You are on page 1of 33

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.1,2,3 Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik.1,2,4 Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih sering terjadi dinegara Timur dibanding negara Barat. Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor genetik.3,5 Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.6 Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sum-sum tulang. Gejala subjektif dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah penting sebab semakin

dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan atau parsial semakin besar.6,7 Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.8 Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek. Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69% sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9 1.2. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah: Bagaimana gambaran klinis dan penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien yang mengalami penyakit anemia aplastik? 1.3. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan laporan kasus ini diantaranya:
a. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit anemia aplastik b. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus penyakit anemia

aplastik pada pasien secara langsung


c. Untuk memahami perjalanan penyakit anemia aplastik

1.4. Manfaat Penulisan Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini diantaranya:
a. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang ilmu penyakit

dalam, khususnya mengenai penyakit anemia aplastik


b. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut

topik yang berkaitan dengan penyakit lupus anemia aplastik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Anemia Aplastik Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.4 Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1 2.2 Epidemiologi Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun.9 The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika.5

2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik

Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut : A. Klasifikasi menurut kausa2 : 1. 2. 3. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira Sekunder : bila kausanya diketahui. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, 50% kasus.

misalnya anemia Fanconi B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10 Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan - Dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 0,5x109/l trombosit < 20x109 /l retikulosit < 20x109 /l Anemia aplastik sangat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil berat <0,2x109/l Anemia aplastik bukan Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat berat atau sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut : - netrofil < 1,5x109/l - trombosit < 100x109/l - hemoglobin <10 g/dl 2.4 Etiologi Anemia Aplastik Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti

penyebabnya tidak diketahui.4,11 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2). Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12,13 Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia) Anemia aplastik sekunder Radiasi Bahan-bahan kimia dan obat-obatan Efek regular Bahan-bahan sitotoksik Benzene Reaksi Idiosinkratik Kloramfenikol NSAID Anti epileptik Emas Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya Virus Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa) Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G) Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia) Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat) Penyakit-penyakit Imun Eosinofilik fasciitis Hipoimunoglobulinemia Timoma dan carcinoma timus Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi Paroksismal nokturnal hemoglobinuria Kehamilan Idiopathic aplastic anemia Anemia Aplastik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)

Anemia Fanconi Diskeratosis kongenital Sindrom Shwachman-Diamond Disgenesis reticular Amegakariositik trombositopenia Anemia aplastik familial Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.) Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel) 2.5 Patogenesis11 Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel. Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sangat sensitif mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic syndrome (MDS) dan acute myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti. Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.

Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan apoptosis. 2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi kordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen leukopoesis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organorgan.7 Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadangkadang juga dikeluhkan.1 Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.

Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik

Jenis Keluhan Pendarahan Lemah badan Pusing Jantung berdebar Demam Nafsu makan berkurang Pucat Sesak nafas Penglihatan kabur Telinga berdengung

% 83 80 69 36 33 29 26 23 19 13

Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2


Jenis Pemeriksaan Fisik Pucat Pendarahan Kulit Gusi Retina Hidung Saluran cerna Vagina Demam Hepatomegali Splenomegali % 100 63 34 26 20 7 6 3 16 7 0

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.

2.7 Pemeriksaan Penunjang 2.7.1 Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan Darah Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.2 Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.2,9 Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.9 Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2 Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.9 b. Pemeriksaan sumsum tulang

10

Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.9 Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12 Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun.8 International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.9 2.7.2 Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak. 2.8 Diagnosa3,9,10 Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai

11

sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia aplastik (lihat tabel 1). 2.9 Diagnosa Banding Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6. Table 6 Penyebab Pansitopenia14 Kelainan sumsum tulang Anemia aplastik Myelodisplasia Leukemia akut Myelofibrosis Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia Anemia megaloblastik Kelainan bukan sumsum tulang Hipersplenisme Sistemik lupus eritematosus Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger-Het), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan

12

megakariosit

dapat

menunjukkan

lobulasi

nukleus

abnormal

(misalnya

mikromegakariosit unilobuler).9 Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14 Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14 Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik. 2.10 Penatalaksanaan Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).9 Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik9

Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik. Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan. Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan. Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat. Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.

13

Assessment

untuk

transplantasi

stem

sel

allogenik

pemeriksaan

histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9 Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.15

Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.15 a. Pengobatan Suportif15

14

Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. b. Terapi Imunosupresif Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte

globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada15 : Anemia aplastik bukan berat Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun

dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3 Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.15 Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.15 Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11 Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11

15

Dosis test ATG : ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan. Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) : Asetaminofen 650 mg peroral Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus Hidrokortison 50 mg intravena perbolus Terapi ATG : ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG : Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness, tapering dosis setiap 2 minggu. Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati. Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.15 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun.

16

Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.15 c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies) Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.15 Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.15 Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti GranulocyteColony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.11,15 Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.9,15 d. Transplantasi sumsum tulang Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan

17

terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10 Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan.15 Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10 Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15 Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut15 : - Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3. - Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3. - Refrakter : tidak ada perbaikan. 2.11 Prognosis9 Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang

18

dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning untuk transplantasi. Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun. Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.

19

BAB 3 LAPORAN KASUS STATUS ORANG SAKIT Co-Ass I: Sri Wahyuni Dokter Ruangan Co-Ass II : Ririn G. 1. Dr Iqbal Co-Ass III : Ofia 2. Dr Vincentia Stase DKR Co-Ass IV : Ade Irma Dr. Co-Ass V : Tina Reisa Dokter Kepala Ruangan Co-Ass VI : Kelvin 1. Dr Yuwanda 2. Dr Coass VII : Ramos E. Ginting : : : : : M. Faisal 16 Tahun Laki- laki Belum Menikah Pelajar

Tanggal masuk 23 Agustus 2011 Jam 13:40

ANAMNESE PRIBADI Nama Umur Jenis kelamin Status Perkawinan Pekerjaan

20

Suku Agama Alamat

: Jawa : Islam : Jl. B. Hilir No. 57 DSN XIV B. Kalipah

ANAMNESE PENYAKIT Keluhan utama : Muka pucat Telaah : Hal ini dialami oleh pasien sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit, dan memberat dalam 2 hari ini. Mimisan dan gusi berdarah dijumpai 1 hari yang lalu. Riwayat perdarahan dijumpai, riwayat muntah darah tidak dijumpai, buang air besar berwarna hitam tidak dijumpai. Demam dialami oleh pasien sejak 1 minggu yang lalu, demam hilang timbul dan lebih sering pada malam hari dan disertai keringat malam. Menggigil dijumpai setelah demam. Demam turun dengan obat penurun panas tetapi tidak pernah mencapai suhu normal. Sakit kepala dialami pasien sejak 1 minggu yang lalu, sakit kepala dirasakan berdenyut denyut. Batuk dialami oleh pasien sejak 3 hari yang lalu, batuk berdahak, warna dahak putih, volume 2 sendok makan, batuk berdarah tidak dijumpai. Sesak nafas tidak dijumpai. RPT : Anemia aplastik RPO : Tidak jelas ANAMNESE ORGAN Jantung Saluran Pernafasan Saluran Perncernaan Sesak nafas :Edema : Palpitasi : Asma, bronkitis : Lain lain Penurunan berat badan : Keluhan defekasi Lain - lain b.a.k tersendat : keadaan urin :lain lain Keterbatasan gerak : Lain lain Gugup : Perubahan suara : Lain- lain :-

Angina pektoris : Batuk batuk : + Dahak Nafsu makan Keluhan perut Sakit b.a.k : + : biasa ::-

Keluhan menelan : Saluran Urogenital

Mengandung batu : Sendi dan Tulang Endokrin Haid :Sakit pinggang : Kel. Persendian :Haus/ polidipsi : Poliuri : Polifagi : -

21

Syaraf pusat Sakit kepala : + Darah dan Pembuluh Pucat : + darah Sirkulasi Perifer ANAMNESE FAMILI : Petechiae : Claudicatio intermitten : -

Hoyong : Perdarahan : Purpura : Lain lain Lain lain

Tidak djiumpai adanya riwayat penyakit yang sama pada anggota keluarga

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK STATUS PRESENS : Keadaan umum Sensorium : kompos mentis Tekanan Darah : 100/60 mmHg Nadi : 100 x/I, reg, t/v cukup Pernafasan : 24 x/i Temperatur : 38 0 C Keadaan penyakit Pancaran wajah : lemah Sikap paksa : dijumpai Refleks fisiologis : + Refleks patologis : Anemia (+), ikterus (-), Dispnu (-), sianosis (-), udem (-), Purpura (-), turgor kulit : baik Keadaan gizi: RBW = BB x 100 % TB 100 RBW = 48 x 100 % = 77,4 % 162 - 100 TB = 162 cm BB = 48 cm

KEPALA Mata : konjungtiva palpebra pucat (+), ikterus (-), pupil: isokor, ukuran 2- 3 mm Refleks cahaya direk (+) / indirek (+), kesan dalam batas normal Lain lain : Telinga : dalam batas normal Hidung : dalam batas normal Mulut : lidah : dalam batas normal Gigi geligi : dalam batas normal Tonsil/ Faring : dalam batas normal

22

LEHER Struma tidak membesar, tingkat : -. Pembesaran kelenjar limfe (-), lokasi : - jumlah : -, konsistensi : -, mobilitas : -, nyeri tekan (-) Posisi trakea : medial, TVJ : R - 2 cm H2O Kaku kuduk (-), lain lain : TORAK DEPAN Inspeksi Bentuk : simetris fusiformis Pergerakan : reguler Palpasi Nyeri tekan :Fremitus suara : SF kanan = kiri Iktus :Perkusi Paru Batas paru- hati R/A : ICR VI Peranjakan : Jantung Batas atas jantung : ICR III sinistra Batas kiri jantung : 1 cm medial LMCS Batas kanan jantung : LSD Auskultasi Paru Suara pernafasan : vesikuler Suara tambahan :Jantung M1>M2, P2>P1, A2>A1, A2>A1, desah sistolik (-), tingkat : Desah diastolis (-), lain lain : HR : 100 x/menit, reg, intensitas : TORAKS BELAKANG Inspeksi : simetris fusiformis Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru Auskultasi : vesikuler pada kedua lapangan paru ABDOMEN Inspeksi Bentuk Gerakan lambung/ usus Vena kolateral Caput medusa Palpasi Dinding abdomen

: simetris : dalam batas normal ::: soepel, H/L/R = tidak teraba

23

HATI Pembesaran Permukaan Pinggir Nyeri tekan LIMPA Pembesaran GINJAL Ballotement

::::: -, Schuffner (-), Haeckett (-)

: (-), kiri/ kanan, lain lain : -

UTERUS/OVARIUM : TUMOR Perkusi Pekak hati Pekak beralih : Auskultasi Peristaltik usus :+ :: + normal

PINGGANG Nyeri ketok sudut kosto vertebra (-), kiri/kanan INGUINAL : dalam batas normal

GENITALIA LUAR : tidak dilakukan pemeriksaan PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT): Perineum : tidak dilakukan pemeriksaan Spincter ani : tidak dilakukan pemeriksaan Lumen : tidak dilakukan pemeriksaan Mukosa : tidak dilakukan pemeriksaan Sarung tangan : tidak dilakukan pemeriksaan ANGGOTA GERAK ATAS Deformitas sendi :Lokasi :Jari tabuh :Tremor ujung jari :Telapak tangan sembab : ANGGOTA GERAK BAWAH Kiri kanan Udem: A. Femoralis : dbn dbn A.Tibialis dbn dbn posterior : A.Dorsalis pedis: dbn dbn

24

Sianosis Eritema Palmaris Lain lain

::-

Refleks KPR : Refleks APR : Refleks Fisiologis : Refleks Patologis : Lain - lain

+ + + -

+ + + -

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN Darah Kemih Tinja Hb : 1,9 g% Warna : kuning jernih Warna : tdp 3 3 Leukosit : 3,36. 10 /mm Reduksi: Konsistensi: tdp LED :Protein : +1 Eritrosit : tdp 6 3 Eritrosit : 0,77. 10 /mm Bilirubin : Leukosit : tdp Ht : 6,1 % Urobilinogen : + Amuba/kista: tdp Hitung : E/B/N/L/M jenis Sedimen Telur cacing: 0/0/10,1/87,8/2,1 Eritrosit : 0 1 / lpb Askaris : Leukosit : 4 6 / lpb Ankilos : Silinder : - / lpb T. Trichura: Epitel : - / lpb Kremi : Kristal : + leucine RESUME ANAMNESE K.U : muka pucat Telaah: Hal ini dialami oleh pasien sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit, dan memberat dalam 2 hari ini. Mimisan dan gusi berdarah dijumpai 1 hari yang lalu. Riwayat perdarahan dijumpai, riwayat muntah darah tidak dijumpai, buang air besar berwarna hitam tidak dijumpai. Demam dialami oleh pasien sejak 1 minggu yang lalu, demam hilang timbul dan lebih sering pada malam hari dan disertai keringat malam. Menggigil dijumpai setelah demam. Demam turun dengan obat penurun panas tetapi tidak pernah mencapai suhu normal. Sakit kepala dialami pasien sejak 1 minggu yang lalu, sakit kepala dirasakan berdenyut denyut. Batuk dialami oleh pasien sejak 3 hari yang lalu, batuk berdahak, warna dahak putih, volume 2 sendok makan, batuk berdarah tidak dijumpai. Keadaan Umum : buruk Keadaan Penyakit : berat Keadaan Gizi : kurang

STATUS PRESENS

25

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum Sensorium : kompos mentis Tekanan Darah : 100/60 mmHg Nadi : 100 x/I, reg, t/v cukup Pernafasan : 24 x/i Temperatur : 38 0 C

Keadaan penyakit Pancaran wajah : lemah Sikap paksa : dijumpai Refleks fisiologis : + Refleks patologis : -

Anemia (+), ikterus (-), Dispn

udem (-), Purpura (-), turgor k Kepala Mata : konjungtiva palpebra pucat (+), ikterus (-), pupil: isokor, ukuran 2- 3 mm Refleks cahaya direk (+) / indirek (+), kesan dalam batas normal Telinga/ Hidung/ Mulut : dalam batas normal Leher : dalam batas normal, TVJ R 2 cm H20 Torak depan Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Simetris fusiformis SF kanan = kiri Sonor vesikuler Torak belakang Simetris fusiformis SF kanan = kiri Sonor Vesikuler

Abdomen : dalam batas normal, H/L/R : tidak teraba Pinggang : dalam batas normal Inguinal : dalam batas normal Genitalia luar : tidak dilakukan pemeriksaan Pemeriksaan colok dubur : tidak dilakukan pemeriksaan. Anggota gerak bawah : dalam batas normal Anggota gerak atas : dalam bats normal Laboratorium Rutin Darah : Hb Leukosit LED Eritrosit Ht Hitung jenis

: 1,9 g% : 3,36. 10 3/mm3 :: 0,77. 10 6/mm3 : 6,1 % : E/B/N/L/M 0/0/10,1/87,8/2,1

Kemih Warna : kuning jernih Reduksi: -

26

Protein : +1 Bilirubin : Urobilinogen : + Sedimen Eritrosit : 0 1 / lpb Leukosit : 4 6 / lpb Silinder : - / lpb Epitel : - / lpb Kristal : + leucine Tinja : tidak dilakukan pemeriksaan Diagnosa banding 1. Anemia aplastik 2. Leukemia kronik 3. Leukemia akut 4. Thallasemia 5. ITP Diagnosa Anemia aplastik sementara Penatalaksanaan Aktivitas : tirah baring Diet : makanan biasa Tindakan supportif : Medikamentosa: IVFD NaCl 0,9 % 20 gtt/i Kotrimoksazol 2 x 960 mg Paracetamol 3x1 Omeprazol 2 x1 Methylprednisolon 4 mg Transfusi darah Rencana Penjajakan Diagnostik / Tindakan Lanjut 1. Darah rutin 2 Retikulosit count 3. morfologi darah tepi 4. SI/ TIBC 5. Serum Ferritin NO Tanggal 23-08-2011 Jenis Pemeriksaan Hematologi 6. 7. 8. 9. 10. Hasil Darah Lengkap Hemogoblin: 2,90 g% Eritrosit: 1,13.105/mm3 Keterangan

27

Leukosit: 1,98.103/mm3 Hematokrit: 8,90% Trombosit: 3.103/mm3 MCV: 78,80 fl MCH:25,70 pg MCHC: 32,60 pg MPV: 32,60 g% PCT:0,00% PDW: 11,3 fl Hitung jenis Neutrofil: 13,60% Limfosit: 75,80% Monosit: 10,60 % Eosinofil: 0,00 % Basofil: 0,000% Neutrofil absolute: 0,27.103/l Limfosit absolute: 1,50.103/l Monosit absolute: 0,21.103/l Eosinofil absolute: 0,00.103/l Basofil absolute: 0,00.103/l Retikulosit: 0,15% Patologi Klinik Faal Hemostasis Besi (Fe/Iron): 89 mg/dL TIBC: 186g/dL Kimia Klinik UIBC: 97 g/dL

Follow up 23-08-2011 Keluhan Utama Keluhan Tambahan Status Presens

Muka pucat Sensorium Nadi Pernafasan Temp

: CM : 100 x/i : 24 x/i : 38 oC

Tekanan Darah : 100/60 mmHg

28

Diagnosis Terapi

Anemia Aplastik Tirah baring Diet MB IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i Cotrimoxazole 2 x 960 mg Anjuran: Transfusi trombosit 10 bag Transfusi PRC 6 bag

Follow up 24-08-2011 Keluhan Utama Observasi Status Presens

Muka pucat, muka sembab, bintik-bintik merah dan lebam pada kulit. Mata: anemi (+) Wajah: moon face Sensorium : CM Tekanan Darah : 100/60 mmHg Nadi Pernafasan : 100 x/i : 22 x/i

Diagnosis Terapi

Temp : 38,8 oC Anemia Aplastik Tirah baring Diet MB IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i Cotrimoxazole 2x960 mg PCT 3x1 Omeprazole 2x1 Metylprednisolon 4mg 4-6-3 Anjuran: Transfusi trombosit 10 bag Transfusi PRC 6 bag

29

30

BAB 4

31

KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan


1. Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang

ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. 2. Pendekatan Diagnostik anemia aplastik dengan melakukan anamnesis, dimana didapatkan gejala anemia seperti lemah, dyspnoe deffort, palpitasi kordis, takikardi, pucat. Kemudian terdapat gejala akibat kekurangan leukopoeisis seperti pasien mudah menderita infeksi. Selain itu terdapat gejala kekurangan trombosit seperti perdarahan di kulit, selaput lendir atau perdarahan di organ-organ. 3. Pada kasus ini, pasien mengalami asnemia aplastik , dimana ditemukan adanya gejala pucat, perdarahan (mimisan dan gusi berdarah), demam, batu dan batuk. Selain itu dari pemeriksaan penunjang darah rutin didapati pansitopenia. Terapi pada pasien ini diberikan terapi mengatasi infeksi seperti antibiotika dan transusi darah yaitu trombosit dan PRC.

4.2. Saran a. Diharapkan dapat dilakukan anamnesis yang sistematis dan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan anemia aplastik . b. Diperlukan penatalaksanaan tepat pada kasus anemia aplastik serta diperlukan kontrol yang tepat dalam menilai hasil pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

32

1. Lee GR, Foerster J, et al. 1993. Wintrobes Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-London: Lee& Febiger. 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm. 4. Hoffman. 2000. Hematology : Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone. 5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. Available in http://www.jpmi.org/org_detail.asp 6. Supandiman I. 1997. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik 2003. Jakarta. Q-communication. 7. Supandiman I. 1997. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni. 8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Available in http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/ 9. Lichtman MA, Beutler E, et al. 2007. William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical. 10. Hoffbrand AV, Catovsky D, et al. 2005. Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing. 11. Munker R, Hiller E, et al. 2007. Modern Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey: Humana Press. 12. Kasper DL, Fauci AS, et al. 2007. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill. 13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. 2005. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New York: Lange McGraw Hill. 14. McPhee SJ, Papadakis MA, et al. 2007. Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill.

33

15. Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

You might also like