You are on page 1of 10

PENERAPAN LOGOTERAPI VIKTOR E.

FRANKL DALAM PERANAN PEMIMPIN UNTUK PENGEMBANGAN DIRI BAWAHAN DI ORGANISASI (EKSISTENSIALISME)

Oleh: Nursamawatie 1106036893

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Filsafat Magister Psikologi Terapan Universitas Indonesia 2011

I.1 Latar Belakang Masalah Saat ini Perusahaan XYZ, perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan air sedang menganalisa tingkat produktifitas pegawai. Perusahaan XYZ adalah vendor pengelolaan air untuk salah satu BUMN di Jakarta. Sebagian besar dari pegawai perusahaan XYZ adalah karyawan yang diperbantukan dari BUMN tersebut. Dari analisa produktifitas tersebut didapati bahwa karyawan BUMN yang diperbantukan itu memiliki produktifitas yang rendah. Dari hasil pengelolaan data dapat disimpulkan bahwa pegawai yang diperbantukan tersebut kurang memiliki kecocokan dengan nilai perusahaan XYZ. Perasaan tidak cocok dari karyawan yang diperbantukan dengan nilai-nilai diperusahaan XYZ mungkin disebabkan munculnya kecemasan terhadap adanya

keterkungkungan akan kebebasan untuk mencari dan mencapai sesuatu yang penting, sesuatu yang lebih bermakna dalam dirinya, sesuatu yang mungkin dicapai jika mereka sampai di tingkat atau level tertentu. Sesuatu yang paling bermakna di dalam diri seseorang adalah eksistensi dirinya. Hal ini tentunya dapat disebut sebagai kecemasan eksistensi. Kecemasan ini dapat mendorong meningkatnya produktifitas di perusahaan sehingga dapat menghambat internal proses di dalam proses. Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab "kecemasan eksistensial", Menurut Abidin (2002) aspek terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah 1. kematian: kita semua adalah makhluk yang fana', kematian sewaktu-waktu akan datang menjemput kita. 2. Takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bisa diramalkan atau dikendalikan. 3. Keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi, menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya. Kecemasan eksistensial tersebut seharusnya dapat diminimalisis dengan couching dan counseling yang tepat dari atasan. Namun atasan tersebut harus memahami metode yang tepat untuk menurunkan kecemasan eksistensial tersebut. Pemimpin tersebut harus mampu menciptakan gaya mempengaruhi yang mendorong untuk menarik dan meningkatkan

semangat karyawan untuk menjadi bagian dalam tujuan baru organisasi di masa yang akan datang.

I.2 Alasan Pemilihan Aliran/Tokoh Dalam analisis ini, penulis menggunakan pemikiran Fiktor E. Frankle dalam menganalisa. Penulis tertarik menggunakan pemikiran Fiktor E. Frankle karena pemikirannya yang berfokus kepada kebermaknaan hidup. Filsafatnya banyak mengarah kepada hidup autentik guna mencapai kebebasan lewat upaya untuk hidup bermakna. Frankl sengaja menyebut the will to meaning bukan the drive to meaning, karena menurutnya makna dan nilai itu berada di luar diri manusia dan kebebasan manusialah yang menentukan apakah ia akan menerimanya atau menolaknya (frankl dalam Tanjung, 2009). Hal ini memang dapat terlihat jelas dalam organisasi. Nilai-nilai yang terlihat dominan adalah nilai-nilai dari organisasi yang biasanya sengaja diinternalisasikan kepada anggotanya jika di dalam perusahaan berarti karyawan di dalam perusahan itu sendiri. Sehingga karyawan dapat memilih apakah Ia ingin menerima atau menolak nilai-nilai tersebut. Jika memilih untuk menolak tentu saja dapat menyebabkan ketidaknyaman dalam bekerja di perusahaan tersebut sehingga dapat berakhir pada keputusan untuk keluar dari perusahaan.

II. Deskripsi Aliran/Tokoh Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan yang selalu berhubungan dengan eksistensialisme adalah mengenai kebebasan. Eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri. Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks berarti keluar, sintesi berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri sebagai diri sendiri. Istilah eksistensialisme itu senidiri pertama kali dikemukakan oleh alhi filsafat Jerman, Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme dengan sejumlah tokohnya yang mengesankan adalah sebuah aliran filsafat yang mempermasalahkan manusia sebagai individu dan sebagai problema yang unik dengan keberadaannya. Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya itu. 2

Salah satu tokoh dalam eksistensialisme adalah Victor E. Frankl. Victor E. Frankl adalah seorang neuro-psikiater kelahiran Wina, Austria pada tanggal 26 Maret 1905 dari keluarga Yahudi yang sangat kuat memegang tradisi, nilai-nilai dan kepercayaan Yudaisme. Hal ini berpengaruh kuat atas diri Frankl yang ditunjukkan oleh minat yang besar pada persoalan spiritual, khususnya persoalan mengenai makna hidup. Di tengah suasana yang religius itulah Frankl menjalani sebagian besar hidupnya. Frankl berhasil selamat keluar dari kamp konsentrasi maut Nazi pada Perang Dunia II melalui usahanya untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan hidup bermakna (the will to meaning). Ternyata harapan untuk hidup bermakna dapat dikembangkan dalam berbagai kondisi, baik dalam keadaan normal, maupun dalam penderitaan (suffering), misalnya dalam kondisi sakit (pain), salah (guilt), dan bahkan menjelang kematian sekalipun (Victor E. Frankl, Psychotherapy and Existentialism, 1973, dalam Tanjung 2009). Filsafat Frankle lahir dari kondisi yang suram dan tiada penghargaan terhadap nilainilai kemanusiaan. Suasana Perang Dunia II benar-benar telah mencampakkan harga diri kemanusiaan sampai ke dasar terendahnya. Manusia tidak lagi dihargai sebagai entitas yang dapat mengambil keputusannnya sendiri. Institusi negara dan ideologi-ideologi totaliter telah merontokkan martabat manusia. Kita bisa melihat karya para filsuf eksistensialis yang sezaman dengan Frankl, seperti Albert Camus dan Jean Paul Sartre yang frustasi akan masa depan umat manusia. Mereka melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang ambigu dan dipenuhi dengan absurditas. Tetapi Frankl tidak ingin terjebak dalam absurditas dunia. Filsafatnya mensiratkan sebuah harapan besar tentang masa depan kehidupan manusia yang lebih berharga dan bermakna. Teori tentang kodrat manusia dari Frankl dibangun diatas tiga asumsi dasar, dimana antara yang satu dengan yang lainnya saling menopang (dalam Tanjung 2009), yakni: 1. kebebasan bersikap dan berkehendak (the freedom to will) 2. kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning) 3. tentang makna hidup (the meaning of life) (Frankl, The Philosophical Foundations of Logoterapy, dalam Psychotearpy an Existentialism, dalam Tanjung). Tentang Kebebasan berkehendak pada dasarnya merupakan antitesa terhadap pandangan mengenai manusia yang sifatnya deterministik, sebagaimana yang mendasari Psikoanalisa dan Behaviorisme. Frankl sendiri menyebut pandangan tersebut sebagai pandeterminisme, yakni: .pandangan seseorang yang tidak menghargai kemampuannya dalam mengambil sikap untuk mencapai kondisi yang diinginkannya. Manusia tidak 3

sepenuhnya dikondisikan dan ditentukan oleh lingkungannya, namun dirinyalah yang lebih menentukan apa yang akan dilakukan terhadap berbagai kondisi itu. Dengan kata lain manusialah yang menentukan dirinya sendiri (Frankl, Mans Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy, 1962, dalam Tanjung, 2009). Tentang Kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning), menurut Frankl merupakan motivasi utama yang tedapat pada manusia untuk mencari, menemukan dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya. Dalam menerangkan the will to meaning, Frankl berangkat dari kritiknya terhadap the will to pleasure (Sigmund Freud) dan the will to power (Alfred Adler), yang masing-masing menganggap tujuan utama dari motivasi manusia adalah untuk mendapatkan kesenangan/kenikmatan (pleasure) dan kekuasaan (power). Mengenai kedua pendapat diatas Frankl memberi catatan bahwa kesenangan bukanlah semata-mata tujuan hidup manusia, melainkan akibat sampingan (by product) dari sebuah tujuan itu sendiri. Begitu juga dengan kekuasaan yang hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Karena pada dasarnya pleasure dan power sebenarnya sudah tercakup dalam the will to meaning (kekuasaan merupakan sarana untuk mencapai makna hidup, dan kesenangan hanyalah efek samping yang dihasilkan dari terpenuhinya makna hidup tersebut). Frankl memang sengaja menyebut the will to meaning bukan the drive to meaning, karena menurutnya makna dan nilai itu berada di luar diri manusia dan kebebasan manusia-lah yang menentukan apakah ia akan menerimanya atau menolaknya. Makna dan nilai adalah hal-hal yang harus dicapai bukan suatu dorongan. Tentang Makna hidup, Frankl menganggap bahwa makna hidup itu bersifat unik, spesisfik, personal, sehingga masing-masing orang mempunyai makna hidupnya yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara pribadi yang satu dengan yang lainnya. Ada beberapa problem eksistensial yang berusaha diatasi oleh filsafat Frankl, yaitu Existential Frustation (frustasi eksistensial), Existential Vacuum (kehampaan eksistensial), dan Noogenic Neurosis (neurosis noogenik). Ketiganya merupakan istilah-istilah kunci dalam logoterapi, satu sama lainnya saling berhubungan, serta merupakan konsep-konsep dasar dalam memahami gangguan kejiwaan dalam kehidupan manusia kontemporer. Frustasi eksistensial muncul ketika dorongan untuk hidup bermakna mengalami hambatan. Gejala-gejala dalam frustasi eksistensial tidak mewujud secara nyata, karena pada umumnya bersifat laten dan terselubung (masked). Perilaku yang menandai frustasi eksistensial biasanya terungkap dalam berbagai usaha untuk memperoleh kompensasi besar melalui penyaluran hasrat untuk berkuasa (the will to power) atau bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure). (Frankl, Psychoyherapy and existentialism, dalam Tanjung 4

2009). Frustasi eksistensial sering ditemukan dalam gejala neurosis. Untuk neurosis jenis ini, logoterapi menandainya dengan istilah neurosis noogenik yang berbeda dengan neurosis psikogenik. Ini adalah istilah dalam Logoterapi yang merujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan sisi spiritual manusia. Dalam frame rujukan Logoterapi istilah spiritual tidak memiliki konotasi utama pada agama, namun kembali secara khusus pada eksistensi manusia (Frankl, Mans Search to Meaning, dalam Tanjung, 2009). Sementara itu, mengenai kehampaan eksistensial, biasanya muncul dalam perilaku yang menunjukkan perasaan serba hampa, gersang, dan kebosanan yang berlebihan. Menurut Frankl, faktor-faktor yang menyebabkan meluasnya kehampaan eksistensial adalah dianutnya ideologi-edeologi tentang manusia yang bercorak reduksionistik, pan-determinisme, serta teori-teori homeostatis. Wawasan-wawasan tersebut menganggap eksistensi manusia sebagai sistem yang tertutup, atau memandang manusia dari sudut pandang kemanusiaan yang subhuman, dan dengan demikian mengembangkan berbagai model manusia yang berpola ratmodel, machine model, computer model, dan sebagainya. Wawasan-wawasan ini mengingkari karaktersitik khas manusia seperti: kemampuan mentransendensikan diri, kemampuan mengambil jarak dengan lingkungan dan diri sendiri, kebebasan berkehendak, rasa tanggung jawab, dan spiritualitas. Terakhir mengenai Neurosis noogenik. Neurosis noogenik tidak muncul dari arahan konflik antara Id-Ego-Superego, konflik instingtif, trauma psikis, dan berbagai kompleks psikis lainnya, akan tetapi muncul dari problematika spiritual. Neurosis noogenik tidak mengakar pada dimensi psikis manusia, melainkan bersumber pada dimensi spiritual, sehingga dengan demikian neurosis ini tidak bersifat psikogen, tetapi spiritual/noogenik. Frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang menyebabkan terjadinya neurosis jenis ini. Untuk menghadapi permasalahan-permasalahan eksistensial, Frankl mempelopori suatu model psikoterapi yang disebut Logoterapi. Logoterapi sering dimasukkan pada Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology, karena dianggap sebagai aliran psikologi yang telah mapan setelah Psikoanalisa Sigmund Freud, Psikologi Individual Alfred Adler, yang tumbuh dan berkembang di kota Wina juga. Seorang logoterapis sama sekali tidak memberikan makna hidup tertentu pada klienkliennya, ia hanya membantu memperluas cakrawala pandangan klien mengenai kemungkinan-kemungkinan menemukan makna dan arti hidup, serta membantu mereka untuk menyadari tanggung jawab dari setiap tujuan hidup mereka. Memilih, menentukan makna hidup sepenuhnya menjadi tanggung jawab klien, dan bukan tanggung jawab terapis. 5

III. Relevansi Aliran/tokoh dengan masalah Gaya kepemimpinan transformasional dari Bass dirasa cocok untuk meminimalisir kecemasan eksistensialis. Bentuk kepemimpinan ini digambarkan sebaai proses dimana pemimpin dan bawahannya saling bangkit untuk naik ke level moral dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin transformational membangkitkan kesadaran bawahannya dengan memperlihatkan dukungan terhadap idealisme dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, persamaan, perdamaian dan kemanusiaan. Kepemimpinan ini dapat terjadi dalam situasi apapun dan kepemimpinan ini pun bisa menjadi hal yang lumrah ataupun tidak. Menjadi tidak lumrah jika terdapat begitu banyak pemimpin yang gagal memenuhi kriteriakriteria pemimpin transformational. Gaya kepemimpinan ini jika dilihat sebenarnya sesuai dengan konsep Logoterapi dari Frankl. Dalam The Doctor and the Soul (1964 dalam Tanjung 2009), Frankl menerangkan bahwa Logoterapi dapat membimbing manusia dalam melakukan kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup. Pertama, berkarya serta melakukan tugas hidup sebaik-baiknya. Kegiatan ini biasa disebut sebagai creative values (nilai-nilai kreatif). Kegiatan pertama ini sebenarnya sesuai dengan atribut Intellectual Stimulation yang ditunjukkan oleh pemimpin dengan gaya kepemimpinan transformasional. Pemimpin dengan gaya ini merangsang bawahan untuk inovatif dan kreatif dengan menanyakan asumsi-asumsi, mengkerangkakakan masalah serta menghadapi kondisi lama dengan pendekatan baru. Ia mendorong kreatifitas bawahannya dalam prosedurprosedur, program-program dan cara pemecahan masalah yang baru. Ia berusaha mendorong bawahannya yang tidak belajar dan menghilangkan kekakuan pndekatan lama dalam menjalankan berbagai hal. Ia tidak menceritakan masalah-masalah pribadi individu namun lebih menekankan pada keterbukaan terhadap segala hal dan penerimaan total untuk berubah. Selain dari atribut Intellectual Influence, atribut Inspirational Motivation juga selaras dengan kegiatan pertama ini. Atribut ini menunjukkan pemimpin merubah harapan anggota kelompok untuk meyakini bahwa masalah-masalah organisasi bisa di pecahkan. Pemimpin memiliki peran sentral dalam mengembangkan visi untuk mengarahkan target-target organisasi dan bagaimana visi tersebut akan dijalankan (Avolio, dalam Hoy & Miskel, 2001). Ia memberikan makna dan tantangan kepada bawahnnya serta mengajak mereka untuk terlibat dalam menciptakan visi dan masa depan yang lebih menarik bagi organisasi. Kegiatan dalam logoterapi yang kedua adalah berusaha mengalami dan menghayati setiap nilai yang ada dalam kehidupan itu sendiri. Proses mengalami ini biasa disebut sebagai 6

experiental values (nilai-nilai penghayatan). Pada pemimpin dengan gaya kepemimpinan transformasional, hal ini ditunjukkan melalui atribut Idealized Influence. Pemimpin membangun kepercayaan dan penghargaan pada bawahan serta memberikan dasar bagi penerimaan terhadap perubahan yan radikal serta mendasar dimana individu dan oraganisasi bekerja didalamnya. Pemimpin dikagumi, dihargai dan dipercayai. Pemimpin berperan sebagai model bagi para bawahannya sehingga mereka mengidentifikasikan dirinya dengan sang pemimpin serta ingin menyamainya. Pada atribut ini, pemimpin memperlihatkan standar etika dan moral yang tinggi, berbagai resiko dengan bawahannya ketika merancang dan mncapai tujuan-tujuan organisasi, lebih mempertimbangkan kebutuhan orang lain dibandingkan kebutuhan sendiri dan menggunakan kekuasaaan untuk menggerakkan individu atau kelompok untuk mewujudkan misi, visi mereka tanpa bermaksud untuk memperoleh kepentingn pribadi. Atribut Individualized Consideration pada pemimpin transformational yang memberikan perhatian khusus kepada kebutuhan prestasi dan pertumbuhan setiap individu juga dapat dijadikan sebagai manifestasi dari kegiatan logoterapi yang kedua. Pemimpin ini menolong bawahannya dan rekannya untuk berkembang mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi, serta untuk lebih bertanggung jawab terhadap perkembangan diri mereka sendiri. Pemimpin memberikan kesempatan pembelajaran baru dalam iklim mendukung hal tersebut, mengenali dan menerima perbedaan individu dalam hal kebutuhan dan nilai-nilai. Pola komunikasi yang sering digunakan adalah pola komunikasi dua arah sehingga memungkinkan dirinya berinteraksi sesuai dengan karakteristik masing-masing individu. Dari kedua atribut diatas yaitu atribut Idealized Influence dan atribut Individualized Consideration yang ditunjukkan oleh pemimpin transformasional, bawahan dapat mengetahui, bahkan menyelami dan memahami nilai-nilai apa saja yang ada di organisasi. Kegiatan yang ketiga dalam Logoterapi adalah menerima berbagai bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti kedukaan, sakit yang tak tersembuhkan lagi, kematian, setelah segala daya upaya telah dilakukan secara maksimal. Hal ini tidak secara spesifik diinformasikan menjadi atribut pemimpin transformasional. Namun pemimpin yang baik seharusnya dapat menunjukkan empati terhadap penderitaan yang tidak mungkin dielakkan. Menurut Bass (1998), pemimpin yang memiliki kemampuan transformational leadership dapat menumbuhkan sikap tenang dan aman bagi bawahannya sehingga dapat bersikap lebih tabah terhadap realitas seperti ini biasa disebut sebagai attitude values (nilainilai bersikap). Nilai-nilai diatas kiranya dapat dihadapkan pada bawahan oleh pemimpin transformasional sebagaimana yang biasa dilakukan oleh seorang Logoterapis, dalam 7

membantu menemukan makna dan tujuan hidup klien yang otentik. Namun pada akhirnya, berpulang pada bawahan dan klien sendiri untuk memilih, menentukan, dan

merealisasikannya.

IV. Kesimpulan Melihat uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa logoterapi Viktor E. Frankle mengajarkan bahwa setiap kehidupan individu mempunyai maksud, tujuan, makna yang harus diupayakan untuk ditemukan dan dipenuhi. Sehingga individu tersebut tidak lagi merasakan hidup yang kosong jika mampu menemukan suatu sebab dan sesuatu yang dapat mendedikasikan eksistensi individu tersebut. Meskipun hidup diisi dengan penderitaaan pun, itu adalah kehidupan yang bermakna, karena keberanian menanggung tragedi yang tak tertanggungkan merupakan pencapaian atau prestasi dan kemenangan. Bagi Frankl makna hidup adalah daya yang membimbing eksistensi manusia, sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Konsep seperti ini juga terlihat diadopsi oleh pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan transformasional. Sehingga konsep gaya kepemimpinan transformasional jika dilihat lebih jauh sebenarnya memiliki benang merah dengan Logoterapi Victor E. Frankl. Terdapat simbiosis mutualisme antara organisasi dan pengembangan diri karyawan. Pengembangan diri karyawan dapat membantu karyawan untuk mencapai kebermaknaan dan eksistensi diri. Selanjutnya, organisasi tersebut menjadi diuntungkan dengan mendapatkan karyawan yang lebih berkualitas dan mampu memberikan kontribusi untuk tujuan yang secara keseluruhan. Dari sini dapat dilihat bahwa pengembangan diri karyawan dengan memberikan kebebasan untuk aktualisasi diri demi mencapai kebermaknaan hidup dari karyawan menjadi sesuatu yang penting bagi perusahaan. Dan pemimpin seharusnya mampu membimbing bawahannya dalam melakukan kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan bawahannya menemukan makna hidup.

Daftar Pustaka Abidin, Zainal. (2002). Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Refika Aditama: Bandung. Bass, B. M. (1998). Transformational leadership: Industrial, military, and educational impact. Mahwah, NJ: Erlbaum. Bass, B.M. & Avolio, B.J. (Eds.). (1994). Improving organizational effectiveness through transformational leadership. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. 8

Tanjung, Mardenny. (2009). Hidup Bermakna Versi Logoterapi. Mencari, membahas, dan berbagi ilmu Psikology bersama Denny:

http://mardenny.wordpress.com/2009/06/16/hidup-bermakna-versi-logoterapi/ Anonim. (2011). Logoterapi, Sebuah pendekatan eksistensialis. Psychologymania:

http://www.psychologymania.com/2011/09/logoterapi-sebuah-pendekatan.html

You might also like