You are on page 1of 51

1

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PAI BERBASIS KARAKTER


UNTUK SISWA CERDAS ISTIMEWA TINGKAT SMA

DENGAN MODEL R2D2

Laporan Hasil Penelitian

Oleh: 1. Drs. Nasrun AR, M. Pd.I 2. Dra. Zainah Bafadhal, M. Pd.I

Kepada: PUSAT PENELITIAN IAIN SLTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2011

2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah UUD 1945 pasal 31 menyebutkan bahwa Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ayat ini mengandung amanat kepada penyelenggara negara untuk menyelenggarakan pendidikan untuk rakyatnya dan sebaliknya memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga negara. Makna yang tersirat dari ayat ini adalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Hakikat dari pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan adalah mengusahakan suatu lingkungan di mana semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mewujudkan potensi anak secara optimal. Ini berarti pendidikan harus disesuaikan dengan bakat dan kemampuan anak didik. Implikasi dari UUD 1945 ayat 31 tersebut adalah negara harus memberi pelayanan pendidikan secara khusus untuk warga negara yang memiliki kekhususan, baik dalam kecerdasan bakat dan kondisi fisik/mental. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 4 tertulis warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Secara eksplisit peruntukan pendidikan khusus juga ditulis dalam pasal 32 ayat 1 undang-undang tersebut. Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Undang-undang ini telah mengamanatkan untuk melakukan identifikasi anak yang memiliki potensi cerdas istimewa dan menyelenggarakan pendidikan yang berbeda dengan pendidikan umumnya sesuai dengan potensi kecerdasan yang istimewa tersebut. Istilah potensi sebagaimana tertulis dalam UU Nomor 20/2003 tersebut bermakna sesuatu yang laten, belum aktual, sehingga perlu langkah identifikasi kecerdasan istimewa. Anak Cerdas Istimewa adalah kelompok peserta didik yang memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan kelompok siswa umumnya. Istilah Cerdas Istimewa merupakan adopsi dari istilah gifted (Semiawan, 1997). Metode identifikasi kemampuan anak cerdas istimewa mengalami perkembangan hingga akhirnya terdapat banyak metode identifikasi cerdas istimewa. Pada mulanya Cerdas Istimewa diidentifikasi dengan skor IQ >130. Metode identifikasi Cerdas Istimewa berdasarkan skor IQ banyak ditentang para ahli. Metode yang terkenal dan dipakai secara luas adalah identifikasi karakteristik anak Cerdas Istimewa yang diperkenalkan oleh

3 Renzulli (1978, 2005) dengan nama The Three Ring Interaction. Renzulli menuliskan karakteristik anak Cerdas Istimewa mencakup tiga hal yakni: skor IQ di atas rata-rata atau >125, kreativitas tinggi, dan komitmen terhadap tugas tinggi. Selain model Renzulli juga ada model identifikasi anak Cerdas Istimewa yang lain, misalnya model Gagne. Model ini kurang diterima secara luas karena terdapat pembauran antara karakter Cerdas Istimewa dengan Berbakat Istimewa. Amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas, serta konsepsi layanan pendidikan khusus untuk anak yang memiliki potensi Cerdas Istimewa sebagaimana tinjauan psikologi, pada tataran operasional belum optimal diberikan. Strategi pendidikan yang ditempuh selama ini masih bersifat masal, yaitu memberikan perlakuan standar/rata-rata kepada semua peserta didik. Secara kelembagaan memang sudah ada layanan pendidikan untuk anak Cerdas Istimewa berupa kelas akselerasi atau percepatan waktu tempuh pembelajaran, namun apabila ditilik lebih jauh pelaksanaan pembelajaran di dalamnya tidak berbeda dengan kelas reguler. Perbedaan yang nyata hanyalah waktu tempuh pembelajaran yang lebih pendek. Pelayanan pendidikan semestinya tidak terbatas sampai pada pelembagaan saja. Pelayanan pembelajaran semestinya juga hingga penerapan teknologi pembelajaran/pendidikan yang khusus sesuai dengan karakteristik Cerdas Istimewa. Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa anak Cerdas Istimewa perlu mendapat layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristiknya. Martinson (1974) dikutip oleh Widiastomo (2005) menuliskan anak Cerdas Istimewa yang memiliki kekhususan diantaranya: skeptis, lekas bosan, memaksakan keinginan, mudah tersinggung akan kritik, kurang sabar, membutuhkan dukungan, kurang mampu menyesuaikan diri, suka tantangan dan malas dengan perulangan. Senada dengan Martinson (1974), penelitian Widiastomo (2005) juga menemukan dampak negatif anak Cerdas Istimewa yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai karakternya. Anak ini menjadi suka mengganggu temannya, karena sudah lebih cepat menangkap materi pembelajaran sehingga waktu yang tersisa untuk aktivitas yang tidak berguna. Dampak paling ekstrim anak Cerdas Istimewa ini akan menjadi anak yang berprestasi di bawah potensi yang dimilikinya/underachiever. Depdiknas sebagai lembaga pemerintah penyelenggara pendidikan bagi warga negara termasuk bagi anak Cerdas Istimewa telah mengakui masih buruknya layanan pendidikan untuk anak Cerdas Istimewa. Hasil penelitian Depdiknas (2007) menemukan dua hal pembelajaran yang kurang memenuhi karakteristik Cerdas Istimewa, yakni: 1)

4 belum terciptanya lingkungan belajar yang menantang, dan 2) model dan metode pembelajaran yang belum kondusif dengan karakteristik Cerdas Istimewa. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 menyatakan bahwa kurikulum dalam setiap pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan: 1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, 2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, 3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan dan perubahan global. Pendidikan diharapkan dapat mengembangkan sikap dan perilaku anak yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepribadian (religius, demokratis, jujur), nilai-nilai keilmuan, dan nilainilai kemasyarakatan. Pelaksanaan pendididikan di sekolah selama ini dianggap masih jauh dari idealisme di atas. Buchori (1992) dalam Sutiah (2008) menilai pendidikan masih gagal. Kegagalan ini disebabkan praktik pendidikan masih menekankan aspek kognitif daripada perkembangan psikomotor dan perkembangan sikap. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan karya produktif, inovatif, dan mentalitas anak bangsa. Pendidikan sains khususnya masih belum berhasil bila dilihat dari parameter pengembangan anak yang produktif, inovatif, dan kreatif. Praktik pendidikan masih menekankan kemampuan kognitif, yaitu: pengetahuan, dan hafalan konsep dan teori . Kegiatan pembelajaran praktik fenomena dan konstruksi pengetahuan secara mandiri kurang ditekankan. Apalagi pembelajaran yang menumbuhkan budaya penelitian dan menghasilkan karya inovatif belum diterapkan. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pembelajaran , karena adalah ilmu tentang fenomena alam dalam ranah fisik. Pembelajaran harus bermula dari eksplorasi fenomena, memahami fenomena alam, dan dengan pemehaman tersebut mampu merekayasa fenomena alam menjadi kemanfaatan bagi umat manusia. Selain kondisi pembelajaran secara umum kurang tepat secara metodologis filosofis sebagaimana di uraikan di atas, guru semestinya memperhatikan perkembangan lingkungan pendidikan. Penerapan ilmu telah melahirkan perkembangan teknologi yang luar biasa pesat. Produk dan konsep keilmuan baru lahir secara eskalatif. Sementara pendidikan di sekolah masih menghafal teks, belum mengeksplorasi perkembangan teknologi dan ikut berpartisipasi mengembangngkan teknologi. Baru pada tahun 2009 pemerintah merangsang budaya riset produktif inovatif berbasis pembelajaran sains dalam bentuk olimpiade penelitian. Sebuah upaya pendidikan yang responsif sekaligus kontributif terhadap perkembangan teknologi.

5 Sesuai dengan tantangan dan tuntutan pendidikan seperti telah diungkapkan di atas, seharusnya pembelajaran lebih ditekankan pada pemberian kesempatan kepada anak untuk membangun pengetahuan dan kebiasaan berfikir tingkat tinggi. Khusus untuk siswa cerdas istimewa, pembelajaran yang membangun pengetahuan dan berfikir tingkat tinggi adalah mutlak diselenggarakan karena siswa tersebut memiliki potensi kecerdasan yang lebih dari siswa reguler. Kelebihan ini lah yang menjadi dasar perlunya pemberian layanan yang lebih untuk mengembangkan kelebihan potensinya. Tinjauan filsafat keilmuan adalah memahami fenomena fisik dari alam semesta, maka pembelajaran haruslah bermula dari observasi fenomena, deskripsi fenomena, relasi berbagai fenomena, dan rekayasa fenomena. Dengan demikian pembelajaran berada pada konteksnya, bukan pada konsep atau teori. Konsep atau teori diperoleh dari pemahaman akan fenomena. Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran dengan demikian tepat untuk diterapkan. Pendekatan kontekstual berfokus pada upaya menciptakan kondisi pembelajaran yang membuat siswa menemukan makna dalam belajar, dengan diberikan materi yang dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Komponen utama pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning)/CTL meliputi konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian otentik. Metode pembelajaran dalam terminologi teknologi pendidikan meliputi materi, matode, media (Reigeluth, 1983 dalam Degeng 1989). Metode sangat berperan dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Penerapan metode mestilah disesuaikan dengan kondisi pembelajaran (Dick&Carey, 1985). Kondisi pembelajaran meliputi kondisi siswa, kondisi lingkungan pendukung, dan kondisi materi pembelajaran. Dengan demikian penyediaan metode pembelajaran pertama harus disesuaikan dengan karakteristik siswa yang dibelajarkan. Dalam konteks penelitian ini penyediaan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik Cerdas Istimewa menjadi kebutuhan. Berdasarkan pengamatan terlibat (sebagai guru siswa akselerasi) maupun tidak terlibat, penulis menemukan fakta bahwa guru belum menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik Cerdas Istimewa. Meskipun buku teks yang didesain oleh penerbit sudah mendekati model bahan ajar, buku tersebut masih mengikuti karakteristik siswa umum/reguler. Penelitian mengenai ketersediaan bahan ajar dan kondisi pembelajaran untuk siswa cerdas istimewa dilakukan di tiga SMA di Propinsi Jambi, yakni SMAN 1 Kota Jambi, SMAN 3 Kota Jambi, dan SMA Titian Teras Kabupaten Muaro Jambi. Setelah melakukan studi pendahuluan dengan melakukan observasi ke sekolah, wawancara dengan

6 guru dan siswa, serta menyebarkan angket kebutuhan pembelajaran untuk siswa cerdas istimewa, diperoleh gambaran kondisi pembelajaran terutama keadaan bahan ajar yang digunakan. Penulis menemukan bahan ajar yang digunakan oleh guru di sekolah penyelenggara layanan pendidikan siswa cerdas istimewa tingkat SMA di Propinsi Jambi adalah buku teks yang diterbitkan oleh berbagai penerbit. Selain buku teks juga terdapat Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk kegiatan praktikum di laboratorium. Penulis juga mendapatkan modul belajar yang disusun oleh guru bidang studi. Modul tersebut berisi ringkasan materi dan soal-soal permasalahan . Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa bahan ajar yang digunakan untuk melayani siswa cerdas istimewa tersebut belum berbeda atau belum terdifferensiasi dari bahan ajar untuk siswa reguler. Wawancara pendahuluan dengan guru SMAN 1 pada tanggal 5 Januari 2011, menghasilkan data kondisi pembelajaran siswa cerdas istimewa, Bahan ajar yang merangsang siswa cerdas istimewa untuk belajar mandiri dan tidak tergantung pada guru belum saya temukan. Mungkin diperlukan bahan ajar seperti modul sehingga anak lebih mandiri. Selanjutnya Suwanto merinci beberapa kelemahan buku ajar yang telah digunakan untuk siswa cerdas istimewa: 1) materi yang disajikan dalam buku ajar yang digunakan belum merangsang siswa untuk mengkonstruksi hasil belajar secara individu, 2) tidak ada materi yang disajikan dalam bentuk proyek untuk kreasi inovatif siswa, 3) materi kurang dikontekskan dengan kehidupan, 4) tidak ada kegiatan belajar yang reflektif dan mampu menilai kemampuan diri. Guru siswa cerdas istimewa SMA TitianTeras, pada tanggal 10 Januari 2011 mengatakan, buku ajar yang digunakan untuk siswa cerdas istimewa sama dengan buku ajar untuk siswa reguler sehingga tingkat kesulitannya kurang menantang. Perlu dikembangkan buku ajar/modul khusus untuk siswa cerdas istimewa sehingga ada tantangan baru yang diperoleh siswa. Selanjutnya Burhani memberikan daftar kelemahan buku ajar siswa cerdas istimewa yang telah diselenggarakannya: 1) materi yang disajikan dalam buku ajar yang digunakan belum merangsang siswa untuk mengkonstruksi hasil belajar secara individu, 2) penyajian materi dalam buku ajar kurang integratif antara pembelajaran kognisi, psikomotor, dan afeksi, 3) tidak ada materi yang disajikan untuk melakukan penemuan/penelitian, 3) tidak ada buku yang menyediakan sarana penilaian otentik dalam mengukur hasil belajar, 4) materi kurang dikontekskan dengan kehidupan, 5) tidak ada kegiatan belajar yang reflektif dan mampu menilai kemampuan diri.

7 Guru siswa cerdas istimewa SMAN 3 Kota Jambi, pada tanggal 5 Januari 2011 mengatakan, buku ajar untuk siswa cerdas istimewa kurang mengasah kreatifitas. Padahal kreatifitas adalah salah satu karakteristik siswa cerdas istimewa. Bahan ajar yang merangsang kreatifitas perlu dikembangkan. Adapun kelemahan buku ajar yang selama ini telah digunakan disampaikannya sebagai berikut: 1) materi yang disajikan dalam buku ajar yang digunakan belum merangsang siswa untuk mengkonstruksi hasil belajar secara individu, 2) tidak ada materi yang disajikan dalam bentuk proyek untuk kreasi inovatif siswa, 3) materi belum mengasah aspek afektif, kognitif, dan psikomotor tingkat tinggi, 4) penyajian materi dalam buku ajar kurang integratif antara pembelajaran kognisi, psikomotor, dan afeksi, 4) uraian materi tidak merangsang untuk bertanya dan berpikir kritis, 5) tidak ada materi yang disajikan untuk melakukan penemuan/penelitian, 6) tidak ada kegiatan belajar yang reflektif dan mampu menilai kemampuan diri. Kondisi ketersediaan bahan ajar sebagaimana terungkap di atas sepadan dengan pendapat Supriyanto (2006) mengenai penggunaan kurikulum yang memuat dan menerapkan standar ketuntasan/standar isi/standar kompetensi sebagai threshold atau batas ambang bawah/minimal. Menurutnya, penerapan kurikulum reguler dengan batas ambang bawah seperti ini janggal karena siswa Cerdas Istimewa memiliki potensi kecerdasan di atas siswa reguler. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Joyce Van Tassel-Baska (2006), berhasil mengidentifikasi permasalahan-permasalahan penyelenggaraan pembelajaran siswa cerdas istimewa. Permasalahan differensiasi kurikulum terutama differensiasi materi yang tersaji dalam bahan ajar berada pada kelompok permasalahan level pertama. Berkenaan kondisi pembelajaran, angket yang disebar kepada responden di tiga SMA tersebut di atas memberikan gambaran kondisi pembelajaran siswa cerdas istimewa sebagai berikut: 1) strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru atau yang disarankan oleh buku kurang efektif dan kurang menarik bagi siswa cerdas istimewa, 2) interaksi pembelajaran masih rendah, 3) pembelajaran tidak merangsang kreatifitas dan komitmen pada tugas, 4) jumlah jam belajar kurang relatif terhadap beban kompetensi, 5) buku ajar yang sesuai dengan karakter siswa cerdas istimewa sulit ditemukan, 6) pembelajaran bagi siswa cerdas istimewa belum menyentuh level kognisi tinggi. Dari keenam temuan kondisi pembelajaran di atas poin 5) dan 6) adalah kondisi yang ada di ketiga SMA itu. Temuan kondisi pembelajaran siswa cerdas istimewa sebagaimana terungkap di atas memberikan gambaran bahwa tidak terjadi differensiasi kurikulum bagi siswa dimaksud. Pendidikan anak Cerdas Istimewa membutuhkan kurikulum berdifferensiasi, yakni kurikulum yang memberikan tugas dan kegiatan belajar yang berbeda dari anak-anak

8 seusianya. Differensiasi kurikulum mencakup elemen: materi, proses, produk, dan lingkungan belajar (Davis&Rimm, 1998). Differensiasi materi belum disajikan dengan memperhatikan karakteristik berpikir tingkat tinggi (high order thinking), kreatif, dan menantang. Materi pembelajaran yang disajikan masih sama dengan materi reguler. Padahal sudah semestinya guru memiliki bahan ajar yang memuat differensiasi materi. Salah satu upaya differensiasi materi adalah dengan kegiatan pengayaan dan penanjakan. Level pembelajaran berdasarkan taksonomi ranah kognitif ala Bloom (1956) terbagi menjadi 6 tingkatan, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Menurut Anderson&Krathwohl (2003) tingkat pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi adalah golongan aktivitas berpikir tingkat rendah. Sedangkan analisis, evaluasi, dan kreasi adalah golongan aktivitas berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Berkenaan dengan level kognitif pembelajaran tersebut, pendidikan di Indonesia sebagian besar (96%) hanya mampu mencapai level pengetahuan sampai aplikasi, 4-5% mencapai level analisis, dan sama sekali tidak mampu mencapai level lebih tinggi (Data Bank Dunia dikutip oleh Asyhar, 2009). Metode pembelajaran untuk siswa cerdas istimewa semestinya juga berbeda dari metode yang diterapkan kepada siswa reguler. Kegiatan pembelajaran untuk siswa cerdas istimewa difokuskan pada upaya pengaktifan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Davis&Rimm (1998) mengatakan upaya pengaktifan berpikir tingkat tinggi dilakukan dengan rekayasa metode pembelajaran (metode, materi, media). Metode pembelajaran didesain untuk menyajikan materi sehingga siswa aktif berbuat seperti mengobservasi, mempraktikkan, memecahkan masalah, melaporkan/ mengkomunikasikan perolehan belajarnya. Tampak bahwa tuntunan para ahli pembelajaran Cerdas Istimewa di atas sepadan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. Kontekstualisasi materi pembelajaran menghendaki setiap siswa membuat keterhubungan antara materi pembelajaran dengan fenomena nyata di kehidupan. Selain itu kontekstualisasi juga mengajarkan proses belajar secara inquiri yakni siswa menemukan hasil pembelajaran secara aktif. Berdasarkan pengamatan penulis, kontekstualisasi pembelajaran masih merupakan yang sulit dilakukan oleh guru. Guru masih kesulitan menerapkan kontekstualisasi pembelajaran. Padahal, pembelajaran adalah pembelajaran tentang objek dan fenomena alam. Sudah semestinya pembelajaran bermula dan berujung pada alam. bukanlah sekumpulan rumus yang mesti dihafalkan oleh siswa, kemudian siswa berlatih soal untuk menggunakan rumus tersebut. Rumus /hukum/dalil/konsep dalam diperoleh dari observasi

9 dan rasionalisasi sebuah objek dan fenomena alam. Contoh, hukum Newton diperoleh dari fenomena jatuhnya benda ke bumi. Dengan demikian pembelajaran hukum Newton seharusnya melibatkan observasi fenomena, dan bermuara pada rekayasa fenomena dengan memanfaatkan hukum Newton tersebut. Masalah kontekstualisasi yang berkaitan dengan keberadaan bahan ajar adalah bahan ajar yang tersedia belum mendorong terjadinya proses kontekstualisasi, berpikir tingkat tinggi, kreatif, dan menantang. Adalah kesalahan belajar adalah menghafal rumus dan memasukkan angka-angka ke dalam rumus belaka tanpa pemahaman yang tepat tentang fenomena sebenarnya yang didekati dengan rumus tersebut (Yohanes Surya, 2004). Model bahan pembelajaran yang akan disusun dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual dengan alasan kesesuaian dengan materi juga kesesuaian dengan karakteristik Cerdas Istimewa yang menuntut kontekstualisasi pembelajaran. Siswa Cerdas Istimewa memilki potensi berfikir tingkat tinggi, kreatifitas, dan suka tantangan. Tiga cerdas istimewari pokok Cerdas Istimewa ini menuntut penyelenggaraan pembelajaran yang khusus, termasuk penyediaan bahan ajar yang sesuai. B. Rumusan Masalah Dari hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan penulis, diperoleh temuan umum sebagai berikut: 1) belum tersedianya bahan ajar yang memenuhi karakteristik Cerdas Istimewa, 2) bahan ajar yang ada belum disusun sesuai komponen bahan ajar yang semestinya, 3) para guru mengalami kesulitan mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik Cerdas Istimewa, 4) guru juga mengalami kesulitan mendapatkan bahan ajar yang tepat untuk siswa Cerdas Istimewa, sehingga guru memakai bahan ajar komersial untuk siswa Cerdas Istimewa. 5) guru mengalami kesulitan kontekstualisasi materi pembelajaran , padahal mestilah dipelajari secara kontekstual. Bertolak dari latar belakang permasalahan yaitu ketidaktersediaan bahan ajar tersebut, dapatlah dirumuskan permasalahan pengembangan bahan ajar sebagai berikut: 1. Bagaimanakah wujud bahan ajar tingkat SMA yang berdasarkan karakteristik Cerdas Istimewa dengan pendekatan kontekstual? 2. Bagaimanakah tingkat kemenarikan, kemudahan penggunaan, dan efektifitas produk yang dibuat? C. Tujuan Pengembangan Tujuan pengembangan bahan ajar mata pelajaran tingkat SMA yang berdasarkan karakteristik Cerdas Istimewa dengan pendekatan kontekstual adalah:

10 1. Menghasilkan produk pengembangan berupa modul SMA kelas X semester genap pada materi pokok listrik dinamis. 2. Menghasilkan modul yang dapat meningkatkan keefektifan, kemudahan penggunaan, dan kemenarikan pembelajaran. D. Spesifikasi Produk yang Diharapkan Produk pengembangan yang dihasilkan berupa bahan ajar dengan spesifikasi sebagai berikut: 1. Materi pembelajaran yang termuat dalam bahan ajar hasil pengembangan dimungkinkan tersaji dengan menggunakan lebih dari satu media, disesuaikan dengan karakteristik pesan pembelajaran. Bahan ajar berisi materi, ilustrasi, petunjuk penggunaan media pembelajaran praktik dan proyek berkenaan dengan materi pokok listrik dinamis. 2. Penyajian pesan pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual, maksudnya: semua pesan fisik dikontekskan dengan lingkungan pembelajaran. Tujuh komponen pembelajaran kontekstual ala Clifford & Wilson (2000) meliputi konstruktivisme, bertanya, menemukan, refleksi, masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian otentik disajikan pada bahan ajar ini. 3. Hasil belajar yang hendak diperoleh adalah tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam kurikulum pembelajaran (KTSP 2006) serta penanjakan kompetensi berdasarkan karakteristik Cerdas Istimewa oleh Renzulli (1975, 2005) yakni: a) kemampuan berfikir tingkat tinggi, b) kemampuan kreatif, c) komitmen pada tugas. E. Pentingnya Pengembangan Arti penting pengembangan bahan ajar ini adalah mengatasi kesenjangan antara kondisi ideal dengan kondisi real. Kondisi ideal yang dimaksud adalah tersedianya bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik Cerdas Istimewa untuk penyelenggaraan pembelajaran siswa Cerdas Istimewa. Sedangkan kondisi real yang terjadi adalah belum tersedianya bahan ajar yang didesain dan dikembangkan berdasarkan karakteristik/kondisi siswa Cerdas Istimewa. Bahan ajar hasil pengembangan ini diharapkan bermanfaat untuk mengatasi masalah ketiadaan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik anak Cerdas Istimewa, kesulitan guru mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik anak Cerdas Istimewa, dan memperkaya khasanah keilmuan /pembelajaran .

11 Bahan ajar produk pengembangan ini diharapkan menjadi sumbangsih bagi tercapainya amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS khususnya pemerataan kesem[patan memperoleh pendidikan sesuai dengan karakteristik, potensi, dan kemampuan peserta didik. Peserta didik dengan karakteristik cerdas istimewa akan memperoleh bahan ajar yang sesuai dengan keberadaannya.

BAB II KAJIAN TEORETIK

12

A. Pembelajaran Pendidikan Agama di SMA 1. Karakteristik Pendidikan Agama di SMA Pendidikan Agama Islam di SMA merupakan kelanjutan dari PAI sebelumnya pada jenjang pendidikan dasar. PAI pada jenjang pendidikan dasar dimaksudkan untuk meningkatkan potensi spiritual peserta didik agar dapat mengenal dan mempembiasaanakan diri dalam menjalankan ajaran agama, sderta dapat memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan baik. Dengan demikian, PAI pada jenjang pendidikan dasar ini lebih diarahkan pada pembinaan sikap keberagaman dan pengembangan potensi spiritual siswa yang bersifat personal dan individual (kesalehan individual) yang secara langsung atau tidak langsung akan memilki dampak sosial. Pada jenjang pendidikan menengah di samping merupakan kelanjutan dari pendidikan sebelumnya, juga dimaksudkan untuk meningkatkan potensi spiritual peserta didik agar dapat mendakwahkan serta membudayakan ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Dengan perkataan lain, PAI di SMA lebih diarahkan pada pembinaan kesalehan individu dan sosial sekaligus. Dilihat secara kuantitatif, porsi pendidikan agama Islam di sekolah memang hanya dua jam pelajaran, dengan tuntutan pencapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran PAI di SMA: (1) mendeskripsikan ayat-ayat Al-Quran serta mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari, (2) menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari, (3) melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, (4) menerapkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari, dan (5) mendeskripsikan perkembangan tarikh Islam dan hikmahnya untuk kepentingan hidup sehari-hari (Kurikulum PAI SMA, 2004). Sungguh pun demikian, jika dilihat secara kualitatif pendidikan agama sebenarnya merupakan core atau inti kurikulum pendidikan di sekolah. Hal ini didasarkan atas falsafah Negara Pancasila, di mana core Pancasila adalah sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berisi ajaran bahwa: (1) warga Negara Indonesia harus beragama, (2) operasional penyelenggaraan Negara sesuai dengan ajaran agama (Tafsir, 2005). Hal ini sekaligus bermakna bahwa kebebasan beragama di dalam Negara Pancasila hanyalah bebas memilih agama bukan bebas untuk tidak beragama. Penyelenggaraan pendidikan di Negara Indonesia juga harus menjadikan ajaran atau nilai agama sebagai core-nya pendidikan.

13 Karena itu, terdapat perubahan paradigma pendidikan agama di sekolah sebagaimana terkandung dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU nomor 14 tahun 2005 tentang dosen dan guru (terutama pasal 7), bahwa pendidikan agama bukan hanya menjadi tugas guru agama saja, tetapi merupakan tugas bersama antara kepala sekolah, guru agama, guru umum, seluruh aparat sekolah, dan orang tua murid. Jika pendidikan agama merupakan tugas bersama, berarti pendidikan agama itu perlu atau bahkan harus dikembangkan menjadi budaya sekolah. Pendidikan Agama Islam di sekolah upaya yang terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berkahlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan Hadis melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, dan penggunaan pengalaman. Upaya tersebut perlu dibarengi tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat majemuk hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa. Pendidikan Agama Islam di SMA bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dapat melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan agama di SMA berfungsi untuk (1) pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik secara optimal, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga, (2) penanaman nilai-nilai ajaran Islam sebagai pedoman untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat, (3) penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam, (4) perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, (5) pencegahan peserta didik dari hal-hal negative budaya asing yang dihadapi sehari-hari, (6) pengajaran tentang pengetahuan ilmu keagamaan secara umum (alam nyata dan nirnyata), system dan fungsionalnya, (7) penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan agama kelembaga pendidikan yang lebih tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut, materi pelajaran pendidikan agama Islam meliputi aspek (1) Al-Quran dan Hadis, (2) keimanan (aqidah), (3) akhlak, (4) syariah.fiqih, dan (5) sejarah kebudayaan Islam untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesame manusia, makhluk lainnya, maupun dengan lingkungannya (hablum minallah wahablum minannas).

14 Pendekatan yang dikembangkan dalam pembelajaran pendidikan agama meliputi pendekatan (1) keimanan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk jagad ini, (2) pengalaman, memberikan kesempatan siswa untuk mempraktikkan dan merasakan hasil pengamalan ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan, (3) pempembiasaanaan, memberikan kesempatan peserta didik untuk berperilaku baik sesuai ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalha kehidupan, (4) rasional, usaha memberikan peranan pada rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan bahan ajar dalam materi pokok serta kaitannya dengan perilaku baik dan buruk dalam kehidupan duniawi, (5) emosional, upaya menggugah perasaan atau emosi peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai ajaran agama dan budaya bangsa, (6) fungsional, menyajikan semua materi pokok dan manfaatanya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, dan (7) keteladanan, menjadikan figur guru agama serta petugas sekolah lainnya maupun orang tua sebagai cermin manusia berkepribadian agama. Pendidikan agama pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia (UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penjelasan pasal 37). Untuk membentuknya diperlukan pengembangan ketiga dimensi secara berkelanjutan dan terpadu, yaitu Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral Action (Lickona, 1991). Pada tataran moral action, agar peserta didik kompeten (competence), memiliki kemauan (will), dan kepembiasaanaan (habit) dalam mewujudkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia tersebut, maka diperlukan pembinaan secara berkelanjutan dan terpadu baik di dalam keluarga, masyarakat maupun di antara para tenaga kependidikan di sekolah, termasuk juga terciptanya suasana religious di dalamnya, serta sosial control yang kuat. Hal ini disebabkan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia yang telah melekat pada diri peserta didik kadang-kadang pembiasaan pudar karena terkalahkan oleh hawa nafsu atau godaan-godaan setan, baik yang berupa jin, manusia, maupun budaya-budaya negaitf yang telah mengglobal dan berkembang di sekitarnya. Karena itu, pembiasaan jadi peserta didik pada suatu saat sudah kompeten dalam mewujudkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia, tetapi pada saat yang lain menjadi tidak kompeten lagi. Di dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW dinyatakan bahwa al-Iman yazid wa yanqush (iman itu bisa bertambah dan bias ajuga berkurang).

15 Atas dasar pemikiran tersebut, maka peningkatakan kualitas keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia siswa melalui pendidkan agama tersebut perlu memperoleh perhatian yang serius dari semua pihak, baik dari sekolah, keluarga maupun dari masyarakat. Apalagi jika masalah tersebut dihadapkan pada siswa usia SMA yang sedang memasuki masa pubertas atau masa remaja.

2. Karakteristik Siswa SMA Ditinjau dari tahap pertumbuhan berpikir, moral, dan kepercayaan eksistensial, siswa SMA berusia 15018 tahun, yang berarti pada tahap berpikir sistematis yang abstrak dan hipotesis (Piaget dalam Gunarso, 1990). Sedangkan dalam tahap pertumbuhan moralnya berada pada tahap sitetis konvensional, melakukan cara interaksi sosila baru, gambar diri baru (Fowler, 1995). Menurut para ahli psikologi, siswa SMA berada dalam masa remaja. Pubertas merupakan bagian dari masa remaja, tetapi ia tidak sinonim dengan remaja. Pubertas mengacu kepada perkembangan fisik dan seks, sedangkan remaja mengacu kepada keseluruhan aspek perkembangan. Para ahli mengemukakan ciri-ciri remaja antara lain: 1. Remaja adalah periode peralihan antara masa siswa ke masa dewasa. Remaja menunjukkan ciri-ciri fisik dan kejiwaan yang penting antara pubertas dan dewasa. Remaja juga mencakup pencarian kebebasan dalam emosi, sosial dan ekonomi. Periode ini adalah suatu saat individu menggunakan kemampuan untuk menerima dan memberi, untuk berkomunikasi dengan orang-orang lain dan mempercayai mereka serta untuk belajar mengenai apa yang merusak atau apa yang baik bagi dirinya sendiri dan orang-orang lain (Huelock, 1993). 2. Remaja kerap kali dilukiskan dengan sebutan setengah siswa setengah dewasa. Ia menunjukkan ciri-ciri positif dan negatif, dan kerap kali dalam bentuk campuran yang membingungkan. Remaja berjuang untuk memperoleh kebebasan tetapi bersama itu ia ingin memperoleh pijakan rasa aman, dan ia kerap kali menunjukkan rasa ingin tahu yang semakin dewasa terhadap dirinya sendiri dan lingkungan (Adams, 1976). 3. Dalam hal sikap remaja terhadap agama ada bermacam-macam, yaitu : ada yang percaya ikut-ikutan, percaya dengan kesadaran, pecaya tapi agak ragu-

16 ragu (bimbang), da nada yang tidak percaya sama sekali atau cenderung kepada atheis. Kecenderungan remaja untuk ikit aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan sebenarnya ada dan dapat dipupuk, asal lembaga-lembaga keagamaan itu dapat mengikutsertakan remaja dan mmeberi kedudukan yang pasti kepada mereka (Daradjat; 1976). Di sisi lain, saat ini remaja banyak dihadapkan pada lingkungan dan budaya yang bernuansa pragmatisme, yang mengajarkan bahwa yang benar dan baik ialah yang berguna, dan yang berguna itu biasanya lebih bernuansa fisik. Demikian pula mereka diliputi paham hedonism, yang mengajarkan bahwa yang benar ialah sesuatu yang menghasilkan kenikmatan, tugas manusia ialah menikmati hidup ini sebanyak-banyaknya dan seintensif-intesifnya. Ironisnya, yang ditemukan ialah bahwa kenikmatan tertinggi dan paling berkesan ialah kenikmatan seksual. Itulah sebabnya zaman ini dapat disaksikan hamper semua kegiatan hidup dan produk manusia diarahkan ke penikmatan seksual. Pergaulan seks bebas adalah dating dari paham ini. Kenyataan tersebut didukung oleh semaraknya acara hiburan TV yang sangat menggiurkan remaja, sehingga membuatnya merasa asyik dan hidupnya sehari-hari dikuasai oleh tayangan hiburan tersebut. Karena itu, mereka mudah sekali meninggalkan dan mengabaikan tugas-tugas dan kewajibannya untuk menyongsong dan mempersiapkan masa depannya. Ibadah kepada Allah dan belajar sungguh-sungguh yang menjadi tugas dan kewajibannya ditinggalkannya begitu saja karena terpengaruh budaya pragmatis dan hedonis yang selalu mengitarinya. Dari ciri-ciri remaja, baik yang bersifat umum maupun sikapnya terhadap agama tersebut, dapat dikatakan bahwa masa remaja termasuk masa yang rawan, terutama dari aspek perkembangan emosi, sosial, moralitas, dan keagamaannya. Fenomena semaraknya budaya materialis, pragmatis, dan hedonis yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari akan dapat menindas dan menghambat kemajuan moral spiritualnya. Bahkan kebebasan memilih dan menentukan sikap yang menjadi ciri remaja bias jadi diarahkan pada pilihan-pilhan yang dapat menjerumuskannya ke lembah kenistaan bila tanpa bimbingan yang signifikan dan control yang memadai. Karena itu masa remaja memerlukan perhatian yang serius dari semua pihak, terutama dari para guru, termasuk di dalamnya guru pendidikan agama Islam di SMA dalam rangka mengarahkan pilihan mereka kea rah yang positif dan melintasi berbagai macam deteriminisme yang dihadapinya.

17 Masa remaja merupakan periode peralihan antara masa siswa ke masa dewasa. Pada masa ini mereka berada dalam proses berusaha menjadi (to be), yang memiliki tiga sifat (attribute) yang saling berkaitan, yaitu kesadaran diri, kemauan bebas, dan daya cipta atau kreativitas. Kesadaran diri menuntunnya untuk memilih, kemampuan untuk memilih mendorongnya untuk mencipta. Ketiga sifat ini saling melengkapi dan saling memerlukan dalam suatu cara yang terpadu. Di dalam proses menjadi tersebut mereka dilingkup oleh berbagai determinisme yang cenderung meremehkan dan mengabaikan kebebasan memilih dan kesadaran diri, yaitu: historisme, sosiologisme, dan biologisme (Syariati, 1982). Historisme melihat manusia sebagai produk sejarah, dan sejarahlah yang membuat manusia menetukan apa yang harus ditempuhnya, bagaimana manusia harus mengarahkan hidupnya, serta mengapa seseorang memeluk agama tertentu dan seterusnya. Dengan demikian, sejarah dipandang sebagai determinan yang membentuk pola-pola spirit seseorang. Sosiologisme berpandangan bahwa manusia mengambil semua ciri-ciri dari masyarakatnya, yang berimplikasi pada hilangnya tanggung jawab seseorang atastindakannya yang baik maupun yang buruk, karena lingkungan sosial dipandang sangat menentukan tindakan dan watak seseorang. Sosiologisme juga menyatakan bahwa seseorang harus beragama atau tidak, thesis atau atheis, bukan disebabkan ia dapat memilih salah satu, tetapi karena dua macam faktor sosial yang berlainan yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian, sistem sosial merupakan faktor determinan dalam mempola perilaku seseorang. Sedangkan biologisme mendefinisikan manusia dalam ukuran-ukuran

determinisme biologis, yang berpandangan bahwa manusia merupakan komposisi dari organ-organ yang kompleks dan maju yang menentukan watak fisiologis dan psikologisnya. Ungkapan bahwa orang kurus adalah sensitif dan orang gemuk adalah lembut, menunjukkan pengaruh factor-faktor biologis yang determinisitik pada watak manusia. Ia tidak mau mengakui kenyataan bahwa manusia memiliki kualitas-kualitas lebih tinggi yang mirip Tuhan yang melampaui susunan biologis, fisiologis bahkan psikologisnya. Pandangan ketiga mazhab berpikir di atas tidak bias dipungkiri pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang remaja. Jika dikaji secara mendalam, ketiganya berusaha mereduksi kebebasan memilih seseorang, kesadaran diri, dan daya ciptanya. Karena itu,

18 pendidikan agama Islam diharapkan mempu membangun kesadaran remaja untuk mengatasi dan melampaui determinisme historis, sosiologis, dan biologis di atas. Pendidikan pada usia ini agaknya lebih efektif dibandingkan pada usia dewasa. Ada pepatah yang mengatakan bahwa belajar di waktu muda ibarat mengukir di atas batu, tetapi belajar sesudah dewasa ibarat mengukir di atas air. Ketika Socrates ditanyaa mengapa ia selalu mendekati anak-anak remaja, ia menjawab karena mendidik pemuda jauh lebih efektif ketimbang orang dewasa, seperti halnya pelatih kuda, ia akan memilih kuda-kuda muda untuk dilatih (Kartanegara, 1995).

B. Karakteristik Pendidikan Karakter 1. Pendidikan Karakter Menurut Mann dan John dan John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidkan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter. Karena itu tujuan pendidikan adalah untuk mengarahkan generasi muda memiliki nilai-nilai (values) dan kebijakan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (good people) (Nord and Haynes, 2002). Dengan demikian pendidikan bertujuan membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgment) atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan . Menurut Bennett (1991), sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, karena anak-anak menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi anak ketika dewsa kelak. Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituaion) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domain psikomotor). Seperti kata Aristoteles, karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.

19 Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berrarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bias disebut orang yang berkarakter (a person of character) atau berakhlak jika tingkah lakunua sesuai dengan kaidah moral/akhlak. Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika sesorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk mengahargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut desiring the good atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karekter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek knowing the good (moral knowing), tetapi juga desiring the good atau loving the good (moral feeling) dan acting the good (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh suatu paham. Dalam pendidikan karakter secara konvensional, untuk membentuk moral yang baik seseorang diperlukan latihan dan praktik yang terus menerus dari individu seperti diaktakan oleh Jon Moline dalam Lickona (1992): As Aristotle taught, people do not naturally or spontaneously grow up to be morally excellent or practically wise. They become so, if at all, only as the result of a lifelong personal and community effort Di samping itu keberhasilan pendidikan karakter diperlukan kepercayaan bahwa segala gerak dan tingkah laku selalu ada yang mengawasi dan akan menerima balasan sesuai perbuatan serta kekuatan dan kuasa Allah (supranatural) akan menolong dan melakukan pengawasan merupakan inti dari pendidikan karakter tradisional. Sehingga manusia tidak hanya menjadi baik moralnya jika ada kehadiran guru atau atasan, tetapi manusia menjadi baik moralnya jika ada kehadiran guru atau atasan, tetapi manusia menjadi baik moralnya secara konsisten meskipun tanpa kehadiran pengawas atau orang lain di sekitarnya. Esensi perbuatan pendidikan karakter yang tinggi adalah perbuatan yang

20 tanpa pamrih (ikhlas dalam Islam) dan ini menjadi ruh bagi tingginya derajat moral baik seseorang. Oleh sebab itu pendidikan karakter merupakan prasyarat (pre-requisite) bagi terciptanya masyarakat madani dan muslim yang mukhlis.

2. Pendidikan Karakter dan Keberhasilan Akademik Anak Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa sukses seseorang ternyata bukan dipengaruhi hanya kecerdasan intelektual. Bahkan menurut Daniel Golemann (1995), kecerdasan emosi atau Emotional Intellegence, yakni kemampuan untuk menguasai emosi (kecerdasan emosi) sebagai penentu keberhasilan akademik anak, bahkan melebihi kemampuan intelektual (intellectual quotient) yang selama ini diakui berhubungan nyata dengan prestasi akademik siswa. Bahkan Golemann menyatakan 80 persen kesuksesan seseorang ditentukan oleh kecerdasan emosinya (Emotional Quotient = EQ), sementara hanya 20 persen ditentukan oleh IQ-nya. Menurut Dorothy Rich (1997) terdapat nilai (values), kemampuan (abilities) dan mesin dalam tubuh (inner engines) yang dapat dipelajari oleh anak dan berperanan amat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah maupun di masa mendatang. Menurut Megawangi (2004), sesungguhnya beberapa faktor kegagalan sekolah pada anak bukan pada kemampuan kognitif anak melainkan pada kemampuan psikologi anak, terutama kecerdasan emosi dan sosialnya yang meliputi: (1) percaya diri (confidence), (2) kemampuan control diri (self-esteem), (3) kemampuan berkerjasama (coorperation), (4) kemudahan bergaul dengan sesamanya (sosialization), (5) kemampuan berkonsentrasi (concentration). Karena itu dalam menyiapkan peserta didik dewaasa ini perlu diberikan beberapa kecakapan (Mega skills), yaitu (1) percaya diri (confidence), (2) motivasi (motivation), (3) usaha (effort), (4) tanggungjawab (responsibility), (5) inisiatif (intiative), (6) kemauan kuat (perseverance), (7) kasih saying (caring), (8) kerjasama (team work) (9) berpikir logis (common sense), (10) kemampuan pemecahan masalah (problem solving), dan (11) berkonsentrasi pada tujuan (focus). 3. Nilai-nilai yang Diajarkan dalam Pendidikan Karakter Karakter sebagaimana dikatakan oleh filsuf Michael Novak adalah campuran yang pas dari semua keluhuran yang diidentifikasi oleh tradisi keagamaan, cerita sastra, kebijaksanaan, dan akal sehat. Tidak seorang pun yang memiliki semua keluhuran, setiap

21 orang memiliki kelemahan. Pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (component of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan. Karakter luhur terdiri atas mengetahui yang baik, menginginkan yang baik dan mengerjakan yang baik kebiasaan pikiran, kebiasaan hati dan kebiasaan tindakan. Ketiganya membentuk kematangan moral kita menginginkan siswa mampu menilai apa yang benar, melakukan hal benar yang mereka yakini meski menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam diri. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebijakan. Dalam moral knowing tedapat enam hal yang menjadi tujuan pembelajaran yaitu: (1) moral awareness, (2) knowing moral values, (3) perspective taking, (4) moral reasoning, (5) decision making dan (6) self knowledge. Moral feeling, terdapat 6 hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni (1) conscience, (2) self-esteem, (3) empathy, (4) loving the good, (5) self-control dan (6) humility. Dan Moral Action, perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morality) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu: 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will) dan kebiasaan (habit). Diagram berikut inimengidentifikasi trait-trait karakter yang membentuk pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan bermoral. Setiap domaim karakter saling berkaitan, ketiga domain tidak berfungsi secara terpisah tapi saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Penilaian moral dapat menimbulkan perasaan moral. Perasaan moral dapat mempengaruhi cara berpikir. KOMPONEN PENDIDIKAN KARAKTER

PENGETAHUAN MORAL 1. Kesadaran moral 2. Pengetahuan nilainilai moral

PERSAAN MORAL 1. Suara hati 2. Harga diri (self esteem) 3. Empati

22 3. Perspective taking 4. Penalaran moral 5. Pengambilan keputusan 6. Pengetahuan diri 4. Mencintai kebaikan 5. Kendali diri 6. Rendah hati (humality)

TINDAKAN MORAL 1. 2. 3. Kompetensi Kemauan Kebiasaan

Gambar 2. Interelasi Komponen Pendidikan Karakter, Apatasi dari Lickona: 1991

a. Tujuan pendidikan karakter dari domain pengetahuan moral adalah: 1) Kesadaran moral. Kegagalan moral umumnya disebabkan oleh kebutaan

moral. Orang tidak mengetahui cara menghadapi situasi yang menuntut penilaian moral. Anak dan remaja cenderung gagal dalam hal ini yaitu bertindak tanpa bertanya terlebih dahulu Apakah ini benar? Mereka perlu diajari bahwa bertanggung jawab moral pertama adalah menggunakan inteligensinya untuk melihat kapan situasi membutuhkan penilaian moral dan kemudian berpikir secara seksama arah yang benar untuk mengambil tindakan. Aspek kedua dari kesadaran moral adalah kemiskinan di lingkungan, kita tak dapat mendukung kebijakan sosial yang membantu mengatasi masalah tersebut. 2) Mengetahui nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral mendefinisikan cara menjadi orang yang baik. Agar tidak buta moral kita membutuhkan nilai-nilai lain ini. Mengetahui nilai berarti memahami bagaimana menerpakannya dalam berbagai situasi. Apa yang dituntut oleh nilai hormat terhadap Anda jika seseorang menyebarkan informasi yang dapat merusak nama baik seseorang?

23 3) Perspective taking adalah kemampuan untuk mengambil sudul pandang orang lain, melihat situasi sebagaimana orang lain melihatnya, membayangkan bagaimana orang lain berpikir, bereaksi dan merasakan. Ini adalah prasyarat untuk melakukan penilaian moral. 4) Penalaran moral berkenaan degan pemahaman tentang apa yang dianggap bermoral dan mengapa kita harus bermoral seperti mengapa perlu memenuhi janji. Pada level tertinggi, penalaran moral juga mencakup pemahaman prinsip moral klasik seperti Hormat pada kemuliaan dalam diri setiap orang 5) Pembuatan keputusan. Orang bias mengambil keputusan setelah secara seksama bertanya, apa pilihan saya? Apa konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang saya ambil bagi orang lain? 6) Pengetahuan-diri. Mengetahui diri sendiri adalah bagian tersulit dari pengetahuan moral. Menjadi bermoral perlu kemampuan untuk dapat mengkaji perilaku diri sendiri dan mengevaluasi secara kritis.

b. Tujuan pendidikan karakter dalam domain perasaan moral adalah Seberapa banyak kita mempedulikan tentang kejujuran misalnya akan secara jelas mempengaruhi apakah pengetahuan moral mengarah kepada perilaku bermoral. 1) Kata hati memiliki dua sisi. Pertama, sisi kognitif yaitu mengetahui yang benar. Kedua, sisi emosional yaitu merasa wajib untuk melakukan sesuatu yang benar. Kerap kali orang mengetahui yang benar namun sedikit sekali merasa berkewajiban untuk bertindak yang sesuai. Kata hati yang matang di samping mencakup rasa berkewajiban moral juga kapasitas untuk merasa bersalah secara konstruktif. 2) Harga diri. Jika dapat mengukur harga diri secara sehat, kita dapat menghargai diri kita. Jika menghargai maka berarti mengormati. Dengan demikian tidak sembarangan merusak tubuh dan pikiran atau membiarkan orang lain melakukan pelecahan kepada kita. Ketika memliki harga diri yang pas, kita tidak menjamin karakter luhur. Karena orang bisa memiliki harga diri berdasarkan kebendaan seperti ketampanan atau kekayaan. Namun tantangan kita sekarang adalah mengajarkan siswa mengembangkan harga diri porotif berdasarkan nilai-nilai.

24 3) Empati adalah identifikasi dengan kondisi orang lain. Empati membuat kita dapat memahami orang. Empati adalah sisi emosional dari perspective taking. Tugas dari pendidikan adalah mengembangkan empati secara general sehingga anak bias melihat sesuatu di balik perbedaan dan merspon terhadap persoalan kemanusiaan. 4) Mencintai kebaikan. Bentuk karakter luhur mencakup ketertarikan pada kebaikan secara tulus. Ketika seseorang mencintai kebaikan, ia memperoleh kenikmatan untuk melakukan kebaikan tersebut. Orang tersebut memiliki moralitas yang didasari oleh keinginannya bukan sekedar moralitas kewajiban. 5) Kendali diri. Emosi dapat menekan akal sehat. Itu sebabnya kendali diri sangat diperlukan. Kendali diri juga penting untuk membatasi pemanjaan diri. Umumnya akar dari gangguan morak adalah pemanjaan diri dalam mengejar kenikmatan. Kendali diri sangat diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah seperti penyalahgunaan narkoba dan aktivitas seksual remaja. 6) Rendah hati adalah sisi afektif dari pengetahuan-diri. Keduanya merupakan keterbukaan yang tulus terhadap kebenaran dan kemauan untuk bertindak dalam mengkoreksi kegagalan. Rendah hati dapat mengatasi rasa sombong yang dianggap sebagai kanker spiritual. c. Tujuan pendidikan karakter dalam domain tindakan moral adalah Tindakan moral adalah hasil dari kedua domain karakter. Jika seseorang memiliki kualitas moral intelek dan moral emosional maka ia cenderung dapat melakukan apa yang telah diketahui secara benar. Orang sudah tahu apa yang harus dilakukan dan merasa wajib untuk melakukannya namun masih gagal menerjemahkan pikiran dan persaan ke dalam tindakan bermoral. Untuk memahami apa yang mendorong orang untuk bertindak secara benar, perlu dipertimbangkan ketiga aspek dari karakter yaitu kompetensi, kemauan dan kebiasaan. 1) Kompetensi. Kemampuan moral adalah memiliki kemampuan mengubah penilaian moral dan perasaan moral menjadi tindakan moral yang efektif. Untuk menyelesaikan konflik secara adil misalnya kita perlu memiliki keterampilan praktis seperti mendengarkan, mengkomunikasi pandangan tampa merendahkan orang lain, dan mencari solusi yang dapat diterima semua pihak.

25 Ketika Lickona menjadi konselor perkawinan dan keluarga ia banyak mendapati bahwa banyak pasangan tidak memiliki keterampilan ini. 2) Kemauan. Untuk menjadi orang bermoral dibutuhkan kemauan bertindak secara riil, untuk menggerakkan energi moral guna melakukan apa yang kita anggap benar. Diperlukan kemauan untuk menjaga emosi agar tetap dikendalikan oleh akal sehat. Diperukan kemauan untuk melihat dan mempertimbangkan keseluruhan daripada kesenangan. Diperlukan kemauan untuk menahan godaan dan bertahan menghadapi tekanan. 3) Kebiasaan. Dalam banyak situasi, perilaku moral mendapat manfaat dari kebiasaan. Orang yang memiliki karakter luhur seringkali langsung melakukan pilihan yang benar. Mereka didorong oleh kekuatan kebiasaan. Atas alasan inilah, anak-anak perlu diberi peluang sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan kebiasaan yang baik. Diperlukan banyak latihan untuk menjadi orang baik. Artinya diperlukan pengalaman berulang-ulang dalan melakukan nilai-nilai yang baik. Kebiasaan yang baik yang sudah terbentuk masih tetap efektif meski situasinya sulit. Strategi Mengajarkan Pendidikan Karakter Pembentukan manusia berkualitas karakter amat diperlukan agar manusia bukan hanya mengetahui kebajikan (knowing the good) tetapi juga merasakan (feeling the good) dan mengerjakan (acting the good) kebajikan. Metode pendidikan melalui otak kiri dengan hafalan konsep (memorization in learning) harus dirubah dengan metode yang lebih komprehensif dalam melibatkan otak kanan dengan perasaan, cinta, serta pembiasaan dan amalan kebajikan di dalam keluarga maupun sekolah. Menurut Lickona (1992), beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengajarkan pendidikan karakter antara lain (1) guru menjadi pengasuh, model dan mentor, (2) menciptakan moral di kelas, (3) disiplin moral, (4) menciptakan lingkungan kelas demokratis, (5) mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum, (6) belajar kooperatif, (7) kesadaran bekerja, (8) mendorong refleksi moral, (9) meningkatkan diskusi moral, (10) mengajarkan persoalan controversial, (11) mengajarkan menyelesaikan konflik, (12) meluaskan perhatian moral di luar kelas, (13) menciptakan budaya moral positif di kelas, dan (14) sekolah, orang tua, dan masyarakat bekerja bersama. Pentingnya lingkungan dalam pendidikan karakter

26 Karakter tidak berfungsi dalam situasi vakum. Ia berfungsi dalam lingkungan sosial. Kerap kali lingkungan menghalangi perbuatan bermoral. Banyak orang merasa bodoh untuk melakukan sesuatu bermoral. Seorang anak ketika ditanya apa yang akan dilakukan jika menemukan dompet yang berisi uang. Ia tahu jawaban benar yaitu mengirimkannya ke polisi. Tapi pada zaman sekarang ia tidak akan melakukan hal itu karena ia bias dianggap aneh. Jadi untuk memahami mengapa orang berbuat sesuatu yang tidak bermoral harus diperhatikan dampak dari lingkungan. Sekolah perlu menciptakan lingkungan bermoral yang menekankan nilai-nilai yang baik dan meletakkan di ujung terdepan kesadaran setiap orang. Lingkungan sekolah dan budaya moral di sekolah harus mendukung pertumbuhan moral.

C. Pengembangan Bahan Ajar PAI Berbasis Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Kontekstual Buku ajar berbeda dengan buku teks. Buku ajar ditulis dan dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran, mempunyai urutan pembahasan yang sistematis, menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, memotivasi siswa untuk belajar, memberikan latihan, menyediakan rangkuman, dan berorientasi pada siswa secara individual (Panen, 1994). Pengembangan buku ajar ini digunakan model Dick and Carey (1990) dengan langkah-langkah meliputi (1) identifikasi tujuan pembelajaran, (2) analisis pembelajaran, (3) identifikasi karakteristik dan kemampuan awal, (4) merumuskan tujuan khusus pembelajaran, (5) mengembangkan tes, (6) mengembangkan strategi pembelajaran, (7) mengembangkan sumatif. Dasar pertimbangan menggunakan model Dick and Carey (1990) dalam pengembangan bahan pembelajaran antara lain (1) adanya analisis pembelajaran setelah langkah identifikasi Tujuan Umum pembelajaran, di mana langkah ini dapat memberikan panduan strategid terhadap langkah-langkah berikutnya dan (2) pada langkah pengembangan dan pemilihan bahan pembelajaran terdapat panduan pemilihan metode penyampaian pembelajaran dan pemilihan media. dan memilih bahan pembelajaran, (8) mengembangkan dan melaksanakan evaluasi formatif, (9) revisi pembelajaran, dan (10) melaksanakan evaluasi

27 Dengan dikembangkan bahan ajar sesuai langkah-langkah sistematis yang ditetapkan Dick dan Carey tersebut akan dapat dihasilkan buku ajar yang dapat membantu kemudahan belajar siswa Sekolah Menengah Atas dalam mempelajari agama Islam. Bacon dan Tarigan (1989) menggunakan bahwa buku ajar adalah buku yang dirancang untuk digunakan di kelas, dengan cermat disiapkan oleh para pakar atau para ahli dalam bidang tertentu untuk maksud dan tujuan pembelajaran. Sedangkan Buckingham dan Tarigan (1989) mengemukakan bahwa buku ajar adalah sarana belajar yang dapat dipergunakan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi untuk menunjang program pembelajaran. Dengan demikian buku ajar dirancang dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran untuk membantu mempermudah siswa belajar pada jenjang pendidikan tertentu. Buku ajar terkait dengan bidang studi tertentu, disusun untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, dilengkapi sarana pembelajaran yang membantu mempermudahkan pembelajaran dan menunjang program pembelajaran. Buku ajar juga merupakan bahan-bahan atau materi pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk dapat dipergunakan siswa dalam proses pembelajaran. Sturktur dan urutan buku ajar disusun secara sistematis, menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, memotivasi siswa untuk belajar, mengantisipasi kesulitan belajar siswa, memberikan latihan yang cukup, menyediakan rangkuman, memberikan balikan, dan secara umum direncana dan disusun berorientasi pada siswa secara individual. Panen (1994) menegaskan bahwa buku ajar biasanya bersifat mandiri, artinya dapat dipelajari oleh siswa secara mandiri karena sistematis dan lengkap. Pengembangan bahan ajar yang dimaksud adalah pengembangan buku ajar Agama Islam yang sesuai dengan kurikulum Sekolah Menengah Atas dan analisis kebutuhan siswa untuk jurusan IPA, IPS dan Bahasa. Pengembangan buku ajar Agama Islam didesain khusus untuk pembelajaran individual dan guru sebagai fasilitator. Buku ajar dilengkapi Buku Pedoman untuk Siswa dan Buku Pedoman untuk Guru. Buku pedoman ini dimaksudkan untuk membantu memudahkan penggunaan buku ajar yang disusun. Keuntungan buku ajar adalah siswa dapat merencanakan dan mengatur kegiatan belajar sesuai kemampuan dan tingkat kecepatan belajarnya. Buckingham ( dalam Tarigan, 1998) mengemukakan keuntungan buku ajar antara lain (1) dapat dipelajari secara individual, sehingga kecepatan belajar sesuai dengan kemampuan individu, (2) dapat diulangi dengan mudah, (3) dapat digunakan untuk memeriksa ingatan, dan (4) dapat membuat catatan-catatn bagi pemakai selanjutnya. Berkaitan dengan kurikulum, Greene dan Petty (1971) mengemukakan peranan buku ajar antara lain (1) mencerminkan sudut pandang yang tangguh dan modern

28 mengenai pembelajarn serta memodernisasikan aplikasi bahan pembelajaran yang disajikan, (2) menyajikan sumber pokok masalah suatu subject matter yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi; sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, (3) menyajikan suatu sumber yang tersusun rapid an bertahap, (4) menyajikan metode-metode dan sarana-sarana pembelajaran yang mampu memotivasi belajar-siswa, (5) menyajikan fisik awal yang perlu sebagai penunjang latihan-latihan, dan (6) menyajikan sarana evaluasi dan remidasi yang serasi dan tepat guna. 1. Karakteristik Buku Ajar Menurut Tarigan (1983), buku ajar yang baik dan berkualitas akan memudahkan siswa dalam mempelajari bidangnya. Greene dan Pretty (1971) mengklasifikasi buku ajar yang baik antara kain (1) menarik minat siswa untuk menggunakannya, (2) dapat memberkan motivasi belajar siswa, (3) memuat ilustrasi yang menarik minat yang memanfaatkannya, (4) memperhatikan aspek tatabahasa sesuai dengan mata pelajaran lainnya, (6) menghindari konsep-konsep yang samar, (7) dapat memberikan kemantapan dan penekanan pada nilai-nilai anak dan orang dewasa, dan (8) dapat mengharga perbedaan pribadi para siswa pemakainya. Keberadaan buku ajar merupakan salah satu wujud pengembangan metode desain pembelajaran yang menekankan pada prinsip-prinsip yang diadaptasi dari teori-teori dan hasil penelitian tentang belajar. Karena itu penulisan buku ajar tidak hanya didasarkan pertimbangan artistik dan pemasaran semata, melainkan diorientasikan pada optimalisasi kegiatan dan hasil pembelajaran. Pemahaman informasi hanya akan mampu terjadi apabila buku-buku yang dipelajari bermakna bagi pembaca karena mampu menghubungkan kegiatan belajar sekarang dengan pengalaman sebelumnya dan kegiatan belajar yang akan dating (Hunter, 1987). Bahan-bahan pembelajaran yang bermakna antara lain ditandai dengan mudah dipahaminya informasi yang disajikan. Buku ajar yang bermakna berisi komponenkomponen yang dapat menciptakan kondisi seperti yang diinginkan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi rancangan buku ajar antara lain langkah-langkah penulisan dan faktorfaktor teks seperti penulisan teks, penggunaan bahasa, dan format teks. Menurut Streit (1986), langkah-langkah merancang buku ajar meliputi (1) isi buku ajar dianalisis dan diklasifikasi ke dalam kategori tertentu, (2) tiap kategori dibagi ke dalam beberapa pengenalan teks; (3) penyajian format grafik/visualisasi membuat isi menjadi menarik, dan (4) suatu kategori merupakan judul format yang berisi isi bahan

29 terpilih, diklasifikasi ke dalam beberapa pokok bahasan, dan penyajian isi bias disertai gambar atau ilustrasi. Menurut Thomas (1984), untuk menyusun struktur kalimat yang efektif dapat ditempuh langkah-langkah (1) kalimat-kalimat disusun pendek dan sederhana agar mudah dimengerti, (2) diusahakan menggunakan kalimat aktif, (3) diusahakan menghindari penggunaan kalimat negatif, dan (4) menghindari penyimpangan dan hal-hal yang tidak relevan. Supaman (1991) mengemukakan bentuk buku ajar yang baik adalah (1) pendahuluan memuat deskripsi singkat tentang isi bab, relevansi dan manfaat isi bab bagi pembaca atau kaitannya dengan bab lain, tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus, (2) penyajian terdiri atas satu atau lebih subbab, dan setiap subbab berisi judul, uraian, contoh dan noncontoh, uraian materi dapat menggunakan berbagai metode seperti eksplorasi, discovery, deduktif, induktif, dan lain-lain, (3) uraian verbal dilengkapi gambar dan grafik, (4) pelatihan berisi soal-soal yang mengarah kepada pengembangan kemampuan intelektual yang biasanya diletakkan pada akhir subbab, dan (5) rangkuman atau ringkasan. Dengan memperhatikan cara menyusun buku ajar sebagai mana dikemukakan, maka buku ajar akan dapat membantu mempermudah siswa belajar, baik secara mandiri maupun dengan guru sebagai fasilitator, sehingga perolehan belajar dapat dicapai secara optimal. 2. Komponen-Komponen Buku Ajar Dick and Carey (1985) dan Suparman (1991) mengemukakan bahwa pemilihan buku ajar didasarkan pada kebutuhan belajar siswa dan terpenuhinya komponen-komponen pembelajaran yang relevan. Komponen-komponen tersebut dapat memotivasi, mudah dipelajari, dan mudah dipahami oleh siswa. Dan yang lebih penting lagi adalah relevan dengan sifat mata pelajaran pendidikan Agama Islam. Komponen-komponen yang mempermudah siswa belajar mata pelajaran pendidikan Agama Islam dinyatakan dengan jelas berupa (1) petunjuk khusus pemakai buku ajar, (2) tujuan khusus pembelajaran, (3) uraian isi pembelajaran yang disusun secara sistematis, (4) gambar/ilutrasi untuk memperjelas isi pembelajaran disertai contoh permasalahan dan cara pemecahannya, (5) rangkuman, (6) soal-soal latihan, dan (7) balikan. 1. Petunjuk atau Buku Panduan

30 Petunjuk dalam buku ajar sangat bermanfaat bagi siswa dan guru pengguna buku ajar. Petunjuk dapat dibuat menjadi satu bagian untuk siswa dan guru, dapat pula dibuat terpisah. Menurut Dick and Carey (1985) petunjuk untuk siswa disebut petunjuk umum, berisi pemakaian semua sumber yang terdapat pada buku ajar tersebut. Petunjuk ini juga mencantumkan secara garis besar siasat pembelajaran bagi siswa. Apa yang pertama sekali harus dilakuakan siswa, kemudian langkah berikutnya, dan seterusnya. Joni dkk. (1984) di samping hal-hal tersebut, petunjuk juga perlu diberi rasional yang berisi gambaran umum isi paket belajar yang dipetik dari isi suatu bahasan dan ciri khas teks sebagai motivasi untuk menggunakannya. Rancangan petunjuk khusus berisi instruksi-instruksi pemakai buku ajar, menguraikan langkah-langkah yang akan dilalui dalam pembelajaran secara umum dan petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan pada awal dan akhir tiap tahap. Uraian-uraian tersebut hendaknya memberikan petunjuk yang jelas bagi siswa, sehingga siswa mempunyai gambaran yang pasti tentang pengalaman belajar yang akan dilalui. Petunjuk khusus untuk siswa juga bias dibuat satu bagian pada setiap subbahasan untuk mempermudah. Petunjuk khusus untuk guru dapat dibuat satu buku sebagai panduan mengajar yang memuat segala sesuatu yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran. Petunjuk ini bisa berupa langkah-langkah pembelajaran, jenis alat pembelajaran, kriteria penilaian, dan kriteria keberhasilan. 2. Tujuan Khusus Pembelajaran Tujuan khusus pembelajaran (specific instructional objective atau enabling objective) merupakan pernyataan khusus hasil pembelajaran terhadap topik tertentu. Dick and Carey (1985) menyebutnya sebagai tujuan perfomansi atau tujuan instruksional khusus. Wingkel (1987) mendeskripsikan tujuan khusus pembelajaran sebagai suatu tujuan pembelajaran yang kongkret dan spesifik, yang dianggap cukup berharga, wajar dan pantas, tersedianya tenaga diwujudkan, mengingat perkembangan siswa, juga menunjang tercapainya tujuan umum pembelajaran. Beberapa pengertian tujuan khusus pembelajaran dari berbagai para ahli (1) dipandang dari segi peran subjek didik, tujuan khusus pembelajaran diartikan sebagai pernyataan tentang hasil yang akan dicapai siswa setelah pembelajaran (Gagne, 1978 & Romizswski, 1983), (2) dipandang dari segi kepentingan subjek didik, tujuan pembelajaran

31 diartikan sebagai hasil pembelajaran (Mager dalam Dick and Carey, 1985). Dapat juga dikatakan sebagai deskripsi terinci tentang sesuatu yang diharapakan dapat dilaksanakan siswa setelah menyelesaikan satu unit pelajaran tertentu (Dick and Carey, 1985), dan (4) dari segi cara perumusannya, tujuan pembelajaran diartikan sebagai hasil belajar yang dirumuskan secara terinci. Lebih lanjut Dick and Carey (1985) menegaskan bahwa tujuan khusus pembelajaran merupakan komponen suatu program pembelajaran. Rumusan tujuan merupakan petunjuk bagi upaya memilih materi, menyusun kegiatan pembelajaran, serta menjadi referensi saat mengembangkan instrument evaluasi. Suparman (1991) menjelaskan bahwa dalam tujuan khusus pembelajaran terkandung kemampuan khusus yang akan dicapai peserta didik setelah mengukuti pembelajaran tertentu. Kompetensi-kompetensi khusus merupakan uraian atau jabaran dari kompetensi umum yang ada dalam tujuan umum pembelajaran. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa tujuan khusus pembelajaran merupakan pernyataan-pernyataan khusus atau deskripsi spesifik tentang tingkah laku yang akan diharapkan dapat dicapai siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Hasil penelitian yang mendukung diberikannya tujuan khusus pembelajaran sebelum kegiatan belajar dimulai antara lain Gagne, Bing R Bina (1977) menemukan bahwa tujuan belajar dapat meningkatkan peroleh belajar dan mempertahankan retensi belajar. Penelitian Degeng (1988) menunjukkan dengan diberitahukan tujuan belajar sebelum kegiatan belajar dimulai memperlihatkan hasil belajar yang lebih tinggi daripada tidak diberitahukan tujuan belajar. Hakikat pemberitahuan tujuan khusus pembelajaran adalah menginformasikan apa yang harus dicapai siswa pada akhir kegiatan pembelajaran (Hartley & Davies, 1976). Tujuan khusus pembelajaran berfungsi mengarahkan perilaku belajar. Sebagai preinstructional strategy, tujuan khusus pembelajaran dapat membangun harapan-harapan dalam diri siswa tentang kegiatan belajar dapat memberikan pegaruh motivasional sehingga merangsang siswa melakukan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan. Adapun rumusan tujuan khusus pembelajaran yang memadai antara lain dikemukan Beli & Abedor (1977) menyarankan formal ABCD (audience, behavior, condition, degree). Gagne dkk (1988) merekomendasikan lima komponen rumusan tujuan khusus pembelajaran yaitu situasi atau kondisi pada saat stimulus diberikan, kata kerja penunjuk kapabilitas dari apa yang dipelajari, ruang lingkup materi yang akan dibahas, bentuk tindakan kerja yang dituntut, serta kendala dan pendukung tercapainya tujuan. Dick dan Carey (1985) merekomendasikan lima komponen pokok tujuan khusus pembelajaran,

32 yaitu deskripsi tentang apa yang seharusnya diperbuat pebelajar setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran, kondisi atau keadaan yang menjadi syarat munculnya perilaku yang diinginkan, serta kriteria yang akan dipakai untuk menilai perubahan tingkat kemampuan pebelajar. Dari deskripsi tentang rumusan tujuan khusus pembelajaran yang dikemukakan, ada hal penting yang perlu digarisbawahi adalah rumusan tujuan khusus pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristik isi pelajaran. Karena itu dalam kaitannya dengan pengembangan buku ajar Pendidikan Agama Islam tidak semua komponen rumusan tujuan khusus pembelajaran yang disarankan dapat digunakan seluruhnya, mungkin ada bagian komponen yang kurang diperlukan.

3. Organisasi Isi Pembelajaran Reigeluth, Bunderson, dan Merrill(1977) (dalam Degeng, 1988)

mengemukakan strategi pengorganisasian isi pelajaran disebut sebagai struktur strategi yang mengacu pada cara membuat urutan (squencing) dan sintesis (synthesizing) fakta, konsep, prosedur, dan prinsip-prinsip yang berkaitan. Squencing mengacu kepada upaya menunjukkan kepada siswa tentang keterkaitan antarfakta, konsep, prosedur, atau prinsip yang terkandung dalam satu bidang studi. Dengan mensintesis, topik-topik dalam suata bidang studi menjadi lebih bermakna bagi siswa, yaitu dengan menunjukkan bagaimana topik-topik itu merupakan kesatuan isi bidang studi sehingga isi yang disajikan menjadi bermakna (Ausubel,1968). Bahan ajar yang bermakna dapat meningkatkan ingatan siswa lebih baik dan lebih lama terhadap topik-topik yang dipelajari. Salah satu hal yang diperlukan dalam pembuatan sintesis adalah penataan urutan isi bahan ajar yang baik. Hasil penelitian yang mendukung hal ini antara lain dilakukan Tillema (1933) yang membuktikan bahwa penataan urutan isi bahan ajar sangat membantu pemahaman informasi baru. Organisasi isi bahan ajar akan membantu pengembangan kompetensi intelektual, hierarkhi belajar, dan transfer belajar yang lebih baik. Dengan demikian organisasi isi bahan ajar dapat membantu siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Dalam kaitan ini Kemp (1985) mengemukakan bahwa perolehan belajar akan meningkat jika isi atau prosedur pembelajaran diorganisasi menjadi urutan bermakna, bahan ajar disajikan sesuai urutan bagian berdasarkan urutan kerumitan dan kesulitan yang logis.

33 Urutan penyajian bahan ajar menurut Schubert (1986) dapat

mempertimbangkan enam kreteria (1) Presentasi menurut buku ajar, (2) preferensi guru, (3) Struktur disiplin ilmu, (4) membuat perhatian siswa, (5) hierarkhi belajar, dan (6) perkembangannya. Dalam kaitannya dengan pengembangan buku ajar ini, isi bahan ajar diorganisasi menurut struktur isi pelajaran berdasarkan rumusan tujuan khusus pembelajaran. 4. Illustras/ Gambar Buku ajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis pendidikan karakter dengan pendekatan kontekstual ini memerlukan ilustrasi untuk memperjelas uraian teks. Salomon (1979) mengemukakan bahwa strategi penyajian yang menarik perhatian merupakan faktor penting untuk meningkatkan proses belajar. Strategi tersebut berhubungan dengan terjadinya peningkatan perhatian siswa pada tiap-tiap bagian jalur pemrosesan informasi, yaitu kegiatan penerimaan persepsi, ingatan sesaat,pengolah, dan ingatan jangka panjang. Raulesson (1973) mengemukakan masalah ingatan jangka panjang dalam hubungannya dengan ilustrasi dalam teks bahwa pada umumnya ingatan jangka panjang dibentuk dalam pola visual. Untuk memperkuat ingatan tersebut diperlukan teknik penyampaian yang sesuai. Teknik penyampaian dapat menggunakan bagan, diagram, gambar, atau ilustrasi. Wittroch (1979) mengungkapkan penggunaan gambar dan diagram sebagai elaborasi, imajiner, yang memperkuat ingatan dalam pemahaman pengetahuan baru dan retensi terhadap pengetahuan tersebut. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menguji tingkat sumbangan gambar sebagai ilustrasi visual yang terdapat dalam buku ajar, dalam rangka mempermudah pembelajaran. Penelitian Levie (1982) menunjukkan bahwa buku-buku ajar dengan ilustrasi/ gambar lebih unggul dari recall dari retensi, daripada tanda gambar. Hal ini di dukung penelitian Azwar (1993) dan Soekamto (1991). 5. Contoh Uraian Mata pelajaran PAI merupakan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia yang cenderung disajikan normatif. Uraian contoh pemecahan masalah dalam isi pembelajaran sangat membantu memudahkan pemahaman isi pelajaran. Hal ini

34 sebagaimana ditegaskan oleh Meriam (1987) bahwa uraian contoh soal dengan penyelesaiannya akan memudahkan dalam memahami isi pelajaran. Uraian contoh dalam Pendidikan Agama Islam merupakan keharusan untuk melengkapi isi pelajaran. Meriam (1988) menegaskan contoh permasalahan dengan penyelesaiannya yang di uraikan secara rinci dan membantu pemahaman terhadap isi pelajaran. Jadi, jelas uraian contoh dapat memperjelas pemahaman dalam isi pelajaran. Uraian contoh dalam pengembangan buku ajar ini dikembangkan berdasarkan uraian isi pembelajaran. Contoh-contoh persoalan diambil dari buku-buku yang releven dan dikembangkan disesuaikan dengan uraian isi pelajaran serta dalam jumlah yng cukup dalam memperjelas isi pelajaran.

6. Rangkuman Dalam pembelajaran pemberian rangkuman penting sekali dilakukan untuk meninjau kembali materi yang disajikan. Hal ini juga berguna untuk mencegah kelupaan tentang materi yang baru diberikan. Sebagai komponen strategi pengajaran, rangkuman berfungsi untuk memberikan pernyataan singkat mengenai isi bidang studi yang telah dipelajari, dan contoh-contoh acuan yang mudah diingat untuk setiap konsep, prosedur, atau prinsip yang diajarkan. Reigeluth dan Stein (1983) menegaskan bahwa rangkuman sebagai suatu komponen strategi teori elaborasi berfungsi untuk memberikan pernyataan singkat mengenai ide-ide pokok isi bidang studi yang telah diajarkan. Dan memberikan contohcontoh acuan yang mudah diingat dari ide-ide poko setiap konsep, prosedur, atau prinsip yang diajarkan dan juga untuk mendiagnostik item-item tes setiap ide-ide poko latihan itu sendiri. Degeng (1988) mengungkapkan fungsi rangkuman untuk memberikan (1) pernyataan singkat mengenai isi bidang studi yang telah dipelajari, dan (2) contoh-contoh setiap konsep, prosedur, atau prinsip yang diajarkan. Penyajian rangkuman yang berupa ide-ide pokok yang penting dari isi teks sebagai memperdalam ingatan, tetapi juga sebagai pendalaman terhadap tinjauan ulang terhadap apa saja yang dipelajari.

35 Sherman (1984) mengatakan bahwa dengan pemberian rangkuman akan menolong siswa untuk mengorganisasi dalam mengingat bahkan mengecek apa yang telah dipelajari, dan dapat memelihara minat siswa. Davies (1971) mengemukakan bahwa pemberian rangkuman dalam pengajaran merupakan bagian penting dalam strategi pengajaran. Sebagai bagian strategi, dengan demikian rangkuman bukan saja hanya berguna untuk siswa tetapi juga bagi guru. Menurut Sherman (1984) ada enam langkah yang dapat dilakukan dalam mengembangkan rangkuman yang baik, yaitu (1) menghilangkan informasi yang tidak penting, (2) menghilangkan informasi yang berlebihan, (3) mengkombinasikan informasi, (4) menyeleksi topic kalimat, (5) membuat topik kalimat, dan (6) membuat rangkuman. Di samping enam langkah tersebut diatas ada beberapa hal yang penting yang perlu diperhatikan agar rangkuman menjadi efektif. Hal-hal tersebut adalah (1) rangkuman harus singkat dan langsung pada isinya, (2) rangkuman berisi ide-ide kunci, (3) rangkuman mencatat informasi dalam bentuk catatan dan grafik/ diagram, (4) rangkuman harus dapat membangun dan mengembangkan pelajaran, (5) bagian yang penting digaris bawahi, dan (6) menarik dan dapat dibaca (Davies,1971). Banyak penelitian yang menguji pengaruh rangkuman sebagai komponen strategi pembelajaran. Dan sereau (1978) Roos dan Davies (1976) (dalam Degeng,1988) menemukan bahwa siswa-siswa yang diajari dengan rangkuman tentang apa yang telah dipelajari memperlihatkan ujuk kerja yang lebih baik dalam tes mengingat isi teks daripada mereka yang hanya membaca buku ajar berulang-ulang tanpa rangkuman. Dansereua dan Brooks (1980) menyimpulkan bahwa belajar dengan rangkuman lebih efektif daripada tanpa rangkuman. Mereka juga menyimpulkan bahwa pemberian rangkuman yang memusatkan pada isi yang lebih rinci. Merrill dan Stolurow (1966) (dalam Degeng, 1989) menyimpulkan bahwa belajar dengan rangkuman yang ditata secara hierarkhis menyebabkan siswa belajar konsep-konsep lain cepat dan transfer lebih baik. Hasil penelitian lain, yang dilakukan oleh Grotelueschen dan Sjorgren (1968) (dalam Degeng,1989) mendukung temuan Merrill dan Stolurow disimpulkan bahwa siswa yang membaca rangkuman yang berisi prinsip dasar dari semua prinsip yang dipelajari, memperlihatkan hasil belajar dan transfer yang lebih baik, jika dibandingkan dengan siswa yang hanya membaca teks saja. Penelitian yang baik yang mendukung pemberian rangkuman dalam meningkatkan perolehan belajar,Hutagaol (1992), Hamid (1992), mambrahu (1991). Dari beberapa hasil penelitian tersebut di atas jelas bahwa pemberian rangkuman dapat meningatkan perolehan belajar. Dengan demikian dapat dikatakan

36 pemberian rangkuman merupakan suatu upaya memberikan jalan dan diharapkan mampu lebih memperdalam ingatan yang diperoleh. 7. Soal Latihan Untuk mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan khusus pembelajaran yang telah ditetapkan dalam setiap satuan pelajaran diperlukan alat pengukuran atau tes yang berupa soal latihan. Soal latihan berfungsi untuk memberikan umpan balik bagi guru dalam rangka membimbing siswa dalam belajar atau untuk memperbaiki proses pembelajaran. Menurut Dick dan Carey (1985), proses belajar akan lebih berhasil bila diberikan latihan-latihan yang secara langsung relevan dengan TKP. Jadi, setelah siswa diberikan uraian materi mengenai pengetahuan dan keterampilan untuk mempraktikkan pengetahuan atau keterampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah belajar. Penyusunan soal latihan diarahkan untuk mengukur apakah tingkah laku yang diharapkan dalam TKP sebagai hasil belajar telah dicapai. Rush (1988) mendefinisikan suatu tes adalah prosedur sistematis untuk mengobservasi tingkah laku. Tujuan utama suatu tes adalah untuk menentukan sejauh mana tiap siswa telah mencapai TKP yang telah ditetapkan. Setiap butir tes yang diberikan memberi kesempatan pada siswa untuk menunjukkan keterampilan atau pengetahuan yang tercantum dalam tujuan. Tes juga merupakan suatu alat atau tugas yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan agar dapat diramal, didiagnosis, atau dinilai suatu tingkah lakunya (Briggs, 1985). Penyusunan soal latihan dikembangkan dari perumusan butir tes yang telah dirumuskan setelah merumuskan tujuan khusus pembelajaran (TKP). Jadi rumusan butirbutir tes semuanya akan dikembangakan menjadi soal-soal latihan. Dari soal-soal latihan ini diberikan balikan tentang pencapaian belajarnya berdasarkan TKP yang dicapai. Tika, siswa sudah dapat menampilkan unjuk kerja seperti yang dituntutkan dalam TKP (menyelesaikan soal latihan dengan tuntas) maka siswa dipandang telah memiliki penguasaan tuntas (Dick dan Carey, 1985), selanjutnya diberikan balikan berupa pujian, dan petunjuk untuk meneruskan pembelajaran selanjutnya. Berkaitan dengan balikan ini Dick dan Carey (1985) memperjelas bahwa tidak hanya diberikan latihan, siswa hendaknya diberitahu tentang hasil latihan. Siswa harus diberi balikan dan perlu diberitahu apakah jawaban mereka benar atau salah, apakah yang dikerjakan tepat atau tidak. Umpan balik ini dapat merupakan pembuatan, siswa yang mengetahui jawaban benar akan lebih bersemangat untuk belajar, sebaliknya bila

37 mengetahui jawabannya salah ia tidak akan melakukan kesalah serupa dan lebih giat belajar.

BAB III METODE PENGEMBANGAN A. Model Pengembangan Pengembangan bahan ajar ini mengikuti model desain pembelajaran R2D2, yaitu Recursive, Reflektif, Design, and Development. R2D2 adalah model desain pembelajaran yang dikemukakan oleh Willis pada tahun 1995 dan direvisi pada tahun 2000 (Willis, 2009: hal 313). Willis juga menyebut model ini dengan istilah constructivist-interpretivist instructional design model. Model desain pembelajaran ini menurut Willis merupakan turunan dari perspektif belajar dan pembelajaran konstruktivistik yang memberikan keleluasaan kepada desainer pembelajaran untuk berkreasi mengembangkan pembelajaran meski dalam kerangka R2D2. Model desain pembelajaran R2D2 memiliki tujuh karakteristik yang merupakan ciri constructivist-interpretivist, yaitu: 1) proses desain bersifat recursive, non linier dan terkadang chaotic, 2) perencanaan dan pengembangan desain bersifat reflektif, organik, dan kolaboratif , 3) tujuan (objektif) muncul selama pembuatan desain dan pengembangan, 4) pakar rancangan pembelajaran yang bersifat umum tidak ada, 5) pembelajaran menekankan kontekstualitas dan kebermaknaan, 6) pentingnya evaluasi formatif, dan 7) data yang bersifat subjektif dapat lebih bermakna. Desain model R2D2 mengenal tiga fokus kegiatan, yaitu fokus pendefinisian (define focus), fokus desain dan pengembangan (design and development focus), dan fokus diseminasi (dissemination focus). Ketiga fokus ini dapat dianggap prosedur pengembangan model R2D2. Namun demikian, fokus ini bukanlah prosedur yang kaku seperti model desain pembelajaran sistem. Hal terpenting adalah penerapan prinsip R2D2, yaitu rekursif,

38 reflektif, dan partisipatif dalam pengembangan pembelajaran. Bahkan Willis mengatakan seandainya seseorang menggunakan ketiga prinsip (rekursif, reflektif, dan kolaboratif) tetapi tidak menggunakan focus/prosedur define, design and development, dissemination, maka seseorang tersebut dikatakan memiliki semangat R2D2. Pemilihan model pengembangan pembelajaran R2D2 didasarkan beberapa pertimbangan, yaitu: 1) sifat siswa cerdas istimewa sering tidak selinier siswa reguler, sehingga pengembangan pembelajaran procedural/sistem kurang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran, 2) bahan ajar untuk siswa cerdas istimewa harus mendinamisasi kebutuhan kreativ, motivativ, dan berpikir tingkat tinggi, sehingga pengembangan pembelajaran selayaknya kolaboratif/bottom up, 3) adanya perkembangan dinamis akan pemanfaatan ilmu yang semestinya diasup oleh siswa cerdas istimewa, sehingga desain pembelajaran yang diterapkan mestilah reflektif dan kontekstual. B. Prosedur Pengembangan 1. Fokus Pendefinisian Focus pendefinisian meliputi kegiatan/aktifitas sebagai berikut: a. Membentuk tim partisipatori b. Pemecahan masalah secara progesif c. Mengembangkan kontekstualitas pembelajaran 2. Fokus Desain dan Pengembangan a. Pemilihan lingkungan pengembangan b. Pemilihan format media dan strategi pembelajaran c. Prosedur evaluasi 3. Fokus Diseminasi Focus diseminasi ada empat kegiatan/aktivitas di dalamnya, meliputi: 1) evaluasi sumatif, 2) paket akhir, 3) difusi, dan 4) adopsi. Pada penilitian pengembangan ini focus diseminasi tidak penulis lakukan karena keterbatasan waktu, dana, kemampuan penelitian. C. Ujicoba Produk 1. Desain Ujicoba Kegiatan uji coba merupakan satu kesatuan langkah kegiatan pengembangan dengan menggunakan model R2D2. ujicoba yang dilakukan meliputi: 1) uji pakar kepada pakar desain pembelajaran, pakar pembelajaran , dan pakar psikologi pembelajaran. 2) uji lapangan I kepada guru dan kelompok siswa (5 orang). 3) uji lapangan II kepada seluruh siswa pengguna/siswa cerdas istimewa di sekolah tempat penelitian. Uji lapangan kedua tidak dilakukan karena

39 keterbatasan penulis dan kondisi pembelajaran tidak sedang menyajikan topic listrik dinamis. Uji coba berguna untuk mengevaluasi pencapaian keberhasilan bahan ajar untuk memfasilitasi pembelajaran siswa cerdas istimewa . Ukuran keberhasilan bahan ajar mengikuti criteria keberhasilan pembelajaran, yaitu: 1) kemenarikan, 2) keefektifan, dan 3) keefisienan. Aspek yang dievaluasi meliputi: 1) penyajian buku, 2) kesesuaian materi dengan kurikulum, 3) kesesuaian materi dan penyajian dengan karakteristik cerdas istimewa. Hasil evaluasi menjadi bahan penyempurnaan bahan ajar. Hal ini merupakan prinsip kerekursifan model R2D2. 2. Subjek Uji lapangan Subjek uji lapangan adalah guru dan siswa cerdas istimewa di SMA N 1 Kota Jambi, SMA Titian Teras. dan SMA N 3 Kota Jambi. 3. Jenis Data Data yang diperoleh dari uji produk pengembangan ini dipergunakan untuk melihat kemenarikan, keefektifan, dan keefisienan bahan ajar. Data yang diperoleh berjenis kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh berupa saran dan pendapat para pakar dan subjek penelitian sedangkan data kuantitatif diperoleh dari skor angket uji pakar dan uji lapangan. Data kuantitatif akan dianalisis secara deskriptif untuk melihat kemenarikan, keefektifan, dan keefisienan bahan ajar. 4. Teknik Analisis Data Data kualitatif berupa pendapat dan saran akan dianalisis kesesuaiannya kebutuhan dan tujuan pengembangan bahan ajar ini. Hasil analisis akan dipergunakan untuk revisi produk pengembangan. Sedangkan data kuantitatif berupa skor angket akan dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh persentase skala penilaian. Persentase skala penilaian kemudian dibandingkan dengan tabel kualifikasi berikiut:

Skor 4 3 2 1

Skala Penilaian 81% - 100% 66% - 80% 56% - 65% 0% - 55%

Kualifikasi Sangat baik = sangat menarik/efektif/efisienan Baik = menarik/efektif/efisien Kurang Baik = kurang menarik/efektif/efisien Tidak baik = tidak menarik/efektif/efisien

5. Instrumen Pengumpulan Data

40 Instrument pengumpulan data pada pengembangan ini berupa panduan observasi, pedoman wawancara, dan angket. a. Panduan observasi digunakakan sejak fokus pendefinisian hingga tahap ujicoba. Berikut ini kisi-kisi pedoman observasi. 1) Kemenarikan 2) Kemudahan 3) Efektifitas 4) Efisiensi b. Pedoman wawancara digunakan dalam identifikasi masalah, penyelidikan kontekstual, curah gagasan, saran dan pendapat pakar. Berikut ini kisi-kisi pedoman wawancara. 1) 2) 3) 4) para pakar. 1) Indikator angket untuk validasi ahli desain pembelajaran a) Psikologi pembelajaran untuk siswa cerdas istimewa i. Kesesuaian modul dengan istimewa ii. Kesesuaian modul dengan kreatifitas siswa cerdas istimewa iii. Kesesuaian modul dengan motivasi siswa cerdas istimewa b) Teori belajar dan pembelajaran i. Konstruktivisme ii. Kontekstualitas iii. Kemandirian siswa c) Unsur-unsur pembelajaran i. Komponen modul ii. Tujuan pembelajaran iii. Uraian pembelajaran iv. Kegiatan pembelajaran v. Evaluasi hasil belajar vi. Bahasa 2) Indikator angket untuk validasi ahli pembelajaran kemampuan berpikir siswa cerdas Permasalahan pembelajaran siswa cerdas istimewa. Kondisi pembelajaran siswa cerdas istimewa Kondisi bahan ajar siswa cerdas istimewa Harapan terhadap kondisi bahan ajar.

c. Angket digunakan untuk mengumpulkan skor pendapat subjek penelitian dan

41 a) Substansi materi keseluruhan b) Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran c) Ketepatan materi alat ukur listrik d) Ketepatan materi perumusan besaran kelistrikan e) Ketepatan materi kegunaan kelistrikan dalam kehidupan f) Ketepatan latihan, tugas, dan evaluasi hasil belajar 3) Indikator angket untuk penilaian modul oleh guru dan siswa a) Komponen modul b) Penggunaan modul c) Desain dan tampilan modul d) Materi di dalam modul e) evaluasi

42

BAB IV HASIL PENGEMBANGAN Mengidentifikasi Kurukulum dan Tujuan Umum Pembelajaran Mengidentifikasi kurikulum dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang kualifikasi kemampuan yang diharapkan dan dapat dimiliki peserta didik setelah mengikuti pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA kelas X. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkaji kurikulum PAI SMA yang mengacu pada Permen Diknas NO. 22 tahun2006 tentang standar isi mata pelajaran PAI untuk SMA. Dari hasil analisis kurikulum PAI 2006 tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut: 2.1.1 Karakteristik materi PAI di SMA Menurut UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus di pelajari oleh peserta didik di SMA adalah pendidikan agama islam, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang MahaEsa serta berakhlak mulia. Pendidikan Agama Islam di SMA dikembangkan atas empat aspek yaitu AlQuran-Hadits, aqidah-akhlak,fiqh, dan tarikh (sejarah) kebudayaan Islam. Masing-masing aspek tersebut pada dasrnya saling terkait, isi mengisi dan melengkapi. Al Quran-Hadits merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam arti ia merupakan sumber aqidahakhlak,syariah/fiqih (ibadah, muamalah), sehingga kajiannya berada disetiap unsur tersubut. Aqidah (ushuluddin) atau keimanan merupakan akar atau pokok agama.

43 Syariah/fiqih (ibadah,muamalah) dan akhlak bertitik tolak dari aqidah, yakni sebagai manifestasi dan konsekuensi dari aqidah (keimanan dan keyakinan hidup). Sariah/fiqih merupakan system norma (aturan) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan makhluk lainnya. Akhlaq merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia, dalam arti bagaimana sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah dalam arti khas) dan hubungan manusia dengan manusia dan lainnya (muamalah) itu menjadi sikap hidup dan kepribadian hidup manusia dalam menjalankan system kehidupannya (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kekeluargaan, kebudayaan/seni, iptek, olahraga/kesehatan, dan lain-lain) dilandasi oleh aqidah yang kokoh. Sedangkan tarikh (sejarah) kebudayaan Islam merupakan perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam usaha bersyariah (beribadah dan bermuamalah) dan berakhlak serta dalam mengembangkan sistem kehidupannya yang dilandasi oleh aqidah. Keempat aspek tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Al-Quran-Hadits, menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Aspek aqidah menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-asma al-husna. Aspek akhlak menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari. Aspek fiqh menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik. Sedangkan aspek Tarikh & kebudayaan islam menekankan pada kemampuan mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik. Hubungan keempat aspek materi pembelajaran PAI tersebut merupakan kesatuan yang utuh untuk membentuk akhlak manusia dalam mengisi kehidupan yang berkebudayaan sesuai dengan nilai dan ajaran Islam sebagaimana dalam gambar bagan berikut: AL-QURANHADITS

AQIDAH / KEIMANA N

FIQIH/ IBADAH

AKHLAK

TARIKH/ SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

44

Gambar 3.3 Hubungan Lima Aspek Materi PAI di SMA Berdasarkan hasil analisis tersebut diatas, karakteristik materi pembelajaran pendidikan agama islam itu sesungguhnya adalah merupakan kesatuan yang utuh dan terintegrasi (integrated unity). Semua aspek materi dan tujuan dalam pembelajaran PAI agama Mengidentifikasi Tujuan Umum Pembelajaran Tujuan Umum Pembelajaran 1. Memahami ayat-ayat al-quran tentang manusia dan tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi serta keikhlasan dalam beribadah dikaitkan dengan konteks lingkungan social dan alam 2. Meningkatkan keimanan kepada Allah melalui pemahaman sifat-sifat-Nya dalam Al-Asma Al-Husna meliputi: Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Ghofur, Al-Khaliq, AlHayyu, Al-Bashir, Al-Mutakabir, Al-Qodir, Al-Qoyyum dikaitkan dengan konteks lingkungan social dan alam. 3. Membiasakan perilaku terpuji sikap huzsnuzhan kepada Allah,diri sendiri dan sesama dalam lingkunagn sosial dan alam. 4. Memahami sumber hokum Islam Al-Quran dan hadis serta ijtihad sebagai sumber acuan dalam kehidupan sosial dan alam. 5. Menerapkan hokum taklifi (mubah, wajib, sunnah, haram, makruh) serta kesadaran akan kewajiban dan hak-haknya dalam lingkungan sosial dan alam. 6. Meneladani sejarah dan strategi dakwah rasulullah dalam membina umat periode Makkah dalam kehidupan social dan alam Analisis Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan Penjabaran indikatornya Berdasarkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam Permen Diknas No 22 tahun 2006 tentang standar isi, teridentifikasi rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasarnya yang selanjutnya dikembangkan indikator hasil belajar mata pelajaran PAI untuk SMA kelas X (sepuluh) sebagaimana berikut: Kelas X, Semester 1 1)Aspek Al-Qura- Hadis a. Standar Kompetensi

45 1. Memahami ayat-ayat Al-Quran tentang manusia dan tugasnya sebagai khalifah di bumi. b. Kompetensi Dasar 1.1 Membaca QS AL-Baqarah 30, Al-Mukminun 12-14, Az-Zariyat 56 dan An-Nahl 78 1.2 Menyebutkan arti QS Al-Baqarah 30, Al-Mukminun 12-14, Az-Zariyat 56 dan An-Nahl 78. 1.3 Menampilkan perilaku sebagai khalifah di bumi seperti terkandung dalam QS AlBaqarah 30, Al-Mukminun 12-14, Az-Zariyat 56 dan An-Nahl 78. c. Indikator hasil belajar 1.1.1 Mampu membaca QS Al-Baqarah 30, Al-Mukminun 12-14, Az-Zariyat 56 dan An-Nahl 78, dengan baik dan benar. 1.1.2 Mampu mengidentifikasi tajwid QS Al-Baqarah 30, Al-Mukminun 12-14, AzZariyat 56 dan An-Nahl 78, 1.2.1 Mampu mengartikan masing-masing kata yang terdapat dalam QS Al-Baqarah 30, Al-Mukminun 12-14, Az-Zariyat 56 dan An-Nahl 78. 1.2.2 Mampu menerjemahkan ayat QS Al-Baqarah 30, Al-Mukminun 12-14, AzZariyat 56 dan An-Nahl 78. 1.2.3 Mampu menjelaskan kandungan QS Al-Baqarah 30, Al-Mukminun 12-14, AzZariyat 56 dan An-Nahl 78 dikaitkan dengan konteks lingkungan social dan alam 1.3.1 Mampu mengidentifikasi perilaku khalifah dalam konteks lingkungan sosial dan alam sesuai dengan QS Al-Baqarah 30, Al-Mukminun 12-14, Az-Zariyat 56 dan An-Nahl 78. 1.3.2 Mampu mempraktikkan perilaku khalifah dalam konteks lingkungan sosial dan alam sesuai dengan QS Al-Baqarah 30, Al-Mukminun 12-14, Az-Zariyat 56 dan An-Nahl 78.

46 1.3.3 Mampu menunjukkan perilaku sebagai khalifah dalam kehidupan (hubungan social dan alam) Standar Kompetensi 2. Memahami ayat-ayat Al-Quran tentang keikhlasan dalam beribadah. Kompetensi Dasar 2.1 Membaca QS Al-Anam 162-163 dan Al-Bayyinah 5. 2.2 Menyebutkan arti QS Al-Anam 162-163 dan Al-Bayyinah 5. 2.3 Menampilkan perilaku ikhlas dalam beribadah seperti terkandung dalam QS AlAnam 162-163 dan Al-Bayyinah 5. Indikator hasil belajar 2.1.1 Mampu membaca QS Al-Anam 162-163 dan Al-Bayyinah 5 dengan baik dan benar. 2.1.2 Mampu mengidentifikasi tajwid QS Al-Anam 162-163 dan Al-Bayyinah 5. 2.2.2 Mampu menterjemahkan ayat QS Al-Anam 162-163 dan Al-Bayyinah 5. 2.2.3 Mampu menjelaskan kandungan QS Al-Anam 162-163 dan Al-Bayyinah 5 dalam konteks lingkungan sosial dan alam 2.3.1 Mampu mengidentifikasi perilaku ikhlas dalam beribadah terutama dalam konteks lingkungan sosial dan alam sesuai dengan QS Al-Anam 162-163 dan Al-Bayyinah 5. 2.3.2 Mampu mempraktikkan perilaku ikhlas dalam beribadah terutama dalam konteks lingkungan sosial dan alam sesuai dengan QS Al-Anam 162-163 dan Al-Bayyinah 5. 2.3.3 Mampu menerapkan perilaku ikhlas dalam beribadah terutama dalam konteks lingkungan sosial dan alam sesuai dengan QS Al-Anam 162-163 dan AlBayyinah 5. 2) Aspek aqidah/ keimanan a. Standar kompetisi 3. Meningkatkan keimanan kapada allah melelui pemahaman sifat-sifat Nya dalam Al-Asma Al-Husna b. Kompetisi Dasar 3.1 Menyebutkan 10 sifat Allah Al-asma Al-Husna . 3.2 Menjelaskan arti 10 sifat Allah dalam Al-Asma Al-Husna .

47 3.3 Menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan Allah melalui 10 sifat Allah dqlqm Al-Asma Al-Husna Indikator hasil belajar 3.1.1 Mampu menjelaskan arti Al-Asma Al-Husna 3.1.2 Mampu menyebutkan 10 sifat Allah dalam Al-Asma Al-Husna yang terkait dengan kepedulian tehadap lingkungan sosial dan alam (As-Salam, AlMukmin,bAl-Muhaimin, Al-Hamid, Al-Afuwi, al-Ghafur, Al- Hayyu, alQayyum, Al- Mushawwir, al-amin) 3.2.1 Mampu menjelaskan 10 sifat Allah dalam Al-Asma Al-Husna yang terkait dengan kepedulian tehadap lingkungan sosial dan alam (As-Salam, AlMukmin,bAl-Muhaimin, Al-Hamid, Qayyum, Al- Mushawwir, al-amin) 3.2.2 Mampu menjabarkan 10 sifat allah kedalam sifat manusia 3.3.1 Mampu mempraktikkan sifat-sifat Allah yang sepatutnya bagi manusia dalam konteks lingkungan sosial dan masyarakat. 3.2 Mampu menerapkan perilaku yang mencerminkan penghayatan terhadap 10 sifat Allah (Al-Asma Al-Husna) dalam konteks lingkungan social dan alam. 3) Aspek Akhlak a. Standar kompetensi 4. 4.1 4.2 4.3 Membiasakan perilaku terpuji husnudzan Menyebutkan pengertian perilaku husnuzhan. Menyebutkan contoh-contoh perilaku husnuzhan terhadap Allah, diri sendiri dan sesama manusia Membiasakan perilaku husnuzhan terhadap Allah, diri sendiri dan sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari c. Indikator hasil belajar 4.1.1 Mampu menyebutkan pengertian husnuzhan terhadap Allah. 4.1.2 Mampu menyebutkan pengertian husnuzhan terhadap diri sendiri. 4.1.3 Mampu menyebutkan pengertian husnuzhan terhadap sesama manusia. 4.2.1 Mampu menyebutkan contoh husnuzhan terhadap Allah dalam konteks lingkungan sosial dan alam. 4.2.2 Mampu menyebutkan contoh husnuzhan terhadap diri sendiri dalam konteks lingkungan sosial dan alam. b. Kompetensi Dasar Al-Afuwi, al-Ghafur, Al- Hayyu, al-

48 4.2.3 Mampu menyebutkan contoh husnuzhan terhadap sesama manusia dalam konteks lingkungan social dan alam. 4.3.1 Menunjukkan sikap husnuzhan terhadap Allah dalam konteks lingkungan sosial dan alam. 4.3.2 Mampu menyebutkan contoh husnuzhan terhadap diri sendiri dalam konteks lingkungan social dan alam. 4.3.3 Menunjukkan sikap husnuzhan lingkungan sosial dan alam. 4.3.4 mempraktikkan kebiasaan sikap husnuzhan terhadap Allah,diri sendiri dan sesama manusia dalam konteks lingkungan sosial dan alam. 4) Aspek Fisik a. Standar Kompetensi 5. 5.1 5.2 5.3 Memahami sumber hukum islam, hokum taklifi, dan hikmah ibadah. Menyebutkan pengertian kedudukan dan fungsi Al-Quran, Al-Hadis, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam. Menjelaskan pengertian, kedudukan dan fungsi hukum taklifi dalam hukum Islam. Menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari c. Indikator hasil belajar 5klifi dalam hukum Islam. 5.3 Menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari c. Indikator hasil belajar 5.1.1 Mampu menyebutkan pengertian Al-Quran, Al- Hadis, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam. 5.1.2 Mampu menjelaskan kedudukan Al-Quran, Al- Hadis, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam. 5.1.3 Mampu menjelaskan fungsi Al-Quran, Al- Hadis, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam. 5.1.4 Mampu menjelaskan fungsi Al-Hadis terhadap Al-Quran. 5.1.5 Mampu menjelaskan macam-macam Al-Hadis 5.2.1 Menjelaskan hukum taklifi dalam hukum Islam 5.2.2 Menjelaskan kedudukan hukum taklifi dalam hukum Islam 5.2.3 Menjelaskan fungsi hukum taklifi dalam hukum Islam b. Kompetensi Dasar terhadap sesama manusia dalam konteks

49 5.3.1 Mampu menujukkan contoh-contoh perilaku sesuai hukum taklifi dalam konteks lingkungan social dan alam. 5.3.2 Mampu mempraktikkan contoh-contoh perilaku sesuai hukum taklifi dalam konteks lingkungan social dan alam. 5.3.3 Mampu menerapkan perilaku yang sesuai dengan hukum taklifi dalam konteks lingkungan sosial dan alam. 5) Aspek Tarikh dan Kebudayaan Islam a. Standar Kompetensi 6. Memahami keteladanan Rasulullah dalam membina umat dalam periode Mekkah. b. Kompetensi Dasar 6.1 6.2 Menceritakan sejarah dakwah Rasulullah SAW priode Mekkah. Mendeskripsikan substansi dan startegi dakwah Rasulullah SAW periode Mekkah. c. Indikator Hasil Belajar 6.1.1 Mampu menceritakan sejarah dakwah Rasulullah pada periode Mekkah. 6.1.2 mendeskripsikan proses perjalanan dakwah Rasulullah di Mekkah. 6.1.3 Mengidentifikasi nilai-nilai dakwah rasulullah pada periode mekkah. 6.2.1 Mampu menjelaskan substansi dakwah rasulullah periode mekkah. 6.2.2 Mampu menjelaskan strategi dakwah rasulullah periode Makkah 6.2.3 Mampu menjelaskan pengaruh dakwah rasulullah SAW terhadap umat. 6.2.4 Mampu menunjukkan keteladanan yang dapat diambil dari cara dakwah Rasulullah dalam konteks lingkungan sosial dan alam. Berdasarkan hasil analisis dan penjabaran standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) menjadi indikator tersebut dapat dipetakan pencapaian kompetensi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA perlu dikaitkan dengan konteks kehidupan lingkungan sosial dan alam peserta didik sebagaimana dalam bagan berikut:

ASPEK AL-QURAN-HADIST
1. a. b. c. 2. 3. 4. 5. Memahami ayat-ayat Al-Quran tentang manusia dan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Membaca QS Al-Baqarah: 30,Al-Mukminun: 12-14, Az-Zariyat: 56 dan An Nahl: 78 Menyebutkan arti QS Al-Baqariah :30, Al-Mukminun: 12-14, Az-Zariyat:56, dan An Nahl: 78 Menhampilkan perilaku sebagai khalifih di bumi seperti terkandung dalam QS Al- Baqarah:30, Al-Mulkminun: 12-14, AzZariyat:56, An Nahl: 78 Memahami ayat-ayat Al-Quran tentang keikhlasan dalam beribadah Membaca Al-Anam: 162-163, dan Al-Bayyinah: 5 Menyebutkan arti QS Al-Anam: 162-163, dan Al-Bayyinah: 5 Menampilkan perilaku ikhlas dalam beribadah seperti terkandung dalam QS Al-Anam: 162-163

50

ASPEK KEIMANAN 1. meningkatan keimanan pada Allah melalui pemahaman sifat-sifatnya dalam Al-Asma Al-Husna.

2. Menyebutkan 10 sifat Allah dalam Al-Asma AlHusna

3. Menjelaskan arti 10 sifat Allah dalam Al-Asma AlHusna ASPEK AKHLAK 4. Menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan 1. 2. Membiasakan perilaku terpuji terhadap 10 sifat Allah dalam Al-Asma Menyebutkan perilaku husnuzhan

3.
4.

Menyebutkan contoh-contoh perilaku husnuzhah terhadap Allah,diri sendiri dan sesama manusia Membiasakan perilaku husnuzhah dalam kehidupan sehari-hari.

KONTEKS LINGKUNGA N

ASPEK FIQIH Memahami sumber hokum islam, hokum taklif,dan hikmah ibadah 2. Menyebutkan pengertian kedudukan dan fungsi AlQuran, Al-Hadist,dan ijtihad,sebagai sumber hukum islam 3. Menjelaskan pengertian,kedudukan dan fungsi hukum taklif dalam hukum islam ASPEK SEJARAH ISLAM 4. Menerapkan hukum taklif dalam kehidupan sehari1. Memahami keteladanan rosulullah dlam membina hari umat periode makkah 2. Menceritakan sejarah dakwah rosulullah SAW periode makkah 3. Mendeskripsikan substansi dan strategi dakwah rosulullah SAW periode makkah 1.

51

You might also like