You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sering kita mendengar kata yang satu ini, yaitu KORUPSI, korupsi adadisekeliling kita, mungkin terkadang kita tidak menyadari itu. Korupsi bias terjadi dirumah, sekolah, masyarakat, maupun diintansi tertinggi dan dalam pemerintahan. Mereka yang melakukan korupsi terkadang mengangap remeh hal yang dilakukan itu. Hal ini sangat menghawatirkan, sebab bagaimana pun, apabila suatu organisasi dibangun dari korupsi akan dapat merusaknya. Dari kenyataan diatas dapat ditarik dua kemungkinan melakukan korupsi, yaitu ; Metode yang digunakan oleh pendidik belum sesuai dengan kenyataannya, sehingga pelajaran yang diajarkan tidak dapat dicerna secara optimal oleh anak didik. Kita sering menganggap remeh bahkan malas untuk mempelajari hal ini , karena kurangnya moyivasi pada diri sendiri, sehingga sering sekali berasumsi untuk apa mempelajari padahal itu sangat penting untuk diketahui agar tahu hak dan kewajiban kita untuk Negara ini. A. Tujuan Harapan kami mempelajari ini supaya tidak ada lagi kurupsi di Negara ini dan bersih seutuhnya, agar kehidupan kita sejahtera.

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Korupsi Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus. Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6). Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaranpelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat. Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif.

Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi. Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya. Dari segi hukum korupsi mempunyai arti ; a. b. c. d. Melawan hukum Menyakahgunakan kekuasaan Memperkaya diri Merugikan keuangan Negara Menurut perspektif hukum, pengertian korupsi secara gambling dijelaskan dalam UU No 31 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana. Pengertian Korupsi Secara Hukum Merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuanperaturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Pengertian korupsi lebih ditekankan pada pembuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas atau kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) o Korupsi yaitu menyelewengkan kewajiban yang bukan hak kita. o Kolusi ialah perbuatan yang jujur, misalnya memberikan pelican agar kerja mereka lancar, namun memberikannya secara sembunyi-senbunyi.

o Nepotisme adalah mendahulukan orang dalam atau keluarga dalam menempati suatu jabatan. 2. Dalil Larangan Korupsi Menurut Islam MENURUT ISLAM Allah SWT berfirman didalam Al-Qur an, Surat AlBaqarah Ayat 188: Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang yang lain secara batil, dan jangan pula membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, sedangkan kamu mengetahui. Keadaan pada waktu turunnya ayat ini disebutkan dalam Ruhul-Maa ani. Dua orang sahabat Nabi Muhammad SAW telah berselisih soal sebidang lahan dan membawa persoalan itu kepada beliau. Si penuntut tidak memiliki seorang saksipun untuk mendukung tuntutannya. Rasulullah SAW bertanya kepada pihak tertuntut, Sanggupkah kamu bersumpah demi Allah bahwa lahan itu milikmu ? Ia setuju. Rasulullah SAW, selanjutnya membaca sebuah ayat dari Al- Quran untuk peringatan sebelum bersumpah. Yang beliau baca adalah Ayat 77 dari Surat Ali Imran: Sesungguhnya, barangsiapa menukar janjinya kepada Allah dengan sumpah-sumpah mereka demi mengambil sedikit keuntungan, maka ia tidak akan mendapatkan bagian (pahala)-nya di akhirat, dan Allah tidak akan berbicara dengan mereka ataupun melihat kearah mereka di Hari Pembalasan, dan tidak pula mereka akan disucikanNya. Bagi mereka adalah siksaan yang pedih. Pemilik lahan yang sekarang menyimak ayat tersebut dan menolak untuk mengangkat sumpah. Ia sangat takut jangan-jangan terdapat kekaburan ataupun kerancuan dalam hal kepemilikan lahan yang diperselisihkan itu dan ia tidak mau menjadi pecundang di Hari Pembalasan kelak.Selanjutnya Nabi SAW menyerahkan lahan itu kepada si penuntut. Perlu diingat bahwa ayat ini telah diturunkan untuk mencegah penguasaan atas kepemilikan orang lain secara curang/ilegal. Serupa juga dengan hal diatas yaitu ; memalsukan

bukti kepemilikan / legalitas sertifikat, bersumpah palsu dan memberi kesaksian yang tidak benar, semuanya ituHaram hukumnya. Pada ayat yang terdahulu, ada hal yang sangat menarik, yakni penggunaan kata Bainakum (=diantara kamu sekalian). Allah SWT mengajarkan kepada kita bahwa jika kita menyerobot hakmilik/harta orang lain, maka perbuatan inipun sebaliknya akan juga mendorong orang lain untuk berani menyerobot hak-milik/harta kita. Sebagai contoh, jika seseorang mencampurkan air kedalam susu, yang lain pun menjual bahan makanan yang tidak lagi murni, yang lainnya lagi menjual kurma campuran. Begitulah, masing-masing diantara mereka saling memakan harta yang lain secara batil. Jadi, sebenarnya sama halnya semakin bertambah-tambah sajalah seseorang memakan hartanya sendiri secara batil dan tak satupun yang menjadi pemenang dalam perbuatan saling mencurangi ini. Pelajaran kedua adalah, bahwa hal demikian menyakiti orang yang dirugikan hartanya, sebagaimana sakitnya jika anda yang dirugikan. Maka, perlakukanlah harta orang lain sebagaimana kamu menjaga hartamu sendiri.

3. Hukuman Terhadap Korupsi Menurut Islam Dibagian depan telah diuraikan tindak korupsi yang dilakukan dengan alat kekuasaan maupun bukan , maka sangsi hukumnya juga disesuaikan dengan latar belakang tersebut . Dengan kekuatan apa dia melakukan korupsi tersebut. Dianalogikan dengan perampokan , yaitu korupsi dilakukan dengan kekuatan dan kekuasaan dan yang telah dikorupsi telah mencapai satu nishab / batas minimal maka dikenakan dengan hukum potong tangan secara bersilangan sebatas pergelangan tangan. ( Nishabnya seberat emas 93,6 gram, tahun 2011 emas 1 gram seharga Rp.400.000,00 maka nishabnya = Rp. 38.520.000,00). Apabila akibat perbuatan tersebut menyebabkan korbannya meninggal dunia dia dapat dikenakan hukuman mati, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maaidah ayat 33,

Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RosulNya dan membuat kerusakan di muka bumi , bagi pembunuh hendaknya dibunuh, bagi perampok yang membunuh korbannya hendaknya disalibkan , bagi perampok yang hanya merampas harta korbannya maka hukum mannya dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan sebatas pergelangannya.

Dianalogikan dengan pencurian, maka hukumnya adalah potong tangan sebatas pergelangan apabila telah mencapai satu nishab ( 93,6 gram emas).

4. Cara Memberantas Korupsi menurut Islam Pemberantasan tak cukup sekadar hukuman tapi penyelesaian yang komprehensif. Sudah banyak pejabat, birokrat, dan wakil rakyat masuk bui tapi korupsi tak pernah ber-henti. Ranking Indo-nesia pun patut 'dibanggakan' karena selalu berada di puncak untuk kawasan Asia. Kalau toh bergeser, tak jauh dari posisi juara korupsi. Berdirinya lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak banyak memecahkan persoalan korupsi yang menggurita. Korupsi telah menyelusup sampai ke mana-mana. Banyak pihak terlibat. Koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai 'the envelope country', karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada amplop.\ Solusi Islam Dari sisi niat, memang negara ada kemauan untuk memberantas korupsi. Bahkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah membuat ketetapan (Tap) khusus tentang pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sayangnya,

implementasinya tidak sungguh-sungguh dan komprehensif. Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) M Ismail Yusanto menjelaskan, Islam mempunyai cara untuk memberantas korupsi ini secara komprehensif. Paling tidak ada enam cara. Pertama, sistem penggaji-an yang layak. Aparat negara akan bekerja dengan baik jika gaji dan tunjangan mereka men-cukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Rasul dalam hadits riwayat Abu Dawud berkata, Barang siapa yang diserahi pe-kerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan dise-diakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendak-nya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tung-gangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa meng-ambil selainnya, itulah kecu-rangan (ghalin). Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesua-tu bila tanpa maksud di bela-kangnya. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar separuh untuk kaum Muslimin dan sisa-nya untuk orang Yahudi, datang orang Yahudi kepadanya mem-berikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separuh untuk orang Yahudi. Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum Muslimin tidak memakannya. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, Karena itulah (ketegasan Abdullah) la-ngit dan bumi tegak (Imam Malik dalam al-Muwatta'). Ten-tang suap Rasulullah berkata, Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul ber-kata, Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur (HR. Imam Ahmad). Nabi seba-gaimana tersebut dari hadits riwayat Bukhari mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran mene-rima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pe-merintah.

Ketiga, perhitungan keka-yaan. Orang yang melakukan korupsi, jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena korupsi. Perhitungan kekayaan dan pem-buktian terbalik pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khat-tab. Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kena-ikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, bukan jaksa atau orang lain, diminta membuk-tikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu me-nyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal, atau membagi dua keka-yaan itu separuh untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi ha-nya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan taq-wanya, seorang pemimpin me-laksanakan tugasnya dengan penuh amanah dan takut kepada Allah. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas Negara. Kelima, hukuman setimpal. Hukuman berfungsi sebagai pencegah (zawajir), sehingga membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta'zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa dita-yangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Keenam, pengawasan ma-syarakat. Masyarakat dapat ber-peran menyuburkan atau meng-hilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cen-derung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masya-rakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerin-tahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyim-pang. Demi menumbuhkan ke-beranian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar di awal

pemerintahannya menyatakan, Apabila kalian melihatku me-nyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang. Menurut Ismail, dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang se-timpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, ko-rupsi dapat diatasi secara tuntas. Paradok Solusi Islam itu justru ditinggalkan dalam pemberantasan korupsi. Gaji pegawai negara rata-rata tidak layak. Larangan menerima suap dan hadiah hanya di atas kertas. Demikian pula perhitungan kekayaan hanya administratif, tidak ada proses pembuktian terbalik. Sementara para pemimpin yang ada tidak memberikan keteladanan. Malah banyak yang jadi koruptor. Ini juga karena hukuman bagi koruptor ringan dan tak menjerakan. Sedangkan masyarakat masa bodoh dan sebagian malah terlibat dalam budaya suap. Paradok inilah yang men-jadikan korupsi seolah seperti lingkaran setan. Padahal, sebe-narnya pangkal korupsi itu sen-diri adalah tidak diterapkannya syariah Islam secara kaffah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz Sang Teladan Ketika baru diangkat menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz langsung mengajukan pilihan kepada istrinya yakni mengembalikan harta yang dimilikinya kepada negara atau tetap menjadi istrinya. Sang istri memilih mengembalikan emas dan permata yang dulu didapatkan dari keluarga besarnya kepada negara. Setelah itu Khalifah Umar mengambil kebijakan merampas kembali harta-harta yang disalahgunakan oleh keluarga khalifah dan mengembalikannya ke Baitulmal. Selain itu, ia memecat pegawai-pegawai yang tidak cakap, menyalahgunakan kekuasaan dan pegawai yang tidak layak yang dilantik atas pengaruh keluarga khalifah sebelumnya. Saat itu Khalifah Umar sangat memperhatikan kehidupan rakyat miskin. Ia menaikkan pendapatan rakyat miskin ini sehingga hampir menyamai pendapatan para pegawai khilafah. Khalifah sendiri hidup sederhana. Makanannya sama dengan makanan masyarakat biasa, hanya roti dan sedikit garam. Kebijakan

dan gaya hidup Khalifah Umar ini mampu menjadikan kekhalifahan yang dipimpinnya berubah total dalam waktu sekitar dua tahun. Rakyat sejahtera. Sampaisampai tak ada lagi yang berhak menerima zakat.

5. Nilai-nilai Pendidikan dalam Hukuman Korupsi Pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembangunan bangsa baik sebagai pengembang dan peningkat produktivitas nasional maupun sebagai pembentuk karakter bangsa. Terlepas dari masalah korupsi itu sebagai budaya atau bukan yang jelas peran pendidikan akan dapat membantu meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan memberantas korupsi. Buruknya manusia dapat ditranformasikan ke dalam hal yang positif melalui pendidikan, karena pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan merupakan upaya normatif yang mengacu pada nilai-nilai mulia yang menjadi bagian dari kehidupan bangsa, yang dengannya nilai tersebut dapat dilanjutkan melalui peran transfer pendidikan baik aspek kognitif, sikap maupun ketrampilan. Pendidikan membimbing manusia menjadi manusia manusiawi yang makin dewasa secara intelektual, moral dan sosial, dalam konteks ini pendidikan merupakan pemelihara budaya. Namun demikian dalam konteks perubahan yang cepat dewasa ini pendidikan tidak cukup berperan seperti itu namun juga harus mampu melakukan transformasi nilai dalam tataran instrumental sesuai dengan tuntutan perubahan dengan tetap menjadikan nilai dasar sebagai fondasi. Dengan demikian secara umum pendidikan dapat dipandang sebagai upaya preventif bagi berkembangnya sikap dan prilaku korup meskipun secara empiris jelas tidak cukup mengingat faktor pressure sosial politik yang dapat juga mendistorsi peran normatif tersebut. Belakangan ini memang berkembang wacana akan perlunya

10

pendidikan karakter, namun jika dilihat secara substantif pendidikan kita seperti tertuang dalam Undang-undang no 20 th 2003 sebenarnya adalah pendidikan karakter, jadi pendidikan karakter ya pendidikan. Yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan karakter pendidikan bangsa dapat diselenggarakan dengan menjunjung tinggi kemandirian dan kejujuran, beberapa kasus yang terjadi justru kebijakan pendidikan tertentu (seperti UN) telah banyak mendorong sikap dan prilaku ketidak jujuran yang dapat menjadikan orang terbiasa dengan kecurangan yang nota bene merupakan potensi bagi berkembangnya korupsi atau paling tidak pengabaian terhadapnya. Dengan demikian pendidikan merupakan sarana atau bisa juga dipandang sebagai suatu respon yang tepat untuk meningkatkan ketahanan etika bangsa melalui reformasi sosial yang pada gilirannya dapat menjadi pemicu bagi terjadinya reformasi kelembagaan, sebab Tanggapan Kemungkinan ini penyebab korupsi termasuk reformasi kelembagaan untuk membatasi wewenang, meningkatkan akuntabilitas, dan susun kembali insentif, serta eforms masyarakat untuk mengubah sikap dan memobilisasi kemauan politik untuk berkelanjutan anti korupsi intervensi. Sementara buku ini menawarkan deskripsi rinci dari berbagai jenis reformasi kelembagaan dan sosial, strategi untuk memerangi korupsi tidak dapat dan tidak perlu mengandung masing-masing dari reformasi kelembagaan dan sosial dibahas. Pilihan strategi harus dibuat setelah mempertimbangkan sifat dari masalah korupsi dan peluang dan hambatan untuk mengatasinya. Reformasi kelembagaan dapat memagari secara eksternal kemungkinan prilaku korupsi, dan reformasi masyarakat dapat memagari secara internal kemungkinan tumbuh dan berkembangnya prilaku korupsi, dan semua ini dapat memperbaiki hukum (aspek kelembagaan) dan memperbaiki serta meningkatkan mutu manusia, dalam konteks inilah pendidikan menjadi amat penting.

11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Korupsi, apakah sudah jadi budaya atau bukan, adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya, baik dalam bentuk Bribery, extortion, maupun nepotism. 2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa. B. Saran Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial,dan pendidikan dapat menjadi instrumen penting bila dilakukan dengan tepat bagi upaya pencegahan tumbuh dan berkembangnya korupsi. Sementara itu untuk tindakan represif penegakan hukum dan hukuman yang berat perlu dilaksanakan dan apabila terkait dengan implementasinya maka aspek individu penegak hukum menjadi dominan, dalam perspektif ini pendidikan juga akan berperan penting di dalamnya.

12

DAFTAR PUSTAKA

Onghokham, Tradisi dan Korupsi, Prisma no 2 , tahun XII, pebruari 1983

Frederickson, George, H. 1984. Administrasi Negara Baru. Terjemahan. Jakarta. LP3ES. Cetakan Pertama.

Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press. Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Penerbit Sinar Baru.

Lubis, Mochtar, 1985. Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta

Alatas, Syed Hussein, 1983. Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta

Gie, Kwik Kian, 2003. Pemberantasan Korupsi

Revida, Erika. 2003. Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Solusinya, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

13

You might also like