You are on page 1of 36

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan masalah besar yang dihadapi oleh sebagian besar negara di dunia. Klitgaard dalam pengantar buku Membasmi Korupsi mengatakan bahwa korupsi menimbulkan berbagai macam pola reaksi tertentu yaitu penolakan, pembenaran, dan kalau beruntung analisis. Dalam pola reaksi penolakan Klitgaard mengatakan bahwa seseorang dengan terus terang mengatakan bahwa Korupsi itu ada dimana-mana di dunia ini dan umunya pun sudah sepanjang sejarah. Anda menemukannya di Amerika, di Jepang, bukan hanya di negeri X ini. Dan apabila orang-orang yang ada di puncak itu korup, seandainya seluruh sistem itu korup, seperti halnya di sini, ini berarti keadaan yang sudah tanpa pengharapan(Klitgaard, 2005, hal. xvi). Kasus korupsi melanda berbagai negara bagai endemik yang sulit diberantas bahkan dalam pola reaksi kedua yaitu pembenaran, Klitgaard mengatakan bahwa kebanyakan ilmuwan sosial mengatakan bahwa kita tidak boleh berbicara terlampau banyak tentang korupsi atau, apabila kita mendiskusikannya, tidak boleh mengutuknya. Dalih untuk tidak menangani korupsi menganggap bahwa suatu suap, suatu ongkos untuk pelayanan, suatu pemberian secara analitis dikatakan sama saja (Mauss, 1967). Korupsi di Indonesia juga menjadi masalah bangsa ini. Indonesia masih berada di kisaran negara-negara korup dengan indeks persepsi korupsi 2,8, Indonesia berada di peringkat 111. Dibandingkan dengan negara-negara lain di sekitar Indonesia misalnya Singapura dan Malaysia, Indonesia masih jauh tertinggal. Salah satu kasus korupsi yang masih hangat dibicarakan adalah munculnya kasus Gayus, yaitu seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki uang bermilyar rupiah di rekeningnya padahal logikanya, pegawai negeri sipil setingkat dia hanya bergaji maksimal 12 juta setiap tahun. Berdasarkan berbagai investigasi hingga 11/04/2010, Gayus diyakini telah menyuap beberapa pegawai kejaksaan dalam menyelesaikan kasusnya ini. Model ini sering disebut sebagai Gayuisme, yang dinggap sebagian besar orang

bukan hal yang aneh lagi karena memang Gayuisme ini sudah ada di berbagai sektor publik hanya saja tidak ada atau belum ada tindakan serius untuk memberantasnya. Ternyata korupsi juga melanda Perancis. Memang perancis berada di peringkat jauh di atas Indonesia, yaitu posisi 24. Salah satu kasus korupsi di Perancis adalah kasus yang menimpa Mantan presiden Perancis, Jacques Chirac. Chirac menjabat sebagai presiden Prancis dari 1995 hingga 16 Mei 2007. Pengadilan di Paris telah menyatakan bahwa mantan presiden berusia 76 tahun itu akan diadili terkait tuduhan skandal korupsi saat dia menjabat sebagai walikota Paris dari 1977-1995. Kasus yang diselidiki hakim Simeoni tersebut berkaitan dengan 35 kontrak kerja yang diduga dihadiahkan oleh pemerintah kota Paris saat Chirac menjabat sebagai walikota kepada sejumlah teman dan rekan politik Chirac. Jika terbukti bersalah, mantan pemimpin konservatif ini terancam hukuman 10 tahun penjara, denda 150.000 euro (US$221.800), serta didiskualifikasi dari jabatan di pemerintahan selama 10 tahun. Demikian pula di Jerman, negara yang cukup kondang di Eropa ini juga mengalami masalah dalam hal korupsi. Memang Jerman relatif lebih tinggi peringkatnya daripada Perancis dan Indonesia, yaitu peringkat 14, namun ternyata hal tersebut tidak menjamin Jerman bebas dari masalah korupsi. Kasus yang muncul di Jerman pun bervariasi, salah satunya adalah suap-menyuap. Siemens adalah salah satu perusahaan yang telah melakukan suap-menyuap dan menjadi sorotan media. Siemens memperkirakan telah menghabiskan 400 million euro atau 525$ million untuk menyuap agar usahanya ke luar negerinya menguntungkan (Dougherty, 2007). Korupsi melanda sebagian besar dunia termasuk sektor publik di berbagai negara. Padahal korupsi di sektor publik dapat mengakibatkan dampak negatif yang besar bagi masyarakat maupun negara secara keseluiruhan bahkan sistem dunia. Korupsi, misalnya yang berbentuk penyalahgunaan uang negara , yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan tertentu dengan berbagai macam dalih misalnya studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya akan mengganggu proses pembangunan akibat kesalahan alokasi anggaran dan defisit anggaran akibat korupsi. Bahrin mencoba menganalisis hubungan antara

kualitas pribadi dengan akibat dari korupsi dalam sebuah pohon analisis sebagai berikut (Bahrin, 2004):

Skema pemetaan masalah oleh Bahrin tersebut di atas menggambrakn betapa korupsi memiliki implikasi yang luas. Selo Soemardjan dalam pengantar buku Robert Klitgaard menyebutkan bahwa korupsi menyebabkan high cost economy yang menaikkan harga produk dan menurunkan daya saing bisnis umum kita (Klitgaard, 2005, hal xiii) Sehubungan dengan urgensi masalah korupsi yang akan memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat maka dibutuhkan langkah antisipasi dan penanganan. Berbagai negara memiliki berbagai macam stratgei dalam pemberantasan korupsi. Perbedaan strategi ini wajar mengingat setiap negara memiliki latar belakang dan lingkungan yang berbeda. Akan tetapi mengingat korupsi sebagai masalah yang memiliki akar permasalahan sama maka semua negara pasti menginginkan perbaikan dalam stetegi dalam pemberantasan korupsi. Untuk itu dibutuhkan sebuah analisis strategi terbaik dalam memberantas dan menangani masalah korupsi sehingga dapat ditemukan kunci ampuh untuk memberantas korupsi. I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana strategi pemberantasan korupsi di Perancis? 2. Bagaimana strategi pemberantasan korupsi di Jerman? 3. Bagaimana strategi pemberantasan korupsi di Indonesia? 4. Bagaimana analisis perbadingan strategi pemberantasan korupsi antara Perancis, Jerman, dan Indonesia? I.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui strategi pemberantasan korupsi dari Perancis, Jerman, dan Indonesia. 2. Untuk membadingkan startegi pemberantasan korupsi di Perancis, Jerman, dan Indoensia. I.4 Pembatasan Masalah Dalam pembahasan ini, korupsi didefiniskan sebagai seseorang secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat serta citacita yang menurut sumpah akan dlayaninya. Korupsi itu muncul dalam banyak bentuk dan membentang dari soal sepele sampai soal yang amat besar. Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan misal tarif dan kredit, sistem irigasi dan kebijakan perumahan, penagakan hukum atau prosedur sederhana. Korupsi dapat terjadi di sektor swasta maupun pemerintah. Namun dalam pembahasan kali ini hanya akan dibahas korupsi di sektor publik. I.5 Sistematika Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II analisis dan pembahasan terdiri dari stretegi pemberantasan korupsi di Perancis, strategi pemberantasan korupsi di Jerman, strategi pemberantasan korupsi di Indonesia, dan analisis perbadingan strategi pemberantasan korupsi di Perancis, Jerman, dan Indonesia. Bab III terdiri dari kesimpulan dan saran. BAB II

ANALISIS DAN PEMBAHASAN II.1 Strategi Pemberantasan Korupsi di Perancis II.1.1 Gambaran Umum Perancis

Meskipun Perancis menjadi pemenang dalam di perang dunia I dan II, akan tetapi Perancis mengalami kerugian yang luas dalam kerajaannya, kekayaan, tenaga kerja, dan peringkat sebagai negarabangsa yang dominan. Namun saat ini Perancis menjadi salah satu negara yang paling modern di dunia dan menjadi pemimpin di antara negara-negara di Eropa. Sistem pemerintahan Perancis dibangun dengan sistem pemerintahan presiden-parlemen hibrida sebagai wujud respon atas ketidakstabilan pemerintahan sebelumnya yang menggunakan sistem parlemen yang lebih murni. Integrasi ekonomi Eropa telah didukung oleh rekonsiliasi dan kerjasama dengan Jerman termasuk penggunaan mata uang umum, euro, pada bulan Januari 1999. Dalam bidang militer, Perancis saat ini menjadi negara terdepan dalam upaya mengembangkan kemampuan militer Uni Eropa untuk menambah kemajuan terhadap kebijakan luar negeri Uni Eropa. Dari sisi pertumbuhan penduduknya, Perancis merupakan negara yang cukup padat penduduknya. Dengan luas negara sebesar 643,427 km2. Perancis memiliki jumlah penduduk peringkat 21 sedunia dengan jumlah

64.057.792 jiwa diperkirakan tahun 2009 (Central Intelligence Agency, 2009). Perancis merupakan negara yang berbentuk republik. Berdasarkan terminologi lokal dinamakan Republique Francaise atau biasa disebut France. Perancis terdiri dari 26 region antara lain Alsace, Aquitaine, Auvergne, Basse-Normandie (Lower Normandy), Bourgogne (Burgundy), Bretagne (Brittany), Centre, Champagne-Ardenne, Corse (Corsica), Franche-Comte, Guadeloupe, Guyane (French Guiana), Haute-Normandie (Upper Normandy), Ile-de-France, LanguedocRoussillon, Limousin, Lorraine, Martinique, Midi-Pyrenees, Nord-Pasde-Calais, Pays de la Loire, Picardie, Poitou-Charentes, ProvenceAlpes-Cote d'Azur, Reunion, dan Rhone-Alpes. Legislatif Perancis bersifat bikameral, yaitu parlemen yang terdiri atas senate atau senat dan national assembly atau assemblee nationale. Senate terdiri dari 343 kursi, 321 untuk metropolitan department dan overseas department dan 2 untuk New Caledonia, 2 kursi untuk Mayotte, 1 kursi untuk Saint-Pierre dan Miquelon, 1 kursi untuk SaintBarthelemy, 1 kursi untuk Saint-Martin, 3 kursi untuk overseas teritorial, dan 12 kursi untuk French National Abroad. Sedangkan national assembly terdiri dari 577 kursi, yaitu 555 untuk Metropolitan France, 15 kursi untuk overseas department, 7 kursi untuk dependencies. Sistem peradilan di Perancis melibatkan peran Supreme Court of appelas or cour de cassation, Constitutional Council or conseil constitutionnel, dan council of state or counseil detat. Supreme Court of appelas or cour de cassation ditunjuk oleh presiden dari nominasi yang diberikan oleh High Council. Sedangkan Constitutional Council or conseil constitutionnel, tiga anggota ditunjuk oleh presiden, toga anggota ditunjuk oleh presiden/ketua national assembly, dan tiga anggota ditunjuk oleh senat (Central Intelligence Agency, 2009). Perancis merupakan negara kesatuan dengan pemisahan antara desentralisasi politik dan administrasi sejak 80-an. Sesuai dengan

prinsip rule of law dan menjunjung tinggi terhadap HAM dan kebebasan fundamental, kinerja perancis dilakukan di tiga pelayanan publik yaiu the central atau state administration, the local territorial authorities, dan public health sector. II.1.2 Keadaan Korupsi di Perancis Korupsi di negara maju dan demokratis seperti Prancis, nyatanya masih menjadi masalah besar yang harus dihadapi. Dari tahun ke tahun, kasus korupsi di Prancis mengalami dinamika yang tidak terlalu signifikan dalam hal pemberantasan korupsinya. Transparency International mencatat bahwa indeks persepsi korupsi Perancis tahun 2009 menduduki peringkat 24, setelah Saint Lucia dan sebelum Chile. Namun demikian, jika dilihat dari nilai yang diperoleh, Prancis mengalami penurunan dari tahun 2007 (sebesar 7,3 menjadi 6,9) dan kestabilan nilai dari tahun 2008. II.1.3 Kasus Korupsi di Perancis Salah satu kasus korupsi yang sangat fenomenal di Prancis, tepatnya korupsi yang merugikan perusahaan negara atau dengan kata lain memakan uang rakyat, adalah kasus korupsi di perusahaan minyak Prancis Elf Aquitaine. Korupsi yang terjadi pada tahun 2003 ini, selain melibatkan petinggi perusahaan, juga menyangkut para politisi. Saat itu, 37 terdakwa dituduh menerima hampir 400 juta (US $ 457 juta) dari kelompok negara bekas minyak Elf Aquitaine untuk kekayaan pribadi dan suap politik selama akhir 1980-an dan awal 1990-an. Senior eksekutif perusahaan kemudian mengakui bahwa uang itu secara rutin digunakan untuk membiayai partai politik dan calon presiden Perancis. Hasilnya, Direktur Eksekutif Elf tersebut ditangkap di Filipina. Sebagian besar pelaku penting yang terlibat dalam kasus korupsi senilai US$ 500 juta itu dijatuhi hukuman yang sangat berat. Investigasi yang dilakukan untuk mengungkap kasus korupsi tersebut memerlukan waktu selama delapan tahun, yakni mulai tahun 1994 sampai tahun 2002.

III.1.4 Strategi Pemberantasan Korupsi di Perancis Sistem pencegahan korupsi di state administration dilakukan oleh perancis melalui dua mekanisme. Langkah pertama yaitu berdasarkan prinsip dan regulasi. Kemudian institusi baru didirikan untuk memperkuat kerangka kerja untuk mencegah korupsi dan meningkatkan kontrol. Dalam menekankan etika sektor publik dan mencegah dari berbagai bentuk korupsi, sistem Perancis berdasarkan prinsip, peran sektor publik dan kewajiban sektor publik. Prinsip yang dijadikan landasan adalah Declaration of the Rights of Man and Citizen, 26 Agustus 1789. Deklarasi tersebut mneyebutkan bahwa warga masyarakat seharusnya menentukan kebutuhan kontribusi publik dan mensyaratkan setiap agen publik untuk akuntabel dalam administrasinya. Sedangkan peran sektor publik dan peraturannya yaitu The Public rules and regulation(statut de la fonction publique) yang diadopsi tahun 1946 kemudian diamandemen tahun 1983-1984 mendefiniskan kewajiban dan tugas, pelanggaran dan sanksi, dan berbagai bentuk ketentuan preventif lainnya untuk menghindarkan public servant untuk melanggar hukum dan konfilk kepentingan (Soccoja, 2007). III.1.5 Hukum Anti Korupsi di Perancis Secara konstitusional, Pemerintah Perancis dalam memberantas korupsi memiliki tiga sumber.Pertama, hukum yang berasal dari FCPA (Foreign Corrupt Practices Act). FCPA adalah sebuah hukum negara federal yang terkenal dengan dua hal pokok, yakni transparansi dan urusan suap menyuap dalam urusan resmi luar negeri. Kedua, aturan yang dibuat oleh pemerintah Perancis dalam rangka melakukan tanggung jawab pemberantasan korupsi dengan cara pandang internasional. Ketiga, hukum yang diambil dari perbaikan French Criminal Code dan French Criminal Procedure Code.

Salah satu wujud aturan yang dibuat oleh Pemerintah Perancis adalah aturan untuk pegawai sektor publik(kode etik). Salah satu peraturan untuk public servant adalah larangan untuk menjadi anggota sektor publik dan sektor privat sekaligus dalam waktu yang sama. Civil servants shall devote their professional activity exclusively to the performance of the duties that are assigned. They may not engage in a gainful private professional activity of any kind. The conditions in which exceptions may be made to this prohibition on a exceptional basis shall be established by a decree of the Council of State. Peraturan ini tidak hanya untuk pegawai negeri namun untuk semua pegawai dibawah kontrak dengan kabinet menteri. Pengecualian dari peraturan ini ditentukan dalam peraturan tahun 1936 yaitu untuk kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan mengajar(teaching activities) yang berkaitan dengan kompetensi pegawai, ilmuwan dan penelitian teknis. Namun perlu diingat bahwa dalam kegiatan ini semua pegawai tetap membutuhkan kewenangan dari hirarki dan harus menyampaikan uang yang didapat. Peraturan yang kedua yaitu persyaratan atas disinterestedness(tidak adanya unsur kepentingan tertentu). Hal ini berarti pegawai sektor publik tidak semestinya mendapat keuntungan dari kerja mereka. Public servants may not have, either directly or through a third party, interests in a company that is subject to supervision of the administration to which they belong, or related to this administration which would be liable to compromise their independence. Kewajiban ketiga yaitu deals with incompatibilities dalam memnyusun public decision making. Hal ini dimaksudkan bahwa pegawai sektor publik diwajibkan untuk tidak memiliki konflik kepentingan dalam melaksanakan tugas sektor publik.

Selain ketiga kewajiban di atas terdapat metode kontrol spesifik dalam kewenangan publik, yaitu a priori dan a posteriori. A pripori yaitu mengontrol prosedur internal administrasi yang juga memiliki tugas dalam mencegah konflik kepentingan dan korupsi melalui transparansi dan akuntabilitas administratif misalnya double-key system. Double-key misalnya memisahkan pegawai yang memiliki peran sebagai akuntan dan pegawai dengan kewenangan dalam pengeluaran anggaran (Soccoja, 2007). Kemudian a posteriori yaitu the court of auditors(cour des comptes) dan chambers of auditor regional(chambres regionales des comptes) melakukan pemeriksaan dan kontrol terhadap akuntabilitas kewenangan publik. Terdapat beberapa langkah prenvetif dalam mengantisipasi terjadinya korupsi. Salah satunya adalah pemberian sanksi terhadap pegawai yang tidak dapat menjalankan tugasnya misalnya dengan melakukan korupsi baik korupsi pasif maupun aktif. Strategi yang dikhususkan dalam mencegah korupsi misalnya dalam hal rekrutmen yaitu dengan menciptakan rekrutment melalui competitive examination. Selain itu terdapat beberapa kebijakan yang dilakukan untuk mencegah resiko korupsi dalam melaksanakan tugas yaitu training dan mobility mandatory. II.1.6 Institusi Anti Korupsi di Perancis Di Perancis, tiga badan utama yang bertanggung jawab untuk menjadi ujung tombak memerangi korupsi antara lain: 1. 2. Unit Intelejen Keuangan (Tracfin) yang berada di bawah Departemen Keuangan Layanan Pusat Pencegahan Korupsi (SCPC) , berada di bawah naungan Menteri Kehakiman. Salah satu peran utama SCPC adalah untuk memberikan nasehat tentang tindakan yang diusulkan untuk mencegah korupsi baik pasif dan aktif dan ini memainkan peran internasional yang terus berkembang. 3. Brigade anti-penyuapan pusat (BCLC), yang didirikan pada bulan Oktober 2004 di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Itu adalah

10

sebuah tubuh multidisiplin berfokus secara khusus pada korupsi dan memiliki kekuasaan untuk menyelidiki semua kasus yang berhubungan dengan itu. Namun demikian, pada dasarnya institusi dapat dikategorikan dalam dua kategori berdasarkan fungsinya yaitu fungsi pencegahan dan fungsi kontrol. Institusi yang memiliki tugas dalam mencegah yaitu Traftin, SCPC dan BCLC . Sedangkan institusi yang memiliki tugas kontrol yaitu melalui inspektorat jenderal tiap departemen yang berbeda setiap departemennya, misalnya inspection generale des finances(IGF) untuk ministry of finance, dan inspenction generale de ladministration(IGA) untuk ministry of interior. SCPC(Service Central de Prevention de la corruption) berdiri tahun 1993 memiliki tugas dalam mencegah korupsi di Perancis. SCPC adalah badan dalam minister of Justice and the Prime minister. SCPC merupakan pusat informasi untuk mendeteksi dan mencegah dalam mengatasi inter alliae, korupsi aktif maupun pasif, dan korupsi oleh manajer atau staf perusahaan privat, keuntungan yang tidak semestinya, ekstorsi, dan perdagangan pengaruh/kekuasaan. SCPC juga membantu atas permintaan kewenangan peradilan dalam investigasi misalnya mendefiniskan daftar dari berbagai kewenangan. Opini SCPC dalam isu dan masalah melalui mengukur tanggungjawab(measures liable) menjadi acuan dan rekomendasi pemerintah. Melalui laporan tahun SCPC telah membuat daftar inventaris wilayah yang beresiko korupsi dapat terjadi sehingga dapat mengusulkan analisis dan rekomendasi untuk mencegah resiko tersebut. SCPC juga menyelenggarakan training untuk pelayanan pemeirntah. Selain itu SCPC juga mengimplementasikan sesi training yang biasa diberikan terkait pelayanan pemerintah dalam sekolah untuk calon pegawai sektor publik yaitu (Ecole Nationale d'administration (ENA), Ecole Nationale de la Magistrature (ENM), Schools of Police, Gendarmerie, Customs, Tax and Control services (Defence, Finances) dan Universities (Strasbourg, Poitier, Aix en Provence).

11

Namun demikian, dalam kasus korupsi yang menyangkut kekuasaan, pemerintah Prancis memang mengalami kesulitan dalam melakukan investigasi, apalagi untuk membawa kasus-kasus tersebut ke pengadilan. Oleh karena itu, khusus untuk mengatasi kasus korupsi seperti itu, Pemerintah Prancis menggunakan jasa Financial Action Task Force (FATF), yakni sebuah lembaga yang dibentuk negara-negara G-8 pada 1989. Lembaga ini bertugas mengeluarkan rekomendasi kepada bank, lembaga keuangan, dan sejumlah lembaga lainnya. Salah satu bentuk rekomendasi penting adalah pelarangan bagi para penyelenggara negara untuk memiliki rekening yang berisi banyak uang. Kalaupun ternyata memang terpaksa atau sudah terlanjur memiliki rekening dengan uang banyak, maka asal usul uang tersebut harus ditelusuri dengan jelas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemerintah Prancis sudah memiliki political will yang baik untuk memberantas korupsi. II.1.7 Peran Lembaga Non-Pemerintah dalam Memberantas Korupsi di Prancis Sebagai negara demokratis, tentu saja Pemerintah Prancis membutuhkan sekaligus mendorong seluruh lapisan masyarakat negaranya untuk memberantas korupsi. BCLC sebagai salah satu lembaga anti korupsi pemerintah BCLC bekerja sama dengan National Commission of Election Campaign and Political Financing yang memiliki focus pada pengawasan keuangan dan perhitungan obligasi oleh partai politik di Prancis. Selain itu, dalam memperoleh informasi sebelum melakukan investigasi sebuah kasus korupsi, BCLC juga bekerja sama dengan Prosecution Office.

II.1.8 Analisis SWOT 12

Analisis SWOT dalam pemberantasan korupsi di Perancis dapat digambarkan sebagai berikut: Strength Weakness Perancis memiliki tiga lembaga anti Kerja sama yang dilakukan antara korupsi korupsi. milik pemerintah yang lembaga pemerintah dan non pemerintah memiliki kemungkinan untuk berorientasi profit, sehngga bukan lagi bertanggung jawab atas pencegahan bisa

Prancis juga memiliki dua lembaga didasarkan atas tujuan memberantas anti korupsi milik pemerintah yang korupsi bertugaas mengontrol setiap gejala korupsi Lembaga Opportunity anti korupsi Threat non Tidak ada sepertinya

pemerintah siap bekerja sama dengan lembaga milik pemerintah dalam membasmi korupsi II.2 Strategi Pemberantasan Korupsi di Jerman II.2.1 Gambaran Umum Jerman

Jerman adalah negara terbesar dalam bidang ekonomi di Eropa. Negara ini memiliki jumlah penduduk terbesar kedua setelah Rusia di Eropa. Sumber daya dan potensi Jerman tersebut menjadikan Jerman memiliki posisi kunci dalam area ekonomi, politik, dan organisasi pertahanan. Semenjak Perang

13

Dingin, dua negara di Jerman terbentuk yaitu Western Federal Republic of Germany(FRG), dan Eastern German Democratic Republic(GDR). Negara dengan luas area sebesar 3.621 km dengan jumlah penduduk sebanyak 82.329.758 pada Juli 2009(Central Intelligence Agency, 2009) ini memiliki bentuk pemerintahan federal republik. Negara ini terdiri dari 16 state yaitu Baden-Wurttemberg, Bayern (Bavaria), Berlin, Brandenburg, Bremen, Hamburg, Hessen, Mecklenburg-Vorpommern (MecklenburgWestern Pomerania), Niedersachsen (Lower Saxony), Nordrhein-Westfalen (North Rhine-Westphalia), Rheinland-Pfalz (Rhineland-Palatinate), Saarland, Sachsen (Saxony), Sachsen-Anhalt (Saxony-Anhalt), Schleswig-Holstein, dan Thuringen (Thuringia) (Agency, 2010). II.2.2 Keadaan Korupsi di Jerman Sebagaimana negara lainnya di dunia, Jerman juga merasakan bahwa korupsi dan kurang trasnparansi di dalam pendapatan publik adalah rintangan dalam pembangunan, merusak pengurangan kemiskinan dan partisipasi demokrasi. Secara umum korupsi dimengerti sebagai sebuah perilaku individu yang tidak sesuai dengan tanggung jawab publik atau privat dimana mereka melukai tugas dan kewenangan mereka untuk meningkatkan keuntungan. Terdapat beberapa bentuk korupsi termasuk menyuap(bribery), penggelapan atau pencurian(embezzlement), serta nepotisme dan penyalahgunaan uang(misappropriation of funds),

patronase (nepotism and patronage) (Federal Ministry for Economic Cooperation and Development, 2009). Tipe korupsi bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu antara stuational corruption dan structural corruption. Situational corruption adalah perilaku korupsi berdasarkan keputusan yang spontan, aktifitas tersebut muncul sebagai respon langsung terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan aktifitas tersebut yang tidak direncanakan dan dipersiapkan. Sedangkan structural corruption dimana perilaku korupsinya direncanakan sebelumnya. Situational corruption secara particular tersebar di negara berkembang akibat sistem administrasi dikarakteristikan dengan kurangnya monitoring dan prosedur komplain. 14

Sedangkan structural corruption bisa terjadi di negara berkembang maupun negara industri. Jerman adalah negara yang dipengaruhi oleh structural corruption yang secara prinsip dilakukan melalui peran sektor privat dalam pemerintahan (Dedo Geinitz, 2007). Perkembangan kasus korupsi di Jerman memiliki banyak macam. Namun diperkirakan hanya 10 % korupsi di Jerman yang terdeteksi. Jumlah korupsi yang tidak terdeteksi sangat tinggi. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. salah satu alasannya yaitu efek domino. Efek domino ini terjadi ketika satu kasus korupsi diselesaikan oleh beberapa pihak misalnya untuk penentuan pelanggaran oleh satu pihak kemudian untuk proses lebih lanjut dilakasaakan oleh lembaga hukum yang relevan lainnya. Efek domino yang disebabkan dari proses investigasi ini menjadi alasan utama untuk mengasumsikan bahwa jumlah korupsi yang tidak terdeteksi sangat tinggi (Dedo Geinitz, 2007). Transparency internasional mencatat bahwa Jerman mengalami penurunan dalam menangani korupsi. Berdasarkan laporan Transparency International tahun 2001, Jerman turun ke peringkat 20 dari 91 negara setelah turun dari peringkat 14 ke peringkat 17 tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketidakteraturan dalam keuangan partai, sogok-menyogok dalam pemerintahan, korupsi dalam pendapatan pegawai negeri dalam isntitusi publik, korupsi dalam kontrak, transaksi bank yang meragukan dalam kontribusi yang diterima oleh top politicians (Zachert & Zeitung, 2001). Namun peringkat ini kembali membaik. Tahun 2009 Jerman berada di urutan ke 14 dalam indeks persepsi korupsi dengan indeks persepsi korupsi sebesar 8,0. Peringkat Jerman selain meningkat juga semakin tinggi indeks persepsi korupsinya mendekati poin 10, dimana poin 10 merupakan poin sempurna tanpa adanya korupsi. II.2.3 Kasus Korupsi di Jerman Siemens adalah salah satu perusahaan yang telah melakukan suapmenyuap dan menjadi sorotan media. Siemens memperkirakan telah 15

menghabiskan 400 million euro atau 525$ million untuk menyuap agar usahanya ke luar negerinya menguntungkan (Dougherty, 2007). Menurut Nationsl Daily, Jerman merupakan perusahaan di Jerman yang menjadi skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah perusahaan di Jerman. Korupsi di tubuh Siemens tersebut dilakukan dengan menyuap agar perjalanan bisnis mereka sukses. Kasus ini terjadi ketika kepemimpinan Siemens, Klaus Kleinfeld dan Heinrich von Pierer, serta Heinz-Joachim Neuburger sebagai direktur keuangan serta beberapa top executive lainnya. Para pemimpin Siemens ini memimpin perusahaan dari 2003 hingga 2006. Perusahaan telah mengakui bahwa korupsi yang terjadi di Siemens mencapai 1,3 juta untuk menyuap pemerintah serta memenangkan kontrak (Spiegel Online International, 2008). Berdasarkan laporan dari United States Department of Justice, Pemeirntah Jerman menerima suap-menyuap untuk pegawai dari luar negeri agar dapat memenangkan kontrak pemeringtah antara 1998 hingga 2008. Kasus suap ini diistilahkan sebagai longstanding practise of paying bribes. Kasus korupsi berupa suap ini selain digunakan untuk memenangkan kontrak pemerintah juga ditujukan untuk menghindarkan dari ketentuan tertentu dalam hukum Jerman (Bowen, 2010). II.2.3 Startegi Pemberantasan Korupsi di Jerman II.2.3.1 Langkah-langkah Pemerintah Jerman Pemerintah Jerman dalam menangulangi korupsi dan menciptakan transparansi melalui pelaksanaan tiga level kebijakan. Pertama, international coordination, yaitu koordinasi internasional yang terdiri dari enam bentuk implementasi yaitu: 1. Melalui keterlibatan di United Nations(UN), The World Bank, The G8 dan OECD, pemerintah Jerman mendukung dalam pengimplementasian dan observasi mengenai standar anti korupsi di tingkat internasional. 16

2. The German Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ) membantu negara-negara partner untuk meratifikasi dan mengimplementasikan korupsi(UNCAC). 3. Sejak korupsi secara bertahap umum di resource-rich countries, BMZ mendukung insiatif internasional untuk menciptakan transparansi yang lebih baik untuk industri esktraktif. 4. Dalam the Paris Declaration on Aid Effectiveness of 2005 dan the Accra Action Plan of 2008, pihak donor and recipients melakukan komitment yang saling menguntungkan. 5. Ketika pemberi bantuan(donor) mendanai melalui anggaran pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan tersebut mempunyai kebutuhan kapasitas institusional untuk menanggulangi penyalahgunaan anggaran atau korupsi. 6. Kerjasama dengan donor lain, secara khusus disebutkan harus dibuat oleh the U4-Anti-Corruption Resource Centre di Bergen, Norwegia. Kedua, kontribusi melalui kerjasama pembangunan bilateral Jerman. Level ini memiliki dua bentuk yang merupakan program berkelanjutan dari bentuk sebelumnya yaitu: 7. Jerman membantu development-oriented partner government untuk membangun kapasitas yang diperlukan untuk membersihkan isntitusi pemerintah dari korupsi dan membuat administrasi publik transparan, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan publik. 8. Sejak 1997, semua sejarah negosiasi pemerintah dengan negaranegara partner berisi perjanjian anti korupsi. Ketiga, mencegah korupsi di Jerman. Level ini memiliki dua bentuk implemetasi yang juga merupakan lanjutan dan kesatuan dari bentuk-bentuk 17 Konvensi UN dalam melawan

lain di level sebelumnya. Bentuk implementasinya antara lain sebagai berikut: 9. Bentuk ini diwujudkan dalam bentuk kampanye gerakan

pencegahan korupsi dan menciptakan transparansi dalam kebijakan pembangunan. Bentuk ini dilakukan dengan menyetujui dan meratifikasi standar yang telah disetujui secara internasional yang secara ekstensif diregulasikan melalui German law. 10. Semua kewenangan federal juga merupakan subjek dalam memimpin pemerintahan Jerman dalam mencegah korupsi dalam administrasi di negara federal dimana menciptakan variasi pengukuran dalam kinerja, dan janji personal dalam menanggapi isu korupsi, audit internal, rotasi kerja, sistem dalam kelangkaan yang lebih berat, dan kewenangan dalam eksekutif untuk menciptakan contoh yang baik. (Federal Ministry for Economic Cooperation and Development, 2009) II.2.3.2 Insitusi Pemberantasan Korupsi Dalam menjalankan program pemberantasan korupsi, Jerman

melakukannya melalui internal birokrasi. Proses pemberantasan korupsi tidak dilakukan dengan mendirikan lembaga ad hoc untuk memberantas korupsi. Hal ini mengingat pembentukan lembaga ad hoc pada hakikatnya hanya dilakukan jika negara tidak mampu menyelesaikan tugas tersebut. namun dalam pemberantasan korupsi Jerman mampu melakukan melalui peran negara sehingga tidak didirikan lembaga anti korupsi namun hanya menekankan pada reformasi birokrasi. Selain reformasi administrasi yang diarahkan pada peningkatan kapabilitas dan upaya minimasi celah kelembagaan & birokrasi bagi praktik korupsi, administrasi di Jerman ditempatkan secara hukum sebagai entitas independen yang terpisah dari pemerintah karena pemerintah merupakan salah satu cabang kekuasaan eksekutif. Dengan begini, korupsi politik dan

18

korupsi birokrasi yang salah satu penyebabnya adalah politisasi birokrasi relatif bisa dicegah.Bagaimana pun juga korupsi politik atau kebijakan tetap menjadi hal yang rawan karena bersumber dari wilayah dari abu-abu dalam skema kebijakan yang bersangkutan, ditambah dengan celah kelembagaan lain. Ini juga tantangan di banyak negara maju sekalipun, termasuk di Jerman. Karena di Jerman tidak ada lembaga extra untuk mengurusi pemberantasan korupsi, maka diperlukan reformasi administrasi lembaga-lembaga intern untuk memberantas korupsi. dari Reformasi

administrasi harus diarahkan pada perubahan struktur secara sistemik, dari struktur administrasi yang hirarkis vertikal menjadi struktur yang lebih landai horisontal dengan bentuk jejaring kerja. Secara empirik, struktur dalam bentuk jejaring, tidak hanya lebih mendekatkan para pejabat publik dengan publik yang dilayaninya, tetapi juga menempatkan publik dalam posisi lebih berarti. Hal tersebut akan memudahkan melakukan kontrol terhadap pejabat publik, sehingga kemungkinan untuk melakukan korupsi semakin kecil. Reformasi administrasi publik perlu diarahkan pada penetapan strategistrategi dan administrasi melalui perencanaan yang partisipatif dan demokratik, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakan fungsi-fungsi administrasi lainnya. Dengan begitu pelayanan administrasi tidak tergantung pada aktor semata, tetapi pada sistem yang lebih handal. Dengan tidak bergantung kepada aktor, maka tidak ada aktor yang memiliki kewenangan penuh sehingga kecendrungan untuk melakukan korupsi juga dapat dihindari. Seperti yang kita ketahui, korupsi terbentuk dari ketidaktransparan dan monopli kekuasaan. Reformasi administrasi menerapkan ide-ide baru atau kombinasi ide guna meningkatkan sistem administrasi agar mampu melaksanakan tujuan pembangunan nasional (Lee dan Samonte, 1970). Reformasi administrasi sebagai proses yang terencana untuk mengadakan perubahan dalam struktur dan prosedur birokrasi publik, serta sikap dan perilaku para birokrat dalam 19

upaya meningkatkan daya guna organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan (Quah, 1976). Manfaat yang ditimbulkan dari reformasi administrasi yaitu: - Pendayagunaan dan rightsizing aparatur negara agar mampu menyelenggarakan pelayanan publik dengan lebih cepat dan lebih baik. - Mendorong otonomi daerah - Meningkatkan keamanan dan stabilitas, menegakkan hukum dan fungsi peradilan - Mendorong Pelayanan Prima dan Inovasi - Memperluas pemanfaatan Teknologi Informasi untuk

meningkatkan efisiensi dan produktivitas instansi pemerintah II.2.3.3 Peran Masyarakat, Partai Politik, dan Media Massa dalam Memberantas Korupsi Memang Jerman tidak memiliki lembaga ad hoc untuk memberantas korupsi akan tetapi dalam menjalankan program pemberantasan korupsi tersebut terdapat sejumlah civil society yang kredibel yang juga memiliki titik berat dalam pemberantasan korupsi di Jerman dan internasional. Lembaga independen tersebut misalnya GTZ(Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit). Lembaga independen yang berada di Jerman ini memiliki skala cakupan tidak hanya di Jerman saja tapi juga melakukan kegiatan bantuan di negara-negara lain. GTZ memiliki banyak bidang kerja dan program kerja. Salah program kerjanya yaitu membentuk good governance yang memiliki langkah yaitu dengan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Partai politik juga memiliki peran yang beasr dalam memberantas korupsi. Partai politik di Jerman biasa melakukan sosialisasi dan pendidikan politik untuk masyarakat. Satu partai tertentu akan mendirikan lembaga 20

pendidikan politik misalnya tentang ideologi partai. Korupsi juga menjadi salah satu poin yang menjadi tanggung jawab dalam proses pendidikan politik tersebut. contoh lembaga bentukan partai untuk program tersebut ada;ah Hans Seidel Stiftung. Yayasan Hans-Seidel (HSF), bekerjasama dengan mitra-mitra tertentu dan organisasiorganisasi afiliasi, mendukung pelatihan pejabat pemerintah, pimpinan perusahaan, tenaga ahli dari kalangan swasta dan LSM untuk membangun administrasi perlindungan lingkungan yang efisien. Hans Seidel Stiftung ini juga melakukan kerjasama dengan negara lain termasuk Indonesia karena HSF juga memiliki program pendidikan politik di negara mitra. Masyarakat juga berperan dalam memberantas korupsi. Wolfgang

Schaupensteiner adalah seseorang yang mendedikasikan diri untuk memberantas korupsi sejak 1993. Dia menghabiskan waktu untuk melakukan berbagai kegiatan untuk memberantas korupsi. Misalnya, Schaunpeter melakukan hal sederhana untuk memberantas korupsi yaitu dengan menggambar kartun antikorupsi di ruang kerjanya serta bergabung dengan aktifis-aktifis lainnya (Dougherty, 2007). II.2.3.3Analisis SWOT Analisis SWOT dalam pemberantasan korupsi di Jerman dapat digambarkan sebagai berikut: Strength a. Jerman internal menyelesaikan memiliki yang korupsi lembaga bertekad dengan Weakness a. Alur investigasi yang berantai menyebabkan adanya korupsi yang ternyata tidak teridentifikasi. b. Masih menyuap ada dalam kebiasaan suap

efisien yang diwujudkan dengan tidak didirikannya lembaga ad hoc. b. Memiliki program kerja dan kebijakan yang relatif menyeluruh yaitu kebijakan di internal dalam 21

memenangkan

kontrak dari pemerintah.

negeri,

kerjasama regional, dan

internasional. Opportunity a. Peran aktif lembaga civil society Globalisasi dalam memberantas korupsi. b. Partai politik memainkan peran dalam sosialisasi dan pendidikan politik termasuk dalam pemberantasan korupsi. Thread menyebabkan

pemberantasan korupsi sulit dilakukan apalagi untuk kasus suap dari pihak swasta(perusahaan kepada pemerintah multinasional)

II.3 Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia II.3.1 Gambaran Umum Indonesia

Indonesia merupakan negara kesatuan (republik). Pemerintah Indonesia menganut sistem presidensial, dimana pemerintah Indonesia dikepalai oleh seorang presiden yang dibantu beberapa menteri yang tergabung dalam suatu kabinet. Ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensial: 1. Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.

22

2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif. 3. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden. 4. Eksekutif dipilih melalui pemilu. Sebelum tahun 2004, sesuai dengan UUD 1945, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada Pemilu 2004, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, pemerintah Indonesia merupakan pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah pusat mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya seperti: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Kewenangan lainnya diserahkan kepada pemerintah daerah. II.3.2 Keadaan Korupsi di Indonesia Masalah korupsi yang melanda Indonesia menjadi masalah besar yang dihadapi Indonesia. Masalah korupsi di Indonesia tidak pernah berhenti, selalu saja muncul masalah korupsi silih berganti yang menunjukkan berkembangnya korupsi di Indonesia. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Masyarakat sudah tidak aneh lagi ketika mendengar banyaknya praktek korupsi di Indonesia, mulai dari praktek korupsi yang terjadi dalam tatanan pemerintahan (sektor publik) maupun prakter korupsi yang terjadi di dalam sektor swasta. Maraknya praktek korupsi di Indonesia tidak sedikit merugikan Indonesia. Korupsi menelan uang rakyat hingga triliunan rupiah. Bisa dibayangkan betapa kejamnya para koruptor yang melakukan tindak korupsi

23

yang menghabiskan uang negara, dimana seharusnya uang tersebut bisa diperuntukkan untuk subsidi pendidikan dan kesehatan masyarakat Indonesia. Menurut Worldwide Persepsi Korupsi peringkat negara yang diterbitkan oleh Transparency International, pemberantasan korupsi di Indonesia pada tahun 2009 kemarin menduduki peringkat 111, dengan angka sebesar 2,8. Posisi Indonesia dalam urutan negara terkorup di dunia pada tahun 2000 misalnya, adalah juara kedua di Asia. Korupsi di Indonesia sudah muncul sejak era orde lama, yang ditandai dengan korupsi yang dilakukan oleh Ruslan Abdulgani pada tahun 19511956. Pada era orde baru yaitu pada masa pemerintahan Soeharto, praktek korupsi berkembang sangat pesat karena tidak ada satupun pihak yang berani untuk menghentikan praktek korupsi tersebut. Begitu kuatnya kekuasaan yang dimiliki oleh Soeharto menyebabkan praktek korupsi yang dijalankan oleh keluarga besarnya yang merugikan uang negara menjadi luput dari perhatian masyarakat. Begitu banyak alasan-alasan yang mereka lontarkan untuk menutupi praktek korupsi yang mereka jalankan. Tetapi sejak Indonesia mengalami krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 lalu, alasan-alasan ala orde baru itu sudah tidak ada lagi gunanya. Fakta-fakta muncul memperkuat dugaan praktek korupsi yang dilakukan pada era orde baru tersebut. Di era reformasi, praktik korupsi mengalami proses transformasi seiring dengan pergeseran kekuasaan. Jika pada masa Orde Baru korupsi harus melalui istana, era reformasi korupsi dilakukan banyak pelaku sehingga yang terjadi menyerupai democratic corruption. Munculnya pusat kekuasaan baru di luar istana, misalnya parlemen dan partai politik, memperluas praktik korupsi itu. Situasi seperti ini meruntuhkan argumentasi bahwa korupsi berkembang subur di bawah pemerintahan yang otoriter. Karena, yang terjadi pada Indonesia pasca-Orde Baru justru sebaliknya. Liberalisasi politik ternyata juga mendorong liberalisasi korupsi.

24

Pada era reformasi, kasus korupsi berkembang di Indonesia. Kasus korupsi terakhir yang masih sangat hangat diperbincangkan adalah korupsi yang menyeret nama Gayus. Gayus Halomoan P Tambunan merupakan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan golongan III A yang disebut mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji terlibat dalam kasus pajak sebesar Rp 25 miliar. Besarnya angka nominal uang yang dikorupsi oleh Gayus belum pasti, bahkan ada pihak yang menyatakan bahwa korupsi yang dilakukan oleh gayus menyentuh angka 28 miliar. Kasus ini mengemuka setelah Bareskrim Mabes Polri menemukan aliran dana mencurigakan yang masuk ke rekening Gayus di Bank Central Asia Bintaro, Kota Tangerang Selatan, sebesar Rp 170 juta pada 21 September 2007 dan Rp 200 juta pada 15 Agustus 2008. Total uang yang diterima pegawai pajak ini dari PT Megah Citra Jaya Garmindo untuk mengurus pajak perusahaan tersebut sebesar Rp 370 juta. Namun, setelah uang tersebut diterima oleh Gayus, terdakwa tidak mengurus apa pun meskipun perusahaan tersebut berkali-kali menghubungi terdakwa dan menanyakan pengurusan pajak dan uang yang ditransfer. Sejak penyelidikan kejaksaan dan perkaranya disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang, Gayus tidak pernah ditahan. Hal ini menimbulkan kecurigaan, dimana Gayus dilindungi oleh pihak-pihak yang menikmati korupsi yang dilakukan oleh Gayus ini. Mereka yang diduga menjadi "aktor" makelar kasus (markus) dalam kasus Gayus ini mulai dikenai tindakan. Pihak-pihak tersebut adalah kepolisian, Ditjen Pajak, maupun kejaksaan. Di kepolisian, pihak yang diduga sebagai aktor markus dalam kasus Gayus ini adalah Brigjen Pol Edmond Ilyas yang sudah resmi dinonaktifkan. Selain itu, Mabes Polri juga menonaktifkan sekaligus menahan perwira menengah di Direktorat II Ekonomi Khusus (Dir II Eksus) Bareskrim Polri, Kompol Arafat dan AKP Sumartini yang diduga terlibat. Sedangkan di Ditjen Pajak, sepuluh atasan Gayus dibebastugaskan. Atasan Gayus tersebut menjalani pemeriksaan. Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang, 25

Bapak Suyono, telah dimutasi. Hal ini dikarenakan Suyono diduga terkait dengan vonis bebas atas terdakwa Gayus Tambunan. Banyaknya pihak yang melindungi Gayus ini mengindikasikan bahwa masih lemahnya penegakan korupsi di Indonesia. Masih lemahnya hukum di Indonesia juga menjadi penyebab masalah korupsi di Indonesia belum berakhir masih terus bermunculan silih berganti. Perkembangan korupsi tersebut juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Namun, Indonesia sudah mencoba untuk menanggulangi masalah korupsi ini dengan membentuk beberapa institusi dalam pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini

dilakukan oleh beberapa institusi: b. Komisi Pemberantasan Korupsi c. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi) d. Kepolisian e. Kejaksaan f. BPKP g. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW) III. 3.3. Strategi Pemberantasan Korupsi III. 3.3. 1. institusi Reformasi diawali dengan semangat tinggi untuk memberantas korupsi. Semangat ini dapat dirujuk dengan Ketetapan MPR Nomor XI/1998 sehingga diharapkan segera memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan semangat ini pula dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan kemudian terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, semangat dalam pemberantasan korupsi ini selalu menghadapi rintangan, baik dari luar maupun dari dalam KPK. Dari dalam KPK yaitu

26

banyak anggota KPK yang tersandung kasus konspirasi korupsi, sedangkan ancaman dari luar datang dari pemerintah, polisi, maupun kejaksaan. Kemunculan KPK merupakan langkah alternatif pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pemerintah dan DPR hasil reformasi telah menunjukkan komitmen untuk membentuk KPK berdasarkan mandat UU No 30/2002. Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. KPK dibentuk pada masa pemerintahan Megawati, tetapi baru berjalan pada masa pemerintahn Susilo bambang Yudhoyono. Namun, dalam perjalanan periode kedua lima tahunan, pimpinan KPK mulai tersandung dugaan tindak pidana. Untuk itu diperlukan pemulihan terhadap kinerja KPK yaitu dengan cara membentuk Tim Lima orang yang memiliki integritas moral dan kredibel yang diharapkan dapat memastikan tiga orang terbaik yang terseleksi sehingga mengatasi kekuranglengkapan pimpinan KPK. Selain itu KPK harus melakukan konsolidasi untuk menggerakkan kembali pemberantasan korupsi. Konsolidasi yang terarah sesuai wewenang, fungsi, dan tugasnya dapat memulihkan kepercayaan publik atas manfaat keberadaan KPK. Selanjutnya, struktur kekuasaan, kewenangan, dan fungsi KPK harus dikuatkan dengan dukungan pemerintah. Meski dibutuhkan dukungan politik, pemerintah harus tetap menghormati kewenangan dan fungsi KPK tanpa mencampurinya dalam menyeret mereka yang diduga melakukan korupsi. Untuk memulihkan keberadaan KPK dalam memberantas korupsi, dibutuhkan 27

mandat yang kokoh berdasar undang-undang. RUU Tindak Pidana Korupsi harus didukung untuk memperkuat KPK. Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, kiranya sulit mewujudkan cita-cita pemerintahan yang baik sebagai masa depan politik hukum yang lebih baik. III. 3.3. 2. hukum Beberapa UU yang dikeluarkan pemerintah sudah mengatur secara jelas mengenai tindak pidana korupsi. Undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni : 1. 2. 3. 4. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Undang-undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. III. 3.3.3 Langkah-langkah Strategi Pemerintah sudah mengambil tindakan dalam upayanya untuk

memberantas korupsi. Untuk memberikan bukti bahwa upaya dan keseriusan

28

pemerintah dalam pemberantasan korupsi tidak sekadar janji, tetapi sudah dapat langsung dilaksanakan yaitu menyelenggarakan Roundtable Discussion Naskah Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi 20102025 dan Rencana Aksi (Stranas PK) yang akan menghasilkan Stranas PK (strategi nasional dan rencana aksi pemberantasan korupsi 2010-2025) yang kemudian bisa diterapkan untuk seluruh instansi. Stranas PK 2010-2025 merupakan kelanjutan dari pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi sebelumnya yang belum terselesaikan, sekaligus penyesuaian dengan Konvensi Anti Korupsi 2003 PBB yang telah diratifikasi Indonesia. Visi Stranas PK 2010-2025 adalah terbangunnya tata pemerintahan yang bebas dari praktik-praktik korupsi dengan daya dukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta sistem integritas yang terkonsolidasi secara nasional. Visi itu kemudian dituangkan ke dalam sejumlah misi antara lain membangun dan memantapkan sistem, prosedur, mekanisme, dan kapasitas pencegahan korupsi yang terpadu di tingkat pusat dan daerah. Visi dan misi itu dijabarkan ke dalam beberapa fokus strategi. Fokus Stratnas PK 2010-2025 : 1. Strategi 1 : Melaksanakan upaya-upaya pencegahan 2. Strategi 2 : Melaksanakan langkah-langkah strategis bidang penindakan 3. Strategi 3: Melaksanakan harmonisasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi 4. Startegi 4 : Melaksanakan penyelamatan aset hasil tindak pidana korupsi 5. Strategi5:Meningkatkan pemberantasan korupsi 6. Strategi 6 : Meningkatkan koordinasi dalam rangka pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi. Stranas diperlukan karena dalam upaya pemberantasan korupsi ini pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, harus ada keterlibatan lembaga/instansi 29 kerjasama internasional dalam rangka

lain baik itu di yudikatif atau di legislatif. Stranas PK ini akan menjadi bagian dari upaya memperkuat peningkatan kesejahteraan rakyat. Artinya, pemberantasan korupsi harus menjadi langkah mainstream dalam seluruh pelaksanaan pembangunan. Pemberantasan korupsi di Indonesia ternyata bersifat lebih kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten kebijakan dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang berpengaruh langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri. Itikad politik yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan korupsi mendapat legitimasi yang cukup dan efektif, namun sayangnya political will masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit dilakukan. Upaya pemberantasan korupsi melibatkan semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktek korupsi bukan merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam masyarakat. Strategi pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam willingness dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang memerlukan penanganan secara hukum. Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui: (1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif; (2) Kontrak politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS; (4) Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi.

30

Selain itu, strategi pemberantasan korupsi yang diagung-agungkan adalah reformasi birokrasi, yaitu membenahi dari dalam individu itu sendiri. Banyak pihak yang meyakini dengan adanya reformasi birokrasi, maka birokrasi di Indonesia lambat laun akan sembuh dari penyakit korupsinya. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas wacana seperti yang selama ini banyak terjadi. Reformasi birokrasi harus menjadi pengungkit (leverage) dalam strategi pemberantasan korupsi, karena merupakan fondasi penting dalam penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN.

III. 4. Peran partisipasi masyarakat, partai politik, dan media massa dalam memberantas korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 41 menyebutkan, masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat itu diwujudkan dalam bentuk memiliki hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, serta memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Masyarakat juga punya hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Di samping itu, punya hak pula untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari. Selain itu masyarakat juga berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya, ketika diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli. Masyarakat juga mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Seluruh hak dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas

31

atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. Pasal 42 menyebutkan, pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Ketentuan pemberian penghargaan itu diatur dengan peraturan pemerintah. Partisipasi publik dalam mengontrol terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang menyimpang, bukan harus diletakkan pada konteks kewajiban publik, tetapi harus dilihat pada konteks tanggung jawab sosial publik. Dimana dalam konteks tanggung jawab sosial melalui adanya kesadaran kritis yang dibentuk atas pemahaman, pengenalan dan pendalaman terhadap sebuah realitas sosial. Kaitannya dalam upaya pemberantasan korupsi, maka partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi tersebut tentu menjadi relevan untuk beberapa hal. Pertama, secara filosofis, masyarakat sebagai sebuah komunitas yang memiliki tata nilai, setiap komunitas berhak untuk memperjuangkan hak-hak yang mereka miliki. Kedua, pada perspektif sosiologis, peran serta masyarakat menjadi sebuah prasyarat dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya (social control) dalam tata hidup bermasyarakat. Menjadikan kontrol sosial sebagai sebuah tata nilai yang terlembagakan setidaknya menjadi instrumen dalam meminimalisir lahirnya praktek a moralitas dalam masyarakat. Selain peran masyarakat dalam memberantas korupsi, media massa juga memiliki peranannya tersendiri dalam membantu pemberantasan korupsi. Peran media tidak hanya memberikan informasi mengenai penindakan terhadap pelaku korupsi, tetapi juga pencegahan korupsi. Peran penting media massa di bidang pencegahan korupsi, antara lain, diwujudkan dalam bentuk memberi informasi kepada masyarakat tentang makna korupsi. Tujuannya, agar masyarakat mengetahui perbuatan yang termasuk korupsi dan tidak termasuk korupsi. Melalui keterbukaan informasi ini menyebabkan masyarakat mengetahui apakah mandat rakyat sudah dilaksanakan dengan

32

baik atau belum. Kekuasaan yang demikian besar harus dikontrol melalui media massa. Hal ini terkait dengar peran media massa dalam membentuk opini publik. Contohnya adalah bagaimana publik melihat kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan. Pemberitaan di media massa sangat terkait dengan pembentukan opini publik, karena pada dasarnya komunikasi itu proses interaksi sosial, yang digunakan untuk menyusun makna yang membentuk opini tersendiri. Dalam konteks tersebut, media memainkan peranan penting untuk konstruksi realitas sosial. Selain peran masyarakat dan media massa, peran parpol juga besar dalam pemberantasan korupsi. Yaitu bagaimana parpol tersebut menyiapkan kader yang memiliki moral yang baik, dimana moral yang baik tersebut dapat membentengi mereka dari perbuatan tindak korupsi. Pendidikan politik juga menjadi sangat penting dimana melalui pendidikan politik, para birokrat menjadi lebih mengetahui tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Selain itu, makin banyaknya partai politik maka cenderung praktek korupsi semakin marak karena banyaknya partai membutuhkan sumber keuangan yang besar. Hal tersebut terlihat pada saat pemilu, dimana partai menyiapkan kampanye mereka dan hal tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akibatnya memancing terjadinya praktek korupsi yang dilakukan oleh parpol untuk membiayai partai mereka. III. 5. Analisis SWOT Maraknya praktek korupsi di Indonesia membawa pada upaya Indonesia memberantas korupsi. Pemerintah menyuarakan pemberantasan korupsi kepada semua pihak, dan diharapkan semua pihak membantu dalam pemberantasan korupsi mulai dari pemerintah, kepolisian, kejaksaan, sampai pada masayarakat. Untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana KPK memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus tindak korupsi.

33

KPK telah menunjukkan kinerja yang optimum dalam pemberantasan kasus korupsi terlihat dengan banyaknya kasus korupsi yang dikuak oleh KPK, salah satunya kasus Artalitha yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. KPK harus tetap berdiri tegak untuk melawan korupsi di Indonesia. Walaupun timbul fitnah-fitnah yang menyudutkan KPK, KPK harus tetap maju untuk memberantas korupsi. Namun, masih terdapat keburukan dalam pemberantasan korupsi yaitu sudah terlalu banyak masalah korupsi jadi pemberantasannya memerlukan waktu yang lama. Masyarakat yang sudah lebih peka terhadap kasus korupsi di Indonesia membuat masyarakat sudah tidak dapat dibohongi oleh penguasa. Masyarakat sudah bisa menilai kinerja birokrasi di Indonesia. Ancaman yang muncul adalah bahwa korupsi sudah menjadi budaya yang mengakar di Indonesia, dimana pemberantasannya harus dilakukan dari akar-akarnya Intinya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dibutuhkan hukum yang kuat. Karena jika hukum lemah, maka praktek korupsi akan terus menerus terjadi. Penguatan hukum ini bukan hal yang mudah, banyak sekali yang harus dibenahi termasuk di dalamnya peraturan-peraturan yang dibuat hendaklah tidak menjadi bumerang dalam pemberantasan korupsi itu sendiri. Terlebih lagi seluruh tatanan kepolisian maupun kejaksaan tidak luput dari perhatian, yaitu bagaimana menciptakan kepolisian dan kejaksaan yang bersih sehingga proses pemberantasan korupsi dapat terus dijalankan sehingga keadilan dapat ditegakkan. II.4 Analisis Perbandingan Strategi Pemberantasan Korupsi Akuntabilitas adalah perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, melalui suatu media pertanggungjawaban, yang dilaksanakan secara periodik(Supriyono,2010). Robert Klitgaard merumuskan terjadinya korupsi dengan rumus Corruption = Monopoly + Discretion Accountability. Berdasarkan pembahasan sebelumnya dengan dimensi variabel keadaan kroupsi, strategi 34

pemerintahan, peran masyarakat, partai politk, dan media massa maka dapat diambil analisis sebagai berikut: Perancis Jerman Indonesia Memiliki akuntabilitas Memiliki akuntabilitas Memiliki akuntabilitas di atas Indonesia tetapi yang di bawah masih Salah karena kasus korupsi karena disana tinggi. paling korupsi tinggi peling rendah. Hal ini dengan masih disana tingginya kasus korupsi di rangking Jerman diantara negara lainnya terbukti

cukup cukup terkendali . terbukti Indoensia yang dibuktikan satu dengan tidak didirikannta dengan hukum posisi 111. entitas di Jerman dapat kasus pun auxilary body sehingga Indonesia yang masih di sebagai independen telah mengendalikan korupsi.

pemimpinanya korupsi.

menjadi tersangka kasus menunjukkan

BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan Korupsi di Perancis pada dasarnya berada pada tingkat korupsi yang cenderung rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Secara umum, pemerintah Perancis memiliki niat yang kuat untuk memberantas korupsi di negaranya. Namun demikian, hal tersebut tidak terlepas dari kecacatan beberapa oknum pemerintah yang memanfaatkan jabatan mereka untuk melakukan korupsi, Disamping itu, lingkungan non pemerintah secara penuh mendukung proses pemberantasan korupsi, hal ini terlihat dari cukup banyaknya lembaga-lembaga yang bersedia bekerja sama dengan institusi anti korupsi milik pemerintah dalam memberantas korupsi. Lebih dari itu, masyarakat Perancis sudah memiliki kesadaran bahwa korupsi merupakan sebuah hal yang tidak baik.

35

Tidak terlalu berbeda dengan negara Perancis, korupsi di Jerman cenderung stabil. Strategi pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh pemerintah Jerman menekankan pada reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dilakukan melaui kebijakan dari pemerintah dan pembentukan entitas hukum yang independen. Pemberantasan korupsi di Jerman juga dibantu oleh peran serta civil society, misalnya GTZ, masyarakat, misalnya aktivis anti korupsi seperti Wolfgang Schaupensteiner; partai politik seperti Hans Seidel Stiftung. Dibandingakan dengan dua negara sebelumnya, korupsi di Indonesia adalah korupsi yang paling parah. Strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia dilakukan melalui pembentukan strategi nasioanl untuk memberantas korupsi. Selain itu, Indonesia membentuk negara ekstra body, yaitu KPK. Indonesia pun telah memiliki UU TIPIKOR, akan tetapi strategi pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung kurang efektif jika dibandingkan dengan negara Perancis dan Jerman. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa kporupsi sudah dianggap sebagai sebuah upaya yang wajar di Indonesia.

36

You might also like