You are on page 1of 45

1.

Pengertian Ihtikar
Ihtikar artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan. Upaya penimbunan barang dagangan
untuk menunggu melonjaknya harga.
Para ulama mengemukakan definisi ihtikar yakni:
- Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (ahli Fiqih Madzhab Zaidiyah) mendefinisikan
penimbunan/penahanan barang dagangan dari peedarannya.
- Imam Al-Ghazali (Madzhab Syafii) mendefinisikannya penyimpanan barang dagangan oleh
penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga
elonjaknya.
- Ulama Madzhab Maliki mendefinisikannya dengan penyimpanan barang oleh produsen baik
makanan, pakaian dan segala barang yang meusak pasar.
Ketiga definisi tesebut, bleh dikatakan mempunyai pengertian yang sama, yaitu ada upaya dari
seseorang orang menimbun barang pada saat barang itu langka atau diperkirakan harga akan
naik, seperti kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).
2. Dasar Hukum Ihtikar
Dasar hukum yang digunakan para ulama fikih yang tidak membolehkan Ihtikar adalah
kandungan nilai-nilai universal al-Quran yang menyatakan, bahwa setiap perbuatan aniaya,
termasuk di dalamnya ihtikaar diharamkan oleh agama Islam.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah:2
. ( #-!v u#-?)^u#( 4 u#-9.\(u| #-}MO.O t?v ?o\-uPu#( ue (
u#-9I|).uu3 #-9.9qe t?v u?o\-uPu#(
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan kebajikan dan taqwa dan janganlah
tolng-menolonglah dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Al-Maidah:2)
Firman Allah:
VZ t8 Be( #-9oe e |t=v.3'/| \~ uBt-
Dan Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Al-Hajj:
78)
Sabda Rasulullah SAW:

( )
Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan
menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat. (HR. Thabrani)
3. Hukum Ihtikar
Berdasarkan ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah diatas, para ulama sepakat mengatakan,
bahwa Ihtikar tergolong dalam perbuatan yang dilarang (haram).
Seluruh ulama sepakat menyatakan ihtikar itu hukumnya haram, walaupun terjadi perbedaan
pendapat tentang cara penetapan hokum tersebut, sesuai dengan system pemahaman hokum
yang dimiliki oleh madzhab masing-masing.
Ulama madzhab SyafiI, Hanbali, Maliki, Zaidiyah dan Az-Zahiri berpendapat bahwa melakukan
ihtikar hukumnya haram, berdasarkan ayat dan hadits yang telah disebutkan diatas.
Menurut kalangan Madzhab Maliki, ihtikar itu hukumnya haram dan harus dicegah oleh
pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu membawa mudharat yang besar terhadap
kehidupan masyarakat dan Negara. Oleh karena itu, pihak penguasa harus segera campur
tangan untuk mengatasinya sesuai dengan kaidah fiqih yang mengatakan :

hak orang lain terpelihara menurut syara.
Dalam masalah ini ihtikar yang paling utama yang harus diperhatikan adalah hak konsumen,
karena menyangkut orang banyak. Sedangkan hak orang lain yang melakukan ihtikar
(penimbunan) hanya merupakan hak pribadi. Sekiranya hak pribadi bertentangan dengan hak
orang banyak, maka hak orang banyaklah yang harus diutamakan dan didahulukan.
Madzhab SyafiI berpendapat, bahwa hadits yang menyatakan ihtikar merupakan suatu
pekerjaan yang salah, mengertian yang dalam. Sebab orang yang melakukan kesalahan dengan
sengaja, berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran agama (syara), merupakan
perbuatan yang diharamkan. Apalagi ancaman dalam hadits itu adalah jadi penghuni neraka.
Ulama Madzhab Hambali juga mengatakan , bahwa ihtikar merupakan perbuatan yang
diharamkan syara, karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan Negara.
4. Campur Tangan Pemerintah
Apabila telah terjadi penimbunan barang, maka pemerintah berhak memaksa para pedgang
untuk menjual barang tersebut dengan harga standar yang berlaku dipasar. Bahkan, menurut
para ulama, barang yang ditimbun oleh para pedagang dijual dengan harga modalnya dan
pedagang tersebut tidak dibenarkan mengambil keuntungan sebagai hukuman terhadap
mereka.
Sekiranya para pedagang itu enggan menjual barangnya dengan harga pasir, maka pihak
penegak hokum (halim) dapat menyita barang itu dan kemudian membagikannya kepada
masyrakat yang memerlukannya.
Pihak pemerintah seharusnya setiap saat memantau dan mengantisipasi, agar tidak terjadi
ihtikar dalam setiap komoditas, manfaat dan jasa yang dapat diperlukan masyarakat. Harga
standar yang tidak memberatkan masyarakat dan merugikan pedagang harus dipadukan, dan
tidak sampai menguntungkan sepihak, masyarakat atau pedagang.
Menurut Fathi a-Duraini, bahwa pemerintah tidak dibenarkan mengeksport bahan kebutuhan
warganya sampai tidak ada lagi yang dikonsumsikan oleh masyarakat, sehingga membawa
kemudharatan.
Pngeksporan barang-barang yang diperlukan masyarakat pada dasarnya sama dengan ihtikar
dari segi akibat yang dirasakan oleh masyarakat. Lebih para lagi, apabila barang-barang itu
diselundupkan ke luar negeri (tidak legal) seperti minyak tanah (BBM), padahal masyarakat
betul-betul sangat memerlukannya.
Fathi ad-Duraini menyatakan, bahwa ada kaidah fiqih yang berkaitan dengan fungsi penguasa,
yaitu:

tindakan penguasa harus senantiasa mengacu kepada kemaslahatan orang banyak.
http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ihtikar/

AL IHTIKAR


A. Pengertian
Ihtikar menurut bahasa adalah penimbunan[1], sedangkan menurut istilah, Ihtikar adalah
membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran
dan harganya menjadi naik.[2]
Ihtikar secara bahasa menurut Imam Fairuz Abadi artinya mengumpulkan, menahan barang
dengan harapan untuk mendapatkan harga yang mahal.
Menurut Imam Ibn Mandzur mengumpulkan makanan atau yang sejenis dan menahannya,
dengan maksud untuk menunggu naiknya harga makanan tersebut.
Ada pula yang mendifinisikan sebagai menahan komoditas dan tidak menjualnya sampai
harga komoditas tersebut menjadi mahal.
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan, Penimbunan barang dagangan dari
peredarannya.
Imam Ghazali mendefinisikan, Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk
menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.
Sementara para ulama Mazhab Maliki mendefinisikan dengan, penyimpanan barang oleh
produsen: baik makanan dan pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar. Secara
esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut aktivitas menyimpan barang yang
dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya ketika harga telah melonjak, barang itu baru
dipasarkan. Namun, mengenai jenis barang yang ditimbun beda.

B. Dasar Hukum Ihtikar
Hukum ihtikar adalah : haram
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.[3]
Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum
ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu berdasarkan hak
milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai kehendak mereka; dan
adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa pun.
Menurut kalangan Mazhab Maliki, ihtikar hukumnya haram dan harus dicegah oleh
pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar
terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu,
pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqh: haqq al-
ghair muhaafazun alaihi syaran (hak orang lain terpelihara secara syara). Dalam kasus ihtikar,
yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak;
sedangkan hak orang yang melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika
kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan
adalah kepentingan orang banyak.
Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa
mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu Qudamah mengemukakan alasan,
ada sebuah hadits Rasulullah saw. yang melarang melakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok
manusia. (HR. Asram dari Abi Umamah).
Asy Syaukani mengatakan, Kesimpulannya, illat hukumnya apabila perbuatan
menimbun barang itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika tidak
menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok atau
tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin.[4]
At Tirmidzi berkata *sunan III/567+, Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu.
Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan
selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, Tidak mengapa menimbun kapas, kulit
kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya.
Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179+, Para ulama berbeda pendapat
tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, Tidak boleh ada
penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-
barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari
luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah padanya
apakah mau menjualnya atau menyimpannya."
Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan
Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, Dilarang
menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan
makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al
Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat
tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku
seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana.
An Nawawi berkata *Syarh Shahih Muslim XI/43+, Hadits diatas dengan jelas
menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafii mengatakan bahwa ihtikar yang
diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat
harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai
harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya
pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya
kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan
makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya
dalam madzhab kami.
Kemudian para ulama berpendapat, Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin
Al Musayyin dan Mamar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang,
maka Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, Sesungguhnya barang ditimbun oleh
keduanya adalah minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada
penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal.
Demikian juga Imam Syafii, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang benar."
C. Kesimpulan
Ihtikar adalah dilarang oleh mayoritas para ulama karena mengandung kemudlaratan.
Hukum ihtikar adalah haram.






Daftar Pustaka

v Al Quran dan Terjemahan Digital.
v Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhu al-Islami wa Adillatihi.
v Rusyd, Ibnu. Tarjamah Bidayatul Mujtahid. Diterjemahkan oleh M. A. Abdurrahman, dkk.
Semarang: Asy Syifa. 1990.
v Ensiklopedi Larangan Menurut Al Quran dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Pustaka
Imam Asy Syafii.
v Nailur Author V


[1] . Kamus Al Bisyri.
[2] . Wahbah Zuhaili. Al Fiqhu Al Islami wa adillatihi. Maktabah Syamilah.
[3] . Ensiklopedi Larangan Menurut Al Quran dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali,
Pustaka Imam Asy Syafii.
[4] . Nailur Author V / 338

IHTIKAR (FIKIH MUAMALAH B)
PENDAHULUAN

Dalam agama Islam kita memang di halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui
berbagai macam usaha seperti bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau jual beli.
Namun tentu saja kita sebagai orang yang beriman diwajibkan menjalankan usaha perdagangan
secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus menurut Alquran dan Sunnah, ada aturan
mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan
agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.

Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang
harus dipenuhi oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan
dengan menggunakan dan mematuhi apa yang telah di syariatkan tersebut, suatu usaha
perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat
berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat.
Selain harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukm
islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita tidak
terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT, untuk itulah dalam makalah sederhana ini
saya akan membahas satu dari sekian banyak jual beli yang tidak diperbolehkan, yaitu monopoli
atau Ihtikar. Tentang apa dan bagaimana ihtikar itu menurut pandangan hukum islam.



PEMBAHASAN
MONOPOLI PASAR (IHTIKAR)

A. Pengertian Ihtikar
Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat
berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang
masyarakat dirugikan(1). Menurut Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya
ada satu penjual"(2). Berdasarkan hadist :


dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda,
'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim (1605). jelas monopoli seperti
ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan demikian didorong oleh nafsu
serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak.
Selain itu juga menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.


B. Hukum Ihtikar

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut:
1.Haram secara mutlak (3) (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda
Nabi SAW:


Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun
penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun
sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan
rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain.
Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan
pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.(4)
2. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar
adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan,
dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang
dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika
Nabi SAW bersabda:


Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa engkau
lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah
melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi
hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah
khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat
mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin
Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini
menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
4. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan
tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan
Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar
salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka
akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas,
apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi
perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5. Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya
terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam
hadits:


Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan
dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus
mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:
"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini), karena
Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya terlebih dahulu ke
rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka
Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440).(5)

Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama yang
mengharamkan ihtikar setiap waktu secara mutlaku, tanpa membedakan masa paceklik dengan
masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari hadits yang
sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf.



C. Hikmah di Balik Larangan Ihtikar
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang
menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang
memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali
yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan
cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila
ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya)
sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang
dalam Islam(6).
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam
mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah
subhaanahu wa taaala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:

( 43

)
(

43 )

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah
maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka,
lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): Inilah harta bendamu yang
kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu.
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari
peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam
perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi
pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan
daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan
membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan
demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam
pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari
krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara
ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-
negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju
perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-
negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan
pendapatan dalam tingkat dunia.



PENUTUP


Simpulan

Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat
berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang
masyarakat dirugikan. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar ada yang berpendapat
Haram secara mutlak, makruh secara mutlak, haram apabila berupa bahan makanan saja , haram
ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah dan pula yang berpendapat
bahwa ihtiakr itu boleh.











DAFTAR PUSTAKA



Basyarahil, Salim, Aziz, H. A., 22 Masalah Agama, Gema Insani Press, Jakarta. Tanpa Tahun.

Nurhayati, Sri, Akuntansi Syari'ah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2009.

Karim, Adiwarman, A., Ir., Ekonomi mikro islami, PT Raja Grafindo, Jakarta, .

Ali, Muhammad, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, Al-Furqon, Gresik, Edisi 7 Th.
ke-7, 1429 H.

Ridwan, Ihtikar, http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ihtikar/


1. H. A. Aziz Salim Basyarahil, 22 Masalah Agama, hlm.56, Gema Insani Press, Jakarta. Tanpa Tahun.
2. Ir. Adiwarman A. Karim, Ekonomi mikro islami, hlm. 173, PT Raja Grafindo, Jakarta, .
3. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama tentang haram monopoli secara mutlak.
4. H. A. Aziz Salim Basyarahil, Opcit., hlm.58.
5. Muhammad Ali, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, hlm.4, Al-Furqon, Gresik, Edisi 7 Th. ke-7, 1429 H
6. Ibid., hlm. 10.



. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan perdagangan banyak dijumpai berbagai masalah dipandang dari segi Islam
yang menyalahi aturan. Ada berbagai jual beli terlarang dalam Islam diantaranya jual beli barang
samar, menimbun barang, menyembunyikan barang yang cacat dan masih banyak yang lain.
Oleh karenanya kami ingin menjelaskan salah satu darinya, yaitu menimbun.
II. PERMASALAHAN
Permasalah yang kami angkat yaitu menyimpan hasil panen seperti padi, gandum dan lain-lain.
Supaya petani tidak mengalami kerugian. Yang dimaksud disini adalah seorang petani
menyimpan hasil panennya pada saat panen besar, dan pada saat itu harga padi sedang turun-
turunnya dikarenakan banyaknya penawaran padi di pasar kepada konsumen. Pada saat harga
naik petani pun menjual hasil panennya dan pada saat itu juga barang tidak mengalami kerugian.
III. PEMBAHASAN
1. IHTIKAR (Menimbun)
Ikhtikar ( ) artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan ( ), upaya
penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga barang penimbunan barang
adalah salah satu perkara dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa
membawa madhorot. Para ulama mengemukakan arti atau definisi ihtikar (menimbun) berbeda-
beda sepertinya halnya yang diterangkan dibawah ini Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani
mendefinisikan : Penimbunan atau penahan barang dagangan dari peredarannya.
Imam Al-Ghazali mendefinisikan :
Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan
penjualannya ketika harga melonjak.
Ulama madzhab maliki mendefinisikan :
Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak
pasar.
Dari ketiga definisi tersebut boleh dikatakan mempunyai kandungan yang sama artinya : upaya
seseorang atau perusahaan menyimpan barang supaya barang semakin hilang dari pasaran, yang
akan menambah tinggi harga barangnya. Barang barang yang biasanya barang yang sehari-hari
dibutuhkan masyarakat, ketika barang naik baru barang dijual.
Imam Asy-Syaukani bahkan tidak membolehkan barang ditimbun walau dipasar masih banyak
dijumpai atau dalam keadaan stabil maupun dalam keadaan tidak stabil. Sedangkan menurut
jumhur ulama jika pedagang yang tidak merusak harga pasar dalam menyimpan barang tersebut.
Berbeda lagi dengan Mazdhab Syafii dan Hanafi mereka membatasi ihtikar pada komoditas
yang berupa makanan manusia dan hewan. Mereka berpendapat bahwa komoditas terkait dengan
keperluan orang banyak.
Dari semua itu dapat disimpulkan bahwasanya tindakan menyimpan harta, jasa dan enggan
menjual atau memberikan keorang sedangkan masyarakat sekitar membutuhkan harta atau jasa
tadi, yang mengakibatkan melonjaknya harga barang dipasar secara secara drastis disebabkan
persediaan terbatas atau barang hilang dari pasaran.
Perbuatan yang mengguncangkan harga pasar dan akhirnya membawa madhorot kepada
masyarakat terlarang dalam agama Islam. Seperti terjadi pemogokan buruh, sopir, karyawan,
yang berakibat keguncangan perekonomian.
2. Dasar Hukum Ihtikar
Dasar hukum yang digunakan para ulama fikih yang tidak membolehkan ihtikar adalah
kandungan nilai-nilai universal Al-Quran yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya,
termasuk didalamnya ihtikar diharamkan oleh agama Islam.
(Diantara ayat ayat tersebut adalah :
Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan kebajikan) dan taqwa janganlah
tolong-menolong lah dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah : 2)
Firman Allah SWT
t8 Be( #-9oe e |t=v.3'/| \~ uBt-(
Artinya : Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. ( Al-
Hajj : 78).
Didalam sunnah atau hadits-hadits nabi juga disebutkan yang bunyinya :
.( ) :
Tidak ada orang yang menimbun barang kecuali orang-orang yang durhaka (salah). (HR.
Muslim).
Hadits Nabi SAW :
) (
Barang siapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka Allah berlepas diri
dari padanya. ( H.R. Ahmad, Hakim dan Ibnu Abi Syaibah ).
( ) , ,
Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka menimbun, jika mendengar harga murah dia merasa
kecewa, dan jika mendengar harga naik, dia merasa gembira. (H.R. Ibnu Rozikh dalam
Jamiyah)
3. Hukum Ihtikar
Setelah kita mengetahui dasar-dasar ihtikar dalam Islam, maka kita akan mengetahui apa hukum
melakukan ihtikar. Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah diatas dan para
ulama sepakat mengatakan, bahwa ihtikar termasuk kegiatan yang dilarang (Haram) oleh
agamanya khususnya Islam.
Ulama Mazdhab syafii, Hambali, Maliki, Zaidiyah dan Az-Zahiri berpendapat, bahwasanya
melakukan ihtikar hukumnya haram, berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang telah
disebutkan ihtikar itu hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dan masing-masing
masyarakat itu sendiri, dengan segala cara yang dipandang baik masyarakat. Yang membutuhkan
perbuatan ini membawa madhorot yang sangat besar dari masyarakat maupun negara kaidah
fikih mengatakan :

Artinya : Hak orang lain terpelihara menurut syara.
Dalam ihtikar yang paling utama yang harus diperhatikan adalah hak konsumen, karena
menyangkut orang banyak. Sedangkan orang yang melakukan ihtikar adalah hak pribadi,
sehingga hak orang banyak lebih dipentingankan dari pada hak pribadi, maka orang banyaklah
yang harus dipentingkan dan diutamakan.
Ibnu qudamah mengemukan alasan yang berbeda lagi yaitu berdasar hadits nabi muhammad saw
:
( ) :
Rasulullah SAW, melarang untuk menimbun (ihtikar) dalam keperluan pkok manusia. (HR. Al-
Atsram).
Disini dijelaskan secara terang-terangan bahwasanya barang-barang yang tidak boleh ditimbun
adalah barang kebutuhan pokok manusia dibutuhkan dan dikonsumsi masyarakat dan sangat
penting bagi hidupnya.
Jumhur ulama menyebutkan bahwa menimbun barang hukumnya haram. Pada dasarnya hukum
ihtikar adalah haram karena sudah jelas. Kejelekan dan penyiksaan bila para pedagang
menggunakan sistem jual beli dengan cara ini. Sudah banyak pedagang-pedagang menggunakan
supaya mereka untung yang banyak, kenapa tidak, mereka menyimpan barang pada waktu
sedang murah-murahnya kemudian mereka jual barang setelah beberapa hari harga naik, pada
saat itulah pedagang menjual dagangannya supaya mendapat keuntungan melimpah.
4. Syarat-Syarat Tidak Boleh Menimbun
Adapun syarat-syarat tidaknya melakukan ihtikar menurut syekh muhammad yusuf Al-
Qordhawi. Menjelaskan didalam al-halal wal haram fil Islam, bahwa ulama beristimbath yang
diharamkan menimbun adalah dengan menggunakan dua syarat :
1. Dilakukan disuatu negara, dimana penduduk negara itu akan menderita sebab adanya
penimbunan.
2. Bermaksud untuk menaikkan harga sehingga orang-orang payah dan dia memperoleh
keuntungan yang berlipat ganda.
5. Pembahasan Masalah
Permasalahannya yaitu seorang petani menyimpan hasil panen seperti padi, jagung dan lain-lain
dan pada saat itu juga harga anjlok dan panen besar, oleh sebab itu petani menyimpan supaya
tidak rugi? Bagaimana hukumnya?
Pada umumnya Nash melarang menimbun barang di karenakan akan merugikan orang lain.
Pendapat kami bahwa ada keadaan-keadaan tertentu yang membolehkan seseorang menimbun
barang dengan beberapa alasan tertentu. Diantaranya
1. Keadaan penawaran di pasar yang berlebihan
2. Tidak merugikan para konsumaen karena di anggap harga di pasar lebih rendah dari standar.
3. Apabila petani memaksakan diri untuk tetap menjual barang ke pasar maka kerugianlah yang
akan di dapatkan petani
IV. KESIMPULAN
Ikhtikar ( ) artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan ( ), upaya
penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga barang penimbunan barang
adalah salah satu perkara dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa
membawa madhorot.
Didalam sunnah atau hadits-hadits nabi juga disebutkan yang bunyinya :
.( ) :
Tidak ada orang yang menimbun barang kecuali orang-orang yang durhaka (salah). (HR.
Muslim).
Hadits Nabi SAW :
( )
Barang siapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka Allah berlepas diri
dari padanya. ( H.R. Ahmad, Hakim dan Ibnu Abi Syaibah ).
Pada umumnya Nash melarang menimbun barang di karenakan akan merugikan orang lain.
Pendapat kami bahwa ada keadaan-keadaan tertentu yang membolehkan seseorang menimbun
barang.dengan beberapa alasan tertentu. Diantaranya
1. Keadaan penawaran di pasar yang berlebihan
2. Tidak merugikan para konsumaen karena di anggap harga di pasar lebih rendah dari standar.
3. Apabila petani memaksakan diri untuk tetap menjual barang ke pasar maka kerugianlah yang
akan di dapatkan petani.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami sampaikan. Kami sadar makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Kendati demikian harapan kami adalah saran dan kritik yang bersifat konstruktif dalam
pembuatan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pemakalah
sendiri dan bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Hamzah yaaub, kode etik dagang menurut Islam. Cv. Diponegoro : Bandung.
M. Ali Hasan. Berbagai macam transaksi dalam Islam. Pt Raja Grafindo Perseda : Jakarta.

MONOPOLI DAN AL-IHTIKAR
DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM
Abstrack
Monopoli sebagai anak keturunan dari ekonomi kapitalis dengan pandangan hidup liberalnya,
banyak ditentang oleh masyarakat . Sebab monopoli ternyata membawa dampak negatif bagi
kompetisi pasar yang sehat. Pada pasar monopolis produsen-produsen lain tidak akan dapat
bertahan., bahkan yang lebih buruk produktifitas dengan sengaja diturunkan demi tujuan politis,
yaitu mengatur harga agar maksimal. Maka dengan sendirinya akan terjadi kelangkaan akan
barang (scarcity) dan dampaknya akan sangat dirasakan oleh masyarakat (konsumen). Islam
dengan sistem ekonominya mencoba untuk mementahkan ideologi monopolistik dengan
memunculkan berbagai konsep baru yang bertentangan dengan sistem ekonomi kapitalis.
Pertanyaannya apakah monopoli dalam muamalat Islam sudah terkonsep? Benarkah monopoli
dan al-ihtikar sama?
Kata kunci: al-ihtikar, Monopolistiys rent, oligopoli, normal profit, price maker, natural
monopoli, scarcity
A. Pendahuluan
Dalam mempertahankan hidup manusia diberi kebebasan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya. Kebebasan merupakan unsur dasar manusia dalam mengatur dirinya untuk
memenuhi kebutuhan yang ada, selama tidak berbenturan dengan kepentingan orang lain. Sebab
jika manusia melanggar batas kebutuhan antara sesamanya maka akan terjadi konflik. (Heri
Sudarsono, 2000: 1)
Pun dalam aturan-aturan syariat Islam menuntut dan mengarahkan kaum muslimin untuk
melakukan tindakan sesuai dengan apa yang dibolehkan dan dilarang oleh Allah SWT. Demikian
pula dalam melaksanakan aktivitas ekonomi, nilai-nilai Islam senantiasa menjadi landasan
utamanya. Siapa saja yang ingin bermuamalah dibolehkan kecuali yang dilarang. Hal ini
memberikan ruang dan gerak yang luas bagi umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonominya
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup. (Imam Subhan, 2003: 29)
Meskipun Islam memberikan kesempatan yang luas bagi kaum muslimin untuk menjalankan
aktivitas ekonominya, namum Islam menekankan adanya sikap jujur, yang dengan kejujuran itu
diharapkan dapat dijalankannya sistem ekonomi yang baik. Sebab Islam sangat menentang
adanya sikap kecurangan, penipuan, praktek pemerasan, pemaksaan dan semua bentuk perbuatan
yang dapat merugikan orang lain. )Huzaimah T Yanggo, 1997: 92)
Apalagi, saat ini kehidupan manusia semakin lama dihadapkan kepada situasi yang sulit, dimana
munculnya kelangkaan (scarcity) sumber daya yang semakin terbatas. Di sisi lain hasrat dan
kebutuhan manusia untuk mencari kepuasaan pribadinya semakin banyak dan kompleks seiring
dengan perkembangan jaman. (Sri Adiningsih, 1999:1). Dengan situasi ini pihak yang lemah
hanya mampu untuk mempertahankan hidupnya agar tetap survive. Sangat berat bagi mereka
untuk meningkatkan income dan taraf hidup. Sementara di sisi lain pihak yang memiliki peran
ekonomi kuat dengan pola perilaku aneh dan ekstrim yang tidak pernah diikuti dengan nilai-nilai
ketuhanan tidak merasa puas menambah dan menumpuk harta dan kekayaan untuk kepentingan
pribadi masing-masing. Ini disebabkan karena orientasi ekonominya sudah melenceng dimana
ekonomi yang dipahami sebagai jawaban untuk memenuhi keberlangsungan hidup ternyata
banyak diinterpretasikan sebagai pencarian untung semata (profit motif) dan penimbunan harta
sebanyak-banyaknya serta extravaganza dalam mempergunakan otoritas ekonomi sehingga
memunculkan sistem yang tidak seimbang.
Maka di sinilah kejujuran dan keadilan perlu dijaga, sebab acapkali situasi ini menimbulkan
ketidakadilan dimana para penumpuk harta tidak lagi mempertimbangkan norma-norma dan
kemanusiaan, mereka hanya mengikuti hawa nafsu yang tamak dan merusak bumi. Dalam
ekonomi seringkali pola tersebut muncul, terutama dengan sistem ekonomi liberal kapitalis yang
dapat menghalalkan segala cara demi merengkuh keuntungan dunia semata. Mereka tidak
mengenal siapa kawan, egosentrisme menjadi prinsip Elulu, guegue.. menjadi ucapan
manis yang saban hari keluar dari mulutnya. Salah satu dari contoh tersebut dalam dunia bisnis
adalah monopoli yang berciri monopolistic rent atau dalam istilah Islamnya disinyalir
merupakan persamaan al-Ihtikar.
Dalam tulisan ini penulis mencoba menganalisa ulang tentang keberadaan al-Ihtikar yang
bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam dan menjembatani perbedaan tipisnya dengan
monopoli dalam ekonomi perspektif Islam, serta akibat yang akan dimunculkan oleh monopoli
dan al-Ihtikar tersebut.
B. Monopoli dan Al-Ihtikar
Istilah monopoli dalam terminologi Islam tidak ditemukan secara konkrit namun dalam
muamalat terdapat satu ungkapan yang disinyalir hampir mirip dengan monopoli yaitu al-
Ihtikar. Al-Ihtikar merupakan bahasa Arab yang definisinya secara etimologi ialah perbuatan
menimbun, pengumpulan (barang-barang) atau tempat untuk menimbun. (W.J.S
Poerwadarminta, 1994: 307) Dalam kajian fikih al-Ihtikar bermakna menimbun atau menahan
agar terjual. (Ahmad Warson Munawir, 1994:307). Adapun al-Ihtikar secara terminologis adalah
menahan (menimbun) barang-barang pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan
menaikkan harganya. (Yusuf Qasim, 1986:75). Para ulama berbeda pendapat dalam memahami
obyek yang ditimbun yaitu: kelompok pertama mendefinisikan al-Ihtikar sebagai penimbunan
yang hanya terbatas pada bahan makanan pokok (primer) dan kelompok yang kedua
mendefinisikan al-Ihtikar secara umum yaitu menimbun segala barang-barang keperluan
manusia baik primer mapun sekunder.
Kelompok ulama yang mendefenisikan al-Ihtikar terbatas pada makanan pokok antara lain
adalah Imam al-Gazali (ahli fikih mazhab asy-Syafii) dimana beliau berpendapat bahwa yang
dimaksud al-Ihtikar hanyalah terbatas pada bahan makanan pokok saja. Sedangkan selain bahan
makanan pokok (sekunder) seperti, obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak
terkena larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Alasan mereka adalah karena yang
dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka masalah ihtikar adalah menyangkut
kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya. Maka larangan itu harus terbatas pada apa
yang ditunjuk oleh nash.
Sedangkan kelompok ulama yang mendefinisikan al-Ihtikar lebih luas dan umum diantaranya
adalah imam Abu Yusuf (ahli fikih mazhab Hanafi). Beliau menyatakan bahwa larangan ihtikar
tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang
dibutuhkan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi ilat (motivasi hukum) dalam larangan
melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu
kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan
hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang dibutuhkan orang. (Abdul Aziz Dahlan (ed) 1996:
655).
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan al-Ihtikar sebagai membeli suatu barang
dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat
sehingga manusia akan mendapatkan kesulitan akibat kelangkaan dan mahalnya harga barang
tersebut. (As-Sayyid Sabiq, 1981: 162).
Fathi ad-Duraini mendefinisikan ihtikar dengan tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa,
dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya
harga pasar secara drastis disebabkan persediaan barang terbatas atau stok barang hilang sama
sekali dari pasar, sementara rakyat, negara, ataupun hewan (peternakan) amat membutuhkan
produk, manfaat, atau jasa tersebut. Al-Ihtikar menurut ad-Duraini, tidak hanya menyangkut
komoditas, tetapi manfaat suatu komoditas dan bahkan jasa dari pembeli jasa dengan syarat,
embargo yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini bisa memuat harga pasar tidak
stabil, padahal komoditas, manfaat, atau jasa tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
negara, dan lain-lain. Misalnya, pedagang gula pasir di awal Ramadhan tidak mau menjual
barang dagangannya, karena mengetahui bahwa pada minggu terakhir bulan Ramadhan
masyarakat sangat membutuhkan gula untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula
di pasar, harga gula pasti akan naik. Ketika itulah para pedagang gula menjual gulanya, sehingga
pedagang tersebut mendapat keuntungan (profit) yang berlipat ganda. (Abdul Aziz Dahlan (ed)
1996: 655).
Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau
istilah ekonominya disebut dengan monopolys rent. (Adiwarman Karim, 2000:154)
Sedangkan yang dimaksud dengan monopoli dalam istilah ekonomi adalah hak menguasai secara
tunggal perdagangan dimana pihak lain tidak boleh ikut campur, sehingga monopolis (pemegang
hak monopoli) dapat melakukan produksi dan penawaran harga sekehendaknya. (Dahlan al-
Barry, 1994: 482) Monopoli juga merupakan suatu bentuk pasar dimana hanya ada satu firma
saja dan firma tersebut menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang
sangat dekat. (Sadono Sakirno, 2001: 261) Pemegang hak monopoli memiliki hak untuk
memproduksi barang-barang usahanya sesuai dengan kehendaknya, sehingga di saat tertentu bisa
saja stok yang ada dalam perusahaan ditahan dan tidak dipasarkan dengan maksud untuk
menaikkan harga dan meningkatnya permintaan dari konsumen, sehingga akan meningkatkan
kelangkaan suatu barang.
Ada tiga macam bentuk monopoli yang terjadi dalam pasar, yaitu:
Natural Monopoly, yaitu monopoli yang terjadi secara alamiah atau karena mekanisme pasar
murni. Pelaku monopoli merupakan pihak yang secara alamiah menguasai produksi dan
distribusi produk tertentu.
Monopoly by Struggle, yaitu monopoli yang terjadi setelah adanya proses kompetisi yang cukup
panjang dan ketat. Persaingan berjalan fair, tidak terjadi proses-proses yang melanggar aturan
pasar terbuka. Berbagai pelaku bisnis yang terlibat dalam sektor tersebut telah melakukan
kompetisi yang yang panjang dan ketat melalui berbagai situasi dan hambatan
Monopoly by decree, yaitu proses monopoli yang terjadi karena adanya campur tangan
pemerintah yang melakukan regulasi dengan memberikan hak istimewa kepada pelaku ekonoi
tertentu untuk menguasai pasar suatu produk tertentu. (Iswardono SP, 1990:104)
Berbeda dengan oligopoli, perusahaan oligopoli tidak dapat begitu saja menaikkan harga karena
jika hal ini dilakukan maka pembeli tidak akan membeli barang yang akan dijualnya, juga tidak
diperkenankan menurunkan harga karena perusahaan lain akan turut menurunkan harga yang
sama dan tidak akan ada satu perusahaan yang memperoleh keuntungan maksimum akan harga
barang tersebut melebihi keuntungan perusahaan yang lain. Dalam sistem ini terjadi persaingan
pasar yang sehat dan kompetitif. Firma-firma yang ada memproduksi jenis barang yang sama dan
bersaing untuk mendapatkan simpati konsumen, sehingga diharapkan terjadi stabilitas ekonomi
pasar dan lebih mengutamakan pelayanan yang prima.
Dari terminologi di atas dapat dipahami bahwa al-Ihtikar dalam dataran konseptual berbeda
dengan monopoli, namun jika dilihat dari dataran faktualnya memiliki banyak persamaan,
sedangkan perbedaannya adalah sangat tipis sekali.
Adapun persamaannya adalah:
Monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan sepihak (motivasi yang kuat)
dalam mempermainkan harga (price maker)
Pelaku monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki hak opsi untuk menawarkan barang-barang
ke pasaran atau tidak
Monopoli dan Ihtikar dapat mengakibatkan polemik dan ketidakpuasan pada masyarakat.
Monopoli dan ihtikar merupakan salah satu cara golongan orang kaya untuk mengeksploitasi
(Zulm) golongan miskin.
Sedangkan diantara perbedaan monopoli dan ihtikar adalah:
1. Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat memproduksi
suatu barang tertentu di pasaran yang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan Ihtikar tidak hanya
bisa dilakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat menengah dengan modal
alakadarnya pun bisa melakukannya
2. Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas ekonomi dan penetapan
harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi standard pemerintah), sedangkan ihtikar
dimana dan kapan pun bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk
dilakukan.
3. Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ihtikar kelangkaan barang dan
kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang tentitif dan mendadak dan
dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan harga biasanya cenderung
dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan operasional suatu perusahaan walaupun kadang-
kadang juga dipengaruhi oleh kelangkaan barang.
4. Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara tertentu dilindugi oleh undang-undang
atau aturan suatu negara, sedangkan ihtikar merupakan aktifitas ekonomi yang ilegal.
C. Dasar Hukum
Menurut prinsip hukum Islam, barang apa saja yang dihalalkan Allah untuk memilikinya, maka
halal pula dijadikan sebagai obyek perdangan. Demikian pula segala bentuk yang diharamkan
untuk memilikinya maka haram pula memperdagangkannya. Namun terdapat ketentuan hukum
Islam bahwa barang itu pada dasarnya halal, akan tetapi karena sikap serta perbuatan para
pelakunya yang bertentangan dengan syara maka barang tersebut menjadi haram. Dalam al-
Quran secara langsung tidak ada disebutkan mengenai al-Ihtikar (Monopolistic rent). Tetapi
ada ayat yang menyebutkan mengenai penimbunan emas dan perak, yaitu:


Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang sangat pedih
QS (9): 34.
Walaupun tidak ditemukan secara jelas dalam al-Quran tentang al-Ihtikar (Monopoli) tetapi ia
mempunyai hubungan dengan riba. Dalam riba terdapat unsur zulmun (menganiaya) orang lain
diakibatkan karena ketidakmampuan peminjam untuk membayarkan utangnya tepat waktu maka
secara otomatis harga menjadi naik melebihi pokok pinjamannya dan hal ini memberatkan yang
mengakibatkan sipeminjam teraniaya dan secara terpaksa harus membayarkan tambahan modal
tersebut. Sementara ihtikar walaupun secara implisit, juga menagandung zulmun (menzhalimi)
dan masyarakat akan merasakan akibat fatalnya. Sebab al-Ihtikar bertujuan untuk mencari
keuntungan yang lebih banyak, dengan menimbun barang yang beredar di pasaran dapat
mengakibatkan kelangkaan dan tentunya akan terjadi kenaikan harga secara otomatis di atas
normal. Sehingga masyarakat yang biasanya tidak kekurangan barang dan dapat membelinya
sesuai kehendaknya tanpa merasakan kesulitan, namun karena akibat ihtikar tersebut mereka jadi
kekurangan barang dan sulit untuk menjangkau harga agar dapat memnuhi kebutuhan mereka,
namun karena sudah terdesak akan kebutuhan pokok dan hidup sehari-hari barang yang langka
tersebut akhirnya dibeli juga walaupn terpaksa. Pada kasus ini terdapat unsur menganiaya dan
memaksa bagi si pelaku Ihtikar dan teraniaya serta keterpaksaan bagi masyarakat walaupun ia
tidak berlaku secara eksplisit. Firman Allah:
.
.kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. QS (1):278

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba QS (2):275
Dalam beberapa hadis Nabi juga menyinggung mengenai al-Ihtikar di antaranya:
.
Tidaklah seorang penimbun kecuali ia orang yang berdosa, At-Turmudzi 307: 1980
Larangan dalam hadis tersebut, menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan, menjauhi
dan menghindari. Sementara cercaan atau predikat bagi orang yang melakukan penimbunan
dengan sebutan khati berarti orang yang berdosa dan berbuat maksiat merupakan suatu
indikasi yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan tersebut bermakna tegas
(keras). Orang yang berbuat maksiat dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran
terhadap ajaran syara dan mengingkari ajaran syara merupakan perbuatan yang diharamkan.
Dengan demikian perbuatan al-Ihtikar termasuk perbuatan yang diharamkan.
Namun larangan yang sangat tegas tentang penimbunan barang berdasarkan hadis:
.
Seorang saudagar (importer) akan diberi rezki dan seorang penimbun (monopolis) akan
dilaknat (Ibnu Majah 768: 978)
Adapun hadis berikut menjelaskan mengenai penimbunan terhadap bahan makanan:

.
Barang siapa yang menimbun bahan makanan terhadap orang-orang muslim, maka Allah akan
menjadikan dia dalam kebangkrutan (Ibnu Majah 768: 978)
Sedangkan hadis lain yang menjelaskan tentang perdagangan dengan menaikkan harga dari suatu
bahan pokok untuk memonopolisasi harga dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya:


.
Barang siapa yang menaikkan harga suatu bahan pokok kaum Muslimin agar ia lebih kaya
daripada mereka maka Allah berhak untuk menempatkannya di neraka jahannam pada hari
qiamat (Abu Dawud)
D. Kriteria al-Ihtikar dalam Islam
Dalam hal ini para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan yang haram
adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk
persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun untuk persediaan nafkah dirinya
dan keluarganya dalam tenggang waktu selama satu tahun.
2. Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar dapat menjualnya
dengan harga yang lebih tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat membutuhkan barang yang
ditimbun, seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan para
pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena
tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.(Ali Abd ar-Rasul, 1980: 1980, dan As-Sayyid
Sabiq, 1981: 100)
Dari ketiga syarat itu, jika dianalisa aspek keharamannya maka dapat disimpulkan, bahwa
penimbunan yang diharamkan adalah kelebihan dari keperluan nafkah dirinya dan keluarganya
dalam masa satu tahun. Hal ini berarti apabila menimbun barang konsumsi untuk mengisi
kebutuhan keluarga dan dirinya dalam waktu satu tahun tidaklah diharamkan sebab hal itu adalah
tindakan yang wajar untuk menghindari kesulitan ekonomi dalam masa paceklik atau krisis
ekonomi lainnya. Sedangkan syarat terjadinya penimbunan, adalah sampainya pada suatu batas
yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun semata karena fakta
penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya
tidak menyulitkan warga setempat membeli barang tersebut, maka penimbunan barang tidak
akan terjadi kesewenangan-wenangan terhadap barang tersebut sehingga bisa dijual dengan
harga yang mahal.
Atas dasar inilah, maka syarat terjadinya penimbunan tersebut adalah bukan pembelian barang.
Akan tetapi sekedar mengumpulkan barang dengan menunggu naiknya harga sehingga bisa
menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Dikatakan menimbun selain dari hasil pembeliannya
juga karena hasil buminya yang luas sementara hanya dia yang mempunyai jenis hasil bumi
tersebut, atau karena langkanya tanaman tersebut. Bisa juga menimbun karena induustri-
industrinya sementara hanya dia yang mempunyai industri itu, atau karena langkanya industri
seperti yang dimilikinya.
Menurut Yusuf al-Qardawi penimbunan itu diharamkan jiak memiliki keriteria sebagai berikut:
1. Dilakukan di suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya penimbunan
tersebut.
2. Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah dan supaya ia
dapat keuntungan yang berlipat ganda. .(Yusuf al-Qardawi, 2000: 358)
E- Monopoli dan al-Ihtikar : Sebuah Refleksi
Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang sehingga barang tersebut menjadi
langka dipasaran dan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi sehingga warga
setempat sulit untuk menjangkaunya. Hal ini bisa dipahami bahwa apabila tersedia sedikit barang
maka harga akan lebih mahal. Apalagi jika barang yang ditimbun itu merupakan kebutuhan
primer manusia seperti bahan makanan pokok (semisal sembako).
Al-Ihtikar yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar (sebagaimana disebutkan) mempunyai
kesamaan dengan praktek monopoli. Yang mana monopoli biasanya mengacu pada penguasaan
terhadap penawaran harga. Suatu monopoli sempurna terlihat bila sebuah perusahaan tunggal
memproduksi suatu komoditi yang tidak dikeluarkan oleh perusahaan lainnya. Praktek monopoli
adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan tidak sehat dan dapat merugikan orang lain. (Nejatullah as-Siddieqy, 1991:45)
Sehingga dengan motif ingin memaksimumkan keuntungan, maka perusahaan monopoli akan
dengan mudah menetapkan harga barang sesuai dengan keinginannya. Oleh karena pada
umumnya, produksi monopoli lebih rendah daripada produksi kompetitif, dan harga monopoli
lebih tinggi daripada harga kompetitif. (Abdul Manan, 1997:151).
Al-Ihtikar begitu juga sebagian monopoli yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar sengaja
mengupayakan agar barang yang ditimbun menjadi langka di pasar. Dengan demikian
masyarakat akan kesulitan menemukan barang tersebut di pasar dan kalaupun ada namun harga
yang ditawarkan sangatlah mahal dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Sehingga dalam
keadaan seperti ini konsumen berusaha mencari barang pengganti yang disesuaikan dengan
tingkat kebutuhan dan pendapatannya, dengan mengganti barang-barang yang kurang berguna
dengan barang-barang hanya memerlukan pengeluaran kecil. Para konsumen juga tidak mampu
mengurangi kuantitas yang dibeli dengan segera setelah harga suatu barang naik. Pada mulanya
mereka tidak akan sadar akan adanya barang-barang pengganti yang potensial. Namun demikian,
selang berapa waktu konsumen akan menyimak beberapa barang pengganti yang muncul di
pasar.
Suatu pasar dapat dikatakan monopoli apabila: Pertama, hanya terdapat satu produsen dalam
industri, kedua, produknya tidak ada barang pengganti, ketiga, ada hambatan untuk masuknya
produsen baru, (Abdul Manan, 1997: 151) dapat menguasai penentuan harga, dan promosi iklan
tidak terlalu diperlukan. (Sadono Sakirno, 2001: 262) Dalam kenyataan struktur pasar monopoli
yang memenuhi kriteria di atas sulit dijumpai. Banyak produsen mempunyai saingan dalam
bentuk barang pengganti yang dihasilkan oleh produsen lain. Misalnya, perusahaan kereta api di
Indonesia, kelihatannya monopoli negara. Namun jika dikaitkan dengan ciri monopoli yang
kedua, (tidak ada barang pengganti) maka perusahaan tidak murni merupakan monopoli.
Lebih khusus Hendre Anto menguraikan bahwa sebenarnya monopoli tidak selalu merupakan
suatu keadaan pasar yang buruk bagi perekonomian, bahkan beberapa jenis usaha memang lebih
baik jika diupayakan secara monopoli seperti dalam natural monopoly. Adanya natural
monopoly yang sebenarnya justru menguntungkan konsumen, sebab konsumen akan
mendapatkan barang dengan harga yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan dalam
pasar bersaing. Tetapi, salah satu keburukan terbesar dari monopoli adalah penguasaannya
terhadap harga (price maker) sehingga dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan harga pada
tingkat yang sedemikian rupa sehingga memaksimumkan laba, tanpa memperhatikan keadaan
konsumen. Produsen monopolis dapat mengambil keuntungan di atas normal (normal profit)
sehingga merugikan masyarakat. (Hendri Anto, 2002 : 310)
Islam melarang praktek yang seperti ini karena hal tersebut dapat menimbulkan kerugian pada
orang lain. Begitu juga dengan menimbun terhadap barang-barang kebutuhan pokok sangat
dikecam dalam Islam karena biasanya apabila harga barang-barang kebutuhan pokok naik maka
akan berpengaruh frontal terhadap harga-harga barang lainnya, sehingga harga barang menjadi
tidak stabil dan dapat mengakibatkan krisis.
Di dalam teori ekonomi kepuasan seorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan utility
atau nilai guna. Maka apabila kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi pula nilai gunanya.
Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasannya perlu mempertimbangkan bahwa barang
yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram termasuk di dalamnya yang diperoleh melalui
al-Ihtikar dan monopoli yang semena-mena. Karena kepuasan seorang muslim hendaknya bukan
hanya berpatok atas banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi. Tapi lebih pada apa yang
dilakukannya sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang di perintahkan oleh Allah dan
menjauhi segala larangannya.
Apabila seseorang telah melakukan penimbunan barang atau memonopoli komoditi dengan
semena-mena, maka orang yang bersangkutan pada hakekatnya telah menarik barang dari pasar
sehingga persediaan barang di pasar menjadi berkurang dan langka. Perbuatan semacam ini
menunjukkan adanya motivasi mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan bencana dan
mudharat yang akan menimpa orang banyak, asalkan dengan cara itu dapat mengeruk untung
yang sebanyak-banyaknya. Kemudharatan ini akan bertambah berat jika si pengusaha itulah satu-
satunya orang yang menjual barang tersebut atau terjadi kesepakatan dari sebagian pengusaha
yang memproduksi maupun menjual barang tersebut untuk mengurangi atau menimbunnya,
sehingga kebutuhan masyarakat akan barang tersebut semakin meningkat sehingga harga pun
dinaikkan setinggi-tingginya. Bagaimanapun juga dalam hal bahan pokok masyarakat
(konsumen) yang sangat membutuhkan akan tetap membelinya meskipun dengan harga yang
tinggi dan tidak layak.
Dalam pandangan Islam harga harus mencerminkan keadilan (price equvalence), baik dari sisi
produsen maupun dari sisi konsumen. Dalam situasi pasar yang bersaing sempurna harga yang
adil ini dapat dicapai dengan sendirinya, sehingga tidak perlu ada intervensi dari pemerintah.
Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri, besar
kemungkinan harga yang terjadi bukanlah harga yang adil sebab ia akan mencari monopolist
rent. Itulah sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar (penimbunan) yang mempunyai tujuan
mencari monopolist rent. Untuk itu pemerintah perlu bahkan wajib melakukan intervensi
sehingga harga yang terjadi adalah harga yang adil. Dan Islam sangat menjunjung tinggi
keadilan.
Pada dasarnya Islam menerima perdagangan bebas. Dalam arti bermuamalah ada kebebasan
untuk melakukan aktivitas (freedom to act). Setiap individu dapat melakukan aktivitas
ekonominya dengan bebas, kebebasan dalam perspektif ekonomi Islam tentu saja kebebasan
yang tidak melanggar kaidah-kaidah yang telah diatur dalam al-Quran, as-Sunnah dan Qiyas
para ulama. Karena diharapkan instrumen-instrumen yang dijalankan dengan sitem ekonomi
Islam mampu menciptakan simetrisitas antara kesejahteraan individu dengan kesejahteraan
masyarakat.
Menurut penulis pada dasarnya Islam tidak melarang monopoli secara mutlak apalagi yang
melakukan monopoli adalah negara, namun pandangan Islam berhati-hati terhadap mekanisme
penentuan harga didalam monopoli yang cenderung berpotensi menghasilkan kerugian bagi
konsumen. Sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Artinya
bahwa monopoli jika di asumsikan sebagai al-Ihtikar dengan pengertian pelangkaan barang
terhadap barang produksi kebutuhan utama masyarakat dengan menaikkan harta ketika
permintaan meningkat maka hal ini adalah di haramkan (monopolistic rent). Dengan ungkapan
yang sangat sederhana bahwa Islam pada dasarnya tidak mempermasalahkan apakah suatu
perusahaan monopolis atau oligopolis sepanjang tidak mengambil keuntungan di atas normal.
namun Islam secara jelas melarang Ihtikar (penimbunan) yaitu mengambil keuntungan di atas
normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi,
atau dalam Istilah ekonominya disebut dengan monopolys rent-seeking.
Dalam perdagangan Islam harga harus mencerminkan keadilan, baik dari posisi produsen
maupun konsumen. Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya
sendiri tanpa ada kontrol masyarakat dan lembaga pemerintahan, besar kemungkinan harga yang
terjadi bukanlah harga yang adil sebab sangat terbuka peluang untuk melakukan monopolistic
rent. Itulah sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar dan bahkan menyamakannya dengan
monopoli, sebab ihtikar merupakan perbuatan monopolistic rent. Sehingga dapat diasumsikan
bahwa praktek monopoli kurang mendapat simpati dalam Islam karena hal ini sangat rentan
mempermainkan harga barang sehingga dapat merugikan konsumen.
F- Penutup
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi komparatif tentang keberadaan Monopoli dalam sistem
ekonomi kapitalis yang disinyalir hanya beda tipis dengan terminologi Ihtikar dalam konsep
muamalah Islam walaupun pada dasarnya keduanya memiliki perbedaan dan akibat hukum yang
berbeda dimana Islam melarang keras ihtikar dan monopoli sah-sah saja asalkan tetap
mengutamakan norma dan etika. Namun ini bukanlah harga mati yang mutlak menjadi suatu
kebenaran. Ekonomi Islam yang masih seumur jagung tetap mencari konsep-konsep baru
dalam menghadapi berbagai tantangan sistem dan prilaku ekonomi yang setiap saaat berubah
Daftar Pustaka
Adiningsih, Sri, Ekonomi Mikro, Yogyakarta, BPEF, 1999
al-Barry, M Dahlan Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: ARKOLA, 1994
al-Qardawi, Yusuf, Halal Haram Dalam Islam, (Terj), Surabaya: PT Bina Ilmu, 2000
ar-Rasul, Ali, abd, Dr., Al-Mabadi al-Iqtisodioyyah fi al-Islam wa al-Bana al-Iqtisodiyyah li
ad-Daulah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy, 1980
as-Siddieqy, Nejatullah, Aspek-Aspek Ekonomi Islam, (Terj), Solo: CV Ramadhani, 1991
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab al-Buyu, Kairo: Mustafa al-Babi, 1980
Dahlan, Abdul, Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 1996
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomiu Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2000
Iswardono, SP, Ekonomi Mikro, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1990
Karim,Adiwarman Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: IIIT Indonesia, 2000
Majah, Ibnu, Sunan Ibni Majah, Kitab at-Tijarah, Semarang : Toha Putra, tt
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Terj), Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf,
1997
Munawwir,Ahmad, Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Pondok
Pesantren al-Munawwir, 1994
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1976
Qasim,Yusuf, At-Tamil at-Tijariyyi fi Mijan asy-Syariah, Kairo: Dar an-Nahdhoh al-
Arabiyyah, 1986
Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Libanon: Dar al-Fikr, 1981
Sakirno, Sadono, Prengantar Teori Mikro Ekonomi, Jakrta: PT. Radja Grafindo, 2001
Subhan, Imam (ed), Siasat Gerakan Kota dan Jalan Untuk Masyrakat Baru, Yogyakarta: Labda,
2003
Yanggo, Khuzaimah, Tahido, dkk, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997
Apa Itu
Ihtikar?

Written by admin
Saturday, 11 February 2012 11:29
Ihtikar berasal dari kata hakara yang artinya az-
zulm (aniaya) dan isa' al-mu'asyarah (merusak
pergaulan). Secara istilah berarti menyimpan
barang dagangan untuk menunggu lonjakan
harga. Menurut Imam Asy-Syaukani (wafat
1834) ahli hadits dan usul fikih, ihtikar adalah
penimbunan barang dagangan dari peredarannya.
Imam al-Ghazali mengartikan sebagai penjual
makanan yang menyimpan barang dagangannya
dan menjualnya setelah harganya melonjak.
Adapun menurut ulama madzab Maliki, ihtikar
adalah menyimpan barang oleh produsen, baik
berupa makanan, pakaian, dan segala barang yang
dapat merusak pasar.
Semua pendapat tersebut secara esensi
mempunyai pengertian yang sama, yaitu
menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat
dan memasarkannya setelah harga melonjak,
namun dari jenis barang yang disimpan atau
ditimbun terjadi perbedaan. Imam asy-Syaukani
dan madzab Maliki tak merinci barang apa yang
disimpan tersebut. Berbeda dengan pendapat keduanya, Imam al-Ghazali mengkhususkan
ihtikar kepada jenis makanan.
Dengan menganalisis berbagai pengertian tentang ihtikar yang dikemukakan oleh para ulama dan
memperhatikan situasi perekonomian pada umumnya, Fathi ad-Duraini seorang Guru Besar
bidang fikih di Fakultas Syariah Universitas Damascus, memberikan sebuah pengertian.
Menurutnya, ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa serta enggan untuk
menjual dan memberikan harta dan jasanya kepada orang lain, sehingga harga pasar melonjak
secara drastis karena persediaan terbatas atau stok hilang sama sekali dari pasar, sementara
kebutuhan masyarakat amat mendesak untuk mendapatkan barang, manfaat atau jasa tersebut.
Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, para ahli fikih menghukumkan ihtikar sebagai
perbuatan terlarang dalam agama. Dasar hukum pelarangan ini adalah kandungan Alquran yang
menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya kegiatan ihtikar, diharamkan
oleh agama (QS Al-Baqarah: 279; Al Maidah: 2 dan 6; dan Al Hajj : 78).
Di samping itu banyak hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak membenarkan
perbuatan ihtikar, misalnya,"Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak
tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat." (HR at Tabrani
dari Ma'qil bin Yasar).
Kemudian sabda Rasulullah yang lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu
Hurairah,"Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar,
sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah."
Dalam riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga mengatakan,"Para
pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia
terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya."
Berdasarkan Alquran dan hadits di atas, para ulama sepakat bahwa ihtikar tergolong ke dalam
perbuatan yang dilarang atau haram. Meskipun demikian, terdapat sedikit perbedaan pendapat
diantara mereka tentang cara menempatkan hukum tersebut, sesuai dengan sistem pemahaman
hukum yang mereka miliki.
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari ulama madzab Maliki, Syafi'i, Hambali. Zaidiyah, dan
Imam al-Kasani (ahli fikih madzab Hanafi), ihtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka
kemukakan adalah ayat-ayat dan hadits-hadits di atas. Ulama madzab Syafi'i berpendapat bahwa
hadits di atas mengandung pengertian yang dalam. Orang yang melakukan kesalahan al-khata'
dengan sengaja berarti telah mengingkari ajaran syara' (hukum islam) dan syariat. Kalangan
madzab Hambali juga mengatakan bahwa ihtikar adalah perbuatan yang diharamkan syara',
karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara.
Apabila penimbunan suatu barang telah terjadi di pasar, maka pemerintah berhak memaksa
pedagang untuk menjualnya dengan harga normal pada saat itu. Bahkan menurut ulama fikih,
para pedagang menjual barang tersebut dengan harga modal sebagai hukumannya, karena
mereka tidak berhak mengambil untung. Disamping bertindak tegas, pemerintah sejak semula
seharusnya dapat mengantisipasi agar tidak terjadi ihtikar dalam setiap komoditi, manfaat atau
jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Disarikan dari buku ensiklopedia Islam




AN PARA CENDEKIAWAN MUSLIM YANG TELAH BERDISKUSI DAN MENJELASKAN PEMIKIRAN PARA
TOKOH ISLAM: Abu Yusuf, Al-Syaibani,
Abu Ubaid, dan Yahya Bin Umar
Oleh : Khairunnisa Zainuddin
Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Riwayat Hidup
Yaqub bin Ibrahim bin Habib bin Khusnais bin Saad Al-Ashari Al-Jalbi Al- Kufi Al-Bagdadi, atau yang lebih
dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di kufa pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada
tahun 182 H (798 M). Abu Yusuf meninba ilmu kepada banyak ulama besar. Berkat berkat bibinga para
gurunya serta di tunjang oleh ketekunan dan kecerdasanya, Abu Yusuf tunbuh sebagai alim ulama yang
sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama maupun penguasa masyarakat umum. Sekalipun
disibukan dengan bebagai aktivitas mengjar dan birokrasi , Abu Yusuf masih meluangkan waktu untuk
menunlis . Beberapa karya tulisnya adalah al- Jawami, ar-Raddala Siyar al-Auzai, al-Atsar, Ikhtilaf Abi
Hanifah wa Ibn Abi Laila, Adad al-Qadhi, dan al-Kharaj.
Kitab al-Kharaj
Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat monumental adalah kitab al-Karaj (Buku tantang Perpajakan).
Sekaliipun berjudul al-Karaj, kitab tersebut tidak hanya mengandung pembahasan tentang al-Karaj,
melainkan juga meliputi brbagai sumber pendapatan negara. Seperti halnya kitab-kitab sejenis yang
lahir pada lima abad pertama Hijriah,penekanan kitab karya Abu Yusuf ini terletak pada tanggung jawab
penguasa terhadap kesejahteraan rakyatnya. Ia merupakan sebuah upaya membangun sebuah sistem
keuangan yang mudah dilaksanakan sesui dengan hukum islam dalam kondisi yang selalu berubah
dengan persyaratan ekonomi.
Pemikiran Ekonomi
Dengan latar belakanng sebagai seaorang fuqadha beraliran ahl ar-rayu, kakuatan utama pemikiran
Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik. Dengan daya observasinya dan analisisnya yang
tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukan beberapa kebijakan yang harus
diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Selain dibidang keuangan publik, Abu
Yusuf juga memberikan padanganya seputar mekanisme pasar dan harga, seperti bagaimana harga itu
ditentukan dan apa dampak dari adanya berbagai jenis pajak. Dalam kedua hal terakhir tersebut ,
berdasarkan hasil observasinya sendiri, Abu Yusuf mengungkapkan teori yang justru berlawanan dengan
teori dan asumsi yang berlaku dimasanya.
Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudakan serta menjamin
kesejaahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan
kesejahteraan umum.Ketika bebicara tentang pengdaan fasilitas infrastruktur, Abu Yusuf mengtakan
bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi agar dapat meningkatkan produktifitas tanah,
kemakmuran rakyat serta peertumbuhan ekononomi.
Kemunculan ekonomi islam di era kekinian, telah membuahkan hasil dengan banyak diwacanakan
kembali ekonomi islam dalam teori-teori dan dipraktekkannya ekonomi islam diranah bisnis seperti
halnya lembaga keuangan syariah bank dan non bank. Ekonomi islam yang telah hadir kembali saat ini,
bukanlah suatu hal yang tiba-tiba dating begitu saja. Ekonomi islam sebagai sebuah cetusan konsep
pemikiran dan praktek tentunya telah hadir secara bertahap dalam feriode dan fase tertentu. Memang
ekonomi sebagai sebuah ilmu maupun aktivitas dari manusia untuk memnuhi kebutuhan hidupnya
adalah sesuatu hal yang sebenarnya memang ada begitu saja. Karena upaya memenuhi kebutuhan
hidup bagi seorang manusia adalah fitrah.
Ilmu ekonomi islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisiplin yang menjadi
bahan kajian para fuqaha, mufassir, filsuf, sosiolog dan politikus. Konsep ekonomi mereka berakar pada
hokum islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadis Nabi saw. Ia merupakan hasil intervensi dari
berbagaiu ajaran islamyang bersifat abadi dan universal, yang mengandung sejumlah perintah dan
prinsip umum bagi prilaku individu dan masyarakat, serta mendorong umnatnya untuk menggunakan
kekuatan akal pikiran mereka. Terdapat beberapa catat membahas berbagai isu ekonomi tertentu
secara panjang, bahkan diantaranya memperlihatkan suatu wawasan analisis ekonomi yang sangat
menarik.
Diantara sejumlah cendikiawan muslim terkemuka tersebut Abu Yusuf (w. 182 H) beliau telah
memberikan kontribusi pemikiran ekonomi. Beliau merupakan seorang cendikiawan muslim pertama
yang menyinggung masalah mekanisme pasar. Tulisan ini akan berusaha mengangkat tentang
bagaimanakah kebijakan ekonomi yang telah beliau lakukan.
Nama lengkap Abu Yusuf adalah Yaqub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari, dilahirkan di Kufah tahun 113
H dan wafat pada tahun 182 H.(1) beliau dikenal menjabat sebagai seorang qadi al-qudah (hakim agung)
pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad, di bawah kekuasaan Harun al-Rasyid (909 H). beliau
aktif mengikuti pengajian Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laili dan Abu Hanifah.(2)
Selain sebagai seorang hakim agung, beliau juga dikenal memiliki karya-karya dalam bentuk tulisan
berupa kitab-kitab. Diantaranya adalah kitab al-Athar yang merupakan suatu narasi dari berbagai tradisi.
Kitab Ikhtilaf Abi Hanifa wa Ibn Layla merupakan salah satu karangan awal yang merupakan kitab
perbandingan fiqh. Kitab al-Radd Ala Siyar al-AwzaI merupakan suatu kitab bantahan terhadap al-
AwzaI (seorang ahli hokum dari tradisi yang dikenal di Suriah) mengenai hokum peperangan. (3) Kitab
al-Jawami merupakan buku yang sengaja ditulis untuk Yahya bin Khalid berisi tentang perdebatan
tentang rayu dan rasio. Usul Fiqh Hanafiah yang berisi data-data fatwa hokum yang disepakati Imam
Hanafiyah bersama murid-muridnya.
(4) Kitab al-Kharaj
Pemikiran ekonomi Abu Yusuf tertuang pada karangan terbesarnya yakni kitab al-Kharaj. Kitab ini ditulis
untuk merespon permintaan khalifah harun al-Rasyid tentang ketentuan-ketentuan agama Islam yang
membahas masalah perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan public. Abu Yusuf
menuliskan bahwa Amir al-Muminin telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah buku yang
komprehensif yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak yang sah, yang dirancang
untuk menghindari penindasan terhadap rakyat.
(5) Al-Kharaj merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan daulah islamiyah dan pos-
pos pengeluaran berdasarkan kitrabullah dan sunnah rasul saw.
(6) Dalam kitab ini dijelaskan bagaimana seharusnya sikap penguasa dalam menghimpun pemasukan
dari rakyat sehingga diharapkan paling tidak dalam proses penghimpunan pemasukan bebas dari
kecacatan sehingga hasil optimal dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga Negara. Kitab ini dapat
digolongkan sebagai fublic finance dalam pengertian ekonomi modern.
(7) Pendekatan yang dipakai dalam kitab al-Kharaj sangat pragmatis dan bercorak fiqh.
(8) Kitab ini berupaya membangun sebuah system keuangan public yang mudak dilaksanakan yang
sesuai dengan hokum islam yang sesuai dengan persyaratan ekonomi. Abu Yusuf dalam kitab ini sering
menggunakan ayat-ayat Al Quran dan Sunnah Nabi saw serta praktek dari para penguasa saleh
terdahulu sebagai acuannya sehingga membuat gagasan-gagasannya relevan dan mantap.
Kitab Al Kharaj mencakup berbagai bidang antara lain.
(9) Tentang pemerintahan, seorang khalifah adalah wakil allah swt di bumi untuk melaksanakan
perintah-Nya. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat Abu Yusuf
menyusun sebuah kaidah fiqh yang sangat popular yakni Tasarruf al-Imam ala ar-Raiyyah Manutun bi al-
Maslahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan
kemaslahatan mereka)
Tentang keuangan, uang Negara bukan milik khalifah tetapi amanat allah swt dan rakyatnya yang harus
dijaga dengan penuh tanggung jawab.
Tentang pertanahan, pajak diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga
tahun dan diberikan kepada yang lain.
Tentang perpajakan, pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat dan ditetapkan
berdasarkan kerelaan mereka.
Tentang peradilan, hokum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat. Kesalahan dalam
mengampuni lebih baik dari pada kesalahan dalam menghukum. Jabatan tidak boleh menjadi bahan
pertimbangan dalam persoalan peradilan.
Mekanisme Ekonomi Abu Yusuf
Tujuan utama dari kebijakan ekonomi Abu Yusuf adalah pada keuangan public, beliau melihat bahwa
sector Negara sebagai satu mekanisme yang memungkinkan warga Negara melakukan campur tangan
atas proses ekonomi. Bagaimana mekanisme pengaturan tersebut dalam menentukan :
Tingkat pajak yang sesuai dan seimbang dalam upaya menghindari perekonomian Negara dari ancaman
resesi.
Sebuah arahan yang jelas tentang pengeluaran pemerintah untuk tujuan yang diinginkan oleh
kebijaksanaan umum.
(10) Untuk dapat mewujudkan keadaan tersebut Abu Yusuf meletakkan beberapa macam mekanisme,
(11) Menggantikan system wazifah dengan system muqosomah
Wazifah dan muqosomah merupakan istilah dalam membahasakan system pemungutan pajak. Wazifah
memberikan arti bahwa system pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa
membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak
yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan, sedangkan Muqosomah
merupakan system pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah)
dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional,
sehingga pajak diambil dengan cara yang tidak membebani kepada masyarakat.
Bagi Abu Yusuf metode pajak secara proporsional dapat meningkatkan pemasukan dari pajak tanah dari
sisi lain mendorong para penanam untuk meningkatkan produksinya. System pajak ini didasarkan pada
hasil pertanian yang sudah diketahui dan dinilai, system tersebut mensyaratkan penetapan pajak
berdasarkan produksi keseluruhan, sehingga system ini akan mendorong para petani untuk
memanfaatkan tanah tandus dan amati agar mnemperoleh bagian tambahan.
(12) Dalam menetapkan angka. Abu Yusuf menganggap system irigasi sebagai landasannya, perbedaan
angka yang diajukannya adalah sebagai berikut.13 :
40 % dari produksi yang diairi oleh hujan alamiah
30 % dari produksi yang diairi secara artificial
1/3 dari produksi tanaman (pohon palm, kebun buah-buahan dan sebagainya)
dari produksi tanaman musim panas.
Dari tingkatan angka di atas dapat dilihat bahwa Abu Yusuf menggunakan system irigasi sebagai criteria
untuk menentukan kemampuan tanah membayar pajak, beliau menganjurkan menetapkan angka
berdasarkan kerja dan modal yang digunakan dalam menanam tanaman.
Membangun fleksibilitas social
Dalam hal ini beliau berusaha member pemahaman keseimbangan dan persamaan hak bagi kaum non
muslim, baik itu dari golongan Harbi, Mustamin, maupun Zimmi yang mana mereka di atur dengan
beberapa ketetapan khusus yang berkenaan dengan status kewarganegaraan, system perekonomian
dan perdagangan serta ketentuan hokum lainnya.
Kaum non muslim wajib membayar jizyah, namun jika mereka meninggalmaka jizyah tersebut tidak
boleh dibayar oleh ahli warisnya. Jizyah dalam terminology konvensional disebut dengan pajak
perlindungan, yakni jasa keamanan yang diberikan Negara islam kepada kaum non muslim. Bagi kaum
non muslim yang ikut berperang , maka bagi mereka tidak dibebankan untuk membayar jizyah.
Berdasarkan klasifikasi strata masyarakat maka jizyah bagi golongan kaya sebesar 4 dinar, golongan
menengah 2 dinar dan kelas miskin 1 dinar.
Tentang mereka yang enggan membayar jizyah, beliau menyatakan bahwa dalam menarik jizyah dari
orang-orang non muslim tidak perlu dengan cara kekerasan tetapi dengan cara yang kekeluargaan yakni
memberlakukan mereka layaknya teman, karena hal ini dapat member pengaruh positif yaitu
bertambah simpatinya kaum non muslim terhadap islam.
(14) Menciptakan system ekonomi yang otonom
Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar.
(15) Menurut beliau system ekonomi islam menjelaskan mengikuti prinsip mekanisme pasar dengan
memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku didalamnya, yakni produsen dan konsumen. Jika,
karena sesuatu hal selain monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang tidak wajar dari produsen
terjadi kenaikan harga maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga,
karena penentuan harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan penawaran dalam
ekonomi.
(16)Abu Yusuf tidak sependapat dengan pemahaman yang menjelaskan bahwa bila barang yang tersedia
sedikit maka harga barang akan menjadi mahal, dan bila barang yang tersedia banyak maka harga
barang akan menjadi murah. Karena itu menentang penguasa yang menetapkan harga, karena hasil
panen yang melimpah bukan menjadi alasan untuk menurunkan harga penen dan begitu pula dengan
sebaliknya kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pemahaman yang dianut penguasa
adalah hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva permintaan.
Abu Yusuf karena pemahaman yang seperti itu, karena pada kenyataannya persediaan barang sedikit
tidak selalu diikuti dengan kenaikan harga, dan sebaliknya persediaan barang yang melimpah belum
tentu membuat harga akan murah, dalam hal ini Abu Yusuf menyatakan bahwa kadang-kadang makanan
berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.
Abu Yusuf berpendapat bahwa peningkatan atau penurunan harga suatu barang tidak selalu
berhubungan dengan peningkatan atau penurunan permintaan barang tersebut, atau penurunan atau
peningkatan dalam hal produksi barang. Menurut beliau tidak ada batasan tertentu tentang murah dan
mahal yang dapat dipastikan, karena hal tersebut ada yang mengaturnya. Murah bukan karena
melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan, tetapi
murah dan mahal merupakan ketentuan allah swt.
(17) Dalam hal ini beliau mengutip hadis-hadis rasulullah saw yang menyatakan bahwa tinggi dan
rendahnya barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan allah, dan kita tidak bias
mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut (Riwayat Abdu a-Rahman bin Abi Laila dari
Hikam bin Utaibah) dan hadis yang menyatakan Sesungguhnya urusan tinggi dan rendahnya harga
suatu barang punya kaitan erat dengan kekuasaan allah swt. Aku berharap dapat bertemu dengan
Tuhanku di mana salah seorang diantara kalian tidak akan menuntutku karena kezhaliman (Hadis Tsabit
Abu Hamzah al-Yamani dari Salim bin Abi Jaad) dan Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga,
penahan, pencurah serta pemberi rizki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku dimana salah
seorang di antara kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam hal darah dan harta (Riwayat
Sufyan bin Uyainah, dari Ayub dari Hasan).
Beliau menegaskan bahwa terdapat beberapa variable lain yang mempengaruhi tetapi tidak dijelaskan
lebih rinci. Bias jadi variable itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di
suatu Negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut.
(18) Menurut Siddiqi sebagaimana yang telah dikutip oleh Adiwarman bahwa ucapan Abu yusuf harus
diterima sebagai pernyataan dari hasil pengamatan pada saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan
antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.
(19) Dapat dilihat bahwa pemikiran Abu Yusuf menggambarkan adanya batasan-batasan tertentu bagi
pemerintah dalam menentukan kebijakan harga. Abu Yusuf lebih banyak mengedepankan rayu dengan
menggunakan perangkat analisis qiyas dalam upaya mencapai kemaslahatan ammah sebagai tujuan
akhir hokum
(20) Dengan melihat dari bagaimana kebijakan Abu yusuf dalam hal ekonomi, menunjukkan bahwa
perkembangan pemikiran ekonomi dalam islam telah memberikan suatu pencerahan. Melihat dari
bagaimana pendapat Abu yusuf tentang fluktuasi harga memberikan kesimpulan bahwa system
ekonomi yang ada belum tentu bias diterima, tergantung pada keadaan dan situasi yang terjadi pada
suatu tenpat.
Tujuan kebijakan ekonomi Abu Yusuf adalah untuk mencapai maslahah ammah. Maslahah adalah
kesejahteraan yang sifatnya individu (mikro) maupun golongan (makro). Secara mikro, diharapkan
manusia dapat menikmati hidup secara berarti dan bermakna (meaning full). Secara makroi, juga
diharapkan agar masyarakat dapat menikmati kedamaian dan ketenangan dalam hubugan interaksi
social antars esama dan diatur dengan tatanan masyarakat yang saling menghargai antar masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lainnya.
II. Pemikiran Ekonomi Al-Syaibani (132 189 H/750 804)
Riwayat Hidup
Abu Abdilah Muhammad bin Al-Hasan bin Farqad Al-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota
Wasith, ibu kota Irak pada akhir masa pemerintahan Bani Umawiyah.Ayahnya berasal dari negari
Syaibani di wilayah jazirah Arab.Di kota tersebut ia belajar fiqih, sastra, bahasa, dan hadis kepada para
ulama setempat, seperti Musar bin Kadam, Syufan Tsauri,Umar bin Dzar, dan Malik bin Maghul.
Setalah memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang saat itu telah berada
dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini ia mempunyai peranan penting dalam majelis
ulama dan kerap didatangi ara penuntut ilmu. Namun tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia
kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqih. Al-
Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray, daket Teheran, dalam usia 58 tahun.
Karya-karya
Zhahir al-Riwayah, yaitu ditulis berdasrkan pelajaran yang diberikan Abu Hanifah, seperti al-Mabsut, al-
Jmi al-Kabir, al-Jami al-Shaghir, al-Syiar al-Kabir,al-Syiar al-Shaghir, dan al-Ziyadat. Keaemuanya ini
dipimpin Abi Al-Fadhl Muhammad abn Ahmad Al-Maruzi (w. 334 H/945 M) dalam satu kitab yang
berjudul al-kafi.
Al-Nawadir, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pandanganya sendiri, seperti Amali Muhammad fi al-
fiqih, al-Ruqayyat, al-Makharij fi al-Hiyal, al-Radd ala Ahl Madinah, al-Ziyadah, al-Atsar, dan al-Kasb.
Pemikiran Ekonomi
Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Al-Syaibani, para ekonom muslim banyak merujuk pada
kitab al-Kasb. Kitab tersebut termasuk kitab pertama di dunia Islam yang membahas permasalahan ini.
Oleh karena itu, tidak berlebihan bila Dr. Al-Janidal menyebut Al-Syaibani sebagai salah seorang perintis
ilmu ekonomi islam.
Al-Kasb (kerja)
Kekayaan Kefakiran
Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian
Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan

Abu Ubaid
Riwayat Hidup
Abu Ubaid dilahirkan di Bahrah, di propinsi Khurasan (barat laut Afghanistan) pada tahun 154 Hijriah.
Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi. Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu
pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirah, tafsir,
hadis, dan fikih. Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun
192 H, Thbit ibn Nasr ibn Mlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur)
menunjuknya sebagai qdi di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun,
pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya (224 H).
Pemikiran Abu Ubaid
Abu Ubaid mengarang sebuah kompendium mengenai keuangan publik yang dapat dibandingkan
dengan kitab al kharaj-nya Abu Yusuf. Kitab al Amwal-nya sangat kaya secara historis dan juga berisi
materi-materi hukum Islam yang luas. Karyanya banyak dikutip oleh penulis-penulis Islam, dan telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Kitab Al-Amwal dari Abu Ubayd merupakan suatu karya yang komprehensif tentang keuangan negara
dalam Islam. Buku ini dimulai dengan sebuah bab singkat tentang,hak penguasa atas subjek (individu
dalam masyarakat) dan hak subjek atas penguasa, yang kemudian dilanjutkan dengan bab mengenai
jenis-jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan dasar-dasar pemikirannya yang
dibahas dalam kitab Allah serta Sunnah. Bab-bab lainnya yang lebih tebal dari pembahasan bukunya Abu
Yusuf membahas mengenai pengumpulan dan pembayaran (disbursement) dari tiga jenis penerimaan
yang diidentifikasi dalam bab ke dua, yaitu: zakat (termasuk ushr), khums yaitu seperlima dari hasil
rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan tanpa pemilik dan fai yang termasuk kharaj,
jizyah dan penerimaan lainnya yang tidak termasuk kedalam kategori pertama dan kedua seperti,
penemuan barang- barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain.
Buku ini dengan kaya melaporkan sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, yang juga
merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai
permasalahan ekonomi. Abu Ubaid tidak hanya sekedar melaporkan pendapat-pendapat orang lain ini,
tetapi juga selalu mengakhirinya dengan menjalinkan masalah tersebut secara sistematis,
mengungkapkan suatu preferensi atas sebuah pendapat dari beberapa pandangan yang dilaporkan atau
memberikan pendapatnya sendiri dengan dukungan beberapa basis syariah tertentu atau dengan
alasan-alasan rasional. Misalnya, setelah melaporkan berbagai
pendapat tentang besarnya zakat yang seharusnya diterima oleh seorang penerima zakat yang berhak,
dia dengan keras menyatakan ketidaksetujuannya terhadap mereka yang meletakkan suatu batas
tertinggi (ceiling) pada pemberian zakat tersebut. Hal yang terpenting baginya adalah keterpenuhan
kebutuhan rakyat dan terselamatkannya masyarakat dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-
orang yang berkeinginan tidak terbatas, bahkan jika hal tersebut harus dilakukan dengan pengeluaran
uang yang amat besar pada sebuah kasus tertentu.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang
pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern
disebut sebagai capacity to pay dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Ia
membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika
terjadi ketidakmampuan membayar serius. Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya
diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax
evasion).

Adam Smith banyak mencontek hasil karya Abu-Amwal, mengenai free market, no-government
intervention. Para ahli sejarah literatur mengemukakan pendapatnya tentang pencurian besar- besaran
kitab-kitab karya ahli-ahli ilmu ekonomi muslim pada saat perang Salib. sehingga memungkinkan kitab
Abu-Amwal di Baghdad sampai ke tangan Adam Smith di Inggris. Alasan berikutnya adalah penulisan
referensi atau daftar pustaka pada zaman Adam Smith belum sepenting seperti sekarang. Sehingga
mencontek atau perbuatan plagiat belum banyak dikritik
Pemikiran Ekonomi Yahya Bin Umar (213 289 H)
Riwayat Hidup
Yahya bin Umar merupakan salah seorang faquha mazhab Maliki. Ulama bernama lengkap Abu Bakar
Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kananni Al-Andalusi ini lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova,
Spanyol. Seperti para cendekiawan Musim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut
ilmu. Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami Al-Qairuwan. Pda masa hidupnya
terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqoha Hanafiah yang dipicu oleh
persaingan memperbutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya Umar terpaksa pergi ke Qairuwan dan
menetap di sausah ketika Ibnu Abdun, yang berusaha para ulama penentangnya, baik dengan cara
memenjarakan maupun membunuh, menjabat qadi di negeri itu. Setelah Ibnu Abdun turun dari
jabatanya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun ia
menolaknya dan memilih tetap tinggal di Susah serta mangajar di Jami Al-Sabt hingga akhir hayatnya.
Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).
Kitab Ahkam al-Suq
Semasa hidupnya, disamping aktif mengajar, Yahya bin umar juga banyak menghasilkan karya
tulishingga mencapai 40 juz. Diantara berbagai karyanya yang terkenal adalah al-Muntakhabah fi
ikhtishar al-Mustakhirijah fi al-Fiqh al-Maliki dan kitab Ahkam al-Suq. Dengan demikian, pada masa
Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua keistimewaan, yaitu:
Keberadaan institusi pasar mendapat perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari penguasa.
Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan
pasar.
Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan begian yang tak terpisahkan dari ketakwaan
seorang muslim kepada Allah Swt. Berkaitan dengan hal ini,Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tasir
(penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadis Nabi Muhammad Saw. Jika
kita mencermati konteks hadis tersebut, tampak jelas bahwa Yahya ibn Umar melarang kebijakan
penetapan harga jika kenaikan harga yang terjadi adalah samata-mata hasil interaksi penawaran dan
permintaan yang alami.
Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar
Sekalipun tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam al-Saq, adalah mengenai hukum-hukum
pasar, pada dasarnya, konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait dengan permasalahan ihtikar dan
siyasah. Dalam ilmu ekonomi kontemporer, kedua ahal tersebut masing-masing dikenal dengan istilah
monopolysrent-seeking dan dumping.
Ihktiar (Monopolys Rent-Seeking)
Siyasah al-iqhrag (Dumping Policy)


Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu
Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf al-Kannani al-Andalusi ini lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di
Kordova, Spanyol. Seperti para cendekiawan muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk
menuntut ilmu.
Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat Abdullah bin Wahab al-
Maliki dan Ibn al-Qasim, seperti Ibnu al-Kirwan Ramh dan Abu al-Zhahir bin al-Sarh. Setelah itu, ia
pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya, kepada Abu Musab az-Zuhri. Akhirnya, Yahya bin Umar
menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan
hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman al-Farisi.
Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami al-Qairuwan. Pada masa hidupnya ini,
terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh
persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari
Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama
penentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh, menjabat qadi di negeri itu.
Setelah Ibnu Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad al-Aglabi menawarkan jabatan qadi
kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilih tetap tinggal di Sausah serta mengajar di
Jami al-Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).
Menurut Yahya bin Umar, (aktivitas ekonomi) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan
seorang muslim kepada Allah Swt. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas dalam
perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi
konvensional.
Oleh karena itu, di samping Alquran, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti
seluruh perintah Nabi Muhammad saw. dalam melakukan setiap aktivitas ekonominya. Lebih lanjut, ia
menyatakan bahwa keberkahan akan selalu menyertai orang-orang yang bertakwa, sesuai dengan
firman Allah Swt.: Jikalau sekiranya penduduk negerinegeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-Araf/7:96).
Seperti yang telah disinggung, fokus perhatian Yahya ibn Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang
terefleksikan dalam pembahasan tentang tasir (penetapan harga). Penetapan harga (al-tasir)
merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam al-Suq. Penyusun buku tersebut, Imam Yahya bin Umar,
berulang kali membahasnya di berbagai tempat yang berbeda. Tampaknya, ia ingin menyatakan bahwa
eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi dan pengabaian
terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tasir (penetapan harga) tidak boleh
dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadis Nabi Muhammad saw., antara lain: Dari Anas bin Malik, ia
berkata: Telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rasulullah saw. Mereka (para sahabat) berkata:
Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-lah yang
menguasai (harga), yang memberi rezeki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku
sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk melakukan
suatu kezaliman dalam persoalan jiwa dan harta. (Riwayat Abu Dawud).
Jika kita mencermati konteks hadis tersebut, tampak jelas bahwa Yahya ibn Umar melarang kebijakan
penetapan harga (tasir) jika dan hanya jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil
interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dengan kata lain, dalam hal demikian, pemerintah
tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi harga. Hal ini akan berbeda jika kenaikan harga
diakibatkan oleh ulah manusia (human error).
Pemerintah, sebagai institusi formal yang memikul tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum,
berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan
masyarakat luas.
Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua
hal, yaitu
Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentunya yang sangat dibutuhkan
masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudaratan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini,
pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta menggantikannya dengan
para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat
menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar. Dalam hal
ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk menaikkan kembali harganya
sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir
para pedagang tersebut dari pasar.
Hal ini pernah dipraktikkan Umar bin al-Khattab ketika mendapati seorang pedagang kismis menjual
barang dagangannya di bawah harga pasar. Ia memberikan pilihan kepada pedagang tersebut, apakah
menaikkan harga sesuai dengan standar yang berlaku atau pergi dari pasar.
Pernyataan Yahya ibn Umar tersebut jelas mengindikasikan bahwa hukum asal intervensi pemerintah
adalah haram. Intervensi baru dapat dilakukan jika dan hanya jika kesejahteraan masyarakat umum
terancam. Hal ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada pemerintah dalam mewujudkan keadilan
sosial di setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi. Di samping itu, pendapatnya yang
melarang praktik tasir (penetapan harga) tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya Yahya
bin Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan.
Sikap Rasulullah saw. yang menolak melakukan penetapan harga juga merupakan indikasi awal bahwa
dalam ekonomi Islam tidak hanya terbatas mengatur kepemilikan khusus, tetapi juga menghormati dan
menjaganya. Tentu saja, kebebasan ekonomi yang dimaksud adalah bukan kebebasan mutlak seperti
yang dikenal dalam ekonomi konvensional, tetapi kebebasan yang terikat oleh syariat Islam.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan
penawaran (supply) dan permintaan (demand). Namun, Yahya ibn Umar menambahkan bahwa
mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah.
Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah pemerintah berhak untuk melakukan intervensi ketika terjadi
tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat,
termasuk ihtikar dan dumping. Dalam hal ini, pemerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan itu dari
pasar.
Dengan demikian, hukuman yang diberikan terhadap pelaku tindakan tersebut adalah berupa larangan
melakukan aktivitas ekonominya di pasar, bukan berupa hukuman maliyah. Menurut Dr. Rifaat al-Audi,
pernyataan Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk
mencegah harga-harga menjadi murah.
Akan tetapi, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap
mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Tentang ihtikar, Yahya bin Umar
menyatakan bahwa timbulnya kemudaratan terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan
penimbunan barang. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual
dan keuntungan dari hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ihtikar.
Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya,
pemerintah memperingati para pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuatannya. Apabila mereka
tidak memedulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul,
mengelilingi kota, dan memenjarakannya.
Dengan demikian, dalam kasus kenaikan harga akibat ulah manusia, seperti ihtikar dan dumping,
kebijakan yang diambil pemerintah adalah mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini
juga berarti bahwa dalam ekonomi Islam, undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan
penjamin pelaksanaan hak-hak masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka
secara keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara semena-mena.















DAFTAR PUSTAKA
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta. Ekonisia. 2003
Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, Keuangan Publik Dalam Pemikiran Islam Awal. Bandung. Nuansa.
2005
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : The International Institute of Islamic Thought
Indonesia. 2002
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta. Ekonisia. 2003. Hal. 150
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam
Lihat Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, Keuangan Publik Dalam Pemikiran Islam Awal. Bandung.
Nuansa. 2005. Hal.47

PEMIKIRAN EKONOMI YAHYA BIN UMAR DALAM PERSPEKTIF
EKONOMI MODERN
by: Moh. Subhan
A. Pendahuluan
Yahya bin Umar merupakan salah satu ulama abad III H yang sangat produktif dalam
menuangkan ide-idenya menjadi karya tulis yang bermanfaat bagi orang banyak. Karya tulis
yang sudah berhasil dibukukan tidak kurang dari 40 juz, diantaranya adalah kitab Ahkam as-
Suq. Sebuah kitab yang membahas tentang persoalan-persoalan ekonomi.
Kitab Ahkam as-Suq terasa lebih membumi karena kitab tersebut merupakan hasil dialektika
Yahya bin Umar dengan lingkungan sosialnya, yaitu kota Qairuwan, Afrika Utara. Sebuah kota
yang sudah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H. Sekalipun tema utama
yang diangkat dalam kitab tersebut adalah mengenai hukum-hukum pasar misalnya tentang tasir
(penetapan harga), tetapi pada dasarnya Umar bin Yahya lebih banyak membahas tentang
persoalan ihtikar dan siyasah al Ighraq. Kedua istilah tersebut dalam ilmu ekonomi kontemporer
dikenal dengan monopolys rent-seeking (ihtikar) dan dumping (siyasah al-ighraq).
Agar pembahasan dalam makalah ini terfokus, maka penulis akan membaginya dalam tiga
bahasan:
Pertama, pemikiran Yahya bin Umar tentang Ihtikar (monopolys rent-seeking) kaitannya dengan
peran pemerintah.
Kedua, pemikiran Yahya bin Umar tentang siyasah al-ighraq (politik dumping) kaitannya
dengan peran pemerintah.
Ketiga, pemikiran Yahya bin Umar tentang pasar, dalam hal ini tasir (penetapan harga)
kaitannya dengan peran pemerintah.
Dan kajian ini akan terasa lebih menarik dan berkualitas, jika dikorelasikan dengan ekonomi
modern. Dengan demikian kita akan megetahui, apakah ide yang digagas Yahya bin Umar pada
12 abad yang silam masih relevan dengan pemkiran para ekonom abad mobern ini. Jika hal
tersebut dapat dibuktikan, maka paling tidak bagi umat Islam akan menambah wawasan tentang
ekonomi Islam dan lebih lanjut ummat Islam akan semakin mantap untuk melaksanakan sistem
ekonomi Islam.
B. Pembahasan
1. Pemikiran Yahya bin Umar tentang Ihtikar (Monopolys Rent-Seeking).
Islam secara tegas melarang praktek ihtikar, sebab ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya
mekanisme pasar, di mana penjual akan menjual sedikit barang dagangannya, sementara
permintaan terhadap barang tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan barang.
Berdasarkan hukum ekonomi, maka:
Semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan
terhadap barang semakin berkurang.
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari
harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan normal
(super normal profit), sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar
masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar
monopoli seorang produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga).
Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan
kemudlaratan bagi manusia. Sedangkan kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus
dihilangkan. Implikasi lebih jauh, ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga
akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses
distribusi kekayaan di antara manusia, sebab konsumen masih harus membayar harga produk
yang lebih tinggi dari ongkos marjinal. Dengan demikian praktek ihtikar akan menghambat
kesejahteraan umat manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya
adalah kesejahteraan umat manusia.
Menurut Yahya bin Umar apabila harga di pasar mengalami ketidak stabilan karena ulah dari
segelintir para pedagang, maka pemerintah sebagai lembaga formal harus melakukan intervensi
terhadap harga di pasar tersebut, dengan mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price
(keseimbangan harga). Tindaka yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah akan menjual
barang dagangan hasil timbunan sesuai dengan harga pasar pada saat itu dan apabila ada
keuntungan dari hasil penjualan, maka hasil penjualan tersebut disedekahkan kepada fakir
miskin. Sedangkan pelaku ihtikar hanya berhak mendapatkan modal pokonya saja. Hal ini
dilakukan sebagai pembelajaran terhadap pelaku ihtikar. Selanjutnya pemerintah akan
memberikan teguran kepada pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuaannya lagi. Apabila
mereka tidak memperhatikan teguran tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan
memukulnya, lari mengelilingi kota dan memenjarakannya.
Tetapi yang harus dipahami lebih lanjut adalah, sesuatu baru dikatakan sebagai ihtikar apabila,
barang yang ditimbun merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan penimbunan dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan di atas keuntungan normal (super normal profit).
Tindakan seseorang yang menyimpan stok barang tertentu untuk kepentingan persediaan, seperti
ketika terjadi panen raya atau untuk persediaan kebutuhan pribadinya tidak bisa dikatakan
sebagai tindakan ihtikar. Sebab hal tersebut tidak akan mengakibatkan kelangkaan barang di
masyarakat, justru jika hal itu tidak dilakukan oleh perusahaan atau produsen tertentu harga
barang akan anjlok dan rakyat akan mengalami kerugian. Bahkan pemerintah Indonesia melalui
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1948 tentang pemberian ijin kepada Pedagang untuk
menimbun barang penting, seperti beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula dalam jumlah
tertentu. Beras, gabah, padi, menir, tepung beras, gula masing-masing tidak lebih dari 500 Kg.
Dengan demikian pemerintah memperbolehkan melakukan penimbunan barang oleh institusi
tertentu dengan maksud untuk melindungi konsumen dan produsen. Sedangkan penimbunan
yang dimaksudkan untuk mendapatlan keuntungan maksimal yang tidak wajar, jelas hal tersebut
dilarang.
Bagaimana perilaku perusahaan / produsen dalam melakukan tindakan ihtikar ? Terdapat
beberapa cara yang dilakukan, yaitu:
a. Ada kemungkinan keuntungan monopoli tetap bisa dinikmati produsen monopoli dalam
jumlah yang besar dan jangka panjang (PmXYZ).
b. Volume produksi (kuantitas barang) lebih kecil dari volume output yang optimum (Qm),
padahal produsen sebenarnya mampu untuk memproduksi dalam jumlah yang lebih besar (Q)
atau paling tidak di titik (Q1).
c. Ada unsur eksploitasi oleh perusahaan-perusahaan monopoli terhadap:
1) Konsumen, dengan ditetapkan harga jual (=P) di atas ongkos produksi dari unit terakhir
outputnya (=MC).
2) Pemilik faktor-faktor produksi yang digunakan oleh produsen monopoli tersebut, dengan
dibayarnya faktor produksi dengan harga (=MC) yang lebih rendah dari nilai pasar dari output
yang dihasilkan (=P).
3) Kualitas barang lebih rendah, dan konsumen terpaksa membeli sebab tidak ada barang
lainnya.
Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 1.
P
MC S
Pm X AC
P1 D
C
MR AR D
O Qm Q1 Q
Dari paparan di atas jelas bahwa antara pemikiran Yahya bin Umar yang digagasnya sekitar 12
abad yang lalu terdapat kesesuaian dengan ekonomi modern yang juga melarang adanya praktek
monopoli murni (pure monopoly) dan adanya sanksi bagi pihak yang melanggarnya. Meskipun
bahasa yang digunakan oleh Yahya bin Umar sangat sederhana.
Monopoli murni adalah suatu keadaan di mana dalam pasar hanya ada satu penjual sehingga
tidak ada pihak lain yang menyainginya. Di negara yang terkenal dengan pasar bebas dan sistem
kapitalisnya seperti Amerika Serikat, masih terdapat Undang-undang Anti Trust. Bahkan
pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Pada dasarnya peraturan tentang persaingan usaha yang sehat cukup banyak ragamnya, masing-
masing dikeluarkan melalui Undang-Undang tersendiri di berbagai negara maju di dunia.
Penelusuran dari informasi yang ada, umumnya negara-negara tersebut mengeluarkan peraturan
permainan persaingan usaha yang sehat, dengan melarang hal-hal berikut ini:
a. Larangan melakukan persengkongkolan bisnis yang merugikan pesaing lainnya.
b. Monopoli atau memperoleh hak khusus atas dasar KKN dengan birokrat.
c. Proses tender yang tidak transparan, atau menggunakan perusahaan alibaba.
d. Differensiasi harga pada kelompok bisnis tertentu yang merugikan pihak pesaing.
e. Proses merger dan akuisisi yang ditujukan untuk mengurangi tingkat persaingan.
f. Horizontal dan vertical merger yang mangarah pada dominasi konsentrasi pasar. (Vertical
merger untuk tujuan efisiensi dan pengurangan harga jual masih diperbolehkan).
g. Proses produksi, kualitas produk, dan kampanye iklan yang merugikan pihak konsumen.
h. Memberikan informasi tentang produk dan pelayanan yang menyesatkan kepentingan
komsumen.
Dalam Pasal 17 ayat 1, UU No. 5 Tahun 1999 dinyatakan:
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Dan, pasal 47 dan 48 UU Tahun 1999 disebutkan, apabila terjadi pelanggaran terhadap undang-
undang tersebut maka pemerintah dapat mengenakan sanksi bagi pelakunya, baik sanksi
administrasi (penggagalan perjanjian atau denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000000,00 dan
setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 Rp 1.000.000.000,00 dan sanksi berupa kurungan
minimal 3 bulan sampai 6 bulan.
b. Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar tentang Siyasah al-Ighraq (Dumping Policy)
Siyasah al-Ighraq (dumping) adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan untuk mencari
keuntungan dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari harga yang
berlaku di pasaran. Perilaku seperti ini secara tegas dilarang oleh agama karena dapat
menimbulkan kemudlaratan bagi masyarakat.
Siyasah al-Ighraq (dumping) dilakukan oleh seseorang dengan maksud agar para saingan
dagangnya mengalami kebangkrutan. Dengan demikian ia akan leluasa menentukan harga di
pasar. Siyasah al ighraq atau banting harga (dumping) dapat menimbulkan persaingan yang tidak
sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga di pasar. Dalam kondisi seperti ini pemerintah
mempunyai otoritas untuk memerintahkan para pedagang tersebut agar menaikkan kembali harga
barang sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila mereka tidak mau mentaati aturan
pemerintah, maka pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah
dipraktekkan Khalifah Umar bin Khaththab, ketika mendapati seorang pedang kismis yang
menjual barang dagangannya di bawah standart harga di pasar. Maka Khalifah Umar bin
Khaththab memberikan pilihan kepada pedagang tersebut; menaikkan harga sesuai dengan harga
standart di pasar atau keluar dari pasar.
Dalam sistem negara modern dewasa ini, keterlibatan negara dalam mengontrol pasar khususnya
yang terkait dengan fluktuasi harga barang dan regulasi pasar semakin dibutuhkan. Kebutuhan
akan peran pemerintah semakin diperlukan sebagai akibat dari meningkatnya pola-pola
ketidakadilan para pelaku pasar bebas yang berujung pada merebaknya otoritasi kontrol harga
yang terpusat pada segelintir orang. Di samping mentalitas para spekulan yang hanya
berorientasi mengeruk keuntungan sepihak, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Seperti
penimbunan barang-barang kebutuhan pokok khususnya pada saat permintaan barang meningkat
di hari-hari besar umat Islam atau tahun baru dan lain-lain. Tidak mengherankan jika pada hari-
hari besar tersebut tiba-tiba harga barang meningkat tajam, atau stok habis dari peredaran.
Bahkan kelangkaan juga tejadi pada barang yang jelas-jelas telah mendapatkan subsidi dari
pemerintah seperti gas elpiji dalam ukuran 3 kg atau minimnya minyak tanah baru-baru ini dan
langkanya pupuk di beberapa daerah di Indonesia.
Peran pemerintah untuk menertibkan sekaligus memberikan kenyamanan dalam bentuk
memberikan efek jera kepada para pelaku ketidakadilan di atas sungguh diharapkan. Pernah
suatu waktu, harga-harga barang di pasar Madinah meningkat tajam, dan hal ini dikeluhkan oleh
para sahabat kepada nabi, dan mereka meminta kepada nabi untuk mematok harga atas barang-
barang di pasar (al-tas`ir). Namun nabi menolak, dengan alasan khawatir hal itu akan merugikan
para penjual dari kalangan pemilik barang. Tentu kejadian ini harus dilihat dari konteks waktu
diucapkannya perkataan nabi tersebut, jika seandainya nabi masih hidup saat ini, niscaya beliau
akan setuju dengan permintaan para sahabat untuk memberikan harga standar atas barang-barang
yang beredar di pasar. Perubahan karakter pada pelaku bisnis dahulu dan sekarang tentunya yang
merubah fatwa tersebut. Dan bukan seperti yang disangka oleh para pendukung sistem kapitalis,
bahwa hakekatnya nabi mendukung pasar bebas atau sangat membela kepentingan para pemiliki
modal (the capital).
Demikianlah etika pasar dalam Islam, yang tidak semata diarahkan bagi para pelaku bisnis baik
pedagang dan pembeli saja, melainkan juga bagi stakeholders atau pada pembenahan sistem
secara menyeluruh. Lebih jelasnya etika pasar dalam Islam ini menghendaki pembenahan sistem
dan kerjasama sinergis antara semua unsur baik pelaku bisnis, masyarakat dan pemerintah
3. Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar tentang Intervensi Pemerintah terhadap Tasir
(Regulas Harga)
Pasar merupakan pusat terjadinya penyediaan (supply) dan permintaan (demand) barang.
Kedudukan pasar dalam Islam begitu tinggi, sebab selain bidang pertanian dan perdagangan
merupakan salah satu profesi yang sangat dianjurkan oleh Islam. Karakteristik pasar Islam ialah
di dalamnya terdapat aturan, mekanisme dan nilai-nilai Islam yang dijadikan standar aktifitas.
Karakteristik inilah yang menjadi kekhasan Islam yang tidak mengenal dikotomi ranah dunia dan
akherat. Aktifitas bisnis yang berorientasi materiil selalu diimbangi dengan kecintaan
membelanjakan harta di jalan Allah (spirituil). Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi
kebebasan dalam berekonomi. Sehingga Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk
melakukan inovasi dan kreativitas dalam bermuamalah.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni
kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam kondisi seperti ini, maka
pemerintah di larang melakukan intervensi terhadap harga. Pada pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 5
Tahun 1999 mengindikasikan adanya larangan untuk melakukan persekongkolan dalam rangka
menetapkan harga di pasar. Berbicara tentang regulasi harga, tentu kita ingat bahwa pengawasan
harga muncul pertama kali pada zaman Rasulullah SAW. Pada masa itu Rasulullah bertindak
sebagai Hasib (pengawas) versi Indonesia, KPPU- Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Kondisi saat itu, masyarakat dihadapkan dalam kondisi harga yang melambung tinggi, sehingga
sahabat meminta Rasul untuk menurunkan harga. Namun demikian, Rasul menolak permintaan
sahabat tersebut. Rasul mengatakan Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan, Dia-lah
pembuat harga berubah dan menjadi harga sebenarnya, saya berdoa agar Allah tidak
membiarkan ketidakadilan seseorang dalam darah atau hak milik.
Dalam sebuah hadith dinyatakan :
: :

( )
Dari Anas bin Malik, para manusia (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah telah terjadi lonjakan
harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-lah
penentu harga, penahan, yang memudahkan dan yang memberi rizki. Aku berharap dapat
bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun dari kalian (boleh) menuntutku karena kedzaliman
dalam persoalan jiwa dan harta.
Dari riwayat tersebut, dapatlah kiranya kita pahami bahwa penetapan harga secara eksplisit tidak
diperkenankan oleh Rasul. Sebab dengan penetapan harga akan memicu ketidakadilan baru. Jika
harga ditetapkan jauh lebih tinggi maka konsumen akan dirugikan, sebaliknya jika harga
ditetapkan sangat rendah, maka produsen yang akan dirugikan. Bagi penulis, Hadist di atas
dilatar belakangi oleh kondisi harga yang dalam prespektif Rasul masih bisa di jangkau oleh
masyarakat. Selain itu, penetapan harga adalah sesuatu yang sensitif, sebab jika terjadi kesalahan
dalam menetapkan harga maka akan melahirkan ketidakadilan (dhalim / injustice) baru dalam
kehidupan masyarakat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana jika harga komoditas tidak bisa terjangkau
oleh daya beli masyarakat. Dalam hal ini, jika kenaikan harga di pasar diakibatkan oleh ulah para
spekulan, sehingga menyebabkan instabilitas harga di pasar, pemerintah sebagai institusi formal
yang mempunyai tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan
intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan bagi kehidupan
masyarakat luas dengan melakukan stabilisasi.
Dua hal yang membolehkan pemerintah melakukan intervensi terhadap regulasi harga di pasar,
yaitu:
a. Para pedagang tidak menjual barang dagangan tertentu (ihtikar/Monopolys Rent-Seeking),
padahal masyarakat sangat membutuhkannya, akibat ulah dari sebagian pedagang tersebut, harga
di pasar menjadi tidak stabil dan hal tersebut dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas
dan mencegah terciptanya masyarakat yang sejahtera. Dalam kondisi seperti itu pemerintah dapat
melakukan intervensi agar harga barang menjadi normal kembali.
b. Sebagian pedagang melakukan praktek siyasah al ighraq atau banting harga (dumping).
Praktek banting harga dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan
stabilitas harga di pasar. Dalam kondisi seperti ini pemerintah mempunyai otoritas untuk
memerintahkan para pedagang tersebut agar menaikkan kembali harga barang sesuai dengan
harga yang berlaku di pasar.

You might also like