You are on page 1of 36

Guna membenahi tata ruang kota, pemerintah kembali menata ulang fungsi ruangnya.

Penataan itu, pusatkan terutama di area permukiman sekitar bantaran sungai. Tujuannya tak lain adalah untuk menciptakan lingkungan yang sehat untuk masyarakat perkotaan

Tata ruang kota terlihat makin tak terkendali. Pertumbuhan kawasan kumuh pun terus berkembang layaknya jamur. Area terbuka dijadikan sebagai lingkungan hunian bagi mereka masyarakat berpenghasilan rendah.

Lalu, apa tindakan pemerintah kota melihat tidak layaknya sebuah kawasan kumuh untuk hunian. Melihat kondisi tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) tidak tinggal diam.

Guna membentuk lingkungan yang sehat, Kemenpera juga mengajak peran serta aktif masyarakat untuk melakukan revitalisasi kawasan kumuh di sekitar Kali Ciliwung serta daerah Tamansari, Bandung.

Untuk itu, Kemenpera akan berusaha pelaksanaan program tersebut tidak merugikan masyarakat sehingga dapat terwujud lingkungan perumahan yang nyaman dan layak untuk di huni.?? Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz mengungkapkan, program revitalisasi kawasan kumuh di sepanjang bantaran Kali Ciliwung serta daerah Tamansari, Bandung sudah masuk dalam rencana program kerja Kemenpera.

Untuk ?Itu, pihaknya berharap masyarakat dapat bekerjasama dengan baik dalam pelaksanaan program kegiatan ini.?? "Kami memiliki program revitalisasi kawasan kumuh di bantaran Kali Ciliwung dan Tamansari Bandung.

Tapi tentunya kami perlu kerjasama dari masyarakat agar program ini bisa terlaksana dengan baik," ujar Menpera, Djan Faridz kepada sejumlah wartawan di Gedung Merdeka, Bandung. ?? Djan Faridz menyatakan, Kemenpera akan berupaya pelaksanaan program di dua daerah ini bisa berjalan bersamaan.

Oleh karena itu, saat ini Kemenpera terus melakukan inventarisasi terkait jumlah kepala keluarga (KK) yang akan di relokasi. ?? "Insyaallah program ini bisa dilaksanaan bersamaan. Tapi kami tentu kami akan membuat prioritas karena anggaran yang dimiliki pas-pasan.

Dan kami juga harus tahu berapa jumlah KK yang harus di relokasi," terangnya. Lebih lanjut, Djan Faridz menambahkan, berdasarkan data yang dimiliki Kemenpera saat ini jumlah KK yang harus direlokasi dari bantaran Kali Ciliwung berjumlah sekitar 30.000 KK.

Sedangkan di daerah Tamansari Bandung jumlahnya masih terus dihitung. ?? Menurut Djan Faridz, sukses tidaknya pelaksaan program perumahan juga tergantung pada peran serta aktif masyarakat sendiri. Kemenpera dalam hal ini juga berupaya berupaya memberikan ganti untung kepada masyarakat yang mendukung terlaksananya program revitalisasi kawasan kumuh tersebut.

"Kemenpera ingin memberi ganti untung bukan ganti rugi kepada masyarakat yang membantu terlaksananya program ini. Namun, hal itu juga tergantung pada masyarakat apakah mereka mau dipindah apa tidak," katanya. ??Konsep ganti untung tersebut, imbuh Djan Faridz, dilakukan oleh Kemenpera dengan cara membangun terlebih dulu rumah layak huni bagi masyarakat yang ingin pindah dari bantaran kali.

Adapun lokasi hunian sementara bagi masyarakat tersebut diupayakan berdekatan atau tidak jauh dari tempat mereka bekerja atau sekolah dimana anak-anaknya menuntut ilmu. ??"Kami telah memiliki gambaran mengenai lokasi-lokasi hunian bagi masyarakat yang di relokasi. Kami mengupayakan agar hunian tersebut tidak terlalu jauh dari tempat mereka beraktifitas sehari-hari," ujarnya.

Sumber : Kemenpera, foto : Istimewa

Daerah kumuh dan sanitasi lingkungan Berkaitan dengan penanggulangan daerah-daerah kumuh di kota-kota besar dimana masalah ini menjadi suatu masalah yang masih teramat sulit ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah. Banyak program yang telah dijalankan dengan menghabiskan waktu dan uang hingga milyaran rupiah namun daerah atau lingkungan kumuh tetap saja ada bak jamur di musim kemarau :). Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terus terjadi, antara lain birokrasi, ketidaktegasan dalam penerapan regulasi, dan populasi penduduk yang tinggi. Sebagai contoh pemasangan fasilitas listrik atau pdam di wilayah terlarang (ilegal area) yang seharusnya tidak boleh namun tetap ada sehingga membuat "keberadaan" mereka seakan "resmi dan sah". Daerah-daerah kumuh terutama di pinggiran kali (river banks) dan sekitaran rel kereta api (rail banks) merupakan "salah satu" sumber penyebab sulitnya menanggulangi banjir dan penerapan sanitasi lingkungan. Ketidakberaturan suatu daerah lingkungan permukiman berpengaruh pada sistem pembuangan limbah (domestik). Saluran pembuangan limbah tinja (black water) ataupun limbah dari air mandi, cuci (gray water) yang tidak tertata baik mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan (sanitasi) lingkungan.

Belum lagi masalah sampah rumah tangga (dumping household), terutama "kebiasaan" membuang sampah ke sungai/kali, terutama di kota Jakarta ini yang masih sulit menemukan daerah pinggiran kali yang bersih , sehingga kadang heran juga apa dasar pemberian "adipura" pada suatu kota hehehe. Kalau ditanya apakah tidak ada kepedulian dari pemerintah atau pihak-pihak terkait? jawabannya ada :). Seperti yang ditulis diatas telah ada banyak program dari pemerintah pusat dan daerah, belum lagi program dari LSM terkait yang fokus dalam menangani masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan di daerah kumuh. Seperti penyediaan tangki septik, MCK umum, WC umum dan sebagainya. Tapi kenapa seperti tidak merata pelaksanaan atau aplikasinya ? jawabannya kembali ke bagaimana pengawasan dan pemeliharaan daripada fasilitas dan prasana yang telah diberikan. Siapa yang bertanggung jawab ? tentu kembali pada masyarakat yang bersangkutan dan kontinyuitas pemerintah dalam memberikan pengawasan :).So bagaimana menurut anda ? :)

PENATAAN WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH BERBASIS KERAKYATAN (SEBUAH SOLUSI ATASI KEKUMUHAN WILAYAH) Oleh : Iwan Mulyawan, M.Sc I.PENDAHULUAN Perkembangan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan baik karena fakor pertumbuhan penduduk kota itu sendiri maupun karena faktor urbanisasi. Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama ini lebih disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah perdesaan dan perkotaan. Beberapa pengamat meyakini bahwa salah satu penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke kota-kota akibat kekeliruan

adopsi paradigma pembangunan yang menekankan pada pembangunan industrialisasi besar-besaran yang ditempatkan di kota-kota besar yang kemudian dikenal dengan istilah AIDS (Accelerated Industrialization Development Strategy), sehingga memunculkan adanya daya tarik yang sangat kuat untuk mengadu nasibnya di kota yang dianggap mampu memberikan masa depan yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih tinggi, sementara pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki kurang memadai untuk masuk disektor formal (Yunus, 2005). Seiring dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan penyediaan akan prasarana dan sarana permukiman akan meningkat pula, baik melalui peningkatan maupun pembangunan baru. Selanjutnya pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman baik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah, sehingga kapasitas daya dukung prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang ada mulai menurun yang pada gilirannya memberikan konstribusi terjadinya lingkungan permukiman kumuh. Akibat makin banyaknya permukiman kumuh dan liar yang pada gilirannya akan menjadi berat bagi pemerintah kota untuk menanganinya (Yunus, 2005). Lingkungan permukiman kumuh di perkotaan di Indonesia merupakan permasalahan yang sangat kompleks, diantaranya adalah permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, kesenjangan serta ketidakdisiplinan masyarakat terhadap lingkungannya maupun yang menyangkut kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan kota/kabupaten dalam pengaturan, pengorganisasian tata ruang dan sumberdaya yang dimiliki kota dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelayan masyarakat kota (Esmara,1975). Lingkungan permukiman kumuh merupakan masalah yang terjadi atau sering dihadapi di kota besar, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga berlangsung di kota-kota besar di dunia (Sri. P, 1988), begitupula di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, menurut publikasi World Bank (1999) lingkungan permukiman kumuh digambarkan sebagai bagian yang terabaikan dari lingkungan perkotaan dimana kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan, yang diantaranya ditunjukkan dengan kondisi lingkungan hunian yang tidak layak huni, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sarana dan prasarana lingkungan yang tidak memenuhi syarat, tidak tersedianya fasilitas pendidikan, kesehatan maupun sarana dan prasarana sosial budaya kemasyarakatan yang memadai, kekumuhan lingkungan permukiman cenderung bersifat paradoks, bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut, kekumuhan adalah kenyataan sehari-hari yang tidak mereka masalahkan, sedangkan di pihak lain yang berkeinginan untuk menanganinya, masalah kumuh adalah suatu permasalahan yang perlu segera ditanggulangi penanganannya. Dari fenomena tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa penanganan lingkungan permukiman kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus secara sinergis melibatkan potensi dan eksistensi dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota maupun masyarakat sendiri selaku penerima mamfaat, Pelaku dunia usaha, LSM/NGO, cerdik pandai dan pemerhati yang peduli. Apabila hal ini tidak disiapkan penanggulanganya sejak dini, maka masalah permukiman kumuh akan menjadi masalah ketidakmampuan kota dalam menjalankan perannya sebagai pusat pembangunan sosial, ekonomi dan politik (Sri.P, 1988).

II. DAMPAK WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH Lingkungan permukiman kumuh memberi dampak yang bersifat multi dimensi diantaranya dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan, tatanan sosial budaya, lingkungan fisik serta dimensi politis. Di bidang penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan lingkungan permukiman kumuh memberikan dampak citra ketidakberdayaan, ketidakmampuan dan bahkan ketidakpedulian pemerintah terhadap pengaturan pelayanan kebutuhan-kebutuhan hidup dan penghidupan warga kota maupun pendatang dan pelayanan untuk mendukung kegiatan sosial budaya, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Dampak terhadap tatanan sosial budaya kemasyarakatan adalah bahwa komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh yang secara ekonomi pada umumnya termasuk golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, seringkali dianggap sebagai penyebab terjadinya degradasi kedisiplinan dan ketidaktertiban dalam berbagai tatanan sosial kemasyarakatan (Sri. P, 1988). Di bidang lingkungan/hunian komunitas penghuni lingkungan permukiman kumuh sebagian besar pekerjaan mereka adalah tergolong sebagai pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh kasar/kuli bangunan, sehingga pada umumnya tingkat penghasilan mereka sangat terbatas dan tidak mampu menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman sehingga mendorong terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya munculnya permukiman kumuh. Keberadaan komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh ini akan cenderung menjadi lahan subur bagi kepentingan politis tertentu yang dapat dijadikan sebagai alat negosiasi berbagai kepentingan. Fenomena ini apabila tidak diantisipasi secara lebih dini akan meningkatkan eskalasi permasalahan dan kinerja pelayanan kota. Upaya penanganan permukiman kumuh telah diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, yang menyatakan bahwa untuk mendukung terwujudnya lingkungan permukiman yang memenuhi persyarakatan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan permukiman yang tidak sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sanggat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasaranan lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang bersangkutan sebagai lingkungan permukiman kumuh yang tidak layak huni dan perlu diremajakan. Penanganan peremajaan lingkungan permukiman kumuh yang diatur dalam Inpres No. 5 tahun 1990, tentang pedoman pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh diatas tanah negara dinyatakan bahwa pertimbangan peremajaan permukiman kumuh adalah dalam rangka mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh yang berada di atas tanah negara. Hal ini disebabkan eksistensi permukiman kumuh tidak dapat dilepaskan dari ekosistim kota, dan justru merupakan potensi ketenagakerjaan yang menunjang tata perekonomian kota (Sri.P, 1988) Peremajaan permukiman kumuh dalam Inpres 5/90 tersebut adalah meliputi pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas rumah susun serta bangunan-bangunan lain sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan (Koestoer.R, 1997). Untuk mempercepat pelaksanaan peremajaan

permukiman kumuh tersebut, perlu didorong keikutsertaan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan dan Perusahaan Swasta serta masyarakat luas yang pelaksanaannya perlu dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait. Selanjutnya kebijakan penanganan permukiman kumuh sesuai Surat Edaran Menpera No. 04/SE/M/I/93 tahun 1993, dinyatakan bahwa perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan hunian dan usaha yang tidak layak huni yang keadaannya tidak memenuhi persyaratan teknis, sosial, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan serta tidak memenuhi persyaratan ekologis dan legal administratif yang penanganannya dilaksanakan melalui pola perbaikan/pemugaran, peremajaan maupun relokasi sesuai dengan tingkat/ kondisi permasalahan yang ada. III.TUJUAN KEGIATAN Tujuan penataan ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat, dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh terutama golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah melalui fasilitasi penyediaan perumahan layak dan terjangkau dalam lingkungan permukiman yang sehat dan teratur; serta mewujudkan kawasan permukiman yang ditata secara lebih baik sesuai dengan peruntukan dan fungsi sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota. Oleh karena kawasan seperti ini pada umumnya terdiri dari rumah yang berukuran kecil, berkepadatan sangat tinggi bahkan sudah sampai ke taraf death point maka upaya untuk membangun permukiman yang mampu mengakomodasikan semua keluarga dengan lingkungan yang nyaman, dengan ruang terbuka yang memadai baik untuk olah raga maupun untuk taman lingkungan maka jalan satu-satunya adalah membangun rumah susun (Yunus, 2005). Disamping itu melalui kegiatan ini diharapkan mampu mondorong penggunaan dan pemanfaatan lahan yang efisien melalui penerapan tata lingkungan permukiman sehingga memudahkan upaya penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang diperlukan serta dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial antar kawasan permukiman di daerah perkotaan. Pengembangan perumahan dan permukiman diprogramkan sebagai tanggung jawab masyarakat sendiri yang diselenggarakan secara multi sektoral dengan menempatkan peran pemerintah sebagai pendorong, pemberdaya dan fasilitator dalam upaya memampukan masyarakat dan mendorong peran aktif dunia usaha melalui penciptaan iklim yang kondusif dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Dengan latar belakang tersebut, maka misi yang dilaksanakan dalam penanganan lingkungan permukiman kumuh adalah melakukan pemberdayaan masyarakat dan kehidupan yang sehat dan sejahtera, menciptakan, memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif dan membuka akses sumber daya dan informasi serta meningkatkan sarana interaksi sosial untuk mengembangkan norma dan nilai budaya yang sehat dan mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya pendukung penyelenggaraan perumahan dan permukiman (Kan. ar, 1997). Implementasi dari konsep pemberdayaan masyarakat disini adalah penyelenggaraan pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat yaitu suatu proses peningkatan peluang kesempatan mandiri dan bermitra dengan pelaku pembangunan yang lain. Proses pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat/ keterlibatan masyarakat (Community Participation) merupakan suatu proses yang spesifik sesuai dengan karakter masyarakatnya, yang meliputi tahapan identifikasi karakter komunitas, identifikasi permasalahan, perencanaan, pemrograman mandiri, serta pembukaan akses kepada sumber daya dan informasi, hal ini penting agar supaya kaidah pembangunan perumahan yang telah ditetapkan

dapat diindahkan oleh masyarakat umum dan pola partisipasi masyarakat perlu dikembangkan sesuai dengan budaya yang berlaku di wilayah setempat (Sri.P, 1988). Pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi untuk masyarakat perlu diubah menjadi membangun bersama masyarakat. Persoalannya adalah terletak kepada bagaimana menyiapkan dan menciptakan kondisi masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Dalam rangka menggali potensi komunitas masyarakat, maka peran pendampingan oleh tenaga pendamping/fasilitator adalah sangat strategis. Pendampingan masyarakat merupakan suatu hubungan setara antara masyarakat dengan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan profesional, kepedulian dan menerapkan kaidah kesadaran, keswadayaan, kewajaran didalam proses pendampingan yang dibutuhkan masyarakat dalam memberdayakan pengetahuan mengenai kemasyarakatan, metodologi pendekatan kepada masyarakat dan kemampuan subtantif spesifik yang dibutuhkan dalam sasaran pemberdayaan yang menjadi pilihan masyarakat, misalnya penguasaan terhadap substansi pengembangan usaha ekonomi mikro, serta kemampuan untuk membuka akses terhadap sumberdaya dan informasi. Selanjutnya yang dimaksud dengan kepedulian adalah keberpihakan kepada masyarakat yang didasari oleh kebenaran, penyediaan waktu dan kesiapan diri untuk memahami bahasa komunikasi dan budaya kerja dari masyarakat yang didampingi.

IV.ARAH KEBIJAKAN PENATAAN WILAYAH Pemerintah harus menjadi motor dalam menentukan kebijakan untuk menangani permukiman kumuh tersebut. Walaupun masyarakat tetap harus dilibatkan dalam setiap kegiatan penanganan permukiman, tetapi keterlibatan masyarakat hanya pada tataran aplikasi di lapangan. Oleh karena itu masyarakat perlu diberikan pelatihan sehingga mampu memberikan konstribusi yang besar dalam proses pelaksanaan di lapangan. Untuk mendukung proses pemulihan permukiman kumuh tersebut, maka diperlukan akses bantuan kepada masyarakat sehingga kegiatan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik karena didukung dana yang cukup. Prasarana yang bisa menjadi pendukung agar permukiman kumuh bisa sedikit berbenah dengan adanya fasilitas-fasilitas seperti tempat pembuangan sampah, pasar perumahan dan fasilitas lainnya. Upaya pengerahan aktif dari pemerintah dan pihak yang berkompeten harus selalu dilaksanakan dalam mendampingi upaya penduduk memperbaiki lingkungannya, hal ini harus dilaksanakan secara terus- menerus, terstruktur dan sistematik (Yunus, 2005). Kesadaran akan kebersihan perlu ditanamkan dengan baik melalui pemberian penyuluhan tentang hukum yang berkaitan dengan perusakan lingkungan sehingga secara tidak langsung akan menjadi Shock Theraphy bagi masyarakat yang berada di permukiman kumuh dan yang berpotensi menjadi permukiman kumuh untuk tidak merusak lingkungan hidup. Pengembangan permukiman juga perlu dikaitkan dengan berbagai kegiatan produktif unuk memberikan kehidupan yang sehat dan sejahtera, tetapi juga menumjang aktifitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi (Kan. ar, 1997) Secara singkat kebijakan-kebijakan tersebut adalah sebagai berikut : a.Mewujudkan proses transformasi kapasitas kepada masyarakat melalui pembelajaran dan pelatihan secara langsung di lapangan. b.Mendorong akses bantuan kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh. c.Meningkatkan kemampuan kelembagaan Pemerintah/Pemerintah Daerah dan kelompok masyarakat

di bidang perumahan dan permukiman. d.Meningkatkan kesadaran hukum bagi para aparat Pemerintah e.Memberdayakan pasar perumahan untuk melayani lebih banyak masyarakat. f.Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana umum dan ekonomi lingkungan permukiman

V.PENATAAN WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH Kegiatan penataan lingkungan kumuh ini menerapkan konsep dasar Tridaya yang meliputi aspek penyiapan masyarakat melalui pemberdayaan sosial kemasyarakatan, pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman serta pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi lokal/masyarakat. Dalam penerapannya, kegiatan ini menggunakan pemberdayaan masyarakat sebagai inti gerakannya, dengan menempatkan komunitas permukiman sebagai pelaku utama pada setiap tahapan, langkah, dan proses kegiatan, yang berarti komunitas pemukim adalah pemilik kegiatan. Pelaku pembangunan di luar komunitas pemukim merupakan mitra kerja sekaligus sebagai pelaku pendukung yang berpartisipasi pada kegiatan komunitas pemukim. Dengan demikian, strategi program ini menitikberatkan pada transformasi kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas melalui pembelajaran langsung (learning by doing) melalui proses fasilitasi berfungsinya manajemen komunitas. Penerapan strategi ini memungkinkan komunitas pemukim untuk mampu membuat rencana yang rasional, membuat keputusan, melaksanakan rencana dan keputusan yang diambil, mengelola dan mempertanggungjawabkan hasil-hasil kegiatannya, serta mampu mengembangkan produk yang telah dihasilkan. Melalui penerapan strategi ini diharapkan terjadi peningkatan secara bertahap kapasitas sumberdaya manusia dan pranata sosial komunitas pemukim, kualitas lingkungan permukiman, dan kapasitas ekonomi/usaha komunitas. Seluruh rangkaian kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat dalam program penataan lingkungan kumuh ini memiliki pola dasar yang secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok besar kegiatan fasilitasi, yaitu pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat, pelaksanaan pembangunan serta pengembangan kelembagaan komunitas Dalam rangka menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, masyarakat yang terorganisasi memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan secara individual. Selain itu kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan potensinya, serta membuat rencana yang rasional juga menjadi persyaratan keberhasilan kegiatan. Oleh karenanya, fasilitasi kepada komunitas dalam pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat ini merupakan bagian dari konsep dasar khususnya dalam aspek penyiapan masyarakat dan aspek pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi dalam satu kesatuan. Dalam mengaktualkan rencananya, komunitas perlu melakukan pengorganisasian peluang dan sumberdaya kunci yang ada. Dalam kaitannya dengan fasilitasi ini, pemerintah memberikan stimulan dana kepada komunitas untuk merealisasikan rencananya terutama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh, tanpa menutup kemungkinan adanya bantuan tidak mengikat dari pihak lain. Selanjutnya fasilitasi terhadap komunitas dilakukan untuk pengelolaan hasil pembangunan yang telah dilaksanakannya. Rangkaian fasilitasi ini merupakan bagian dari konsep dasar Tridaya, khususnya dalam

aspek pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan dan aspek penyiapan masyarakat dalam satu kesatuan. Pengembangan lembaga komunitas merupakan fasilitasi tahap akhir. Dalam rangkaiankegiatannya, fasilitasi ini mengarah kepada pembuatan aturan main lembaga komunitas, formalisasi lembaga komunitas, pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas manajemen dan teknis kepada komunitas maupun lembaga. komunitas, pembentukan jaringan kerja dengan komunitas lain, pemanfaatan akses sumber daya kunci pembangunan dalam rangka kemitraan, dan pembukaan akses terhadap pengabil kebijakan. Rangkaian fasilitas ini merupakan bentuk utuh dari penerapan konsep dasar Tridaya. Secara Ringkas Penataan Wilayah untuk Pengananan Masalah Permukiman Kumuh tersebut adalah : a.Menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penataan lingkungan permukiman kumuh . b.Mendorong usaha produktif masyarakat melalui perkuatan jaringan kerja dengan mitra swasta dan dunia usaha. c.Mencari pemecahan terbaik dalam penentuan kelayakan penataan lingkungan permukiman kumuh . d.Melaksanakan penegakkan dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh . e.Melakukan pemberdayaan kepada para pelaku untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial. f.Menerapkan budaya bersih dan tertib di lingkungan perumahan dan permukiman . Akhirnya, apabila upaya penataan permukiman kumuh dapat dilaksanakan maka hasil yang dapat diharapkan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan baru, meningkakan kualitas rumah tinggal bahkan dapat memudahkan perolehan jasa-jasa dari penduduk yang tersedia, meningkatkan kesehatan lingkungan, hal ini dapat berakibat meningkatnya hasrat penduduk untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan bahkan dapat meningkatkan nilai tanah yang ada. VI. KESIMPULAN Kesadaran masyarakat bermukim yang sehat, tertib dan teratur pada umumnya masih rendah, maka dalam upaya meningkatkan kesadaran perlu terus diupayakan penggalangan potensi masyarakat melalui proses pemberdayaan.Upayamelembagakan penataan lingkungan permukiman kumuh dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama perlu terus ditumbuh kembangkan dengan mewujudkan perumahan yang layak dan terjangkau pada lingkungan permukiman yang berkelanjutan, responsif yang mendukung pengembangan jatidiri, produktivitas dan kemandirian masyarakat.Untuk mendukung pencapaian lingkungan permukiman yang responsif tersebut maka perlu langkah konkrit untuk mendayagunakan potensi masyarakat melalui kegiatan peningkatan kualitas permukiman, penerapan tata lingkungan permukiman, pengembangan perumahan yang bertumpu kepada swadaya masyarakat, pembukaan akses kepada sumber daya perumahan dan permukiman serta upaya-upaya pemberdayaan ekonomi khususnya bagi golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Upaya pendukung yang cukup strategis adalah pemantapan kelembagaan yang mendorong terbentuknya lembaga perumahan dan permukiman yang handal dan profesional baik di lingkungan pemerintahan (Pusat, Propinsi, Kab/Kota), Badan Usaha (BUMN, BUMD dan Swasta), dan Masyarakat; serta melembaganya penyusunan RP4D (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah) sebagai bagian dari perencanaan pembangunan daerah, dimana didalamnya

termasuk kegiatan penataan lingkungan permukiman kumuh secara berkelanjutan. Penataan wilayah permukiman kumuh perlu dikaitkan secara struktural dan fungsional dengan potensi sumber daya yang ada di kota tersebut termasuk di lingkungan permukiman kumuh itu sendiri yang implementasinya dilakukan bersama masyarakat untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Penataan lingkungan permukiman kumuh sangat strategis untuk dikembangkan sesuai potensi dan sumberdaya yang sudah dimilikinya. Pendekatan pemberdayaan masyarakat harus berorientasi kepada tercapainya kemandirian masyarakat yang bertahap dan berkelanjutan. Penanganan masalah lingkungan permukiman kumuh tidak dapat dilakukan secara sepihak atau parsial, melainkan harus merupakan upaya terpadu yang saling mendukung dan saling bersinergi dalam mencapai sasaran manfaat yang optimal. Perlu ada kesamaan persepsi dalam penetapan sasaran, langkah dan waktu yang tepat untuk mengimplementasinya, dalam hal ini pemerintah perlu berperan sebagai fasilitator dan pemberdaya dari semua tindakan yang akan diambil. Masa depan sangat tergantung dari keberhasilan mencapai kehidupan masyarakat yang berimbang, kemajemukan masyarakat harus dilihat sebagai kekuatan untuk menghadapi masa depan kota yang penuh persaingan dan permasalahan yang kompleks, sehingga diperlukan perintisan pembentukan jaringan kemitraan yang saling mendukung. Implementasi dari produk-produk pengaturan dalam penataan lingkungan permukiman kumuh yang ada pada saat ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Sehubungan dengan hal tersebut maka selaras dengan era Otonomi Daerah dimana masalah perumahan dan permukiman telah menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kota Yogyakarta, maka upaya penanganan lingkungan permukiman kumuh perlu terus dikembangkan konsep penangananya sesuai dengan kondisi permasalahan dan potensi lokal yang ada, yang implementasinya dilaksanakan secara multi sektoral, bertahap dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA Esmara, Hendra. 1975. Kesenjangan Pendapatan Daerah, Padang: Universitas Andalas Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan United Nations Devolopment Programme, 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Koestoer. RH, 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota Teori dan Kasus, UI-Press. Sri. P, 1988. Permukiman Kumuh; Pertimbangan Pengusiran Atau Perbaikan. Jakarta. : Kongres Ikatan Peminat Dan Ahli Demografi Indonesia IV Yunus, H.S. 2005. Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Penanganan Permukiman Kumuh Harus Melibatkan Masyarakat


Jumat, 13 Nopember 2009

JAKARTA (Suara Karya): Masyarakat harus dilibatkan dalam mengatasi permukiman kumuh di perkotaan karena lebih mengetahui kondisi di daerahnya masing-masing, termasuk dalam memberikan solusi. Ini juga terkait dengan instrumen kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi permukiman kumuh. "Isu terkait permukiman kumuh dapat diselesaikan dengan melibatkan masyarakat bersangkutan," kata Menteri Negara Perumahan Rakyat (Mennegpera) Suharso Monoarfa di Jakarta, Kamis (12/11). Menurut dia, melalui kontribusi masyarakat, maka akan diketahui kebijakan yang tepat dan dibutuhkan untuk mengatasi permukiman kumuh. Apalagi permasalahan permukiman kumuh terkait kemampuan swadaya masyarakat yang tentunya didukung dengan fasilitasi dari pemerintah. Dengan ini diharapkan program-program yang ada dapat dilaksanakan secara efektif. "Untuk mengatasi permukiman kumuh, intervensi dari negara tetap dibutuhkan, terutama untuk merumuskan program agar tepat sasaran. Kita lihat keberhasilan Pemerintah Finlandia dalam pembangunan perumahan di kawasan permukiman kumuh. Semua melalui kebijakan dan instrumen yang dikonsep secara matang. Sementara di New York sebaliknya, karena ada penolakan masyarakat," ucapnya. Sementara itu, Deputi Kemennegpera Bidang Rumah Swadaya Kriya Arsyah mengatakan, permukiman kumuh tidak dapat diselesaikan melalui cara-cara penggusuran. Terdapat sejumlah solusi, namun keputusan tetap di tangan pemerintah daerah. "Solusinya tergantung kategori permukiman kumuh yang berstatus berat atau ringan. Kalau berat memang harus ada relokasi, tapi tanpa membuat penghuninya kehilangan pekerjaan," katanya. Menurut dia, kalau permukiman kumuh skala ringan hanya membutuhkan pemugaran/perbaikan lingkungan yang dilaksanakan melalui pendekatan pembangunan aspiratif. Contohnya upaya memindahkan masyarakat yang tinggal di pinggir rel kereta api. Penanganan permukiman kumuh sendiri sudah diatur melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Di dalamnya diatur mengenai peningkatan kualitas perumahan dan permukiman. Secara detail juga diatur melalui PP Nomor 38 Tahun 2007, khususnya terkait kewenangan pemerintah pusat dan daerah. "Penanganan permukiman kumuh dilaksanakan pemerintah daerah. Sementara pemerintah pusat menerbitkan norma standar prosedur manual (NSPM)," ujarnya. Kriya juga menjelaskan, luas permukiman kumuh saat ini mencapai 59.000 hektare untuk 10.000 lokasi. Ditargetkan pada tahun 2015 luas permukiman kumuh bisa menurun hingga 50 persen. (Novi)

Solusi Kota

Mengapa kota jadi obat mujarab bagi masalah pertumbuhan planet kita? Oleh Robert Kunzig Foto oleh Chia Ming Chien Pada masa Jack the Ripper, masa sulit bagi London, di kota itu hiduplah seorang stenografer santun bernama Ebenezer Howard. Dia layak disebut karena memiliki dampak yang besar dan melekat pada cara kita memahami kota.

Howard berkepala botak, berkumis tebal hingga menutupi mulut, berkacamata bingkai kawat, dan pikirannya selalu sibuk mencari jawaban. Ia menyurati istrinya pada 1885 bahwa yang diperlukan keluarganya adalah rumah dengan taman yang indah, mungkin lapangan tenis rumput. Beberapa tahun kemudian, setelah memiliki empat anak dalam enam tahun di rumah kontrakan yang sumpek, Howard pulih dari depresi berkepanjangan dan memiliki skema untuk mengosongkan London.

London pada tahun 1880-an sedang berkembang pesat. Akan tetapi, kota ini juga dijejali orang yang jauh lebih melarat daripada Howard. Daerah kumuh yang disatroni Ripper untuk mencari korban benarbenar memprihatinkan. Setiap kamar di perumahan busuk dan bau ini menampung satu keluarga, sering juga dua, tulis Andrew Mearns, menteri pejuang rakyat. Inspektur kebersihan pernah melaporkan menemukan ayah, ibu, tiga anak, dan empat babi di ruang bawah tanah! Di tempat lain ada janda miskin, tiga anaknya, dan seorang anak yang sudah meninggal tiga belas hari. Warga zaman Victoria itu menyebut daerah kumuh seperti itu sebagai sarang, atau koloni hewan yang beranak-pinak.

Perencanaan kota abad ke-20 berkembang dari pandangan ngeri tentang kota abad ke-19 tersebut. Anehnya, ini dimulai dengan Ebenezer Howard. Dalam buku tipis yang diterbitkan sendiri pada 1898, pria yang sehari-harinya mencatat gagasan orang lain itu memaparkan visinya sendiri tentang per-

mukiman manusia yang semestinyavisi yang begitu meyakinkan sehingga setengah abad kemudian Lewis Mumford, kritikus besar arsitektur berkebangsaan Amerika, berkata bahwa buku itu merupakan fondasi bagi daur baru peradaban kota.

Howard berargumen bahwa arus urbanisasi harus dihentikan, dengan cara menjauhkan orang dari metropolis bak kanker itu ke kota-kota taman baru yang berswadaya. Penduduk pulau-pulau kecil berbahagia ini akan merasakan perpaduan serasi antara kota dan desa. Mereka tinggal di rumah dan taman indah di pusat kota, berjalan kaki untuk bekerja di pabrik di pinggiran kota, dan mendapat makanan dari pertanian di sabuk hijau luaryang juga akan mencegah kota meluas ke daerah pedesaan. Pada 1907, saat menyambut 500 penutur bahasa Esperanto ke Letchworth, kota taman pertama, Howard meramalkan dengan berani (dalam bahasa Esperanto) bahwa baik bahasa baru itu maupun utopia barunya akan segera tersebar luas ke seluruh dunia.

Dia benar bahwa manusia menginginkan ruang hidup yang lebih besar, tetapi salah tentang masa depan kota: Arus urbanisasi-lah yang kemudian tersebar ke seluruh dunia. Di negara maju dan Amerika Latin, arus ini hampir memuncak; lebih dari 70 persen warga di sana tinggal di wilayah perkotaan. Di sebagian besar Asia dan Afrika orang masih mengalir ke kota. Kota besar kini semakin besar dan semakin banyak. Pada abad ke-19 London adalah satu-satunya kota yang berpenduduk lebih dari lima juta jiwa; sekarang ada 54 kota, sebagian besar berada di Asia.

Sekarang urbanisasi dianggap hal baik. Pendapat pakar bergeser jauh dalam satu-dua dasawarsa terakhir. Meskipun daerah kumuh yang memprihatinkan seperti di London masa Victoria kini tersebar luas, dan rasa takut ala warga Victoria terhadap kota tetap ada, kanker sudah bukan lagi perumpamaan yang tepat. Sebaliknya: Dengan populasi Bumi yang sedang menuju angka sembilan atau sepuluh miliar, tampaknya kota padat adalah obatnyaharapan terbaik untuk mengentaskan orang dari kemiskinan tanpa menghancurkan bumi.

Pada suatu malam Maret lalu, ekonom Harvard Edward Glaeser tampil di London School of Economics untuk mempromosikan sudut pandangnya, serta buku barunya, Triumph of the City. Tak ada negara urbanisasi yang miskin; tak ada negara pedesaan yang kaya, katanya. Nama-nama negara, yang masingmasing dipetakan berdasarkan PDB dan laju urbanisasi, ditampilkan di layar di belakangnya.

Mahatma Gandhi keliru, kata Glaesermasa depan India bukan terletak di desa, melainkan di

Bangalore. Gambar Dharavi, daerah kumuh terbesar di Mumbai, dan gambar favela di Rio de Janeiro ditayangkan; bagi Glaeser, itu contoh kegairahan kota, bukan penyakit. Katanya, orang miskin berduyunduyun ke kota karena di situlah uang berada, dan kota berproduksi lebih tinggi karena ketiadaan jarak antara manusia mengurangi biaya pemindahan barang, orang, dan gagasan.

Contoh kota yang hidup bagi Glaeser adalah Wall Street, terutama lantai bursa, tempat para jutawan meninggalkan kantor besar untuk bekerja dalam kolam informasi terbuka. Mereka lebih menghargai pengetahuan daripada ruangdan itulah intisari kota modern, katanya. Kota yang sukses memberi ganjaran lebih besar bagi orang cerdas dengan cara memungkinkan orang saling belajar dari sesamanya. Di kota yang rata-rata pendidikan warganya tinggi, orang tak berpendidikan pun memiliki pendapatan lebih tinggi; itulah bukti limpahan modal manusia.

Limpahan paling efektif terjadi jika orangnya berdekatan. Belum ada teknologitidak telepon, Internet, atau konferensi videoyang dapat melahirkan pertemuan kebetulan yang bermanfaat, seperti yang telah dilahirkan oleh kota sejak Forum Romawi mulai ada. Teknologi juga tidak bisa menyampaikan petunjuk nonverbal kontekstual yang membantu kita menyampaikan gagasan kompleksmisalnya, melihat mata mengantuk para pendengar untuk mengetahui bahwa kita berbicara terlalu cepat.

Mudah dipahami mengapa para ekonom merangkul kota sebagai mesin kemakmuran. Diperlukan waktu lebih lama bagi kaum pencinta lingkungan, yang menganggap pondok Henry David Thoreau di hutan sebagai contoh ideal. Dengan meningkatkan pendapatan, kota juga meningkatkan konsumsi dan polusi. Jika yang paling Anda hargai adalah alam, kota tampak seperti tumpukan kerusakan yang terpusat sampai Anda mempertimbangkan alternatifnya, yaitu menyebarkan kerusakan. Menurut Stewart Brand, pendiri Whole Earth Catalog dan kini penganjur urbanisasi, dari sudut pandang ekologi, etika kembalike-desa akan membawa petaka. Kota memungkinkan setengah umat manusia tinggal di sekitar 4 persen lahan tanam, menyisakan lebih banyak tempat untuk pedesaan terbuka.

Per kapita, penghuni kota juga menimbulkan efek negatif lebih kecil dalam beberapa segi lain, David Owen menjelaskannya dalam Green Metropolis. Jalan, gorong-gorong, dan kabel listrik mereka lebih pendek dan memakai sumber daya lebih kecil. Apartemen memerlukan energi lebih sedikit untuk pemanasan, pendinginan, dan penerangan daripada rumah. Hal yang terpenting, orang di kota padat lebih jarang mengemudi. Di kota seperti New York, penggunaan energi dan emisi karbon per kapita jauh lebih rendah daripada rata-rata negara.

Kota di negara berkembang lebih padat lagi dan menggunakan sumber daya jauh lebih sedikit. Tetapi, itu terutama karena konsumsi orang miskin tidak banyak. Warganya tidak memiliki air bersih, toilet, atau pemungutan sampah. Mungkin demikian pula nasib satu miliar penghuni kota lain di negara berkembang. Dan kota seperti inilah, menurut proyeksi PBB, yang akan menyerap sebagian besar kenaikan populasi dunia antara sekarang dan tahun 2050lebih dari dua miliar orang. Cara pemerintah kota-kota ini menanggapinya akan berdampak kepada kita semua.

Banyak pemerintah kota bertindak seperti Inggris saat menanggapi pertumbuhan London pada abad ke19: dengan berusaha menghentikannya. Survei PBB melaporkan bahwa 72 persen negara berkembang menjalani kebijakan yang dirancang untuk memperlambat laju migrasi ke kota. Namun, orang keliru jika menganggap urbanisasi sebagai hal buruk, bukan sebagai bagian perkembangan yang tak terhindarkan, kata Satterthwaite, penasihat bagi pemerintah dan himpunan penghuni daerah kumuh di seluruh dunia. Saya tidak takut pada pertumbuhan cepat, katanya. Saya bertemu banyak wali kota Afrika yang berkata, Terlalu banyak orang yang pindah ke sini! Saya katakan, Tidak, masalahnya adalah ketidakmampuan Anda mengatur mereka. Tidak ada model sempurna untuk mengelola urbanisasi yang cepat, tetapi ada beberapa contoh yang memberi harapan. Salah satunya Seoul, ibu kota Korea Selatan. Antara 1960 dan 2000 populasi Seoul melambung dari tiga juta kurang menjadi sepuluh juta jiwa, dan Korea Selatan berubah dari salah satu negara termiskin di dunia, dengan PDB per kapita di bawah $100, menjadi lebih kaya daripada beberapa negara di Eropa. Kecepatan perubahan itu kentara. Saat mengemudi ke Seoul melalui jalan raya yang menyusuri tepi Sungai Han, kita melewati lautan blok apartemen beton yang seragam dan meresahkan, masing-masing memajang angka besar untuk membedakannya dengan kembarannya. Namun, belum lama ini banyak orang Korea tinggal di gubuk. Blok apartemen mungkin tampak muram dari luar, kata perencana kota Yeong-Hee Jang kepada saya, tetapi kehidupan di dalamnya begitu hangat dan nyaman.

Setiap kota adalah perpaduan unik antara yang terencana dan yang tidak, antara fitur yang sengaja dirancang pemerintah dan yang muncul secara organik seiring waktu dari pilihan yang dibuat oleh warganya. Seoul direncanakan sejak awal. Para pendeta yang memilih lokasinya pada 1394 untuk Raja Taejo, pendiri dinasti Choson, mengikuti prinsip fengsui kuno. Mereka menempatkan istana raja di tempat yang menguntungkan, dengan Sungai Han di depan dan gunung besar di belakang untuk melindunginya dari angin utara. Selama lima abad, sebagian besar kota itu tetap berada di dalam tembok

enam belas kilometer, yang dibangun bawahan Taejo selama enam bulan. Inilah kota cendekia terpencil yang berpenduduk beberapa ratus ribu jiwa. Kemudian, abad ke-20 pun menghancurkannya.

Perang Dunia II, lalu Perang Korea, yang berakhir pada 1953, mendatangkan lebih dari sejuta pengungsi ke kota yang rusak parah akibat bom itu. Tidak banyak yang tersisa di Seoul. Akan tetapi, untuk pertama kalinya kota itu dipenuhi kumpulan orang yang tangguh. Mereka bertekad memperbaiki nasib. Dari masa inilah, ledakan penduduk Korea Selatanyang dipicu oleh perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat yang cepatmenyamai tempat lain.

Semua energi itu ternyata ditata oleh seorang diktator (fakta yang mungkin dirasa tidak nyaman). Ketika Park Chung-Hee mengambil alih kekuasaan dalam kudeta militer pada 1961, pemerintahnya menyalurkan modal asing ke perusahaan-perusahaan Korea yang memproduksi benda yang dibeli orang asing. Yang penting dalam proses ini, proses yang menciptakan konglomerat seperti Samsung dan Hyundai, adalah pria dan wanita yang mengalir ke Seoul untuk bekerja di pabrik-pabrik baru dan menuntut ilmu di universitas. Urbanisasi tidak bisa dipahami terpisah dari perkembangan ekonomi, kata ekonom Kyung-Hwan Kim dari Sogang University. Kota yang sedang tumbuh itu memungkinkan terjadinya ledakan ekonomi, yang membiayai pembangunan prasarana yang membantu kota itu menyerap populasi negara yang meningkat.

Banyak bangunan yang musnah dalam kesibukan membuldoser dan membangun gedung tinggi. Jika Anda tinggal di Seoul lama, di sebelah utara Sungai Han, pada tahun 1970-an dan 1980-an, Anda menyaksikan Seoul-baru bangkit dari sawah hijau di tepi selatan, di wilayah yang disebut Kangnam. Anda menyaksikan kelas menengah dan atas kota yang tumbuh itu meninggalkan gang berkelok dan rumah adathanok kayu elok, dengan halaman dan atap genting melekuk indahke gedung steril dan kisi-kisi jalan yang ramah-mobil. Seoul kehilangan warnanya, kata Choo Chin Woo, wartawan investigasi di berita mingguan SisaIN. Lebih buruk lagi, kaum miskin biasanya tersingkirkan saat hunian sementara mereka dikembangkan menjadi gedung-gedung yang tak mampu mereka beli.

Tetapi, seiring tahun-tahun berlalu, semakin besar persentase populasi yang mampu membeli tempat tinggal dalam ledakan permukiman. Sekarang setengah penduduk di Seoul memiliki apartemen. Orang Korea senang memanaskan udara rumah hingga 25 derajat, kata perencana kota Yeong-Hee Jang, dan dalam apartemen yang diperlengkapi dengan baik, hal itu terjangkau oleh mereka.

Seoul zaman sekarang adalah salah satu kota terpadat di dunia. Di sana ada jutaan mobil, tetapi juga sistem kereta bawah tanah yang baik. Di distrik-distrik baru pun, jalanannya tampak berwarna-warni bagi orang Barat. Semua semarak dengan perdagangan dan dipadati pejalan kaki, yang masing-masing memiliki jejak karbon kurang dari setengah jejak karbon warga New York. Kehidupan semakin membaik bagi orang Korea seiring negara itu berubah dari 28 persen perkotaan pada 1961 menjadi 83 persen kini. Harapan hidup meningkat dari 51 tahun menjadi 79setahun lebih tua daripada orang Amerika. Anak lelaki Korea masa kini bertubuh 15 sentimeter lebih jangkung daripada dulu.

Pengalaman Korea Selatan ini tidak mudah ditiru, tetapi membuktikan bahwa negara miskin dapat mengalami urbanisasi dengan sukses dan sangat cepat.

Rasa takut terhadap urbanisasi selama ini merugikan kota, negara, juga bumi. Ironisnya, Korea Selatan belum berhasil menyingkirkan pemikiran bahwa ibu kotanya yang besar itu adalah tumor yang menyedot nyawa dari daerah lain di negara itu. Sekarang pemerintah sedang membangun ibu kota kedua 120 kilometer di sebelah selatan. Mulai 2012 pemerintah berencana memindahkan setengah kementeriannya ke sana dan menyebarkan lembaga-lembaga negara ke seluruh negeri, dengan harapan menyebarluaskan kekayaan Seoul. Pada 1971, ketika populasi kota melejit melebihi lima juta jiwa, Park mengikuti saran dari buku Ebenezer Howard. Ia mengelilingi kota itu dengan sabuk hijau lebar untuk menghentikan perkembangan lebih jauh, persis seperti yang dilakukan London pada 1947.

Kedua sabuk hijau ini memang mempertahankan ruang terbuka, tetapi tidak menghentikan pertumbuhan kota; orang kini pulang-pergi dari pinggiran kota yang melompati batasan sabuk itu. Sabuk hijau menyebabkan orang terdorong semakin jauh keluar, kadang-kadang terlalu jauh, kata Peter Hall, perencana dan sejarawan di University College London. Braslia, ibu kota terencana di Brasil, dirancang untuk 500.000 jiwa; sekarang dua juta jiwa tambahan tinggal di luar danau dan taman yang semestinya menghentikan perluasan kota itu. Tampaknya, usaha menghentikan pertumbuhan kota malah memperparah perluasannya.

Perluasan kini merupakan masalah utama bagi perencana kota masa kini, sebagaimana antitesisnya, kepadatan, seabad yang lalu. London tidak lagi dikutuk sebagai tumor. Perluasan daerah pinggiran ke luar didorong oleh kebijakan lain pemerintah, seperti subsidi untuk jalan raya dan kepemilikan rumah. Didorong pula oleh satu lagi penentu nasib kotapilihan yang dibuat oleh warga perorangan. Ebenezer Howard memang benar soal itu: Banyak orang ingin punya rumah bagus dengan taman.

Perluasan bukan hanya fenomena di Barat. Dengan merujuk citra satelit, peta tua, dan data sensus, Shlomo Angel, dosen perencanaan kota di New York University dan Princeton, melacak perubahan bentuk dan kepadatan penduduk di 120 kota antara 1990 dan 2000. Di negara berkembang pun, kebanyakan kota meluas lebih cepat daripada orang masuk ke sana; kepadatan kota rata-rata turun 2 persen setiap tahun. Sebelum 2030, area pembangunan kota dapat berlipat tiga. Apa yang mendorong perluasan itu? Peningkatan pendapatan dan transportasi murah. Saat pendapatan naik, orang punya uang untuk membeli ruang lebih luas, Angel menjelaskan. Dengan transportasi murah, mereka mampu membayar perjalanan lebih jauh antara rumah dan kantor.

Tetapi, jenis rumah yang dihuni dan transportasi yang digunakan juga berpengaruh. Pada abad ke-20, kota-kota Amerika dirancang-ulang berdasarkan mobil. Perluasan berdasarkan mobil ini melahap lahan pertanian, energi, dan sumber daya lain. Sekarang ini, para perencana di AS ingin pusat kota dihuni kembali dan suburbia dipadatkan, dengan cara membangun alun-alun yang dapat dijelajahi dengan jalan kaki, misalnya, di lapangan parkir di mal-mal gagal. Sementara di China dan India, saat orang masih membanjir ke kota, penjualan mobil sedang laris. Jauh lebih baik bagi bumi, tulis Edward Glaeser, jika negara-negara itu memiliki kota-kota padat yang dibangun berdasarkan lift, daripada wilayah-wilayah meluas yang dibangun berdasarkan mobil.

Kota berkembang niscaya akan meluas, kata Angel. Di antara anarki yang merajalela di banyak kota sekarang dan utopianisme yang mencirikan perencanaan kota, ada jenis perencanaan sederhana yang dapat membuat perbedaan besar. Perencanaan ini mengharuskan kita memandang ke depan berpuluh tahun, kata Angel, dan menghemat lahan, sebelum kota tumbuh di atasnya, untuk dibuat taman dan kisi-kisi koridor angkutan umum yang padat. Ini dimulai dengan memandang kota yang tumbuh sebagai pemusatan energi manusia yang dapat ditata dan dimanfaatkan.

Dengan jalan perdagangan yang tenang dan rumah-rumah Seni dan Kerajinan, Letchworth di Inggris, sekarang terasa seperti kota taman yang terlupakan oleh waktu. Sebagian besar warga kotanya bekerja di London atau Cambridge. Namun, kota itu memiliki aspek penting yang dipandang banyak perencana masa kini sebagai kunci kelestarian: Kota ini tidak dirancang berdasarkan mobil. Howard tak menghiraukan ciptaan baru di masanya itu. Dari mana pun di Letchworth orang dapat berjalan kaki ke pusat kota untuk berbelanja atau naik kereta api ke London.

Lima puluh lima kilometer ke selatan, London tetap tak tergantikan. Sekarang ada delapan juta orang yang tinggal di sana. Semua upaya untuk mengatur labirin jalannya telah gagalsiapa pun yang pernah naik taksi di London pasti berpendapat begitu. London tidak direncanakan sama sekali! seru Peter Hall suatu sore saat kami melangkah ke jalan di depan British Academy. Tetapi, kota itu melakukan dua hal bijak saat mengembang keluar pada abad ke-19 dan 20, kata Hall. London mempertahankan tamantaman semi-liar yang luas, seperti Hampstead Heath, tempat warga dapat bercengkerama dengan alam. Lebih penting lagi, London memperluas jalur kereta api di atas dan bawah tanah. Perbaiki transportasi, kata Hall. Lalu biarkan semua berjalan apa adanya.

Setelah berkata demikian, ia menghilang ke bawah tanah untuk pulang, meninggalkan saya di trotoar ramai dengan karunia besar: beberapa jam untuk dilewatkan di London. Ebenezer Howard pun tentu memahami perasaan itu, setidaknya ketika masih muda. Saat pulang setelah beberapa tahun di AS, ia menulis, Aku sering dikuasai perasaan suka cita yang aneh pada saat seperti itu... Jalan ramai pertanda kemakmuran, kekacauan dan kesemrawutan menarik bagiku, dan membuatku gembira.

Mengupayakan Kota Tanpa Kawasan Kumuh


Posted Jumat, Oktober 30, 2009 by adronafis28 in Berita Palembang. Tinggalkan sebuah Komentar

Dalam satu dasawarsa terakhir, laju kekumuhan di Indonesia kian meningkat. Perlu kerja keras semua pihak untuk mengeremnya. Laporan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang kependudukan UN-Habitat, sampai dengan tahun 2005, terdapat 1 miliar penduduk perkotaaan dunia yang tinggal di lokasi padat kumuh. Pada tahun 2010, UN-Habitat memperkirakan jumlahnya akan meningkat sekitar 1,4 miliar penduduk. Sementara itu, menurut laporan dewan ekonomi dan sosial PBB pada 2006, menyatakan dengan asumsi rata-rata pertumbuhan penduduk dunia 1,8% per tahun, pada tahun 2030 jumlah penduduk perkotaan di dunia diperkirakan mencapai 4,9 miliar orang atau 60% dari penduduk dunia. Di Republik ini, sekitar 15 juta rumah, yang dihuni penduduk, masuk kategori standar. Adapun, menurut Direktorat Pengembangan Permukiman Direktorar Jenderal Cipta Karya pada Departemen Pekerjaan Umum, permukiman yang masuk kategori kumuh terbagi dua. Pertama, SLUMS : kawasan atau lingkungan permukiman yang tidak dilayani infrastruktur secara memadai, seperti air bersih, sanitasi, tapi status kepenghuniannya kerap ilegal. Kedua, SQUATTERS : kawasan atau lingkungan permukiman yang dihuni warga secara legal, biasanya di tanah kosong bukan milik dan tidak ada tempat yang diperuntukkan bagi permukiman (di bantara kali, sungai, rel kereta api, kolong tol, jembatan dan lain-lain).

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tingkat kekumuhan kawasan pemukiman di Indonesia mencapai 2,9% per tahun pada 1999-2004; dari 47.000 hektar jadi 54.000 hektar. Sementara itu, lima tahun berikutnya, 2004-2009, menurut perkiraan United Nation Development Programme atau (UNDP), luas permukiman kumuh di Tanah Air akan bertambah sebesar 1,37 persen setiap tahunnya. Sehingga, pada 2009 ini, diperkirakan luas permukiman kumuh di Indonesia mencapai 57.800 hektar Perluasan lahan kumuh ini tak mustahil akan terus membengkak beberapa tahun ke depan, jika tak dibarengi dengan kesiapan daerah-daerah, terutama di perkotaan, mengantisipasinya. Sayangnya, kota-kota kita cenderung kurang siap untuk itu. Para pengambil keputusan maupun perencana kota terkesan reaksioner dalam menyikapi persoalan kekumuhan, yang, ujungujungnya, memberi dampak yang tak sedikit. Peremajaan kota Alih-alih merelokasi kawasan kumuh, justru, pendekatan konvensional paling populer yang diambil pemimpin di daerah adalah menggusur permukiman kumuh, dan menggantinya dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Fenomena inilah yang disebut peremajaan kota. Kondisi ini menyebabkan warga yang tergusur akan mengalihkan tempat tinggalnya ke tempat-tempat lain. Dampaknya, kekumuhan maupun kawasan kumuh kian merebak. Kemiskinan terus bertahan. Bukankah, masyarakat yang mendiami kawasan kumuh dominan miskin? Sejatinya, kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan, tetapi tidak dengan menggusur masyarakat telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi orang yang tergusur, penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi permukimannya yang baru. Di Amerika Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada 1950 dan 1960-an. Pada saat itu, permukiman-permukiman masyarakat miskin di pusat kota digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih baik. Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja, dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan kian susah. Peremajaan kota yang dilakukan saat itu sering disesali oleh para ahli perkotaan saat ini. Soalnya, peremajaan itu menyebabkan timbulnya masalah sosial seperti kemiskinan perkotaan yang semakin akut, gelandangan dan kriminalitas. Menyadari kesalahan yang dilakukan masa lalu, pada awal 1990-an, kota-kota di Amerika Serikat lebih banyak melibatkan masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaannya dan tidak lagi menggusur mereka untuk menghilangkan kemiskinan di perkotaan.

Sekelumit gambaran di atas adalah adalah kenyataan bahwa peremajaan kota bukan suatu solusi bagi penanganan kawasan kumuh. Ada solusi lain yang bisa diambil. Pertanyaannya kemudian, apakah solusinya itu? Kota perlu perencanaan strategis Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto punya jawabannya. Menurut dia, setiap kota-kota mesti punya perencanaan strategis dalam pembangunan permukiman perkotaan. Rencana strategis ini harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah di kabupaten dan kota, demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Masalah urbanisasi-perpindahan warga dari desa ke kota secara massif-kata Menteri Kirmanto, adalah masalah yang juga dihadapi kota-kota di dunia. Pertumbuhan pesat urbanisasi berdampak pada turunnya daya dukung kota dalam pemenuhan pelayanan perkotaan yang layak bagi masyarakat. Rencana strategis pembangunan permukiman akan menjadi alat penting bagi setiap kota dalam pemenuhan tekananan urbanisasi, kata Menteri, termasuk dalam infrastruktur dasar permukiman berkelanjutan. Penataan kawasan-kota yang terpadu, tidak reaktif, akan menjadikan daerah-daerah perkotaan di Indonesia lebih siap dengan kebutuhan kini dan masa depan, Menteri Kirmanto menambahkan. Selain mengantisipasi pertumbuhan penduduk, lanjut Menteri, perencanaan kota juga perlu mengantisipasi terjadinya bencana alam. Kota-kota terutama di daerah rawan gempa, kata dia, perlu disiplin menerapkan perencanaan struktur bangunan rumah dan gedung di daerah rawan gempa. Saya mengajak setiap kota untuk segera menyiapkan strategi pembangunan kota dan strategi pengembangan permukiman perkotaan. Sebagai langkah antisipasi penangan permukiman yang tidak bersifat reaktif, namun berkelanjutan, kata Menteri. Pada sisi lain, Budi Yuwono, Direktur Jenderal Cipta Karya pada Departemen Pekerjaan Umum, mengatakan bahwa sistem perencanaan kota di dunia memerlukan penyempurnaan. Soalnya, Karena lebih sering menjadi penyumbang permasalahan ketimbang perbaikan bagi kualitas manusia dan lingkungannya, kata dia. Perencanan kota, menurut Budi, juga harus bergeser dari eksklusifitas menjadi inklusivitas. Dengan kata lain, melibatkan peran serta masyarakat, mulai dari perencanan hingga pelaksanaan. Juga harus berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, katanya lagi.

Hari habitat Pernyataan Menteri Kirmanto di atas mengemuka dalam peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) pada tahun 2009 ini. Di Indonesia, Hari Habitat secara nasional digelar di Palembang, dan dipusatkan di Plaza Benteng Kuto Besak, Senin (5/10) lalu. Sedikit mengulas, agenda habitat dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Deklarasi Vancouver 1976. Setelah itu, Majelis PBB, dalam Sidang Umumnya pada 1985, menetapkan Hari Habitat Dunia jatuh pada setiap Senin pertama bulan Oktober. Melalui peringatan ini, PBB mengajak bangsa-bangsa untuk memikirkan kondisi permukiman dunia dan hak atas hunian layak, serta mengingatkan dunia akan tanggung jawab bersama untuk masa depan permukiman yang lebih baik. Negeri kita, setahun setelah resolusi PBB bernomor 40/202 itu dikeluarkan, secara teratur menyelenggarakan peringatan hari habitat secara nasional. Dan pada 2005 Indonesia jadi tuan rumah Hari Habitat tingkat internasional karena upaya pengembangan permukiman yang lebih baik. Adapun tema peringatan HHD di Palembang adalah Merencanakan Masa Depan Perkotaan Kita. Tema ini dipilih UN-Habitat (badan PBB untuk masalah kependudukan) untuk meningkatkan kesadaran perlunya penyempurnaan perencanaan kota dalam menghadapi tantangan perkotaan abad 21, ini. Khususnya tentang pertumbuhan pesat urbanisasi yang memberikan akibat wajar yang negatif pada peningkatan kepadatan penduduk, kemiskinan dan permukiman kumuh, seperti yang dikemukakan di atas-tadi. Tahun lalu, peringatan serupa dilaksanakan di Denpasar dan bertajuk Harmonious Cities atau kota-kota yang harmonis. Mundur beberapa tahun, Kota Solo (2007), Jakarta (2006 dan 2005), Semarang (2004), serta Denpasar (2003) dipilih sebagai tuan rumah penyelenggara. Salah satu kegiatan utama puncak peringatan HHD di Palembang ini, adalah pameran best practices perencanaan kota oleh sembilan kota yang telah dinilai berhasil dalam menerapkan tata ruang kota. Kesembilan kota itu yakni Palembang, Surakarta/Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Surabaya, Blitar, Balikpapan, Bontang, dan Tarakan. Dari kegiatan ini diharapkan kreativitas penanganan kawasan kumuh yang dilakukan oleh kotakota ini dapat menjadi benchmark dalam perencanaan kota bagi kota-kota lain, kata Ketua Tim Pengarah Sekretariat Nasional Habitat Budi Yuwono, yang juga Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen PU. Menurutnya, apa yang telah dilakukan oleh kota-kota tersebut telah memperlihatkan bahwa perencanaan kota yang berhasil adalah perencanaan kota yang partisipatif, artinya melibatkan seluruh para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. Best practices, di Palembang, dilaksanakan melalui penangan permukimah kumuh yang terintegrasi dengan penanganan waterfront Sungai Musi sebagai kawasan; program kali bersih

yang melibatkan masyarakat menciptakan Sungai Musi dengan 40 anak sungainya yang bersih; serta revitalisasi permukiman di bantaran Sungai Musi baik Ulu maupun Ilir. Palembang dipuji Menteri Dalam kesempatan peringatan HHD, yang juga dihadiri Menteri Negara Perumahan Rakyat Mohammad Yusuf Asyari, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra, Menteri Kirmanto memuji kinerja dan komitmen Pemerintah Kota Palembang dalam pengelolaan lingkungan. Menurut Menteri, dalam beberapa tahun terakhir, Palembang sebagai kota metropolis telah mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan tertata apik. Kota Palembang mendapat Adipura. Kemudian pada 2008 dapat penghargaan Adipura ASEAN, ini prestasi tersendiri, katanya. Selain keberhasilan mendapat Adipura-suatu penghargaan di bidang pengelolaan lingkungan hidup perkotaan-, Kota Palembang dikatakan Menteri juga berhasil dalam pengelolaan air bersih, drainase, serta penataan kawasan kumuh. Atas prestasi ini, Palembang ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggaraan hari habitat dunia di Indonesia, katanya, sedikit mengulas alasan Palembang ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggara. Padahal, pada 2006 lalu, bersama 9 kota yakni Jakarta, Medan, Semarang, Bandung, Batam, Makassar, Banjarmasin, Surabaya, dan Yogyakarta, Palembang dianggap sebagai kota yang memiliki beban kawasan pemukiman kumuh terbanyak. Menteri Kirmanto juga mengatakan, melalui peringatan HHD ini, pemerintah mematok sejumlah target. Pada 2010, kata Menteri, sebanyak 200 kota di Indonesia ditargetkan tak lagi kumuh. Target pembebasan kawasan kumuh diperluas lagi menjadi 350 kota pada 2015. Dan, pada 2020, diharapkan semua kota telah terbebas dari kawasan kumuh. Untuk air minum dan sanitasi, target pemerintah adalah meningkatnya jumlah masyarakat perkotaan yang dapat akses air minum yang aman sebesar 84 persen. Kemudian peningkatan akses pelayanan air limbah menjadi 85 persen (setara 67 juta penduduk perkotaan), serta meningkatnya pelayanan persampahan sebesar 70 persen. Semuanya prosentase itu, ditargetkan tercapai pada 2015. Hal ini sejalan dengan target MDGs. Namun ini butuh komitmen dan kreativitas pemerintah daerah, serta dukungan masyarakat, Menteri Kirmanto menambahkan. Terkait kreativitas ini, Budi Yuwono mengatakan, tindakan pemerintah daerah terhadap pendatang baru di perkotaan masih bersifat reaktif dan belum antisipatif. Pemerintah daerah di Indonesia tidak siap dalam penyediaan infrastruktur permukiman dasar yang layak seiring

pertambahan jumlah penduduk, mereka baru menjalankan program tertentu jika sudah ada masalah. Maka tidak aneh jika jumlah kawasan kumuh terus meningkat, bilang dia. Melibatkan masyarakat Selain sebagai akibat para pemimpin daerah (gubernur/bupati/wali kota) yang belum punya perencanaan yang baik di wilayahnya, kondisi kekumuhan yang terus meningkat juga disebabkan kurangnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan kota. Padahal, menurut Direktur Jenderal Penataan Ruang Imam Ernawi, peran masyarakat dalam perencanaan kota telah diakomadasi dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Imam Ernawi juga mengatakan perencanaan kota untuk penanganan kawasan kumuh harus bersifat inklusif, tidak lagi eksklusif yang hanya milik Pemerintah saja. Yang penting komitmen yang kuat dari pemerintah daerah yang kreatif dan inovatif dalam mengimplementasikan rencana kota tersebut, kata Imam Ernawi. Peran swasta Selain belum melibatkan masyarakat, lemahnya penataan kawasan terutama kawasan kumuh perkotaan, ditengarai karena pihak swasta belum terlalu dilibatkan secara maksimal. Padahal, sejatinya, pengembangan kawasan di perkotaan turut andil dalam peningkatan perekonomian. Untuk itu, swasta diharapkan dapat berinvestasi untuk pengembangan perkotaan, menyulap kawasan kumuh jadi kawasan bisnis, tentu saja dengan prioritas awal : membantu masyarakat miskin kota. Dari segi anggaran, menurut Ir Patana Rantetoding, Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Perdesaan pada Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, pemerintah pada tahun anggaran 2004 mengalokasikan dana senilai Rp 71 miliar untuk penataan dan revitalisasi kawasan di 29 provinsi di tanah air. Dana itu diperuntukkan bagi 8 kota besar di Indonesia seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, dan Medan, Ujung Pandang serta Denpasar. Ke depan, kata Patana, pemerintah mengharapkan swasta lebih dominan berperan dalam penataan kawasan perkotaan. Sedangkan peran pemerintah lebih kepada entrepreneur (perencana kota). Untuk itu, kebijakan dan opsi pemerintah sebagai stimulator & fasilitator harus dapat menciptakan iklim yang favorable sehingga menarik minat swasta untuk berinvestasi. Selain itu, Patana melanjutkan, para pemilik tanah pun akan disertakan dalam kepemilikan pengembangan perkotaan agar pembebasan lahan dipermudah. Diharapkan adanya win-win solution antara investor dan masyarakat, katanya.

Ia menerangkan, ketertarikan swasta dalam suatu bisnis jika ada keuntungan atas investasi yang ditanamkan. Karena itu, pemerintah tidak bisa campur tangan terlalu jauh agar investor meneruskan programnya. Khusus bagi investor asing, pemerintah akan memberikan berbagai kemudahan (tidak banyak batasan-batasan) sehingga mereka mau menanamkan modalnya di Indonesia. Alasannya, bila dibatasi, maka sulit untuk menanamkan investasi. Padahal saat ini kita sangat membutuhkannya, kata Patana. Ia mencontohkan, pengembangan kawasan Grogol, Jakarta Barat, merupakan kegiatan yang menyertakan peran swasta. Dulunya dikenal sebagai kawasan kumuh, kini, kawasan di sana menjadi kawasan elit. Secara otomatis, perekonomian di sana meningkat dan yang diuntungkan juga masyarakat, ujar dia. Lana Winayanti, dari Kementerian Negara Perumahan Rakyat yang juga ketua harian Sekretariat Nasional Habitat, menerangkan, dalam rangka mengurangi kawasan kumuh, Kementerian Perumahan dan Direktorat Jenderal Cipta Karya mengadakan program Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) dan Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami). Kedua program tersebut diperuntukkan khusus untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah, kata Lana, dalam periode 2005-2009 telah membangun 18.848 unit Rusunawa yang tersebar di 59 kota di 24 provinsi. Untuk mengurangi permukiman kumuh di perkotaan, memang hal yang harus didorong melalui pembangunan permukiman vertikal baik Rusunawa maupun Rusunami, kata dia. Palembang dan upaya mengatasi kekumuhan Upaya mengurangi kawasan kumuh di jantung kota dapat dilakukan, salah satunya, melalui relokasi kawasan kumuh dengan membangun rumah murah bagi warga miskin kota. Di Palembang, pemerintah kota tengah membangun 140 unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Letaknya di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I. Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra, awal Juli 2009 lalu telah melaunching dua rumah contoh dari program rumah itu. Menurut Asisten I Pemerintah Kota bidang Ekonomi dan Pembangunan Apriadi Busri, pembangunan rumah tersebut merupakan program Departemen Pekerjaan Umum untuk warga miskin yang bermukim di perkampungan kumuh. Untuk pembangunan rumah, pemerintah pusat mensubsidi Rp 16 miliar dan Pemerintah Kota Palembang menyediakan dana senilai Rp 1,5 miliar untuk pembebasan lahan.

Melalui subsidi tersebut, pemerintah pusat mensyaratkan bahwa penerima bantuan rumah ini harus berasal dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah, terutama bagi keluarga yang belum memiliki rumah sampai sekarang. Pembangunan 140 rumah itu direncanakan di atas lahan milik pemerintah kota seluas enam hektar dan akan bertipe 36/90 dengan bentuk rumah di atas tanah (landing house) dan rumah panggung (bertiang). Rumah jenis pertama dibangun sebanyak 70 unit di Jl. Jaya Laksana, dan 70 unit lagi dibangun di Jl. Prajurit untuk rumah panggung. Rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah itu dilengkapi dengan 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Fasilitas seperti listrik dan air bersih juga disediakan. Menurut wali kota, harga rumah tersebut sekitar Rp 39 juta hingga Rp 54 juta. Dengan angsuran antara Rp 10 ribu hingga Rp 12.500 per hari. Ada dua aspek penting, kata wali kota, dalam program perumahan tersebut. Pertama, penataan pemukiman kumuh dan kedua penyediaan rumah layak huni bagi warga kurang mampu. Meski begitu, tidak semua warga tak mampu dan belum punya rumah layak huni yang berhak menempati rumah baru mereka tersebut. Pemerintah terlebih dulu akan melakukan seleksi kepada para pendaftar rumah murah itu. Nanti ada tim seleksi yang melakukan survei. Tapi tetap diperuntukan warga sekitar, yang masih tinggal di tempat kumuh dan tidak layak huni, Eddy Santana menegaskan. Sebagai informasi, masyarakat berpenghasilan rendah terbagi dalam tiga kelompok. Masingmasing masyarakat yang berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta, penghasilan Rp 1 juta hingga Rp 1,7 juta dan berpenghasilan Rp. 1,7 juta Rp 2,4 juta. Selain pembangunan 140 unit rumah di 3-4 Ulu, pemerintah kota melalui Dinas PU Cipta Karya Palembang juga akan membangun 100 unit rumah di Jakabaring. Rumah di Jakabaring itu merupakan bantuan dari Kementerian Perumahan Rakyat. Pemerintah mensubsidi Rp 4 juta untuk pembangunannya, dan Rp 4,4 juta untuk pembangunan infrastrukturnya, kata Kepala Dinas PU Cipta Karya Kota Palembang, H.M. Fachmi, AR, beberapa waktu lalu. Libatkan swasta, sesuai rasio Selain pembangunan rumah di Jakabaring, kata Eddy Santana, pemerintah kota juga menyiapkan kawasan siap bangun yang berlokasi di kawasan Alang-alang Lebar, dengan luas sekitar 650 hektar. Pada kawasan ini juga dibangun perumahan oleh Perusahaan Umum Perumahan Nasional dan berbagai pengembang untuk kategori rumah sehat sederhana. Jumlahnya sekitar 3 ribu rumah, sebut Eddy.

Selain itu, Eddy juga mengatakan pemerintah kota bersama pihak pengembang juga menyiapkan pembangunan perumahan untuk kalangan menengah ke atas. Di Palembang, katanya, perumahan ini akan dibangun oleh pengembang Citra Grand City dan Gardenia Hill. Meski begitu, ujar Eddy, pembangunan perumahan di kota ini tetap memperhatikan dan sesuai dengan rasio 1:3:6. Yakni satu rumah untuk kalangan atas, tiga untuk kalangan menengah, dan enam untuk kalangan bawah, kata Eddy, dalam sambutannya pada peringatan HHD. Dalam kesempatan tersebut, Eddy juga meminta dukungan dari Menteri Perumahan Rakyat dan Pekerjaan Umum, Direktur Perumnas, untuk membantu permasalahan lingkungan fisik di komplek rumah susun 23 Ilir. Saat ini sudah tidak memadai lagi. Semoga masalah ini masuk dalam agenda Perumnas, demikian juga penataan kawasan kumuh di tempat-tempat lain, dengan dukungan departemen dan pemerintah provinsi tentu ini akan lebih cepat lagi, kata Eddy Santana. Bebas kumuh 2015 Terkait soal kekumuhan, orang nomor satu di kota yang bervisi internasional ini, menargetkan, pada 2015 di Palembang tak ada lagi kawasan-kawasan kumuh. Saat ini luas kawasan kumuh di Palembang 10% dari total luas wilayah 400 ribu hektar. Adapun sejumlah kawasan yang menjadi prioritas program revitalisasi kawasan kumuh tersebut yakni sepanjang kawasan Sungai Musi, seperti di Kecamatan Seberang Ulu I, Seberang Ulu II, Kertapati, Gandus. Kami menargetkan enam tahun ke depan, Palembang bebas dari kawasan kumuh yang kini tersebar di sejumlah wilayah sepanjang aliran Sungai Musi, katanya. Selain pembanguan rumah murah, pemerintah kota kata Eddy, juga membangun rumah susun sewa dan rumah susun milik melalui program NUSSP dan pemerintah pusat. Rusunawa sudah ada dan akan kembali ditambah, juga akan ada rusunami. Ini juga bantuan pemerintah pusat, jelasnya. Sebagai informasi di Palembang telah dibangun rumah susun sewa. Letaknya di Jl. Kasnariansyah KM 4,5 Kecamatan Ilir Timur I. Palembang Pelopor Staf Ahli Menteri PU bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat Ismanto, mengatakan, program penataan pemukiman kawasan kumuh telah berjalan sejak beberapa tahun lalu.

Untuk wilayah Sumatera ada beberapa kota, seperti Palembang, Bengkulu dan beberapa daerah lain. Tapi daerah lain belum berjalan, karena masalah lahan. Karena itu, Palembang ini jadi pionir, sebut Ismanto. Palembang, kata Ismanto, dipilih karena memiliki banyak kawasan kumuh. Khususnya di pinggir sungai. Karena itu, dengan dukungan pemerintah daerah dalam penyediaan lahan, maka program ini dapat dijalankan. Tujuan akhir program ini adalah menciptakan kota baru yang rapih dan berwawasan lingkungan. Target secara nasional dalam RPJP, 2020 tidak ada lagi pemukiman kumuh di Indonesia, dan 2016, ditargetkan 50 persen dari target tersebut telah tercapai, beber Ismanto. Pemprov Sumsel Bangun 2.000 Rumah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan juga berencana membangun sebanyak 2.000 unit rumah bagi PNS dan pekerja informal. Seribu unit rumah murah akan dibangun di Jakabaring, bertipe 21 (luas tanah 100 meter). Sedangkan untuk kalangan buruh dan pekerja kasar, rumah tipe 36, dibangun di kawasan Musi II. Rumah tipe 36 dibangun dengan trend perumahan bergaya minimalis di lahan timbunan dengan atap pelana kopel. Dilengkapi fasilitas aliran listrik, air bersih dan gas kota, rumah ini memiliki dua kamar tidur berukuran 2 x 3 meter dan ruang tamu 3 x 3 meter. Lantai di-floor biasa. Cicilannya Rp 10.000 ribu per hari. Tipe 21 sedikit unik karena dibangun dengan konsep rumah panggung tanpa menimbun sehingga kontur tanah berawa sebagai daerah resapan air dipertahankan. Tipe 21 memiliki dua kamar tidur masing-masing 2 x 3 meter persegi, kamar mandi 1 x 1,5 meter persegi, ruang tamu 3 x 3 meter persegi dan garang 1 x 3 meter. Untuk pengembangan bangunan perumahan, pemerintah provinsi juga menyediakan tanah lebih dengan syarat tidak ada kegiatan penimbunan. Dari sisi konsep dan lingkungan, rumah panggung tipe 21 lebih menarik perhatian karena untuk di Indonesia baru Sumatera Selatan yang memiliki pengembangan konsep rumah panggung yang memiliki tata ruang yang tidak merusak alam. Untuk rumah tipe 21 ini, cicilannya hanya Rp 5.000 per hari. Fasilitas yang dimiliki tidak kalah dengan kawasan perumahan elite dan menengah atas. Di perumahan ini, fasilitas yang disediakan lengkap, mulai dari air bersih hingga jaringan listrik dengan sistem kabel dalam tanah. Ditambah fasilitas jaringan gas kota, kata Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin. Akhir 2009 ini sebanyak 2.000 unit rumah selesai dibangun. Tahun berikutnya pada 2010 perumahan murah akan dibangun lagi. Pemprov dibantu oleh Kementerian Perumahan Rakyat, ujar Alex, saat peletakan batu pertama pembangunan 2.000 unit rumah itu, di kawasan Jakabaring, dekat perumahan Ogan Permata Indah, April 2009 lalu.

Setelah program rumah murah, gubernur berencana akan membangun lima kondominium pada 2011. Saat itu Palembang akan menjadi salah satu tuan rumah SEA Games. Kondominium itu akan menjadi tempat tinggal 4.200 atlet dari cabang atletik, sepak bola, polo air, renang, futsal, dayung, kapal tradisional, gulat, biliar, dan senam. Begitu selesai SEA Games, rumah-rumah ini akan dijual kepada masyarakat yang belum memiliki rumah, Alex berujar, seraya menambahkan pembangunan rumah murah ini sekarang telah menyebarluas ke 15 kabupaten dan kota di Sumatera Selatan. Pembangunan rumah murah di Sumatera Selatan direspon positif pemerintah pusat. Menurut Deputi Menteri Perumahan Rakyat RI Bidang Pembiayaan Dr Titi Murbianto, pihaknya mengalokasikan dana subsidi untuk rumah murah senilai Rp 2,5 triliun. Dari jumlah itu, baru 30 persen dana yang terserap. Ada sinyal dari Kementerian Perumahan Rakyat dana Rp 1,7 akan di bantukan ke Sumsel bila pembangunan rumah terus meningkat. Semakin banyak subdisi yang disediakan terserap ke Sumsel akan semakin baik, kata Titi Murbianto. Mengupayakan kota tanpa kawasan kumuh memang tak mudah. Namun itu bukan tak mungkin. Asal punya komitmen, dan terpenting, perencanaan yang strategis dan menyeluruh. (yat/berbagai sumber, dengan penyuntingan seperlunya)

PEMERINTAH TARGETKAN KAWASAN KUMUH PERKOTAAN HILANG PADA 2020 Minggu, 07 Juni 2009 Pemerintah menargetkan Indonesia terbebas dari kawasan permukiman kumuh di perkotaan pada 2020. Sejalan dengan itu, melalui dukungan dana dari Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP), Direktorat Jenderal Cipta Karya menyalurkannya melalui Pemerintah Daerah yang tersebar di 52 kota pada 18 provinsi.

Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat, Ismanto mengungkapkan hal itu saat membuka Peluncuran Program Kampanye Publik Untuk Perubahan Perilaku Masyarakat Terhadap Lingkungan Permukiman layak Huni hari ini (4/6) yang digelar di Halaman Rusunawa Marisso, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Menurut Ismanto, seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk di perkotaan setiap tahun, maka harus diimbangi dengan pembangunan infrastruktur permukiman yang memadai. Jika tidak ditangani, lingkungan permukiman kumuh di perkotaan akan semakin menjamur.

Berdasarkan data Ditjen Cipta Karya, pada tahun 2000 terdapat 21 juta keluarga tinggal diperkotaan dengan laju pertumbuhan 800 ribu unit per tahun, 5,2 juta diantaranya mereka tinggal pada kawasan tidak layak huni. Bahkan 3,5 juta keluarga tercatat tidak memiliki rumah tinggal. Ironisnya, kondisi itu masih diperburuk dangan laju pertumbuhan penduduk diperkotaan yang cukup tinggi yakni 2,5 3 persen.

Dicontohkan, Kota Makassar pada 2007 mengalami pertumbuhan penduduk sebesar 1,7 persen per tahun. Kondisi itu, jika tidak segera ditangani dengan pembangunan infrastruktur permukiman niscaya ke depan permukiman kumuh semakin menjamur di Kota Angin Mamiri. Saat ini, luas permukiman kumuh sudah mencapai 443 ha dengan kepadatan rata-rata 16 jiwa per hektar.

Jika Pemkot Makassar bisa menguranginya, maka peranan kontribusinya cukup besar dalam pencapaian target nasional 2020 yakni kota tanpa kumuh, tegas SAMPU.

Turut hadir dalam acara tersebut antara lain Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Susmono dan Direktur Pengembangan Permukiman Guratno.

Ismanto menambahkan melalui program NUSSP Kota Makassar terbukti telah memberikan manfaat yang besar khususnya bgi 85 ribu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sejak 2005.

Adapun infrastruktur yang terbangun berkat dukungan NUSSP diantaranya pembangunan jalan setapak, jalan lingkungan, saluran drainase, 59 unit MCK, Hidran

Umum, TPS Komunal dan 75 unit gerobak sampah serta turut membantu akses kredit perumahan bagi MBR.

Menurutnya, saat ini program NUSSP tengah memasuki tahap pasca-konstuksi (pemeliharaan). Untuk itu Pemerintah berharap agar infrastruktur yang telah terbangun dapat dimanfaatkan dan dipelihara secara baik baik oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat.

Sementara itu Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin menegaskan, berbagai prasarana dasar yang telah terbangun selalu melibatkan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di dalamnya. Badan ini yang mengkoordinir berkaitan dengan pelibatan masyarakat kelurahan. Bahkan BKM juga berperan mulai tahap perencanaan hingga pembangunan direalisasikan.

Menurut Ilham, sebanyak 64 kelurahan di wilayahnya telah menerima bantuan NUSSP. Dari 64 kelurahan itu, hanya 5 kelurahan (Cambayya, Parang Tamlang, Kaluku Budoa, Lette dan Kappokaling) dengan rata-rata penduduk 5 13 ribu jiwa. Dirinya berharap Peluncuran Program Kampanye Publik ini dapat mendukung gerakkan Makassar Bersih dengan motto Makassar Green & Clean.

Program ini dinilai cukup berat mengingat Kota Makassar selalu dialiri kaum urban hingga 300 ribu jiwa per hari. Terlebih menjelang malam tiba jumlahnya meningkat dari 1,3 juta pada siang hari menjadi 1,5 juta pada malam hari. Meski dirinya sedikit lega.Pasalnya dalam lima tahun terakhir tidak ada penambahan kawasan kumuh.

Yang ada justru perbaikan, prasarana dasar seperti jaringan air bersih, sanitasi dan tempat samah, sebut Walikota Makassar.

Walikota menegaskan, sebaik apapun program yang dibuat jika tidak didukung dana dan tekad yang kuat, program tidak akan berhasil. Terkait dengan itu, program peluncuran yang semula akan digelar di hotel berbintang kami alihkan kesini. Tujuan

kami agar masyarakat dapat melihat langsung kesiriusan dan semangat aparat Pemkota dalam penanganan kawasan kumuh permukiman di perkotaan, harap Ilham Arief optimis.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur PPLP, Susmono mengaku cukup bangga kepada pers yang terakhir tahun ini mulai menyukai informasi terkait dengan lingkungan kumuh dan keburukan sektor sanitasi. Terkait dengan penyehatan lingkungan selama ini kendala terberat adalah menyadarkan masyarakat dari kebiasaan buruk membuang sampah /kotoran ke saluran drainase atau sungai.

Untuk menyikapi permasalahan tersebut pihaknya bersama instansi seperti Bappenas, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri melakukan gerakan sosialisasi kepada masyarakat.

Upaya ini kami lakukan hingga lima tahun ke depan. Saya optimis melalui berbagai lomba yang kami gelar kepada anak-anak dan ibu rumah tangga akan membuahkan hasil 5 tahun mendatang, ujar Susmono.

Dirinya menyadari, program yang dijalankan hasilnya baru kelihatan jangka panjang. Tapi Susmono optimis, dalam lima tahun ke depan prilaku masyarakat bisa berubah perlahan-lahan. Besar kemungkinan juga kita bisa bebas kumuh lebih cepat dari yang ditargetkan. Pasalnya, masyarakat menginginkan kebersihan lingkungan, hanya saja kebiasaan buruk dari sebagian kecil masyarakat seringkali menjebak mereka ikut terpengaruh. (Sony)

Wisata Lingkungan Kumuh, Solusi Pemberdayaan Urban


Posted on 19 Februari 2011

Berwisata di pemukiman kumuh, mungkin kedengarannya aneh. Tetapi, setidaknya Pemerintah Kota Rio de Janeiro, Brasil, menyulap

kawasan kumuh Santa Martha menjadi objek wisata. Kawasan sangat miskin di Mumbai, India, menjadi objek wisata yang laris pascapopulernya film Slumdog Milionaire . Di Jakarta Utara, wisata kampung miskin ditanggapi sinis dan pujian. Salah satu LSM di Jakarta, beberapa waktu lalu, secara inovatif menggelar kunjungan wisata ke kawasan pemukiman kumuh di bagian utara Jakarta. Turis-turis asing yang diboyong menyusuri jantung-jantung kemiskinan Jakarta. Para pelancong sangat gembira karena merasa disuguhi sesuatu yang lain dari biasanya. Tetapi slum tourism yang dihajat Interkultur dengan tajuk Jakarta Hidden Tours ini mendapat tanggapan beragam. Ada yang menyatakan ini sebuah inovasi dan pemberdayaan, tetapi juga ada hujatan bahwa tidak etis mengeksploitasi dan memertontonkan kemiskinan. Jakarta Hidden Tours ternyata menarik perhatian media, sehingga jaringan televisi berita terkemuka di Amerika, CNN, kemudian membuat satu paket siaran diberi nama Slum Tourism: Visitors See the Real Jakarta. Berita ini memerlihatkan sisi lain realitas meteropolitan Jakarta, di balik gedung-gedung pencakar langit dan berbagai simbol hedonisme, ada perkampungan reot, gang busuk berbecek dan anak-anak yang menyantap makanan sisa dari limbah restoran dan rumah makan. Pihak Interkultur menepis anggapan bahwa apa yang dilakukan sebagai eksploitasi, seperti diberitakan banyak media. Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemberdayaan. Interkultur menginginkan lewat tur ini, tidak sekadar memperlihatkan kepada turis tentang sesuatu yang tidak biasa, tetapi dalam interaksi itu, ada pertemuan manusia dan kultur. Alasan Interkultur ini dikuatkan dengan pendapat seorang turis yang menyatakan sudah berulang kali ke Asia dan selalu menemukan seperti apa yang ada di dunia barat, kecuali ketika mengikuti Jakarta Hidden Tours ia memperoleh susuatu yang manusiawi, tidak sekadar pemandangan indah pegunungan dan pantai-pantai berpasir. Para turis yang mengikuti Jakarta Hidden Tours diberi pilihan, apakah membawa kendaraan sendiri, kendaraan sewaan, atau kendaraan yang disediakan Interkultur. Jika para turis memilih paket yang disediakan Interkultur, kepada setiap turis dikenakan biaya sebesar 34 dolar. Seperdua pendapatan yang diperoleh digunakan sebagai biaya operasional, dan seperduanya menjadi bagian dari masyarakat pemukiman kumuh yang menjadi objek wisata. Masih ingat film Slumdog Millionaire? Sinema layar lebar yang mengangkat realitas kemiskinan di Kota Mumbai, India itu bukan hanya menjadi salah satu film terbaik di Amerika yang ditontonton sebagian penduduk dunia. Pascaterkenalnya film yang diproduksi dua tahun lalu itu, kawasan pemukiman miskin di Mumbai justru menjelma menjadi daerah tujuan wisata. Para turis yang datang selain melihat langsung lokasi film Slumdog Millionaire, juga ingin bertemu dengan pemeran film ini, seorang anak laki-laki yang berasal dari kawasan kumuh ini, serta warga lainya yang terlibat langsung dalam film. Pelajaran dari Brasil Inovasi slum tourism justru diwujudkan Pemerintah Kota Rio de Janeiro, Brasil. Mereka menyulap kawasan kumuh Santa Martha menjadi objek wisata lingkungan miskin lewat program Rio Top Tour: Rio de Janeiro, diluncurkan Agustus tahun lalu oleh Presiden Brasil yang ketika

itu masih dijabat Luiz Inacio Lula da Silva. Pemerintah kota kemudian mengampanyekan secara luas, semacam visit to Rio de Janeiro dengan daerah tujuan wisatanya adalah pemukiman kumuh. Di kawasan Santa Martha, disiapkan 30 objek wisata di antaranya lokasi yang pernah menjadi tempat shooting video clip Michael Jackson, dan sebuah sekolah samba di pemukiman kumuh. Pemerintah Kota Rio de Janeiro benar-benar memberdayakan potensi kawasan kumuh menjadi objek wisata dengan tidak mengubah karakteristiknya. Selain menyiapkan berbagai sarana, para penduduk miskin juga dilatih menjadi pemandu wisata serta membuat produk khas masyarakat miskin di Santa Martha. Warga miskin juga diberdayakan membuat pertunjuk jalan dan papanpapan informasi dalam bahasa Inggris. Salah satu dampak nyata dari program ini adalah mengubah Santa Martha. Kawasan ini dikenal sebagai wilayah hitam Rio de Janeiro, karena selain kumuh dan sangat miskin, juga menjadi basis kriminalitas yang menakutkan. Tetapi adanya Rio Top Tour: Rio de Janeiro, Santa Martha perlahan-lahan aman dan menjadi kawasan produktif. Pemberdayaan dan Perbaikan Lingkungan Pemukiman kumuh menjadi problem sosial dan lingkungan hidup yang sepanjang sejarah tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan kota. Problem urban selalu menjadi objek konflik horisontal yang abadi setiap kota besar, dan muaranya pada tindakan tegas yang tidak manusiawi. Masalah ini cenderung tidak bisa diatasi ketika menjadi konflik dilematis antara pemerintah kota dengan penghuni pemukiman kumuh, yang sebenarnya juga tumbuh akibat suburnya urbanisasi dan pembiaran pemerintah kota sejak dini. Di satu sisi, pemerintah kota menghendaki keterbitan dan kebersihan kota, tetapi di sisi lain, penduduk kawasan kumuh yang juga adalah manusia yang butuh hidup dan bermartabat. Mungkin, slum tourism menjadi salah satu solusi, selain memberdayakan masyarakat miskin, juga memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Pertanyaannya, wisata kumuh merupakan pemberdayaan, ironi, atau eksploitasi? Tergantung dari sudut mana kita memandang, apa niatnya, dan apa manfaatnya kepada sesama manusia. (mustam arif/informasi dari berbagai sumber)

You might also like