You are on page 1of 9

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI)

A. PENDAHULUAN

Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia riil (Hadi, 2004).

Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupunkehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.

Pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru, siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori baru tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Makalah ini akan menguraikan secara garis besar tentang sejarah PMR, mengapa kita perlu mengembangkan PMR di Indonesia, bukti empiris prospek penerapan PMR di Indonesia, dan ditutup dengan harapan terhadap implementasi PMR di tanah air.

PMRI telah diuji coba terbatas di kelas I, II dan III. Kemudian mulai tahun pelajaran 2002/2003 baru dilakukan uji coba penuh di beberapa Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Indonesia dengan hasil yang sangat menggembirakan. Saat ini pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik untuk kelas lainnya masih diujicobakan.

Sekolah Dasar Negeri 13 Palembang yang terletak di jalan macan lindungan bukit baru Palembang merupakan salah satu sekolah yang belum menerapkan PMRI sama sekali, bahkan dari informasi yang peneliti dapatkan dari kepala sekolah yaitu Ibu Asmiati, AmaPd dan beberapa guru di SD Negeri 13 tersebut bahwa mereka belum pernah mendengar istilah PMRI sebelumnya. SD Negeri 13 Palembang memiliki siswa yang cukup banyak dan beberapa guru yang telah berstrata 1. Selain itu, bangunan sekolah yang bagus karena baru selesai di renovasi. Sebagian besar siswa-siswa di SD Negeri 13 Palembang berasal dari kalangan petani, buruh dan wiraswasta. Dalam proses belajar mengajar guru biasanya menggunakan pengajarandengan kebanyakan guru lainnya, yaitu ceramah, tanya jawab dan

tugas. Siswa jarang disuruh berkelompok untuk mengerjakan atau memecahkan suatu masalah. Melihat hal diatas peneliti tertarik untuk mencoba menerapkan pendekatan PMRI di sekolah tersebut dan berbagi pengalaman.

1. Masalah

1.1 Rumusan Masalah

Adapun masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana aktivitas belajar siswa kelas IV.c SD Negeri 13 Palembang dalam pembelajaran matematika pokok bahasan bangun yang simetris dan tidak simetris serta pencermnan. dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) berdasarkan karakteristik-karakteristik PMRI.

1.2 Batasan Masalah

Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak meluas maka masalah dibatasi pada aktivitas belajar siswa saat proses belajar mengajar pada hari Selasa 28 April 2009.

2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aktivitas belajar siswa kelas IV.c SD Negeri 13 Palembang dalam pembelajaran matematika pada materi bangun yang simetris dan tidak simetris serta pencerminan dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).

3. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

(1)

Bagi sekolah tempat penelitian, sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dan penyempurnaan

program pengajaran matematika di sekolah.

(2)

Bagi guru mata pelajaran, sebagai informasi tentang suatu pendekatan pembelajaran dalam upaya

meningkatkan kualitas pengajaran.

(3)

Bagi peneliti, sebagai pengalaman langsung dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan realistik.

(4)

Bagi siswa, sebagai motivasi untuk meningkatkan kemampuannya khususnya dalam pelajaran matematika.

(5)

Sebagai sumbangan peneliti untuk proses sosialisasi PMRI.

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Sejarah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)

PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda.

Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.

2. Mengapa kita perlu mengembangkan PMR?


Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri: cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented; dan manajemen bersifat sentralistis. Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian.

Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);

2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;

3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan

4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan

matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna.

Beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMR sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia.

Konsepsi tentang siswa


Hadi (2005) menyatakan bahwa PMRI mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :

(a)

Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar

selanjutnya.

(b)

Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan untuk dirinya sendiri

(c)

Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,

penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.

(d)

Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam

pengalaman.

(e)

Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan

matematika

Selain konsepsi tentang siswa, PMRI juga merumuskan peran guru dalam pembelajaran yaitu (Hadi, 2005) :

Peran guru
(a) Guru hanya sebagai fasilitator belajar.

(b)

Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif

(c)

Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar

dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.

(d)

Guru tidak terpaku pada materi yang terdapat dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum

dengan dunia riil baik fisik maupun sosial.

Konsepsi tentang pengajaran


De Lange mengungkapkan bahwa teori PMRI terdiri dari 5 (lima) karakteristik (Zulkardi, 1999) yaitu ;

(1)

Penggunaan konteks nyata (real context) sebagai starting point dalam pembelajaran untuk dieksplorasi.

(2)

Penggunaan model-model.

(3)

Penggunaan hasil belajar siswa dan kontruksi.

(4)

Interaksi dalam proses belajar atau interaktivitas

(5)

Keterkaitan (connection) dalam berbagai bagian dari materi pelajaran.

Sejalan dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekolah merupakan lembaga formal penyelenggara pendidikan. Sekolah Dasar (SD) sebagai salah satu lembaga formal dasar yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional mengemban misi dasar dalam memberikan kontribusi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk proses belajar mengajar yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sekolah. Melalui kegiatan pengajaran, siswa-siswi SD yang berada pada tahap operasi konkrit sudah semestinya dibekali dengan ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan dasar yang dalam hal ini adalah mata pelajaran yang tercantum dalam kurikulum SD/MI untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya pada jenjang pendidikan selanjutnya.

Pengajaran di kelas tidak terlepas dari aktivitas belajar siswa. Melalui aktivitas belajar tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengalaman belajar sehingga proses pembelajaran akan menjadi lebih bermakna bagi siswa. Pelaksanaannyapun harus dilaksanakan dengan pendekatan belajar yang relevan dengan paradigma pendidikan sekarang.

3. Pengertian Belajar

Burton dalam bukunya The Guadance of Learning Activity (Usman & Setiawati, 1993) menyatakan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya. Dalam pengertian ini terdapat kata perubahan yang berarti bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuan, aspek afektif maupun keterampilan.

Slameto (1995) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Selanjutnya Sudjana (1995) memberikan pengertian belajar sebagai suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan aspek lain.

4. Aktivitas Belajar

Aktivitas belajar pada dasarnya tidak hanya terjadi di dalam kegiatan intern belajar mengajar, tetapi juga terjadi di luar kegiatan tersebut. Namun aktivitas belajar yang konkrit dan lebih bisa diamati yaitu aktivitas belajar siswa ketika kegiatan belajar mengajar dilaksanakan. Pengalaman belajar hanya mungkin diperoleh jika peserta didik dengan keaktifannya sendiri bereaksi dan berinteraksi terhadap lingkungannya.

Teori Gestalt yang merupakan teori belajar menyatakan bahwa manusia mengenal lingkungannya melalui proses kognitif dengan memahami stimulus berdasarkan struktur mentalnya. Tiap kelakuan betapapun sederhananya seperti persepsi ataupun pengamatan merupakan perbuatan intelegen. Proses kognitif adalah melihat dan menciptakan hubungan berkat pengalamannya yang lampau. Manusia tidak pasif menghadapi situasi, tergantung pada tujuannya dan struktur mentalnya (Nasution, 2003)

Bruner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar, anak melakukan aktivitas dengan melihat kemudian dihubungkan dengan keterangan intuitif yang ada pada dirinya (Tim MKPBM, 2001). J.Piaget (Rohani & Ahmadi, 1995) seorang pakar psikologi ternama berpendapat bahwa seorang anak berpikir sepanjang ia berbuat, tanpa berbuat anak tak berpikir. Melalui perbuatan, perhatian dan pikiran anak akan lebih tertuju apa yang dikerjakannya dan pada akhirnya akan memberikan pengalaman dan pengetahuan baru. Proses pembentukan pengalaman dan pengetahuan tersebut, tidak terbentuk dengan sendirinya namun harus melalui suatu proses. Begitu pula dengan pengetahuan tentang matematika. Pengetahuan tentang matematika terbentuk tidak dengan menerima saja apa yang diajarkan dan menghapalkan rumus-rumus dan metode-metode yang diberikan, melainkan dengan membangun makna dari apa yang dipelajari (Susilo ,2004). Selanjutnya Rohani dan Ahmadi (1995) mengklasifikasikan aktivitas belajar siswa menjadi :

(a) Aktivitas fisik

Peserta didik giat dan aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain ataupun bekerja, ia tidak hanya duduk mendengarkan, melihat atau hanya pasif.

(b) Aktivitas psikis

Peserta didik yang memiliki aktivitas psikis adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau banyak berfungsi dalam rangka pengajaran. Seluruh peranan dan kemauan dikerahkan dan diarahkan supaya daya serap itu tetap aktif untuk mendapatkan hasil pengajaran yang optimal sekaligus mengikuti proses pengajaran (proses pengolahan hasil pelajaran) secara aktif ia mendengarkan, mengamati, menyelidiki, mengingat, mengasosiasikan dan sebagainya.

Dalam proses belajar mengajar yang mengaktifkan siswa, siswa berperan lebih aktif. Siswa berperan sebagai subjek yang berinteraksi bukan hanya dengan guru tetapi dengan sesama siswa, buku-buku serta media lainnya (Ibrahim & Syaodih, 2003).

Berdasarkan penelitian Piaget, ada empat tahap dalam perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis yaitu (1) tahap sensori motor (2) tahap pra operasi (3) tahap operasi konkrit dan (4) tahap operasi formal. Tahap sensori motor dimulai sejak lahir sampai umur sekitar 2 tahun dimana pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Tahap praoperasi dimulai sekitar umur 2 tahun sampai sekitar umur 7 tahun yang merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit seperti mengklasifikasikan, mengurutkan dan membilang. Pada tahap operasi konkrit, tahap ini dimulai sekitar umur 7 tahun sampai sekitar umur 11 tahun dimana anak memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit dan anak sudah memiliki sudut pandang yang berbeda secara objektif dalam mengamati suatu objek. Tahap operasi formal dimulai sekitar umur 11 tahun dan seterusnya dimana anak akan dibiasakan untuk melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak.

Siswa kelas IV sekolah dasar umumnya berusia sekitar 9 sampai 11 tahun. Dengan demikian siswa kelas IV berada pada tahap dimana anak memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit dan anak sudah memiliki sudut pandang yang berbeda secara objektif dalam mengamati suatu objek.

C. Hasil Penelitian

Proses Pembelajaran

1. Kegiatan Awal

Ketika peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti berada disana mereka terlihat sangat senang, apalagi ketika peneliti menjelaskan materi yang akan dipelajari dan dikerjakan secara berkelompok, mereka bersorak-sorai dan bersemangat sekali. Karena menurut pengakuan mereka ini kali pertama mereka belajar secara berkelompok. Pertama saat akan membagi kelompok, kelas memang agak gaduh karena siswa terlalu bersemangat. Siswa dibagi menjadi 5 kelompok masing-masing kelompok terdiri atas 7-8 orang. Kemudian peneliti menanyakan bentuk- bentuk bangun datar yang mereka ketehaui. Ternyata mereka hanya mengingat beberapa bangun datar seperti persegi panjang, persegi dan segitiga. Peneliti mengingatkan kembali bentuk- bentuk bangun datar. Setelah itu, peneliti menyuruh mereka merobek 1 lembar kertas lalu memberikan pertanyaan Apakah selembar kertas dapat dilipat menjadi dua bagian yang sama ? Dan bagaimana bentuk lipatannya? mereka mulai berfikir dan mengumpulkan hasilnya. Setelah dilihat hasilnya, muncul beranekaragam jawaban siswa.

Peneliti mengajak siswa untuk memeriksa mana jawaban yang paling tepat. Ternyata hanya ada 2 cara melipat kertas tersebut agar dapat menjadi dua bagian yang sama

Kemudian peneliti membagikan kepada setiap kelompok beberapa peralatan untuk menentukan bangun yang simetris dan tak simetris, diantaranya:

Kertas lipat Gunting

Spidol penggaris Lem kertas Karton

2. Kegiatan Inti 1. Siswa diminta untuk menentukan bangun yang simetris dan tidak simetris dari beberapa bangun datar dengan menggunakan kertas lipat 2. Setelah siswa, membuat beberapa bangun datar, kemudian melipatnya. Akhirnya mereka tau bangun datar yang simetris dan bangun datar yang tidak simetris serta tau bahwa garis lipatan itu adalah sumbu simetri. 3. Peneliti menyiapkan papan berpaku dan karet gelang untuk lebih memperjelas bangun datar yang simetris dan tidak simetris beserta sumbu simetrinya. Kemudian peneliti menyuruh beberapa orang siswa untuk maju kedepan (dalam hal ini, peneliti menyuruh siswa yang kelihatannya kurang berpartisipasi dalam kelompok 4. Setelah siswa paham dengan sumbu simetri,kemudian siswa diajarkan pencerminan. Pertama-tama siswa disuruh membuat salah satu sumbu simetri dari persegi di kertas lipat baik secara datar, tegak maupun miring , lalu menggambar dengan menggunakan spidol. Kemudian lipat kertas tadi berdasarkan garis yang telah dibuat dan ditekan. Maka akan tampak bentuk yang sama dengan gambar. 5. Setelah itu siswa diminta untuk mengukur berapa jarak dari gambar yang asli ke garis dan gambar bayangan ke garis. Selanjutnya peneliti menyebutkan bahwa itulah pencerminan. 6. Kemudian peneliti memberikan lembar kerja siswa (LKS) yang berisi masalah kontektual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk mengerjakannya secara berkelompok. 7. Setelah mereka selesai mengerjakan, mereka disuruh melaporkan hasilnya secara bergantian antar kelompok.

3. Penutup

Siswa diminta menyimpulkan apa bangun yang simetris, sumbu simetri dan pencerminan. Guru melakukan refleksi

D. Kaitannya dengan Karakteristik PMRI 1. Menggunakan masalah kontekstual

peneliti menggunakan konteks kertas yang diambil dari buku tulis siswa itu sendiri. 1. Menggunakan model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau rumus

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat peraga berupa kertas lipat, papan berpaku. 1. Menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa

Peneliti menghargai ragam jawaban siswa dengan tidak langsung menyalahkan jawaban siswa. Kontribusi siswa dalam penelitian ini sangat besar sekali. Dimana siswa membuat bangun-bangun datar, mengerjakan latihan dan sebagainya. 1. Interaktivitas

Terjadi interaktivitas antara siswa ke siswa , siswa ke guru dan guru ke siswa. Hal ini dapat dilihat dari saat siswa mengajukan pertanyaan pada peneliti, siswa bekerja sama dalam kelompok dan sebagainya. 1. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya

Materi ini berhubungan dengan bentuk- bentuk bangun datar dan simetri lipat serta menggambar.

E. KESIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan di kelas IV.c maka peneliti dapat menyimpulkan: 1. Siswa lebih mudah memahami dan mengerti materi yang akan dipelajari dengan adanya proses mengalami sendiri kegiatan pembelajaran tersebut. 2. Dengan adanya model (benda) yang sudah dikenal siswa akan lebih membantu siswa dalam memahami konsep. 3. Dengan belajar secara berkelompok, dapat membatu menumbuhkan rasa gotong royong dalam menyelesaikan suatu masalah dan dapat menghargai pendapat teman. 4. Siswa merasakan bahwa pelajaran matematika itu sangat menyenangkan.

You might also like