You are on page 1of 6

A.

KONSEP

1. Pemilihan Umum di Indonesia

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) yang bebas di Indonesia merupakan perwujudan syarat bagi negara demokrasi perwakilan di bawah rule of law sebagaimana yang dirumuskan oleh International Commission of Jurist di Bangkok pada tahun 1965.1 Selanjutnya dirumuskan mengenai definisi pemerintahan berlandaskan demokrasi, yaitu pemerintahan dimana warganegara melaksanakan hak yang sama tetapi melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui proses pemilihan-pemilihan yang bebas.

Menurut Prof. Dr. Ismail Sunny, pemilihan umum yang bebas merupakan suatu keharusan dan merupakan suatu lembaga yang sangat vital untuk demokrasi. Pemilihan umum yang bebas berarti bahwa dalam suatu jangka waktu tertentu rakyat akan mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik dan pemerintahannya melalui penyampaian aspirasi politik rakyat melalui pemilu untuk menempatkan wakilnya di pemerintahan. Selanjutnya menurut Rousseau adanya suatu perwakilan kekuasaan yang ditentukan oleh rakyat merupakan wujud kedaulatan rakyat yang disampaikan melalui sistem perwakilan dengan diterapkannya sistem demokrasi yang menunjukkan adanya hubungan antara ajaran kedaulatan rakyat dengan sistem demokrasi dalam suatu rangkaian yang terintegrasi.

Pemilihan Umum di negara-negara dilandaskan dalam suatu ketentuan konstitusi atau peraturan lainnya yang secara jelas mencantumkan asas kedaulatan rakyat sebagai dasar dalam praktek ketatanegaraannya, yang dapat diklasifikasikan sebagai negara demokrasi. Di Indonesia penempatan kedaulatan rakyat berada pada konteks Kekuasaan negara tertinggi yang dicantumkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 mengenai sistem pemerintahan negara (III). 2

Tujuan penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, yaitu pertama memungkinkan terjadinya pergantian pemerintahan secara damai dan tertib, kedua kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945, dan ketiga untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara. Pemilihan umum memberikan kesempatan kepada para peserta pemilu yang akan mengisi

jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan secara berkala melalui sistem penyelenggaraan pemilu tersebut, kemudian setelah terselenggaranya pemilu maka fungsi perwakilan dalam lembaga negara dapat dilaksanakan sesuai ketentuan UUD 1945 untuk selanjutnya terintegrasi dengan lembaga negara lainnya untuk menjalankan sistem pemerintahan secara efektif dan efisien, serta pemenuhan perwujudan hak-hak politik warga negara sebagai bagian dari hak asasi manusia mengenai kepentingan warga negara dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan.

Dasar Hukum Pemilihan Umum 1. Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2. Pasal 6A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 3. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 jo. Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum 5. Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 jo. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik 6. Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan adil untuk meraih perwakilan yang sesuai dengan aspirasi rakyat merupakan cita-cita dari semua negara yang demokratis, termasuk Indonesia. Dalam perjalanan menuju cita-cita ini, keadaan pemilihan umum di Indonesia tentu tidak luput dari kendala. Kendala ini beragam jenisnya, mulai dari kecurangan yang dilakukan calon peserta pemilu hingga besarnya jumlah alokasi dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan sebuah pemilihan umum. Berkaitan dengan bahasan makalah ini yaitu tentang penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan presiden yang serentak, beberapa kalangan mendukung ide tersebut dengan berbagai alasan, salah satunya untuk keefektifan dan efisiensi penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Perwujudan dari gagasan tersebut dimunculkan dalam revisi Undang-Undang Pemilu yang sedang didiskusikan saat ini. Jika sampai terealisasi pemilihan umum serentak pada tahun 2019, maka yang diharapkan adalah penghematan biaya dan waktu. Pemilu yang tidak serentak dinilai tidak efektif dan terlalu menguras biaya. Namun sebelum gagasan ini diwujudkan perlu dilakukan tinjauan lebih lanjut mengenai dampak lebih lanjut dan aspek kesiapan untuk dilaksanakannya pemilihan umum ini secara serentak dengan lingkup lebih luas dari sekedar masalah biaya dan waktu semata. Di luar dari manfaat yang diharapkan, perlunya dilakukan peninjauan lebih lanjut apakah manfaat yang diharapkan tersebut dapat benar-benar teralisasikan dan apakah tidak ada pengaruh negatif yang timbul dari dilaksanakannya pemilu secara serentak antara Pemilu Presiden dengan Pemilu Legislatif.

Argumentasi Peninjauan Lebih Lanjut Penyelenggaraan Pemilihan Umum Secara Terpisah

Apabila ditinjau dari segi mekanisme penyelenggaraan pemilu, pemilihan umum legislatif dan presiden yang dijalankan secara serentak akan menjadi lebih rumit. Dalam satu waktu, diselenggarakan pemilihan untuk dua lembaga sekaligus yaitu lembaga legislatif dan kepresidenan, dimana akan dibutuhkan lima macam surat suara, lima macam kotak suara, lima macam format penghitungan suara beserta berita acaranya, melakukan lima kali perhitungan suara di beberapa tingkat, dan lima kali pengiriman jumlah suara. Hal ini dikhawatirkan akan membuat para pemilih mengalami kesulitan, karena dalam satu waktu harus dihadapkan pada keputusan-keputusan yang amat penting, yaitu: siapa dan dari partai apa yang akan dipilih dari banyak partai dan ribuan calon untuk menjadi anggota DPR; siapa yang akan dipilih dari ratusan calon perseorangan untuk menjadi anggota DPD; siapa dan partai politik apa yang akan dipilih dari banyak paket calon menjadi Presiden dan Wakil Presiden; siapa dan dari partai politik apa yang akan dipilih dari banyak partai politik dan ribuan calon menjadi anggota DPRD Provinsi; dan siapa dan dari partai politik apa yang akan dipilih dari banyak partai politik dan ribuan calon menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota. Apalagi jika juga dihadapkan dengan adanya gagasan untuk pelaksanaan pemilukada secara serentak, maka untuk pemilihan Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota juga dipilih secara langsung oleh rakyat dalam waktu yang sama, maka kerumitan semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena diperlukan kesadaran dan kepedulian atas penyelenggaraan politik dan pemerintahan bagi rakyat untuk menentukan pilihan yang tepat dalam menunjuk wakil mereka di pemerintahan. Sedangkan, dalam pemilu yang dilaksanakan secara terpisah saja kesadaran politik rakyat masih rendah dan banyak yang tidak tahu harus memilih kandidat yang mana. Informasi mengenai peta politik terkait pemilihan umum yang dilaksanakan yang harus dicerna oleh warga negara untuk dapat memilih sangat banyak dan membingungkan apabila mereka diharuskan untuk memilih presiden dan anggota legislatifnya dalam waktu yang sama. Sebaiknya penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan presiden dipisah untuk memberikan kesempatan lebih bagi rakyat untuk mendapatkan sebuah informed choice mengenai peta politik dan pemilihan umum yang diselenggarakan. Lebih lanjut yaitu apabila penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan presiden dilakukan secara serentak, maka perlu diipertimbangkan apakah dalam masa kampanye yang sama informasi politik mengenai pemilihan umum tersebut dapat tersampaikan dengan baik dan tepat sasaran kepada warga negara oleh calon-calon yang akan dipilih tersebut, dan diragukan informasi politik mengenai pemilihan umum tidak dikemas secara baik dalam satu paket penyelenggaraan pemilu yang serentak tersebut. Oleh karena itu, kualitas penyelenggaraan pemilihan umum dan kualitas hasil pemilihan umum akan dikhawatirkan lebih rendah bila pemilihan penyelenggara kelima jabatan publik dilakukan secara serentak. (www.watchindonesia.org/Pemilu2004.htm Mulyana W Kusumah & Pipit Kartawidjaja: Pemilu 2004, RepublikaOnline 6 Juni 2012)

2. Penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan presiden secara serentak dikhawatirkan akan

menghasilkan kekosongan jabatan penyelenggara pemerintahan, baik sebelum maupun setelah dilaksanakannya pemilihan umum. Ini karena pejabat penyelenggara pemerintahan terutama lembaga legislatif yang incumbent akan kembali ke daerah-daerah pilihannya untuk dapat kembali menjabat dengan menjadi peserta pemilu selanjutnya sehingga pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pejabat incumbent tersebut tidak selesai hingga akhir masa jabatannya. Selanjutnya untuk pengisian jabatan harus menunggu hasil pemilihan umum untuk lembaga-lembaga lainnya yang dilaksanakan.. 3. Penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan presiden secara serentak akan menyebabkan kualitas partai politik pemilihan umum menjadi menurun karena dalam pemilihan secara terpisah partai politik tersebut sebelumnya telah diseleksi melalui pemilu legislatif melalui hasil dukungan publik di lembaga legislatif sehingga untuk pengajuan calon presiden dan/atau wakil presiden di pemilu presiden telah dapat dilihat adanya dukungan publik terlebih dahulu terhadap partai politik tersebut. Apabila penyelenggaraan pemilihan umum secara serentak maka, partai politik yang mengajukan calon-calonnya dalam pemilu tersebut tidak terseleksi lebih dahulu melalui pemilu legislatif sehingga partai politik yang tidak memperoleh suara yang cukup dapat tetap mengusulkan calonnya untuk ikut dalam pemilu presiden, dan terkesan semua partai politik dapat mengikuti kedua bentuk pemilihan umum , legislatif dan presiden.
(http://www.kpu.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4931)

4. Penyelenggaraan pemilihan umum yang serentak bagi legislatif dan presiden menimbulkan kesulitan lain saat proses penghitungan suara. Beban yang harus dipikul oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU Daerah sangat besar karena suara bagi kedua pemilihan umum itu apabila digabung sangat banyak dan harus dihitung dengan akurat dan cepat. Padahal, pada saat pemilihan umum terpisah pun masih rawan kesalahan dan mengundang pertentangan atas akurasi penghitungan tersebut. Pada saat ini, sumber daya yang dimiliki oleh KPU dan KPU Daerah masih terbatas dan belum dapat mengolah data sebanyak dan secepat yang diinginkan. Sehingga tidak jaminan bahwa penyelenggaraan pemilu secara serentak tersebut KPU dan KPU Daerah mampu untuk melaksanakannya secara lebih baik dibanding dengan pemilu terpisah, bahkan cenderung tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

5. Penyelenggaraan pemilihan umum yang serentak bagi legislatif dan presiden dalam hal pelaksanaan dan pengawasan oleh KPU, KPU Daerah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat dan Daerah akan memberi peluang atas terjadinya kecurangan-kecurangan baik berupa tindakan politik uang black campaign pemalsuan surat suara dan lain sebagainya maupun kelalaian dan kesalahan yang terjadi mulai dari proses pendaftaran pemilih hingga penghitungan suara yang disebabkan oleh luasnya bidang tanggung jawab KPU, KPU Daerah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat dan Daerah sehingga pengawasan pelaksanaan pemilu menjadi lemah dan tidak ketat. Apabila dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu secara terpisah saja pengawasan dan pelaksanaan KPU, KPU Daerah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat dan Daerah masih memberi celah terjadinya berbagai pelanggaran dan kelalaian baik oleh peserta pemilu maupun oleh KPU/KPU Daerah dan Bawaslu Pusat/Daerah. 6. Penyelenggaraan pemilihan umum yang serentak bagi legislatif dan presiden akan memberikan beban lain terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), jika hal tersebut dilaksanakan maka dalam APBN pada satu tahun tertentu akan menempati porsi anggaran yang lebih besar dan mengurangi alokasi untuk anggaran lainnya yang ada dalam APBN. Apabila dibandingkan dengan pemilu yang dilaksanakan secara terpisah, beban anggaran pada APBN juga akan dialokasikan pada tahun yang berbeda dengan porsi anggaran yang berbeda pula sehingga untuk porsi anggaran lainnya tidak mengalami pengurangan tertentu dan anggaran untuk kegiatan penyelenggaraan negara lainnya dapat diberikan sebagaimana mestinya. 7. Mekanisme pelaksanaan pemilu serentak hingga saat ini masih belum pasti, namun anggota pansus RUU Pemilu Nurul arifin menjelaskan bahwa ada dua asumsi model yang dapat diterapkan: a) Sistem pemilu nasional dan local b)

You might also like