You are on page 1of 24

Cara Adaptasi Masyarakat Terhadap Gempa dan Tsunami

OLEH : PUTRI GUSTIANTI ( G1B009025 )

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BENGKULU 2012

Hidup di Tanah Bencana

Posted on March 22, 2012 by Hendra Syahputra

TUJUH tahun silam, persisnya 26 Desember 2004, adalah saat yang paling menyesakkan bagi bangsa Indonesia. Hanya dalam hitungan tak sampai setengah jam, gempa besar dan gelombang tsunami memorak porandakan sebagian wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Tak hanya bangunan dan infrastruktur yang hancur. Bencana itu pun memakan korban lebih dari 200.000 jiwa. Puluhan ribu orang kehilangan orang tua, anak, sanak saudara. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal yang musnah ditelan air bah. Kini tujuh tahun pasca-bencana, kondisi Aceh mulai pulih, walau disana-sini masih tersisa masalah. Aceh sedang nmenggeliat, berusaha menghidupkan kembali seluruh sendi kehidupan yang terhempas oleh bencana paling dahsyat dalam millenium baru ini. SALAH SATU pulau yang dalam beberapa buku sejarah disebut paling sering mengalami gempa adalah Sumatera. Dalam buku Sejarah Sumatera yang ditulis William Marsden tahun 1783 misalnya, disebutkan bahwa gempa telah menjadi bagian dari sejarah Sumatera. Gempa bumi yang paling keras saya alami terjadi di daerah Manna (Bengkulu) pada 1770. Sebuah kampung musnah, rumah-rumah runtuh dan habis dimakan api. Beberapa orang bahkan tewas, tulis Marsden. Ia juga menyebutkan, bahwa dirinya mendapat informasi tentang gempa Nias di tahun 1763 yang telah menewaskan seluruh penduduk kampung di pulau itu. Di Indonesia, tsunami tertua yang tercatat di Laut Banda, 17 Feberuari 1674. Tinggi gelombang saat itu diperkirakan mencapai 80 meter dengan korban sekitar 3.000 orang. Selama kurun waktu 200 tahun (1801-2003) tak kurang 161 tsunami terjadi di Indonesia. Sekitar 73 persen tsunami terjadi di bagian timur Indonesia, di wilayah yang terbentang dari selat Makassar kearah timur.

Sejarah terus saja mengalir. Beberapa wilayah terus tercatat dilanda tsunami. Misalnya Halmahera pada 5 April 1969. Dalam sisi informasi, bencana tsunami ini tidak tergambarkan dengan jelas di media massa. Kompas baru menurunkan beritanya pada edisi 25 April 1969 atau 20 hari setelah kejadian. Kompas pada saat itu juga belum mengunakan istilah tsunami. Ahmad Arif dalam bukunya Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme, menyebutkan Kompas menurunkan berita dengan judul Gelombang Air Pasang Melanda Halmahera. Kemudian tsunami kembali terjadi di Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) pada tanggal 19 Agustus 1977. Kemudian Kompas memberitakan bencana ini pada edisi Senin, 22 Agustus 1977, menjadi berita utama dengan judul 57 orang Diketahui Tewas Akibat Gempa. Dalam berita tersebut disebutkan bahwa setelah gempa, terjadilah gelombang pasang (tsunami) yang menggulung sejauh 400 meter kedaratan. Tak lama berselang, dua tahun kemudian pantai selatan Pulau Lomblen (Kabupaten Flores Timur dan Nusa Tenggara Timur), kembali dilanda tsunami pada 18 Juli 1979 . Pada 12 Desember 1992 gempa dan tsunami kembali mendera Flores-NTT. Gempa 7,5 skala Richter itu menewaskan 2.080 jiwa. Saat itu Kompas memberitakannya sebagai berita utama sehari setelah bencana, yaitu edisi Minggu, 13 Desember 1992, dengan judul Gempa Dahsyat Guncang Flores sedikitnya 90 orang tewas, dan subjudul terjangan tsunami 300 Meter. Inilah pertama kalinya Kompas memuat bencana tsunami tepat sehari setelah kejadian. Ini pula untuk pertama kalinya Kompas secara tegas menggunakan istilah tsunami, tidak lagi gelombang pasang. Puncaknya adalah gempa yang disusul tsunami di Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004. Megadisaster ini telah menewaskan lebih dari 150.000 jiwa di Aceh dan Sumatera Utara. Tsunami Aceh adalah salah satu yang terbesar dalam sejaran Indonesia. Jikapun ada tsunami yang mendekati Aceh, pernah terjadi lebih dari 100 tahun lalu ketika Gunung Krakatau yang berada di pertemuan Jawa dan Sumatera meledak. Letusan Gunung Krakatau itu adalah salah satu terkuat yang pernah tercatat. Letusan yang berlangsung sepanjang tiga hari itu diikuti gelombang tsunami setinggi 40 meter. Dilaporkan telah menewaskan lebih dari 36.000 ribu orang. Gelombang tsunami itu menyapu

bersih pantai barat Jawa bagian barat dan pantai selatan Sumatera. Tsunami saat itu dilaporkan mencapai Australia dalam waktu 5 jam, Sri Lanka 6 jam, Kalkuta (India) 9 jam, Aden ( Saudi Arabia) 12 jam, Cape Town (Afrika Selatan) 13 jam dan Tanjung Harapan 17 jam. Krakatau yang dalam literature international pertama kali dicatat dalam peta oleh Luca Janszoon Warghenaer (1584) dan menyebutnya sebagai Pulo Carcata adalah gunung api yang menjadi ilustrasi banyak sekali tulisan dan obyek penelitian ilmiah. Dalam bibliografi mengenai gunung itu, Krakatoa ; a selected Natural History Bibliograpgy susunan Audrey Brodie, K. Kusumadinata, dan J.W. Brodie (1982), disebutkan bahwa terdapat tak kurang dari 1.082 tulisan ilmiah mengenai gempa dan gunung meletus. Subyek tulisan inipun sangat beragam, misalnya dari sisi zoology, botani,geologi, meteorology, osenografi, sampai sastra. Dalam literature-literatur tersebut, Suryadi, pengajar di Universitas Leiden, Belanda, menyebutkan, Krakatau disebut dengan beberapa versi : Rakata, Krakatoa, bahkan Krakatoe (groot 1884) dan Krakatao (Zimmerman 1928). Diantara banyaknya jumlah kajian ilmiah dan bibliografi mengenai Krakatau itu, hanya ada satu sumber pribumi tertulis dan mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau 1883 itu. Sumber itu adalah Syair Lampung Karam, yang ditulis oleh Suryadi. Dalam penelitiannya tentang syair tersebut, Suryadi, menggambarkan betapa hebatnya bencana menyusul kedahyatan bencana di ujung barat Pulau Jawa itu .nimnya literature yang ditulis oleh pribumi mengenai bencana Krakatau itu masih merupakan realitas hingga saat ini. Sampai abad ke-21, minat ilmiah terhadap tema kebencanaan sangat minim.

Kajian dan riset ilmiah yang telah dilakukan peneliti dan penulis tersebut telah mencatat, bahwa Indonesia sebagai salah satu wilayah paling berbahaya di bumi ini karena ancaman gunung, gempa dan tsunami. Akan tetapi, catatan orang Indonesia sendiri akan hal itu sangat sedikit. Hal ini pula yang barangkali menjadi penyebab lemahnya sikap siap siaga warga terhadap bencana gempa dan tsunami. BENCANA nyaris terus datang tanpa bisa ditahan, tetapi hampir tak ada perbaikan dalam tata kelola bencana. Sejarah gempa dan tsunami yang melumat Indonesia-pun hampir tidak

menjadi acuan kebijakan pemerintah menyiapkan diri hingga bencana hebat datang mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004. Terlepas dari hal itu, bencana pun selalu saja dilaporkan setelah terjadi. Sangat jarang ada yang menyoroti ihwal mitigasi dan pendidikan bencana. Padahal, negeri ini memiliki banyak sekali kisah-kisah inspiratif yang mengandung pengetahuan dan mengandung kebenaran sebagai bagian dari mitigasi bencana. Namun karena semakin hebatnya teknologi dan majunya temuan manusia yang terkait perkembangan teknologi, seperti menenggelamkan kisah-kisah inspiratif dan mengandung kebenaran tersebut. Walau folklor atau cerita rakyat berisi kebijakan masyarakat tradisional dalam mengantisipasi bencana sering diabaikan. Sebagian besar malah hilang tak tercatat . Kehadiran buku ini, dimaksudkan untuk memberikan sebuah informasi, catatan perjalanan penelusuran jejak kearifan lokal serta kerangka kerja penelusurannya. Hal ini memberikan sebuah gambaran dan kerangka mengenai kearifan lokal dalam kesiapsiagaan bencana. Pemahaman akan pengetahuan lokal ini juga dimaksudkan untuk mendalami pemahaman tentang bagaimana hal ini dapat dimanfaatkan pada penanganan bencana, manfaat serta permasalahan yang termasuk didalamnya. Tulisan dalam buku inipun berupaya untuk menyajikan informasi yang utuh dan tidak separuh-separuh, tentang kondisi yang terjadi di lapangan yang ditujukan untuk pengembangan dan penelitian organisasi-organisasi yang bergerak di bidang penanganan bencana, meski tidak secara khusus, paling tidak bisa mewakili tentang apa yang terjadi di lapangan. Selain mencatat bagaimana perkembangan informasi lokal yang tersaji dalam kearifan local (local wisdom) dalam memperkenalkan ketahanan masyarakat di pelosok kabupaten/kota di Provinsi Aceh, dengan risiko-risiko terhadap bahaya bencana alam patut dipertimbangkan Kearifan Lokal Dalam catatan sejarah, sejak era 1970-an, suatu badan literatur yang berkembang telah menyoroti pentingnya integrasi pengetahuan lokal dan praktik-praktiknya ke dalam proyekproyek perkembangan dan pelestariannya. Dari literatur-literatur yang ada terkait kearifan lokal pun sebagian besar mengarah pada suatu kesimpulan serupa yang berkaitan dengan bahaya alam

dan bencana. Sementara, tinjauan literatur pada penemuan-penemuan penelitian awal di bidang Sosiologi (Dynes, 1974; Fritz, 1968; Barton, 1970; Quarantelli, 1978), Geografi (White 1974; Burtonetal,1978); dan Antropologi (Torry 1979), turut menambah khasanah pengetahuan terkait kearifan lokal yang ada di duniaSebagian besar penelitian tersebut, bekerja pada respon manusia dan adaptasi terhadap bahaya alam dan bencana lebih banyak di negara berkembang dibandingkan di negara maju, yang difokuskan pada masyarakat adat. Di daerah-daerah lain, diluar Aceh, kegiatan menelusuri local wisdom ini sendiri sudah pernah dimulai, dengan meneliti pekerjaan yang menyentuh bagian Budaya Survival, Ekologi Manusia, dan Penelitian dan Perkembangan Gunung. Misalnya prinsip rancang-bangun rumah-rumah dan lingkungan yang selama berabad-abad terbukti tanggap terhadap bencana gempa dan tsunami tak dikenali lagi. Padahal dari hampir semua literature tentang bangunan rumah, dijabarkan, semua rumah tradisional Indonesia dibangun tahan gempa. Menurut Koen Meyer dan Putri Watson misalnya. Dalam bukunya Legend, Ritual and Architecture on Ring of Fire, 2008, dijelaskan struktur rumah Nias terdiri dari tiang (enomo) dan balok menyilang (ndriwa) yang saling terkait. Tiang-tiang tersebut tidak berada di dalam tanah, tetapi ditumpukkan diatas batu besar sehingga bersifat dinamis menghadapi gaya geser. Diantara kolom utama, terdapat kolom-kolom diagonal yang saling kait dan menyokong lantai rumah yang berbentuk oval dan persegi. Semua sambungan kayu menggunakan teknik pasak, tanpa paku, sehingga balok-balok kayu dinamis dan tidak patah ketika gempa. Sehingga menjadi bukti rumah adat tersebut sampai sekarang masih tegak berdiri. Meskipun, literatur utama mengenai bahaya alam dan bencananya banyak sekali dikaitkan dengan pengetahuan lokal dan praktek-praktek sampai saat ini, namun keberadaan dan kegunaan pengetahuan lokal jarang mendapat perhatian. Pentingnya kerja akademik saat ini, baik secara daerah dan nasional, sistem teknis dan pengetahuan geofisika yang telah canggih merupakan mekanisme respon bencana yang paling efektif. Keseluruhan usaha yang sungguh-sungguh berkaitan dengan pengetahuan lokal di anggap kecil karena banyak orang mengetahui tentang pengetahuan tersebut. Hal ini sebagian disebabkan oleh pemisahan perspektif teknis-sosial. Misalnya, sebagian masyarakat tahu jika

hujan turut dengan lebat dan akan membawa banjir yang sanghat besar. Namun dalam kontek sosial, jarang sekali yang memahami tanda-tanda tersebut di lingkuingan sosialnya. Hal yang sama berlaku untuk manajemen bencana, dengan meningkatnya inisiatif penelitian, badan-badan nasional dan PBB juga LSM besar tingkat internasional mulai memberikan perhatian lebih besar pada pengetahuan lokal dan para pemangku kepentingannya. Semua ini semakin menguatkan, bahwa kerangka kerja yang komprehensif yang akan digunakan untuk memahami pengetahuan lokal tentang kesiapan bencana tidak dapat ditemukan dalam literatur yang khusus. Banyak terdapat studi kasus tentang pengetahuan lokal, terutama pengetahuan lingkungan lokal, tetapi biasanya hubungan antara pengetahuan lokal dan manajemen bencana dan kesiapsiagaan tidak dibuat secara eksplisit. Pendekatan kontek Aceh. Sebagian besar tulisan dalam buku ini, mengupas tentang pengetahuan lokal yang tersebar di berbagai bidang, misalnya, geografi, antropologi, pengelolaan sumber daya alam, perubahan iklim, pembangunan, sosiologi pedesaan, perencanaan kota, budaya lokal. Berdasarkan asumsi bahwa banyak yang bisa dipelajari dari bidang lain, buku ini berdasarkan penelaahan literatur berbagai bidang, juga penelusuran ke 23 Kabupaten/Kota yang ada di provinsi Aceh. Kerangka yang dihasilkan memudahkan identifikasi temuan dan tren dalam literatur saat ini pada pengetahuan lokal yang berhubungan dengan kesiapsiagaanan bencana. Keberagaman bahasa di wilayah Aceh membuat sulit untuk menyelami sumber daya yang tersedia mengenai pengetahuan lokal, karena sebagian besarnya tidak dicatat atau tertanam dalam karya-karya agama dan budaya lama. Meskipun tujuannya adalah agar fokus pada kesiapan bencana di Aceh, referensi dan studi dari suatu wilayah geografis yang lebih luas (yaitu, kecamatan dan desa), termasuk untuk mengambil hikmah dari pelajaran yang dipelajari di tempat lain. Diluar kerangka penulisan buku ini, dirasakan tidak hanya menulis bagaimana menggunakan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana dan bagaimana mengintegrasikannya ke dalam kegiatan yang berhubungan dengan bencana, rencana, dan

kebijakannya. Namun, juga ditulis hal-hal lain yang dianggap perlu dalam menelusuri nilai-nilai yang tidak tergali, dalam rangka untuk mempromosikan kepekaan terhadap dan pemahaman tentang pengetahuan lokal tentang kesiapsiagaan bencana. Asumsinya adalah pengetahuan lokal dan praktek-prakteknya, apakah relevan atau tidak dalam konteks yang spesifik untuk proyek tertentu, tidak boleh diabaikan. Pengetahuan lokal selalu perlu diperhitungkan. Namun, yang lebih penting, ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan lokal dan praktek-prakteknya sesuai atau berkelanjutan. Oleh karena itu, langkah penting berikutnya dalam memberikan rekomendasi kebijakan mencakup penilaian bagaimana mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam setiap kegiatan dan praktek-praktek lokal bisa kita dukung dengan kerangka, untuk siapa dan untuk tujuan apa, bagaimana dapat dikombinasikan dengan pengetahuan lainnya untuk bencana kesiapsiagaan, dan di mana konteks pengetahuan lokal dan praktek-praktek berkontribusi terhadap peningkatan kegiatan kesiapsiagaan bencana. Buku ini juga menampilkan penyelidikan bencana alam dari perspektif masyarakat: yaitu apa yang warga tahu tentang risiko bahaya bencana alam dan apa yang mereka percaya dan lakukan bagi mereka sendiri dalam situasi tertentu. Sepertipengetahuan lokal yang digunakan di sini dalam lingkup yang sangat luas. Kita semua memiliki pengetahuan lokal: ini mengacu kepada hubungan yang dikembangkan masyarakat dengan lingkungan sekitar mereka dari waktu ke waktu. Terminologi yang beragam: literatur mengacu pada: pengetahuan asli, pengetahuan tradisional, pengetahuan rakyat, ilmu daerah tempatan , dan ilmu warga sesamanya. Pengetahuan asli adalah bagian dari pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal itu sendiri, menekankan, tempat, wilayah, lokasi sebanyak gerakan biasa antara titik yang berbeda (misalnya, pengetahuan yang berkaitan dengan rute atau lokasi yang berbeda dari kelompok orang yang bermigrasi secara rutin seperti sebagai pengembara, penglaju, migran musiman (suatu pengetahuan yang lebih awal dari lainnya, pengetahuan tradisional versus kontemporer).

Penting untuk dipelajari bagaimana orang (lokal dan asli) dalam suatu wilayah tertentu memandang dan berinteraksi dengan lingkungan mereka, apakah mereka memiliki pengetahuan lokal yang membantu memantau, menafsirkan, dan merespon perubahan dinamis dalam ekosistem dan sumber daya dan layanan yang dihasilkan, dan apakah pengetahuan mereka dapat digunakan atau tidak untuk merancang intervensi yang sesuai, termasuk kesiapan bencana. Pengetahuan lokal yang dinamis dan selalu berubah dari waktu ke waktu melalui eksperimentasi dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan sosial ekonomi. Kesiapan bencana mengacu pada kombinasi dari strategi jangka pendek dan jangka panjang yang membantu meminimalkan atau mengurangi efek negatif dari bahaya alam, mencegah dampak terhadap aset, dan menyelamatkan nilai-nilai tertentu yang berharga (misalnya, selama periode curah hujan yang berlebihan, dan lain-lain) atau konsekuensinya. Kesiapan bencana tersebut didefinisikan secara luas dan mencakup kesiapan darurat yang digunakan oleh negara-negara lainnya untuk merujuk kepada manajemen krisis berdasarkan perintah-dan-kendali (pertahanan sipil) dan strategi respon jangka pendek. Sulit untuk mengisolasi kesiapsiagaan bencana dari komponen lain manajemen bencana (misalnya, bantuan bencana) karena semuanya saling terkait Mitigasi Bencana Dalam Kontek Aceh Alam terkembang menjadi guru. Demikian ungkapan bijak yang berakar dari budaya dan tutur masyarakat di Indonesia, khusunya masyarakat yang menghuni bumi Sumatera yang dulu dikenal dengan nama Andalas . Tidak salah ungkapan bijak ini dilahirkan oleh leluhur bangsa yang menghuni pulau Sumatera. Dalam beberapa kajian, Pulau Sumatera adalah salah satu pulau di dunia yang sering mengalami gempa bumi. Kondisi ini diakibatkan oleh karena Pulau Sumatera berdekatan dengan pertemuan dua lempeng aktif, yaitu lempeng India-Autralia dan Lempeng Eurasia. Pertemuan dua lempeng tersebut memanjang dari Andaman sampai sebelah selatan Pulau Jawa. Selain itu di daerah Pulau Sumatera terdapat patahan Sumatera yang memanjang mengikuti alur Bukit Barisan yang membagi 2 wilayah daratan Sumatera. Wilayah patahan tersebut adalah wilayah yang kerap menjadi daerah gempa.

Patahan tersebut menggambarkan posisi patahan Sumetera dan tahun-tahun terjadinya gempa bumi di sepanjang patahan tersebut. Aceh merupakan daerah yang berada di pertemuan tiga lempeng bumi (India, Australia dan Eurasia). Ini yang menyebabkan posisi Aceh sangat rentang dengan gempa. Belum lagi adanya sesar semangko (baca : sesar Sumatera) yang saat ini masih bergerak aktif dan berpotensi menyebabkan terjadinya gempa darat. Ironisnya, daerah sepanjang patahan Sumatera adalah daerah dengan tingkat hunian penduduk yang tinggi ejak dahulu. Kesultanan-kesultanan dan kerajaan-kerajaan dengan kekuasaan luas dan mashur di Pulau Sumatera banyak berlokasi di sepanjang patahan Sumatera. Kesultanan dan Kerajaan tersebut diantaranya Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan Minangkabau. Bahkan Istana Pagaruyung, pusat pemerintahan Adityawarman, Raja

Minangkabau yang termasyur hanya berjarak beberapa kilometer dari patahan Sumatera. Begitu juga dengan Banda Aceh, yang dahulu dikenal dengan Kutaraja, ibukota Kesultanan Aceh Darussalam dari masa Sultan Iskandar Muda, terletak tidak jauh dari jalaur patahan Sumatera yang terpecah dua di wilayah Provinsi Aceh. Kedua patahan tersebut dikenal sebagai Patahan Darussalam yang melewati Desa Darussalam dan Patahan Darul Imarah yang melewati Desa Darul Imarah. Sampai sekarang daerah-daerah bekas kesultanan dan kerajaan tersebut tetap menjadi daerah dengan tingkat hunian penduduk yang cukup tinggi. Kondisi ini idealnya memaksa masyarakat di daerah tersebut untuk melengkapi diri dengan sistem peringatan dini (early warning system) sebagian dari upaya mitigasi bencana. Sistem peringatan dini yang paling sederhana dan paling mudah dipahami oleh masyarakat awam adalah system peringatan dini yang diberikan oleh alam. Sayang sekali kejadian terakhir dengan efek yang sangat dahsyat yaitu gempa dan tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan Nias (Sumetera Utara) pada Minggu, 26 Desember 2004 mengajarkan kepada kita bahwa sebagian besar masyarakat modern telah melupakan alam sebagai pemberi system peringatan dini yang paling sederhana dan mudah dipahami. Bayangkan, selain menyisakan kepiluan dengan korban jiwa yang mencapai 300.000 jiwa, gempa bumi dan tsunami 26 desember 2004 membawa pula kisah bagaimana manusia berjuang mempertahankan hidupnya dengan melihat dan belajar dari alam. Ketika teknologi tak

sepenuhnya bisa diharapkan memberi informasi yang cukup, makas sepantasnya kita berteman dengan alam yang terkembang, dan menjadikannya guru. Dalam konteks bencana dan mitigasi alam yang terkembang luas itu adalah sistem peringatan dini bencana yang paling murah dan paling mudah dipahami oleh masyarakat awam, karena merupakan bagian kearifan local yang melekat pada masyarakat, disadari atau tidak. Sistem mitigasi bencana berbasis alam ini, sebenarnya merupakan bagian dari kearifan lokal yang berkembang di Indonesia, dan sudah ada turun temurun. Di Simeulue misalnya, selain peringatan dini tsunami dalam bentuk budaya bertutur, juga berkembang sikap dan kesadaran masyarakat untuk menanam manggrove. Hal ini bisa dibuktikan, pada saat tsunami menghantam pulau ini, hanya berkisar antara 2-4 meter, berbeda dengan ketinggian tsunami yang menerjang Meulaboh, Calang dan Banda Aceh, yang mencapai 20 meter. Hal ini bisa terjadi salah satunya karena pantai-pantai di Pulau Simeulue masih ditutupi rapat oleh hutan manggrove atau dikenal juga sebagai hutan bakau. Hal ini oleh masyarakat Simeulue, sudah lama dipahami secara tradisional dan kemudian secara ilmiah, bahwa hutan manggrove memiliki kemampuan menghambat laju arus sekaligus melindungi pulau. Bahkan kesadaran masyarakat Simeulue secara tradisional tentang fungsi alam, hutan manggrove mencegah mereka melakukan perusakan. Hal ini dikuatkan dengan dikeluarkannya Qanun Nomer 30 Tahun 2003. Tetapi sebenarnya seperti di banyak tempat di Indonesia, sebuah aturan formal tidak berarti apa-apa tanpa kesadaran masyarakat sebagai pelaksana utama. Di Kabupaten Simeulue, aturan formal hanyalah sebuiah pengukuhan, masyarakat yang sadar bahwa mereka hidup di daerah bencana, dan sudah terlebih dahulu mereka membangun harmonisasi dengan alam dalam bentuk tidak melakukan perusakan hutan manggrove. Kesadaran secara masif inilah yang teleh terbukti menyelamatkan masyarakat dari bencana yang lebih fatal. SETELAH Tsunami Samudera Hindia tahun 2004, ada dua kisah sukses yang muncul, yang membangkitkan minat baru pada konsep kearifan lokal. Kisah masyarakat Simeulue yang tinggal di lepas pantai Sumatra, Indonesia dan kaum Moken, yang hidup di Kepulauan Surin di lepas pantai Thailand dan Myanmar sama-sama memanfaatkan pengetahuan mereka yang diturunkan secara lisan dari nenek moyang mereka untuk menyelamatkan diri dari tsunami yang menghancurkan.

Kedua kasus tersebut beberapa tahun belakangan ini paling sering disebut, tetapi masih ada banyak contoh yang belum banyak diketahui umum dari masyarakat-masyarakat yang juga telah memanfaatkan kearifan lokal mereka untuk menyelamatkan diri dari kejadian-kejadian bencana dan menghadap kondisi-kondisi lingkungan hidup yang sulit.

Kearifan lokal oleh masyarakat-masyarakat ini dalam mengurangi risiko, menghadapi dan menyelamatkan diri dari bencana-bencana alam yang terjadi belakangan ini telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi para praktisi dan pengambil kebijakan akan pentingnya kearifan local bagi pengurangan risiko bencana. Kearifan lokal itu berupa cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan setempat, yang terbentuk dari tinggal di tempat tersebut secara turun-temurun. Pengetahuan semacam ini mempunyai beberapa karakteristik penting yang membedakannya dari jenis- jenis pengetahuan yang lain. Kearifan lokal itu berasal dari dalam masyarakat sendiri, disebar luaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan, dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, serta tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana untuk bertahan hidup. Pada tahun-tahun belakangan ini semakin banyak orang tertarik untuk mempelajari hubungan antara kearifan lokal dan bencana alam. Diskusi-diskusi terkini dalam hal ini berfokus pada potensi kearifan lokal dalam meningkatkan kebijakan-kebijakan pengurangan risiko bencana melalui integrasi kearifan lokal kedalam pendidikan kebencanaan dan sistem peringatan dini. Dalam khasanah pengurangan risiko bencana, ada empat argumen dasar yang mendukung pentingnya kearifan lokal. Pertama, berbagai praktik dan strategi spesifik masyarakat asli yang terkandung di dalam kearifan lokal, yang telah terbukti sangat berharga dalam menghadapi bencana-bencana alam, dapat ditransfer dan diadaptasi oleh komunitas-komunitas lain yang menghadapi situasi serupa. Kedua, pemaduan kearifan lokal kedalam praktik-praktik dan kebijakan- kebijakan yang ada akan mendorong partisipasi masyarakat yang terkena bencana dan memberdayakan para

anggota masyarakat untuk mengambil peran utama dalam semua kegiatan pengurangan risiko bencana. Ketiga, informasi yang terkandung di dalam kearifan lokal dapat membantu meningkatkan pelaksanaan proyek dengan memberikan informasi yang berharga tentang konteks setempat. Terakhir, cara penyebarluasan kearifan lokal yang bersifat non-formal member sebuah contoh yang baik untuk upaya pendidikan lain dalam hal pengurangan risiko bencana. Dalam penelitiannya yang dilakukan Koen Meyers dan Puteri Watson (Simeulue, Nias, dan Siberut, Indonesia Dongeng, Ritual, dan Arsitektur di Kawasan Sabuk Gunung Api) diungkapkan, praktik-praktik kearifan lokal terbukti telah mengurangi dampak bencana alam di tiga pulau Sumatra, yakni Simeulue, Nias, dan Siberut. Dengan kebudayaan yang berbeda- beda, ketiga pulau itu, yang dalam kurun waktu lima tahun mengalami bencana gempa bumi dan tsunami, telah mengangkat ke Permian pelbagai praktik kearifan local yang sebelumnya luput dari perhatian masyarakat internasional yang peduli pada upaya pengurangan risiko bencana. Praktik-praktik itu mencakup antara lain sarana komunikasi tradisional, metode pembangunan dan perencanaan hunian, serta upacara ritual yang terkait. Praktik-praktik itu akan dibahas secara terperinci untuk memperoleh pemahaman yang utuh mengenai dampaknya dan bagaimana relevansi praktik dan kearifan lokal bagi pembangunan modern. Dalam tujuh tahun terakhir, Simeulue, Nias, dan Siberut mengalami beberapa kejadian gempa bumi dan tsunami. Pada desember 2004, tsunami melanda Simeulue dan Nias. Kendati demikian, di Simeulue hanya jatuh sedikit korban bila dibandingkan dengan di daerah lainnya. Laporan resmi pemerintah setempat menyebutkan hanya ada tujuh korban dari keseluruhan populasi yang jumlahnya sekitar 78.000, di mana 95% di antaranya hidup di wilayah pantai. Ketika terjadi gempa pada 26 Desember 2004, penduduk Simeulue tahu bahwa mereka harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi karena ada kemungkinan terjadi tsunami. Reaksi ini telah meminimalkan dampak kerusakan akibat tsunami. Selain faktor kearifan lokal itu, topografi pulau yang berbukit-bukit juga menjadi faktor penting lain yang memperkecil jumlah korban. Perbukitan hanya berjarak ratusan meter dari perkampungan dan garis pantai.

Dalam penelitian tersebut, juga digambarkan Pulau Nias mengalami dampak serius akibat gempa 26 Desember 2004 dan tsunami yang terjadi setelahnya. Sebanyak 140 penduduk tewas dan ratusan lainnya kehilangan tempat tinggal. Beberapa bulan kemudian, tepatnya 28 Maret 2005, terjadi lagi gempa berkekuatan 8,7 skala richter dan merenggut 839 jiwa. Dampak gempa sangat dahsyat sehingga di beberapa tempat menyebabkan tanah terangkat hingga lebih dari 2 meter, dan menyembulkan karang pantai hingga 100 meter dari garis pantai semula. Kehidupan 90% penduduk terkena dampaknya, 15.000 rumah harus diperbaiki dan 29.000 lainnya harus dibangun kembali. Seperti diketahui, pada tanggal 12 September 2007 sebuah gempa berkekuatan 7,9 skala richter terjadi di dekat Siberut. Namun, hanya jatuh satu korban jiwa. Salah satu sebab kecilnya angka korban adalah karena semua orang, begitu merasakan gempa, bergegas meninggalkan rumah dan lari ke tempat terbuka. Reaksi yangkompak semacam itu dapat dimungkinkan antara lain karena adanya pengetahuan masyarakat yang dikomunikasikan melalui dongeng dan legenda. Banyak cerita yang dibawa oleh nenek moyang kita mengenai kebiasaan bencana yang terjadi di daerah dan itu merupakan pengetahuan tersendiri dalam menghadapi tanggap bencana. Apalagi bila informasi ini, bisa dikemas dan dikelola dalam Knowledge Management yang terintegrasi dengan baik Referensi :

1) Marsden berada di Sumatera Barat antara 30 Mei 1771 dan 6 Juli 1779. Ketika berada di Bengkulu, dia berusia 16 tahun. Marsden lahir di Verval, wicklow, Irlandia, pada 16 November 1754 dan merupakan anaklaki-laki keenam dan anak kesepuluh dari John marsden, direktur Bank Nasional Irlandia (The Nasional Bank of Ireland). Marsden menulis saya didorong oleh orangorang yang perhatian pertamannya dalam bidang ilmu pengetahuan untuk mempersiapkan publikasi dengan materi apapun yang saya miliki tentang sejarah alam dari daerah tersebut. Ia tertarik dengan masalah Sejarah Sumatera, sejak ia menjejakkan kaki di Indonesia. Dalam catatan kakainya, marsden menyebutkan bahwa dia menulis dan mendapatkan informasi tentang gempa di Nias pada 1763 yang telah menewaskan seluruh penduduk kampong di pulau itu.

2) Ahmad Arif, lahir di Rembang, Jawa Tengah, 4 September 1977. Ia menamatkan kuliah di Teknik Arsitektur, Universitas Gadjah Mada tahun 2001. Setelah meninggalkan pekerjaan di dunia akademis dan penelitian, sejak tahun 2003 dia menjadi wartawan Harian Kompas- Jakarta. Tahun 2010 Ahmad arif meluncurkan buku Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme. Sejak thun 2011 ia dan beberapa rekannya di Harian Kompas melakukan Ekspedisi Cincin Api. Survei dilakukan di kota yang pernah dan terancam gempa bumi, tsunami, serta letusan gunung, seperti Banda Aceh (Aceh), Yogyakarta (DI Yogyakarta), Sleman (DI Yogyakarta), Padang (Sumatera Barat), Palu (Sulawesi Tengah), Karangasem (Bali), dan Bengkulu. Ekspedisi ini dilakukan mengingat jutaan orang tinggal dalam jangkauan letusan gunung berapi, bahkan sebagian tinggal di dalam kaldera tanpa menyadarinya. Survei yang dilakukan Litbang Kompas pada Juni-Juli 2011 mengungkapkan minimnya pengetahuan dan kesiapsiagaan terhadap bencana itu. 3) Kompas memberitakan bencana ini pada edisi Senin, 22 Agustus 1977, menjadi berita utama dengan judul 57 orang Diketahui Tewas akibat Gempa. Dalam berita itu disebutkan bahwa setelah gempa, terjadilah gelombang pasang (tsunami) yang menggulung sejauh 400 meter ke daratan. Kisah ini juga terdapat dalam buku Jurnalisme Bencana-Bencana Jurnalisme 4) Kompas memberitakan bencana ini pada edisi senin, 22 Agustus 1977, ,menjadi berita utama dengan judul 57 Orang Diketahui Tewas Akibat Gempa. Dalam berita itu disebutkan bahwa setelah gempa, terjadilah gelombang poasang (tsunami) yang menggulung sejauh 400 meter ke daratan 5) Francis (1976;69-81) menyebutkan bahwa letusan Gunung rakata atau Krakatoa merupakan salah satu letusan gunung terbesar yang tercatat, yang memberi dampak luas bagi kehidupan manusia di dunia 6) Marsden (2008;30) menyebutkan bahwa walaupun gempa kerap terjadi di Pulau Sumatra, jumlah korban yang meninggal biasanya sangat kecil karena rumah tradisional di pulau ini dibangun dengan konstruksi tahan 7) Kebangkitan rancangan sistem mitigasi. Tsunami Aceh, Titik Nol Menuju Kebangkitan Aceh Dalam Era Globalisasi. Teuku Abdullah Sanny

8 Kearifan lokal dunia. Mengisahkan kearifan local terkait kebencanaan yang menggali semua kisah dan fakta di tengah-tengah masyarakat yang tinggal di daerah rentan bencana di Asia 9) Koen Meyers dan Puteri Watson, Simeulue, Nias, dan Siberut, Indonesia Dongeng, Ritual, dan Arsitektur di Kawasan Sabuk Gunung Api

Belajar dari Gempa Haiti


Oleh: Ardy Arsyad (Mahasiswa S3 Kyushu University Jepang, Dosen Teknik Sipil Unhas)

Pada awal tahun ini, kita dikejutkan gempa berskala besar di Haiti, negara karibia di sebelah tenggara Kuba dan Florida Amerika Serikat, atau di sebelah timur Jamaika. Gempa itu meluluhlantakkan negeri yang membagi dua pulau Hispaniola dengan Republik Dominika. Dalam sejarahnya, Haiti dulunya adalah jajahan Spanyol, namun bahasa resmi yang digunakan adalah bahasa Prancis. Yang menarik, Haiti merupakan negara pertama di Amerika Latin yang memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1804. Selain itu, Haiti adalah negara pertama di dunia yang mulai dipimpin oleh presiden berkulit hitam, hasil dari revolusi melawan perbudakan. Gempa bumi di Haiti terjadi pada 12 Januari 2010. Skala kerusakan yang ditimbulkannya sangat masif. Tak heran jika diperkirakan jumlah korban tewas akan mencapai 200 ribu jiwa. Pertanyaannya, mengapa jumlah korban gempa di Haiti sangat besar, dibandingkan Aceh yang lebih katastrof dikarenakan adanya faktor tsunami? Salah satu penyebabnya adalah gempa dengan energi sangat kuat. Posisi pusat gempanya yang dangkal, dan jaraknya sangat dekat dengan kota dengan penduduk yang padat. Dari data USGS, badan survei geologi Amerika Serikat, gempa dengan skala 7 berpusat di Leogane, berjarak 25 km dari ibukota Port-au-Prince, dan berada pada kedalaman 13 km. Oleh karena itu, gempa ini sangat kuat mengguncang daerah-daerah yang padat penduduk. Intensitas gempa mencapai skala 10 modified mercally (MM). Patut dicatat, skala 1 MM adalah terendah dan tertinggi adalah 12 MM. Skala 10 MM tergolong "disastrous", di mana bangunan dinding bata dan rangka beton akan kolaps. Penyebab kedua, adalah gempa berskala 7 SR di Haiti masih disusul oleh gempa dengan skala yang masih kuat, antara skala 5 dan 6 SR. USGS mencatat, ada 33 kali gempa susulan. Akibatnya, gedung-gedung kolaps, termasuk Presidential Palace, the National Assembly, Portau-Prince Cathedral dan kantor PBB di Haiti. Haiti memang merupakan daerah rawan gempa. Sejarah gempa mencatat bahwa sebelum gempa 2010, paling tidak terdapat empat kali Haiti diguncang gempa berskala besar. Pada 18 Oktober 1751, sejarahwan Prancis, Moreau de Saint-Mery, mengatakan terjadi gempa di Port-au-

Prince hingga hanya satu bangunan yang tidak runtuh ketika itu. Tahun 1770, kembali gempa berskala 7,5 SR mengguncang dengan korban lebih dari 200 orang. Tujuh puluh tahun kemudian, gempa menelan korban yang mencapai 10 ribu orang. Tahun 1946, gempa skala 8,0 dan juga tsunami melanda Haiti dan Republik Dominika. Korban tewas tercatat 1.709 orang. Haiti terletak pada lempeng tektonik Karibia yang berhimpit dengan lempeng Amerika Utara, Cocos, Nazca dan Amerika Selatan. Lempeng tektonik Karibia bergerak ke timur, sejauh 2 cm per tahun. Batas tempat pergesekan lempeng lempeng Karibia dengan lempeng Amerika Utara melintang persis di sisi utara Pulau Hispaniola. Pergesekan dua lempeng tersebut menghasilkan dua strike-slip fault, patahan bumi. Pertama, Septentrional-Orient fault terletak di utara dan Enriquillo-Plaintain Garden fault di sebelah selatan. Ukuran patahan ini sekitar 65 km dengan ketebalan rata-rata patahan 1,8 meter (Bilham, 2010). Diperkirakan, selama 250 tahun, patahan Enriquillo-Plaintain Garden seakan "terkunci", dan masih terjadi deformasi. Massa batuan pada patahan ini masih cukup elastis menahan tegangan deformasi yang ada. Namun ketika massa batuan sudah tak mampu lagi berdeformasi karena tegangan sudah terlampau, batuan akan patah dan pecah. Akibatnya, energi guncangan "terlepaskan", dan inilah yang menjadi gempa bumi (Amos, 2010). Sebenarnya, terjadinya gempa di Haiti sudah dapat diprediksi sebelumnya. DeMets dari University of Wisconsin-Madison dan Wiggins-Grandison dari University of West Indies, melakukan pengukuran geofisika pada tahun 2006. Penelitian mereka kemudian dimuat dalam Journal of International Geophysics pada 2007. Mereka mengatakan bahwa pengukuran pergerakan lempeng Gonave-Carribian dengan GPS (Global Positioning System) mendeteksi adanya deformasi yang "terkunci" sepanjang patahan Enriquillo-Plaintain Garden. Dari analisa seismic hazard, maka dimungkinkan akan terjadi gempa dengan skala 7.0 hingga 7,3, yang sebanding dengan gempa yang terjadi di Jamaica tahun 1692. Prediksi yang serupa, juga sudah dikemukakan oleh Paul Mann dalam Konferensi Geologi Karibia pada 18 Maret 2008. Dari penelitian yang diadakan tahun 2006 diketahui bahwa akumulasi regangan pada Enriquillo-Plaintain Garden yang telah diukur, dan berdasarkan data gempa selama 40 tahun belakangan, diperediksi bahwa akan terjadi gempa dengan skala 7.2 richter. Olehnya itu, dua kota besar yang berjarak kurang dari 30 km dari patahan ini, Port-auPrince Haiti dan Kingstone Jamaika, akan terkena dampak yang sangat signifikan.

Prediksi akan peluang terjadinya gempa juga bukan hanya dalam kasus gempa Haiti. Gempa di Padang tahun 2009 lalu sebenarnya juga sudah diperkirakan dua tahun sebelum terjadinya. Pada Desember 2007, peneliti LIPI, Danny Hilman Natawijaya dalam sebuah Seminar Geotekenologi di Bandung, mengatakan bahwa setelah gempa besar di Aceh 2004 dan Nias 2005, akan terjadi "efek domino" (rangkaian gempa) yang akan menimpa Padang dan Bengkulu. Namun demikian, prediksi gempa hanya berbicara konsep probabilitas berdasar data pengukuran yang ada. Mengenai, kapan dan di mana titik terjadinya, hingga kini tidak dapat diketahui pasti. Olehnya itu, yang penting bagi kita adalah perlu adanya kesiapsiagaan. Terkhusus bagi mereka yang berada di lokasi yang dikategorikan rawan terhadap gempa dan tsunami. Belajar dari kasus Gempa Haiti, diketahui bahwa negara itu hingga saat ini tidak memiliki building code, aturan konstruksi gedung, apalagi standar bangunan tahan gempa. Infrastruktur di Haiti dibangun tanpa aturan konstruksi yang standar. Organization of American States (OAS) telah melakukan supervisi beberapa waktu lalu sebelum gempa. OAS mengatakan bahwa banyak gedung di Haiti dibangun pada daerah lereng dengan pondasi yang tidak tepat. Pelaksanaan teknik konstruksi yang tidak memadai, dan tanpa adanya kontrol atau pengawasan terhadap konstuksi yang dibangun. Bahkan dengan tingginya tingkat kemiskinan, masyarakat di Haiti banyak yang tinggal pada bangunan liar dengan konstruksi dan sarana yang seadanya. Pada akhirnya, kita akan selalu bertanya, apakah pelajaran yang dapat diambil pada gempa Haiti. Apakah kita dapat belajar dari rentetan gempa yang sudah terjadi di Padang, Tasikmalaya, Yogyakarta, dan di tempat lainnya. Semoga kita, dan tentunya pemerintah, bertindak secara aktif dalam meningkatkan daya adaptasi dan ketahanan masyarakat terhadap gempa. Namun jika seketika gempa ternyata, dan ternyata kita lengah untuk bersiap. Maka benar adanya, "Indonesia is a nation with short memory". Semoga saja tidak.

Bencana Tsunami Sunyi di Mentawai

Sejumlah bangunan di Kampung Bosuwa Desa Betumonga Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, hancur akibat gempa dan tsunami, Rabu (27/10/2010). Gempa berkekuatan 7,2 SR yang terjadi Senin 25 oktober sekitar pukul 21.40, mengakibatkan gelombang tsunami dan menyapu kawasan pinggir pantai antara lain di Pulau Pagai Selatan, Pulau Sikakap dan Pulau Sipora. Televisi masih ramai menyiarkan soal letusan Gunung Merapi, Yogyakarta, yang terjadi pada senja hari Selasa (26/10) hingga tengah malam. Beberapa warga diberitakan tewas, termasuk seorang wartawan. Sedangkan ratusan orang di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tewas dalam senyap. Tanpa mengecilkan tragedi Merapi, pemberitaan media soal Mentawai memang sangat terlambat. Hingga hari kedua pascabencana, gambaran Mentawai masih samar. Masih sedikit foto dan video dari ladang bencana Mentawai. Sementara pemberitaan seputar Merapi sudah riuh rendah, terutama perihal drama sang juru kunci Merapi, Mbah Marijan. Negara ini memang belum hadir di pulau-pulau terluar. Maka, ketika bencana melanda kawasan itu, perhatian pun datang terlambat. Bahkan, sekadar kabar soal terjadinya petaka kerap kali datang terlambat. Namun, media ternyata juga tak hadir di sana karena tertipu pernyataan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang mencabut peringatan adanya tsunami. Selain itu, kebanyakan media mengandalkan tebengan. Sedangkan pihak yang biasa ditebengi (baca: pemerintah) terlambat datang, bahkan terlambat mengetahui adanya tsunami. Dan, ketika pun kemudian hadir, aspek yang banyak diumbar adalah soal drama setelah

bencana dan melupakan mitigasi dan adaptasi. Ke mana saja kita sebelum bencana? Masih saja kita terkaget dengan bencana gempa dan tsunami. Kenyataan bahwa negeri ini memiliki riwayat panjang petaka gempa dan tsunami seolah-olah dilupakan. Dan, petaka di Mentawai ini sudah jauh hari diperingatkan akan terjadi. Lalu, di mana sistem deteksi dini tsunami yang dulu disebut-sebut telah disiapkan untuk memagari lautan Nusantara setelah petaka Aceh menelan korban tewas lebih dari 150.000 orang?

Melupakan mitigasi Empat menit setelah gempa dangkal berkekuatan 7,2 skala Richter pada Senin (25/10) pukul 21.42, BMKG mengklaim telah merilis peringatan potensi adanya tsunami. Kami sebarkan peringatan itu melalui berbagai moda komunikasi, seperti layanan singkat melalui telepon seluler, faksimile, ke media, juga ke 12 pemda, termasuk ke Mentawai melalui DVB (digital video broadcast), kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Moch Riyadi. Nyatanya, sirene peringatan tsunami tak pernah berbunyi di pesisir Mentawai karena pemerintah tak pernah memasangnya di sana. Riyadi mengatakan, Kami tidak tahu apakah peringatan itu disampaikan ke masyarakat atau tidak. Itu di luar kewenangan kami. Pascaperingatan itu, BMKG, menurut Riyadi, terus menunggu kiriman data pasang surut milik Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Kami amati terus, ternyata tidak ada data yang masuk dari Mentawai dan sekitarnya. Apakah alatnya tidak ada atau tak ada yang menyampaikan, kami tidak tahu, ujarnya.

Perhitungan BMKG Dalam perhitungan BMKG, jika terjadi tsunami, semestinya sudah tiba di pantai Mentawai paling lambat 15 menit setelah gempa. Setelah satu jam ditunggu tidak ada info kenaikan gelombang, akhirnya dikeluarkan status all clear, artinya peringatan sudah berakhir. Tujuannya agar masyarakat yang tadinya mengungsi kembali pulang, ucapnya.

Di pesisir barat pantai Sumatera, seperti Padang, tsunami memang tak terjadi. Namun, ketika televisi dan radio menyiarkan pencabutan peringatan tsunami itu, ratusan warga Kepulauan Mentawai sebenarnya tengah bergelut dengan maut. Gelombang tsunami

menyerbu ke pantai sekitar 40 menit setelah gempa. Tsunami yang datang agak terlambat, slow earthquake tsunami. Kenapa tsunami yang menghantam Mentawai tak terdeteksi oleh BMKG sehingga mereka mencabut peringatan tsunami? Dampaknya, publik baru tahu telah terjadi tsunami di Mentawai pada Selasa (26/10) siang. Ahli tsunami yang juga Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono tak heran soal lolosnya tsunami Mentawai dari deteksi BMKG. Sebab, alat deteksi dini tsunami (tsunami buoy) tak terpasang lagi di Mentawai. Dulu rencananya mau dipasang 22 buoy setelah tsunami Aceh terjadi. Tetapi, setahu saya baru dipasang tiga dan sekarang mungkin sudah lenyap karena dicuri atau rusak, ujarnya. Karena kita belum memiliki alat deteksi yang cukup dan sistem komunikasi yang baik untuk memastikan tsunami tak terjadi, Subandono menyarankan, peringatan tsunami itu semestinya tak usah dicabut.

Strategi adaptasi Subandono juga mengingatkan, pencurian alat deteksi dini tsunami itu menandakan masyarakat juga kehilangan kepekaan terhadap bencana. Banyak yang belum sadar soal ancaman bencana ini sehingga mereka mencuri atau merusak deteksi dini tsunami, katanya. Atau permasalahannya bisa jadi karena masyarakat tidak dilibatkan dalam sistem peringatan dini tsunami ini? Subandono menyebutkan, selain perbaikan teknologi deteksi dini tsunami, jatuhnya banyak korban sebenarnya bisa dihindari jika masyarakat Mentawai tanggap terhadap gempa dan tsunami. Mereka dulu mungkin memiliki kearifan lokal itu, tetapi sekarang banyak yang abai. Intinya, kalau ada gempa keras, masyarakat Mentawai harusnya langsung lari ke bukit seperti di Simeulue (Aceh) dengan smong-nya. Masyarakat Mentawai sangat dekat dengan sumber gempa sehingga tsunami bisa lebih cepat datangnya dibandingkan peringatan dini, ungkapnya. Subandono mengakui, proses mitigasi dan upaya untuk mengenalkan masyarakat agar beradaptasi terhadap bencana masih dilakukan setengah hati. Kami memiliki kemampuan terbatas untuk sosialisasi ke masyarakat. Anggaran mitigasi terbatas, katanya.

Sebagian masyarakat tradisional sebenarnya memiliki mekanisme adaptasi terhadap gempa dan tsunami. Salah satunya mewujud dalam cerita rakyat atau folklor. Misalnya, cerita smong dari

Pulau Simeulue, Aceh. Nga linon fesang smong, demikian kepercayaan masyarakat setempat, yang artinya setelah gempa besar akan datang tsunami. Pengetahuan tentang smong ini berasal dari ingatan tentang tsunami yang pernah menimpa pulau ini pada tahun 1907. Pengetahuan ini nyatanya menjadi penyelamat warga Simeulue saat terjadi tsunami pada 26 Desember 2004. Hanya tujuh orang yang meninggal di pulau itu akibat bencana tersebut. Padahal, sebanyak 3.146 rumah rusak berat dan 4.856 rusak ringan serta 1.597 rumah hilang ditelan tsunami. Sebagai salah satu peradaban tua, bahkan mungkin tertua di Nusantara, masyarakat Mentawai semestinya juga memiliki kemampuan adaptasi untuk hidup di pulau yang rentan gempa dan tsunami. Menjadi tugas semua pihak untuk menemukan kembali kearifan lokal itu, selain tentunya secara serius membangun sistem deteksi dini tsunami.... (AIK)

(http://regional.kompas.com/read/2010/10/29/11115638/Tsunami.Sunyi.di.Mentawai)

You might also like