You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar belakang Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis berubah dari waktu ke waktu ada negara yang dikuasai negara lain dan ada pula negara baru yang lahir. Demikian pula pemerintah lama terguling, pemerintah baru lahir. Lahirnya negara atau pemerintah tersebut ada yang melalui cara-cara damai, ada pula yang melalui cara-cara kekerasan. Perubahan-perubahan ini menyebabkan anggota masyarakat internasional lainnya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mau menyetujui atau menolaknya. Tanpa mendapatkan pengakuan ini negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara lainnya. Negara yang belum mendapatkan pengakuan dapat memberi kesan dalam negara lain bahwa negara tersebut tidak mampu menjalankan kewajiban-kewajiban internasional. Dari praktek negara-negara tidak ada keseragaman dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan ini. Namun dengan diakuinya suatu negara/pemerintah baru, konsekuensi yang ditimbulkannya dapat berupa konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan Negara yang mengakui. Penolakan pemberian pengakuan oleh Amerika Serikat kepada Uni-Soviet selama 16 tahun lamanya misalnya semenjak revolusi Oktober 1917 di Rusia telah sangat mempengaruhi keadaan dunia pada masa tersebut, sebagaimana halnya penolakan pemberian pengakuan oleh Amerika Serikat kepada pemerintah Republik Rakyat Tiongkok semenjak berkuasanya rezim itu di Tiongkok mulai akhir tahun 1949, sangat banyak mempengaruhi keadaan politik di dunia umumnya, di Asia khususnya. Pengakuan terhadap suatu Pemerintahan atau Negara secara Internasional merupakan salah satu hal yang vital. Persoalan yang timbul adalah apakah suatu pemerintahan atau Negara baru memerlukan adanya suatu pengakuan internasional,

sehingga dari sudut hukum internasional dapat dianggap mampu melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. 1.2 Rumusan Masalah Adapun dalam makalah ini akan dibahas mengenai :
a. Apakah definisi dari pengakuan dalam hukum Internasional ?

b. Mengapa pengakuan dalam hukum Internasional sangat penting ? c. Bagaimana keterkaitan antara teori dan praktik pengakuan dalam hukum Internasional ?
d. Apa saja klasifikasi dalam pengakuan hukum Internasional ?

1.3 Tujuan Adapaun tujuan pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui definisi dari pengakuan dalam hukum Internasional
b. Untuk mengetahui pentingnya pengakuan dalam hukum Internasional c. Unuk mengetahui keterkatian antara teori dan praktik pengakuan dalam

hukum Internasional
d. Untuk mengetahui klasifikasi dalam pengakuan dalam hukum Internasional

1.4 Batasan Masalah Dalam makalah berjudul Pengakuan Dalam Hukum internasional akan dibahas mengenai definisi , tujuan, keterkaitan teori dan praktik, serta klasifikasi dalam pengakuan dalam hukum Internasional yang sekaligus menjadi batasan masalah dalam karya tulis ini.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengakuan Dalam Teori dan Praktek Hukum Internasional Pengakuan lebih merupakan manifestasi kepentingan politik daripada kepentingan hukum. Pengakuan internasional kepada suatu Negara, pemerintah atau belligeren cenderung menonjolkan aspek kepentingan. Ada atau tidaknya suatu kepentingan politik akan berpengaruh terhadap diberikannya atau tidak suatu pengakuan. Menurut Konvensi Montevideo 1933 secara politis, Negara menjadi subjek hukum internasional apabila telah memenuhi syarat-syarat: penduduk yang tetap; wilayah yang pasti; pemerintahan yang berdaulat dan kemampuan melakukan hubungan internasional dengan Negara-negara lain. Penggabungan, pemisahan dan penggantian pemerintahan baru, berarti terjadi perubahan bentuk Negara atau bentuk pemerintahan. Persoalan yang dihadapi oleh suatu Negara atau pemerintahan baru dari sudut pandang hukum internasional adalah berkaitan dengan masalah pengakuan (recognition). Persoalan yang timbul adalah apakah suatu pemerintahan atau Negara baru memerlukan adanya suatu pengakuan internasional, sehingga dari sudut hukum internasional dapat dianggap mampu melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Pengakuan apbila sudah menjadi ius cogen, maka secara hukum, pengakuan mutlak diberikan karena wajib bagi setiap pergantian, perubahan dan penggabungan Negara atau pemerintahan baru. Dengan kata lain, setiap pemerintahan atau Negara baru akan menjadi subjek hukum internasional akan syah apabila sudah mendapat pengakuan atau diakui oleh masyarakat internasional.
3

Negara yang memberikan pengakuan karena alasan-alasan politik dapat menimbulkan, tidak saja akibat politik tetapi juga menimbulkan akibat hukum yaitu : a.Akibat politik: Negara baru dapat mengadakan hubungan diplomatic dan; b.Akibat hukum: 1. 2. Pengakuan merupakan bukti terhadap keadaan yang sebenarnya (evidence of factual situation); Pengakuan menimbulkan akibat-akibat tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatic antar Negara yang mengakui dan diakui; Pengakuan memperkokoh status hukum Negara yang diakui dihadapan pengadilan Negara yang mengakui disamping alasan politis. Dalam prakteknya, Inggris member pengakuan apabila suatu Negara telah memenuhi syarat-syarat politis. 2.2 Klasifikasi Pengakuan a. Ada dua macam atau jenis pengakuan, yaitu :
1. Pengakuan de Facto; dan 2. Pengakuan de Jure.

Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni negara yang diberi pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara. Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau tidaknya pihak yang diakui itu. Sebab, bilamana negara yang diakui (atau fakta itu) ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan sendirinya. Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan apabila negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu negara
4

yang baru lahir itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya suatu negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung memberikan pengakuan de jure. pengakuan de jure akan diberikan apabila :

Biasanya

Penguasa di negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal maupun substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya; Rakyat di negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa (baru) itu; Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati hukum internasional.

b. Teori Pengakuan 1. Teori Konstitutif Menurut teori ini, pengakuan merupakan hal yang bersifat mutlak. Keberadaan suatu Negara harus melalui suatu pengakuan. Tanpa adanya pengakuan, maka suatu Negara tidak dapat dianggap sebagai suubjek hukum internasional. Akibatnya, Negara yang bersangkutan tidak dapat menjalin hubungan internasional Oppenheim menyatakan: A State in and becomes an international person trought recognition only and exclusively (sebuah Negara dalam dan akan menjadi subjek hukum internasional hanya melalui pengakuan yang ekslusif) Menurut teori ini, suatu Negara menjadi subjek hukum internasional hanya melalui pengakuan. Ada 2 alasan yang melatarbelakangi pendapat ini, yaitu: jika kata sepakat yang menjadi latar belakang hukum internasional, maka tidak ada Negara yang diperlakukan sebagai subjek hukum internasional, tanpa adanya kesepakatan, Negara-negara yang telah ada terlebih dahuku
5

dengan

Negara

lain.

2.Teori Deklaratif Menurut teori ini pengakuan merupakan suatu pernyataan, artinya, ada tidaknya suatu pengakuan bukan merupakan syarat penting. Secara hukum, tidak ada suatu ketentuan yang mengharuskan suatu Negara atau pemerintahan memperoleh pengakuan dari Negara lain sesuai dengan satu pendapat yang menyatakan: .there is no general acceptance of the existence of the duty or the right mentioned. No right to recognition Is laid down in the Draft Declaration on the right and duties of State, drawn up by the International law Commission.recognition in a facultative and not obligatory act is more consistent with the practice (tidak ada ketentuan umum bahwa terdapat kewajiban atau hak yang disebutkan untuk mengakui Negara atau pemerintah lain yang diatur di dalam rancangan deklarasi tentang hak dan kewajiban Negara-negara, dan juga dijelaskan oleh Komisi Hukum Internasional.. pengakuan tidak bersifat wajib dan tidak ada kewajiban hukum sesuai dengan praktek) Tidak adanya kewajiban mutlak dalam hukum internasional untuk memberikan pengakuan terhadap Negara atau pemerintahan yang baru. Apakah pengakuan mutlak diberikan atau tidak, beberapa pendapat member gambaran yang satu dengan yang saling secara berbeda, diantaranya: 1. Chen : pengakuan merupakan suatu kewajiban hukum internasional; dan 2. Ian Brownlie : Tidak ada suatu kewajiban hukum bagi masyarakat internasional untuk memberikan pengakuan terhadap suatu Negara atau pemerintahan baru. Berpedoman pada Resolution Institute of Interntional Law, yang menyatakan: pengakuan atas Negara baru merupakan tindakan sukarela dari satu atau beberapa Negara yang diakui adanya persekutuan hidup yang diorganisir secara politis diatas suatu wilayah tertentu, tidak tergantung pada Negara lain apapun, dan sanggup mematuhi kewajiban-kewajiban hukum internasional dan dengan jalan itu negara-negara menyatakan maksudnya untuk menganggap negara baru itu sebagai anggota persemakmuran iinternasional c. Cara Pemberian Pengakuan
6

Ada dua cara pemberian pengakuan, yaitu :


1. Secara tegas (expressed recognition); dan 2. Secara diam-diam atau tersirat (implied recognition).

Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas melalui suatu pernyataan resmi. Sedangkan pengakuan secara diam-diam atau tersirat maksudnya adalah bahwa adanya pengakuan itu dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu negara (yang mengakui). Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat dianggap sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam adalah :

Pembukaan hubungan diplomatik (dengan negara yang diakui secara Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui Pembuatan perjanjian yang bersifat politis (dengan negara yang

diam-diam itu);

secara diam-diam itu);

diakui secara diam-diam itu). d.Penarikan Kembali Pengakuan Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality). Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasional (Catatan: masalah pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam pembahasan mengenai suksesi negara). Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu negara dapat ditarik kembali? Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau tidaknya memberikan persyaratan terhadap pengakuan.
7

Terhadap persoalan di atas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan: (1) Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu; (2) Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali, sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang telah diakui tersebut. Sesungguhnya ada pula pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu tidak boleh disertai dengan persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi kepentingan pihak yang mengakui. Contohnya, suatu negara akan memberikan pengakuan kepada negara lain jikan negara yang disebut belakangan ini bersedia menyediakan salah satu wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak memberikan pengakuan. Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi pengakuan. Pertimbangan lain yang tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam memberikan pengakuan (yang berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan kembali pengakuan) adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban yang ditentukan oleh hukum internasional. Artinya, bersedia atau tidak bersedianya suatu negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan negara itu sendiri. Dengan kata lain, apakah suatu negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif negara yang bersangkutan.

Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran obejktif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi pertanyaan apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional. Secara keilmuan, pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya pengakuan itu lebih sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat politis daripada hukum. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai bagian dari politik internasional, bukan hukum internasional. Namun, dikarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum internasional, khususnya dalam kaitanya dengan substansi pembahasan tentang negara sebagai subjek hukum internasional. e.Bentuk-bentuk Pengakuan Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan hanya diberikan terhadap suatu negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu negara):
1.

Pengakuan negara baru.

Jelas, pengakuan ini diberikan kepada suatu

negara (entah berupa pengakuan de facto maupun de jure).


2.

Pengakuan pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa). Hal ini biasanya terjadi jika corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangaat kontras perbedaannya.

3.

Pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan kepada sekelompok pemberontak yang sedang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu negara. Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya melakukan
9

pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan sama dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu.
4.

Pengakuan beligerensi. Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll.

5.

Pengakuan sebagai bangsa. Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum internasional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum pengakuan beligerensi.

6.

Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru (sesungguhnya isinya adalah tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru). Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah satu provinsi Cina, dan mendirikan negara boneka di sana (Manchukuo). Padahal Jepang adalah salah satu negara penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa negara-negara penanda tangan sepakat untuk menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut ditandatanganinya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak mengakui

10

hak-hak teritorial dan situasi internasional baru yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini juga dikenal sebagai Stimsons Doctrine of Non-Recognition.

2.3 Pengakuan Negara Negara adalah subjek hukum internasional dan hal ini sudah ada sejak munculnya hukum internasional.Banyak para ahli yang telah memberikan berbagai definisi yang mengggambarkan negara. Pasal 1 Konvensi Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of States of 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara mengemukakan karateristik-karateristik suatu negara. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: The states as a person of international law should prossess the following qualifications: (a) a permanent population; Harus ada rakyat yang permanen.Yang dimaksud dengan rakyat yaitu sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional.Sekumpulan manusia ini mungkin saja berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berbeda dan memiliki (kelompok) kepentingan yang saling bertentangan.Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir dengan baik (organised population). Sebab sulit dibayangkan, suatu negara dengan pemerintahan yang terorganisir dengan baik hidup berdampingan dengan masyarakat disorganised. Negara yang terdiri dari individu-individu tersebut, tidak diisyaratkan jumlah minimal penduduk.Naura, dengan jumlah penduduk 10.000 telah dianggap sebagai satu negara, demikian pula Liechtenstein dengan jumlah penduduk 20.000.

(b)

a defined territory;
11

Harus ada wilayah atau daerah yang tetap, dimana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain (a wandering people) bukan termasuk ke dalam unsur ini. Tetapi tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil. Dapat saja wilayah tersebut hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.Unsur ini tidak ada batas tertentu.Sebagai contoh, Nauru mempunyai penduduk 10.000 orang dengan luas negeri hanya 8 mil persegi.Vatikan lebih kecil lagi, baik penduduk maupun luas wilayah. Negeri-negeri kecil ini disebut juga dengan negara mini, mikro, atau sarjana lain menyebut juga sebagai negara liliput, dwarf, atau diminutive state. Untuk menjadi negara tidaklah perlu memiliki wilayah yang tetap atau memiliki batas-batas negara yang tidak sedang dalam sengketa.Sebagai contoh, sejak merdeka hingga kini, RI masih memiliki batas-batas wilayah laut yang belum jelas, bahkan menjadi sengketa di pengadilan internasional. Dalam putusan pengadilan.lahir suatu prinsip bahwa suatu negara dapat diakui sebagi negara asalkan ia mempunyai wilayah betapapun besar kecilnya sepanjang wilayah tersebut cukup konsisten (sufficient consistency). Selain itu, dalam keadaan tertentu suatu negara pun tetap diakui sebagai subjek hukum internasional, meskipun negara tersebut tidak memiliki wilayah yang tetap atau tidak mempunyai wilayah tertentu. Contoh adalah PLO.Setelah wilayah negeri ini (Palestina) diserobot Israel, praktis negeri ini tidak memiliki wilayah sama sekali. Namun demikian negara-negara masih menganggapnya sebagai negara, menerima kantor perwakilan PLO di negaranya atau ikut serta dalam konperensi-konperensi atau perjanjian internasional. Demikian pula perubahan-perubahan yang terjadi, baik menambah atau mengurangi luasnya wilyah negara tertentu, tidak dengan sendirinya mengubah identitas negara tersebut. Wilayah tersebut juga tidak perlu merupakan kesatuan geografis; suatu negara mungkin terdiri dari beberapa wilayah territorial, yang kurang berhubungan atau saling berjauhan satu sama lain.

12

(c)

a government; Harus ada pemerintah, yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili

rakyat dan memerintah menurut hukum negaranya.Suatu masyarakat yang anarchis bukan termasuk negara. Bengt Broms menyebut kriteria ini sebagai organized government (pemerintahan yang terorganisir). Bentuk pemerintahan yang berlaku atau diterapkan sepenuhnya bergantung kepada rakyat.Apakah itu berupa republic, kerajaan, atau bentuk lainnya yang rakyat kehendaki.Lauterpacht menyatakan unsur pemerintah merupakan syarata utama untuk adanya suatu negara.Jika pemerintah tersebut ternyata kemudian secara hukum atau secara fakta menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai suatu negara.Sebagai contoh kasus adalah Manchukuo.

(d)

a capacity to enter into relations with other states. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain merupakan

hal yang sangat penting. Suatu negara harus memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan ekstern dengan negara-negara lain. Dalam realisasinya tergantung pada tanggapan dari pelaku-pelaku lain di atas panggung internasional.Pemenuhan ketiga kriteria pertama pada dasarnya faktual, tetapi pemenuhan kriteria ini tergantung pada pengakuan. Dengan kata lain, suatu satuan mungkin mempunyai kemampuan untuk menjalin hubungan luar negeri, tetapi jika negara-negara lain menolak masuk dalam hubungan dengannya, satuan yang dimaksud itu ditolak untuk menunjukkan kapasitas dalam praktek. Dari ke empat unsur-unsur diatas, unsur yang ke empat menjadi hal yang penting. Mempunyai kapasitas untuk menjalin hubungan berarti akan dipengaruhi oleh pengakuan yang diberikan oleh negara-negara lain dalam dunia internasional. Negara-negara sebagai subjek hukum internasional bersifat dinamis, ada negara yang dikuasai negara lain, atau negara baru yang lahir. Perubahan-perubahan ini, anggota masyarakat dihadapkan dalam dua pilihan dalam menanggapinya.Pilihan tersebut adalah menyetujui atau menolaknya.Dalam hal ini lembaga pengakuan memainkan peranannya, dan peranan tersebut sangat penting. Tanpa mendapatkan
13

pengakuan ini, negara tersebut sedikit banyak akan mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara lainnya. Brierly menyatakan bahwa pemberian pengakuan ini merupakan tindakan politik daripada tindakan hukum.Lauterpacht menegaskan bahwa pengakuan bukanlah masalah hukum.Ia menyatakan bahwa praktek negara-negara tidak beragam dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan. 2.4 Pengakuan Pemerintah Pengakuan pemerintah ialah suatu pernyataan dari suatu negara, bahwa negara tersebut telah siap dan bersedia mengadakan hubungan dengan pemerintahan yang baru diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negaranya. Pengakuan pemerintah ini penting, karena suatu negara tidak mungkin mengadakan hubungan resmi dengan negara lain yang tidak mengakui pemerintahannya. Pada umumnya, kriteria pemberian pengakuan adalah sebagai berikut: 1. Pemerintahan yang permanen; 2. Pemerintah yang ditaati oleh rakyat (Konstitusional); 3. Penguasaan wilayah secara efektif;

Berbagai peristiwa dapat terjadi dengan pemerintah suatu negara; misalnya dalam negara dengan sistem pemerintahan kerajaan, ketika Raja yang memerintah suatu waktu meninggal dunia dan diganti oleh putra mahkota. Kemudian dalam suatu negara dengan sistem pemerintahan republik, ketika presidennya dapat diganti karena meninggal dunia dalam jabatan atau karena habis masa jabatannya. Demikian pula dengan negara yang menganut asas demokrasi parlementer dengan pemerintah yang dikepalai oleh seorang Perdana Menteri, dan pemerintah itu dari waktu ke waktu dapat berganti. Oppenheim-Lauterpach berpendapat bahwa dalam hal pergantian kepala negara dari sebuah negara, maka biasanya negara-negara diberitahu tentang penggantian itu dan umumnya negara lain mengakui Kepala Negara baru itu melalui suatu tindakan resmi, misalnya berupa ucapan selamat pemberitahuan dan pengakuan itu
14

sebuah arti hukum, sebab dengan pemberian itu sebuah negara mengumumkan, bahwa individu yang bersangkutan adalah organ-organnya yang tertinggi dan berdasarkan hukum nasionalnya mempunyai kekuasaan untuk mewakili negaranya dengan keseluruhan, hubungan internasionalnya dan sebagai imbangannya dengan adanya pengakuan dari negara-negara lain yang menyatakan bahwa mereka bersedia berunding dengan individu itu sebagai organ tertinggi dari negaranya. Dalam praktek, apabila Kepala Negara Baru mendapat kedudukannya dengan cara normal dan konstitusional, maka pengakuan itu diberikan sebagai suatu hal yang lumrah. Penggantian Kepala Negara sebenarnya adalah urusan intern dari negara yang bersangkutan. Pemberitahuan kepada negara-negara lain boleh dianggap suatu formalitas belaka, suatu "Courtesy" dalam kehidupan internasional dan pengakuan seperti itu bukan pengakuan dalam arti hukum. Jika dalam suatu negara berlaku sistem demokrasi parlementer dimana kepala pemerintah adalah seorang Perdana Menteri, apabila pergantian pemerintah terjadi secara konstitusional, maka praktek menunjukkan bahwa tidak timbul pengakuan Perdana Menteri baru oleh negaranegara lainnya. Sebagai contoh konkrit misalnya, pemerintah buruh yang berkuasa di Inggris dikalahkan dalam pemilihan umum oleh partai konservatif dan terbentuklah pemerintah baru dibawah seorang Perdana Menteri Konservatif, maka pemerintah yang baru ini sama sekali tidak memerlukan pengakuan dari manapun juga. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa setiap penggantian pemerintah yang terjadi secara normal dan konstitusional, menurut hukum internasional tidak memerlukan pengakuan bagi pemerintah baru itu. a.Macam-Macam Pengakuan Pemerintah Baru Hukum internasional mengenal dua macam bentuk pengakuan pemerintah baru, yaitu pengakuan pemerintah secara de facto dan pengakuan pemerintah secara de jure. Pengakuan de facto biasanya diberikan oleh suatu negara kepada suatu pemerintah baru jika masih timbul keragu-raguan terhadap stabilitas dan
15

kelangsungan hidup suatu negara, atau terhadap kemampuannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban internasional. Negara yang memberikan pengakuan seperti ini masih melihat dan menunggu kelangsungan pemerintah baru tersebut, apakah pemerintah baru itu permanen, dihormati dan ditaati oleh rakyatnya, apakah berhasil menguasai dan mengontrol secara efektif wilayahnya ataukah mampu memenuhi kewajiban-kewajiban internasional. Menurut praktek yang dilakukan oleh beberapa negara, diantaranya Inggris, pemberian pengakuan de facto biasanya tidak menimbulkan hubungan diplomatik yang sempurna ataupun memberikan hak-hak imunitas diplomatik kepada wakilwakil dari pemerintah de facto itu. Walaupun para sarjana sependapat, bahwa pengakuan de facto sifatnya hanya sementara dan kalau perlu dapat ditarik kembali, namun sekali pemberian pengakuan de facto, akibat hukumnya demikian luas bagi pemerintah yang bersangkutan, sehingga dalam banyak hal tidak berbeda kedudukannya dari suatu pemerintah yang telah mendapat pengakuan de jure. Sebagaimana dikemukakan juga oleh Oppenheim, bahwa pengakuan de facto walaupun sifatnya sementara dan dapat ditarik kembali, namun pada hakekatnya tidak dapat dibedakan dari pengakuan de jure, karena semua perundang-undangan dan tindakan-tindakan intern lainnya dari penguasa yang diakui secara de facto itu, dimuka pengadilan dari negara yang memberikan pengakuan diperlakukan sederajat dengan tindakantindakan yang diambil oleh suatu pemerintah yang tidak diakui secara de jure. Pengakuan de jure diberikan kepada suatu pemerintah baru apabila negara tersebut sudah tidak ragu-ragu lagi terhadap pemerintah tersebut. Pengakuan de jure diberikan berdasarkan atas penilaian faktor-faktor faktual dan faktor-faktor hukum. Pemerintah yang diakui secara de jure adalah pemerintah yang telah memenuhi tiga ciri, yaitu: Efektivitas : Kekuasaan yang diakui di seluruh wilayah negara. Regularitas oleh konstitusi.
16

: Berasal dari pemilihan umum atau telah disahkan

Eksklusivitas

: Hanya pemerintah itu sendiri yang mempunyai

kekuasaan dan tidak ada pemerintahan tandingan Praktek negara-negara mewujudkan, bahwa sering negara-negara mengakui de facto terlebih dahulu dengan membuka hubungan dagang, kemudian diikuti dengan pengakuan de jure. Demikian pula Indonesia juga diakui secara de facto terlebih dahulu oleh sejumlah negara pada waktu revolusi fisik tahun 1945-1949 dan nanti setelah pemulihan kedaulatan diberi pengakuan de jure. Mesir mempunyai tempat tersendiri sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto pada tanggal 23 Maret 1946 dan kemudian secara de jure tanggal 18 November 1946 bersama Syria, Libanon, Saudi Arabia, Yordania dan Yaman dalam kerangka Liga Arab. b.Perbedaan Antara Pengakuan Negara dan Pemerintah 1. Pengakuan negara adalah pengakuan terhadap suatu entitas baru yang telah mempunyai semua unsur konstitutif negara dan yang telah mewujudkan kemampuannya untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat internasional. 2. Pengakuan negara ini mengakibatkan pula pengakuan terhadap pemerintah negara yang diakui dan berisikan kesediaan negara yang mengakui untuk mengadakan hubungan dengan pemerintah yang baru itu. 3. Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali, sedangkan pengakuan terhadap suatu pemerintah dapat dicabut sewaktu-waktu. Bila suatu pengakuan ditolak atau dicabut setelah terbentuknya suatu pemerintah baru, maka negara yang menolak atau mencabut pengakuan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan resmi dengan negara tersebut. Bila suatu pengakuan ditolak atau dicabut, maka personalitas internasional negara tersebut tidak berubah karena perubahan suatu pemerintah tidak mempengaruhi personalitas internasional suatu negara. Mengenai pengakuan de jure yang mungkin diberikan kepada pemerintah pelarian (government in exile), hal seperti ini hanya terjadi dalam keadaan perang, yaitu apabila suatu negara diduduki oleh suatu kekuasaan asing dan beberapa
17

pemimpin dari negara tersebut melarikan diri keluar wilayahnya. Di luar negeri mereka membentuk suatu pemerintah pelarian, seperti contoh pemerintah Belanda yang dibentuk di London ketika Nederland diduduki oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia ke II. Pengakuan de jure seperti ini biasanya diberikan oleh negara lain yang juga sedang berperang dengan negara yang menduduki wilayah negara yang bersangkutan. c.Akibat Pengakuan terhadap Pemerintah Baru Pengakuan terhadap pemerintah baru dapat berakibat sebagai berikut:

Pemerintah yang diakui dapat mengadakan hubungan resmi dengan negara yang mengakui;

Pemerintah yang diakui atas nama negaranya, dapat menuntut negara yang mengakui di peradilan;

Pemerintah yang mengakui dapat melibatkan tanggung jawab negara untuk perbuatan internasionalnya;

Pemerintah yang diakui berhak memiliki harta benda pemerintah sebelumnya di wilayah negara yang mengakui.

d. Terjadinya Pengakuan Pengakuan terhadap pemerintahan baru, terjadi jika terjadinya atau pembentukannya atau pergantiaanya dilakukan secara inkonstitusional atau dengan jalan revolusi atau dilakukan melalui caracara ekstra yuridik. Misal: Coup detat, revolution. Dalam sejarah diplomatik terdapat beberapa doktrin tentang pengakuan pemerintah yaitu : 1. Doktrin Tobar Dr. Tobar, menteri luar negeri Equador dalam pernyataannya tanggal 15 Maret 1907 meletakkan prinsip bahwa suatu negara harus berusaha untuk tidak kudeta militer atau pemberontakan. Sebelum diakui,
18

mengakui sebuah pemerintah asing jika pembentukan pemerintah tersebut dilakukan dengan cara

paling tidak pemerintah tersebut harus disahkan dulu secara konstitusional. Doktrin Tobar tersebut dikenal sebagai doktrin Legitimasi konstitusional. Doktrin ini juga sesuai dengan doktrin Wilson. Presiden Amerika Serikat Wilson semenjak tahun 1913 melaksanakan doctrine of non recognition of government set up by force in any of the five Central American republics . Doktrin ini didukung oleh dua instrument yuridis yaitu : 1. Konvensi Washington antara 5 Republik Amerika Tengah ( Costa Rica, Guatemala, Honduras, Nicaragua dan Salvador ) tahun 1907 untuk 10 tahun, tetapi tidak diperpanjang sesudah tahun 1917 ; 2. Konvensi Washington tanggal 7 Pebruari 1923 antara negara-negara yang sama untuk 10 tahun tetapi juga tidak diperbaharuhi . Dalam praktiknya, doktrin ini tidak dilaksanakan oleh negara-negara eropa seperti Perancis, Inggris dan belgia yang tetap mengakui Pemerintahan Jendral Martinez di Salvador melalui Kudeta tahun 1933 . Dan NegaraNegara amerika Latin yang mengakui Pemerintahan Jendral Franco beberapa bulan setelah perang saudara di spanyol pada bulan Agustus 1936.

2. Doktrin Stimson Doktrin Stimon adalah doktrin yang menolak diakuinya suatu keadaan yang lahir sebagai akibat penggunaan kekerasan atau pelanggaran terhadap perjanjianperjanjian yang ada. Henry Stimon menteri luar negeri Amerika serikat telah mengirimkan nota ke Jepang dan Cina pada tanggal 7 januari 1932 yang menolak pembentukan negara Manchukuo oleh Jepang, propinsi Cina yang diduduki negara tersebut. Inggris dan Perancis mendukung doktrin ini dan mengirimkan nota penolakan ke Jepang. Doktrin ini dipakai pula untuk menolak Unisiviet yang mencaplok negara negara Baltik pada tahun 1940. 3. Doktrin Estrada

19

Estrada adalah Menteri Luar Negeri Mexico, pada tanggal 27 September 1930 menyatakan bahwa Penolakan pengakuan adalah cara yang tidak baik, karena bukan saja bertentangan dengan kedaulatan suatu negara juga merupakan bentuk intervensi urusan dalam negeri negara lain . Penolakan ini didasarkan pada teori bahwa diplomatic representation is to the state not to the government . Praktik yang terjadi dewasa ini adalah negara-negara membiarkan perwakilan deplomatiknya ada dalam suatu negara walaupun terjadi pergantian pemerintahan secara inkonstitusional. Bahkan perubahan pemerintahan non konstitusional di suatu negara tidak mempunyai dampak langsung terhadap keanggotaannya dalam organisasi internasional. Itulah sebabnya doktrin Estrada ini sesuai dengan kondisi saat ini. E.Penyalahgunaan Pengakuan Pemerintah Baru Tujuan penyalahgunaan pengakuan pemerintah baru adalah bahwa pengakuan yang diberikan kepada suatu pemerintah baru yang bersifat sebagai alat politik nasional guna menekannya supaya memberikan konsesi-konsesi politik dan lainlain kepada negara yang akan memberikan pengakuan. 2.5 Pengakuan Terhadap Pemberontak Belligerency adalah terminologi yang biasa digunakan dalam hukum internasional untuk mengindikasikan status dua atau lebih entitas, yang pada umumnya adalah Negara-negara berdaulat yang terlibat dalam sebuah perang. Karena status konfliknya adalah perang, maka kondisi itu diatur didalam hukum Internsional, Piagam PBB Artikel 51 (Bruce : 2002, http://www.law.yale.edu, diakses pad tanggl 7 Juli 2011). Artikel 51 Piagam PBB menjamin hak Belligerent Group untuk mempertahankan diri, termasuk pertahanan diri kolektif untuk melawan sebuah serangan bersenjata. Tidak ada dalam Piagam ini akan merugikan hak yang melekat pada individu atau kolektif membela diri jika serangan bersenjata terjadi terhadap anggota PBB, sampai Dewan Keamanan sudah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara perdamaian dan keamann internasional. Tindakan yang diambil oleh anggota dalam pelaksanaan hak untuk membela diri harus segera dilaporkan dipandang paling

20

kepada Dewan Keamanan dan tidak dengan cara apapun mempengaruhi wewenang dan tanggung jawab Dewan Keamanan menurut Piagam ini untuk mengambil setiap saat tindakan seperti itu kalau dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. (Artikel 51 Piagam PBB). Artikel ini pernah di gunakan oleh AS untuk melegalkan dukungannya terhadap legalitas Perang Vietnam. Menurut AS, Sekalipun Vietnam Selatan bukanlah sebuah Negara Berdaulat atau anggota PBB, dia tetap bisa menggunakan hak untuk mempertahankan diri (Self-Defense) dan AS bermaksud untuk berpartisipasi dalam pertahanan kolektif seperti yang dimaksudkan didalam Artikel 51 Piagam PBB. Sebuah Negara yang sedang berperang bisa saja ada diantara satu atau lebih Negara berdaulat di satu sisi dan kelompok pemberontak disisi lain, jika kelompot tersebut diakui sebagai Pihak-pihak yang sedang berperang (Belligerent Group). Jika ada sebuah pemberontakan (Rebellion) melawan sebuah otoritas resmi seperti Negara dan mereka yang mengambil bagian dalam pemberontakan itu tidak diakui sebagai Belligerent Group maka kelompok itu dikategorikan sebagai sebuah Pemberontakan (Insurgency). Berdasarkan sejarah, kelompok pemberontak berusaha untuk

menggulingkan sebuah pemerintahan yang sah atau untuk memisahkan diri dari sebuah Negara dengan mencari pengkuan sebagai Pihak-Pihak yang sedang Berperang (Belligerent Group), sebuah status yang hanya bisa dimiliki oleh sebuah Negara merdeka sehingga konflik yang terjadi bisa di bawa ke ranah internsional berdasarkan hukum Humaniter Internasional Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan II. Sebuah kelompok pemberontak mendapatkan status Belligerent ketika : pertama, ia dapat mengontrol wilayah kekuasaannya didalam Negara dimana ia melakukan pemberontak. Kedua, kelompok pemberontak mendeklarasikan Independensinya.Ketiga, dan jika tujuannya adalah pemisahan diri, kelompok tersebut haruslah memiliki dan mengorganisasi sebuah angkatan bersenjatanya. Secara prinsip, kelompok bersenjata itu haruslah melakukan permusuhan secara keseluruhan dengan pemerintah dan pemerintah dianggap juga sebagai Belligerent
21

Group Sumber lain yang isinya sama dengan diatas, agar sebuah kelompok pemberontak (Insurgent Group) bisa diakui sebagai Pihak-pihak yang sedang Berperang (Belligerent Group) ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh kelompok pemberontak tersebut. Diantaranya adalah mereka telah mampu menciptakan sebuah eksistensi politik yang terpisah serta mampu menjaga tatanan didalam wilayah kekuasaan mereka dan dihormati di luar negeri. Bagaimanapun juga, dalam beberapa tahun belakangan ini pemerintah telah menolak untuk memberikan pengkuan kepada kelompok-kelompok Pemberontak yang melawan mereka.Pemerintah enggan untuk mengakui bahwa mereka telah kehilangan kontrol yang efektif dari wilayah mereka serta tidak ingin memberikan legal standing untuk kelompok pemberontak.Penolakan ini memiliki konsekuensi hukum dan kemanusiaan yang serius. Tanpa status berperang, pemerintah tidak akan terikat dengan dengan hukum Humaniter Internasional yang mengatur tentang perang sehingga hal ini seringkali membuka jalan bagi insiden kemanusiaan yang sangat memprihatinkan.

2.6 Pengakuan Terhadap Gerakan Pembebasan Nasional


Keanggotaan PBB menurut pasal pasal 4 (1) Piagam PBB adalah Negara namun sejak tahun 70-an telah mengalami perkembangan tersendiri. Ini terbukti bahwa PBB juga telah mengakui SWAPO sebagai wakil sah rakyat Namibia, walaupun status yang diberikan hanya sebagai peninjau. Demikian juga terjadi dalam tahun 1974 pada saat Majelis Umum memutuskan untuk mengakui PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina dan telah memberikan status peninjau dan memperbolehkan untuk ikut serta tidak saja dalam Persidangan Majelis Umum PBB tetapi juga dalam Komite-Komite Utama, badan-baan subside serta badan-badan khusus PBB. Syarat-syarat yang diperlukan oleh Majelis Umum PBB untuk pengakuan terhadap organisasi-organisasi gerakan pembebasan nasional semacam ini terutama adalah

22

perlunya pengakuan terlebih dahulu oleh organisasi regional dimana organisasi pembebasan berasal. Bagi SWAPO (South West Africa People's Organization ) misalnya sebelum diakui oleh PBB telah memperoleh pengakuan dari Organisasi Persatuan Afrika atau

Organisation of African Unity (OAU) ( Resolusi Majelis Umum No. 311 tahun 1973 ),
sedangkan bagi PLO telah memperoleh pengakuan dari Liga Arab maupun Organisasi Konfrensi Islam yang keduanya tgelah memperoleh pengakuan sebagai subjek hukum internasional dengan telah memperoleh status peninjau di Majelis Umum PBB ( No. 3237 tanggal 22 November 1974 )

BAB III PENUTUP

23

3.1 Kesimpulan Penggabungan, pemisahan dan penggantian pemerintahan baru, berarti terjadi perubahan bentuk Negara atau bentuk pemerintahan. Persoalan yang dihadapi oleh suatu Negara atau pemerintahan baru dari sudut pandang hukum internasional adalah berkaitan dengan masalah pengakuan (recognition). Pengakuan lebih merupakan manifestasi kepentingan politik daripada kepentingan hukum. Pengakuan internasional kepada suatu Negara, pemerintah atau belligeren cenderung menonjolkan aspek kepentingan . Ada atau tidaknya suatu kepentingan politik akan berpengaruh terhadap diberikannya atau tidak suatu pengakuan. Pengakuan apbila sudah menjadi ius cogen, maka secara hukum, pengakuan mutlak diberikan karena wajib bagi setiap pergantian, perubahan dan penggabungan Negara atau pemerintahan baru. Dengan kata lain, setiap pemerintahan atau Negara baru akan menjadi subjek hukum internasional akan syah apabila sudah mendapat pengakuan atau diakui oleh masyarakat internasional. Negara yang memberikan pengakuan karena alasan-alasan politik dapat menimbulkan, tidak saja akibat politik tetapi juga menimbulkan akibat hukum. Pengakuan memperkokoh status hukum Negara yang diakui dihadapan pengadilan Negara yang mengakui disamping alasan politis.

3.2 Kritik dan Saran Untuk kritik dan saran, pembaca dapat menyampaikan kritik dan saran melalui email ke chick_cancer@ymail.com. Kritik dan Saran dari pembaca sangat kami harapkan demi hasil makalah yang lebih baik

24

You might also like