You are on page 1of 6

BEBERAPA PERATURAN DAN PERUNDANG UNDANGAN TENTANG PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT 1. Undang Undang 1. 2. UU No.

. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria;

YANG

TERKAIT

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (lembar Negara Tahun 1990 Nomor 49. Tambahan Lembar Negara Nomor 3419) berisi tentang aturanaturan dan dasar Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Meliputi perlindungan terhadap system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, peran serta rakyat dalam kegiatan konservasi; UU No. 12 Tahun 1992 tentang Perkebunan yang menegaskan bahwa sistem perkebunan harus didasarkan pada pemanfaatan berkelanjutan dan mencegah kerusakan; 4. 5. 6. 7. UU NO. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 23 Tahun 1997 tentang Penelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

3.

2. Peraturan Pemerintah 1. 2. 3. 4. 5. 6. PP No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan pestisida; PP No. Menteri27 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan AMDAL; PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara; PP No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; PP No. 4 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan; PP No. 28 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial. 3. Keputusan/Peraturan Setingkat Menteri 1. Keputusan Menteri Kehutanan No 353/kpts-ii/1996 tentang Penetapan Radius/Jarak

2.

Larangan Penebangan Pohon dari Mata Air, Tepi Jurang, Waduk/Danau, Sungai dalam Kawasan Hutan, Hutan Cadangan dan Hutan Lainnya; Keputusan Kepala BAPEDAL No. Kep -056 Tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Dampak Penting; Keputusan Menteri Kehutanan No. 260/kpts-ii/1995 Petunjuk Tentang Pencegahan Kebakaran Hutan; Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan No. 38/KB.10/SK.DJBUN/05-95 tentang Petunjuk Teknis Pembukaan Lahan Tanpa Bakar Untuk Perkebunan; PerMen LH No. 8 Tahun 2006 tentang Penyusunan AMDAL; PerMen LH No. 28 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Wajib dilengkapi dengan AMDAL; KepMenHutBun No. 376 Tahun 1998 tentang Kesesuaian Lahan yang cocok untuk perkebunan budidaya kelapa sawit; Kep Pres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Pada tingkatan Undang-Undang, UUPA No. 5/1960 adalah produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa. Pasal 5 ini merupakan rumusan atas kesadaran dan kenyatan bahwa sebagian besar rakyat tunduk pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kesadara hukum berdasarkan adat. Hanya saja Memang semangat UU ini, dikemudian waktu banyak dibelakangi, karena pergeseran politik ekonomi dan hukum agraria. Kendati demikian, UU ini hingga sekarang masih menjadi hukum yang positif yang mengatur mengenai agraria. Karenanya masih menjadi alat legal dalam memperkuat hak-hak komunitas adat. Namun seiring dengan arus reformasi, kesadaran terhadap pengakuan, peng-hormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat menjadi salah satu isu politik yang mengemuka. Sejumlah Undang-Undang telah diproduk menyertai UUPA, seperti yang akan diuraikan dibawah ini. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Undang-Undang lain yang juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU ini bahkan mengakui adanya wilayah masyarakat hokum adat, seperti dinyatakan dalam pasal 1 angka 6: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Sayangnya, pasal ini masih belum menunjukkan pengakuan hak komunitas adat atas sumber daya alam dalam wilayahnya, karena ternyata hutan adat masih diklaim sebagai hutan negara, seperti dipertegas lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat; dan bahwa Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah

3. 4. 5. 6. 7. 8.

(pasal 1 angka 4). Untungnya, pasal 4 ayat (3) memberikan rambu-rambu kepada penyelenggara negara terutama bagi otoritas kehutanan agar tetap memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat. Pasal ini menyatakan: Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hokum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Penjelasan pasal 5 ayat (1) juga menguraikan:Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hokum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Kemungkinan pengakuan hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pengelolaan hutan adatnya masih sangat terniscayakan. Hal ini dipertegas dalam pasal 67 ayat (1) bahwa : Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak: melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.Untuk membuktikan masyarakat hukum adat tersebut pada kenyataannya masih ada ? Dan melalui apa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tersebut diupayakan sehingga hak haknya dapat ditegakkan ? Untuk pertanyaan yang terakhir, pasal 67 ayat (2) menyebutkan: Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sedangkan untuk pertanyaan pertama, penjelasan pasal 67 ayat (1), memberikan gambaran sebagai berikut: Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsure antara lain: a. b. c. d. e. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; Ada wilayah hokum adat yang jelas; Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan UU no 18 tahun 2004 tentang Perkebunan menyebutkan Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan: 1. 2. meningkatkan pendapatan masyarakat; meningkatkan penerimaan negara;

3. 4. 5. 6. 7.

meningkatkan penerimaan devisa negara; menyediakan lapangan kerja; meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing; memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengembangan pembangunan perkebunan mempunyai 4 (empat) fungsi utama, yakni :

a. b. c. d.

ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan; struktur ekonomi wilayah dan nasional; ekologi, yaitu peninkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Permen Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Permen Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Artinya secara langsung dan jelas, bahwa Negara telah mengakui hak ulayat masyarakat adat. Hal ini dapat diperkuat salah satunya di Pasal 1, ayat 1, dimana Hak Ulayat atau yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bai kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah bersangkutan. Hak ulayat merupakan bahasa formal yang selama ini dipakai, namun pemaknaan Hak Ulayat tergantung pada pengistilahan yang sering digunakan di tingkat lokal. Misalkan : Eka Malan Manana Satiar (Tempat berladang, tempat mencari usaha-usaha non kayu : rotan , damar, pantung dan berburu, sepanjang 5 kilometer dari kiri kanan sungai tempat pemukiman penduduk).

You might also like