You are on page 1of 11

BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERUMUSAN NORMA HUKUM

Bahasa memainkan peranan penting dan besar dalam kehidupan keseharian kita. Hal ini tidak hanya terjadi dalam ruang-ruang pengadilan ketika kita dipanggil untuk menjadi saksi, ataupun dalam tulisan-tulisan yang mendeskripsikan atau menjelaskan soal putusan pengadilan, dan dalam dokumen-dokumen hukum seperti kontrak mengenai hutang-piutang dengan hak tanggungannya, tetapi juga dalam kegiatan rutin kita sehari-hari, terutama dalam menyusun peundang-undangan Undang-undang Peraturan mulai 10 undang-undang Tahun (UU 2004 P3) sampai peraturan daerah. Dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan, Nomor tentang secara Pembentukan langsung Perundang-undangan tidak

menempatkan bahasa yang komunikatif sebagai salah satu asas, yakni sebagaimana disebut dalam Pasal 5 huruf f. Pasal 5 UU P3 : Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi : a. kejelasan tujuan; b. kelembaagaan aataau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Penjelasan Pasal 5 huruf UU P3 : 1

Yang dimaksud dengan asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak dalam menimbulkan pelaksanaannya. Meskipun di mana-mana hukum ada di tengah-tengah kita, acap kali kita tidak dapat mengerti atau memahami peraturan daerah, undang-undang, putusan-putusan pengadilan dan dokumen-dokumen hukum lain yang memiliki pengaruh terhadap kita. Kita menyewa advokat (lawyer) untuk membantu kita memperoleh tiket hukum sebab satu langkah keliru dapat menghapuskan/meniadakan suatu dokumen penting atau lebih jauh lagi ber-komplikasi terhadap hidup kita. Termasuk kamus-kamus hukum yang mendefinisikan istilahistilah hukum mengesankan bahwa ia adalah bahasa dalam dirinya sendiri. Dalam konteks kajian seperti tersebut di atas sesungguhnya kita memasuki suatu wilayah, baik akademis maupun praktis, mengenai singgungan antara bahasa (language) dan hukum (law). Sebagaimana dalam sistem hukum Eropa Kontinental, prosedur hukum dan administrasi peradilan terikat pada standar yang telah disusun oleh legislatif dalam bentuk tulisan (tertulis), sehingga bahasa menjadi persoalan sangat penting. Demikian juga halnya dalam Anglo-Saxons; profesi hukum telah membangun suatu tipe bahasa hukum (a type of legal language) yang di antaranya berasal dari Old English. The AngloSaxon tidak hanya menggunakan Old English sebagai bahasa hukum, tetapi juga dari bahasa Latin. Bagaimana halnya dengan bahasa hukum Indonesia ? Bagaimana mengetahui hukum terikat pada bahasa, maka sebenarnya kita memasuki ruang kolaborasi interdisiplin antara hukum 2 berbagai macam interpretasi

dan ajaran kebahasaan yang saat ini sangat terbatas. Persoalan yang sama dan kita hadapi adalah bagaimana teks khusus yang tertulis dalam bahasa itu dapat dimengerti ? Artinya, selalu terdapat ruang interpretasi (room for interpretation) dan faktor-faktor lain yang menentukan bagaimana ruang ini diisi. Bahasa menuntut formulasi. Karena itu, suatu formulasi atau teks hukum harus dapat dipahami (comprehensible) dan pada saat yang sama tidak melahirkan salah pengertian (misunderstanding). Orang-orang yang tidak ahli di bidang hukum acap kali melontarkan kritik bahwa teks-teks hukum tidak dapat dipahami. Dalam banyak kasus, cukup mudah untuk mengapresiasi dasar kritisme tersebut. Di lain pihak, ahli-ahli hukum menyampaikan kebutuhan formulasiformulasi yang tidak bermakna ganda (unambiguous formulations), sehingga mengenai tidak profesi menyodorkan hukum, pada mereka untuk melakukan satu pihak reinterpretasi. Bahkan ada yang mengungkapkan terjadinya paradoks seperti lawyer, yang di merupakan pengguna bahasa paling fasih, sementara di pihak lain mereka adalah juga penyalahguna bahasa paling terkenal. Teks Hukum : Struktur dan Bahasa Teks hukum sangat berbeda dari ungkapan atau ucapan umum (ordinary speech).Sebagaimana juga diungkapkan oleh Cheryl Stephens (2003), linguists identify legalese as a distinctive dialect. Juga seperti pernyataan Peter M. Tiersma (1999), a legal text is something very different from ordinary speech, namun selannjuttnya diungkapkan dengan pertaanyaan, How does the language of the law differ from ordinary speech and writing ? Do this differences enhance clear and precise communication, as lawyers typically claim, or detract from it ?. Adanya perbedaan dengan ucapan-ucapan biasa atau umunya tersebut benar, khususnya menyangkut teks-teks hukum yaang otoritatif, yaitu yang menciptakan, memodifikasi, atau 3

menghapuskan

hak

dan

kewajiban

individu

atau

institusi.

Sebagaimana oleh Austin disebut dengan written performatives. Para lawyer sering menunjuk aturan tersebut sebagai aturan operatif atau dispositif. Teks-teks hukum tersebut muncul dalam berbagai macam (genre), yang meliputi dokumen-dokumen, seperti : Konstitusi; Kontrak/Perjanjian; Akta; Perda; Putusan Pengadilan; Pledoi (Pembelaan); Undang-undang. Masing-masing macam (genre) cenderung memiliki format stereotip sendiri, yang secara umum ditulis dalam bahasa hukum (legelese), dan biasanya mengandung satu atau lebih ungkapan hukum suatu perbuatan yang diartikan sesuai dengan fungsi yang dimaksudkan. Suatu kontrak/perjanjian misalnya, nyaris selalu mengandung satu atau lebih janji (promise). Adapun suatu peraturan perundang-undangan acap kali mengandung norma (kaidah), yang berisi perintah, larangan, atau kebolehan melakukan suatu perbuatan. Dalam area hukum publik (public law), perundang-undangan disusun dengan sangat textualized dan diundangkan melalui prosedur yang telah ditentukan. Di Indonesia melalui prosedur dan teknis sebagaimana diatur dalam UU P3 tersebut di atas. Gambaran yang paling menonjol dari struktur teks-teks hukum adalah sangat tersusun (highly formulaic) atau stereotipis. Sejumlah teks dapat sangat terinci (detail) dalam kerangka struktur, tetapi dokumen-dokumen hukum yang rutin cenderung mengikuti struktur yang ditentukan sebelumnya. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai struktur teks-teks hukum, namun lebih memfokuskan pada bahasa. Struktur teks-teks hukum akan dibahas dalam bagian 4

perumusan norma-norma hukum. Secara yuridis, hal ini sudah diatur dalam UU P3, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44-nya, yaitu yang mengatur soal teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Sifat Bahasa Hukum Bahasa hukum, yang secara luas diuraikan sebagai bahasa dari profesi hukum (legal profession), telah menjadi objek dari pelbagai studi, yang sebagian besar dimaksudkan untuk membantu, sehingga lebih dapat dimengerti oleh warga masyarakat biasa yang hidup dan nasibnya dapat dipengaruhi oleh teks-teks itu. Banyak ungkapanungkapan buruk yang digunakan untuk menggambarkan bahasa hukum, di antaranya panjang lebar, tidak jelas, muluk (angkuh), dan sebagainya. Lebih spesifik lagi, literatur-literatur bahasa hukum itu sendiri menyatakan bahwa bahasa hukum berbeda dari ucapanucapan biasa/umum, di antaranya menyangkut terminologinya yang teknis. Kenyataannya, dalam teks-teks hukum yang otoritatif tidak semuanya mengandung gambaran sebagaimana bahasa hukum di atas. Namun, memang sebagian besar dokumen-dokumen hukum masih menggunakan teks-teks yang berbahasa hukum itu. Sebagaimana disinggung di atas bahwa bahasa hukum adalah bahasanya para lawyer karena fakta menunjukkan bahwa orang awam tetap bergantung pada para lawyer untuk menciptakan dan mentranslasikan teks-teks hukum, sehingga membuat sulit bagi para lawyer itu untuk menolak perbedaan bahasa mereka dari bahasa umum. Para lawyer berusaha untuk membangun kebiasaan-kebiasaan khusus kebahasaan yang memiiliki sedikit fungsi komunikasi, dan memberi tanda pada mereka sebagai anggota kelompok (komunitas) hukum. Berdasarkan hasil studi mengenai bahasa hukum, kebiasaan yang kemudian menjadi sifat bahasa hukum itu di antaranya : 1. Kalimat-kalimat yang kompleks

Berbagai studi menunjukkan bahwa kalimat-kalimat dalam bahasa hukum nyaris sedikit lebih panjang dibandingkan dengan pola-pola untuk berbahasa lainnya, suatu dan prinsip lebih lekat, sehingga membuatnya lebih kompleks. Terkadang terkesan ada usaha menyatakan peraturan perundangundangan dalam satu kalimat tunggal. 2. Kalimat panjang lebar dan berlebihan Para lawyer sangat suka menggunakan frasa-frasa yang panjang dan cenderung berlebihan, sehingga terkadang disebut boilerplate. Di lain pihak, kadang-kadang bahasa hukum tidak secara berlebihan menggunakan kalimat panjang lebar, namun sangat padat (compact) atau penuh. 3. Mengandung beberapa frasa yang dihubungakan Frasa ini mengandung kata-kata seperti dan/atau. Frasa-frasa seperti ini masih sangat umum dalam bahasa hukum. Struktur kalimat seperti itu dapat membawa pada ambiguitas, lebih-lebih dikaitkan dengan aturan interpretasi, dimana tiap kata membutuhkan pengertian. 4. Struktur kalimat yang tidak lazim Para lawyer acap kali membuat struktur kalimat yang tidak lazim. Sering kali struktur yang tidak lazim itu berakibat memisahkan subjek dari kata kerjanya, atau memisahkan kata kerja yang kompleks, sehingga mereduksi pemahaman terhadap kalimat tersebut. 5. Peniadaan (Negasi) Bahasa hukum tampaknya menggunakan jumlah peniadaan (negasi) yang banyak sekali. Penelitian mengungkapkan bahwa negasi yang berganda khususnya, mengganggu komunikasi dan harus dihindari.

Berdasarkan gaya tulisan-tulisan hukum yang tidak berfungsi komunikatif, sehingga mereduksi pengertian, maka kemudian muncul upaya untuk menemukan suatu bahasa hukum yang berbeda, yakni bahasa hukum yang dapat dikomunikasikan secara sangat tepat (precise communication). Di antara cara-cara untuk memperkenalkan bahasa hukum yang jelas dan menciptakan komunikasi adalah yang ringkas/singkat (concise communication) melalui

perbendaharaan kata hukum khusus (specific legal vocabulary), yang secara terminologis sering disebut dengan leksikon hukum. Leksikon hukum tersebut pada umumnya memiliki karakter : 1. Kosa kata kuno (legal archaisms); Kritik umum terhadap perbendaharaan hukum adalah penuh dengan sisi kuno, termasuk morfologi (ilmu mengenai bentuk kata) lama. Kosa kata tersebut dipertahankan karena dianggap lebih tepat dibandingkan dengan bahasa umum (ordinary language). 2. Kreativitas linguistik; Kendati bahasa hukum sebagian sangat kuno, sebagian besar istilah-istilah hukum lainnya satu demi satu mati, sehingga menjadi tidak terpakai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa leksikon hukum sangat inovatif, seperti munculnya istilah zona, korporasi. Kendati istilah-istilah tersebut membingungkan orang-orang awam, namun dapat meningkatkan komunikasi dalam profesi dengan tetap menyimpan kesenjangan leksikal yang ada dalam bahasa umum. Namun, bagaimanapun juga beberapa istilah memberi kemampuan pada hukum untuk berhubungan dengan upaya pembangunan hukum. Penilaian yang dikemukakan sehubungan dengan hal ini adalah bahwa bahasa hukum bukan konservatif yang tanpa harapan, juga bukan sangat inovatif. Seringkali terdapat alasan untuk tetap menggunakan kosa-kosa kata lama atau terjadi keengganan untuk

mengubah maknanya.

karena

kekhawatiran

translasinya

mempengaruhi

3. Terminologinya formal dan ritualistis Leksikon hukum juga mengandung kata atau frase yang ritualistis dan formal. Salah satu fungsinya adalah untuk menegaskan bahwa bekerjanya hukum berbeda dari kehidupan pada umumnya. Jika distingsi kosa-kosa kata hukum itu meningkatkan komunikasi, pasti merupakan istilah-istilah teknis (technical terms) atau terms of art, yang digunakan dalam ruang profesi tertentu. Karena konsep bahwa bahasa hukum, baik leksikonnya maupun kalimat-kalimat-nya, maka kemudian memunculkan konsep yang berbeda dalam soal interpretasi dan pemaknaan dibandingkan dengan interpretasi atau pemaknaan dalam bahasa umum. Satu dari sekian banyak observasi mengenai interpretasi hukum adalah kecenderungan dari sebagian besar hakim dan lawyer akontekstual. Sebagaimana diungkapkan oleh Peter M. Tiersma (1999) bahwa anggota masyarakat kecewa dengan bahasa hukum yang menyebabkan problem-problem dalam pemahaman, khususnya bagi orang-orang awam. Artinya, kosa-kosa kata teknis, kata-kata yang kuno dan tidak lazim, konstruksi-konstruksi yang impersonal, penegasian yang multiple, kalimat yang kompleks dan panjang, adalah merupakan problem. Dalam konteks itulah di Inggris misalnnya muncul usaha-usaha untuk mereformasi bahasa hukum. Hal ini bisa melalui penyederhanaan/simplifikasi (menjadikan bahasanya para lawyer itu seperti bahasa biasa) atau melalui translasi (meninggalkan secara esensi bahasa hukum, dengan memberi translasi yang lebih baik bagi publik dalam bentuk bahasa biasa, ketika dibutuhkan). Dengan reformasi tersebut teks-teks hukum menjadi dapat diakses, baik oleh profesi hukum maupun publik. Hal tersebut juga dilakukan di Australia, 8 menginterpretasi teks-teks hukum relatif secara harfiah (literal) dan menggunakan cara-cara

pembentuk undang-undang melakukan eksperimen terhadap struktur undang-undang, yaitu dengan menambah flow charts dan contohcontoh untuk membantu pembaca mengerti isi undang-undang tersebut. Sebagaimana di singgung di atas bahwa aspek bahasa dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya menyangkut dapat-tidaknya teks-teks itu dimengerti oleh publik, namun juga menyangkut persoalan interpretasi. Oleh karena tulisan itu sifatnya relatif permanen, maka pembentuk peraturan perundangundangan dapat menciptakan teks-teks yang mungkin harus dapat diinterpretasikan beberapa tahun mendatang yang saat ini tidak diketahui publik. Idealnya, minimal pembaca yang berpendidikan hukum, dapat menginterpretasikan teks tanpa bantuan informasi lain, kendati beberapa tahun kemudian. Ragam Bahasa Perundang-undangan Berdasarkan UU P3 Dalam terpisahkan Lampiran dari UU UU P3, P3 yang merupakan bagian tak

telah

dikemukakan

petunjuk

teknis

penyusunan peraturan perundang-undangan. Khususnya dalam Bab III, mulai angka 205 sampai dengan 247 diatur mengenai ragam bahasa peraturan perundang-undangan. Pada angka 205 Lampiran tersebut dikemukakan bahwa ...namun demikian bahasa peraturan perundangundangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum. Ini menunjukkan bahwa pembentuk UU P3 itu sendiri berpendirian bahwa bahasa peraturan perundang-undangan adalah different from ordinary speech, setidaknya dapat dipahami dari frase corak tersendiri, kendati disyaratkan berciri : kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum. 9

Sebenarnya ungkapan bahwa bahasa peraturan perundangundangan mempunyai corak tersendiri tidak perlu diketengahkan, sehingga tidak terkesan terjadi contradictio interminis dengan ciri sebagaimana dirinci dalam angka 205 itu juga. Lebih dari itu, menjadi terkesan ada kontradiksi dengan petunjuk pada angka 206 Lampiran UU P3 yang menegaskan bahwa Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan digunakan kalimat yanng tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti. Demikian pula jika dihadapkan dengan petunjuk tersebut pada angka 207 dan 208 Lampiran UU P3. 207. Hindarkan penggunaan kata atau frase yang artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas. 208. Dalam merumuskan ketentuan peraturan perundangundangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku. Meminjam ungkapan David Kelly berdasarkan catatan Plain Language Association International (2003), bahwa pernyataanpernyataann seperti itu menunjukkan the different between plain language.... and the drafting style... Karena itu, petunjuk teknis, khususnya mengenai ragam bahasa perundang-undangan sebagaimana Lampiran UU P3, bagaimanapun juga harus dipahami sebagai kerangka pembentukan bahasa perundang-undangan yang mengandung plain language. Frase plain language dalam kajiankajian kebahasaan bidang hukum diketengahkan sebagai upaya untuk menmbongkar bahasa hukum yang dianggap menyimpan problemproblem komunikasi. Menurut CLIC Plain Language Centre, Plain language is language simplified to make it readily understandable by the average person. It is language stripped of unnecessary complexity, but not stripped of style. It is perhaps language at the lowest common denominator. It is reader-focused language. Plain language dibedakan dari Clarified or simplified language, yang berarti

10

language that has been worked on to improve its understandability, but retains technical term (terms of art), if necessary. Seberapa realistiskah pernyataan-pernyataan mengenai plain language, khususnya ketika diterapkan pada peraturan perundangundangan ? Keberhasilan komunikasi atas isi peraturan perundangundangan bergantung pada dua faktor. Pertama, kemampuan memahami dari individu penerima pesan (rumusan norma). Kedua, kompleksitas intrinsik dan karakteristik lain dari pokok masalah pesan. Jadi sebagai suatu proses, komunikasi bergantung pada pertemuan antara pengalaman linguistik pengirim dan penerima pesan. Tentu berbeda pemahaman antara istilah yang dapat diacu pada benda nyata (konkret) dibandingkan dengan istilah yag lebih mengacu pada pengertian (tidak pada benda). Kata-kata yang tidak megacu pada benda, antara lain : korupsi, otonomi, partisipasi, demokrasi, dan sebagainya. (lihat Fatimah Djajasudarma, 1999) Dalam konteks penggunaan kata atau istilah seperti itu, sangat potensial menimbulkan ketidakpahaman publik, sehingga perlu pendefinisian untuk mengimprovisasi pemahaman. Definisi yaang dimaksud adalah nama yang diberi keterangan singkat dan jelas di bidang tertentu atau pembatasann tentang suatu fakta, peristiwa atau kejadian dan proses. (Fatimah Djajasudarma, 1999)

11

You might also like