You are on page 1of 3

Tanggung jawab: Bekal mereguk Potensi Fitrah

oleh: Abu Bakar Fahmi

Perjalanan hidup manusia adalah jalan panjang pemenuhan tanggung jawab. Sepanjang
rentang kehidupan, mulai dari kanak-kanak, remaja, muda, dewasa dan tua, adalah rentang
panjang seseorang dalam memenuhi tanggung jawabnya. Namun, tidak semua orang
mampu menampilkan aksen sebagai pribadi yang bisa memberi jawaban atas apa yang
menjadi tanggung jawabnya itu. Dengan ungkapan lain, tidak semua orang mampu menjadi
orang yang bertanggung jawab.

Tiap rentang masa (waktu) dan bidang tempat (ruang) tertentu dimana seseorang
menjalani hidup, tuntutan tanggung jawab yang bersangkutan berbeda-beda. Semakin
tinggi usia seseorang, tanggung jawab yang diemban semakin besar. Dalam hal ini,
perkembangan pribadi seseorang baik dari segi fisik maupun psikhis yang makin tinggi
fungsionalitasnya menuntut tanggung jawab yang tinggi pula. Seorang anak mungkin hanya
bertangggung jawab atas perannya sebagai seorang anak: belajar di sekolah, belajar di
rumah, bermain dengan anak sebaya, dan membantu orang tua di rumah. Seorang anak
memiliki area tanggung jawab dalam lingkup sosial yang lebih kecil. Berbeda dengan anak,
orang dewasa memiliki area tanggung jawab yang lebih besar: menafkahi anggota
keluarga, menjalani peran profesi, menjadi anggota masyarakat setempat, jadi panutan
bagi yang lebih muda, membantu orang tua (jika masih membuthkan bantuan) dan
melakukan aktivitas sosial lainnya. Dengan demikian tanggung jawab jadi kata sifat yang
senantiasa melekat pada seseorang di ruang dan waktu manapun.

Peran seeorang yang lebih besar menuntut tanggung jawab yang lebih besar pula. Seorang
ketua kelas memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada siswa yang lainnya. seorang
kepala sekolah memiliki tanggung jawab lebih besar daripada perangkat sekolah lainnya.
seorang presiden punya tanggung jawab yang paling besar dibandingkan dengan warga
negara lainnya. namun, tidak semua peran memiliki korelasi positif dengan sikap tanggng
jawab yang dimiliki oleh pemegang peran itu. Fenomenanya bahkan makin ironis: seorang
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijerat hukum akibat tindakan korupsi.
Seorang jaksa yang harusnya menuntut atas pelaku pelanggaran hukum justru malah
dituntut karena terbukti melanggar hukum. Guru yang diharap bisa digugu dan ditiru
karena tindak tanduk susilanya yang luhur justru malah bertindak asusila. Anggota
legeslatif yang semestinya menjadi wakil bagi aspirasi dan kepentingan rakyat malah
manyunat hak-hak rakyat. Jadi pengurus partai politik bukannya mengurus kepentingan
publik tapi mengurus dirinya sendiri. Adakah tanggung jawab jadi kata sifat yang terlalu
langka melekat di pundak setiap orang saat ini? ataukah tanggung jawab jadi frase yang
tidak terlalu penting lagi keberadaannya?

Tulisan ini hendak mengetengahkan tanggung jawab sebagai sikap yang penting untuk
diperhatikan dan dimiliki oleh siapa pun. Tangguung jawab adalah sikap yang khas
manusia, tidak dimiliki dan dituntut untuk dimiliki oleh makhluk manapun selain manusia.

Driyarkara dalam bukunya, Percikan Filsafat (1978) menerangkan bahwa 'tanggung jawab
ialah kewajiban menanggung bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang adalah
sesuai tuntutan kodrat manusia'. Ia menambah pula bahwa 'berani bertanggung jawab
berarti bahwa seseorang berani menentukan, berani memastikan, bahwa perbuatan ini
sesuai dengan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itulah perbuatan tadi dilakukan'
(hlm. 30). Lantas, seperti apakah kodrat manusia itu? Yang dikehendaki dari manusia
adalah menunjukkan kemanusiaannya. Ia ada sebagai sosok manusia, yakni sosok mahkuk
yang paling sempurna dan yang paling baik yang diciptakan oleh Allah swt (QS. At-Tin ayat
4). Dari sinilah diharapkan manusia mampu menunjukkan tabiat kesempurnaan dan
kebaikannya. Menurut Driyarkara, 'yang sejati bagi manusia menurut tabiatnya yang
terdalam ialah manusia sebagai pribadi-rohani'.
sesungguhnya kodrat manusia bukan sebagai sebuah tuntutan seandainya Allah swt tidak
memberi potensi yang mampu mengukuhkan kodrat kemanusiaannya itu. Potensi yang
dimaksud adalah fithrah. Adanya fithrah pada diri manusia inilah tuntutan atas kodrat
manusia jadi perihal yang niscaya. Dalam sebuah hadist Rasulllah saw bersabda, "setiap
bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah). Kemudian kedua orang tuanya lah yang
menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana seekor binatang
dilahirkan dalam keadaan utuh. Apakah kalian melihat diantara mereka ada yang cacat
(pada saat dilahirkan)?" (HR. Muslim).

Pengertian Fithrah
Kajian tentang fithrah lebih dalam dikupas oleh Yasien Mohamad dalam bukunya Insan yang
Suci, Konsep Fithrah dalam Islam (1997). Menurutnya, fithrah memiliki makna yang sama
dengan kata thabi'un yang secara lingusitik berarti suatu kecenderungan alamiah bawaan.
Sedangkan dalam pengertian religius, fithrah merupakan kemampuan yang telah Allah swt
ciptakan dalam diri manusia untuk mengenal Allah swt. Fithrah merupakan 'bentuk alami
yang dengannya seorang anak tercipta dalam rahim ibunya sehingga dia mampu menerima
agama yang hak', begitu menurut Yasien Mohamad. Dia mengimbuhi pula bahwa 'konsep
fithrah sebagai kebaikan asal tidak semata-mata mengandung makna suatu kesiapan
menerima tindakan yang baik dan benar secara pasif, tapi juga suatu kecenderungan aktif
serta kecondongan bawaan alamiah untuk mengenal Allah, untuk tunduk kepadanya an
untuk melakukan yang benar.' (hlm. 26). Ia juga menyimpulkan bahwa 'fithrah mungkin
bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan bawaan alamiah terhadap yang baik dan
ketundukan kepada Tuhan Yanng Maha Esa' (hlm. 30).
Namun, kecenderungan pada kebaikan dan Tuhan bukan sebagai keadaan yang taken for
granted. Kecenderungan ini tidak sepenuhnya melekat adanya setelah seseorang lahir dan
bertumbuh. Kecenderungan ini akan sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat
seseorang belajar. Lingkungan dimana seseorang bisa memunculkan kebaikan ataupun
menyimpan kebaikan itu, bahkan mengganti dengan bentuk sikap yang sebaliknya.

Tanggung Jawab sebagai sarana Aktualisasi Fithrah


Salah satu bentuk upaya menjagai dan mengembangkan potensi fithrah ini adalah dengan
menanamkan sikap tanggung jawab. Tanggung jawab disini tidak ditamankan melalui
senarai kewajiban yang membebankan. Tanggung jawab yang hendak dimuncukan bukan
karena susuatu yang diwajibkan, tapi sesuatu yang disadari. Sadar atas tanggung jawab
dengan demikian adalah sadar atas potensi fithrahnya sebagai manusia. Melatih seseorang
untuk bertanggung jawab berarti memberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan
fithrahnya.

Gambaran tentang tanggung jawab yang makin tinggi sekaligus sebagai 'ujian' kefithrahan
tampak pada pemberlakuan hukum islam. Ushul fikh Islam mengakui empat tahap
perkembangan dalam kehidupan manusia. Tahapan atau jenjang perkembangan tersebut
menunjukkan tingkatan-tingkatan tanggung jawab yang berjenjang pula. Hukum Islam
melekat mengikuti tahapan tanggung jawab itu. Ulasan tentang empat tahapan
perkembangan manusia di bawah ini merujuk ulasan dari Mohamad (1997).

Tahap pertama dimulai ketika ruh memasuki janin yang tengah tumbuh dan berakhir saat
kelahiran anak. Pada tahap ini manusia belum dikenai tanggung jawab. Justru orang lain
(dalam hal ini ibunya) tertanggung jawab atas kesehatan anaknya dengan memberi
makanan yang baik. Tahap kedua dimulai saat kelahiran sampai usia tujuh tahun, yang oleh
kalangan fuqaha disebut usia tamyiz. Pada tahap ini manusia tidak bertanggung jawab
kepada siapapun meskipun ia tunduk pada bimbingan orang tua dan 'bertanggung jawab'
kepada mereka sebagai orang tua. Sampai usia ini manusia disebut kamil, sempuna, tetapi
belum bertanggung jawab atas tndakan-tindakannya. Jenjang ketiga yakni dari usia tujuh
tahun hingga lima belas tahun. Pada usia ini anjuran dan penerapan syariat mulai
dikenalkan pada anak. Tapi anak pada usia ini tidak akan dimintai pertanggungjawabannya
di akhirat jika ia tidak melaksanakan syariat. Manusia mencapai tanggung jawab penuh
pada tahap keempat, yakni pada usia dewasa secara seksual (bulugh) dan berakhir hingga
kematian. Pada tahap ini manusia bertanggung jawab untuk melaksanakan semua hukum
syariat.

Tangung Jawab dalam Praktek


"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya." (HR. Al-Syaikhani, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i)
Tanggung jawab adalah sifat luhur yang harus ada pada seorang muslim. Ia adalah sifat
yang menyokong kesempurnaan pribadi seseorang. Menurut Hamka, 'berani bertanggung
jawab membuat orang kuat menjadi lebih kuat. Ataupun sebaliknya, suatu pekerjaan yang
dipikul dengan tidak penuh tanggung jawab membuat orang yang lemah jadi lebih lemah'.
Oleh karena itu kita perlu dikuatkan sikap tanggung jawabnya agar tidak jadi pribadi-pribadi
yag lemah. Masih menurut Hamka, proklamasi 17 Agstus 1945 adalah buah dari sikap
tanggung jawab yang melekat pada para founding fathers bangsa ini. Artinya bangsa ini
tidak akan ada jika tidak ada pribadi-pribadi kuat yang memiliki sikap tanggung jawab. Ya,
mereka bertanggung jawab atas nasib derita rakyat banyak!
Oleh itu, seorang pendidik hendaknya memberi kesempatan bagi anak didiknya untuk
mengasah ketajaman tanggung jawab. Usia remaja adalah usia dimana seseorang hendak
menunjukkan independensinya dari segala ikatan yang selama ini membebani, alih-alih
menemukan ikatan-ikatan baru berupa teman sebaya yang lebih leluasa dan tidak terlalu
membebani. Orang tua atau pun guru hendaknya tidak menggunakan pembebanan
kewajiban sebagai sarana memupuk tanggung jawab dan menempatkan anak didik sebagai
orang yang masih dibawah kendali orang yang lebih dewasa. Padahal usia remaja perlu
didekati dengan cara mendewasakannya. Menanamkan tanggung jawab bisa dengan cara
memberian anak didik suatu kepercayaan, memberi tugas yang menyenangkan dan
memberi kesempatan mereka menyelesaikan tugas itu. Bisa juga memberikan kesempatan
anak didik berinteraksi lebih leluasa dengan sesama temannya (seperti diberi tugas
kelompok, dan sebagainya). Karena, pujian dan kritikan dari teman sebaya lebih manjur
pengaruhnya daripada hal yang sama keluar dari orang yang lebih tua darinya.
Akhirnya, mengasah tanggung jawab adalah tanggung jawab itu sendiri!

oOo

Penulis adalah alumni Psikologi UGM


Menghabiskan masa remajanya di Tegal dan menapaki masa muda awal di Jakarta.
tulisan-tulisannya bisa dibaca di http://abubakarfahmi.blogspot.com
sharing tentang remaja bisa via email dan YM di abubakarfahmi@yahoo.com

You might also like