You are on page 1of 10

Hak Asasi Manusia dan Kesehatan

Melki Kura, S.H,MSi

Hak untuk hidup sehat secara khusus ada di dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. Yang dimuat di dalam artikel 25 yang menyebutkan bahwa: tiap orang mempunyai hak untuk hidup pada standar yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan mereka dan keluarga mereka, termasuk hak untuk mendapat makanan, perumahan, dan pelayanan kesehatan (everyone has the right to a standard of living adequate for the health and wellbeing of himself and of his family, including food. clothing, lifehousing, and medical care). Artikel ini kemudian digemakan di dalam konstitusi WHO, dan diratifikasi oleh banyak konvensi internasional lainnya. Dengan pengertian, pemahaman. dan ketentuan-ketentuan di atas, maka sesungguhnya tiap gangguan, intervensi atau ketidakadilan, ketidakacuhan, apapun bentuknya yang

mengakibatkan ketidaksehatan tubuh manusia, kejiwaannya, lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, pengaturan dan hukumnya, serta ketidakadilan dalam manajemen sosial yang mereka terima, adalah merupakan pelanggaran hak mereka, hak-hak manusia.

Pembangunan berwawasan kesehatan merupakan hak asasi manusia. Pembangunan yang tidak mengindahkan dampak positif dan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, kesehatan lingkungan, kesehatan sosial, dan kesehatan budaya merupakan bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia.

Beberapa Catatan Tentang Hak Atas Kesehatan Berbagai instrumen HAM internasional, baik yang berupa deklarasi, resolusi, konvensi, standar, prinsip-prinsip, maupun code of conduct mengakui bahwa kesehatan merupakan suatu hak asasi. Hak atas kesehatan merupakan hak individual maupun kolektif yang realisasinya harus dijamin oleh negara. Di dalam instrumen HAM internasional, hak atas kesehatan termasuk ke dalam hak ekonomi, sosial dan budaya yang berakar dari gagasan freedom from want dari Presiden Franklin D.Roosevelt yang dikemukakan dalam San Fransisco Conference.

Ruang Lingkup Hak Kesehatan Unsur-unsur hak atas kesehatan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu:

1.

Unsur-unsur yang berkaitan dengan perawatan kesehatan (health care), yang di dalamnya termasuk perawatan kuratif dan preventif;

2.

Unsur-unsur yang berkaitan dengan prakondisi untuk kesehatan, seperti penyediaan air bersih, sanitasi yang layak, nutrisi yang layak, informasi kesehatan, lingkungan yang sehat dan tempat bekerja yang sehat.

Hak atas Kesehatan Para ahli, aktivis dan badan-badan PBB membuat rincian mengenai inti dari hak atas kesehatan. Inti dari hak atas kesehatan terdiri dari seperangkat unsur-unsur yang harus dijamin oleh negara dalam keadaan apapun, tanpa mempertimbangkan ketersediaan sumber daya. Perlu dipertimbangkan beberapa aspek tertentu dari hak atas kesehatan harus direalisasikan secara progresif sebagaimana yang ditentukan dalam Konvenan Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (CESCR), di mana negara harus merealisasikannya dengan segera. Hak atas kesehatan dapat dilihat dari Health For All and Primary Health Care Strategy dari WHO yang merumuskan adanya beberapa jasa kesehatan mendasar (essential basic health services. Hak kesehatan menurut strategi WHO tersebut meliputi: 1. Perawatan Kesehatan: a. Perawatan kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga berencana; b. Imunisasi; c. Tindakan yang layak untuk penyakit-penyakit biasa (common disease) dan kecelakaan; d. Penyediaan obat-obatan yang pokok (essential drugs). 2. Prakondisi dasar untuk kesehatan: a. Pendidikan untuk menangani masalah kesehatan termasuk metode-metode untuk mencegah dan mengendalikannya; b. Promosi penyediaan makanan dan nutrisi yang tepat; c. Penyediaan air bersih dan sanitasi dasar. Prinsip-prinsip Hak Atas Kesehatan Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan dalam konteks ini meliputi baik akses terhadap jasa pelayanan perawatan kesehatan dan pelayanan yang penting untuk prakondisi kesehatan, termasuk akses terhadap air bersih, sanitasi yang memadai dan nutrisi. Prinsip-prinsip tersebut meliputi: 1. Ketersediaan pelayanan kesehatan, di mana negara diharuskan memiliki sejumlah pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk; 2

2.

Akses atas pelayanan kesehatan baik dari aspek finansial, geografis dan kultural. (aksesiabilitas finansial harus menjamin bahwa jasa pelayanan tersebut dengan biaya yang terjangkau, sedangkan aksesiabilitas geografis adalah bahwa pelayanan kesehatan tersebut dapat dicapai oleh semua orang, dan aksesiabilitas kultural adalah bahwa pelayanan tersebut menghormati tradisi kultural masyarakat)

3.

Kualitas pelayanan kesehatan yang mensyaratkan agar pelayanan kesehatan tersebut harus memenuhi standar yang layak;

4.

Persamaan akses terhadap pelayanan kesehatan yang mengharuskan akses itu berlaku sama, tanpa diskriminasi, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok yang rentan dalam masyarakat.

Kewajiban Negara Berbagai instrumen HAM internasional telah mengembangkan kewajiban negara untuk mengimplementasikan norma-norma HAM dalam lingkup hukum nasionalnya masingmasing. Dalam hubungannya dengan hak-hak ekonomi sosial dan budaya, di mana hak atas kesehatan termasuk di dalamnya. Kewajiban negara ini dibedakan ke dalam tiga bentuk kewajiban sebagai berikut: 1. Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), meliputi; a. Kewajiban untuk menghormati persamaan akses atas pelayanan kesehatan dan tidak menghalangi orang-orang atau kelompok tertentu terhadap akses mereka terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia; b. Kewajiban untuk menahan diri dari tindakan-tindakan yang dapat menurunkan kesehatan masyarakat, seperti perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran; 2. Kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), meliputi; a. Kewajiban untuk melakukan langkah-langkah di bidang legislasi atau pun tindakan lainnya yang menjamin persamaan akses terhadap jasa kesehatan apabila jasa tersebut disediakan oleh pihak ketiga. b. Kewajiban untuk melakukan langkah-langkah di bidang legislasi atau pun tindakan lainnya untuk melindungi masyarakat dari gangguan kesehatan yang dilakukan pihak ke tiga. 3. Kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill) meliputi; a. Kewajiban negara untuk membuat kebijaksanaan kesehatan nasional dan

menyediakan anggaran negara untuk anggaran kesehatan;

b. Kewajiban untuk menyediakan jasa-jasa kesehatan yang penting atau menciptakan kondisi di mana setiap individu dapat memperoleh akses yang layak dan memadai atas jasa kesehatan, termasuk di dalamnya atas asuransi kesehatan, air bersih dan sanitasi yang memadai. Oleh karena itu Sehat adalah Hak Asasi Manusia yang dapat dijabarkan ke dalam 3 (tiga) hal yaitu: 1) Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan, pemeliharaan, dan pelayanan kesehatan. 2) 3) Setiap warga negara berhak mendapatkan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan. Setiap upaya, usaha, produk yang mengakibatkan kesakitan atau kematian adalah melanggar Hak Asasi Manusia. Masalah Pemenuhan Hak Kesehatan di Indonesia: 1. Masih ada perbedaan perlakuan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan pasien, baik berupa pemberian informasi tentang kesehatan seseorang yang merupakan haknya, maupun kurang tanggapnya dalam menyikapi adanya keluhan masyarakat. Kesemuanya itu dapat dianggap mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, yang berdampak sebagai penghambat pemenuhan hak-hak kesehatan seseorang atau masyarakat. 2. Adanya persepsi atau pandangan yang kurang tepat dari para penentu kebijakan di tingkat atas pemerintahan terhadap arti dan makna dari masalah kesehatan. kesehatan lebih dipersepsikan dalam arti sempit hanya sebagai suatu kebutuhan semata dari masyarakat. Karena kesehatan merupakan kebutuhan masyarakat, maka lebih dipandang selama ini sebagai suatu sektor atau bagian dari kewajiban atau tugas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Nah, cara pandang seperti inilah yang telah menyebabkan timbulnya beberapa kelemahan dalam pembangunan kesehatan kita selama ini.contoh kelemahan ini misalnya :Pemerintah sejauh ini telah menjadi pelaku utama dalam upaya kesehatan yang dijalankan. 3. Dalam menyusun berbagai kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan serta evaluasi dari usaha kesehatan, terutama dilakukan oleh aparat pemerintah cq. Depkes dan kurang mendorong dan melibatkan peran aktif masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, pemerintah telah menjadikan dirinya sebagai pelaksana utama dalam upaya kesehatan di mana masyarakat lebih dipersepsikan hanya sebagai sasaran atau penerima semata. Hal ini tercermin dari Sistem Kesehatan Nasional yang telah dibuat oleh Depkes sejak lebih dua dasa-warsa yang lalu yang lebih merefleksikan sistem kesehatan dari pemerintah 4

dan belum menggambarkan sistem kesehatan secara keseluruhan secara nasional yang melibatkan semua unsur dan potensi seperti swasta dan masyarakat itu sendiri. Contoh paling gampang lainnya adalah Proyek Samijaga (sarana air minum dan jamban keluarga) yang dulu pernah dilakukan oleh pemerintah. Karena masyarakat kurang diajak dan dilibatkan, akhirnya proyek yang cukup mahal ini kurang berhasil karena masyarakat kurang menggunakan dan merawat sarana pompa air dan jamban yang dibangun pemerintah dalam proyek tersebut. Sarana tersebut akhirnya rusak dan menjadi sia-sia saja. 4. Pendekatan yang lebih bersifat top-down. Program kesehatan umumnya dirancang dari atas dan kurang melibatkan para petugas di lapangan dan masyarakat itu sendiri. Usaha ini dijalankan lebih berdasarkan instruksi dan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang telah disusun dari atas dan dijalankan secara sangat kaku. Usaha kesehatan atas inisiatif dari bawah dan diprakasai oleh masyarakat sendiri berdasarkan kebutuhan dan kemampuan serta situasi kondisi mereka sendiri kurang begitu dihargai. Akibatnya, program kesehatan lebih dijalankan selama ini secara skala nasional dengan menyeragamkan seluruh daerah dan kurang memperhatikan adanya perbedaan kebutuhan serta situasi kondisi lingkungan masing-masing daerah. Padahal setiap daerah mempunyai situasi kondisi yang berbeda-beda sehingga masalah kesehatan yang dihadapi juga tidaklah sama. 5. Selain itu, usaha kesehatan sering dijalankan berdasarkan proyek yang dirancang di tingkat pusat. Proyek itu disusun dengan kegiatan dan alokasi anggaran yang spesifikasi penggunaannya telah ditentukan secara kaku dari atas. Karena berdasarkan proyek, seringkali yang lebih dipentingkan adalah bagaimana pertanggung jawaban

administrative keuangan proyek tersebut ketimbang dampaknya terhadap perbaikan kondisi kesehatan masyarakat yang sesungguhnya. Persepsi seperti ini sering menyebabkan menjadi kurang efektifhya usaha kesehatan yang dijalankan selama ini. 6. Lebih pada usaha kuratif ketimbang preventif. Walaupun dalam kebijaksanaan sudah digariskan untuk mendahulukan usaha promotif preventif, namun dalam

pelaksanaannya usaha kuratif sering menjadi lebih menonjol. Anggaran kesehatan menjadi banyak tersedot pada misalnya pembangunan dan biaya rumah sakit, pembelian alat medis yang canggih dan pembelian obat-obatan. Usaha promotif preventif pada masalah kesehatan yang banyak dihadapi masyarakat luas seperti kematian anak dan ibu yang masih tinggi, pemberantasan penyakit menular atau penyakit rakyat seperti TBC, malaria, diare dan lain-lain. masih kurang sekali mendapatkan pendanaan yang cukup. 5

Usaha untuk mendidik masyarakat agar mampu menjaga dan meningkatkan kesehatan mereka secara sungguh-sungguh dan mandiri masih kurang sekali. 7. Indikator keberhasilan lebih bersifat kuantitatif ketimbang kualitatif. Keberhasilan program kesehatan masih lebih sering ditonjolkan pada angka seperti berapa banyak Puskesmas didirikan, berapa banyak rumah sakit dibangun, berapa banyak tenaga kesehatan ditempatkan dan lain-lain. Namun kurang diukur dari misalnya kepuasan masyarakat akan pelayanan yang diberikan atau meningkatnya kesadaran dan peran masyarakat dalam menjaga dan mengatasi sendiri masalah kesehatan mereka. 8. Kualitas pelayanan yang masih rendah. Kualitas dalam arti kenyamanan dan kepuasan para konsumen terhadap mutu pelayanan yang mereka terima cukup banyak dikeluhkan masyarakat. Hal tersebut terutama disebabkan oleh sistem birokrasi pemerintah khususnya dalam hal reward and punishment yang masih kurang mendorong meningkatnya kualitas pelayanan yang diberikan. Selain itu juga, karena masih rendahnya kesadaran dari para petugas kesehatan dalam menjalankan tugasnya serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam menuntut adanya pelayanan yang berkualitas. 9. Cara pandang terhadap kesehatan yang terutama lebih dilihat sebagai sektor yang konsumtif saja. Usaha kesehatan sering dianggap sebagai sektor pengeluaran (cost sector) berupa pembiayaan rumah sakit dan pembelian perlengkapan serta obat-obatan untuk mengobati orang sakit. 10. Usaha kesehatan lebih dilihat sebagai usaha sosial-karitatif atau amal untuk membantu dan meringankan kemalangan dan beban penderitaan orang sakit ketimbang dilihat sebagai suatu investasi guna meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau produktivitas bangsa. Adanya persepsi dan pandangan yang sempit terhadap kesehatan ini, telah menyebabkan program kesehatan tidak pernah menjadi prioritas penting atau bagian dari mainstream program pembangunan bangsa. Hal itu terbukti, misalnya, dari masih rendahnya alokasi anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk bidang kesehatan. Selama ini, anggaran kesehatan dalam Rencana Anggaran Pemerintah dan Belanja Negara (RAPBN) tidak pernah lebih dari 3 persen, padahal WHO telah menganjurkan agar anggaran kesehatan minimal 5 persen dari seluruh anggaran pemerintah. Hak atas kesehatan (the right to health) bukan berarti pemerintah harus menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang mahal diluar kesanggupannya. Tetapi lebih menuntut agar pemerintah dan pejabat publik dapat membuat berbagai kebijakan dan rencana kerja yang mengarah pada tersedia dan tejangkaunya sarana pelayanan kesehatan untuk semua dalam 6

kemungkinan waktu yang secepatnya. Ini semua merupakan tantangan baik bagi para pejuang Hak Asasi Manusia maupun petugas kesehatan. Kesehatan sesungguhnya adalah hak setiap orang untuk memperolehnya. Karena merupakan hak, maka adalah kewajiban dari negara dan pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan menjamin terpenuhinya hak-hak kesehatan setiap warga tersebut. Adanya kelalaian apalagi kesengajaan untuk tidak menghormati, melindungi dan menjamin terpenuhinya hak kesehatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan dapat dilakukan penuntutan untuk diajukan ke muka pengadilan. Untuk ini perlu dilakukan usaha sungguh-sungguh untuk menyadarkan semua pihak baik eksekutif, legislatif maupun judikatif akan pentingnya hal ini. Terutama sekali dari kalangan kesehatan itu sendiri.. Demikian pula hak atas kesehatan, merupakan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Kewajiban Pemerintah untuk memenuhi hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia memiliki landasan yuridis internasional dalam Pasal 2 ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Kewajiban pemerintah ini juga ditegaskan dalam Pasal 8 UU HAM. Di bidang kesehatan, Pasal 7 UU Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pasal 9 UU Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya pemenuhan hak atas kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yang meliputi pencegahan dan penyembuhan. Upaya pencegahan meliputi penciptaan kondisi yang layak bagi kesehatan baik menjamin ketersediaan pangan dan pekerjaan, perumahan yang baik, dan lingkungan yang sehat. Sedangkan upaya penyembuhan dilakukan dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang optimal. Pelayanan kesehatan meliputi aspek jaminan sosial atas kesehatan, sarana kesehatan yang memadai, tenaga medis yang berkualitas, dan pembiayaan pelayanan yang terjangkau oleh masyarakat. Pasal 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menguraikan langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai terwujudnya standard tertinggi dalam mencapai kesehatan fisik dan mental adalah: 1. Ketentuan pengurangan tingkat kelahiran mati anak serta perkembangan anak yang sehat; 2. Peningkatan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri; 7

3.

Pencegahan, perawatan dan pengendalian segala penyakit menular endemik, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan penyakit lainnya;

4.

Penciptaan kondisi-kondisi yang menjamin adanya semua pelayanan dan perhatian medis ketika penyakit timbul. UU tentang Kesehatan mengatur berbagai macam upaya yang menjadi tanggung jawab

pemerintah untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Secara umum, Pasal 10 UU Kesehatan menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitasi) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Trend sekarang, kesehatan sebagai industri yang seringkali melupakan aspek kesehatan sebagai pelayanan kemanusiaan. Kesehatan menjadi barang yang mahal. Apalagi pengambil kebijakan ternyata juga belum memiliki komitmen dengan tanggung jawabnya terhadap kesehatan. Hal ini dibuktikan dengan minimnya pembiayaan yang dialokasikan untuk sektor kesehatan baik berupa penyediaan sarana dan prasarana maupun jaminan sosial terhadap pelayanan kesehatan. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, masyarakat saat ini harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Masyarakat berpenghasilan rendah seringkali tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Beberapa peristiwa menunjukan bahwa orientasi rumah sakit untuk mendapatkan keuntungan dapat mengalahkan kemanusiaan. Seorang pasien dalam kondisi kritis pun terkadang harus melengkapi berbagai persyaratan dan birokrasi keuangan sebelum mendapatkan pelayanan, dan bukan tidak mungkin saat itu pasien meninggal dunia. Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa kesehatan harus tetap berorientasi pada pelayanan kemanusiaan dan pemerintah harus memenuhinya. Di tengah situasi krisis dan serba kekurangan. pengambilan kebijakan memang selalu menemui dilema. Namun apabila telah disadari bahwa kesehatan adalah landasan utama pencapaian harkat kemanusiaan dan kelestarian generasi, maka seharusnya diikuti dengan kebijakan dan langkah nyata untuk memenuhi hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia. Wujud nyata komitmen pemerintah terhadap kesehatan sebagai hak asasi manusia adalah dengan penyediaan anggaran yang memadai untuk pelayanan kesehatan. Seharusnya pelayanan dasar kesehatan dapat diperoleh masyarakat tanpa biaya.

Harus kita akui, pembangunan kesehatan di Indonesia cukup jauh tertinggal dibandingkan dengan negara setingkat seperti negara tetangga. Hal ini dapat dilihat dari indikator utama kesehatan seperti angka kematian, angka kesakitan, angka harapan hidup ratarata, perilaku kesehatan dan sebagainya. Sebagai contoh, mari kita lihat angka kematian yang sering dipakai sebagai indicator utama kesehatan, yaitu Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) dan Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal Mortality Rate (MMR). AKB di Indonesia sekarang ini diperkirakan sekitar 45 per seribu kelahiran hidup. Sedangkan di negara tetangga yang kondisi sosial-ekonominya tidak terlalu jauh berbeda dengan Indonesia seperti Malaysia, Thailand, Sri Lanka atau RRC, AKB mereka rata-rata hanya sekitar 15 per seribu kelahiran hidup atau sepertiga dari Indonesia. Secara mutlak, jumlah bayi meninggal setiap tahun di Indonesia adalah sekitar 250.000 bayi. Kalau saja kita bisa menurunkan AKB tersebut hingga kira-kira sama dengan Sri Lanka misalnya, ini berarti kita bisa menyelamatkan kira-kira 170.000 bayi dari kematian setiap tahunnya. Jumlah ini sangat spektakuler dan merupakan the silent tragedy selama ini karena tidak banyak diketahui dan diributkan orang. Sangatlah ironis kalau kita tidak bisa menurunkan AKB tersebut menjadi kira-kira sama dengan Negara seperti Sri Lanka yang notabene kondisi sosial ekonominya kira-kira sama dengan kita bahkan mungkin lebih buruk. Kita sudah tahu cara dan teknologi untuk menurunkan AKB ini, tinggal hanya kemauan politis saja. Begitu juga dengan AKI di Indonesia yang besarnya sekarang sekitar 350 per seratus ribu kelahiran. Angka ini temyata 5 kali lebih tinggi dari negara tetangga kita tadi yang besarnya ratarata sekitar 70 per seratus ribu kelahiran. Kalau saja kita bisa menurunkan AKI menjadi seperti di negara tetangga tersebut, ini berarti dari jumlah keseluruhan ibu meninggal sebesar 20.000 per tahun, kita bisa menyelamatkan sekitar empat perlimanya atau 16.000 ibu dari kematian setiap tahunnya. Angka inipun sangat bombastis sekali!. Apalagi kalau dilihat dari dampak social yang ditimbulkan oleh kematian ibu tersebut seperti berantakannya keluarga dan terlantarya anak-anak yang ditinggal mati oleh ibu mereka. Padahal kita mengaku sebagai bangsa yang mencintai ibu. Lihat saja, kita menyebut capital city sebagai ibu kota, jempol sebagai ibu jari, negara kita sebagai ibu Pertiwi dan percaya bahwa sorga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Selain indikator angka kematian yang relatif masih buruk, tingkat kesehatan kita yang masih rendah juga dapat dilihat pada angka kesakitan atau morbidity statistics. Misalnya, angka kesakitan penyakit menular seperti TBC dan malaria yang dianggap sebagai penyakit dengan beban sosial yang besar. Indonesia sekarang merupakan negara nomor 3 di dunia yang terbanyak mempunyai kasus penyakit TBC setelah RRC dan India. Diantara negara tetangga, 9

Indonesia mempunyai jumlah kasus malaria terbanyak. Kedua penyakit menular ini sangat mengurangi produktivitas dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar untuk Indonesia. Kita dapat pula mengacu kepada indikator utama bidang kesehatan lainnya seperti misalnya besarnya anggaran kesehatan, cakupan sarana air bersih, status gizi masyarakat, perilaku kesehatan dan sebagainya, yang keadaannya tak bisa kita pungkiri juga masih buruk di tanah air kita ini.

(makalah ini disampaikan dalam Training HAM untuk ORA mitra UPKM/CD Bethesda Yogyakarta, Mei 2009)

10

You might also like