan

(Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI 2006) Efek samping berat (Referensi: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI 2006) Efek samping gatal dan kemerahan kulit

Pasien yang diberi OAT jika mengeluh gatal, singkirkan kemungkinan penyebab lain. Berikan anti-histamin sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal pada sebagian pasien menghilang, namun pada sebagian menjadi kemerahan kulit. Jika demikian, hentikan OAT; dan bila gejala bertambah berat, pasien dirujuk. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

FARMAKOLOGIFARMAKOLOGI RIFAMPISIN FARMAKOLOGI Rifampisin adalah derivat semisintetik rifamisin B yaitu salah satu anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Aktifitas antibakteri Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif dan gram negatif. Terhadap kuman gram positif kerjanya tidak sekuat Penisilin G, tetapi sedikit lebih kuat daripada eritromisin, linkomisin dan sefalotin. Terhadap kuman gram negatif, kerjanya lebih lemah daripada tetrasiklin, kloramfenikol, kanamisin dan kolistin. Rifampisin sangat aktif terhadap N. meningitidis dan Haemophilus influenzae. Kadar hambat minimalnya berkisar antara 0,1-0,8 _g/ml. In vitro, Rifampisin pada kadar 0,0005 v 0,2 _g/ml menghambat pertumbuhan M. tuberculosis. Pemberian Rifampisin dapat meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M. tuberculosis, namun tidak terhadap etambutol. Mekanisme kerja Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya rantai dalam sintesis RNA. Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi daripada kadar untuk penghambatan pada kuman. Rifampisin kadar tinggi juga dapat menghambat pertumbuhan berbagai jenis virus. Rifampisin bakterisidal terhadap mikroorganisme intraseluler dan ekstraseluler. FARMAKOKINETIK Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma dalam 2-4 jam. Dosis tunggal 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 _g/ml. Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu, kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapan dihambat oleh adanya makanan (sekitar 30%). Rifampisin cepat mengalami deasetilasi, dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas antibakteri penuh. Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi dari 1,5-5 jam dan memanjang bila ada kelainan fungsi hepar. Pada pemberian berulang masa paruh akan memendek sekitar 40% dalam waktu 14 hari. Pada pemberian berulang masa paruh akan memendek sekitar 40% dalam waktu 14 hari. Sekitar 80% rifampisin terikat pada protein plasma. Obat ini berdifusi ke berbagai jaringan termasuk ke cairan otak. Luasnya distribusi ini tercermin dari warna merah pada urin, tinja, sputum, air mata dan keringat penderita. Ekskresi melalui urin mencapai 30%, setengahnya merupakan rifampisin utuh sehingga penderita gangguan fungsi ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. INDIKASI

Rifampisin diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis, pemberiannya dikombinasi dengan isoniazid, etambutol, pirazinamid dan streptomisin berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TB 2006 : Kategori 1, Kategori 2, atau OAT sisipan DOSIS DAN CARA PEMBERIAN Untuk dewasa : BB > 60kg : 600 mg BB 40-60 mg : 450 mg BB < 40 kg : 300 mg Untuk anak : BB < 10 kg : 75 mg BB 10-20 kg : 150 mg BB 20-32 kg : 300 mg Pemberian dianjurkan sekali sehari, 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan. KONTRAINDIKASI Pasien yang memiliki hipersensitivitas terhadap rifampisin. PERINGATAN DAN PERHATIAN Pasien dengan disfungsi hati Pemeriksaan fungsi hati dan tes hematologi harus dilakukan secara periodik pada pemakaian jangka panjang Jika terjadi komplikasi serius seperti : gagal ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia dan gangguan fungsi hati, pengobatan harus dihentikan Rifampisin dapat menyebabkan urin, feses, air mata, saliva dan keringat berwarna merah, terutama pada pemakaian pertama kali, oleh karena itu harus diberitahukan kepada pasien Dapat menyebabkan perubahan warna pada lensa kontak secara permanen. INTERAKSI OBAT Kombinasi dengan PAS akan menghambat absorpsi rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup Rifampisin dapat menurunkan respon obat-obatan seperti : hipoglikemik oral, kortikosteroid dan kontrasepsi oral Rifampisin dapat mengganggu metabolisme vitamin D sehingga dapat menimbulkan kelainan tulang berupa osteomalasia Disulfiram dan probenesid dapat menghambat ekskresi rifampisin melalui ginjal Rifampisin juga dapat meningkatkan hepatotoksisitas INH ETAMBUTOL

FARMAKOLOGI Etambutol merupakan bakteriostatik dengan mekanisme kerja menekan pertumbuhan M.tuberculosis dengan cara menghambat metabolisme sel sehingga sel tidak dapat memperbanyak diri dan mati. Karena itu Etambutol hanya aktif terhadap sel yang tumbuh dengan khasiat tuberkulostatik. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

FARMAKOLOGIFARMAKOLOGI Etambutol sensitif terhadap galur M tuberculosis dan spesies mikobakterium lainnya namun tidak efektif untuk kuman lain, jamur ataupun virus. Resistensi dapat terjadi sangat cepat bila Etambutol digunakan secara tunggal; sedangkan penggunaan Etambutol dikombinasi dengan OAT lain akan sulit menimbulkan resistensi. Konsentrasi hambat minimum Etambutol adalah 1-8 _g/mL. FARMAKOKINETIK Pada pemberian oral sekitar 75-80% Etambutol diabsorpsi dari saluran cerna. Absorpsi cepat bila tidak dipengaruhi oleh makanan. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan kadar plasma sekitar 2-5 _g/ml pada 2-4 jam; tidak menyebabkan akumulasi obat pada pasien dengan fungsi ginjal normal, namun dapat terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Masa paruh eliminasinya adalah 3-4 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal, sedangkan pada pasien insufisiensi ginjal memanjang hingga 7-8 jam. Dalam waktu 24 jam, 50% Etambutol diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin, 15% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Bersihan ginjal untuk Etambutol kira-kira 7 ml/menit/kg, menandakan bahwa obat ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi melalui tubuli. Etambutol tidak dapat menembus sawar darah otak, tetapi pada meningitis TB dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan otak. INDIKASI Etambutol diindikasikan untuk terapi TB, pemberiannya dikombinasi dengan OAT lainnya (Rifampisin, Isoniasid, Pirazinamid, Streptomisin) berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TB 2006, Kategori 1, Kategori 2, atau OAT sisipan. DOSIS DAN CARA PEMBERIAN Untuk dewasa : Fase intensif 20 mg/kgBB Fase lanjutan 15 mg/kgBB, 30 mg/kgBB 3x seminggu, atau BB > 60kg : 1500 mg BB 40-60 mg : 1000 mg BB < 40 kg : 750 mg Untuk anak : Etambutol tidak direkomendasikan untuk pasien anak usia < 5 tahun, karena efek samping Etambutol yang mempengaruhi penglihatan. Anak usia 6 v 12 tahun : 10 v 15 mg/kgBB/hari. (dengan ketajaman penglihatan yang baik dan tidak buta warna, serta perlu pengawasan dokter). Usia yang direkomendasikan adalah > 13 tahun. KONTRAINDIKASI

Anak usia kurang dari 6 tahun Neuritis optik Penderita hipersensitif terhadap Etambutol PERINGATAN DAN PERHATIAN Lakukan pemeriksaan tajam penglihatan dan warna sebelum terapi dan secara periodik selama terapi. Apabila terjadi perubahan ketajaman visual, penggunaan Etambutol harus dihentikan. Pada penderita dengan gangguan visual seperti katarak, radang mata berulang, neuritis optik, retinopati diabetik, evaluasi perubahan visual lebih sulit dilakukan. Oleh karena itu harus dapat dibedakan dengan pasti antara perubahan visual karena keadaan tersebut dengan perubahan visual karena Etambutol. Hati-hati pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis harus diturunkan dan disesuaikan dengan kadar Etambutol dalam darah. Pada pengobatan jangka panjang pemeriksaan fungsi organ harus dilakukan secara periodik termasuk ginjal, hati, hematopoetik. Data keamanan pemakaian Etambutol pada wanita hamil dan menyusui belum cukup. INTERAKSI OBAT Kombinasi dengan isoniasid dan piridoksin dapat meningkatkan kadar asam urat darah, hal ini disebabkan penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal. Pemberian bersama aluminium hidroksida (antasid) pada 13 pasien tuberkulosis menurunkan konsentrasi serum dan ekskresi urin Etambutol sekitar 20% dan 13%. Pemberian Etambutol dianjurkan 4 jam setelah mengkonsumsi aluminium hidroksida. (MML) CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

Pengaruh pemberian aspirin secara langsung terhadap fungsi kardiovaskular belum diketahui dengan pasti. Walaupun demikian, hingga kini aspirin terbukti bermanfaat dalam mencegah kejadian kardiovaskular. Penelitian-penelitian memperlihatkan bahwa aspirin merupakan antioksidan poten yang dapat mengurangi pembentukan superoksida. Aspirin dalam penelitian juga dapat mencegah peningkatan tekanan darah yang disebabkan angiotensin II, mencegah hipertrofi kardiovaskular dan dapat menginduksi pelepasan nitric oxide (NO) dari endotel pembuluh darah. Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa pemberian aspirin dosis rendah pada malam hari menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi yang tidak mendapatkan terapi obat-obat antihipertensi. Selain mengontrol tekanan darah pada wanita hamil dengan risiko tinggi preeklampsia, pemberian aspirin dosis rendah juga menurunkan kejadian terjadinya komplikasi hipertensi dalam kehamilan. Dr. Ramon Hermida dan rekan dari Universitas Vigo, Spanyol, melakukan penelitian efek pemberian aspirin dosis rendah terhadap tekanan darah ambulatori pasien prehipertensi. Hasilnya dipresentasikan pada pertemuan tahunan the American Society of Hypertension 2009 yang berlangsung di New Orleans, Amerika Serikat. Penelitian ini melibatkan 244 pasien prehipertensi, dengan umur rata-rata 43 tahun. Pasien dibagi dalam 3 kelompok: kelompok pertama diterapi dengan modifikasi gaya hidup saja; kelompok kedua diterapi dengan modifikasi gaya hidup plus aspirin 100 mg setiap pagi; dan kelompok ketiga diterapi dengan modifikasi gaya hidup plus aspirin 100 mg pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah tidak berubah pada kelompok pertama dan kedua. Namun pada kelompok ketiga (terapi modifikasi gaya hidup plus aspirin 100 mg malam hari), terjadi penurunan tekanan darah secara bermakna, dengan penurunan tekanan darah ratarata sistolik dan diastolik 24 jam sebesar 6/3 mmHg (p<0,001). Penurunan tekanan darah ini tidak disertai dengan perubahan denyut jantung. Pada kelompok ketiga kontrol tekanan darah terjadi baik pada pagi hari, (penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik sebesar 4/4 mmHg) dan juga pada malam hari (penurunan sebesar 6/3 mmHg). Penelitian ini sangat penting karena fakta menunjukkan bahwa pasien prehipertensi akan menjadi hipertensi hanya dalam beberapa tahun saja, dan oleh karena itu pemberian aspirin malam hari pada pasien prehipertensi dapat menghambat progresifitas terjadinya hipertensi dan memperlambat perlunya terapi antihipertensi. Dr. Herida dan rekan sedang mempersiapkan sebuah penelitian preventif dengan jumlah pasien prehipertensi yang lebih besar untuk mengkonfirmasi apakah pemberian aspirin malam hari benar-benar dapat menghambat terjadinya hipertensi. Kesimpulan: Terapi modifikasi gaya hidup dan pemberian aspirin 100 mg malam hari pada pasien-pasien prehipertensi dapat menurunkan tekanan darah, sehingga progresifitas prehipertensi menjadi hipertensi dapat dihambat dan mengurangi perlunya terapi dini antihipertensi. Penelitian dengan

jumlah pasien yang lebih besar diperlukkan untuk mengkonfiramasi hal ini. (YYA) Referensi : 1. Hermida RC, Ayala DE, Calvo C, Lopez JE, Fernandez JR, Mojon a, et al. Administration Time Dependent Effects of Aspirin on Blood Pressure in Untreated Hypertensive Patients. Hypertension 2003; 41; 1259-67. 2. Hermida RC, Ayala DE, Iglesias M. Administration Time Dependent Influence of Aspirin on Blood Pressure in Pregnant Women. Hypertension 2003; 41; 651-6. 3. Medscape Cardiology. Nighttime Aspirin May Delay Progression of Prehypertension to Hypertension. [citied 2009 May 27]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/574649 Pemberian Aspirin pada Malam Hari Menurunkan Tekanan Darah Pengaruh pemberian aspirin secara langsung terhadap fungsi kardiovaskular belum diketahui dengan pasti. Walaupun demikian, hingga kini aspirin terbukti bermanfa at dalam mencegah kejadian kardiovaskular. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 431 BERITA TERKINI Pengaruh pemberian aspirin secara langsung terhadap fungsi kardiovaskular belum diketahui dengan pasti. Walaupun demikian, hingga kini aspirin terbukti bermanfaat dalam mencegah kejadian kardiovaskular. Penelitian-penelitian memperlihatkan bahwa aspirin merupakan antioksidan poten yang dapat mengurangi pembentukan superoksida. Aspirin dalam penelitian juga dapat mencegah peningkatan tekanan darah yang disebabkan angiotensin II, mencegah hipertrofi kardiovaskular dan dapat menginduksi pelepasan nitric oxide (NO) dari endotel pembuluh darah. Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa pemberian aspirin dosis rendah pada malam hari menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi yang tidak mendapatkan terapi obat-obat antihipertensi. Selain mengontrol tekanan darah pada wanita hamil dengan risiko tinggi preeklampsia, pemberian aspirin dosis rendah juga menurunkan kejadian terjadinya komplikasi hipertensi dalam kehamilan. Dr. Ramon Hermida dan rekan dari Universitas Vigo, Spanyol, melakukan penelitian efek pemberian aspirin dosis rendah terhadap tekanan darah ambulatori pasien prehipertensi. Hasilnya dipresentasikan pada pertemuan tahunan the American Society of Hypertension 2009 yang berlangsung di New Orleans, Amerika Serikat. Penelitian ini melibatkan 244 pasien prehipertensi, dengan umur rata-rata 43 tahun. Pasien dibagi dalam 3 kelompok: kelompok pertama diterapi dengan modifikasi gaya hidup saja; kelompok kedua diterapi dengan modifikasi gaya hidup plus aspirin 100 mg setiap pagi; dan kelompok ketiga diterapi dengan modifikasi gaya hidup plus aspirin 100 mg pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah tidak berubah pada kelompok pertama dan kedua. Namun pada kelompok ketiga (terapi modifikasi gaya hidup plus aspirin 100 mg malam hari), terjadi penurunan tekanan darah secara bermakna, dengan penurunan tekanan darah ratarata sistolik dan diastolik 24 jam sebesar 6/3 mmHg (p<0,001). Penurunan tekanan darah ini tidak disertai dengan perubahan denyut jantung. Pada kelompok ketiga kontrol tekanan darah terjadi baik pada pagi hari, (penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik sebesar 4/4 mmHg) dan juga

pada malam hari (penurunan sebesar 6/3 mmHg). Penelitian ini sangat penting karena fakta menunjukkan bahwa pasien prehipertensi akan menjadi hipertensi hanya dalam beberapa tahun saja, dan oleh karena itu pemberian aspirin malam hari pada pasien prehipertensi dapat menghambat progresifitas terjadinya hipertensi dan memperlambat perlunya terapi antihipertensi. Dr. Herida dan rekan sedang mempersiapkan sebuah penelitian preventif dengan jumlah pasien prehipertensi yang lebih besar untuk mengkonfirmasi apakah pemberian aspirin malam hari benar-benar dapat menghambat terjadinya hipertensi. Kesimpulan: Terapi modifikasi gaya hidup dan pemberian aspirin 100 mg malam hari pada pasien-pasien prehipertensi dapat menurunkan tekanan darah, sehingga progresifitas prehipertensi menjadi hipertensi dapat dihambat dan mengurangi perlunya terapi dini antihipertensi. Penelitian dengan jumlah pasien yang lebih besar diperlukkan untuk mengkonfiramasi hal ini. (YYA) Referensi : 1. Hermida RC, Ayala DE, Calvo C, Lopez JE, Fernandez JR, Mojon a, et al. Administration Time Dependent Effects of Aspirin on Blood Pressure in Untreated Hypertensive Patients. Hypertension 2003; 41; 1259-67. 2. Hermida RC, Ayala DE, Iglesias M. Administration Time Dependent Influence of Aspirin on Blood Pressure in Pregnant Women. Hypertension 2003; 41; 651-6. 3. Medscape Cardiology. Nighttime Aspirin May Delay Progression of Prehypertension to Hypertension. [citied 2009 May 27]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/574649 Pemberian Aspirin pada Malam Hari Menurunkan Tekanan Darah Pengaruh pemberian aspirin secara langsung terhadap fungsi kardiovaskular belum diketahui dengan pasti. Walaupun demikian, hingga kini aspirin terbukti bermanfa at dalam mencegah kejadian kardiovaskular. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 431 BERITA TERKINI

Obat-obat golongan statin paling sering diberikan sebagai terapi pasien hiperlipidemia. Selain efektif menurunkan kadar kolesterol, statin memiliki berbagai efek pleiotropik sehingga diberikan sebagai terapi tambahan untuk penyakitpenyakit lain seperti diabetes, aritmia ventrikular, penyakit arteri perifer, kanker, osteoporosis dan depresi. Metaanalisa terhadap beberapa penelitian acak terkontrol memperlihatkan bahwa pemberian statin secara bermakna menurunkan angka kejadian kardiovaskular. Efek samping statin yang paling sering terjadi adalah miopati. Gejala miopati bervariasi, seperti lemah, nyeri, hingga rhabdomiolisis yang mengancam jiwa. Sejumlah 25% pasien pengguna statin yang rajin berolah raga mengalami kelemahan pada otot, nyeri dan kram karena pemberian statin. Miopati mengganggu kualitas hidup pasien, karena mengganggu kemampuan pasien menjalankan aktifitas hidup sehari-hari seperti membuka botol, dan juga aktifitas fisik berat seperti berolah raga. Hingga kini mekanisme terjadinya miopati akibat statin belum diketahui dengan jelas, namun diperkirakan berhubungan dengan apoptosis miofiber dan penurunan biosintesa coenzyme Q10. Terapi untuk menghilangkan gejala miopati biasanya adalah menghentikan terapi statin. Namun hal ini dapat mengganggu kontrol kolesterol LDL (low density lipoprotein) dan akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Apakah terapi dengan suplemen coenzyme Q10 dapat membantu memperbaiki gejala miopati? Dr. Giuseppe Caso dan rekan dari Stony Brook University, Stony Brook, New York, Amerika Serikat melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui apakah suplemen coenzyme Q10 dapat memperbaiki gejala miopati pada pasien yang diterapi dengan statin. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada American Journal of Cardiology edisi bulan Mei 2009. Penelitian acak ini melibatkan 32 pasien, yang secara acak menerima terapi statin 100 mg sehari (n=18) atau vitamin E 400 IU sehari (n=16). (vitamin E dalam penelitian ini dianggap sebagai plasebo). Penelitian memperlihatkan bahwa dari 18 pasien yang diterapi dengan coenzyme Q10, 16 mengalami penurunan intensitas nyeri sebesar 40% (p<0,001) setelah diterapi selama 1 bulan. Dari 14 pasien yang diterapi dengan vitamin E, hanya 3 pasien yang mengalami perubahan intensitas nyeri. Selain itu, pada pasien yang diterapi dengan coenzyme Q10 dilaporkan perbaikan intensitas nyeri yang berhubungan dengan aktifitas sehari-hari sebesar 38% (p<0,02). Perbaikan ini tidak terjadi pada pasien-pasien yang diberikan vitamin E. Para ahli dalam penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa pemberian suplemen coenzyme Q10 sebesar 100 mg sehari selama 30 hari dapat mengurangi gejala miopati dan memperbaiki kemampuan pasien dalam aktifitas sehari-hari. Pada pasien yang baru diberikan statin, namun rentan terhadap defisiensi coenzyme Q10 (seperti pada pasien usia lanjut), dianjurkan pemberian coenzyme Q10 profilaksis sebesar 60-120 mg sehari. Kesimpulan: Pemberian suplemen coenzyme Q10 dengan dosis 100 mg sehari selama 30 hari mengurangi gejala miopati pada pasien yang diterapi dengan statin. Pada pasien-pasien

yang rentan terhadap terjadinya miopati (seperti pada pasien usia lanjut), dapat diberikan terapi coenzyme Q10 dengan dosis 60-120 mg sebagai profilaksis. (YYA) Referensi : 1. Ballantyne CM, Corsini A, Davidson MH, Holdaas H, Jacobson TA, Leitersdorf E. Risk for Myopathy With Statin Therapy in High-Risk Patients. Arch Intern 2003; 163: 553-64. 2. Caso G, Kelly P, McNurlan MA. Effect of Coenzyme Q10 on Myopathic Symptoms in Patients Treated With Statins. Am J Cardiol 2007; 99: 1409 v 12. Abstract. [citied 2009 June 01]. Available from: http://www.eclipsconsult.com/eclips/artic le/ Cardiology/S0145-4145(08)04004-5# 3. Dirks AJ, Jones KM. Statin-induced apoptosis and skeletal myopathy. Am J Phys iol Cell Physiol 2006; 291: C1208vC12. 4. Jacobson TA. Toward Pain-Free. Statin Prescribing: Clinical Algorithm for Diagnosis and Management of Myalgia. Mayo Clin Proc. 2008;83(6):687-700 5. Marcoff L, Thompson PD. The Role of Coenzyme Q10 in Statin-Associated Myopathy. J Am Coll Cardiol 2007;49: 2231v7. 6. Mescape Cardiology. Coenzyme Q10 May Relieve Myopathic Symptoms in Patients Treated With Statins. [citied 2009 June 01]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/558408 7. Medscape Cardiology. Primary Evaluation and Management of Statin Therapy Complication: The Role of Coenzyme Q10. [citied 2009 June 01]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/528265_8 Suplemen Coenzyme Q10 Mengurangi Miopati akibat Terapi Statin Obat-obat golongan statin paling sering diberikan sebagai terapi pasien hiperlip idemia. Selain efektif menurunkan kadar kolesterol, statin memiliki berbagai efek pleiot ropik sehingga diberikan sebagai terapi tambahan untuk penyakit-penyakit lain seperti diabetes, aritmia ventrikular, penyakit arteri perifer, kanker, osteoporosis dan depresi. Metaanalisa terhadap beberapa penelitian acak terkontrol memperlihatkan bahwa pemberian statin secara bermakna menurunkan angka kejadian kardiovaskular. BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009432 Obat-obat golongan statin paling sering diberikan sebagai terapi pasien hiperlipidemia. Selain efektif menurunkan kadar kolesterol, statin memiliki berbagai efek pleiotropik sehingga diberikan sebagai terapi tambahan untuk penyakitpenyakit lain seperti diabetes, aritmia ventrikular, penyakit arteri perifer, kanker, osteoporosis dan depresi. Metaanalisa terhadap beberapa penelitian acak terkontrol memperlihatkan bahwa pemberian statin secara bermakna menurunkan angka kejadian kardiovaskular. Efek samping statin yang paling sering terjadi adalah miopati. Gejala miopati bervariasi, seperti lemah, nyeri, hingga rhabdomiolisis yang mengancam jiwa. Sejumlah 25% pasien pengguna statin yang rajin berolah raga mengalami kelemahan pada otot, nyeri dan kram karena pemberian statin. Miopati mengganggu kualitas hidup pasien, karena mengganggu kemampuan pasien menjalankan aktifitas hidup sehari-hari seperti membuka botol, dan juga aktifitas fisik berat seperti berolah raga. Hingga kini mekanisme terjadinya miopati akibat statin belum diketahui dengan jelas, namun diperkirakan berhubungan dengan apoptosis miofiber dan penurunan biosintesa

coenzyme Q10. Terapi untuk menghilangkan gejala miopati biasanya adalah menghentikan terapi statin. Namun hal ini dapat mengganggu kontrol kolesterol LDL (low density lipoprotein) dan akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Apakah terapi dengan suplemen coenzyme Q10 dapat membantu memperbaiki gejala miopati? Dr. Giuseppe Caso dan rekan dari Stony Brook University, Stony Brook, New York, Amerika Serikat melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui apakah suplemen coenzyme Q10 dapat memperbaiki gejala miopati pada pasien yang diterapi dengan statin. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada American Journal of Cardiology edisi bulan Mei 2009. Penelitian acak ini melibatkan 32 pasien, yang secara acak menerima terapi statin 100 mg sehari (n=18) atau vitamin E 400 IU sehari (n=16). (vitamin E dalam penelitian ini dianggap sebagai plasebo). Penelitian memperlihatkan bahwa dari 18 pasien yang diterapi dengan coenzyme Q10, 16 mengalami penurunan intensitas nyeri sebesar 40% (p<0,001) setelah diterapi selama 1 bulan. Dari 14 pasien yang diterapi dengan vitamin E, hanya 3 pasien yang mengalami perubahan intensitas nyeri. Selain itu, pada pasien yang diterapi dengan coenzyme Q10 dilaporkan perbaikan intensitas nyeri yang berhubungan dengan aktifitas sehari-hari sebesar 38% (p<0,02). Perbaikan ini tidak terjadi pada pasien-pasien yang diberikan vitamin E. Para ahli dalam penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa pemberian suplemen coenzyme Q10 sebesar 100 mg sehari selama 30 hari dapat mengurangi gejala miopati dan memperbaiki kemampuan pasien dalam aktifitas sehari-hari. Pada pasien yang baru diberikan statin, namun rentan terhadap defisiensi coenzyme Q10 (seperti pada pasien usia lanjut), dianjurkan pemberian coenzyme Q10 profilaksis sebesar 60-120 mg sehari. Kesimpulan: Pemberian suplemen coenzyme Q10 dengan dosis 100 mg sehari selama 30 hari mengurangi gejala miopati pada pasien yang diterapi dengan statin. Pada pasien-pasien yang rentan terhadap terjadinya miopati (seperti pada pasien usia lanjut), dapat diberikan terapi coenzyme Q10 dengan dosis 60-120 mg sebagai profilaksis. (YYA) Referensi : 1. Ballantyne CM, Corsini A, Davidson MH, Holdaas H, Jacobson TA, Leitersdorf E. Risk for Myopathy With Statin Therapy in High-Risk Patients. Arch Intern 2003; 163: 553-64. 2. Caso G, Kelly P, McNurlan MA. Effect of Coenzyme Q10 on Myopathic Symptoms in Patients Treated With Statins. Am J Cardiol 2007; 99: 1409 v 12. Abstract. [citied 2009 June 01]. Available from: http://www.eclipsconsult.com/eclips/artic le/ Cardiology/S0145-4145(08)04004-5# 3. Dirks AJ, Jones KM. Statin-induced apoptosis and skeletal myopathy. Am J Phys iol Cell Physiol 2006; 291: C1208vC12. 4. Jacobson TA. Toward Pain-Free. Statin Prescribing: Clinical Algorithm for Diagnosis and Management of Myalgia. Mayo Clin Proc. 2008;83(6):687-700 5. Marcoff L, Thompson PD. The Role of Coenzyme Q10 in Statin-Associated Myopathy. J Am Coll Cardiol 2007;49: 2231v7. 6. Mescape Cardiology. Coenzyme Q10 May Relieve Myopathic Symptoms in Patients Treated With Statins. [citied 2009 June 01]. Available from:

http://www.medscape.com/viewarticle/558408 7. Medscape Cardiology. Primary Evaluation and Management of Statin Therapy Complication: The Role of Coenzyme Q10. [citied 2009 June 01]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/528265_8 Suplemen Coenzyme Q10 Mengurangi Miopati akibat Terapi Statin Obat-obat golongan statin paling sering diberikan sebagai terapi pasien hiperlip idemia. Selain efektif menurunkan kadar kolesterol, statin memiliki berbagai efek pleiot ropik sehingga diberikan sebagai terapi tambahan untuk penyakit-penyakit lain seperti diabetes, aritmia ventrikular, penyakit arteri perifer, kanker, osteoporosis dan depresi. Metaanalisa terhadap beberapa penelitian acak terkontrol memperlihatkan bahwa pemberian statin secara bermakna menurunkan angka kejadian kardiovaskular. BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009432

Dr Eva T. Aronen, dari Universitas Helsinki Central Hospital mengatakan "Suudi kami menemukan dengkur sebagai faktor risiko yang mungkin untuk masalah mood dan kognitif yang buruk pada anak-anak usia TK". Diantara 43 balita yang mendengkur setidaknya sekali atau dua kali seminggu, menurut orang tuanya, dan 46 balita yang tidak mendengkur, tim Aronen menemukan lebih tinggi masalah mood, khususnya gejala kegelisahan dan depresi pada pendengkur. "Secara keseluruhan, 22 persen dari anak-anak yang mendengkur mengalami gangguan gejala mood yang cukup parah gejala sehingga perlu evaluasi klinis, dibandingkan dengan 11 persen dari anak-anak yang tidak mendengkur," kata Aronen. "Mengejutkan dan melebihi harapan kami, perilaku seperti hiperaktif dan perilaku agresif, tidak lebih sering diantara anak usia TK yang mendengkur dalam kajian ini," Aronen menambahkan. Menurut laporan dari studi yang diterbitkan di dalam Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, anak-anak yang mendengkur juga cenderung memiliki lebih banyak masalah tidur, seperti mimpi buruk, berbicara dalam tidur mereka, atau kesulitan tidur. Beberapa tes fungsi otak juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendengkur dan yang bukan, termasuk penurunan perhatian dan penurunan kemampuan bahasa pada anak-anak yang mendengkur. Dengkur merupakan gejala umum dari gangguan bernafas saat tidur , yang disebabkan oleh terhalangnya udara di atas rongga hidung selama tidur. Mengetahui dampak gangguan napas saat tidur pada anak-anak balita terhadap perkembangan dan kesehatan mental akan membantu dokter anak dan profesional kesehatan lain mengenali masalah tidur. Para peneliti menyimpulkan "Hal ini memungkinkan intervensi sebelum diperoleh di sekolah atau sebelum berkembang gejalagejala perllaku dan atau emosional yang lebih sulit. (NFA) Sumber : MedlinePlus http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/news/fullstory_82969.html Mendengkur: Tanda Kesulitan pada Balita? Laporan para peneliti Finlandia menyatakan bahwa anak-anak umur tiga sampai enam tahun yang mendengkur mengalami lebih banyak gejala depresi dan kegelisahan, ser ta perhatian dan masalah bahasa, dibandingkan anak lain seusia mereka yang tidak mendengkur. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 433 BERITA TERKINI Dr Eva T. Aronen, dari Universitas Helsinki Central Hospital mengatakan "Suudi kami menemukan dengkur sebagai faktor risiko yang mungkin untuk masalah mood dan kognitif yang buruk pada anak-anak usia TK". Diantara 43 balita yang mendengkur setidaknya sekali atau dua kali seminggu, menurut orang tuanya, dan 46 balita yang tidak mendengkur, tim Aronen menemukan lebih tinggi masalah mood, khususnya gejala kegelisahan dan depresi pada pendengkur. "Secara keseluruhan, 22 persen dari anak-anak yang mendengkur mengalami gangguan gejala mood yang cukup parah gejala sehingga perlu evaluasi klinis, dibandingkan dengan 11 persen dari anak-anak yang tidak mendengkur,"

kata Aronen. "Mengejutkan dan melebihi harapan kami, perilaku seperti hiperaktif dan perilaku agresif, tidak lebih sering diantara anak usia TK yang mendengkur dalam kajian ini," Aronen menambahkan. Menurut laporan dari studi yang diterbitkan di dalam Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, anak-anak yang mendengkur juga cenderung memiliki lebih banyak masalah tidur, seperti mimpi buruk, berbicara dalam tidur mereka, atau kesulitan tidur. Beberapa tes fungsi otak juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendengkur dan yang bukan, termasuk penurunan perhatian dan penurunan kemampuan bahasa pada anak-anak yang mendengkur. Dengkur merupakan gejala umum dari gangguan bernafas saat tidur , yang disebabkan oleh terhalangnya udara di atas rongga hidung selama tidur. Mengetahui dampak gangguan napas saat tidur pada anak-anak balita terhadap perkembangan dan kesehatan mental akan membantu dokter anak dan profesional kesehatan lain mengenali masalah tidur. Para peneliti menyimpulkan "Hal ini memungkinkan intervensi sebelum diperoleh di sekolah atau sebelum berkembang gejalagejala perllaku dan atau emosional yang lebih sulit. (NFA) Sumber : MedlinePlus http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/news/fullstory_82969.html Mendengkur: Tanda Kesulitan pada Balita? Laporan para peneliti Finlandia menyatakan bahwa anak-anak umur tiga sampai enam tahun yang mendengkur mengalami lebih banyak gejala depresi dan kegelisahan, ser ta perhatian dan masalah bahasa, dibandingkan anak lain seusia mereka yang tidak mendengkur. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 433 BERITA TERKINI

Namun saat ini studi terbaru telah dilakukan untuk menilai efikasi kombinasi albumin dengan furosemid; 16 anak sindrom nefrotik dan edema refrakter diacak dalam suatu studi silang untuk mendapat kombinasi infus albumin manusia 20% dan furosemid (kelompok infus HA+FU) atau infus furosemid saja (kelompok infus FU). Pada akhir studi, hasilnya menunjukkan bahwa: Penemuan studi ini menunjukkan bahwa pemberian infus albumin bersama furosemid lebih efektif dibanding pemberian infus furosemid saja dalam menyebabkan diuresis dan natriuresis pada pasien dengan sindrom nefrotik. Sebelumnya suatu studi literatur juga telah dilakukan untuk menilai manfaat klinis kombinasi furosemide dengan albumin manusia untuk terapi edema yang resisten terhadap diuretik pada pasien dengan sindrom nefrotik dan sirosis. Literatur klinis didapat melalui MEDLINE (1966-Mei 2002). Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa tampaknya kombinasi albumin dengan furosemid memberikan manfaat klinis untuk pasien sindrom nefrotik dan sirosis. Penambahan albumin dapat meningkatkan efikasi diuretik sehingga dapat digunakan pada pasien dengan edema atau asites rekalsitran jika dosis diuretik telah maksimal dan juga pada pasien dengan hipoalbuminemia berat. Studi lain telah dilakukan secara buta ganda, dengan kontrol plasebo pada 9 pasien sindrom nefrotik dengan asupan natrium klorida yang telah distandarisasi. Pasien secara acak mendapat infus furosemid 60 mg, infus albumin 20% 200 mL plus furosemid 60 mg atau infus 200 mL albumin 20% selama 60 menit. Hasilnya menunjukkan bahwa infus furosemid saja secara bermakna meningkatkan natrium urin kumulatif rata-rata dibanding dengan infus albumin saja dalam 8 jam pertama. Kombinasi infus albumin dengan furosemid menyebabkan peningkatan natrium urin dan ekskresi volume urin yang lebih bermakna dibanding dengan infus furosemide saja (p<0,005). Faktor natriuretik atrial, konsentrasi albumin serum dan ekskresi albumin urin meningkat secara bermakna pada kedua kelompok infus albumin, sedangkan ekskresi furosemid urin tidak berubah dengan pemberian albumin. Laju filtrasi glomerulus tidak dipengaruhi secara bermakna oleh semua jenis infus tetapi aliran plasma ginjal efektif meningkat secara bermakna pada kedua kelompok infus albumin. Disimpulkan bahwa pemberian bersama albumin meningkatkan kerja furosemid pada pasien dengan sindrom nefrotik walaupun sedikit, efek ini dimediasi oleh perubahan hemodinamik ginjal. (EKM) Referensi: 1. Dharmaraj R, Hari P, Bagga A. Randomized cross-over trial comparing albumin and frusemide infusions in nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2009; 24(4):77582. 2. Elwell RJ, Spencer AP, Eisele G. Combined furosemide and human albumin treatment for diuretic-resistant edema. Ann Pharmacother. 2003;37(5):695-700. 3. Fliser D, Zurbrggen I, Mutschler E, Bischoff I, Nussberger J, Franek E et al. Coadministration of albumin and furosemide in patients with the nephrotic syndrome. Kidney Int.1999;55(2):629-34. Albumin Meningkatkan Efek Diuretik Furosemid Hipoalbuminemia, edema dan asites sering ditemukan pada sindrom nefrotik

dan sirosis hati. Banyak pasien dengan kondisi tersebut resisten terhadap efek diuretik termasuk furosemid. Kontribusi hipoalbuminemia terhadap gangguan responsivitas diuretik dapat diatasi dengan pemberian dosis diuretik yang lebih besar. Median volume urin Median sekresi natrium Penurunan berat badan Osmolaritas urin Klirens osmolal Klirens air bebas 3,27 mL/kg/jam 58 mEq/hari 5,2% 315 mOsm/kg 1600 mL/hari -190 mL/hari 1,33 mL/kg/jam 30 mEq/hari 0,8% 368 mOsm/kg 880 mL/hari -162 mL/hari 0,01 0,08 0,006 0,13 0,01 0,18 Kelompok infus furosemide Variabel Kelompok infus albumin + furosemide p BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009434 Median volume urin Median sekresi natrium Penurunan berat badan Osmolaritas urin Klirens osmolal Klirens air bebas 3,27 mL/kg/jam 58 mEq/hari 5,2% 315 mOsm/kg 1600 mL/hari -190 mL/hari 1,33 mL/kg/jam 30 mEq/hari 0,8% 368 mOsm/kg 880 mL/hari -162 mL/hari 0,01 0,08 0,006

0,13 0,01 0,18 Kelompok infus furosemide Variabel Kelompok infus albumin + furosemide p BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009434

Dr. Roy M. Nilsen dkk. dari University of Bergen mempelajari data 280.000 kelahiran tunggal yang dilaporkan di Norwegia antara tahun 1999 hingga 2004. Secara keseluruhan terjadi 1.070 kasus terlepasnya plasenta sebelum waktunya (0.38%). Penggunaan asam folat dengan atau tanpa suplemen multivitamin sebelum atau selama kehamilan dikonsumsi oleh 36.4 % dari kelompok yang mengalami terlepasnya plasenta sebelum waktunya dan 44.4 % dari kelompok tidak mengalami terlepasnya plasenta sebelum waktunya. Dibandingkan kelompok non-suplemen, penggunaan suplemen apapun diasosiasikan dengan pengurangan risiko terlepasnya plasenta sebelum waktunya sebanyak 26% (adjusted odds ratio = 0.74, 95% confidence interval: 0.65, 0.84). Wanita yang mengkonsumsi asam folat saja mempunyai adjusted odds ratio of 0.81 (95% confidence interval: 0.68, 0.98) untuk terlepasnya plasenta sebelum waktunya, sedangkan pengguna multivitamin mempunyai adjusted odds ratio 0.72 (95% confidence interval: 0.57, 0.91), relatif terhadap kelompok non supplemen. Pengurangan risiko tertinggi didapatkan pada mereka yang mengkonsumsi suplemen asam folat dan multivitamin (adjusted odds ratio = 0.68, 95% confidence interval: 0.56, 0.83). SIMPULAN : Konsumsi suplemen asam folat dan vitamin selama kehamilan dapat diasosiasikan dengan pengurangan risiko terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan pengurangan risiko tertinggi dialami oleh kelompok yang mengkonsumsi asam folat dan multivitamin. (FSK) Suplemen FolatMenurunkan Resiko Terlepasnya Plasenta Sebelum Waktunya Penggunaan asam folat dan suplemen vitamin lain sebelum atau selama kehamilan tampaknya menurunkan risiko placental abruption (terlepasnya plasenta sebelum waktunya), peneliti dari Norwegia melaporkan pada The American Journal of Epidemiology edisi April 2008. Referensi: Nilsen RM, Vollset SE, Rasmussen SA, et al. Folic acid and multivitamin suppleme nt use and risk of placental abruption: a population-based registry study. Am J Epidemiol. 2008; 167(7):867-74 CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 435 BERITA TERKINI Dr. Roy M. Nilsen dkk. dari University of Bergen mempelajari data 280.000 kelahiran tunggal yang dilaporkan di Norwegia antara tahun 1999 hingga 2004. Secara keseluruhan terjadi 1.070 kasus terlepasnya plasenta sebelum waktunya (0.38%). Penggunaan asam folat dengan atau tanpa suplemen multivitamin sebelum atau selama kehamilan dikonsumsi oleh 36.4 % dari kelompok yang mengalami terlepasnya plasenta sebelum waktunya dan 44.4 % dari kelompok tidak mengalami terlepasnya plasenta sebelum waktunya. Dibandingkan kelompok non-suplemen, penggunaan suplemen apapun diasosiasikan dengan pengurangan risiko terlepasnya plasenta sebelum waktunya sebanyak 26% (adjusted odds ratio = 0.74, 95% confidence interval: 0.65, 0.84). Wanita yang mengkonsumsi asam folat saja mempunyai adjusted odds ratio of 0.81 (95% confidence interval:

0.68, 0.98) untuk terlepasnya plasenta sebelum waktunya, sedangkan pengguna multivitamin mempunyai adjusted odds ratio 0.72 (95% confidence interval: 0.57, 0.91), relatif terhadap kelompok non supplemen. Pengurangan risiko tertinggi didapatkan pada mereka yang mengkonsumsi suplemen asam folat dan multivitamin (adjusted odds ratio = 0.68, 95% confidence interval: 0.56, 0.83). SIMPULAN : Konsumsi suplemen asam folat dan vitamin selama kehamilan dapat diasosiasikan dengan pengurangan risiko terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan pengurangan risiko tertinggi dialami oleh kelompok yang mengkonsumsi asam folat dan multivitamin. (FSK) Suplemen FolatMenurunkan Resiko Terlepasnya Plasenta Sebelum Waktunya Penggunaan asam folat dan suplemen vitamin lain sebelum atau selama kehamilan tampaknya menurunkan risiko placental abruption (terlepasnya plasenta sebelum waktunya), peneliti dari Norwegia melaporkan pada The American Journal of Epidemiology edisi April 2008. Referensi: Nilsen RM, Vollset SE, Rasmussen SA, et al. Folic acid and multivitamin suppleme nt use and risk of placental abruption: a population-based registry study. Am J Epidemiol. 2008; 167(7):867-74 CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 435 BERITA TERKINI

Studi melibatkan 1.465 partisipan dengan DM tipe 2 dan berusia rata-rata 65 tahun yang pernah mengalami sekali atau lebih episode hipoglikemia. Kondisi tersebut menimbulkan gejala pusing, disorientasi, pingsan ataupun kejang. Studi berlangsung antara tahun 1980 dan 2002 dan terus dipantau selama 4 tahun, hasilnya 17% partisipan yang mengikuti studi dan pernah mengalami penurunan kadar gula darah yang berat didiagnosis menderita demensia, dibandingkan dengan 10,3% dari mereka yang tidak ada riwayat hipoglikemia. Selanjutnya peneliti juga melaporkan peningkatan kejadian demensia berdasarkan frekuensi kejadian hipoglikemia. Risiko terjadinya demensia 26% lebih besar pada kelompok pasien yang memiliki riwayat hipoglikemia berat sebanyak 1 kali, meningkat menjadi 115% lebih besar pada pasien yang memiliki riwayat hipoglikemia berat sebanyak 2 kali, dan menjadi 160% lebih besar pada pasien yang memiliki riwayat hipoglikemia 3 kali atau lebih. Yang menjadi perhatian dalam studi ini adalah adanya hubungan terjadinya gangguan kognitif ringan atau tidak terdeteksi dengan kejadian hipoglikemia. Hipoglikemia dapat terjadi akibat kesalahan makan atau saat kadar insulin terlalu tinggi. Insulin dapat meningkat setelah pasien DM disuntik insulin atau setelah penderita mengkonsumsi obat oral antidiabetes, contohnya golongan sulfonilurea, karena obat golongan ini dapat memicu tubuh untuk memproduksi insulin lebih banyak. Obat golongan glitazones (rosiglitazone atau pioglitazone) dapat membantu pasien DM terutama dari penggunaan insulin menjadi lebih baik. (MML) Referensi: 1. Severely low blood sugar levels pose dementia risk: study. CBC News. http://www.cbc.ca/health/story/2009/04/14/diabetes-dementia-hypoglycemia.html 2. Severe hypoglycemia linked with higher risk of dementia for older adults with diabetes. JAMA and Archives Journals. http://www.eurekalert.org/pub_releases/200 9-04/ jaaj-shl040909.php Orang tua yang menderita DM tipe 2 bila kadar gula darahnya turun hingga kurang dari nilai normal (hipoglikemia) berisiko tinggi mengalami demensia, informasi i ni berdasarkan studi yang dilakukan oleh peneliti US dan dilaporkan dalam JAMA. Kejadian Hipoglikemia padaKejadian Hipoglikemia pada Pasien DM tipe 2 Berisiko TinggiPasien DM tipe 2 Berisiko Tinggi Sebabkan DemensiaSebabkan Demensia Kejadian Hipoglikemia pada Pasien DM tipe 2 Berisiko Tinggi Sebabkan Demensia BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009436 Kejadian Hipoglikemia padaKejadian Hipoglikemia pada Pasien DM tipe 2 Berisiko TinggiPasien DM tipe 2 Berisiko Tinggi Sebabkan DemensiaSebabkan Demensia Kejadian Hipoglikemia pada Pasien DM tipe 2 Berisiko Tinggi Sebabkan Demensia BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009436

BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009438 Pada orang dengan hipokalemia, penurunan kadar ion kalium darah menyebabkan masalah pada fungsi otot yang vital. Menurut para peneliti Yunani yang melakukan tinjauan terhadap orang-orang yang minum antara dua sampai sembilan liter cola sehari, gejala-gejalanya dapat berkisar dari ringan sampai kelumpuhan serius. Dua di antara pasien adalah wanita hamil yang masuk rumah sakit dengan kadar kalium yang rendah. Salah satunya adalah wanita berumur 21 tahun yang minum sampai tiga liter dari cola sehari dan mengeluh kelelahan, kehilangan nafsu makan dan muntah . para peneliti menjelaskan bahwa hasil elektrokardiogram mengungkapkan dia memiliki hambatan jantung, dan tes darah menunjukkan dia memiliki kadar natrium rendah. Pasien kedua yang hamil, yang mengkonsumsi sampai tujuh liter cola sehari selama 10 bulan, mempunyai kadar kaliium dan menderita kelemahan otot meningkat, para peneliti mencatat. Kedua pasien mengalami pemulihan cepat dan penuh setelah mereka berhenti minum cola dan menerima suntikan atau bentuk oral dari kaliium. Studi kasus yang dijelaskan di International Journal of Clinical Practice edisi Juni 2009. Dr. Musa Elisaf, dari Universitas Ioannina, mengatakan "Kita lebih banyak minum softdrink dibandingkan sebelumnya, dan sejumlah masalah kesehatan telah diidentifikasi termasuk masalah gigi, demineralisasi tulang dan pengembangan sindroma metabolik dan diabetes. Ada banyak bukti bahwa konsumsi cola berlebihan mengarah ke hipokalemia. Elisaf mengatakan tiga paling umum dalam bahan cola yaitu glukosa, fruktosa dan kafein, dapat memberikan kontribusi pada hipokalemia. Menurut Elisaf, "Peran individual masing-masing bahan dalam patofisiologi hipokalemia yang diinduksi cola belum ditentukan dan mungkin berbeda untuk setiap pasien". "Namun demikian, dalam sebagian besar kasus yang kami kaji, kafein diperkirakan memainkan peran yang paling penting. Telah banyak studi kasus lainnya yang berfokus pada produk yang mengandung kafein tinggi, tanpa glukosa atau fruktosa. " Namun demikian, "Produk cola bebas kafein juga dapat menyebabkan hipokalemia karena kandungan fruktosanya dapat menyebabkan diare," kata Elisaf. (NFA) Sumber:International Journal of Clinical Practice, berita rilis, 19 Mei 2009 Sebuah studi menemukan penurunan kadar kalium dapat mengakibatkan kelemahan ringan atau lumpuh sementara. Para ahli memperingatkan, minum terlalu banyak cola dapat meningkatkan risiko masalah otot yang disebut hipokale mia. Kebanyakan Cola MenyebabkanKebanyakan Cola Menyebabkan Masalah pada OtotMasalah pada Otot Kebanyakan Cola Menyebabkan Masalah pada Otot BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009438 Pada orang dengan hipokalemia, penurunan kadar ion kalium darah menyebabkan masalah pada fungsi otot yang vital. Menurut para peneliti Yunani yang melakukan tinjauan terhadap orang-orang yang minum antara dua

sampai sembilan liter cola sehari, gejala-gejalanya dapat berkisar dari ringan sampai kelumpuhan serius. Dua di antara pasien adalah wanita hamil yang masuk rumah sakit dengan kadar kalium yang rendah. Salah satunya adalah wanita berumur 21 tahun yang minum sampai tiga liter dari cola sehari dan mengeluh kelelahan, kehilangan nafsu makan dan muntah . para peneliti menjelaskan bahwa hasil elektrokardiogram mengungkapkan dia memiliki hambatan jantung, dan tes darah menunjukkan dia memiliki kadar natrium rendah. Pasien kedua yang hamil, yang mengkonsumsi sampai tujuh liter cola sehari selama 10 bulan, mempunyai kadar kaliium dan menderita kelemahan otot meningkat, para peneliti mencatat. Kedua pasien mengalami pemulihan cepat dan penuh setelah mereka berhenti minum cola dan menerima suntikan atau bentuk oral dari kaliium. Studi kasus yang dijelaskan di International Journal of Clinical Practice edisi Juni 2009. Dr. Musa Elisaf, dari Universitas Ioannina, mengatakan "Kita lebih banyak minum softdrink dibandingkan sebelumnya, dan sejumlah masalah kesehatan telah diidentifikasi termasuk masalah gigi, demineralisasi tulang dan pengembangan sindroma metabolik dan diabetes. Ada banyak bukti bahwa konsumsi cola berlebihan mengarah ke hipokalemia. Elisaf mengatakan tiga paling umum dalam bahan cola yaitu glukosa, fruktosa dan kafein, dapat memberikan kontribusi pada hipokalemia. Menurut Elisaf, "Peran individual masing-masing bahan dalam patofisiologi hipokalemia yang diinduksi cola belum ditentukan dan mungkin berbeda untuk setiap pasien". "Namun demikian, dalam sebagian besar kasus yang kami kaji, kafein diperkirakan memainkan peran yang paling penting. Telah banyak studi kasus lainnya yang berfokus pada produk yang mengandung kafein tinggi, tanpa glukosa atau fruktosa. " Namun demikian, "Produk cola bebas kafein juga dapat menyebabkan hipokalemia karena kandungan fruktosanya dapat menyebabkan diare," kata Elisaf. (NFA) Sumber:International Journal of Clinical Practice, berita rilis, 19 Mei 2009 Sebuah studi menemukan penurunan kadar kalium dapat mengakibatkan kelemahan ringan atau lumpuh sementara. Para ahli memperingatkan, minum terlalu banyak cola dapat meningkatkan risiko masalah otot yang disebut hipokale mia. Kebanyakan Cola MenyebabkanKebanyakan Cola Menyebabkan Masalah pada OtotMasalah pada Otot Kebanyakan Cola Menyebabkan Masalah pada Otot

CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 439 BERITA TERKINI Hasil dari studi ini memperlihatkan bahwa kecemasan berhubungan dengan rasa nyeri, kondisi emosional yang buruk dan disabilitas pada pasien dengan nyeri kronik. Kecemasan merupakan prediktor terkuat terhadap timbulnya depresi, disabilitas dan kunjungan ke dokter. Saat ketiga strategi penanggulangan rasa cemas digunakan, para peneliti menyimpulkan bahwa penerimaan terhadap nyeri, kesadaran diri terhadap rasa nyeri dan perilaku berdasarkan norma-norma dapat menurunkan pengaruh rasa cemas terhadap fungsi pasien. Dalam hubungannya dengan terapi kognitif-perilaku, mekanisme penanggulangan rasa cemas dapat mengurangi peran rasa cemas dalam memperburuk disabilitas dan penderitaan pasien dengan nyeri kronik. (VKS) Referensi: 1. Study Shows Anxiety Increases Pain Intensity, Disability. Medical News Today. 2009 [cited 2009 April 30]. Available from: http://www.medicalnewstoday.com/articles/146780.php. 2. Gandey A. Anxiety Increases Pain Intensity and Disability, Study Shows. Medscape Medical News. 2009 [cited 2009 April 30]. Available from: http:// www.medscape.com/viewarticle/702216. Dari studi terbaru diketahui bahwa individu dengan tingkat kecemasan yang tinggi akibat nyeri kronik yang diderita, memperlihatkan disabilitas dan kondisi emosio nal yang lebih buruk, namun penggunaan strategi penanggulangan rasa cemas dapat membantu mengatasi keadaan ini. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui peran rasa cemas dalam fungsi sehari-hari pasien dengan nyeri kronik. Rasa cemas berhubungan dengan tingkat kondisi emosional yang lebih buruk dan gangguan fungsi. Para peneliti juga mengevaluasi peran dari 3 mekanisme penanggulangan rasa cemas untuk menentukan pengaruhnya sebagai penahan yang akan meniadakan efek dari rasa cemas. 3 mekanisme tersebut adalah: penerimaan terhadap rasa nyeri, kesadaran diri terhadap rasa nyeri dan perilaku berdasarkan norma-norma. Seratus dua puluh lima pasien dewasa yang terlibat dalam studi ini, mengisi kuesioner untuk menilai rasa cemas terhadap nyeri, mengukur penerimaan mereka terhadap rasa nyeri yang dialami, mengidentifikasi norma-norma yang mereka anut, dan untuk mengukur tingkat kesadaran mereka terhadap nyeri. Durasi median rasa nyeri yang dialami para pasien adalah 96 bulan. Penyakit yang paling sering diderita pasien adalah nyeri muskuloskeletal non spesifik (35,4%), fibromialgia (30,2%), kegagalan operasi lumbar (12,9%), sindroma nyeri regional kompleks (6%), dan lainnya (15,5%).. Kecemasan MeningkatkanKecemasan Meningkatkan Intensitas Nyeri dan DisabilitasIntensitas Nyeri dan Disabilitas Kecemasan Meningkatkan Intensitas Nyeri dan Disabilitas CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 439 BERITA TERKINI Hasil dari studi ini memperlihatkan bahwa kecemasan berhubungan dengan rasa nyeri, kondisi emosional yang buruk dan disabilitas pada pasien dengan nyeri kronik. Kecemasan merupakan prediktor terkuat terhadap timbulnya depresi, disabilitas dan kunjungan ke dokter. Saat ketiga

strategi penanggulangan rasa cemas digunakan, para peneliti menyimpulkan bahwa penerimaan terhadap nyeri, kesadaran diri terhadap rasa nyeri dan perilaku berdasarkan norma-norma dapat menurunkan pengaruh rasa cemas terhadap fungsi pasien. Dalam hubungannya dengan terapi kognitif-perilaku, mekanisme penanggulangan rasa cemas dapat mengurangi peran rasa cemas dalam memperburuk disabilitas dan penderitaan pasien dengan nyeri kronik. (VKS) Referensi: 1. Study Shows Anxiety Increases Pain Intensity, Disability. Medical News Today. 2009 [cited 2009 April 30]. Available from: http://www.medicalnewstoday.com/articles/146780.php. 2. Gandey A. Anxiety Increases Pain Intensity and Disability, Study Shows. Medscape Medical News. 2009 [cited 2009 April 30]. Available from: http:// www.medscape.com/viewarticle/702216. Dari studi terbaru diketahui bahwa individu dengan tingkat kecemasan yang tinggi akibat nyeri kronik yang diderita, memperlihatkan disabilitas dan kondisi emosio nal yang lebih buruk, namun penggunaan strategi penanggulangan rasa cemas dapat membantu mengatasi keadaan ini. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui peran rasa cemas dalam fungsi sehari-hari pasien dengan nyeri kronik. Rasa cemas berhubungan dengan tingkat kondisi emosional yang lebih buruk dan gangguan fungsi. Para peneliti juga mengevaluasi peran dari 3 mekanisme penanggulangan rasa cemas untuk menentukan pengaruhnya sebagai penahan yang akan meniadakan efek dari rasa cemas. 3 mekanisme tersebut adalah: penerimaan terhadap rasa nyeri, kesadaran diri terhadap rasa nyeri dan perilaku berdasarkan norma-norma. Seratus dua puluh lima pasien dewasa yang terlibat dalam studi ini, mengisi kuesioner untuk menilai rasa cemas terhadap nyeri, mengukur penerimaan mereka terhadap rasa nyeri yang dialami, mengidentifikasi norma-norma yang mereka anut, dan untuk mengukur tingkat kesadaran mereka terhadap nyeri. Durasi median rasa nyeri yang dialami para pasien adalah 96 bulan. Penyakit yang paling sering diderita pasien adalah nyeri muskuloskeletal non spesifik (35,4%), fibromialgia (30,2%), kegagalan operasi lumbar (12,9%), sindroma nyeri regional kompleks (6%), dan lainnya (15,5%).. Kecemasan MeningkatkanKecemasan Meningkatkan Intensitas Nyeri dan DisabilitasIntensitas Nyeri dan Disabilitas Kecemasan Meningkatkan Intensitas Nyeri dan Disabilitas

CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 439 BERITA TERKINI Hasil dari studi ini memperlihatkan bahwa kecemasan berhubungan dengan rasa nyeri, kondisi emosional yang buruk dan disabilitas pada pasien dengan nyeri kronik. Kecemasan merupakan prediktor terkuat terhadap timbulnya depresi, disabilitas dan kunjungan ke dokter. Saat ketiga strategi penanggulangan rasa cemas digunakan, para peneliti menyimpulkan bahwa penerimaan terhadap nyeri, kesadaran diri terhadap rasa nyeri dan perilaku berdasarkan norma-norma dapat menurunkan pengaruh rasa cemas terhadap fungsi pasien. Dalam hubungannya dengan terapi kognitif-perilaku, mekanisme penanggulangan rasa cemas dapat mengurangi peran rasa cemas dalam memperburuk disabilitas dan penderitaan pasien dengan nyeri kronik. (VKS) Referensi: 1. Study Shows Anxiety Increases Pain Intensity, Disability. Medical News Today. 2009 [cited 2009 April 30]. Available from: http://www.medicalnewstoday.com/articles/146780.php. 2. Gandey A. Anxiety Increases Pain Intensity and Disability, Study Shows. Medscape Medical News. 2009 [cited 2009 April 30]. Available from: http:// www.medscape.com/viewarticle/702216. Dari studi terbaru diketahui bahwa individu dengan tingkat kecemasan yang tinggi akibat nyeri kronik yang diderita, memperlihatkan disabilitas dan kondisi emosio nal yang lebih buruk, namun penggunaan strategi penanggulangan rasa cemas dapat membantu mengatasi keadaan ini. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui peran rasa cemas dalam fungsi sehari-hari pasien dengan nyeri kronik. Rasa cemas berhubungan dengan tingkat kondisi emosional yang lebih buruk dan gangguan fungsi. Para peneliti juga mengevaluasi peran dari 3 mekanisme penanggulangan rasa cemas untuk menentukan pengaruhnya sebagai penahan yang akan meniadakan efek dari rasa cemas. 3 mekanisme tersebut adalah: penerimaan terhadap rasa nyeri, kesadaran diri terhadap rasa nyeri dan perilaku berdasarkan norma-norma. Seratus dua puluh lima pasien dewasa yang terlibat dalam studi ini, mengisi kuesioner untuk menilai rasa cemas terhadap nyeri, mengukur penerimaan mereka terhadap rasa nyeri yang dialami, mengidentifikasi norma-norma yang mereka anut, dan untuk mengukur tingkat kesadaran mereka terhadap nyeri. Durasi median rasa nyeri yang dialami para pasien adalah 96 bulan. Penyakit yang paling sering diderita pasien adalah nyeri muskuloskeletal non spesifik (35,4%), fibromialgia (30,2%), kegagalan operasi lumbar (12,9%), sindroma nyeri regional kompleks (6%), dan lainnya (15,5%).. Kecemasan MeningkatkanKecemasan Meningkatkan Intensitas Nyeri dan DisabilitasIntensitas Nyeri dan Disabilitas Kecemasan Meningkatkan Intensitas Nyeri dan Disabilitas CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 439 BERITA TERKINI Hasil dari studi ini memperlihatkan bahwa kecemasan berhubungan dengan rasa nyeri, kondisi emosional yang buruk dan disabilitas pada pasien dengan nyeri kronik. Kecemasan merupakan prediktor terkuat terhadap timbulnya depresi, disabilitas dan kunjungan ke dokter. Saat ketiga

strategi penanggulangan rasa cemas digunakan, para peneliti menyimpulkan bahwa penerimaan terhadap nyeri, kesadaran diri terhadap rasa nyeri dan perilaku berdasarkan norma-norma dapat menurunkan pengaruh rasa cemas terhadap fungsi pasien. Dalam hubungannya dengan terapi kognitif-perilaku, mekanisme penanggulangan rasa cemas dapat mengurangi peran rasa cemas dalam memperburuk disabilitas dan penderitaan pasien dengan nyeri kronik. (VKS) Referensi: 1. Study Shows Anxiety Increases Pain Intensity, Disability. Medical News Today. 2009 [cited 2009 April 30]. Available from: http://www.medicalnewstoday.com/articles/146780.php. 2. Gandey A. Anxiety Increases Pain Intensity and Disability, Study Shows. Medscape Medical News. 2009 [cited 2009 April 30]. Available from: http:// www.medscape.com/viewarticle/702216. Dari studi terbaru diketahui bahwa individu dengan tingkat kecemasan yang tinggi akibat nyeri kronik yang diderita, memperlihatkan disabilitas dan kondisi emosio nal yang lebih buruk, namun penggunaan strategi penanggulangan rasa cemas dapat membantu mengatasi keadaan ini. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui peran rasa cemas dalam fungsi sehari-hari pasien dengan nyeri kronik. Rasa cemas berhubungan dengan tingkat kondisi emosional yang lebih buruk dan gangguan fungsi. Para peneliti juga mengevaluasi peran dari 3 mekanisme penanggulangan rasa cemas untuk menentukan pengaruhnya sebagai penahan yang akan meniadakan efek dari rasa cemas. 3 mekanisme tersebut adalah: penerimaan terhadap rasa nyeri, kesadaran diri terhadap rasa nyeri dan perilaku berdasarkan norma-norma. Seratus dua puluh lima pasien dewasa yang terlibat dalam studi ini, mengisi kuesioner untuk menilai rasa cemas terhadap nyeri, mengukur penerimaan mereka terhadap rasa nyeri yang dialami, mengidentifikasi norma-norma yang mereka anut, dan untuk mengukur tingkat kesadaran mereka terhadap nyeri. Durasi median rasa nyeri yang dialami para pasien adalah 96 bulan. Penyakit yang paling sering diderita pasien adalah nyeri muskuloskeletal non spesifik (35,4%), fibromialgia (30,2%), kegagalan operasi lumbar (12,9%), sindroma nyeri regional kompleks (6%), dan lainnya (15,5%).. Kecemasan MeningkatkanKecemasan Meningkatkan Intensitas Nyeri dan DisabilitasIntensitas Nyeri dan Disabilitas Kecemasan Meningkatkan Intensitas Nyeri dan Disabilitas

Pasien dengan MR derajat ringan memiliki risiko rendah dan pasien dengan MR yang tinggi mengalami peningkatan risiko kesakitan dan kematian, bahkan setelah tindakan pembedahan. Pembedahan memang memberikan manfaat, namun belum tentu dapat menurunkan angka kejadian kardiovaskular dan kematian. Pada kasus regurgitasi katup mitral, tujuan terapi adalah menurunkan after-load dan menurunkan resistensi vaskular, yang kemudian dapat meningkatkan toleransi latihan dan menunda tindakan pembedahan. Obat antihipertensi penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor, ACEi) menurunkan after-load pada dengan menghambat pembentukan angiotensin II. Losartan merupakan obat antihipertensi golongan AIIRA (AngiotensinII Receptor Antagonist) generasi pertama. Losartan diketahui memiliki efek hemodinamik yang serupa dengan obat antihipertensi golongan ACEi (Angiotensin Converting Enzyme inhibitor). Ada laporan bahwa losartan dapat meningkatkan toleransi latihan serta memperbaiki kualitas hidup pada pasien hipertensi yang juga mengalami disfungsi ventrikel kiri. ACEi memiliki efek yang baik pada pasien dengan MR kronik, namun apakah obat antihipertensi golongan AIIRA memberikan efek menguntungkan yang sama belum diketahui dengan pasti. Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui efek pemberian losartan terhadap toleransi latihan dan parameter ekokardiografi pada pasien dengan MR sekunder karena prolaps katup Penyakit katup mitral merupakan salah satu penyebab penting terjadinya gagal jantung kongestif. Dalam kasus regurgitasi mitral (mitral regurgitation, MR), derajat regurgitasi yang terjadi sangat menentukan prognosis pasien. Losartan Bermanfaat Memperbaiki Toleransi Latihan dan Parameter Ekokardiografi pada Pasien Regurgitasi Mitral Derajat Sedang.pada Pasien Regurgitasi Mitral Der ajat Sedang. Losartan Bermanfaat MemperbaikiToleransi Latihan dan Parameter EkokardiografiLos artan Bermanfaat Memperbaiki Toleransi Latihan dan Parameter Ekokardiografi pada Pasien Regurgitasi Mitral Derajat Sedang Penelitian ini melibatkan 27 pasien, 14 pasien pria dan 13 pasien wanita dengan umur rata-rata 51+/- 11 tahun dengan MR derajat sedang yang disebabkan prolaps katup mitral atau penyakit jantung rematik yang diperiksa dengan ekokardiografi Doppler. Pasien menjalani uji latihan dengan treadmill menggunakan protokol Bruce pada baseline setelah 6 jam dan setelah terapi 6 minggu. Evaluasi juga dilakukan berdasarkan Mitral Regurgitant Volume (MRV), penurunan tekanan darah sistolik puncak dan istirahat, penurunan tekanan darah diastolik puncak dan istirahat, diameter orifisium regurgitasi efektif, fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF), pada baseline dan 6 minggu setelah terapi dengan menggunakan losartan 50 mg/hari. Walaupun tekanan darah sistolik dan diastolik puncak dalam penelitian ini tidak menurun secara bermakna, para ahli dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa losartan 50 mg sekali sehari selama 6 minggu bermakna menurunkan volume regurgitasi dan meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien dengan MR derajat sedang. Pada pasien dengan MR derajat sedang, losartan dapat menjadi pilihan untuk terapi jangka panjang. Kesimpulan: Dalam penelitian ini, setelah diterapi dengan losartan, pasien dengan MR ringan mengalami perbaikan toleransi latihan dan perbaikan parameter ekokardiografi. (YYA)

Referensi: 2. Little WC, Zile MR, Klein A, Appleton CP, Kitzman DW, Wesley-Farrington DJ. Effect of losartan and hydrochloro thiazide on exercise tolerance in exertional hypertension and left ventricular diastolic dysfunction. Am J Cardiol 2006; 98: 383-5. 3. Sekuri C, Utuk O, Bayturan O, Bilge A, Kurhan Z, Tavli T. Effect of losartan on exercise tolerance and echocardiographic parameters in patients with mitral regurgitation. J Renin Angiotensin Aldosterone Syst 2008; 9; 107-11. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 Losartan Bermanfaat Memperbaiki Toleransi Latihan dan Parameter Ekokardiografi pada Pasien Regurgitasi Mitral Derajat Sedang.pada Pasien Regurgitasi Mitral Der ajat Sedang. Losartan Bermanfaat MemperbaikiToleransi Latihan dan Parameter EkokardiografiLos artan Bermanfaat Memperbaiki Toleransi Latihan dan Parameter Ekokardiografi pada Pasien Regurgitasi Mitral Derajat Sedang Penelitian ini melibatkan 27 pasien, 14 pasien pria dan 13 pasien wanita dengan umur rata-rata 51+/- 11 tahun dengan MR derajat sedang yang disebabkan prolaps katup mitral atau penyakit jantung rematik yang diperiksa dengan ekokardiografi Doppler. Pasien menjalani uji latihan dengan treadmill menggunakan protokol Bruce pada baseline setelah 6 jam dan setelah terapi 6 minggu. Evaluasi juga dilakukan berdasarkan Mitral Regurgitant Volume (MRV), penurunan tekanan darah sistolik puncak dan istirahat, penurunan tekanan darah diastolik puncak dan istirahat, diameter orifisium regurgitasi efektif, fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF), pada baseline dan 6 minggu setelah terapi dengan menggunakan losartan 50 mg/hari. Walaupun tekanan darah sistolik dan diastolik puncak dalam penelitian ini tidak menurun secara bermakna, para ahli dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa losartan 50 mg sekali sehari selama 6 minggu bermakna menurunkan volume regurgitasi dan meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien dengan MR derajat sedang. Pada pasien dengan MR derajat sedang, losartan dapat menjadi pilihan untuk terapi jangka panjang. Kesimpulan: Dalam penelitian ini, setelah diterapi dengan losartan, pasien dengan MR ringan mengalami perbaikan toleransi latihan dan perbaikan parameter ekokardiografi. (YYA) Referensi: 2. Little WC, Zile MR, Klein A, Appleton CP, Kitzman DW, Wesley-Farrington DJ. Effect of losartan and hydrochloro thiazide on exercise tolerance in exertional hypertension and left ventricular diastolic dysfunction. Am J Cardiol 2006; 98: 383-5.

3. Sekuri C, Utuk O, Bayturan O, Bilge A, Kurhan Z, Tavli T. Effect of losartan on exercise tolerance and echocardiographic parameters in patients with mitral regurgitation. J Renin Angiotensin Aldosterone Syst 2008; 9; 107-11. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 BERITA TERKINI 1. Enriquez-Sarano M, Tajik AJ, Schaff HV, Orszulak TA, Bailey KR, Frye RL. Echo cardio graphic prediction of survival after surgical correction of organic mitral regur gitation. 440

Diare sering dihubungkan dengan angka kematian neonatus dan balita. Angka kematian akibat diare ini mencapai 18%. Walupun rehidrasi sudah digencarkan namun di beberapa negara (misalnya: Bangladesh) angka kematian akibat diare masih tinggi. Zinc untuk Diare Salah satu hal yang saat ini dinilai memberikan hasil yang baik dalam pengelolaan diare adalah dengan suplementasi zinc (seng), zinc yang merupakan trace element ini berpotensi menjaga integritas barier epitel saluran cerna, repair ataupun regenerasi jaringan termasuk mukosa saluran cerna, serta mampu meningkatkan sistem imunitas tubuh. Diketahui juga bahwa pasien diare banyak kehilangan zinc. Meta-analisis pemberian zinc baik pada diare akut maupun pada diare persisten di beberapa negara menunjukkan bahwa berlanjutnya diare 15% lebih kecil pada anak-anak dengan suplementasi zinc (95% CI: 5%, 24%) pada studi diare akut, 24% lebih kecil pada diare kronik (95% CI: 9%, 37%) dan angka kegagalan terapi atau kematian 42% lebih rendah (95% CI: 10%, 63%) pada studi persisten diare. Studi tersebut menunjukkan bahwa suplementasi zinc mampu menurunkan dan mengurangi durasi dan kegawatan diare. (KTW) Referensi: 1. Brooks, A, Santhosam M, Roy SK. et al. Efficacy of Zinc in Young Infants with Acute Watery Diarrhea. Am J Clin Nutr 2005;82:605- 10. 2. The Zinc Investigators Collaborative Group. Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in children in developing countries: pooled analysis of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr 2000;72: 1516v22. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 441 BERITA TERKINI Diare sering dihubungkan dengan angka kematian neonatus dan balita. Angka kematian akibat diare ini mencapai 18%. Walupun rehidrasi sudah digencarkan namun di beberapa negara (misalnya: Bangladesh) angka kematian akibat diare masih tinggi. Zinc untuk Diare Salah satu hal yang saat ini dinilai memberikan hasil yang baik dalam pengelolaan diare adalah dengan suplementasi zinc (seng), zinc yang merupakan trace element ini berpotensi menjaga integritas barier epitel saluran cerna, repair ataupun regenerasi jaringan termasuk mukosa saluran cerna, serta mampu meningkatkan sistem imunitas tubuh. Diketahui juga bahwa pasien diare banyak kehilangan zinc. Meta-analisis pemberian zinc baik pada diare akut maupun pada diare persisten di beberapa negara menunjukkan bahwa berlanjutnya diare 15% lebih kecil pada anak-anak dengan suplementasi zinc (95% CI: 5%, 24%) pada studi diare akut, 24% lebih kecil pada diare kronik (95% CI: 9%, 37%) dan angka kegagalan terapi atau kematian 42% lebih rendah (95% CI: 10%, 63%) pada studi persisten diare. Studi tersebut menunjukkan bahwa suplementasi zinc mampu menurunkan dan mengurangi durasi dan kegawatan diare. (KTW) Referensi: 1. Brooks, A, Santhosam M, Roy SK. et al. Efficacy of Zinc in Young Infants with Acute Watery Diarrhea. Am J Clin Nutr 2005;82:605- 10. 2. The Zinc Investigators Collaborative Group. Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in children in developing countries: pooled analysis of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr 2000;72:

1516v22. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 441 BERITA TERKINI

1. Terapi Testosteron Gel Sebagai Tambahan Pada Pria Hipogonadisme yang Mengalami Disfungsi Ereksi yang Tidak Respons dengan Pengobatan Sildenafil Tunggal (1) Tujuan penelitian membandingkan efikasi testosterone gel dibandingkan dengan plasebo sebagai terapi tambahan sildenafil pada pria hipogonadisme dengan disfungsi ereksi yang tidak respons terhadap pengobatan sildenafil tunggal. Penelitian ini merupakan penelitian randomisasi tersamar ganda dengan kontrol plasebo atas 75 pria hipogonadisme (usia 18 v 80 tahun dengan serum total testosteron pagi hari 400 ng/dL atau kurang). Pada pria ini sudah dikonfirmasi tidak ada respons monoterapi menggunakan sildenafil tunggal. Subyek diberi testosteron gel 1% dosis harian atau 5 g plasebo sebagai tambahan terapi sildenafil 10 mg selama periode 12 minggu. Subyek penelitian kemudian dinilai terhadap fungsi seksual berdasarkan International Index of Erectile Function (IIEF), kualitas hidup, dan kadar testosterone serum pada minggu ke-4, 8, dan 12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok testosteron, terapi testosteron menghasilkan perbaikan yang bermakna dalam fungsi ereksi dibandingkan dengan plasebo. Kemaknaan secara statistik dicapai pada minggu ke-4 (4,4 vs 2,1 p = 0,029). Perbaikan juga terjadi pada fungsi orgasme, kepuasan secara keseluruhan, skor IIEF total, dan prosentase responden IIEF. Testostero gel juga secara bermakna dapat meningkatkan kadar testosteron bebas dan testosteron total (p < atau = 0,004). Kesimpulan penelitian yaitu bahwa testosteron gel yang diberikan bersamaan dengan sildenafil dapat bermanfaat untuk memperbaiki fungsi ereksi pada pria hipogonadisme dengan disfungsi ereksi yang tidak responsif menggunakan sildenafil tunggal. 2. Testosteron Gel Transdermal : Farmakokinetik, Efektivitas Dosis dan Tempat Aplikasi pada Pria Hipogonadisme (2) Sebanyak 18 laki-laki yang berusia 24 v 69 tahun dengan hipogonadisme primer dan sekunder, dan 16 subyek secara lengkap mengikuti studi klinis acak, pengobatan regimen sebanyak 6 kali serta studi silang (three way matrix type crossover), untuk menentukan regimen dosis yang efektif memelihara kadar serum Testosteron pada pria hipogonadisme ke dalam batas normal 3 v 11,4 g/L. Testosteron gel 1 % dan Testosteron gel 2 % diberikan secara transdermal 1 v 2 kali pada tubuh ditempat yang berbeda untuk menentukan dosis yang optimal, tempat aplikasi serta profil farmakokinetik dan efek tolerabilitas pada pria hipogonadisme Sebagai hasil studi klinis, ditemukan secara umum bahwa regimen dosis yang lebih tinggi memproduksi kadar serum Testosteron yang lebih tinggi. Penggunaan dosis 3 gram pada Testosteron 2% secara baik dapat memelihara kadar serum Testosteron kedalam batas normal. Konsentrasi rata-rata Testosteron ( Cavg) adalah 6,25 g/L dan semua pria tersebut mempunyai kadar rerata > 3 g/L. Adapun Konsentrasi minimum (Cmin) adalah 3,83 g/L. dan setengah dari seluruh subyek pasien tersebut memiliki Cmin > 3 g/L. Pengobatan ini juga dapat umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan meningkatkan serum Testosteron dalam waktu 24 jam. Sebagai kesimpulan dari penelitian ini, penggunaan dosis 3 gram Testosteron gel 2% yang diberikan pada kulit setiap

hari dapat meningkatkan kadar Testosteron pada pria hipogonadisme primer dan sekunder ke dalam batas normal, serta pemberian dosis dapat disesuaikan dengan melihat kadar konsentrasi Testosteron pria tersebut dalam mencapai batas normal yang diinginkan. (IWA) Daftar Pustaka: 1. Shabsigh R, Kaufman JM, Steidle C, et al. Randomized Study of Testosterone Ge l as Adjunctive Therapy to Sildenafil in Hypogonadal Men with Erectile Dysfunction wh o do not respond to Sildenafil Alone. J Urol 2004;172(2):658-63. 2. Meikle AW, Mathias D, Hoffman AR. Transdermal testosterone gel: Pharmacokinet ics, efficacy of dosing and application site in hypogonadal men. BJU International 20 04; 93: 789-95. Uji KlinikUji Klinik Testoteron GelTestoteron Gel Uji KlinikTestosteron Gel BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009442 1. Terapi Testosteron Gel Sebagai Tambahan Pada Pria Hipogonadisme yang Mengalami Disfungsi Ereksi yang Tidak Respons dengan Pengobatan Sildenafil Tunggal (1) Tujuan penelitian membandingkan efikasi testosterone gel dibandingkan dengan plasebo sebagai terapi tambahan sildenafil pada pria hipogonadisme dengan disfungsi ereksi yang tidak respons terhadap pengobatan sildenafil tunggal. Penelitian ini merupakan penelitian randomisasi tersamar ganda dengan kontrol plasebo atas 75 pria hipogonadisme (usia 18 v 80 tahun dengan serum total testosteron pagi hari 400 ng/dL atau kurang). Pada pria ini sudah dikonfirmasi tidak ada respons monoterapi menggunakan sildenafil tunggal. Subyek diberi testosteron gel 1% dosis harian atau 5 g plasebo sebagai tambahan terapi sildenafil 10 mg selama periode 12 minggu. Subyek penelitian kemudian dinilai terhadap fungsi seksual berdasarkan International Index of Erectile Function (IIEF), kualitas hidup, dan kadar testosterone serum pada minggu ke-4, 8, dan 12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok testosteron, terapi testosteron menghasilkan perbaikan yang bermakna dalam fungsi ereksi dibandingkan dengan plasebo. Kemaknaan secara statistik dicapai pada minggu ke-4 (4,4 vs 2,1 p = 0,029). Perbaikan juga terjadi pada fungsi orgasme, kepuasan secara keseluruhan, skor IIEF total, dan prosentase responden IIEF. Testostero gel juga secara bermakna dapat meningkatkan kadar testosteron bebas dan testosteron total (p < atau = 0,004). Kesimpulan penelitian yaitu bahwa testosteron gel yang diberikan bersamaan dengan sildenafil dapat bermanfaat untuk memperbaiki fungsi ereksi pada pria hipogonadisme dengan disfungsi ereksi yang tidak responsif menggunakan sildenafil tunggal. 2. Testosteron Gel Transdermal : Farmakokinetik, Efektivitas Dosis dan Tempat Aplikasi pada Pria Hipogonadisme (2) Sebanyak 18 laki-laki yang berusia 24 v 69 tahun dengan hipogonadisme primer dan sekunder, dan 16 subyek secara lengkap mengikuti studi klinis acak, pengobatan regimen sebanyak 6 kali serta studi silang (three way matrix type crossover), untuk menentukan regimen dosis yang efektif me-

melihara kadar serum Testosteron pada pria hipogonadisme ke dalam batas normal 3 v 11,4 g/L. Testosteron gel 1 % dan Testosteron gel 2 % diberikan secara transdermal 1 v 2 kali pada tubuh ditempat yang berbeda untuk menentukan dosis yang optimal, tempat aplikasi serta profil farmakokinetik dan efek tolerabilitas pada pria hipogonadisme Sebagai hasil studi klinis, ditemukan secara umum bahwa regimen dosis yang lebih tinggi memproduksi kadar serum Testosteron yang lebih tinggi. Penggunaan dosis 3 gram pada Testosteron 2% secara baik dapat memelihara kadar serum Testosteron kedalam batas normal. Konsentrasi rata-rata Testosteron ( Cavg) adalah 6,25 g/L dan semua pria tersebut mempunyai kadar rerata > 3 g/L. Adapun Konsentrasi minimum (Cmin) adalah 3,83 g/L. dan setengah dari seluruh subyek pasien tersebut memiliki Cmin > 3 g/L. Pengobatan ini juga dapat umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan meningkatkan serum Testosteron dalam waktu 24 jam. Sebagai kesimpulan dari penelitian ini, penggunaan dosis 3 gram Testosteron gel 2% yang diberikan pada kulit setiap hari dapat meningkatkan kadar Testosteron pada pria hipogonadisme primer dan sekunder ke dalam batas normal, serta pemberian dosis dapat disesuaikan dengan melihat kadar konsentrasi Testosteron pria tersebut dalam mencapai batas normal yang diinginkan. (IWA) Daftar Pustaka: 1. Shabsigh R, Kaufman JM, Steidle C, et al. Randomized Study of Testosterone Ge l as Adjunctive Therapy to Sildenafil in Hypogonadal Men with Erectile Dysfunction wh o do not respond to Sildenafil Alone. J Urol 2004;172(2):658-63. 2. Meikle AW, Mathias D, Hoffman AR. Transdermal testosterone gel: Pharmacokinet ics, efficacy of dosing and application site in hypogonadal men. BJU International 20 04; 93: 789-95. Uji KlinikUji Klinik Testoteron GelTestoteron Gel Uji KlinikTestosteron Gel BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009442

Saat ini angka kebutuhan harian nutrisi hanya dibedakan berdasarkan aktivitas harian dan kondisi normal harian; peningkatan aktivitas misalnya olah raga akan meningkatkan kebutuhan nutrisi dan protein yang tentunya juga membutuhkan peningkatan vitamin sebagai ko-faktornya. Studi metabolik menunjukkan bahwa kebutuhan dasar riboflavin pada wanita muda dan orang tua dengan aktivitas olah raga sedang adalah sekitar 2,5 v 5 h/minggu dan menjadi lebih sedikit jika dalam kondisi diet. Latihan fisik juga akan meningkatkan kehilangan vitamin B-6 sebagai asam 4- piridoksik. Dua hal yang sering menjadi pertanyaan setiap orang perihal hubungan vitamin dan olahraga. Pertama : apakah olah raga akan meningkatkan kebutuhan vitamin ? dan kedua : apakah suplementasi vitamin akan meningkatkan performa ? Karena thiamine, riboflavin, dan vitamin B-6 merupakan ko-faktor beberapa proses metabolisme tubuh yang menghasilkan energi, pertanyaan ini sangat relevan. Studi klinis menunjukkan bahwa pengurangan vitamin akan mengurangi performa. Studi ini dilakukan terhadap 23 laki-laki sukarelawan sehat. Selama 8 minggu 12 sukarelawan diberi makanan dengan kandungan vitamin (thiamine, riboflavine, B-6, dan C) yang lebih rendah (sekitar 32,5% Dutch RDA), sedangkan vitamin lainnya diberikan 2x RDA; 11 subyek sebagai pembanding diberi vitamin dengan kadar 2x RDA. Parameter yang diukur: variabel vitamin dalam urine dan darah, uji performa fisik (heart-rate integrator v HRI, LSI, kebutuhan energi dsb) dan mental (reaction-time v RT, memory comparison v MC dan letter cancellation LC). Hasil studi ini sebagai berikut: Referensi: 1. Van Der Beek EJ, Dokkum W, Schrijer J. et al. Thiamin, riboflavin,and vitamins B-6 and C: impact of combined restricted intake on functional performance in man. AJCN 1988;48:1451-62. 2. Manore. M. Effect of physical activity on thiamine, riboflavin, and vitamin B-6 requirements. Am J Clin Nutr 2000;72(suppl):598Sv606S. Vitamin dan SportVitamin dan SportVitamin dan Sport Data hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pengurangan asupan vitamin (thiamine , riboflavin, B-6 dan C) akan menurunkan performa fisik yang disebabkan oleh gangguan sistim metabolisme sel. (KTW ) BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009444 Dua hal yang sering menjadi pertanyaan setiap orang perihal hubungan vitamin dan olahraga. Pertama : apakah olah raga akan meningkatkan kebutuhan vitamin ? dan kedua : apakah suplementasi vitamin akan meningkatkan performa ? Karena thiamine, riboflavin, dan vitamin B-6 merupakan ko-faktor beberapa proses metabolisme tubuh yang menghasilkan energi, pertanyaan ini sangat relevan. Studi klinis menunjukkan bahwa pengurangan vitamin akan mengurangi performa. Studi ini dilakukan terhadap 23 laki-laki sukarelawan sehat. Selama 8 minggu 12 sukarelawan diberi makanan dengan kandungan vitamin (thiamine, riboflavine, B-6, dan C) yang lebih rendah (sekitar 32,5% Dutch RDA), sedangkan vitamin lainnya diberikan 2x RDA; 11 subyek sebagai pembanding diberi vitamin dengan kadar 2x RDA. Parameter yang diukur: variabel vitamin dalam urine dan darah, uji performa fisik (heart-rate integrator v HRI, LSI, kebutuhan energi dsb) dan mental (reaction-time v RT, memory comparison v MC dan letter cancellation LC). Hasil studi ini sebagai berikut: Referensi:

1. Van Der Beek EJ, Dokkum W, Schrijer J. et al. Thiamin, riboflavin,and vitamins B-6 and C: impact of combined restricted intake on functional performance in man. AJCN 1988;48:1451-62. 2. Manore. M. Effect of physical activity on thiamine, riboflavin, and vitamin B-6 requirements. Am J Clin Nutr 2000;72(suppl):598Sv606S. Vitamin dan SportVitamin dan SportVitamin dan Sport Data hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pengurangan asupan vitamin (thiamine , riboflavin, B-6 dan C) akan menurunkan performa fisik yang disebabkan oleh gangguan sistim metabolisme sel. (KTW ) BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009444

BERITA TERKINI BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 Tinzaparin merupakan low-molecular-weight heparin yang diindikasikan sebagai terapi trombosis vena dalam akut yang simptomatik, dengan atau tanpa emboli paru, bila diberikan bersamaan dengan warfarin natrium. 446 Sedangkan angka kematian keseluruhan dalam penelitian IRIS ini adalah 11,2% pada pasien yang menerima tinzaparin (n=269) dan 6,3% pada pasien yang menerima UFH (n=268).Walaupun penyebab kematian tidak jelas, tampaknya tidak berhubungan dengan perdarahan karena dosis berlebih atau trombosis karena dosis yang kurang. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa angka kematian di kelompok tinzaparin lebih besar dibandingkan dengan di kelompok UFH. Para klinisi dianjurkan untuk mempertimbangkan terapi selain tinzaparin pada pasien usia lanjut penderita trombosis vena dalam dengan atau tanpa emboli. Informasi mengenai penelitian IRIS masih terus dikumpulkan oleh FDA untuk dianalisis, mungkin akan ada perubahan label keamanan untuk tinzaparin. (YYA) Referensi : 1. Celgene. Important Innohep (tinzaparin sodium injection) Safety Information. http://www.fda.gov/medwatch/safety/2008/Celgene_Innohep_DHCP_Letter.pdf 2. Medscape Cardiology. FDA Warns that Tinzaparin Increases Mortality Risk in Elderly Patients with Renal Insufficiency. [cited 2009 Feb 02]. Available from:http://www.medscape.com/viewarticle/586211 3. Medscape Cardiology. Tinzaparin Mortality Risk Not Limited to Patients Older Than 90 Years. [cited 2009 Feb 02]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/584647 Celgene, perusahaan yang memproduksi Innohep injeksi (tinzaparin sodium) mempublikasikan Dear Healthcare Professional Letter sehubungan dengan meningkatnya risiko kematian pasien-pasien usia lanjut dengan gangguan ginjal yang diterapi dengan tinzaparin. Pemberitahuan ini menganjurkan perubahan label obat tersebut dengan menambahkan peringatan dan perhatian bukan saja pada pasien gangguan ginjal dengan usia > 90 tahun, namun pada semua pasien gangguan ginjal. Perubahan pada label peringatan-perhatian ini perlu dilakukan setelah adanya informasi dari FDA mengenai penelitian Innohep in Renal Insufficiency Study (IRIS); penelitian multisenter Eropa ini dihentikan oleh Data Safety Monitoring Committee karena kelompok pasien yang menerima tinzapirin mengalami peningkatan kematian karena semua sebab (all-cause mortality). Penelitian IRIS ini dilakukan untuk menguji keamanan tinzaparin dibandingkan UFH untuk terapi trombosis vena dalam dengan atau tanpa emboli paru, pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal. Pasien dalam penelitian ini > 70 tahun. Pada saat penelitian dihentikan, 350 pasien menyelesaikan follow up selama 90 hari. Angka kematian pada 350 pasien ini: Kelompok Tinzaparin (n=176) Kelompok UFH (n=174) Kematian 23 orang (13%) 9 orang (5%) Keamanan TinzaparinKeamanan TinzaparinKeamanan Tinzaparin

Bukti keamanan Analisis review sistemik tentang efek samping St. Johns Wort pada semua kelompok umur menunjukkan bahwa kejadian efek samping berkisar antara 1% - 3%, sebanding dengan plasebo namun relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan preparat antidepresan lain. Studi klinis penggunaan St. Johns Wort selama 3 tahun menunjukkan bahwa efek samping yang paling sering adalah gangguan saluran cerna, rasa lelah (fatigue), nyeri kepala, restlesness, mulut kering, serta keluhan-keluhan yang berhubungan dengan gangguan psikologis. Penggunaan St. Johns Wort pada wanita hamil dan menyusui sangat sedikit datanya; preparat ini masuk kategori C untuk kehamilan, walaupun dari 2 kasus penggunaan St. Johns Wort selama kehamilan tidak menunjukkan efek merugikan. Hiperforin yang terdapat di dalam St. Johns Wort disekresikan dalam ASI. Studi observasi cohort selama 2 tahun pada wanita menyusui pengkonsumsi St. Johns Wort melaporkan terjadinya kolik pada bayinya, dua kasus drowsiness, dan satu kasus letargi. Penggunaan St. Johns Wort ini harus hati-hati karena berinterkasi dengan beberapa obat yang dimetabolisme CYP450 3A4 seperti siklosporin, warfarin, kontrasepsi oral, penghambat protease. (KTW) Referensi: Charrois TL,. Sadler C,. Vohra S. Complemenatry, Holistic, and Integrative Medicine: St. Johns Wort. Pediatric in Review 2007;28(2):68-73. St. John sSt. John sWortWort untuk Anakuntuk AnakSt. John s Wort untuk Anak St. Johns Wort mengandung komponen zat aktif di antaranya: naphthodianthrones, flavonoids, dan xanthones. Mekanisme kerja komponen-komponen tersebut belum diketahui pasti dan masih diperdebatkan. Penghambatan mono-amine oksidase tidak diketemukan pada studi invitro. Hipotesis lain adalah sebagai penghambat re-uptake serotonin, gama-amino butirat, norepfinefrin, dan dopamin. Studi menunjukkan bahwa St. Johns Wort mempunyai potensi sebagai antibakteri, antivirus, dan antiinflamasi. St. Johns Wort saat ini tersedia dalam bentuk sediaan kapsul, tablet, ataupun kaplet yang dapat diberikan pada anakanak dengan dosis berkisar 300 mg v 900 mg/ hari dalam dosis terbagi sampai selama 8 minggu. Bukti efektivitas pada anak-anak Survai di USA dan Inggris menunjukan bahwa penggunaan St. Johns Wort pada anak-anak terutama adalah untuk kasus depresi. St. Johns Wort memperbaiki gambaran klinis depresi yang ditunjukkan dengan perbaikan skor Clinical Global Improvement. Childrens Depression Rating Scala-Revised and Childrens Depression Inventory. Pemberian St. Johns Wort juga memberikan efek perbaikan keluhan nyeri telinga akibat otitis media pada usia 6 v 18 tahun. St. Johns Wort merupakan herbal famili Hypericaceae yang sudah digunakan sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Secara tradisional St. Johns Wort digunakan untuk gangguan kulit, gangguan saraf, nyeri otot, terutama untuk kondisi cemas dan depresi mengingat kemampuan St. Johns Wort dalam menghambat reuptake dopamin, serotonin, norepinefrin di dalam otak. BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009448 Bukti keamanan Analisis review sistemik tentang efek samping St. Johns

Wort pada semua kelompok umur menunjukkan bahwa kejadian efek samping berkisar antara 1% - 3%, sebanding dengan plasebo namun relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan preparat antidepresan lain. Studi klinis penggunaan St. Johns Wort selama 3 tahun menunjukkan bahwa efek samping yang paling sering adalah gangguan saluran cerna, rasa lelah (fatigue), nyeri kepala, restlesness, mulut kering, serta keluhan-keluhan yang berhubungan dengan gangguan psikologis. Penggunaan St. Johns Wort pada wanita hamil dan menyusui sangat sedikit datanya; preparat ini masuk kategori C untuk kehamilan, walaupun dari 2 kasus penggunaan St. Johns Wort selama kehamilan tidak menunjukkan efek merugikan. Hiperforin yang terdapat di dalam St. Johns Wort disekresikan dalam ASI. Studi observasi cohort selama 2 tahun pada wanita menyusui pengkonsumsi St. Johns Wort melaporkan terjadinya kolik pada bayinya, dua kasus drowsiness, dan satu kasus letargi. Penggunaan St. Johns Wort ini harus hati-hati karena berinterkasi dengan beberapa obat yang dimetabolisme CYP450 3A4 seperti siklosporin, warfarin, kontrasepsi oral, penghambat protease. (KTW) Referensi: Charrois TL,. Sadler C,. Vohra S. Complemenatry, Holistic, and Integrative Medicine: St. Johns Wort. Pediatric in Review 2007;28(2):68-73. St. John sSt. John sWortWort untuk Anakuntuk AnakSt. John s Wort untuk Anak St. Johns Wort mengandung komponen zat aktif di antaranya: naphthodianthrones, flavonoids, dan xanthones. Mekanisme kerja komponen-komponen tersebut belum diketahui pasti dan masih diperdebatkan. Penghambatan mono-amine oksidase tidak diketemukan pada studi invitro. Hipotesis lain adalah sebagai penghambat re-uptake serotonin, gama-amino butirat, norepfinefrin, dan dopamin. Studi menunjukkan bahwa St. Johns Wort mempunyai potensi sebagai antibakteri, antivirus, dan antiinflamasi. St. Johns Wort saat ini tersedia dalam bentuk sediaan kapsul, tablet, ataupun kaplet yang dapat diberikan pada anakanak dengan dosis berkisar 300 mg v 900 mg/ hari dalam dosis terbagi sampai selama 8 minggu. Bukti efektivitas pada anak-anak Survai di USA dan Inggris menunjukan bahwa penggunaan St. Johns Wort pada anak-anak terutama adalah untuk kasus depresi. St. Johns Wort memperbaiki gambaran klinis depresi yang ditunjukkan dengan perbaikan skor Clinical Global Improvement. Childrens Depression Rating Scala-Revised and Childrens Depression Inventory. Pemberian St. Johns Wort juga memberikan efek perbaikan keluhan nyeri telinga akibat otitis media pada usia 6 v 18 tahun. St. Johns Wort merupakan herbal famili Hypericaceae yang sudah digunakan sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Secara tradisional St. Johns Wort digunakan untuk gangguan kulit, gangguan saraf, nyeri otot, terutama untuk kondisi cemas dan depresi mengingat kemampuan St. Johns Wort dalam menghambat reuptake dopamin, serotonin, norepinefrin di dalam otak. BERITA TERKINI CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009448

Secara medis disebut Cubital Tunnel Syndrome, cell phone elbow adalah kekakuan, terasa gatal, dan nyeri di lengan dan tangan akibat tekanan saraf ulnar yang lewat sepanjang bagian dalam siku. Salah satu penyebab tekanan pada saraf ulnar adalah kebanyakan menggenggam, seringkali membawa telepon selular selama waktu yang tak terbatas. Menekuk siku terus menerus, seperti ketika Anda memegang telepon selular di telinga saat penutupan penjualan, bicara dengan pacar atau berbicara dengan anak Anda sambil bekerja, membuat tensi pada saraf ulnar. Pada orang yang rentan, menahan posisi siku menekuk selama beberapa waktu akan mengurangi aliran darah, inflamasi dan kompresi sel saraf. Dr. Peter J. Evans, direktur Cleveland Clinic's Hand and Upper Extremity Center, tegangan terus menerus dan berulang adalah seperti selang berkebun. Jika selang terhalang, Anda menghalangi aliran air. Pada siku, Anda menghalangi aliran darah ke saraf yang menyebabkan 'konslet'. Gejala-gejala pasien awalnya sering muncul kekakuan, terasa gatal atau sakit di lengan dan tangan. Sensasi tak menyenangkan dengan memukul saraf ulnar Anda. Ketika gejala-gejala berlanjut, dapat mencakup kehilangan kekuatan otot, koordinasi dan mobilitas yang membuat menulis dan mengetik sulit. Dalam kasus kronik tak tertangani, jari manis dan kelingking dapat menekuk. Walalupun tidak ada gambaran lengkap tentang bagaimana banyak orang mengalami phone elbow, para ahli tangan mengatakan insiden ini meningkat sejalan dengan 3,3 juta pengguna aktif layanan telepon selular di seluruh dunia. Gangguan ini masih kurang umum dibandingkan carpal tunnel syndrome, yaitu kondisi terkait yang mengakibatkan nyeri pada lengan dan pergelangan tangan. Carpal Tunnel Syndrome disebabkan oleh tekanan pada saraf tengah yang terdapat antara pergelangan dan tangan. Kebanyakan orang yang terkena cubital tunnel syndrome berumur sedang sampai tua. Perempuan mengalami cubital tunnel syndrome lebih sering dibandingkan pria. Walaupun alasan tepatnya belum diketahui, perempuan lebih rentan berkaitan dengan fluktuasi hormonal pada anatominya. Penyebab lainnya yaitu tidur dengan siku ditekuk, duduk dengan siku ditekuk lebih dari 90 serajat dan menyetir mobil dengan siku pada jendela selama beberapa waktu. Dalam kebanyakan kasus, perubahan gaya hidup kecil dapat mengurangi gejala, seperti penggunaan hands-free untuk telepon seluler. Jika posisi tidur yang menjadi masalah, gunakan penahan siku untuk menjaga siku tetap lurus sepanjang malam. Untuk hal yang lebih serius dapat berkonsultasi dengan ahli rehabilitasi atau dokter. (NFA) Hati-hati denganHati-hati dengan Cell Phone ElbowCell Phone Elbow atauatau Cubital Tunnel SyndromeCubital Tunnel Syndrome Hati-hati dengan Cell Phone Elbow atau Cubital Tunnel Syndrome CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 449 BERITA TERKINI Secara medis disebut Cubital Tunnel Syndrome, cell phone elbow adalah kekakuan, terasa gatal, dan nyeri di lengan dan tangan akibat tekanan saraf ulnar yang lewat sepanjang bagian dalam siku. Salah satu penyebab tekanan pada saraf ulnar adalah kebanyakan menggenggam, seringkali membawa telepon selular selama waktu yang tak terbatas. Menekuk siku terus menerus, seperti ketika Anda meme-

gang telepon selular di telinga saat penutupan penjualan, bicara dengan pacar atau berbicara dengan anak Anda sambil bekerja, membuat tensi pada saraf ulnar. Pada orang yang rentan, menahan posisi siku menekuk selama beberapa waktu akan mengurangi aliran darah, inflamasi dan kompresi sel saraf. Dr. Peter J. Evans, direktur Cleveland Clinic's Hand and Upper Extremity Center, tegangan terus menerus dan berulang adalah seperti selang berkebun. Jika selang terhalang, Anda menghalangi aliran air. Pada siku, Anda menghalangi aliran darah ke saraf yang menyebabkan 'konslet'. Gejala-gejala pasien awalnya sering muncul kekakuan, terasa gatal atau sakit di lengan dan tangan. Sensasi tak menyenangkan dengan memukul saraf ulnar Anda. Ketika gejala-gejala berlanjut, dapat mencakup kehilangan kekuatan otot, koordinasi dan mobilitas yang membuat menulis dan mengetik sulit. Dalam kasus kronik tak tertangani, jari manis dan kelingking dapat menekuk. Walalupun tidak ada gambaran lengkap tentang bagaimana banyak orang mengalami phone elbow, para ahli tangan mengatakan insiden ini meningkat sejalan dengan 3,3 juta pengguna aktif layanan telepon selular di seluruh dunia. Gangguan ini masih kurang umum dibandingkan carpal tunnel syndrome, yaitu kondisi terkait yang mengakibatkan nyeri pada lengan dan pergelangan tangan. Carpal Tunnel Syndrome disebabkan oleh tekanan pada saraf tengah yang terdapat antara pergelangan dan tangan. Kebanyakan orang yang terkena cubital tunnel syndrome berumur sedang sampai tua. Perempuan mengalami cubital tunnel syndrome lebih sering dibandingkan pria. Walaupun alasan tepatnya belum diketahui, perempuan lebih rentan berkaitan dengan fluktuasi hormonal pada anatominya. Penyebab lainnya yaitu tidur dengan siku ditekuk, duduk dengan siku ditekuk lebih dari 90 serajat dan menyetir mobil dengan siku pada jendela selama beberapa waktu. Dalam kebanyakan kasus, perubahan gaya hidup kecil dapat mengurangi gejala, seperti penggunaan hands-free untuk telepon seluler. Jika posisi tidur yang menjadi masalah, gunakan penahan siku untuk menjaga siku tetap lurus sepanjang malam. Untuk hal yang lebih serius dapat berkonsultasi dengan ahli rehabilitasi atau dokter. (NFA) Hati-hati denganHati-hati dengan Cell Phone ElbowCell Phone Elbow atauatau Cubital Tunnel SyndromeCubital Tunnel Syndrome Hati-hati dengan Cell Phone Elbow atau Cubital Tunnel Syndrome CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 449 BERITA TERKINI

BERITA TERKINI BERITA TERKINI Terapi hipertensi seringkali membutuhkan lebih dari 1 macam obat antihipertensi untuk dapat mengontrol tekanan darah. Bila pemberian 2 macam obat antihipertensi belum dapat mengontrol tekanan darah, maka dapat diberikan 3 macam obat antihipertensi, walau hanya sedikit data yang memperlihatkan efektifitas pemberian 3 macam obat antihipertensi. Namun, secara rasional dapat diberikan 3 macam obat antihipertensi dengan mekanisme kerja yang berbeda seperti kombinasi diuretik, angiotensin receptor blocker, ARB dan calcium-channel blocker, 450 FDA (Food and Drug Administration) pada bulan Mei 2009 telah memberikan persetujuan terhadap obat antihipertensi dengan nama dagang Exforge HCT, yang merupakan gabungan dari obat antihipertensi hydrochlorothiazide (diuretik) dengan valsartan (angiotensin receptor blocker, ARB), dan amlodipine (calcium-channel blocker, CCB) di dalam satu tablet. FDA memberikan persetujuan bagi Exforge HCT sebagai obat untuk terapi hipertensi pada pasien tekanan darahnya sulit terkontrol dengan 2 macam terapi obat antihipertensi dan bukan sebagai terapi lini utama. Dalam penelitian, Exforge HCT efektif sebagai terapi antihipertensi pada pasien dengan hipertensi sedang-berat, dengan tekanan darah diastolik duduk rata-rata 100 mmHg hingga <120 mmHg; dan tekanan darah sistolik duduk ratarata 145 mmHg hingga <200 mmHg. Dalam penelitian juga, pemberian Exforge HCT dengan dosis maksimum (amlodipine/ valsartan/hydrochlorothiazide 10 mg/320 mg/25 mg) memperlihatkan penurunan tekanan darah sistolik tambahan sebesar 18-29% dan penurunan tekanan darah diastolik tambahan sebesar 19-32% dibandingkan semua terapi antihipertensi kombinasi duo (kombinasi dua macam obat). Persetujuan FDA ini dilakukan berdasarkan penelitian klinik yang melibatkan lebih dari 2000 pasien. Kini Exforge HCT sedang dikaji ulang oleh persatuan Uni Eropa. Sebelumnya FDA sudah memberikan persetujuan obat yang mengandung kombinasi valsartan and amlodipine (Exforge) yang juga diproduksi oleh Novartis, sebagai terapi lini kedua hipertensi bagi pasien yang memerlukkan 2 macam terapi obat antihipertensi. Kesimpulan: Exforge HCT mendapat persetujuan dari FDA sebagai obat untuk terapi hipertensi pada pasien yang tekanan darahnya sulit terkontrol dengan 2 macam obat antihipertensi dan bukan sebagai terapi lini utama. Komisi Uni Eropa sedang mengkaji ulang obat ini. (YYA) Referensi : 1. Calhoun DA, Jones D, Textor S, Goff DC, Murphy TP, Toto RD, et al. Resistant Hypertension: Diagnosis, Evaluation, and Treatment. A Scientific Statement From the American Heart Association Professional Education Committee of the Council for High Blood Pressure Research. Circulation 2008; 117; e510-e26. 2. Mancia G, Backer GD, Dominiczak A, Cikova R, Fagard R, Germano G, et al. 2007 Guidelines for the management of arterial hypertension: The Task Force for the Management of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Eur. Heart J. 2007; 28: 1 462 - 536. 3. Medscape Cardiology. Combination Diuretic, ARB, and CCB Approved for Treatmen t of Hypertension. [citied 2009 May 11]. Available from: http://www.medscape.com/ viewarticle/702256?src=mpnews&spon=2&uac=117092CG 4. Novartis Media Release. FDA approves Exforge HCT - the only high blood pressur

e treatment to combine three medications in a single pill. [citied 2009 May 11]. Available from: http://hugin.info/134323/R/1310474/303118.pdf Exforge HCT, 3 MacamExforge HCT, 3 Macam Obat Antihipertensi dalam 1 Tablet.Obat Antihipertensi dalam 1 Tablet. Exforge HCT, 3 Macam Obat Antihipertensi dalam 1 Tablet. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

PRAKTIS 451 Sejak tahun 1977, Joint National Committee on the Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC) telah memberikan arahan bagi para tenaga medis perihal pencegahan dan penatalaksanaan hipertensi. JNC terakhir adalah JNC 7 yang dipublikasikan pada tahun 2003. Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 Pasien dengan tekanan darah 130-139/80-89 mmHg dalam JNC 7 dimasukkan dalam kategori prehipertensi, karena pasienpasien dengan tekanan darah tersebut risiko menjadi hipertensi dua kali lebih besar dibandingkan pasien-pasien dengan tekanan darah normal (pasien dengan tekanan darah <115/75 mmHg). Terapi Hipertensi Selain terapi dengan obat antihipertensi (terapi farmakologis), modifikasi gaya hidup (terapi nonfarmakologis) merupakan bagian yang paling penting dari terapi hipertensi. (diagram 1) Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup sangat membantu menurunkan tekanan darah, (tabel 2) Tabel 2. Modifikasi gaya hidup untuk Pengendalian Tekanan Darah Hipertensi tanpa indikasi penyerta Bila modifikasi gaya hidup tidak dapat mencapai target tekanan darah, perlu diberi terapi obat antihipertensi. Dari algoritma terapi hipertensi, pasien tanpa indikasi penyerta dengan hipertensi stadium I dapat diberi 1 atau 2 macam obat antihipertensi. Pada pasien stadium 2 diberikan 2 macam obat antihipertensi. Tabel 3. Obat antihipertensi Penatalaksanaan Hipertensi Klasifikasi tekanan darah TDS mmHg TDD mmHg Normal Prehipertensi Hipertensi tingkat 1 Hipertensi tingkat 2 <120 120-139 140-159 >=160 dan <80 atau 80-89 atau 90-99 atau >=100 Modifikasi yang disarankan Rekomendasi Penurunan tekanan darah sistolik yangdapat tercapai Penurunan berat badan Menjalankan perencanaan makan DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) Kurangi konsumsi natrium Aktifitas fisik Mengurangi konsumsi alkohol

Pertahankan berat badan normal dengan indeks masa tubuhantara 18,5-24,9 kg/m2 Mengkonsumsi buah, sayur, dan produk rendah lemak Mengurangi asupan natrium hingga kurang dari 2,4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida Menjalankan aktifitas fisik rutin seperti berjalan (paling tidak 30 menit sehari dan beberapa hari seminggu) Batasi asupan tidak lebih dari 2 minuman sehari untuk pria (30 ml etanol) dan tidak lebih dari 1 minuman sehari untuk wanita 5-20 mmHg tiap penurunan 10 kg 8-14 mmHg 2-8 mmHg 4-9 mmHg 2-4 mmHg Golongan Obat Kisaran dosis dalam mg/hari Frekuensi pemberianper hari Thiazide diuretics Loop diuretics Potassium sparing diuretics Aldosterone receptor blockers Beta Blockers ACE inhibitor ARB CCB Alpha 1 blocker Central alpha 2 agonist and other centrally acting drugs Direct vasodilator Hydrochlorothiazide Chlorthalidone Indapamide Furosemide amiloride Spironolactone Atenolol Bisoprolol Carvedilol Propanolol Captopril Enalapril Ramipril Losartan Valsartan Irbesartan Amlodipine Nifedipine long acting

Diltiazem extended release Doxazosin Clonidine Methyldopa Hydralazine Minoxidil 12,5-50 12,5-25 1,25-2,5 20-80 5-10 25-50 25-100 2,5-10 12,5-50 40-160 25-100 5-40 2,5-20 25-100 80-320 150-300 2,5-10 30-60 180-420 1-16 0,1-0,8 250-1000 25-100 2,8-80 1 1 1 2 1-2 1 1 1 2 2 2 1-2 1 1-2 1-2 1 1 1 1 1 2 2 2 1-2 CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

PRAKTIS CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009452 Hipertensi dengan indikasi penyerta Indikasi penyerta merupakan kondisi risiko tinggi yang dapat secara langsung memperburuk hipertensi, seperti gagal jantung, penyakit jantung iskemik, penyakit ginjal kronik, stroke berulang, atau kondisi-kondisi yang biasanya menyertai hipertensi seperti diabetes. Pada pasien-pasien ini diperlukan terapi obat antihipertensi pilihan berdasarkan pada penelitian klinik yang memperlihatkan manfaat obat antihipertensi tertentu pada kondisikondisi tersebut. (tabel 4). Tabel 4. Pilihan terapi antihipertensi pada pasien dengan indikasi penyerta Penyakit jantung koroner Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan darah perlu diturunkan dengan cepat. Untuk itu dapat diberi obat antihipertensi golongan beta-blocker dan/atau CCB. Bila CCB diberikan sebagai tambahan terapi beta blocker yang sudah ada, dapat diberikan CCB golongan dihydropyridine dengan masa kerja lama; jenis kerja cepat tidak diberikan karena peningkatan risiko kematian, terutama pada keadaan infark miokard akut. Pada pasien dengan angina pektoris stabil dapat diberi BB atau CCB. Gagal jantung Pada pasien dengan disfungsi ventrikel asimptomatik, dapat diberi obat antihipertensi golongan ACEi dan beta-blocker. Bagi pasien dengan disfungsi ventrikel simptomatik atau dengan penyakit jantung stadium akhir, dapat diberi obat antihipertensi golongan ACEi, beta-blocker, ARB, aldosterone blocker dan juga loop diuretic. Diabetes melitus Obat antihipertensi golongan ACEi (angiotensin converting enzyme inhibitor) dan ARB (angiotensin receptor blockers) direkomendasikan pemberiannya bagi pasien hipertensi yang menderita diabetes melitus, karena ACEi dan ARB terbukti menghambat progresifitas nefropati diabetikum dan menurunkan albuminuria. Penelitian-penelitian seperti IRMA memperlihatkan bahwa ARB irbesartan memiliki efek renoproteksi pada pasien hipertensi dengan diabetes tipe 2 dan mikroalbuminuria. Penyakit ginjal kronik Tujuan terapi hipertensi pada pasien dengan PGK adalah memperlambat penurunan fungsi ginjal dan mencegah penyakit kardiovaskular. Pada pasien PGK perlu penurunan tekanan darah dengan agresif dan kadang diperlukan 3 macam obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah (<130/80 pada pasien dengan PGK). Terapi dengan ACEi dan ARB mampu menghambat progresifitas penyakit ginjal diabetik maupun penyakit ginjal non-diabetik. Hasil penelitian retrospektif yang dipublikasikan dalam Journal of the American Board of Family Medicine 2008 memperlihatkan bukti adanya tendensi perbaikan kontrol tekanan darah sejak JNC 7 dipublikasikan, sehingga para klinisi dapat terus melakukan penatalaksanaan hipertensi menurut JNC 7. Kesimpulan: Risiko penyakit kardiovaskular dari 115/75 mmHg meningkat 2 kali lipat setiap peningkatan 20/10 mmHg. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau dengan tekanan darah diastolik 80-89 mmHg termasuk kriteria prehipertensi dan memerlukan modifikasi gaya hidup untuk menurunkan risiko kardiovaskular.

Diuretik golongan tiazida dapat diberikan pada pasien hipertensi tanpa komplikasi, baik sebagai terapi tunggal maupun kombinasi. Pada pasien dengan indikasi penyerta, dapat diberi obat antihipertensi lain sebagai terapi lini utama, seperti ACEi, ARB, CCB atau beta blocker. Pada umumnya pasien hipertensi memerlukan 2 macam obat antihipertensi untuk mencapai target terapi. Target terapi hipertensi adalah <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik. Dokter harus dapat memotivasi pasien untuk melakukan modifikasi gaya hidup dan hal ini akan meningkatkan kepercayaan dokter terhadap pasien. (YYA) Daftar Kepustakaan ada pada redaksi PRAKTIS CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009452 Hipertensi dengan indikasi penyerta Indikasi penyerta merupakan kondisi risiko tinggi yang dapat secara langsung memperburuk hipertensi, seperti gagal jantung, penyakit jantung iskemik, penyakit ginjal kronik, stroke berulang, atau kondisi-kondisi yang biasanya menyertai hipertensi seperti diabetes. Pada pasien-pasien ini diperlukan terapi obat antihipertensi pilihan berdasarkan pada penelitian klinik yang memperlihatkan manfaat obat antihipertensi tertentu pada kondisikondisi tersebut. (tabel 4). Tabel 4. Pilihan terapi antihipertensi pada pasien dengan indikasi penyerta Penyakit jantung koroner Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan darah perlu diturunkan dengan cepat. Untuk itu dapat diberi obat antihipertensi golongan beta-blocker dan/atau CCB. Bila CCB diberikan sebagai tambahan terapi beta blocker yang sudah ada, dapat diberikan CCB golongan dihydropyridine dengan masa kerja lama; jenis kerja cepat tidak diberikan karena peningkatan risiko kematian, terutama pada keadaan infark miokard akut. Pada pasien dengan angina pektoris stabil dapat diberi BB atau CCB. Gagal jantung Pada pasien dengan disfungsi ventrikel asimptomatik, dapat diberi obat antihipertensi golongan ACEi dan beta-blocker. Bagi pasien dengan disfungsi ventrikel simptomatik atau dengan penyakit jantung stadium akhir, dapat diberi obat antihipertensi golongan ACEi, beta-blocker, ARB, aldosterone blocker dan juga loop diuretic. Diabetes melitus Obat antihipertensi golongan ACEi (angiotensin converting enzyme inhibitor) dan ARB (angiotensin receptor blockers) direkomendasikan pemberiannya bagi pasien hipertensi yang menderita diabetes melitus, karena ACEi dan ARB terbukti menghambat progresifitas nefropati diabetikum dan menurunkan albuminuria. Penelitian-penelitian seperti IRMA memperlihatkan bahwa ARB irbesartan memiliki efek renoproteksi pada pasien hipertensi dengan diabetes tipe 2 dan mikroalbuminuria. Penyakit ginjal kronik Tujuan terapi hipertensi pada pasien dengan PGK adalah memperlambat penurunan fungsi ginjal dan mencegah penyakit kardiovaskular. Pada pasien PGK perlu penurunan tekanan darah dengan agresif dan kadang diperlukan 3 macam obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah (<130/80 pada pasien dengan PGK). Terapi dengan ACEi dan ARB mampu menghambat progresifitas penyakit ginjal diabetik

maupun penyakit ginjal non-diabetik. Hasil penelitian retrospektif yang dipublikasikan dalam Journal of the American Board of Family Medicine 2008 memperlihatkan bukti adanya tendensi perbaikan kontrol tekanan darah sejak JNC 7 dipublikasikan, sehingga para klinisi dapat terus melakukan penatalaksanaan hipertensi menurut JNC 7. Kesimpulan: Risiko penyakit kardiovaskular dari 115/75 mmHg meningkat 2 kali lipat setiap peningkatan 20/10 mmHg. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau dengan tekanan darah diastolik 80-89 mmHg termasuk kriteria prehipertensi dan memerlukan modifikasi gaya hidup untuk menurunkan risiko kardiovaskular. Diuretik golongan tiazida dapat diberikan pada pasien hipertensi tanpa komplikasi, baik sebagai terapi tunggal maupun kombinasi. Pada pasien dengan indikasi penyerta, dapat diberi obat antihipertensi lain sebagai terapi lini utama, seperti ACEi, ARB, CCB atau beta blocker. Pada umumnya pasien hipertensi memerlukan 2 macam obat antihipertensi untuk mencapai target terapi. Target terapi hipertensi adalah <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik. Dokter harus dapat memotivasi pasien untuk melakukan modifikasi gaya hidup dan hal ini akan meningkatkan kepercayaan dokter terhadap pasien. (YYA) Daftar Kepustakaan ada pada redaksi

Pernah mendengar kata Twitter dan kemudian tertarik untuk memanfaatkan fasilitas tersebut? Atau mungkin sudah memiliki account di Twitter namun masih bingung, apa yang bisa dilakukan dengan account tersebut? Jika ya, janganlah cepatcepat berputus asa. Sebagian besar orang yang tertarik dengan Twitter (minimal sudah pernah mendengar "kehebatannya") dan kemudian mengunjungi websitenya di http://twitter.com akan bingung dengan tampilan websitenya yang sederhana. Tulisan berikut ini mencoba membantu memperjelas mengenai fasilitas yang saat ini sedang menjadi trend di Indonesia. Per definisi menurut Wikipedia, Twitter adalah layanan gratis untuk jejaring sosial atau mikro-blogging yang memungkinkan pengguna mengirim dan membaca informasi yang dikenal dengan istilah tweet atau berkicau. Saat mengakses website http: //twitter.com, kebanyakan pengunjung akan bingung. Tidak ada tulisan yang bisa dimengerti pada situs tersebut, kecuali "Share and discover whats happening right now, anywhere in the world" Karena keterbatasan halaman, maka tulisan kali ini hanya akan menjelaskan salah satu fungsi Twitter yaitu "discover what's happening right now". Diharapkan jika sudah bisa memanfaatkan fitur paling sederhana Twitter ini, maka dengan sendirinya bisa mempergunakan fungsi-fungsi lain yang lebih canggih. Beberapa perusahaan sudah memanfaatkan Twitter sebagai sarana interaktif mereka dengan pengikutnya (follower). Sebenarnya Twitter adalah suatu alat/fasilitas yang bisa digunakan untuk memantau perkembangan terkini mengenai sesuatu hal. Fasilitas Twitter ini akan terasa manfaatnya jika kita bisa mengikutinya melalui gadget komunikasi; bisa berupa handphone, smartphone ataupun PDA (personal digital assistant). Bisa dikatakan bahwa sifat penyebaran informasi di Twitter itu mirip dengan pengiriman SMS. Bedanya, Twitter hanya bisa mengirim 140 karakter saja (lebih pendek dari SMS) namun dengan biaya yang sangat kecil (tergantung provider langganan kita). Bahkan untuk pengguna pesawat Blackberry (BB) bisa dibilang tanpa biaya dan sudah termasuk dalam biaya bulanan mereka (Blackberry Internet Service/BIS). Kemudian, jika ingin mengetahui lebih detil mengenai informasi yang dibaca tersebut, bisa mengklik link yang disertakan dalam berita tersebut dan akan masuk ke website-nya untuk info lebih detil. Beberapa contoh isi Twitter: 1. Hepatitis C meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular http://tinyurl.com/npvxwa 2. Sertraline mencegah kambuhnya depresi pada pasien diabetes http://tinyurl.com/ncxfkj Syarat-syaratnya1. Untuk bisa menggunakan Twitter's Client, pesawat telpon sudah harus memiliki fasilitas mengakses internet atau sering disebut GPRS. Saat ini, hampir semua pesawat handphone terbaru di Indonesia sudah bisa mengakses internet. 2. Jika menggunakan Blackberry, bisa klik link di bawah ini untuk menginstall Twitter's Client yang disebut dengan TwitterBerry http://orangatame.com/ota/twitterberry/. Tentu dari pesawat BB Anda. 3. Begitu pula, untuk pesawat Nokia dan pesawat komunikasi lainnya yang menggunakan sistem operasi Symbian S60, bisa klik: http://www.tweets60.com/ Namun sebelum melakukan langkah-langkah di atas, seseorang sudah harus memiliki account di Twitter. Cara membuat account,

cukup mengunjungi website Twitter di http://twitter.com , kemudian klik icon "Sign Up Now". Lengkapi data yang diminta. Jangan lupa menghafal username dan password yang sudah ditulis. Username dan password ini perlu dihafal karena akan digunakan saat Sign In dari pesawat handphone. Setelah memiliki account Twitter, silakan ikut (follow) beberapa twitter yang senang memberi informasi. Bisa dari perusahaanperusahaan besar seperti /NOKIA, /IBM, /Kalbefarma, juga dari pelbagai media seperti /CNN, /CDKMagazine, /Kalbe maupun dari pribadi yang sangat getol memberi informasi kesehatan/ kedokteran. Sebaiknya seselektif mungkin memilih siapa yang akan di-follow, sehingga informasi yang masuk ke Twitter's Client di handphone benar-benar sesuai dengan minat pemiliknya. Sebenarnya hal ini sama saja dengan mengikuti Mailinglist atau Newsletter, namun dengan Twitter, kita hanya perlu membaca judulnya setiap saat di mana pun kita berada selama handphone kita On. Proses pendaftaran (sign up) di Twitter dan follow, sebaiknya dilakukan melalui komputer/notebook, karena jika dilakukan via gadget, sering lama bahkan error sehingga tujuannya tidak tercapai. Semoga bermanfaat dan selamat bertwitter. (ETN) INFORMATIKA KEDOKTERAN Salah satu sarana memperoleh informasiterkini setiap saat Pernah mendengar kata Twitter dan kemudian tertarik untuk memanfaatkan fasilitas tersebut? Atau mungkin sudah memiliki account di Twitter namun masih bingung, apa yang bisa dilakukan dengan account tersebut? Jika ya, janganlah cepatcepat berputus asa. Sebagian besar orang yang tertarik dengan Twitter (minimal sudah pernah mendengar "kehebatannya") dan kemudian mengunjungi websitenya di http://twitter.com akan bingung dengan tampilan websitenya yang sederhana. Tulisan berikut ini mencoba membantu memperjelas mengenai fasilitas yang saat ini sedang menjadi trend di Indonesia. Per definisi menurut Wikipedia, Twitter adalah layanan gratis untuk jejaring sosial atau mikro-blogging yang memungkinkan pengguna mengirim dan membaca informasi yang dikenal dengan istilah tweet atau berkicau. Saat mengakses website http: //twitter.com, kebanyakan pengunjung akan bingung. Tidak ada tulisan yang bisa dimengerti pada situs tersebut, kecuali "Share and discover whats happening right now, anywhere in the world" Karena keterbatasan halaman, maka tulisan kali ini hanya akan menjelaskan salah satu fungsi Twitter yaitu "discover what's happening right now". Diharapkan jika sudah bisa memanfaatkan fitur paling sederhana Twitter ini, maka dengan sendirinya bisa mempergunakan fungsi-fungsi lain yang lebih canggih. Beberapa perusahaan sudah memanfaatkan Twitter sebagai sarana interaktif mereka dengan pengikutnya (follower). Sebenarnya Twitter adalah suatu alat/fasilitas yang bisa digunakan untuk memantau perkembangan terkini mengenai sesuatu hal. Fasilitas Twitter ini akan terasa manfaatnya jika kita bisa mengikutinya melalui gadget komunikasi; bisa berupa handphone, smartphone ataupun PDA (personal digital assistant). Bisa dikatakan bahwa sifat penyebaran informasi di Twitter itu mirip dengan pengiriman SMS. Bedanya, Twitter hanya bisa mengirim 140 karakter saja (lebih pendek dari SMS) namun dengan biaya yang sangat kecil (tergantung provider langganan kita). Bahkan untuk pengguna pesawat Blackberry (BB) bisa dibilang tanpa biaya dan sudah termasuk dalam biaya

bulanan mereka (Blackberry Internet Service/BIS). Kemudian, jika ingin mengetahui lebih detil mengenai informasi yang dibaca tersebut, bisa mengklik link yang disertakan dalam berita tersebut dan akan masuk ke website-nya untuk info lebih detil. Beberapa contoh isi Twitter: 1. Hepatitis C meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular http://tinyurl.com/npvxwa 2. Sertraline mencegah kambuhnya depresi pada pasien diabetes http://tinyurl.com/ncxfkj Syarat-syaratnya1. Untuk bisa menggunakan Twitter's Client, pesawat telpon sudah harus memiliki fasilitas mengakses internet atau sering disebut GPRS. Saat ini, hampir semua pesawat handphone terbaru di Indonesia sudah bisa mengakses internet. 2. Jika menggunakan Blackberry, bisa klik link di bawah ini untuk menginstall Twitter's Client yang disebut dengan TwitterBerry http://orangatame.com/ota/twitterberry/. Tentu dari pesawat BB Anda. 3. Begitu pula, untuk pesawat Nokia dan pesawat komunikasi lainnya yang menggunakan sistem operasi Symbian S60, bisa klik: http://www.tweets60.com/ Namun sebelum melakukan langkah-langkah di atas, seseorang sudah harus memiliki account di Twitter. Cara membuat account, cukup mengunjungi website Twitter di http://twitter.com , kemudian klik icon "Sign Up Now". Lengkapi data yang diminta. Jangan lupa menghafal username dan password yang sudah ditulis. Username dan password ini perlu dihafal karena akan digunakan saat Sign In dari pesawat handphone. Setelah memiliki account Twitter, silakan ikut (follow) beberapa twitter yang senang memberi informasi. Bisa dari perusahaanperusahaan besar seperti /NOKIA, /IBM, /Kalbefarma, juga dari pelbagai media seperti /CNN, /CDKMagazine, /Kalbe maupun dari pribadi yang sangat getol memberi informasi kesehatan/ kedokteran. Sebaiknya seselektif mungkin memilih siapa yang akan di-follow, sehingga informasi yang masuk ke Twitter's Client di handphone benar-benar sesuai dengan minat pemiliknya. Sebenarnya hal ini sama saja dengan mengikuti Mailinglist atau Newsletter, namun dengan Twitter, kita hanya perlu membaca judulnya setiap saat di mana pun kita berada selama handphone kita On. Proses pendaftaran (sign up) di Twitter dan follow, sebaiknya dilakukan melalui komputer/notebook, karena jika dilakukan via gadget, sering lama bahkan error sehingga tujuannya tidak tercapai. Semoga bermanfaat dan selamat bertwitter. (ETN) INFORMATIKA KEDOKTERAN Salah satu sarana memperoleh informasiterkini setiap saat CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

PROFIL PROFIL 455 Dokter muda ini justru berkeinginan untuk berada di daerah terpencil kepulauan Riau. Liku-liku daerah terpencil membuatnya terpacu untuk maju; di daerah kepulauan Riau keadaan puskesmasnya cukup memprihatinkan karena belum ada sarana lampu, tidak ada telepon, dan sarana lainnya, tetapi Munawar, panggilan akrabnya, dengan cukup sabar bertugas sampai 3 tahun. Sepulangnya dari tugas WKS, dokter muda yang hobinya melukis ini, mendaftarkan diri untuk mengikuti pendidikan spesialis tahun 1984. Ketika ditanya mengapa mengambil spesialis Jantung, Munawar mengatakan, karena spesialis jantung ketika itu pusatnya hanya ada di dua tempat saja, yaitu di Surabaya dan Jakarta. Sedangkan spesialis yang lain, seperti kebidanan, penyakit dalam, anak dan bedah, begitu banyak tempat pusat pendidikannya. Oleh karena itu saya ambil spesialis Jantung yang masih jarang peminatnya,. ujar Munawar. Lulus spesialis tahun 1989, bapak tiga anak ini cukup bingung ketika ditawari penempatan kerja di Jakarta (RS Jantung Harapan Kita) atau di Semarang (di RS Karyadi). Saya sebenarnya ingin sekali bekerja di Semarang, karena di Jakarta sudah begitu padat, kota Jakarta bukan dunia saya, kata Munawar. Karena nilai saya di atas rata-rata maka Prof. Dr. Lily I Rilantono, SpA, SpJP - ketika itu menjabat kepala Bagian Jantung - memotivasi agar saya tetap di Jakarta, walaupun ketika itu di RS Karyadi Semarang saya sudah diterima oleh Prof. Budhi Darmojo.. Prof. Lily menganjurkan Munawar memperdalam masalah Irama Jantung (aritmia); oleh karena memang hobinya, maka diambilnya dengan senang hati. Tidak lama kemudian Munawar ditawari lagi untuk memperdalam masalah Irama Jantung di Australia tahun 1991. Tahun 1992 Munawar kembali ke Jakarta dengan perasaan bangga, karena Munawar adalah salah satu dokter jantung pertama di Indonesia yang memperdalam masalah Irama Jantung. Ditambah pula saya juga yang pertama memasang pacu jantung melalui bedah jantung tanpa dibantu oleh ahli bedah. ujarnya bangga. Beberapa tahun kemudian dokter yang lahir di Solo ini belajar kembali untuk meneruskan S3, dan lulus tahun 2005 dengan disertasi Gangguan Aritmia pada Serambi.. Buruh batik Dokter yang mengaku sudah mempunyai empat cucu ini sebenarnya bukan dari keturunan dokter, bapak beliau seorang buruh batik, ibunya meninggal ketika Munawar lulus SD, kemudian bapaknya menyusul setahun kemudian setelah Munawar kelas satu SMP. Ketika itu Munawar muda, dibesarkan oleh eyangnya, seorang janda yang hanya buruk batik. Hidup saya dari satu teman ke teman yang lain, karena saya tidak mempunyai apa-apa, jajanpun dari teman. ujarnya mengenang. Setelah SMA dan mendapat bintang pelajar, pamannya menganjurkan agar masuk ke kedokteran saja. Membagi waktu Membagi waktu dengan keluarga itu penting, walaupun sesibuk apapun Munawar menyempatkan waktunya minimal Sabtu atau Minggu. Jika ada tugas mendadak, kan ada handphone, telepon saja,. ujar Munawar. Sesibuk apapun, yang terpenting bagi saya harus ada komunikasi antara dokter dan pasien. Pasien boleh telepon saya kapan saja. Kuncinya ada dua yaitu harus menjaga kejujuran dan komunikasi antara pasien

jangan putus.. Jangan hanya mencari uang Walaupun dalam undang-undang dokter itu punya hak untuk menerima imbalan jasa dari pasien, tetapi janganlah menjadikan pasien untuk diambil uangnya saja. Kenyataannya sekarang semenjak mahasiswa, pikirannya bagaimana nanti jika menjadi dokter agar pasiennya banyak. Karena makin banyak pasien, makin banyak uangnya. Kebanyakan dokter pasti pikirannya seperti itu.. Di Indonesia seorang dokter bisa banyak sekali pasiennya, tetapi di luar negeri tidak boleh, harus dibatasi. Kalau bisa, walaupun scope spesialisnya kecil, tetapi mendalam, maksudnya menguasai ilmu tersebut, sehingga kita dikenal oleh bangsabangsa lain,. ujar Munawar. Selain itu dokter harus dibatasi prakteknya, kalau bisa satu tempat saja yaitu di satu rumahsakit saja,. ujar Ketua PERKI (Perhimpunan Kardiologi Indonesia) mengakhiri pembicaraan. (REDAKSI) DR. Dr. Muhammad Munawar, FESC, FACC, FSCAI: Harus Menjaga Kejujuran dan Komunikasi Antara Pasien Jangan Putus Tahun 1976, Dr. Muhammad Munawar baru saja menamatkan kuliah kedokterannya di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Saati itu Program Wajib Kerja Sar jana (WKS) masih berjalan untuk mengikis masalah kesehatan di Indonesia dan Munawar turut mendaftarkan diri untuk program itu. DR. Dr. Muhammad Munawar, FESC, FACC, FSCAI saat bersama keluarga. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

Pendahuluan Citicoline merupakan kompleks molekul organik yang berfungsi sebagai bahan untuk sintesis fosfolipid membran sel. Citicoline atau juga dikenal dengan nama CDP-choline (cystidine 5 v diphosphocholine) ini, termasuk kelompok nukleotida dan merupakan salah satu komponen yang juga berperan penting dalam proses metabolisme tingkat seluler. Citicoline (CDP-choline) sendiri tersusun atas ribose, pyrophosphate, cytosine, dan choline. Citicoline dihasilkan melalui suatu proses enzimatik dari kombinasi choline chloride dan asam orotik. Di beberapa negara (seperti: Eropa dan Jepang) citicoline dimasukkan dalam kelompok obat, sedangkan di US dimasukkan dalam kelompok suplemen. Citicoline merupakan zat yang larut dalam air, pada pemberian peroral citicoline akan cepat diserap dengan bioavailabilitas 90%. Citicoline dari luar akan dihidrolisis di dinding saluran cerna, selanjutnya akan diserap dalam bentuk choline dan cytidine yang selanjutnya akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik dan digunakan untuk berbagai proses biosintesis. Citicoline yang beredar secara sistemik dalam bentuk cytidine dan choline ini mampu menembus sawar darah otak dan selanjutnya akan mengalami resintesis menjadi citicoline. Studi pemberian citicoline yang diberi label radioaktif menunjukkan bahwa pada pemberian oral diperkirakan hanya sekitar 0,5% citicoline yang masuk melewati sawar darah otak menuju cairan serebrospinal; jumlah ini akan meningkat menjadi sekitar 2% jika citicoline diberikan dalam bentuk injeksi intravena. Efek neuroproteksi citicoline terjadi melalui berbagai mekanisme, di antaranya; (i) menjaga ketersediaan cardiolipin (komponen membran internal mitokondria, serta sphingomyelin (bahan pembungkus akson). (ii) citicoline menjaga ketersediaan phosphatidylcholine, dan phosphatidylethanolamine. Bahkan ada literatur yang menyebutkan citicoline juga akan meningkatkan phosphatidylserine. Phosphatidylcholine, phosphatidylethanolamine dan phosphatidylserine merupakan 3 fosfolipid utama pembentuk membran sel termasuk membran sel saraf. (iii) citicoline merangsang sintesis antioksidan glutathion dan aktivitas glutathion reduktase sehingga akan mencegah pembentukan lemak teroksidasi, dan (iv) mengembalikan aktivitas enzim Na+/K+-ATPase. Berbagai mekanisme kerja di atas menunjukkan bahwa citicoline mempunyai potensi yang cukup luas, di antaranya untuk gangguan serebrovaskuler (stroke) dan membantu mencegah dan memperbaiki edema serebri akibat trauma kepala. Pemberian citicoline juga bermanfaat memperbaiki fungsi kognitif pada usia lanjut. Citicoline juga dipercaya membantu menghambat akumulasi plak beta amiloid, sehingga bermanfaat mencegah atau membantu memperbaiki gejala demensia. Manfaat lain citicoline di antaranya adalah sebagai protektor sel-sel retina pada pasien glaukoma, membantu memperbaiki neurotransmiter asetilkolin dan dopamine sehingga dapat digunakan sebagai terapi komplemen pasien Parkinson. Dari sisi keamanan, citicoline merupakan kompleks molekul organik yang mempunyai tolerabilitas baik. Studi pada hewan coba dengan dosis 1,5 gram/ kgbb. selama 6 bulan tidak mendapatkan kelainan fisiologik, biokimia, neurologi maupun morfologi hewan coba tersebut. Efek samping biasanya ringan, dan bersifat sementara yang akan membaik dengan penurunan

dosis atau penghentian pemberian. Brainact Odis Saat ini bentuk sediaan citicoline sangat bervariasi, mulai dari bentuk injeksi maupun sediaan peroral. Salah satu di antaranya adalah Brainact Odis yang mempunyai kandungan zat aktif citicoline 500 mg, dalam bentuk tablet dengan formulasi oral dispersible yang cepat larut di dalam rongga mulut. Keuntungan formulasi odis (termasuk Brainact Odis) di antaranya: 1. Praktis, karena tablet odis cukup diletakkan di atas lidah, selanjutnya akan larut berinteraksi dengan cairan saliva. 2. Tepat untuk pasien-pasien usia lanjut karena tidak perlu cairan untuk menelan, sehingga tidak merangsang muntah. 3. Rasa manis. 4. Karena cepat dipecah maka tentunya penyerapan akan lebih cepat. Kegunaan Brainact Odis ini seperti halnya Brainact bentuk sediaan lainnya, yaitu: membantu menangani penurunan kemampuan fungsi kognitif pada usia lanjut. Brainact Odis mengandung aspartam sehingga tidak dianjurkan diberikan pada pasien fenilketonuria. Karena data efektivitas dan keamanan pada wanita hamil, menyusui dan anakanak belum jelas maka pemberian pada populasi tersebut tidak dianjurkan. Penggunaan Brainact Odis cukup praktis. Secara umum dapat diberikan 2 kali sehari 1 tablet Brainact Odis, dengan cara diletakkan di atas lidah sampai tablet terlarut (sekitar 3 menit). Sebagai kesimpulan, citicoline merupakan neuroprotektor dengan mekanisme kerja yang bervariasi sehingga mempunyai potensi dan manfaat luas. Brainact Odis dengan kandungan zat aktif citicoline, merupakan salah satu bentuk inovasi yang praktis dan nyaman dalam penggunaannya. (KTW) Referensi: 1. Conant R., Schauss AG. Therapeutic Applications of Citicoline for Stroke and Cognitive Dysfunction in the Elderly: A Review of the Literature. Altern Med. Re v. 2004;9(1):17-31. 2. Adibhatla RM., Hatcher JF, Dempsey RJ. Citicoline: neuroprotective mechanisms in cerebral ischemia. J. Neurochemistry 2002, 80, 12-23. BRAINACT ODIS INFO PRODUK CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009456 Pendahuluan Citicoline merupakan kompleks molekul organik yang berfungsi sebagai bahan untuk sintesis fosfolipid membran sel. Citicoline atau juga dikenal dengan nama CDP-choline (cystidine 5 v diphosphocholine) ini, termasuk kelompok nukleotida dan merupakan salah satu komponen yang juga berperan penting dalam proses metabolisme tingkat seluler. Citicoline (CDP-choline) sendiri tersusun atas ribose, pyrophosphate, cytosine, dan choline. Citicoline dihasilkan melalui suatu proses enzimatik dari kombinasi choline chloride dan asam orotik. Di beberapa negara (seperti: Eropa dan Jepang) citicoline dimasukkan dalam kelompok obat, sedangkan di US dimasukkan dalam kelompok suplemen. Citicoline merupakan zat yang larut dalam air, pada pemberian peroral citicoline akan cepat diserap dengan bioavailabilitas 90%. Citicoline dari luar akan dihidrolisis di dinding saluran cerna, selanjutnya akan diserap dalam bentuk choline dan cytidine yang selanjutnya akan didistribusikan ke seluruh

jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik dan digunakan untuk berbagai proses biosintesis. Citicoline yang beredar secara sistemik dalam bentuk cytidine dan choline ini mampu menembus sawar darah otak dan selanjutnya akan mengalami resintesis menjadi citicoline. Studi pemberian citicoline yang diberi label radioaktif menunjukkan bahwa pada pemberian oral diperkirakan hanya sekitar 0,5% citicoline yang masuk melewati sawar darah otak menuju cairan serebrospinal; jumlah ini akan meningkat menjadi sekitar 2% jika citicoline diberikan dalam bentuk injeksi intravena. Efek neuroproteksi citicoline terjadi melalui berbagai mekanisme, di antaranya; (i) menjaga ketersediaan cardiolipin (komponen membran internal mitokondria, serta sphingomyelin (bahan pembungkus akson). (ii) citicoline menjaga ketersediaan phosphatidylcholine, dan phosphatidylethanolamine. Bahkan ada literatur yang menyebutkan citicoline juga akan meningkatkan phosphatidylserine. Phosphatidylcholine, phosphatidylethanolamine dan phosphatidylserine merupakan 3 fosfolipid utama pembentuk membran sel termasuk membran sel saraf. (iii) citicoline merangsang sintesis antioksidan glutathion dan aktivitas glutathion reduktase sehingga akan mencegah pembentukan lemak teroksidasi, dan (iv) mengembalikan aktivitas enzim Na+/K+-ATPase. Berbagai mekanisme kerja di atas menunjukkan bahwa citicoline mempunyai potensi yang cukup luas, di antaranya untuk gangguan serebrovaskuler (stroke) dan membantu mencegah dan memperbaiki edema serebri akibat trauma kepala. Pemberian citicoline juga bermanfaat memperbaiki fungsi kognitif pada usia lanjut. Citicoline juga dipercaya membantu menghambat akumulasi plak beta amiloid, sehingga bermanfaat mencegah atau membantu memperbaiki gejala demensia. Manfaat lain citicoline di antaranya adalah sebagai protektor sel-sel retina pada pasien glaukoma, membantu memperbaiki neurotransmiter asetilkolin dan dopamine sehingga dapat digunakan sebagai terapi komplemen pasien Parkinson. Dari sisi keamanan, citicoline merupakan kompleks molekul organik yang mempunyai tolerabilitas baik. Studi pada hewan coba dengan dosis 1,5 gram/ kgbb. selama 6 bulan tidak mendapatkan kelainan fisiologik, biokimia, neurologi maupun morfologi hewan coba tersebut. Efek samping biasanya ringan, dan bersifat sementara yang akan membaik dengan penurunan dosis atau penghentian pemberian. Brainact Odis Saat ini bentuk sediaan citicoline sangat bervariasi, mulai dari bentuk injeksi maupun sediaan peroral. Salah satu di antaranya adalah Brainact Odis yang mempunyai kandungan zat aktif citicoline 500 mg, dalam bentuk tablet dengan formulasi oral dispersible yang cepat larut di dalam rongga mulut. Keuntungan formulasi odis (termasuk Brainact Odis) di antaranya: 1. Praktis, karena tablet odis cukup diletakkan di atas lidah, selanjutnya akan larut berinteraksi dengan cairan saliva. 2. Tepat untuk pasien-pasien usia lanjut karena tidak perlu cairan untuk menelan, sehingga tidak merangsang muntah. 3. Rasa manis. 4. Karena cepat dipecah maka tentunya penyerapan akan lebih cepat. Kegunaan Brainact Odis ini seperti halnya Brainact bentuk sediaan lainnya, yaitu: membantu menangani penurunan kemampuan fungsi kognitif pada usia lanjut. Brainact Odis mengandung aspartam sehingga tidak dianjur-

kan diberikan pada pasien fenilketonuria. Karena data efektivitas dan keamanan pada wanita hamil, menyusui dan anakanak belum jelas maka pemberian pada populasi tersebut tidak dianjurkan. Penggunaan Brainact Odis cukup praktis. Secara umum dapat diberikan 2 kali sehari 1 tablet Brainact Odis, dengan cara diletakkan di atas lidah sampai tablet terlarut (sekitar 3 menit). Sebagai kesimpulan, citicoline merupakan neuroprotektor dengan mekanisme kerja yang bervariasi sehingga mempunyai potensi dan manfaat luas. Brainact Odis dengan kandungan zat aktif citicoline, merupakan salah satu bentuk inovasi yang praktis dan nyaman dalam penggunaannya. (KTW) Referensi: 1. Conant R., Schauss AG. Therapeutic Applications of Citicoline for Stroke and Cognitive Dysfunction in the Elderly: A Review of the Literature. Altern Med. Re v. 2004;9(1):17-31. 2. Adibhatla RM., Hatcher JF, Dempsey RJ. Citicoline: neuroprotective mechanisms in cerebral ischemia. J. Neurochemistry 2002, 80, 12-23. BRAINACT ODIS INFO PRODUK CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009456

SimposiumDiagnosis & Penatalaksanaan TerkiniRinosinusitis Kronis & Komorbid Padang, Sumatera Barat Bertempat di Hotel Pangeran Beach, Padang pada hari Sabtu, 18 Juli 2009 diselenggarakan simposium diagnosis & penatalaksanaan terkini Rinosinusitis kronis & komorbid oleh Persatuan Dokter Spesialis THT-Kepala Leher (PERHATI-KL) regional Sumatera Barat. Simposium ini menurut ketua panitia Dr. Yan Edward, SpTHT-KL diikuti oleh kurang lebih 250 orang peserta dokter spesialis THT maupun dokter umum. Acara ini resmi dibuka oleh DR.dr. Masrul, MSc, SpGK sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, Sumatera-Barat. Beberapa topik simposium yang cukup menarik : Rinitis alergi : Faktor risiko rinosinusitis kronis Dr. Effy Huriyati SpTHT-KL Rinitis alergi merupakan gejala kelainan hidung karena proses inflamasi yang dimediasi Ig E setelah mukosa hidung terpapar alergen. Prevalensi global mencapai 15-20 % dan International Study of Asthma & Allergies in Children (ISAAC) mencatat bahwa di sebagian negara kasus usia 6-7 tahun mencapai 0,8%-14,9% dan usia 13-14 tahun : 1,4-39,7% . Di Indonesia: pada usia 6-7 tahun 3,8% dan 5,3% pada usia 13-14 tahun. Prevalensi meningkat dipengaruhi faktor lingkungan (alergen, polutan), perubahan gaya hidup, pola makan serta infeksi. Patofisiologinya terdiri dari tahap sensitisasi dan provokasi (disebut juga reaksi alergi) Reaksi alergi bisa cepat serta lambat; reaksi cepat terjadi 1 jam setelah kontak alergen sedangkan yang lambat berlangsung 2-4 jam, puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan dan berlangsung 24-48 jam. Beberapa ko-morbiditas rinitis alergi : sinusitis, polip hidung dan otitis media. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis berupa gejala pada hidung seperti bersin berulang, rinorea, tersumbat dan gatal, mata berair, merah dan gatal. Pemeriksaan fisik : stigmata alergi dan hidung serta dengan rinoskopi anterior dan posterior. Pemeriksaan penunjang lainnya : skin test, PRIST, RAST, mucociliary transport time. Penatalaksanaan rinosinusitis alergi berupa: menghindari alergen, antibiotik serta pemakaian antihistamin generasi 2 dan 3 yang umumnya bebas efek antikolinergik. Dekongestan, mukolitik, mast cell stabilizer dan kortikosteroid juga dapat digunakan Batuk kronis pada sinusitis kronis Dr. Oea Khairsyaf SpP Batuk kronis merupakan keluhan yang banyak membuat pasien datang berobat. Beberapa keadaan yang menyebabkan batuk kronis pada dewasa adalah post nasal drip, bronchitis kronis, asma serta GERD. Post nasal drip merupakan faktor pencetus batuk kronis yang cukup sering ditemukan secara klinis sehari-hari. LAPORAN KHUSUS CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009458 SimposiumDiagnosis & Penatalaksanaan TerkiniRinosinusitis Kronis & Komorbid Padang, Sumatera Barat Bertempat di Hotel Pangeran Beach, Padang pada hari Sabtu, 18 Juli 2009 diselenggarakan simposium diagnosis & penatalaksanaan terkini Rinosinusitis kronis & komorbid oleh Persatuan Dokter Spesialis THT-Kepala Leher (PERHATI-KL) regional Sumatera Barat. Simposium ini menurut ketua panitia Dr. Yan Edward, SpTHT-KL diikuti oleh kurang lebih 250 orang peserta dokter spesialis THT maupun dokter umum. Acara ini resmi dibuka oleh DR.dr. Masrul,

MSc, SpGK sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, Sumatera-Barat. Beberapa topik simposium yang cukup menarik : Rinitis alergi : Faktor risiko rinosinusitis kronis Dr. Effy Huriyati SpTHT-KL Rinitis alergi merupakan gejala kelainan hidung karena proses inflamasi yang dimediasi Ig E setelah mukosa hidung terpapar alergen. Prevalensi global mencapai 15-20 % dan International Study of Asthma & Allergies in Children (ISAAC) mencatat bahwa di sebagian negara kasus usia 6-7 tahun mencapai 0,8%-14,9% dan usia 13-14 tahun : 1,4-39,7% . Di Indonesia: pada usia 6-7 tahun 3,8% dan 5,3% pada usia 13-14 tahun. Prevalensi meningkat dipengaruhi faktor lingkungan (alergen, polutan), perubahan gaya hidup, pola makan serta infeksi. Patofisiologinya terdiri dari tahap sensitisasi dan provokasi (disebut juga reaksi alergi) Reaksi alergi bisa cepat serta lambat; reaksi cepat terjadi 1 jam setelah kontak alergen sedangkan yang lambat berlangsung 2-4 jam, puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan dan berlangsung 24-48 jam. Beberapa ko-morbiditas rinitis alergi : sinusitis, polip hidung dan otitis media. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis berupa gejala pada hidung seperti bersin berulang, rinorea, tersumbat dan gatal, mata berair, merah dan gatal. Pemeriksaan fisik : stigmata alergi dan hidung serta dengan rinoskopi anterior dan posterior. Pemeriksaan penunjang lainnya : skin test, PRIST, RAST, mucociliary transport time. Penatalaksanaan rinosinusitis alergi berupa: menghindari alergen, antibiotik serta pemakaian antihistamin generasi 2 dan 3 yang umumnya bebas efek antikolinergik. Dekongestan, mukolitik, mast cell stabilizer dan kortikosteroid juga dapat digunakan Batuk kronis pada sinusitis kronis Dr. Oea Khairsyaf SpP Batuk kronis merupakan keluhan yang banyak membuat pasien datang berobat. Beberapa keadaan yang menyebabkan batuk kronis pada dewasa adalah post nasal drip, bronchitis kronis, asma serta GERD. Post nasal drip merupakan faktor pencetus batuk kronis yang cukup sering ditemukan secara klinis sehari-hari. LAPORAN KHUSUS CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009458

Patogenesisnya melibatkan kompleks rangkaian refleks yang bermula dari stimulasi reseptor iritan, yang sebagian besar terdapat di sistim pernafasan. Penatalaksanaan sinusitis kronis menggunakan dekongestan oral & topikal, steroid topikal/sistemik serta antibiotik. Tindakan operatif dapat dilakukan bila perlu. Terhadap batuk kronis, perlu dievaluasi riwayat penyakit dan obat untuk mencari penyebab; secara empirik menghindari zat iritan seperti rokok. Identifikasi kelainan paru dengan X-ray serta spirometri. Penggunaan antitusif kodein, noskapin serta dekstrometorfan untuk menekan batuk kurang bermanfaat, kecuali jika batuk sangat mengganggu; kelemahannya dapat meretensi sputum. Ekspektoran seperti ambroxol, gliseril guaiakolat digunakan untuk meningkatkan volume sputum; sedangkan mukolitik seperti N-acetyl cystein dan bromhexin untuk mengurangi viskositas sputum. Rinosinobronkitis pada anak Dr. Finny Fitry Yani SpA United Airway Disease (UAD) menunjukkan keterkaitan inflamasi saluran respiratori atas yang meliputi hidung, sinus, laring dan trakea dengan saluran respiratori bawah yaitu bronkus. Sinonim UAD mencakup rinosinusitis, kombinasi rinitis alergi dan asma atau rinosinobronkitis akibat proses alergi. UAD dikemukakan berdasarkan peningkatan bukti sistemik keterkaitan saluran respiratori atas dan bawah. Dampak negatif rinosinobronkitis akut pada anak berupa gang- guan emosi, aktivitas, ketidakhadiran di sekolah serta kompli- kasi serius seperti selulitis orbita. Penelitian selama 23 tahun menunjukkan pada anak rinitis alergi terdapat hiperresponsivitas bronkus dengan risiko 3 x lebih besar untuk berkembang menjadi asma. Rinosinusitis didiagnosis berdasarkan gambaran klinis dan radiologik, terdapat pada 30-50% anak dengan asma. Beberapa faktor risiko rinosinobronkitis : Riwayat atopi keluarga Serum IgE > 1000 IU / ml pada usia di bawah 6 tahun. Pada anak biasanya ditandai dengan keluhan nyeri wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, post nasal drip (batuk berdehem) serta demam. Manajemen berupa pemberian antihistamin oral generasi ke dua yang lebih efektif daripada generasi pertama. Dapat diberi Cetirizine 1 kali perhari dengan dosis 0,25 mg/kgbb/hari. Selain itu dekongestan intranasal lebih efektif dibandingkan oral. Mukolitik dapat diberikan terutama pada rinitis dengan sekret kental dan gejala batuk produktif atau bersamaan dengan serangan asma. Penggunaan kortikosteroid dianjurkan secara intranasal. Pemakaian Fexofed pada Rinitis Alergi dr. Irwan Widjaja M.Biomed Fexofed merupakan kombinasi antihistamin generasi ke tiga dengan dekongestan; berbentuk kaplet bilayer mengandung Fexofenadine HCl 60 mg immediate-release dan Pseudoephedrine HCl 120 mg extended-release. Fexofenadine HCl merupakan metabolit terfenadine yang relatif tidak kardiotoksik / memperpanjang QT interval dibandingkan terfenadine apabila diberikan bersamaan dengan eritromisin, ketokonazol. Pseudoephedrin HCl merupakan simpatomimetik aktif, berfungsi dekongestan dan efektif meredakan sumbatan hidung akibat rinitis. Bioavailabilitas fexofenadine dan pseudoephedrine tablet lepas lambat sama dengan pemberian terpisah masing-masing komponen.

Fexofed efektif meredakan gejala rinitis terutama untuk mengatasi hidung tersumbat, dengan efek samping minimal bila digunakan pada dosis tepat. Berdasarkan beberapa studi klinis, Fexofenadine efektif meredakan reaksi alergi dan dapat digunakan untuk jangka waktu relatif panjang. (IWA) CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 459 LAPORAN KHUSUS Patogenesisnya melibatkan kompleks rangkaian refleks yang bermula dari stimulasi reseptor iritan, yang sebagian besar terdapat di sistim pernafasan. Penatalaksanaan sinusitis kronis menggunakan dekongestan oral & topikal, steroid topikal/sistemik serta antibiotik. Tindakan operatif dapat dilakukan bila perlu. Terhadap batuk kronis, perlu dievaluasi riwayat penyakit dan obat untuk mencari penyebab; secara empirik menghindari zat iritan seperti rokok. Identifikasi kelainan paru dengan X-ray serta spirometri. Penggunaan antitusif kodein, noskapin serta dekstrometorfan untuk menekan batuk kurang bermanfaat, kecuali jika batuk sangat mengganggu; kelemahannya dapat meretensi sputum. Ekspektoran seperti ambroxol, gliseril guaiakolat digunakan untuk meningkatkan volume sputum; sedangkan mukolitik seperti N-acetyl cystein dan bromhexin untuk mengurangi viskositas sputum. Rinosinobronkitis pada anak Dr. Finny Fitry Yani SpA United Airway Disease (UAD) menunjukkan keterkaitan inflamasi saluran respiratori atas yang meliputi hidung, sinus, laring dan trakea dengan saluran respiratori bawah yaitu bronkus. Sinonim UAD mencakup rinosinusitis, kombinasi rinitis alergi dan asma atau rinosinobronkitis akibat proses alergi. UAD dikemukakan berdasarkan peningkatan bukti sistemik keterkaitan saluran respiratori atas dan bawah. Dampak negatif rinosinobronkitis akut pada anak berupa gang- guan emosi, aktivitas, ketidakhadiran di sekolah serta kompli- kasi serius seperti selulitis orbita. Penelitian selama 23 tahun menunjukkan pada anak rinitis alergi terdapat hiperresponsivitas bronkus dengan risiko 3 x lebih besar untuk berkembang menjadi asma. Rinosinusitis didiagnosis berdasarkan gambaran klinis dan radiologik, terdapat pada 30-50% anak dengan asma. Beberapa faktor risiko rinosinobronkitis : Riwayat atopi keluarga Serum IgE > 1000 IU / ml pada usia di bawah 6 tahun. Pada anak biasanya ditandai dengan keluhan nyeri wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, post nasal drip (batuk berdehem) serta demam. Manajemen berupa pemberian antihistamin oral generasi ke dua yang lebih efektif daripada generasi pertama. Dapat diberi Cetirizine 1 kali perhari dengan dosis 0,25 mg/kgbb/hari. Selain itu dekongestan intranasal lebih efektif dibandingkan oral. Mukolitik dapat diberikan terutama pada rinitis dengan sekret kental dan gejala batuk produktif atau bersamaan dengan serangan asma. Penggunaan kortikosteroid dianjurkan secara intranasal. Pemakaian Fexofed pada Rinitis Alergi dr. Irwan Widjaja M.Biomed Fexofed merupakan kombinasi antihistamin generasi ke tiga dengan dekongestan; berbentuk kaplet bilayer mengandung Fexofenadine HCl 60 mg immediate-release dan Pseudoephedrine HCl 120 mg extended-release. Fexofenadine HCl merupakan metabolit terfenadine yang relatif tidak kardiotoksik / memperpanjang QT interval dibandingkan

terfenadine apabila diberikan bersamaan dengan eritromisin, ketokonazol. Pseudoephedrin HCl merupakan simpatomimetik aktif, berfungsi dekongestan dan efektif meredakan sumbatan hidung akibat rinitis. Bioavailabilitas fexofenadine dan pseudoephedrine tablet lepas lambat sama dengan pemberian terpisah masing-masing komponen. Fexofed efektif meredakan gejala rinitis terutama untuk mengatasi hidung tersumbat, dengan efek samping minimal bila digunakan pada dosis tepat. Berdasarkan beberapa studi klinis, Fexofenadine efektif meredakan reaksi alergi dan dapat digunakan untuk jangka waktu relatif panjang. (IWA) CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 459 LAPORAN KHUSUS

Pertemuan ini merupakan pertemuan duatahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, yang kali ini dilangsungkan di hotel JW Marriott, Medan pada 24-26 Juli 2009. Pertemuan ini didahului oleh sejumlah workshop mengenai neurointervensi, advanced neurological life support (ANLS), epilepsi dan neurosonologi pada 22-23 Juli 2009 di tempat yang sama. Pada sidang plenary lecture di awal acara, Prof.dr.Jusuf Misbach SpS(K), FAAN kembali menguraikan langkah penanganan stroke pada fase akut yang tetap mengandalkan diagnosis sedini mungkin dan menentukan indikasi/kontraindikasi penggunaan rtPA yang diakui efektif jika diberikan pada 3-6 jam pertama; selang waktu yang relatif singkat ini masih merupakan kendala utama, terutama di Indonesia. Masalah stroke masih tetap merupakan topik bahasan penting, baik jenis iskemik, perdarahan maupun perdarahan subarakhnoid ; belasan pakar mengupasnya dari berbagai aspek, baik dari segi faktor risiko hipertensi, diabetes melitus, lipid, maupun dari segi neuroimunologi. Topik lain yang mendapat perhatian ialah masalah afasia v suatu gangguan fungsi luhur yang mengganggu kualitas hidup penderitanya. Topik ini dibahas dalam lokakarya khusus mengenai teknik diagnostik, screening dan prinsip penatalaksanaannya oleh Prof. dr. Sidiarto Kusumoputro SpS(K) dan dr. Lily Sidiarto SpS(K) - para pakar senior di bidang fungsi luhur, ditambah dengan simposium neurobehavior yang mengetengahkan aspek klinis dan tes neuropsikologi pada demensia. Pemeriksaan neurobehavior yang lengkap terdiri dari pemeriksaan atas atensi, memori, bahasa, kemampuan visuospasial, fungsi eksekutif ditambah dengan pemeriksaan fungsi non kognitif meliputi gejala neuropsikiatri seperti depresi dan cemas. Masih terkait dengan masalah ini, Prof. Sidiarto memberikan kuliah menarik tentang brain plasticity v kemampuan otak untuk mengadaptasi perubahan melalui pembentukan jaras/ sirkuit baru. Faktor genetik epilepsi merupakan masalah pelik yang dibahas oleh dr. Endang Kustiowati SpS(K) ; beberapa studi anak kembar menunjukkan rasio epilepsi sebesar 50-60% pada kembar monozigot dan 15% pada kembar dizigot; rasio ini lebih tinggi untuk jenis epilepsi umum (65-82% pada kembar monozigot dan 12-27% pada kembar dizigot) dibandingkan dengan epilepsi parsial (9-36% pada kembar monozigot dan 5-10% pada kembar dizigot). Juga, sampai 94% kembar monozigot dan sampai 71% kembar dizigot mengalami sindrom epilepsi yang sama. Peranan gen hanya merupakan salah satu faktor saja, mengingat epilepsi merupakan gejala klinis yang penyebabnya multifaktorial, termasuk trauma dan penyakit susunan saraf pusat lain. Juga dibahas tentang pentingnya tindakan agresif pada status epileptikus dan beberapa masalah lain epilepsi anak, autisme dan sindrom Rett. Penyakit Parkinson juga mendapat perhatian; diawali dengan tinjauan neuroanatomi v neruotransmiter oleh Prof.Dr.dr. Aboe Amar Joesoef SpS(K), strategi pengobatan dan perkembangan mutakhir, termasuk penggunaan obat: levodopa, pramipexole dan kombinasi entacapone/levodopa untuk mengurangi efek The 7th Biennial Meeting PERDOSSI Medan, 24 - 26 Juli 2009 LAPORAN KHUSUS CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009460 Pertemuan ini merupakan pertemuan duatahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, yang kali ini dilangsungkan di

hotel JW Marriott, Medan pada 24-26 Juli 2009. Pertemuan ini didahului oleh sejumlah workshop mengenai neurointervensi, advanced neurological life support (ANLS), epilepsi dan neurosonologi pada 22-23 Juli 2009 di tempat yang sama. Pada sidang plenary lecture di awal acara, Prof.dr.Jusuf Misbach SpS(K), FAAN kembali menguraikan langkah penanganan stroke pada fase akut yang tetap mengandalkan diagnosis sedini mungkin dan menentukan indikasi/kontraindikasi penggunaan rtPA yang diakui efektif jika diberikan pada 3-6 jam pertama; selang waktu yang relatif singkat ini masih merupakan kendala utama, terutama di Indonesia. Masalah stroke masih tetap merupakan topik bahasan penting, baik jenis iskemik, perdarahan maupun perdarahan subarakhnoid ; belasan pakar mengupasnya dari berbagai aspek, baik dari segi faktor risiko hipertensi, diabetes melitus, lipid, maupun dari segi neuroimunologi. Topik lain yang mendapat perhatian ialah masalah afasia v suatu gangguan fungsi luhur yang mengganggu kualitas hidup penderitanya. Topik ini dibahas dalam lokakarya khusus mengenai teknik diagnostik, screening dan prinsip penatalaksanaannya oleh Prof. dr. Sidiarto Kusumoputro SpS(K) dan dr. Lily Sidiarto SpS(K) - para pakar senior di bidang fungsi luhur, ditambah dengan simposium neurobehavior yang mengetengahkan aspek klinis dan tes neuropsikologi pada demensia. Pemeriksaan neurobehavior yang lengkap terdiri dari pemeriksaan atas atensi, memori, bahasa, kemampuan visuospasial, fungsi eksekutif ditambah dengan pemeriksaan fungsi non kognitif meliputi gejala neuropsikiatri seperti depresi dan cemas. Masih terkait dengan masalah ini, Prof. Sidiarto memberikan kuliah menarik tentang brain plasticity v kemampuan otak untuk mengadaptasi perubahan melalui pembentukan jaras/ sirkuit baru. Faktor genetik epilepsi merupakan masalah pelik yang dibahas oleh dr. Endang Kustiowati SpS(K) ; beberapa studi anak kembar menunjukkan rasio epilepsi sebesar 50-60% pada kembar monozigot dan 15% pada kembar dizigot; rasio ini lebih tinggi untuk jenis epilepsi umum (65-82% pada kembar monozigot dan 12-27% pada kembar dizigot) dibandingkan dengan epilepsi parsial (9-36% pada kembar monozigot dan 5-10% pada kembar dizigot). Juga, sampai 94% kembar monozigot dan sampai 71% kembar dizigot mengalami sindrom epilepsi yang sama. Peranan gen hanya merupakan salah satu faktor saja, mengingat epilepsi merupakan gejala klinis yang penyebabnya multifaktorial, termasuk trauma dan penyakit susunan saraf pusat lain. Juga dibahas tentang pentingnya tindakan agresif pada status epileptikus dan beberapa masalah lain epilepsi anak, autisme dan sindrom Rett. Penyakit Parkinson juga mendapat perhatian; diawali dengan tinjauan neuroanatomi v neruotransmiter oleh Prof.Dr.dr. Aboe Amar Joesoef SpS(K), strategi pengobatan dan perkembangan mutakhir, termasuk penggunaan obat: levodopa, pramipexole dan kombinasi entacapone/levodopa untuk mengurangi efek The 7th Biennial Meeting PERDOSSI Medan, 24 - 26 Juli 2009 LAPORAN KHUSUS CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009460

samping pada penggunaan obat tunggal. Pada session terpisah, juga dibicarakan mengenai kemungkinan terapi stemcell untuk penyakit ini. Bahasan yang juga menarik ialah mengenai rasa gatal v dikatakan bahwa mekansime rasa gatal mempunyai banyak persamaan dengan rasa nyeri, yaitu mempunyai pola sensitisasi sentral dan perifer; dalam keadaan normal keduaya berinteraksi antagonis; tetapi pada keadaan patologis telah terjadi sensitisasi perifer maupun sentral, dan kedua sensasi tersebut saling berinteraksi; dalam hal ini obat-obat seperti gabapentin dan klonidin yang bekerja sentral dapat digunakan baik untuk mengatasi rasa nyeri maupun gatal kronik. Masalah nyeri, nyeri kepala, gangguan tidur dan vertigo masingmasing dibahas dalam session khusus. Juga mengenai sklerosis multipel, penyakit yang semula dianggap jarang dijumpai di Asia, khususnya di Indonesia. Pada diskusi panel mengenai kematian berlangsung tukar pendapat menarik mengenai aspek medis dan hukumnya; di sini ditekankan peranan penting para spesialis saraf dalam hal penentuan kematian seseorang. Pedoman resminya dalam waktu singkat akan dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam hal kriteria dan siapa yang berkompeten. Pertemuan ini juga dilengkapi dengan presentasi makalah bebas dan presentasi poster sebagai ajang para peneliti muda untuk menampilkan hasil penelitiannya, sekaligus berkompetisi untuk menjadi yang terbaik. (BRW) LAPORAN KHUSUS samping pada penggunaan obat tunggal. Pada session terpisah, juga dibicarakan mengenai kemungkinan terapi stemcell untuk penyakit ini. Bahasan yang juga menarik ialah mengenai rasa gatal v dikatakan bahwa mekansime rasa gatal mempunyai banyak persamaan dengan rasa nyeri, yaitu mempunyai pola sensitisasi sentral dan perifer; dalam keadaan normal keduaya berinteraksi antagonis; tetapi pada keadaan patologis telah terjadi sensitisasi perifer maupun sentral, dan kedua sensasi tersebut saling berinteraksi; dalam hal ini obat-obat seperti gabapentin dan klonidin yang bekerja sentral dapat digunakan baik untuk mengatasi rasa nyeri maupun gatal kronik. Masalah nyeri, nyeri kepala, gangguan tidur dan vertigo masingmasing dibahas dalam session khusus. Juga mengenai sklerosis multipel, penyakit yang semula dianggap jarang dijumpai di Asia, khususnya di Indonesia. Pada diskusi panel mengenai kematian berlangsung tukar pendapat menarik mengenai aspek medis dan hukumnya; di sini ditekankan peranan penting para spesialis saraf dalam hal penentuan kematian seseorang. Pedoman resminya dalam waktu singkat akan dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam hal kriteria dan siapa yang berkompeten. Pertemuan ini juga dilengkapi dengan presentasi makalah bebas dan presentasi poster sebagai ajang para peneliti muda untuk menampilkan hasil penelitiannya, sekaligus berkompetisi untuk menjadi yang terbaik. (BRW) LAPORAN KHUSUS CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

KEGIATAN ILMIAH KEGIATAN ILMIAH South East Asian Countries Meeting (SEAC) on Active Ageing, Jakarta 2 Juni 2009 Jumlah penduduk usia lanjut se Asia Pasifik meningkat dengan pesat. Diperkirakan dari 410 juta penduduk pada tahun 2007 akan menjadi 733juta penduduk di tahun 2025 dan pada tahun 2050 sudah menjadi 1,3 milyar pada tahun 2050. Tiga prioritas yang dikeluarkan oleh The Madrid International Plan of Action on Aging (MIPAA) dan diadopsi oleh Second World Assembly on Ageing in 2002, menurut Ibu Inten Soeweno, Ketua II Komnas Lansia adalah (1) lansia dan pembangunan, (2) peningkatan kesehatan dan kesejahteraan lansia dan (3) memastikan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan panduan dan program. Pemaparan ini dikemukakan mantan Mensos RI ini pada acara yang berjudul "South East Asian Countries Meeting on Active Ageing" yang diselenggarakan di Jakarta, 2 Juni 2009. Strategi Menghadapi Krisis Manajemen di Internet, Jakarta, 29 Juli 2009 Sebagai seorang Online Strategist, Nukman Luthfie dalam blog-nya pernah menulis bagaimana seharusnya RS menanggulangi krisis online yang menimpanya. Diantara banyaknya statement negatif yang ditujukan ke RS tersebut, ternyata ada beberapa pihak yang menanggapi secara positif atau memberi saran kepada pihak RS tersebut. Salah satunya adalah pakar Online Strategis, Nukman Luthfie. Hal ini terungkap dalam Seminar yang bertajuk "Strategi Menghadapi Krisis Manajemen di Internet" yang diselenggarakan Rabu 29 Juli 2009 di Jakarta. Menurut Nukman, area dunia maya/internet saat ini masih gamang dihadapi banyak perusahaan di Indonesia. Bahkan ada website perusahaan yang benarbenar menjadi situs (purbakala) karena sangat jarang di update. Padahal telah ada kasus krisis yang menimpa dunia nyata, berasal dari dunia maya. Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia 2009, Jakarta, 5-9 Agustus 2009 Pada tanggal 5-9 Agustus 2009 di kawasan Kuningan Jakarta, tepatnya di Hotel Grand Melia, telah berlangsung acara KPPIA (Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia) 2009. Acara yang diselenggarakan setiap 5 tahun oleh Komisi Program Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia (IDSAI) ini mengambil tema "Quality of Care and Patient Safety" yang mempunyai makna meningkatkan keselamatan pasien dengan memperbaiki kualitas pelayanan melalui program pendidikan bekelanjutan. KPPIA yang diikuti oleh sekitar 700 dokter yang sebagian besar dokter spesialis dan residen anestesia kali ini terdiri atas CPD Course yang dilaksanakan pada tanggal 5-6 Agustus 2009 dengan 2 pilihan judul kursus yaitu Respiratory and Thorax serta Mo ther and Child, Adverse Reaction, kemudian simposium pada tanggal 7-8 Agustus 2009 dan workshop pada tanggal 9 Agu stus 2009 dengan 3 pilihan workshop yaitu Pain Management in Labour, Pediatric Emergencies dan Mechanical V entilation, Supported by AVF.

Laporan lengkap dari pelbagai simposium di atas (dalam Bahasa Indonesia/English) , bisa diakses pada http://www.kalbe.co.id/seminar. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 The seminar on application of drug development and current issue of safety, Jakarta, 22 Juli 2009 Seminar yang membahas mengenai "Application of drug development and current issue of safety", dilangsungkan di Hotel Millenium Sirih Jakarta pada tanggal 22 Juli 2009. Seminar ini dihadiri oleh hampir 100 peserta dari perusahaan farmasi, farmasi professional, dokter, pelajar maupun pengajar dari fakultas farmasi dan anggota regulasi Indonesia diselenggarakan oleh badan ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia).

GERAIGERAI Kalbe Farma yang diwakili oleh Fatigon Hydro turut berpartisipasi pada acara Fes tival yang diselenggarakan oleh IBM, pada tanggal 19 Agustus 2009 di Jakarta. Peresmian Pengurus Perhimpunan Informatika Kesehatan Indonesia (PIKIN) tahun 200 9 - 2012 tanggal 21 Agustus 2009 di Auditorium RS Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

GERAIGathering dan Seminar Kanker untuk awam yang diselenggarakan oleh Marketing Kalbe. Acara berlangsung pada hari Sabtu, 8 Agustus 2009 di Sate Khas Senayan Restaurant, Jakarta Pusat dengan tema How To Live With Cancer. Kalbe turut serta dalam acara Kongres Nasional VIII Perkumpulan Endokrinologi In donesia di Hotel Discovery Kartika Plaza, Kuta, Bali tanggal 29 Juli - 1 Agustus 2009. Seperti terlihat pada foto T im Medical Support dan Marketing di depan stan yang menampilkan produk Pionix dan Tostrex. GERAIGathering dan Seminar Kanker untuk awam yang diselenggarakan oleh Marketing Kalbe. Acara berlangsung pada hari Sabtu, 8 Agustus 2009 di Sate Khas Senayan Restaurant, Jakarta Pusat dengan tema How To Live With Cancer. Kalbe turut serta dalam acara Kongres Nasional VIII Perkumpulan Endokrinologi In donesia di Hotel Discovery Kartika Plaza, Kuta, Bali tanggal 29 Juli - 1 Agustus 2009. Seperti terlihat pada foto T im Medical Support dan Marketing di depan stan yang menampilkan produk Pionix dan Tostrex. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009 ANTAR SEJAWAT Sebagai sarana komunikasi antar pembaca Majalah CDK, Redaksi membuka halaman "An tar Sejawat". Kirimkan saran, tanggapan, kritik dan keluhan atas suatu masalah kepada redaksi majalah CDK. Red aksi CDK akan memilah kiriman sejawat untuk dimuat di halaman ini Sejawat dapat mengirimkan materi melalui : 1. SMS nomor 085-580-KALBE (52523) dengan awalan "[CDK]" tanpa tanda kutip 2. Melalui email address: cdk.redaksi@yahoo.co.id 3. Bergabung di Facebook CDK : http://www.facebook.com/Majalah.CDK 4. Kirim surat via pos ke alamat redaksi: Majalah CDK : Jl. Letjen. Suprapto Kav . 4 , Cempaka Putih - Jakarta 10510 Yth. Redaksi, Sebenarnya ini request, kebetulan klinik saya menangani masalah andrologi, jadi mohon klo bisa dibantu mengenai artikel/jurnal2 terbaru tentang andrologi. Dr. Faizal Arief Nurokhman BP Keluarga Sejahtera Plaza Cakra Kembang Lantai 2, Jl. Kaliurang KM. 5,5 No. 44 , Depok v Sleman Terimakasih atas perhatian sejawat terhadap majalah kami. Tulisan mengenai andro logi sebagian dapat sejawat baca di edisi 170 (vol.36 no.4) yang membicarakan beberapa hal mengenai infertil itas. Kami tetap mengharapkan sumbangan artikel yang dapat menyegarkan kembali pengetahuan sidang pembaca kami ; barangkali sejawat dapat menuliskan hal-hal baru atau pengalaman di klinik Keluarga Sejahtera ? Bagaimana cara mendownload isi majalah CDK secara utuh ? Nala Qodhi Mubarok -Unissula, Semarang, Jawa Tengah. E-mail : nalaqodhimubarok@y ahoo.com Kami sampaikan bahwa majalah CDK online dapat didownload dengan 2 cara, yaitu pe r bagian atau pada setiap judul artikel dan secara keseluruhan. Men-download secara utuh dapat dilakukan d engan cara akses http://www.kalbe.co.id/cdk. Setelah masuk halaman CDK, pilih salah satu tema yan g dicari dan klik download complete file pada pojok kanan bawah. Please issue more articles in English. Johan Intan -Klinik Intan medika, Jalan Juanda No. 99, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau It depends on articles submitted to this journal; as you may already observed, s ome articles are in english. We only provide english summary for selected articles. Waiting for your next articles Kalo saya mo ngirim laporan kasus bisa nda? trus gimana caranya? tengkyu -Eva Ly dia Munthe Gimana cara masukkan artikel ke CDK..?? haruskah sebuah study penelitian/ tanpa penelitian..?? thx -Sofyan Hartono Kirim ke: cdk.redaksi@yahoo.co.id. Pedoman penulisan bisa dibaca di Petunjuk unt uk Penulis di halaman awal.CDK. Untuk mendapat SKP IDI atau nilai cum, harus dalam bentuk penelitian a tau tinjauan pustaka. Aku tu punya cdk dari download.. tapi yang sering aku temuin yang edisi lama2... gimana biar bisa update yang baru? -Ustavian Hasanah Terus ikuti update melalui rubrik Berita Terkini atau link ke edisi CDK terbaru untuk dibaca online atau diunduh

(download). RedaksiRedaksiANTAR SEJAWAT Sebagai sarana komunikasi antar pembaca Majalah CDK, Redaksi membuka halaman "An tar Sejawat". Kirimkan saran, tanggapan, kritik dan keluhan atas suatu masalah kepada redaksi majalah CDK. Red aksi CDK akan memilah kiriman sejawat untuk dimuat di halaman ini Sejawat dapat mengirimkan materi melalui : 1. SMS nomor 085-580-KALBE (52523) dengan awalan "[CDK]" tanpa tanda kutip 2. Melalui email address: cdk.redaksi@yahoo.co.id 3. Bergabung di Facebook CDK : http://www.facebook.com/Majalah.CDK 4. Kirim surat via pos ke alamat redaksi: Majalah CDK : Jl. Letjen. Suprapto Kav . 4 , Cempaka Putih - Jakarta 10510 Yth. Redaksi, Sebenarnya ini request, kebetulan klinik saya menangani masalah andrologi, jadi mohon klo bisa dibantu mengenai artikel/jurnal2 terbaru tentang andrologi. Dr. Faizal Arief Nurokhman BP Keluarga Sejahtera Plaza Cakra Kembang Lantai 2, Jl. Kaliurang KM. 5,5 No. 44 , Depok v Sleman Terimakasih atas perhatian sejawat terhadap majalah kami. Tulisan mengenai andro logi sebagian dapat sejawat baca di edisi 170 (vol.36 no.4) yang membicarakan beberapa hal mengenai infertil itas. Kami tetap mengharapkan sumbangan artikel yang dapat menyegarkan kembali pengetahuan sidang pembaca kami ; barangkali sejawat dapat menuliskan hal-hal baru atau pengalaman di klinik Keluarga Sejahtera ? Bagaimana cara mendownload isi majalah CDK secara utuh ? Nala Qodhi Mubarok -Unissula, Semarang, Jawa Tengah. E-mail : nalaqodhimubarok@y ahoo.com Kami sampaikan bahwa majalah CDK online dapat didownload dengan 2 cara, yaitu pe r bagian atau pada setiap judul artikel dan secara keseluruhan. Men-download secara utuh dapat dilakukan d engan cara akses http://www.kalbe.co.id/cdk. Setelah masuk halaman CDK, pilih salah satu tema yan g dicari dan klik download complete file pada pojok kanan bawah. Please issue more articles in English. Johan Intan -Klinik Intan medika, Jalan Juanda No. 99, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau It depends on articles submitted to this journal; as you may already observed, s ome articles are in english. We only provide english summary for selected articles. Waiting for your next articles Kalo saya mo ngirim laporan kasus bisa nda? trus gimana caranya? tengkyu -Eva Ly dia Munthe Gimana cara masukkan artikel ke CDK..?? haruskah sebuah study penelitian/ tanpa penelitian..?? thx -Sofyan Hartono Kirim ke: cdk.redaksi@yahoo.co.id. Pedoman penulisan bisa dibaca di Petunjuk unt uk Penulis di halaman awal.CDK. Untuk mendapat SKP IDI atau nilai cum, harus dalam bentuk penelitian a tau tinjauan pustaka. Aku tu punya cdk dari download.. tapi yang sering aku temuin yang edisi lama2... gimana biar bisa update yang baru? -Ustavian Hasanah Terus ikuti update melalui rubrik Berita Terkini atau link ke edisi CDK terbaru untuk dibaca online atau diunduh (download).

RedaksiRedaksi 467

AGENDA AGENDA KalenderacaraSeptember - Oktober2009 Kegawat daruratan Otak dan Jantung Tanggal : 09 Oct 2009 - 11 Oct 2009 Tempat : Hotel Patra Jasa, Semarang, Indonesia Kalangan : Neurolog,Cardiolog,Internist,GP Sekretariat : Bagian SMF Neurologi FK UNDIP/RS Dr.Kariadi, Semarang Email : neuroundip@yahoo.com Phone : 024-8443239 Fax : 024-8443239 Contact Person : Ibu Yuli SEPTEMBER 50th Annual Meeting of the European Society for PAEDIATRIC The 13th Congress of the European Federation of Neurological Societies (EFNS 2009) Tanggal : 12 Sep 2009 - 15 Sep 2009 Tempat : Fortezza da Basso Firenze Fiera S.p.A. Florence, Italy Kalangan : Neurologist, specialist, resident Sekretariat : 13th EFNS Congress 1-3, rue de Chantepoulet PO Box 1726 CH-1211 Geneva 1 Switzerland Email : efns09@kenes.com Phone : +41 22 9080488 Fax : +41 22 7322850 URL : http://www2.kenes.com/efns/ RESEARCH 2009 Tanggal : 09 Oct 2009 - 12 Oct 2009 Tempat : CCH - Congress Center Hamburg, Hamburg, Germany Kalangan : Pediatrician Sekretariat : Organizing and Scientific Secretariat c/o Kenes International 1-3, rue de Chantepoulet PO Box 1726 CH-1211 Geneva 1, Switzerland Email : espr09@kenes.com Phone : +41 22 908 0488 Fax : +41 22 732 2850 URL : www.kenes.com/paediatric-research | www.espr.info OKTOBER 50th Annual Meeting of the European Society for PAEDIATRIC RESEARCH 2009 Tanggal : 09 Oct 2009 - 12 Oct 2009 Tempat : CCH - Congress Center Hamburg, Hamburg, Germany Kalangan : Pediatrician Sekretariat : Organizing and Scientific Secretariat c/o Kenes International 1-3, rue de Chantepoulet PO Box 1726 CH-1211 Geneva 1, Switzerland Email : espr09@kenes.com Phone : +41 22 908 0488 Fax : +41 22 732 2850 URL : www.kenes.com/paediatric-research | www.espr.info 19th International Congress of Nutrition (ICN 2009) Tanggal : 04 Oct 2009 - 09 Oct 2009 Tempat : BITEC, Bangkok, Thailand Kalangan : Pediatrician, Specialist, resident Sekretariat : AsiaCongress Events Co., Ltd. 10 Soi Lasalle 56, Sukhumvit Road

Bangna, Bangkok 10260 Thailand Email : icn2009(@)asiacongress.com Phone : +66 2 748 7881 Fax : +66 2 748 7880 URL : www.icn2009.com European Society of Gynaecological Oncology (ESGO 2009)XIX FIGO World Congress o f Gynecology & Obstetrics 2009 Tanggal : 04 Oct 2009 - 09 Oct 2009 Tanggal : 11 Oct 2009 - 15 Oct 2009 Tempat : Cape Town International Convention Centre, Cape Town, South Tempat : Sava Congress Center, Belgrade, Serbia Africa Kalangan : obstretric gynecolog, resident Kalangan : Spesilasis Obsgin Sekretariat : 1-3 rue de Chantepoulet PO Box 1726 CH-1211 Geneva Sekretariat : FIGO Secretariat FIGO House Suite 3 - Waterloo Court 10 Theed Switzerland Street London SE1 8ST United Kingdom Email : esgo16@esgo.org Email : figo@figo.org Phone : +41 22 9080488 Phone : +44 20 7928 1166 Fax : +41 22 7322850 Fax : +44 20 7928 7099 URL : www.esgo.org/gyn_oncology URL : http://www.figo2009.org. CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

RPPIK RPPIK Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah sejawat menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? Jawablah B jika benar, S jika salah Botulinum Toksin A untuk Terapi Spastisitas Otot pada Sindrom Upper Motor Neuron V. Lorensia, Vita Kurniati Lubis Sindrom Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan oleh kerusakan jaras kortikospinal. Sindrom ini sering dijumpai pada penederita pasca stroke. Spastisitas disebabkan oleh kekakuan sendi yang berlebihan. Kontraktur dapat disebabkan oleh atrofi otot. Botulinum toksin terutama bermanfaat untuk spastisitas fokal. Baklofen terutama bermanfaat untuk terapi perifer. Prosedur bedah paling tepat untuk spastisitas generalisata. Botulinum toksin bekerja mengambat transmisi impuls saraf sepanjang akson. Efek terapi botulinum toksin bisa bertahan sampai 3-6 bulan. Saat ini yang digunakan dalam klinik ialah botulinum toksin tipe A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. DeteksiKlinis Sklerosis Multipel Sklerosis multipel lebih sering dijumpai di kawasan Eropa. Sklerosis multipel diduga disebabkan proses autoimun. Kerusakan pada sistim saraf terutama mengenai struktur inti sel. Gejala awal sklerosis multipel tersering berupa gangguan sensibilitas (rasa baal). Kelemahan anggota gerak pada sklerosis multipel bersifat simetris Mudah lelah (fatigue) merupakan gejala yang sering dijumpai. Sklerosis multipel sebagian besar bersifat progresif. Diagnosis pasti sklerosis multipel melalui pemeriksaan elektrodiagnostik. Kelainan patologi susunan saraf pada sklerosis multipel ialah berupa infark.

Pada sklerosis multipel bisa dijumpai gangguan psikiatrik. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Khrisma Wijayanti JAWABAN : 1.B 2.B 3.S 4.S 5.S 6. B 7.S 8.S 9.S 10.B JAWABAN : 1.B 2.B 3.S 4.S 5. B 6.S 7.S 8.S 9.B 10.B CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

AGENDA AGENDA The World Congress of Neurology (WCN) 2009 7th Euro Fed Lipid Congress 2009 : "Lipids, Fats and Oils: From Knowledge to Application" Tanggal : 18 Oct 2009 - 21 Oct 2009 Tempat : Graz Convention Center, Graz, Australia Kalangan : endodrinologist Sekretariat : Euro Fed Lipid e.V. P.O. Box 90 04 40, D-60444 Frankfurt/Main, Germany Email : amoneit@eurofedlipid.org Phone : 49 69 7917 345 Fax : +49 69 7917 564 IFPA-Asia Advanced Health & Fitness Certification Course 2009 Tanggal : 17 Oct 2009 - 21 Oct 2009 Tempat : Victus Life Longevity Institute, Bali, Indonesia Kalangan : dokter olahraga, praktisi anti aging Sekretariat : Victus Life Longevity Institute Kawasan BTDC Lot C-3, Nusa Dua Resort Bali Email : indonesia@ifpa-fitness.com Phone : +62 361 773 565; +62 361 773 570 ATAU +62 21 251 4750; +62 21 251 4751 Fax : +65 6494 5833 (india); +91 80 66885888 (Australia) Contact Person : Mel Tjandra URL : http://ifpa-fitness.com; http://www.asiaantiaging.net/ifpa ABAARM Clinical Training Course (ACTC) 2009 Asia Anti Aging 2009 Kongres PERSI IX & Hospital Expo XXII - 2009 9th World Congress - International Association for Adolescent Health Tanggal : 28 Oct 2009 - 30 Oct 2009 Tempat : Shangri-La Hotel Kuala Lumpur, Kuala Lumpur, Malaysia Kalangan : specialis, GP Sekretariat : Congress Secretariat IAAH 2009 Malaysian Paediatric Association 3rd Floor, Annexe Block National Cancer Society Building 66, Jalan Raja Muda Abdul Aziz 50300 Kuala Lumpur Email : 2009iaah@gmail.com or musamn@gmail.com Phone : +603-26989966/+603-26915379 Fax : +603-26913446 URL : http://mpaweb.org.my Tanggal : 19 Oct 2009 - 23 Oct 2009 Tempat : Victus Life Institute Nusa Dua Resort, Bali, Indonesia Kalangan : MD specialist and GP Sekretariat : The Asia Anti Aging Secretariat c/o VICTUS Life ~ Spa & Longevity Institute Kawasan Wisata BTDC Lot C-3, Nusa Dua Resort 80363, Bali - Indonesia Email : account@asiaantiaging.net Phone : +62 813 3812 0008 Contact Person : Mel Tjandra URL : http://www.asiaantiaging.net/actc/ Tanggal : 22 Oct 2009 - 24 Oct 2009 Tempat : Hotel Borobudur, Jakarta, Indonesia Kalangan : Spesialis, GP & praktisi Anti Aging

Sekretariat : The Asia Anti Aging Secretariat c/o VICTUS Life ~ Spa & Longevity Institute Kawasan Wisata BTDC Lot C-3, Nusa Dua Resort 80363, Bali - Indonesia Email : account@asiaantiaging.net Phone : (62-361) 773 565 | Mobile/Cell: +62 813 3812 0008 Fax : (62-361) 773 570 | e-Fax: (61-7) 3319 6527 Contact Person : Mel Tjandra URL : http://www.asiaantiaging.net/ 1. Informasi ini sesuai pada saat dicetak. Apabila ingin mengetahui lebih lanjut, silahkan akses http://www.kalbe.co.id/calendar 2. Apabila Anda mempunyai kegiatan ilmiah, dapat dikirimkan ke: cdk.redaksi@yahoo.co.id Tanggal : 24 Oct 2009 - 30 Oct 2009 Tempat : The Bangkok International Trade & Exhibition Centre (BITEC), Bangkok, Thailand Kalangan : Neurolog, specialist Sekretariat : WCN 2009 Secretariat c/o Congrex Sweden P.O. Box 5619 SE114 86 Stockholm Sweden Email : wcn2009@congrex.com Phone : +46 8 459 6600 Fax : +46 8 661 9125 URL : http://www.wcn2009bangkok.com/ Tanggal : 28 Oct 2009 - 31 Oct 2009 Tempat : JCC, Jakarta, Indonesia Kalangan : Rumah Sakit, Alkes, pemerintahan Sekretariat : PT. Okta Sejahtera Insani Kawasan Bisnis Terpadu Puri Kencana Rukan Aries Niaga Jl. Taman Aries Blok A1 no 1P Jakarta Barat Email : hospex@cbn.net.id Phone : 62-21 5890 7366-68 Fax : 62-21 5890 6819-20 PIT X PERDOSKI 2009 Tanggal : 29 Oct 2009 - 02 Nov 2009 Tempat : Hotel Sol Elite Marbella, Anyer, Banten, Indonesia Kalangan : SpKK, residen Sekretariat : SMF Kulit & Kelamin RSU. Tangerang Jl. Jend. A. Yani No. 9 Tangera ng Phone : (021) 551 2948; 522 7104 Fax : (021) 5579 3856 Contact Person : Ria 19th Biennial Congress Association of Thoracic and Cardiovascular Surgeons of Asia 2009 Tanggal : 25 Oct 2009 - 28 Oct 2009 Tempat : Sheraton Grande, Seoul, Korea Kalangan : Cardiolog, Bedah torak, Specialist Sekretariat : ATCSA 2009 Seoul Congress Secretariat Camilla Lee (Ms), Exhibition Division InSession International Convention Services Inc. 4F Yoong jeon Bldg. 829-6 Yeoksam-dong, Gangnam-gu, Seoul 135-936, Korea Email : info@atcsa2009.org Phone : +82-2-3471-8555_ Fax : +82-2-521-8683_ URL : www.atcsa2009.org

CDK 172/vol.36 no.6/September - Oktober 2009

You might also like