You are on page 1of 12

Mata Kuliah Dosen Materi

: Teori Perbandingan Politik : Andrias Darmayadi, M.Si : VIII (Delapan)

PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI KAWASAN ASIA SELATAN


Secara gegografis, wilayah Asia Selatan terdiri dari Sri Lanka, yang masih disibukkan dengan Tamil Ealam-nya, India sebuah negara sekuler yang kerap dirundung konflik, Pakistan, yang dekat dengan AS dan menjadi basis kekuatan ketika AS menyerang Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, dan Nepal. Kalau kita telusuri lebih jauh, negara-negara di kawasan Asia Selatan semuanya sedang membangun demokrasi dalam upaya mensejahterakan rakyatnya. Namun tentu saja, tiap negara berbeda cara penerapan dan tentu permasalahan yang dihadapinya relatif tidak sama. Diantara permasalahan-permasalahn tersebut, dibawah ini akan diuraikan sekilas tentang permasalahan dan perkembangan demokrasi di negara-negara Asia Selatan, terutama persoalan yang dihadapi oleh India dan Bangladesh. Dalam pembahasan ini akan penulis coba untuk memaparkan permasalahan yang dihadapi negara-negara di Asia Selatan berkaitan dengan upaya menerapkan nilai-nilai demokrasi di kawasan. Ada negara yang memiliki pengalaman demokrasi yang cukup lama seperti di India dan juga Pakistan, namun dalam prakteknya mengalami banyak perbedaan, sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Untuk itulah pemaparan permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara di Asia Selatan sangat membantu untuk memotret kawasan Asia Selatan secara keseluruhan. Sekularisme India Dalam agenda politik kontemporer India ternyata persoalan integrasi belum tertuntaskan. Kesetiaan picuk pada ikatan-ikatan primordial masih terus mewarnai spektrum politik India. Persoalan Kashmir, Punjab (Sikh) dan permusuhan Hindu-Muslim terus mengganjal stabilitas. Bahkan karena persoalan itu, upaya perbaikan hubungan India-Pakistan, sampai kini masih memperlihatkan pola perseteruan. Diantara negara-negara Dunia Ketiga, India sebenarnya telah mempunyai tradisi demokrasi yang lebih mantap. Tradisi demikian terutama dijamin oleh penerapan suatu konstitusi sekuler yang bersandar pada persamaan hak bagi semua warga negara. Artinya, minoritas muslim bersama masyarakat agama lain di India merupakan bagian integral dalam sistem sosial politik yang dihuni oleh mayoritas Hindu. Agama bagi pemerintaha India diharapkan hanya bersifat kefalsafahan

individu, seiring dengan semangat toleransi serta memberi dan menerima antar orang-orang dari pelbagai keyakinan yang berlainan untuk hidup berdampingan. Namun dalam praktek, sampai kini penerapan negara sekuler belum terdapat kesamaan pandangan. Bahkan problem komunalisme keagamaanpun ternyata tetap menjadi persoalan rumit bagi pemerintah India. Paham negara sekuler secara luas telah dikenal sebagai suatu komponen uatama bagi filosofi kebijakan dan identitas nasional India. Sebagai suatu konsep hukum, paham ini diartikan dalam prinsip: Bukan sebagai negara agama namun untuk kebebasan beragama. Kebebasan beragama diartikan bagi masingmasing agama bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam hal pengertian kepentingan keteraturan sosial dan moral kemasyarakatan. Negara sekuler juga mengandung makna tidak adanya campur tangan negara terhadap persoalan agama, yang berarti pula adanya suatu dinding pemisah antara agama dan politik. Agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Ide negara sekularisme mengacu kepada pernyataan Nehru: Saya ingin agar pelbagai persengketaan sempit atas nama agama maupun kasta, bahasa ataupun daerah berakhir. Dan suatu masyarakat tak berkelas dan tak berkasta dibangun dengan setiap insan mendapat kesempatan penuh untuk berkembang sesuai dengan nilai serta kemampuannya. Khususnya saya mengharapkan, kutukan kasta agar berakhir, karena demokrasi maupun sosialisme tak mungkin terwujud atas dasar kasta. Namun sampai sekarangpun, persoalan negara sekuler belum terlaksana seperti yang diharapkan Nehru. Persoalan pelik berkaitan dengan isu keagamaan tetap sering muncul ke permuakaan, yang tak jarang pula mengancam stabilitas dan demokrasi di India. Hal ini diakibatkan antara lain: 1. Pengertian Negara sekuler belum mempunyai patokan yang pasti. Sebagai contoh di Tamil Nadu (India Selatan), birokrasi masih mengatur kuil-kuil Hindu; 2. Meski secara de jure soal kasta telah dihapus, namun secara de facto masih tetap eksis (selain kasta Brahmin, Ksatria, Waisya dan Sudra, di India masih terdapat sekitar 1.000 kasta lebih rendah yang disebut untouchable (yang tidak boleh disentuh), yang oleh Gandhi disebut Harijan (anak-anak Tuhan); 3. Diskriminasi terhadap kaum minoritas muslim, yang ditempatkan dibawah kasta-kasta yang dikenal. Hal ini dikarenakan Dendam sejarah, dimana pada abad ke-15 M, umat muslim yang tidak melebihi 25% penduduk India, mampu mendirikan Kesultanan Islam Moghul yang memerintah mayoritas Hindu. Setelah Kekalahan Moghul dari Inggris (dalam perang Sepoy Mutiny, dimana Moghul dibantu oleh masyarakat Hindu), secara perlahan Inggris menerapkan nilai demokrasi ala Barat, yang menekankan pentingnya suara mayoritas. Yang selanjutnya umat Muslim semakin

tersisih karena memiliki komunitas tidak lebih dari 25% dibanding penduduk Hindu yang memiliki penduduk 75%.. Lambat laun terjadi persaingan antara Liga Muslim India dengan Congres National India (1906) yang berakhir pada pecahnya India menjadi 2 (India dan Pakistan) pada tahun 1947; 4. Meskipun telah terpisah, sebagian kecil masyarakat Muslim yang masih berada di India masih saling mencurigai dengan masyarakat Hindu, yang berpuncak pada konflik Ayodhya (1992), dimana kaum militan Hindu yang dimotori Bharatiya Janata Party (BJP) dan Badan Hindu Internasional=Vishma Hindu Parishad (VHP) untuk mendirikan kuil diatas tanah Masjid Babri di Ayodhya (Uttar Pradesh) yang menyebabkan pembantaian terhadap kaum muslim. India-Pakistan Pemerintah India pada tanggal 6 September 2004, sepakat untuk memperluas dan memperdalam komitmen perdamaiannya dengan Pakistan untuk mewujudkan situasi damai di Asia Selatan. Kedua negara juga sepakat untuk memperpanjang kesepakatan gencatan senjata di wilayah konflik Kashmir, yang telah dimulai pada bulan November 2003. Kesepakatan ini merupakan hasil pertemuan bilateral antara Menlu India Natwar Singh dan Menlu Pakistan Khurshid Mahmud.1 Dalam pandangan Natwar, kemajuan sekecil apapun yang muncul dalam pembicaraan tersebut harus dihargai, sebab kedua negara telah membuat langkah maju untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka. India bersedia memperluas dan memperdalam komitmen perdamaiannya dengan Pakistan dalam rangka menyelesaikan seluruh isu persengketaan, dan membangun pondasi yang lebih kukuh bagi perdamaian dan stabilitas di Asia Selatan, agar wilayah ini bebas dari atmosfer terorisme dan kekerasan. Menlu Mahmud juga menyampaikan pernyataan optimistis mengenai pertemuan tersebut. Menurutnya tak ada masalah yang tidak bisa di pecahkan bersama. Dengan kemauan politik, semua permasalahan itu bisa diselesaikan, dan harus bisa diselesaikan. Kedua negara yang terus berlomba dalam senjata nuklir ini, setuju untuk memperpanjang gencatan senjata di wilayah Kashmir. Gencatan senjatanya sendiri telah ditetapkan sejak tanggal 25 November 2003, dan kedua negara komit untuk melanjutkannya. Namun militansi lintas batas tetap terjadi di wilayah itu, meski Presiden Pakistan, Pervez Musharraf, pada tanggal 6 Januari 2004, telah memberikan jaminan bahwa wilayah yang berada dalam kontrol Pakistan tersebut tidak akan diizinkan digunakan untuk mendukung terorisme dengan cara apapun. Namun pertemuan antara kedua Menlu ini diklaim telah menghasilkan kemajuan yang signifikan dalam upaya membangun wilayah Asia Selatan yang damai.2
1 2

Berita Internasional, KOMPAS, 7 September 2004, hal 2. ibid

Ancaman Kekerasan Bagi Pakistan Bahaya terbesar yang dihadapi Pakistan tampaknya adalah ancaman kekerasan. Intensitas kekerasan meningkat seperti aksi peledakan bom, termasuk serangan bom bunuh diri. Negeri berpenduduk 150 juta ini, kembali diguncang bom mobil pada tanggal 7 Oktober 2004, di wilayah Barat. Tragedi ini menewaskan sekitar 40 orang dan mencederai lebih dari 200 orang. Sebelumnya, yaitu tanggal 2 Oktober 2004, serangan bom bunuh diri juga terjadi di kawasan Timur dan menewaskan 30 orang. Tragedi ini diduga dipicu oleh pertikaian yang bersifat komunal. Ledakan bom pada tanggal 7 Oktober di wilayah Barat, merupakan balasan atas ledakan bom tanggal 2 Oktober di wilayah Timur.3 Pertikaian yang bersifat komunal memang salah satu ancaman terberat bagi Pakistan, meski sejak berdiri sebagai negara bangsa sejak tahun 1947. Sentimen primordialistik yang bersifat kesukuan dan kelompok sering menyulut pertikaian berdarah. Kerawanan pertikaian komunal semakin berbahaya karena kelompok yang bertikai menggunakan senjata yang mematikan. Mereka tidak segan-segan lagi menggunakan senjata otomatis dan serangan bom, termasuk serangan bom bunuh diri, yang meminta korban jiwa tidak sedikit dan kerugian harta benda sangat besar. Pertikaian komunal yang berlangsung pada bulan Oktober 2004, memperlihatkan betapa kelompok yang bertikai tidak segan-segan menggunakan bom, termasuk bom bunuh diri. Kenyataan ini tentu saja mengganggu upaya membangun solidaritas, rasa setia kawan, dan kekompakan sosial. Sekiranya pertikaian komunal tidak dapat dibereskan, imbasnya akan terus mempengaruhi berbagai bidang kehidupan lain. Sikap saling curiga menguat, yang menghancurkan sikap saling percaya yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan untuk kepentingan bersama. Persoalan komunal kemudian diperburuk oleh kriminalitas dan bahaya teror. Gerombolan bersenjata melakukan pencurian, penjarahan, dan perampokan. Mafia narkotika juga beraksi dalam mengedarkan narkotika yang diproduksi di kawasan Sabit Emas, yang terletak antara perbatasan Iran, Afghanistan dan Pakistan. Percobaan pembunuhan atas Musharraf menggambarkan kerawanan keamanan Pakistan secara keseluruhan. Sistem Keamanan yang dibangun pemerintahan Musharraf belum efektif menciptakan ketentraman. Tindakan tegas pemerintah dengan melakukan pengejaran, penangkapan dan penahanan kaum militan atau
3

Tajuk Rencana, Ancaman Kekerasan Termasuk Bahaya Terbesar Bagi Pakistan, KOMPAS, 9 Oktober 2004, hal 4.

orang-orang yang dicurigai sebagai teroris sama sekali tidak menciptakan efek penjeraan. Sebaliknya, justru tindakan tersebut dilawan dengan ledakan bom.4 Tantangan Pakistan bertambah rumit karena juga menjadi pijakan gerilyawan Kashmir, yang berjuang melawan India. Dengan demikian Pakistan tidak hanya dikenal sebagai tempat pendidikan mayoritas warga Taliban yang pernah memerintah Afghanistan, tetapi juga menjadi basis perjuangan gerilyawan Kashmir. Kehadiran Gerilyawan Kashmir dan sisa pendukung Taliban mendapat komplikasi dengan pertikaian komunal, mafia narkotika, dan ancaman terorisme, yang membuat Pakistan terjepit. Pakistanpun mengalami kesulitan dalam mendorong kemajuan ekonomi secara optimal. Sementara pencapaian Pakistan dalam mengembangkan teknologi senjata nuklir hanya mendorong perlombaan senjata dengan India, yang juga memiliki kemampuan nuklir serupa. Tantangan yang dihadapi Pakistan memang tidak kecil, sebagai negara berkembang, Pakistan mengalami kedodoran dalam pembangunan bidang keamanan dan ekonomi. Civil Society di Bangladesh Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik, idealnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif hendaknya memiliki kekuasaan seimbang dengan suatu kekuatan check and balances. Masing-masing pihak memiliki kekuatan yang seimbang tanpa ada yang berstatus sentral dan sebaliknya tidak ada pula yang berada pada posisi marginal. Begitupula bila salah satu lembaga menyimpang dari fungsinya niscaya dua lembaga lainnya akan melakukan koreksi sesuai dengan aturan main. Alhasil dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian ini diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan (state) yang merefleksikan kemauan dan auat berorientasi kepada kepentingan rakyat (society). Namun di berbagai negara, ternyata sistem politiknya lebih sering menampilkan eksekutif yang dominan dibanding kedua lembaga lainnya. Dalam kondisi dimana dominasi eksekutif terhadap lembaga politik lainya dirasa kian kuat, tentu sebaliknya lembaga lain kian lemah. Alhasil, tingginya dominasi eksekutif ini berakibat terjadinya krisis partisipasi. Negera cenderung tak mengakui keabsahan lembaga-lembaga bentukan masyarakat, dan negara tak mau tahu pada tuntutan rakyat yang diajukan secara langsung karena berangkat dari anggapan cara itu tidak konstitusional.5
4 5

ibid Widi Kristiawan dan Frans M. Parera, Tumbuhnya Keinginan Berpartisipasi dan Melemahnya Kekuatan Perwakilan, Menuju Masyarakat Baru Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990: 40-61.

Padahal sebenarnya memberikan kesempatan bagi warga (civil society) untuk berpartisipasi, secara tak langsung adalah berarti pula memberdayakan masyarakat, yang sangat berguna bagi proses pembangunan secara keseluruhan. Sudah menjadi rahasia umum, kekerasan politik dan politik kekerasan sangan mewarnai spektrum politik Bangladesh. Namun pergolakan yang terjadi di Bangladesh tidak disaebabkan oleh primordialisme (suku, agama, adat, ras, bahasa), melainkan akibat kentalnya perseteruan dan balas dendam antar elite politik untuk bersaing memperebutkan kekuasaan. Parahnya, perbedaan atau persaingan kepentingan ini bukan diupayakan diselesaikan melalui cara-cara konstitusional. Kebiasaan memakai kekerasan untuk mencapai tujuan (pemberontakan melawan Inggris, India dan Pakistan) telah mendarah daging. Kekerasan telah mewarnai spektrum politik, bahkan pendiri negeri ini Mujibur Rahman, yang dianggap bapak bangsa dan pahlawan, beserta istri dan dua putrinya telah menjadi korban kekerasan politik, pada tahun 1975. Beliau adalah ayah dari mantan PM Ny. Syeikh Hasina Wazed. Sedikitnya, sejak awal kemerdekaan 16 Desember 1971, Bangladesh telah diguncang 4 kali kudeta militer, termasuk dengan terbunuhnya salah satu presiden Jenderal Zia ur Rahman, suami dari mantan PM Ny. Syeikh Hasina Wazed, pada kudeta Mei 1981. Sementara bagi mereka yang mulanya tak berambisi berkuasa, namun karena terkena akibat buruk dari kemelut antar elite yang bersaing akhirnya mengalami resosialisasi social politik yang merangsang mereka untuk melibatkan diri dalam kemelut politik. Akibatnya, kendati sebenarnya usaha kearah demokrasi telah diupayakan, akhirnya yang lahir tetap kemelut politik. Upaya demokrasi di Bangladesh selalu hanya menampilkan tuntutan perbedaan kepentingan antara kaum bersaing dengan dibungkus oleh cara-cara kekerasan dan cenderung berdarah. Apapun sistem pemerintahan yang dibentuk, demokrasi ataupun otoriter, sistem presidential atau parlementer, dan siapapun yang memerintah, sipil atau militer, pasti akan dihadapkan pada sikap menentang dari kaum oposisi. Oposan dalam pengertian ingin kudeta, dan bukan sebagai oposan loyal (loyal opposition) yang berperan sebagai sparing partner untuk menuju kearah perbaikan bersama. Jadi dapat dimengerti bila hampir setiap pemerintahan yang terbentuk di Bangladesh cenderung bersikap otoriter, refresif, suatu sikap yang muncul akibat selalu curiga pada kaum opsisi dan atau masyarakat yang sudah sangat terbiasa menerapkan kekerasan politik dan politik kekerasan.

Bila berbagai peristiwa yang terjadi pada era kepemimpinan Ershad dicermati, niscaya akan kita lihat dari kacamata pusat (Ershad) arus bawah (peran masyarakat sipil), melahirkan politik yang dilematis dan kontroversial. Karena tradisi amoral parokialisme -hanya menuruti dan tak ada kesadaran bahwa perbuatannya ada kaitan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luasbegitu besar mewarnai masyarakat dan atau oposisi di Bangladesh.6 Semangat balas dendam telah menumbuhkan suatu budaya rival politis tidak sehat, seperti tergambar dari hubungan oposisi dengan pemerintah, atau bahkan antar kelompok oposisi sendiri. Suatu suasana hubungan yang jelas sangat beralasan bagi munculnya rasa saling curiga. Parokialisme seperti itu jelas akan mendatangkan bahaya terutama akibat kurangnya kepedulian tuntutan mereka pada keberadaan nation state yang selama ini justru diperjuangkan dan dibangun kekuasaan pusat. Dari kasus Ershad, kiranya dapat diambil pelajaran, betapa pemerintah seharusnya menyadari bahwa parokialisme politik yang memperlihatkan pluralisme kesadaran politik sebenarnya dapat menjadi produktif secara keseluruhan. Karena disatu pihak untuk meningkatkan partisipasi politik dan dilain pihak sebagai kompromi pusat untuk mengendalikan keamanan daerah. Jadi kompromi politik mau tidak mau harus diambil. Dan yang penting perlu diingat adalah, bila partisipasi masyarakat selalu di korbankan dalam proses politik dan diganti oleh partisipasi sangat aktif dari birokrasi negara (korporatisme negara) meminjam istilah Philippe Schmittermaka dimasa-masa berikutnya akan sulit untuk menumbuhkan korporatisme masyarakat dalam rangka politik pembangunan untuk memperbanyak partner pembangunan, dimana partisipasi aktif birokrasi dijelmakan secara lain dalam bentuk kekuatan self management masyarakat. Alasannya jelas, karena rakyat terbiasa dengan sistem tersebut, serta terbiasa dengan gaya taqlit (yes man). Rakyat tak terbiasa untuk berfikir kritis, karena selama masa-masa sebelumnya berbagai pemikiran alternatif dari masyarakat cenderung dimatikan. Padahal dengan debirokratisasi masyarakat dimana partisipasi masyarakat diaktifkan- sebenarnya proses perencanaan yang bermodel bottom up recruitment process, yang secara tak langsung memperluas dukungan politis dari masyarakat justru akan berkembang. Singkatnya belajar dari kasus Ershad- kiranya setiap pemimpin perlu menyusun rencana pembangunan yang bercorak bottom up, yang muncul dari bawah, dari situasi riil masyarakat dan mendapat dukungan dari bawah. Gaya kepemimpinan sentralis, stabil dan kuat justru menunjukkan aspek yang mengambang dan
6

Dhurorudin Mashad, Antara Demokrasi dan Otoritarisme: Dilema Penerapan Konsep Civil Society di Bangladesh, Makalah.

kurang kokoh, karena tak mempunyai akar pada basis sosial yang lebih luas. Faktor marginalisasi yang tidak membuahkan mitra pembangunan akan menjadi sumber kerawanan sosial. Sejak merdeka tahun 1971, Banglades senantiasa sarat dengan kekerasan. Kekacauan politik dan kesulitan ekonomi berjalan secara paralel, yang membuat keadaan selalu rawan terhadap kerusuhan dan aksi kekerasan. Gelombang kekerasan terakhir pecah sejak tanggal 21 Agustus 2004, akibat serangan granat terhadap pawai para pendukung oposisi pimpinan mantan Perdana Menteri Ny. Sheikh Hasina Wazed. Serangan yang menewaskan 17 orang dan mencedarai 150 orang mengundang kemarahan para pendukung dan simpatisan oposisi. Sensasi serangan granat ini meningkat karena dikaitkan dengan rivalitas antar dua tokoh perempuan, yaitu mantan PM Hasina Wazed dan PM Khaleda Zia.7 Para pendukung partai oposisi Liga Awawi pimpinan Ny. Hasina Wazed pada tanggal 22 Agustus (sehari setelah kejadian), menyerang kereta api, stasiun kereta apai, menghancurkan mobil dan toko-toko. Oposisi juga mengancam mogok kerja selama dua hari. Kejadian tanggal 22 ini sangat dramatis, dimana para perusuh menghentikan kereta api yang sedang melaju ke Dhaka, ibukota Banglades. Ratusan penumpang dipaksa turun, gerbong kereta kemudian dibakar. Kemarahan massa ini juga dilampiaskan dengan merusak stasiun kereta api di Chittagong. Kejadian ini membuat image yang kurang baik bagi Banglades, karena sejak merdeka, Banglades memang tidak pernah mengalami perkembangan yang memberi kecerahan karena pergolakan politik dan ekonomi yang luar biasa. Alam Banglades sendiri termasuk tidak ramah karena sering diterpa banjir, topan dan tsunami. Gelombang kerusuhan ini kembali mendorong Banglades semakin jauh berada dalam lingkaran kekerasan. Srilanka Yang Tak Henti Bergejolak Salah negara di Asia Selatan yang tak pernah berhenti bergejolak adalah negeri kepulauan yang beribukota di Colombo. Negara yang dipimpin oleh PM Chandrika Kumaratungga ini terus dihadapkan pada pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Macan Tamil (Tamil Ealam), yang menginginkan mereka mendapatkan perlakuan yang sama dengan kelompok mayoritas di Srilanka. Namun karena tuntutan mereka tidak dikabulkan, pada akhirnya mereka menginginkan kemerdekaan bagi bangsa Tamil di Srilanka. Perjuangan macan tamil sudah berjalan cukup lama, dan telah merepotkan pemerintahan Srilanka, dalam upaya menjaga keutuhan negaranya. Persoalan di Srilanka ini, tidak semata-mata mengganggu stabilitas di negara mereka sendiri,
7

Tajuk Rencana, Banglades Belum Lepas Dari Lingkaran Kekerasan Politik, KOMPAS, 24 Agustus 2004, hal 4.

melainkan juga berimbas kepada negara-negara tetangga seperti India dan kawasan Asia Selatan secara keseluruhan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, India menyediakan diri untuk menjadi bagian dari pasukan internasional untuk menjaga perdamaian dinegeri tersebut. Gangguan Kaum Maois di Nepal Maois di Nepal telah berjuang sejak tahun 1996 dengan tujuan menggantikan sistem monarkhi menjadi komunis di negara tersebut. Dalam beberapa bulan terakhir, Maois melakukan serangan yang semakin gencar serta telah menewaskan sekitar 10.000 orang sejak perjuangan tahun 1996. Mereka dikatakan Maois, dikarenakan menganut paham seorang pemimpin terkenal China yaitu Mao Zedong.8 Perjuangan untuk merubah tatanan pemerintahan menjadi Komunis ini terus disuarakan, terutama oleh para mahasiswa pro-Mao. Pada akhir Agustus 2003, terjadi kesepakatan gencatan senjata, namun di tahun 2004, Maois melakukan walked out dari pembicaraan damai dan mundur dari kesepakatan gencatan senjata selama tujuh bulan. Sebelum keputusan Maois ini muncul, Pemerintah Nepal juga sebenarnya sedang berpikir untuk memenuhi tuntutan Maois. Tuntutan itu antara lain agar pemerintah Nepal berhenti memberi cap teroris untuk para Maois. Sebagai imbalannya, Maois akan bersedia membuka blokade, yang telah melumpuhkan Nepal yang berpenduduk 1,5 juta jiwa dan telah membuat harga-harga bahan pokok meroket. Pemerintah Nepal melalui Perdana Menteri, Sher Bahadur Deuba, telah menghubungi pihak mahasiswa pro-Maois, untuk tawar-menawar tentang pencabutan blokade. Maois juga menuntut pembebasan rekan mereka yang hilang, yang diyakini ditahan di penjara-penjara Nepal. Persoalan pemerintah semakin pelik dengan tewasnya 12 orang warga Nepal yang di sandera di Irak. Warga Nepal di Kathmandu melakukan aksi turun ke jalan, mereka merasa pemerintah tidak cukup berbuat untuk mencegah tewasnya 12 sandera warga Nepal tersebut. Negara lain mengirim para menterinya untuk melalukan negosiasi dalam membebaskan warganya. Tetapi yang dilakukan pemerintah kami hanya mengeluarkan pernyataan, ujar Rajesh Pradhan, salah seorang demonstran.9 Kemiskinan dan perang sipil membuat ribuan warga Nepal mencari pekerjaan diluar negeri, bahkan di tempat berbahaya seperti di Irak. Isu kemiskinan itu mencuat setelah 12 warga Nepal dihabisi oleh kelompok ekstrimis di Irak. Berita pembantaian warga Nepal itu memunculkan kerusuhan dengan kelompok Muslim dan Arab sebagai sasaran di ibukota Kathmandu.10
8 9

Berita Internasional, KOMPAS, 25 Agustus 2004, hal 3. Berita Internasional, KOMPAS, 2 Sepetember 2004, hal 3. 10 Berita Internasional, KOMPAS, 3 September 2004, hal 3.

Hampir dua dari lima warga Nepal hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS per hari, sebesar 40 persen penduduk berusia dibawah 15 tahun. Pahitnya kehidupan dikaki gunung Himalaya turut pula memicu pemberontakan berdarah oleh kaum Maois, yang mengatakan berjuang mewakili penduduk miskin pedesaan melawan tuan tanah dan monarkhi. Perang yang menewaskan 10.000 orang sejak tahun 1996 itu, telah mendorong eksodus warga muda ke luar negeri untuk bekerja ketimbang bergabung dengan kelompok militer dan gerilyawan Tentara Pembebasan Rakyat. Ancaman Maois dan kemunduran ekonomi telah mendorong warga muda hijrah bahkan sampai ke tempat rawan seperti Irak. Salah satu pekerjaan yang paling bergengsi adalah bergabung dengan pasukan Gurkha (julukan bagi pejuang Nepal yang tergabung dalam resimen militer Inggris). Namun untuk menjadi anggota pasukan Gurkha sangat sulit, hanya sekitar 6.600 Gurkha yang kini bertarung demi kerajaan Inggris. Pemberontakan kaum Maois sendiri sampai tahun 2005 sekarang, masih terus berlanjut, bahkan di hari Demokrasi Nepal ke-54 (2005), pertempuran kaum Maois dan tentara pemerintah serta penduduk pedesaan telah menyebabkan 43 orang Maois tewas. Pada hari Demokrasi Nepal 18 Pebruari , ditandai dengan tindakan antidemokrasi seperti penyensoran pers, pemutusan jalur telepon untuk membatasi komunikasi antar aktivis anti kerajaan. Raja Gyanendra yang berkuasa secara absolut setelah memecat PM Sher Bahadur Deuba dan memberlakukan keadaan darurat, juga membanjiri jalan-jalan dengan pasukan keamanan untuk mencegah demonstrasi anti kerajaan. Hari demokrasi di Nepal dirayakan untuk memperingati kembalinya Raja Tribuvhan, kakek Raja Gyanendra dari pengasingan di India pada tahun 1951.Raja Tribuvhan kemudian menyingkirkan oligarki Rana, yang telah memenjarakan anggota keluarga kerajaan selama satu abad. Dalam pidato ulang tahun tersebut, Raja Gyanendra menegaskan bahwa dia harus mengambil alih kekuasaan secara penuh untuk melindungi demokrasi di Nepal dari rongrongan pemeberontak Maois.11 Raja mengatakan, ia ingin mengatasi ketidakstabilan politik akibat pemerintahan dibawah PM Syer Bahadur yang tidak efektif. Secara terpisah, pejabat pemerintahan AS di Washington menyatakan bahwa Raja Gyanendra berusaha meyakinkan AS bahwa ia akan memperbaiki kehidupan demokrasi di Nepal dalam waktu 100 hari. Hal itu tampaknya dilakukan Gyanendra agar penangguhan bantuan militer oleh AS dibatalkan.

11

Berita Internasional, Ironi di Hari Demokrasi Nepal, KOMPAS, 20 Pebruari 2005, hal 2.

Namun tindakan tersebut mendapat kritik dari para aktivis yang menolak pengambilalihan kekuasaan oleh Gyanendra. Pernyataan dan perayaan tersebut dianggap ironis ditengah tindakan anti demokrasi yang dilakukan Gyanendra. Sebagai tanda protes, pihak oposisi menyiapkan demonstrasi anti kerajaan di Kathmandu yang dilarang oleh aparat kerajaan. Penutup Dengan demikian, prospek demokrasi di Asia Selatan menemui banyak tantangan dan rintangan yang tidak ringan. Meskipun negara-negara di kawasan ini relatif menganut paham demokrasi, namun dalam pelaksanaannya masih tertatih-tatih. Artinya, secara kelembagaan sudah demokratis, namun civil society yang merupakan indikator tatanan demokrasi masih belum mencerminkan hal itu. Proses demokratisasi di negara-negara berkembang sangat dikondisikan oleh apa yang disebut Washington Consensus yang memuat beberapa element pokok economic reform : fiscal discipline, liberal trade, competitive exchange rates, security property rights,broad tax bases with efficient administration, privatization of state enterprises, and preferences for the market rather than the state in determining prices, interest rates, capital flows, and the like. Untuk memasuki dunia modern, masyarakat berkembang harus mengatasi bentuk-bentuk dan struktur tradisional yang membuka jalan bagi transformasi social, ekonomi dan politik. Salah seorang tokoh yang berjasa besar pada pemikiran modernisasi adalah Max Weber (Weberian) yang banyak dipengaruhi oleh Nietzsche.12 Weber tertarik sekali dengan rasionalisasi dari tingkah laku yang membuat masyarakat Eropa menjadi besar dan maju. Rasionalisasi ini berjalan dalam institusi birokrasi yang rasional pula. Birokrasi yang rasional ini tidak saja dikembangkan dalam pemerintahan, tetapi juga oleh perusahaan-perusahaan kapitalisme industrial. Dengan demikian birokrasi merupakan mekanisme kontrol impersonal yang diberlakukan untuk meningkatkan produksi melalui metode rasional seperti kalkulasi cost-benefit ratio, doktrin efesiensi dan pembagian kerja yang dispesialisasikan.13 Disamping itu, dalam membangun suatu tatanan negara yang demokratis, juga harus dipersiapkan pra-kondisi yang akan mempermudah terselenggaranya sistem yang demokratis. Menurut Seymour Martin Lipset ada tiga, yaitu : 1. education, sebab semakin tinggi pendidikan masyarakat akan semakin toleran, restrain people from adopting extremist doctrines, dan capacity to substain rational electoral political system;
12

Bob S. Hadiwinata, Materi Kuliah Ekonomi Politik Pembangunan, Program Pascasarjana Unpar, Bandung, 2001. 13 Leo Agustino, Ekonomi Politik Pembangunan, Sebuah Pengantar, Dialog Press, Bandung, 2000.

2. wealth (kesejahteraan), jika kesejahteraan meningkat, maka kelompok poor akan menurun, yang akibatnya menurunnya kemungkinan revolusi social dan demokrasi dapat tumbuh subur; 3. middle class yang besar, pada hakekatnya orang-orang yang termasuk middle class perilakunya akan lebih moderat, karena mereka akan merasakan akibat langsung dari perubahan-perubahan yang akan terjadi di suatu negara.14 Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa munculnya demokrasi disuatu masyarakat dibantu oleh sejumlah faktor : tingkat kesejahteraan ekonomi yang lebih tinggi, tiadanya kesenjangan yang mencolok dalam kemakmuran dan pendapatan, pluralisme social yang lebih besar, termasuk khususnya borjuis yang kuat dan otonom, ekonomi yang lebih berorientasi pasar, pengeruh yang lebih besar berhadapan dengan masyarakat demokrasi yang ada, dan kebudayaan yang kurang monistis dan lebih toleran terhadap keanekaragaman dan kompromi.15

14

Seymour Martin Lipset, Some social Requisites of Democracy: Economic Development and Politic Legitimacy, American Political Science Review 53, 1959: 75. 15 Samuel P. Huntington, Prospek Demokrasi, dalam Roy C. Macridis, Perbandingan Politik, Erlangga, Jakarta, 1996.

You might also like