You are on page 1of 58

62 TAHUN BPK RI

Bekerjasama Mendorong
Transparansi dan Akuntabilitas
Keuangan Negara
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154 MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154 NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
2 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
2
DAFTAR ISI
116
edisi
M A J A L A H P E M E R I K S A
SAIs are expected to audit climate change because of the greenhouse effect, solar infu-
ences and a number of other sources. The frst source of climate change is caused by the
emissions of carbon dioxide into the atmosphere, which in turn depends on population,
economic growth, technology, energy and lifestyle.
AUDITING CLIMATE CHANGE: THE INDONESIAN PERSPECTIVE
Beyond The Call of Duty,Good Governance Bukanlah Mimpi Belaka
Pengertian dan Aspek Tanggung jawab Keuangan Daerah
Sebagai auditor di BPK kita sering sekali mendengar, mengucapkan dan bahkan mem-
bicarakan tentang pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara (termasuk di
dalamnya keuangan daerah).
Masih hangat terngiang karena belum lama tercetus sebuah gagasan yang dilontarkan Ketua BPK RI Prof.
Dr. Anwar Nasution, berupa enam bentuk inisiatif untuk mendorong percepatan pembangunan sistem pem-
bukuan dan manajemen keuangan negara.
LAPORAN UTAMA
TERKINI
Redaksi menerima kiriman artikel (disertai dengan softcopy dan foto penulis) sesuai dengan misi majalah PEMERIKSA.
Redaksi berhak mengoreksi/mengubah naskah yang diterima sepanjang tidak mengubah isi naskah.
Isi majalah ini tidaklah berarti sama dengan pendirian Badan Pemeriksa Keuangan.
5
8
4
7
62 TAHUN BPK RI
Bekerjasama Mendorong
Transparansi dan Akuntabilitas
Keuangan Negara
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154 MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154 NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
PEMERIKSA
Bebas dan Obyektif
Diterbitkan oleh Biro Humas dan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, STT No. 722/SK/Ditjen PPG/STT.
Susunan Dewan Redaksi Majalah Pemeriksa: Pelindung Dharma Bakt Pemimpin Redaksi Cris Kuntadi Anggota Redaksi Yudhi Ramdhan, M. Yusuf Jhon, Ekowat Tyas
Rahayu, Dian Desilia, Bestanta Indraswat, R. Edi Susila, Gunawan Wisaksono Staf Redaksi Nurmalasari, Barlis Baharuddin Desain Grafs Sutriono, Rianto Prawoto.
Alamat Redaksi dan Tata Usaha Gedung BPK-RI Jln. Gatot Subroto No.31 Jakarta
Telp. (021)5704395-6 Pes.214/208 Fax.(021)57950285 situs www.bpk.go.id Email: ksbhumas@bpk.go.id
Auditing The Management of Indonesian Natural Forests:
Special Focus on Deforestation
Prof. Dr. Anwar Nasution Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia
A slide presentation prepared for the 12th Meeting of the INTOSAI
Working Group on Environmental Auditing (WGEA) Doha, Qatar,
25 29 January 2009
62 TAHUN BPK RI
Bekerjasama Mendorong
Transparansi dan Akuntabilitas
Keuangan Negara
EDITORIAL 4
NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

RUBRIK
AGENDA
Pengarahan Sekretaris Jenderal BPK RI dalam rangka Monitoring
dan Evaluasi kepada Karyasiswa BPK RI
Pos Penguasa Tunggal Era Lalu,
KEBUTUHKAN MASA KINI
OPINI
MENINGKATKAN PROFESIONALISME MELALUI PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL
SUMBER DAYA MANUSIA
AUDIT
AGAMA: Tawakal,Kunci Keberhasilan Seorang Muslim
KESEHATAN: Deteksi Dini Kanker Serviks
GENDIT: Jangan sampai gendit keboboolan
9
24
26
0
4
50
59
62
58
Penghargaan Kepada Entitas
POTRET BPK
AGENDA
2
REFORMASI BIROKRASI, REKAYASA ULANG PROSES BISNIS, DAN MAKSIMALISASI POTENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
8
Kurun waktu 62 tahun perjalanan BPK RI tentu bukan waktu yang singkat. Dari kurun waktu 62 tahun tersebut, perkembangan sepanjang
empat tahun terakhir tentu yang paling signifkan. Mengapa? Selama kurun empat tahun terakhir, yang ditandai dengan lahirnya paket un-
dang-undang di bidang keuangan negara,
Penyusunan dan Penetapan Pola Dasar Karier PNS Sebagai Bagian Reformasi Birokrasi pada BPK RI, Perlu atau Tidak?
SIARAN PERS
Pengelolaan Kas di Kas Daerah
Menunggu Peran Inspektorat dalam Reviu Laporan Keuangan Daerah
8 Profl Pemimpin Sejati
64
KELUARGA: Mengenali dan Mengembangkan bakat anak
67
62 Tahun BPK RI;
Anwar Nasution:
Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara Tak Bisa Ditawar Lagi
4 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
4
Yang Khusus Yang Tidak Biasa
EDITOR AL
Khusus dapat didefnisikan sebagai sesuatu yang istimewa atau tidak seperti biasa. Begitu juga untuk
Majalah Pemeriksa kali ini yang menyebutnya sebagai Edisi Khusus 2008. Redaksi berharap, edisi MP kali
ini juga dirasakan sebagai sesuatu yang istimewa atau minimal tidak seperti biasanya. Tentu, MP kali ini bisa
dibaca tidak seperti biasanya karena ada yang berkomentar (atas draft MP Edisi Khusus) sebagai edisi gado-
gado alias edisi tanpa tema.
Memang, dalam edisi 6 ini, tidak ada tema khusus yang diusung sebagaimana edisi sebelumnya. Pem-
baca tentu sepakat dengan hal ini. Akan tetapi, kami tetap berharap bahwa MP akan terus ada di hati para
pembaca. Rangkaian Ulang Tahun BPK yang ke 6 menjadi fokus utama di samping kegiatan kantor Perwaki-
lan. Akan tetapi, redaksi juga tetap mengetengahkan sajian artikel-artikel yang kami yakin sangat ditunggu-
tunggu.
Hal tidak biasanya juga diakui atas keterlambatan penerbitan MP yang baru dapat dinikmati pada perten-
gahan Maret ini. Untuk itu, seluruh redaksi memohon maaf atas keterlambatan ini. Semoga ke depan, tidak
ada lagi edisi khusus yang bermakna keterlambatan penerbitan. Untuk itu, kami mengharap dukungan para
pimpinan, pejabat dan teman-teman semua untuk dapat mengirimkan secara rutin tulisan, karikatur, pen-
galaman dan lain-lain yang sesuai dengan misi MP.
Tanpa rasa ragu dan malu atas keterlambatan ini, segenap redaksi MP mengucapkan
SELAMAT ULANG TAHUN BPK KE 6.
EMOGA SEMAKIN INDEPENDEN, BERINTEGRITAS DAN PROFESIONAL.
5 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
5
AUDITING CLIMATE CHANGE:
THE INDONESIAN PERSPECTIVE
TERKINI

AUDITING CLIMATE CHANGE: THE INDONESIAN


PERSPECTIVE

Anwar Nasution

. What aspects of sustainability can we audit?


SAIs are expected to audit climate change because of the
greenhouse effect, solar influences and a number of other sources.
The first source of climate change is caused by the emissions
of carbon dioxide into the atmosphere, which in turn depends
on population, economic growth, technology, energy and
lifestyle. The solar influence is caused by the balance between
increasing solar radiation and outgoing thermal radiation. Other
sources of the greenhouse effect include volcanic eruptions
that emit a lot of sulfur into the atmosphere to cool the Earth.
Emissions of carbon dioxide and other trace gases are almost
irreversible as they remain in the atmosphere for a very long
time. Meanwhile, as greenhouse gases travel around the world
in a few days, the scale of the problem is global. Climate change
affects the sustainability of natural resources and our economic
productivity, comfort and health.
The Stern Report on global climate change of 007

is the
most important study on the costs and risks of global climate
change. As they are not incurred at market prices, some of the
costs and benefits cannot be measured in financial terms. The
Stern Report recommends taking prompt and strong action to
substantially reduce carbon dioxide emissions today, at modest
cost so as to avoid high risk and more expensive costs of global
warning in the future.
The Stern Report, however, admits that in the absence of
mitigation, the possible outcome of global warming is very bad,
although the costs are still uncertain because of the uncertainty
A note prepared for Discussion Panel on Sustainability in
A Modern Audit Office at the
th
Meeting of the INTOSAI
Working Group on Environmental Auditing (WGEA) in Doha,
Qatar, Monday, 6 January 009.
Professor Anwar Nasution is the Chairman of the Supreme
Audit Board of Indonesia and Professor of Economics at the
University of Indonesia.
Nicholas Stern. 007. The Economics of Climate Change.
The Stern Review. Cambridge, U.K.: Cambridge University
Press.
6 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
6
about when and where particular impacts will occur far in the
future. Because of the uncertainty, the Bush Administration
in the US took the position of postponing the costly efforts to
reduce carbon dioxide emissions until we know more about the
dangers of climate change.
SAI (BPK) of Indonesia is prioritizing the auditing of the
rainforest. This is because Indonesias rainforest is the third
largest in the world after Brazil and Congo. Deforestation and
forest fires not only emit carbon dioxide into the atmosphere but
have also caused river blindness, protracted droughts, floods,
health problems, affect ecosystem, transportation problems
and reduced productivity in agriculture, fisheries and forests.
The adaptation costs to those who live in and near the forests
are high, especially because they are highly dependent on food
production using simple technology.
BPK audits compliance with the rules and regulations on
forest policy, forest management and socio-economic financial
aspects. The focus of BPK audits are property rights in forestry,
allocation of logging permits, illegal logging, forest fires,
biodiversity and government revenue generated from forest-
based economic activity.
There is no private property right over forest land in Indonesia
as they are owned by either state or traditional community. The
Constitution says that all natural resources, including forests
should be exploited sustainable and to maximum welfare of all.
The state can issue rights to exploit the forest land either for
logging, mining, agriculture or other commercial purposes. The
logging concession and other permits are issued for relatively
short period, 55 years.
There are three implications of not having private property rights
and short period of concession for exploiting the forest land.
First, there is no incentive for the permit holder to preserve the
forest land and to increase its value by investing and innovating
or combining them with other resources. Second, the permit
holders cannot use the forest land for more valuable purposes
or as collateral. This, in turns, limits mobility of the forest as
a factor of production and reduces its productivity. Third, the
community incurs substantial costs in defending communal
and nd satisfying the need for public property by letting up and
operating informal organization that demand lot of investment
of time and other resources.
Under the long rule of President Suhartos from 966 to
998, the issuance of logging permits was centralized in the
Ministry of Forestry. Logging permits at that time were mainly
distributed to the cronies of the regime, while the trade export
of wood-based products was directly controlled by a confidante
of the President. Meanwhile, reforestation funds were used to
develop the IPTN aerospace company and to subsidize pulp
plantations.
2. Do financial auditors have a role to play?
Financial auditors have a mandate to audit the economic rents
collected from the exploitation of natural resources as well
as audit government outlays for rehabilitating environmental
damage. Accordingly, financial auditors have the right to audit
those who create greenhouse gas emissions that negatively
affect the global climate, natural resources, ecological systems
and vulnerable species. Some of the resources are renewable,
such as water, air, forests, fisheries, and other biological
resources. Some others are non-renewable and will continue to
be depleted, such as minerals and fossil fuels.
Economists characterize man-made climate change as an
externality and the global climate as a pure public good. There
is zero marginal cost for additional individuals enjoying a non-
7 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
7
polluted climate and it is technically difficult or impossible
to exclude individuals from doing so. As a result, firms and
consumers do not pay the full costs of production, particularly
the cost of pollution to the global environment. Because of
market failures, the government is the only provider of public
goods as there is no incentive for the market to supply them.
Government involvement in correcting market failures has
fiscal implications. As climate change is a global problem, it
demands global auditing and responses.
Arrow

identifies 5 policies for mitigation of the climate change,


namely: (i) shifting to energy sources that produce lower carbon
dioxide emissions per useful energy, (ii) developing technology
for energy conservation or that use less energy per unit output,
(iii) shifting demand to products with lower energy intensity,
(iv) reforestation and reducing deforestation, (v) capturing and
sequestering carbon dioxide from stationary plants and injecting
it into underground repositories.
Schelling
5
points out two important ways to induce or provide
the necessary funds for the five policies for mitigating climate
change. One is to use appropriate taxes, subsidies, rationing
and quotas to affect the market price system. In addition to
these economic tools, consumers can be convinced that non-
renewable resources such as fossil fuels are going to be most
costly in the future. The private sector is interested in producing
hybrid cars and in energy conservation and in shifting demand
to products with lower energy intensity. With proper policies
and an incentives system, the private sector can be interested in
reducing deforestation. Public funds, the other source of funds
are needed to finance the activities that will not be undertaken
by private sector. SAIs audit the effectiveness and efficiency of
the tax, subsidy, rationing and quota systems as well as the use
of public funds for mitigating climate change.
3. Do SAIs need special powers to audit governments
operational impacts?
Global warming is the result of the use of natural resources
as regulated by the government. Auditing the impacts of
government operations in managing resources can be, therefore,
regarded as an integral parts of a financial and performance
audits. For this reason, SAIs do not really need special powers
to audit the operational impacts of government
4. What has worked well for SAIs in building capacity of
sustainability?
Kenneth J. Arrow. 008. Global Climate Change: A
Challenge to Policy. In J. E. Stiglitz, Aaron S. Edlin and J. B.
DeLong, eds., The Economists Voice. New York: Columbia
University Press.. chapter , pp. -.
5 Thomas C. Shelling. 008. Climate Change: The
Uncertainties, the Certainties, and What They Imply About
Action. In J. E. Stiglitz et. al. ibid. chapter . pp. 5-.
Auditing sustainability requires training for auditors not only in
financial matters and on performance auditing but also in areas
such as science, forestry, mining and fisheries. Such audits also
require auditors from multidisciplinary backgrounds including
both in-house and outside experts from universities and research
institutions, as well as the use of modern technology, such as
satellite images, GIS, GSP and remote sensing.
As pointed out in the Stern Report, auditing climate change
requires global cooperation between SAIs, including joint audits
as the problem is a global issue. On our part, we welcome the
participation of other SAIs in jointly working with us to conduct
joint audits on tropical forests in Indonesia. Global cooperation
is also needed for practical training, exchanging of information,
experiences and data.
5. What are the benefits and or risks from external reporting
of SAIs operational impacts on the environment?
The first benefit is objectivity. As independent external auditors,
SAIs are more reliable and objective in evaluating problems
related to climate change. Secondly, SAI reports not only cover
the financial and performance aspects of government operations,
but also cover environmental and social aspects. Third, SAI
reports have a broader impact in the form of creating public
awareness and understanding about sustainability issues as the
documents are not only officially transmitted to Parliaments
and government but also made available to the general public.
The risks surrounding SAI report primarily concerns the general
perception that they are mainly financial auditors and have no
expertise outside accountancy. This is particularly true in the
case of Indonesia as environmental auditing is a new venture
for the BPK and most of its staffs are accountants who have
no deep understanding and knowledge outside accountancy.
On environmental issues people, believe more on reports
prepared by the technical ministries and by the Ministry for
Environment.
6. What good practices have we identified among our audit
clients that we should adopt ourselves?
An SAI as an audit institution can adopt the following approaches
in order to reduce emissions:
. SAIs can reduce paper consumption by recycling paper and
moving to paperless auditing;
. SAIs can reduce consumption of energy and water by building
environmentally friendly buildings and reducing the use of
air conditioners and heaters;
. Implementing green procurement;
. Managing waste properly;
5. Promoting the use of public transportation and shifting to
non-fossil modes of transportation.
8 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
8
A slide presentation prepared for the 12th Meeting of the
INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA)
Doha, Qatar, 25 29 January 2009
Introduction
Indonesia has the third largest areas of rainforest, after Brazil
and Congo (Zaire) : 50% of the tropical forest in the Southeast
Asia and 0% of the worlds area.
Tropical forest is rich in bio diversity and diverse flora and
fauna with abundant nutrients and medicinal potential including
Non-timber forest product (NTFP) such as rattan, medicine,
fruits, animals and honey;
Forest absorbs more sunlight than the plains and deserts, and
therefore has important role to mitigate global climate change;
Forests have played a pivotal role as source of the needed
foreign exchange and government revenues, employment and
income;
Landsat 7 EM + Satellite images of 00-00 show that
Million Ha of forest area in Indonesia only 6% has good
vegetation, 9 % in bad shape and incomplete data for the
other 7%. The good vegetated forest zone is equivalent to 50%
of land area of Indonesia and the bad vegetated forest account
for % of total land area of 88 Million Ha.

Indonesias rain forest has been overly exploited beyond its
ability to regenerate, due to the following reasons:
A rapid growth of population in highly dense populated
country,
Over capacity in wood based manufacturing industry;
Conversion of land use into palm oil plantation and mining
as well as from strong international demand for timber and
forest based products;
Lack of coordination between central and local government
in managing forest resources;
Decentralization of government system since the fall
of President Suharto in 998 gives the authority to local
governments for managing forests in their local jurisdictions
and the rights to issue permits for timber extraction and
mining, and open plantation for commercial crops;
A combination of natural calamities and slash burning
agriculture practices both burn the forest. The slash burn
clearing method is not only used by traditional farmers but
also by the big planters to reduce costs.
Forest Policy
According to the 1945 Constitution, the state controls forest
land, and natural resources should be extracted sustainably
for the maximum welfare of all.
There is no private property rights over forest land in
Indonesia.
The authorities issue permits for exploitation of forest, extraction
of mining deposits and conversion of the forest into agricultural
land. The logging concessions and other exploitation rights are
issued for 55 years duration and can be renewed;
There are three implications of not having private property
rights and short period of concession for exploiting the forest
land :
First, there is no incentive for the permit holder to preserve
the forest land and to increase its value by investing and
innovating or combining them with other resources;
Second, the permit holders cannot use the forest land for
more valuable purposes or as collateral. This, in turns,
limits mobility of the forest as a factor of production and
reduces its productivity;
Third, the community incurs substantial costs in defending
communal land and satisfying the need for public property

lrdores|a ras lre lr|rd |argesl areas ol ra|rloresl, aller 8raz|| ard Corgo (Za|re) : 50 ol
lre lrop|ca| loresl |r lre 3oulreasl As|a ard 10 ol lre Wor|d's area.
Trop|ca| loresl |s r|cr |r o|o d|vers|ly ard d|verse l|ora ard laura W|lr aourdarl rulr|erls
ard red|c|ra| polerl|a| |rc|ud|rg Nor-l|roer loresl producl (NTFP) sucr as rallar,
red|c|re, lru|ls, ar|ra|s ard rorey;
Foresl aosoros rore sur||grl lrar lre p|a|rs ard deserls, ard lrerelore ras |rporlarl
ro|e lo r|l|gale g|ooa| c||rale crarge;
Foresls rave p|ayed a p|vola| ro|e as source ol lre reeded lore|gr excrarge ard
goverrrerl reverues, erp|oyrerl ard |rcore;
Forest Types Area (ha}
Corserval|or Foresls 19.908.231,5Z
Prolecled Foresl 31.01.032,02
L|r|led Producl|ve Foresls 22.502.Z21,2
Producl|ve Foresls 3.19.918,13
Corverl|o|e producl|ve loresls 22.Z95.91,00
lurl|rg 0rourd 233.811,90
T0TAL 133.94.85,18
Areas of different types of forest (Dept. of Forestry)
2
Lardsal Z EV 3ale|||le |rages ol 2002-
2003 sroW lral 133 V||||or la ol loresl area
|r lrdores|a or|y 1 ras good vegelal|or,
29 |r oad srape ard |rcorp|ele dala lor
lre olrer Z. Tre good vegelaled loresl zore
|s equ|va|erl lo 50 ol |ard area ol
lrdores|a ard lre oad vegelaled loresl
accourl lor 11 ol lola| |ard area ol 188
V||||or la.
IntrnductInn
Auditing The Management of Indonesian Natural Forests:
Special Focus on Deforestation
Prof. Dr. Anwar Nasution Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia
9 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
9
by letting up and operating informal
organization that demand lot of investment of time and
other resources;
Indonesias forest zone is set by combination of consensus
(TGHK) and Spatial Planning (RTRWP);
Ownership, management and the rights to exploit forests and
natural resources in it are granted by :
National Land Bureau grants both land rights and their
uses. As pointed out earlier there is no private property
rights on forest land;
Ministry of Forestry grant s forest utilization rights, defines
the state forest zone, determines and manages forest zone;
Government issues utilization permits for commercial
exploitation of conservation forests (except in nature reserve,
jungle zone, and nucleus zone within national park), protected
forest and production forest areas;
Utilization of production forest requires 6 types of permits,
namely :
Permit for Area Utilization (IUPK), Permit for Environment
Services Utilization (IUPJL), Permit for Timber Forest
Product Utilization (IUPHHK), Permit for Non-Timber
Forest Product Utilization (IUPHHBK), Permit for Timber
Forest Product Retribution (IPHHK), and Permit for Non-
Timber Forest Product Retribution (IPHHBK);
During the long period of President Suharto administration,
966-998, issuance of logging permits was centralized
at the Ministry of Forestry and mainly distributed to the
cronies of the regime. Export of wood-based products was
exclusively controlled by confidant of President. The largest
amount of rents collected through the reforestation funds
used for building IPTN, airplane factory, and pulp and forest
plantations;

Decentralization of government system since the end of


President Soeharto regime in 998 gives local governments
right to issue permits to small operators to exploit the forest
land for logging, mining and agriculture.
Challenges in Managing Natural Forest
Short-term profit oriented exploitation of rainforests has
resulted deforestation, damage in the ecosystem and other
endangered species as well as water conservation system that
will further result in flood and desiccation;
Overcapacity of wood-based industries;
Deforestation: illegal logging, illegal use of land, and forest
fire;
The lack of forest area boundaries.
Auditing Strategy
The main purpose of BPK audit is to ensure compliance to
the regulation and other basic best practices (for example
ITTO Guidelines) including the effectiveness of management
system to sustain the forest exploitation.
GIS and GPS Usage :
The GIS (Geographical Information System) technology is
used to assist in mapping the deforestation areas, overlapped
areas and unauthorized use of forest lands.
GIS technology is used for, among others, selecting audit
samples and sampling locations, detecting deforestation
spots caused by illegal logging and unauthorized use of
forest lands and also to estimate the extent of destroyed
areas.
For ground checking, audit team uses GPS (Global
Positioning System) tools to assist in their field work.
Audit Methodology and Approach :
Comprehensive Audit on Government Management
on Forest is carried out using risks-based approach (in

Accoiding lo lhe 1945 Conslilulion, lhe slale conlioIs foiesl Iand, and
naluiaI iesouices shouId le exliacled suslainalIy foi lhe naxinun
veIfaie of aII.
Types of Iand and Ioiesl Zone :

No Type(s) Description(s)
1 Land a. Customary rights (hak ulayat) : Common land where customary rights can be
recognized to have existed prior to the enactment of the land law.
b. State Lands : open for distribution to private entities
2 Forest Zone a. Private Zone Forests : private rights and land cover qualify as forests
b. State Zone Forests is classified into five groups :
a. Nature Reserve and Tourism forest;
b. Protection Forest;
c. Limited Production Forest;
d. Convertible Production Forets;
e. Permanently Production Forests.
Fnrcst Pn!Icy
Types of land and Forest Zone :
0 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
0
particular risks of illegal logging, unauthorized use of
lands, and economy risks), while audit methodology used
in gathering data are observation, comparison and analysis,
interviews and seeking confirmation as well as other audit
procedures required in forest management.
Audit Findings
Permanent Forest Estates
Indonesia doesnt have certain and acceptable permanent
forest estate that can be referred by any parties involving in the
forest industry such as national and local government, licensed
forest company, people surroundings the forest and others.
As mentioned earlier, the lack of this permanent forest estate
not only influences the effectiveness of sustainability of forest
management, rehabilitation but also increase the possibility of
conflict.
National Land Use Policy
The agricultural and mining company illegally converted
forest area with the estimation area of 7.95,70 Ha to
agricultural (palm oil) and mining in South Kalimantan,
Central Kalimantan and East Kalimantan.
The local community has illegally occupied the production
forest areas that have been rehabilitated with estimation
area of 55.800,8 Ha.
Illegal logging
One logging company in Central Kalimantan had cut the

SOCIAL
DIMENSION
ENVIRONMENT
DIMENSION
ECONOMIC
DIMENSION
Settlement
1.Supporting life
2.Cultural and
religion
1.Supporting the
nature system
2. Support
Biodiversity and
Ecosystem
3. Mitigate Climate
Change
1. Source of State
ncome
2. Workplace
3. Accelerate the
economy
4. source of wood
and non wood for
the industries
UnSustainabIe
Forest
Management :
1.Land Use PoIicy
2.Forest Permanent
estate
3.Cutting PoIicy
(SiIvicuIture Concept)
4.Protection from fire
and access
5.Inventory of Forest
6.RehabiIitation of
Forest (Reforestation)
DEFORESTATION
AND DEGRADATION
SOCIAL
EFFECTS
1. Loss of Housing and Job
2. Conflict
3. Migration to City
1. Man-made Disaster
2. Lost of Ecosystem and
Biodiversity
3. ncrease Carbon
4. Flood and Drought
ENVIRONMENT
EFFECTS
1.Lost of National ncome
2. Downsizing
3. Slow Down the Economy
4. State Lost increase
5. Cost to economy
because of Disaster
ECONOMIC
EFFECTS
8
Cha!!cngcs In ManagIng
Natura! Fnrcst
Challenges in Managing Natural Forest
Shoil-lein piofil oiienled
expIoilalion of iainfoiesls has
iesuIled defoieslalion, danage in
lhe ecosyslen and olhei
endangeied species as veII as
valei conseivalion syslen lhal viII
fuilhei iesuIl in fIood and
desiccalion,
Oveicapacily of vood-lased
indusliies,
Defoieslalion: iIIegaI Iogging,
iIIegaI use of Iand, and foiesl fiie,
The Iack of foiesl aiea loundaiies.
No. Year
Deforestation (Ha/year)
Sumatera KaIimantan SuIawesi MaIuku Papua Java
BaIi &
NTT
Indonesia
in TotaI
1 2000 2001 259,500 21,200 15,400 20,000 147,200 118,300
107,200 1,018,200
2 2001 2002 202,600 129,700 150,400 41,400 160,500 142,100 99,600 926,300
3 2002 - 2003 33,900 480,400 385,800 132,400 140,800 343,400 84,300 1,906,100
4 2003 2004 208,700 173,300 41,500 10,600 100,800 71,700 28,100 634,700
5 2004 2005 335,700 234,700 134,600 10,500 169,100 37,300 40,600 962,500
Total 1,345,500 1,230,100 866,300 214,900 718,400 712,800 359,800 5,447,800
Average 269,100 246,020 173.260 42,980 143,680 142,560 71,960 1,089,560
Source : Forestry Planning Agency
Note : Based on the interpretation of SPOT Vegetation Image with spatial resolution of 1 km
No Year Forest F|re (ha} Land F|re (ha}
1 2001 11.329,50 3.3,Z9
2 2002 38.389,23 -
3 2003 3.515,15 1,10,30
1 2001 3.313,99 -
5 2005 5.502,1Z 8.239,51
Tota| 5.110,5 13.33,09
Extent of Forest Fire and Land Fire Year 2001-2005
Deforestation Year 2000-2005 (Ha/year)
0emand and 8upp|y of wood Vo|ume
(H||||on H3}
0erard lor wood :
1.lrduslry re|aled lo Foresl L|cersed Corpary
2.lrduslry lral doesr'l rave re|al|or lo Foresl
L|cersed Corpary
Tola| 0erard lor wood per year
11.09
1Z.15
58.24
wood Producl|or (1995-1999)
wood average producl|or per year
25.3
7he Cap between 3upply and 0emand of
wood
32.88
The Gap between SuppIy and Demand of wood
9
Cha!!cngcs In ManagIng
Natura! Fnrcst
Shoil-lein piofil oiienled
expIoilalion of iainfoiesls has
iesuIled defoieslalion, danage in
lhe ecosyslen and olhei
endangeied species as veII as
valei conseivalion syslen lhal viII
fuilhei iesuIl in fIood and
desiccalion,
Oveicapacily of vood-lased
indusliies,
Defoieslalion: iIIegaI Iogging,
iIIegaI use of Iand, and foiesl fiie,
The Iack of foiesl aiea loundaiies.
No. Year
Deforestation (Ha/year)
Sumatera KaIimantan SuIawesi MaIuku Papua Java
BaIi &
NTT
Indonesia
in TotaI
1 2000 2001 259,500 21,200 15,400 20,000 147,200 118,300
107,200 1,018,200
2 2001 2002 202,600 129,700 150,400 41,400 160,500 142,100 99,600 926,300
3 2002 - 2003 33,900 480,400 385,800 132,400 140,800 343,400 84,300 1,906,100
4 2003 2004 208,700 173,300 41,500 10,600 100,800 71,700 28,100 634,700
5 2004 2005 335,700 234,700 134,600 10,500 169,100 37,300 40,600 962,500
Total 1,345,500 1,230,100 866,300 214,900 718,400 712,800 359,800 5,447,800
Average 269,100 246,020 173.260 42,980 143,680 142,560 71,960 1,089,560
Source : Forestry Planning Agency
Note : Based on the interpretation of SPOT Vegetation Image with spatial resolution of 1 km
No Year Forest F|re (ha} Land F|re (ha}
1 2001 11.329,50 3.3,Z9
2 2002 38.389,23 -
3 2003 3.515,15 1,10,30
1 2001 3.313,99 -
5 2005 5.502,1Z 8.239,51
Tota| 5.110,5 13.33,09
Extent of Forest Fire and Land Fire Year 2001-2005
Deforestation Year 2000-2005 (Ha/year)
0emand and 8upp|y of wood Vo|ume
(H||||on H3}
0erard lor wood :
1.lrduslry re|aled lo Foresl L|cersed Corpary
2.lrduslry lral doesr'l rave re|al|or lo Foresl
L|cersed Corpary
Tola| 0erard lor wood per year
11.09
1Z.15
58.24
wood Producl|or (1995-1999)
wood average producl|or per year
25.3
7he Cap between 3upply and 0emand of
wood
32.88
The Gap between SuppIy and Demand of wood
9
Cha!!cngcs In ManagIng
Natura! Fnrcst
NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

tree exceeded the allowable limit as set by the authorities.


To ensure the silviculture, the regulation limits the allowed
number of three per every specie to be cut with a minimum
60 cm diameter.
Rehabilitation of the forest
The rehabilitation of forest conducted by the Department
of Forestry and local government could not achieve their
intended target. This condition will tend to increase the risk
of flood, landslide and other environmental damages;
The government did not plan the rehabilitation activities
based on the real condition and the need of the land and
forest area.
Preventing and Mitigating Forest and Land Fires
Government organizations in preventing and mitigating forest
and land fires need to be improved and integrated in order to
make more effective;
Land Clearing activities in one of the biggest province in
Indonesia (Riau) are still using traditional way, burning
and firing. This methodology will increase the risks of

forest and land fire.


The infrastructures for preventing and mitigating forest and
land fires are not adequate. This insufficiency will decrease
the ability to fight the fire;
The lack of forest and land areas ownership tend to increase
the risk to have forest and land fire. The lack of ownership
will make people confuse about their responsibility to
protect and safe guard the forest and land area from the
fire;
BPK Recommendations
Permanent Forest estates :
The Government together with the local government has to
foster the process to determine the permanent forest area in
order to minimize conflict and uncertainty condition.
National land Use Policy
The government together with local government terminates
the license given to the agricultural and mining companies
including other parties that has been proved illegally
occupied and or converted the forest area.
Illegal Logging
The government together with the local government
conducted survey to ensure the number of trees that have
been illegally cut by the company and gave sanction
according to the regulation.
Preventing and Mitigating Forest and Land Fires
The government of the respective province to conduct forest

Shoil-lein piofil oiienled


expIoilalion of iainfoiesls has
iesuIled defoieslalion, danage in
lhe ecosyslen and olhei
endangeied species as veII as
valei conseivalion syslen lhal viII
fuilhei iesuIl in fIood and
desiccalion,
Oveicapacily of vood-lased
indusliies,
Defoieslalion: iIIegaI Iogging,
iIIegaI use of Iand, and foiesl fiie,
The Iack of foiesl aiea loundaiies.
No. Year
Deforestation (Ha/year)
Sumatera KaIimantan SuIawesi MaIuku Papua Java
BaIi &
NTT
Indonesia
in TotaI
1 2000 2001 259,500 21,200 15,400 20,000 147,200 118,300
107,200 1,018,200
2 2001 2002 202,600 129,700 150,400 41,400 160,500 142,100 99,600 926,300
3 2002 - 2003 33,900 480,400 385,800 132,400 140,800 343,400 84,300 1,906,100
4 2003 2004 208,700 173,300 41,500 10,600 100,800 71,700 28,100 634,700
5 2004 2005 335,700 234,700 134,600 10,500 169,100 37,300 40,600 962,500
Total 1,345,500 1,230,100 866,300 214,900 718,400 712,800 359,800 5,447,800
Average 269,100 246,020 173.260 42,980 143,680 142,560 71,960 1,089,560
Source : Forestry Planning Agency
Note : Based on the interpretation of SPOT Vegetation Image with spatial resolution of 1 km
No Year Forest F|re (ha} Land F|re (ha}
1 2001 11.329,50 3.3,Z9
2 2002 38.389,23 -
3 2003 3.515,15 1,10,30
1 2001 3.313,99 -
5 2005 5.502,1Z 8.239,51
Tota| 5.110,5 13.33,09
Extent of Forest Fire and Land Fire Year 2001-2005
Deforestation Year 2000-2005 (Ha/year)
0emand and 8upp|y of wood Vo|ume
(H||||on H3}
0erard lor wood :
1.lrduslry re|aled lo Foresl L|cersed Corpary
2.lrduslry lral doesr'l rave re|al|or lo Foresl
L|cersed Corpary
Tola| 0erard lor wood per year
11.09
1Z.15
58.24
wood Producl|or (1995-1999)
wood average producl|or per year
25.3
7he Cap between 3upply and 0emand of
wood
32.88
The Gap between SuppIy and Demand of wood
9
Cha!!cngcs In ManagIng
Natura! Fnrcst
SUSTAINABLE
FOREST
MANAGEMENT :
1.Policy and Legislation
Forest Policy.
National Forestnventory
Permanent Forest Estate
Forest Ownership
National Forest Service
2. Forest Management
Planning
Harvesting
Protection
Monitoring and
Research
3.Socio-Economic
and Financial Aspects
IDENTIFIED RISKS:
llegal Logging
llegal Uses of Lands (forest
areas)
Forest Fires
ncome/Revenue
Biodiversity
etc
Government Risk
Management
(GRM) and InternaI
ControI System
(ICS)
PRIORITIZATION:
Effectiveness of GRM
and CS
Auditability.
mpact
People awareness
FOCUS ON :
Rehabilitation of Forest
Forest Fire
llegal Logging
llegal Used of Land
(Forest Area)
ncome/Revenue
Biodiversity
AUDIT PLAN
Annually : Forest Fire Audit (on the spot), ncome/Revenue Audit and
Management Unit Audit (llegal Logging and Logging nternal System)
Through step-by-step approach: National nventory and Permanent Forest
Estate Audit, Land Use Policy Audit, Biodiversity Audit and Forest Rehabilitation
Audit.
Government Plans
and Activities in
Managing the Forest
11
AudItIng 5tratcgy
Auditing Strategy
2 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
2
and land area inventory in order to clarify the ownership of
those area.
Provide authorities for stopping fires, bringing the offenders
to law enforcement agencies.
Rehabilitation of the forest
The government focus the use of the money on the
rehabilitation of forest and land area that have the biggest
risks and most important for maintaining the balance of
nature;
The government involves the community nearby the forest
and land area that need to rehabilitated in the project of
rehabilitation.
Conclusion and Lesson Learnt
Audit on government management on forest has to be
carried out comprehensively, to cover all aspects of forest
exploitations. This holistic and systematic approach is
important because a problem in one area will affect directly or
indirectly the other aspects. Relevant audit finding will have
impacts on all the three dimensions of forest exploitation,
namely the economic, social and environmental aspects.
Natural resources encompass multi-dimensional and complex

aspects, thus, auditors in charge for conducting audit on the


management of natural resources should also come from
multidiscipline backgrounds; hiring an expert, or consultant,
is recommended if this condition is impossible to achieve.
The application of technology such as GIS and GPS will
benefit to increase the quality of audit and make the audit more
efficient. As mentioned above, the GIS and GPS technology
help the auditor to spot he deforestation area in certain area
and formulate technological audit evidence.
Audit evidence gathered from the application of GIS and
GPS technology should be verified with statements from the
authorities. For examples, audit evidence showing overlapped
use of lands should be consulted and confirmed by the public
officials or authorities in charge for the allocation of forests
areas.
Auditing the natural resources such as forest needs to consider
not only the economy and environment but also social loss.
THE END

No Audit Type of Audit Audit Objective Location(s) Audit coverage


1. Audit on forest
estates
Year : 2008
Compliance Audit To ensure the government compliance to
related rule and regulation in using
Reforestation Fund
Central Kalimantan,
East Kalimantan, South
Kalimantan, and DKI
Jakarta
2007-2008
2. State Revenue from
Forest Collection
Year : 2007
Compliance Audit To ensure the government compliance to
related rule and regulation in collecting,
distributing and reporting the State
Revenue From Forest.
Riau, West Kalimantan,
Jambi, North Sumatera,
DKI Jakarta
2005-2006
3. Preventing and
Mitigating Forest
and Land Fires
Year : 2008
Compliance Audit and
Spot Check type of
Audit (Riau).
To ensure the government and the
related companies compliance to related
rule and regulation in preventing and
mitigating forest and land fires.
DKI Jakarta (central
government), Riau,
Jambi, South Sumatera,
West Kalimantan, East
Kalimantan, Central
Kalimantan and South
Kalimantan.
2006-2007
4. Rehabilitation of
Forest and Land Area
Year : 2008
Performance Audit To ensure the government
compliance to related rule and
regulation in rehabilitating the
forest and land area.
To examine the effectiveness and
efficiency of the governments
activities in rehabilitating the forest
and land area.
DKI Jakarta, West Java,
East Java, Central Java,
South Sulawesi, Central
Kalimantan, West
Kalimantan and Riau.
2006-2007
BPK'5 AudIt
BPKS AUDIT
NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

4 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII


4
M
asih hangat terngiang karena belum lama ter-
cetus sebuah gagasan yang dilontarkan Ketua
BPK RI Prof. Dr. Anwar Nasution, berupa
enam bentuk inisiatif untuk mendorong percepatan pem-
bangunan sistem pembukuan dan manajemen keuangan
negara. Keenam bentuk inisiatif tersebut kemudian dikenal
dengan nama yang akhir-akhir ini cukup beken disebut Be-
yond Te Call of Duty.
Bentuk inisiatif dari BPK RI tersebut yang pertama
adalah mewajibkan semua auditee (pihak/entitas yang
diperiksa) menyerahkan sebuah Management Representa-
tion Letter (MRL) kepada BPK RI sebagai pernyataan dari
seorang pimpinan tertinggi organisasi Pemerintahan bahwa
laporan keuangan yang dibuatnya dan diserahkan kepada
BPK RI tersebut telah disajikan secara wajar sesuai Stand-
ar Akuntansi Pemerintah (SAP). Dengan begitu Laporan
Keuangan Pemerintah baik pusat maupun daerah tanpa tol-
eransi lagi sudah seharusnyalah sesuai prinsip yang berlaku
umum serta berpedoman pada PP Nomor 24 tahun 2005
tentang SAP tersebut.
Kedua, mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah segera
mewujudkan sistem pembukuan keuangan negara yang ter-
padu atau lebih biasa dikenal dengan sebutan treasury single
account.
Ketiga, meminta seluruh auditee menyusun rencana aksi
guna meningkatkan opini hasil pemeriksaan atas laporan
keuangan oleh BPK RI yang terdiri atas:
(i) menuju sistem pembukuan akrual untuk mengung-
kapkan hak dan kewajiban kontijensi serta perenca-
naan jangka panjang berbasis kinerja;
(ii) sistem aplikasi teknologi komputer yang terintegra-
si;
(iii) inventarisasi aset dan utang;
(iv) memenuhi jadwal penyusunan laporan keuangan dan
pemeriksaan serta pertanggungjawaban sebagaimana
diatur paket tiga UU di bidang Keuangan Negara
Tahun 2003-2004;
(v) quality assurance oleh pengawas intern;
(vi) perbaikan SDM terutama dalam bidang akuntansi
dan pengelolaan keuangan Negara.
BEYOND THE CALL OF DUTY,
GOOD GOVERNANCE BUKANLAH MIMPI BELAKA
Oleh: Waskito Hadi, SE, Ak Staf Sub Auditorat NAD III, Seksi NAD IIIB
LAPORAN UTAMA
5 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
5
Keempat, untuk mengimplementasikan rencana aksi
tersebut BPK RI menyarankan kepada instansi pemerin-
tah agar meminta tenaga BPKP untuk membangun sistem
akuntansi pemerintahan di Indonesia. Hal ini memang su-
dah menjadi tugas BPKP tentunya sesuai yang diamanatkan
oleh PP Nomor 60 tahun 2008 pasal 59 ayat 2 bahwa BPKP
harus melakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP yang
kemudian dapat menjadi cikal bakal pembangunan sistem
akuntansi pemerintah. Ada rasa optimisme yang cukup besar
tentunya hal ini segera bakalan terwujud mengingat slogan
yang dimiliki BPKP saat ini sebagai 4C, yakni: Competence,
Current issues, Clearing house dan Check and balance. Dalam
hal ini Competence maksudnya BPKP mempunyai SDM
yang profesional. Current issues berarti BPKP memberikan
masukan pada Presiden dan Menteri terhadap isu-isu yang
berkembang di masyarakat. Clearing house berarti BPKP
memberikan masukan terhadap keragu-raguan pemerintah
untuk dapat mengambil keputusan apakah suatu kasus ber-
indikasi korupsi atau tidak. Sedangkan Check and balance
dimaksudkan bahwa BPKP sebagai penyeimbang antara
internal dan eksternal auditor dalam konteks pelurusan ter-
hadap pelaksanaan tugas melalui kegiatan audit internal,
advokasi, evaluasi, analisis dan public relation. Disamping
itu dalam perkembangannya saat ini untuk mengimple-
mentasikan SPIP sesuai amanat PP Nomor 60 tahun 2008
tersebut, BPKP telah membentuk Satgas SPIP yang bertu-
gas melakukan perencanaan kerja, pembuatan pedoman,
modul, dan peningkatan kompetensi SDM BPKP. Besar
harapan kita tentunya terhadap BPKP untuk dapat segera
mewujudkan inisiatif BPK RI yakni membangun sistem
akuntansi pemerintahan yang kokoh di bumi Negara Kes-
atuan Republik Indonesia ini.
Kelima, mendorong perombakan struktural BLU,
BUMN dan BUMD serta yayasan maupun kegiatan bisnis
yang terkait dengan TNI maupun Polri agar menjadi lebih
mandiri dan korporatis.
Keenam, menyarankan kepada DPR RI, DPD RI, dan
DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk memben-
tuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP).
Telah menjadi salah satu agenda reformasi total di ne-
gara kita tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia ini
yakni terciptanya good governance. Jika sedikit menilik dari
segi teoritis, oleh World Bank (Bank Dunia) didefnisikan-
lah governance sebagai the way state power is used in manag-
ing economic and social resources for development of society,
dalam hal ini berarti lebih menekankan pada cara-cara yang
baik dilakukan pemerintah dalam mengelola sumber daya
sosial dan ekonomi yang dimilikinya untuk kepentingan
pembangunan masyarakatnya. Di samping itu juga World
Bank memberikan defnisi tentang good governance sebagai
suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip
demokrasi dan pasar yang efsien, penghindaran salah aloka-
si dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik
maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya ak-
tivitas usaha.
Sedangkan menurut United Nation Development Pro-
gram (UNDP) mendefnisikan governance sebagai the
exercise of political, economic, and administrative author-
ity to manage a nations afair at all levels, dimana lebih
menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administratif
dalam pengelolaan Negara yang baik. Aspek politik (political
governance) berarti mengacu pada proses pembuatan kebi-
jakannya (policy/strategy formulation). Aspek ekonomi (eco-
nomic governance) berarti mengacu pada proses pembuatan
keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada ma-
salah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan
kualitas hidup penduduknya menjadi bertambah lebih baik.
Sedangkan aspek administratif (administrative governance)
menurut UNDP, berarti cenderung mengacu pada sistem
implementasi kebijakan pemerintah yang kokoh namun
aplikatif. Dalam hal ini UNDP sendiri mendefnisikan
good governance dengan memberikan sembilan karakteristik
pelaksanaan yang harus dipenuhi, yakni antara lain sebagai
berikut:
1. Participation
Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspiras-
inya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan
berasosiasi, berorganisasi dan berbicara serta berpartisi-
pasi secara konstruktif.
2. Rule of law
Penegakan kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan
tanpa pandang bulu dan tebang pilih.
3. Transparency
Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan
publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang
membutuhkannya.
4. Responsiveness
Lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam
melayani masyarakat selaku stakeholder.
5. Consensus orientation
Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih
luas.
6. Equity
Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama un-
tuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
7. Efciency and Efectiveness
Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara ber-
daya guna atau efsien dan berhasil guna atau efektif.
8. Accountability
Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas
yang dilakukan.
9. Strategic vision.
Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus
memiliki visi jauh ke depan.
Berdasar uraian yang telah tersebut di atas, merupakan
suatu keyakinan yang cukup besar rasanya negara kita da-
pat mewujudkan good gavernance melalui tindak lanjut
6 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
6
oleh pihak eksekutif didampingi pihak legeslatif tentunya
terhadap enam inisiatif BPK RI dalam pemikiran Beyond
Te Call of Duty. Dalam hal ini pemerintah perlu bersung-
guh-sungguh menjalankan manajemen keuangan publik,
baik di tingkat pusat maupun daerah melalui cara-cara yang
sesungguhnya mudah diucapkan namun perlu kerja keras
dan komitmen kuat dari pelaksana dalam mengimplemen-
tasikannya, yakni antara lain:
1. Akuntabilitas
Yang dimaksud akuntabilitas yaitu mensyaratkan bahwa
pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat
yang diterimanya. Perumusan kebijakan dilakukan ber-
sama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus
dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun
horisontal dengan baik. Saat ini tuntutan akuntabilitas pub-
lik oleh masyarakat luas maupun lembaga-lembaga publik,
baik di pusat maupun daerah semakin menguat. Akuntabili-
tas publik pada dasarnya merupakan pemberian informasi
dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja fn-
ansial pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Pemerintah pusat maupun daerah, harus bisa menjadi sub-
yek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak
publik/masyarakat, yaitu hak untuk tahu (right to know),
hak untuk diberi informasi (right to be informed), dan hak
untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be lis-
tened to). Tentunya akuntansi sektor publik memiliki peran
yang sangat vital dalam memberikan informasi dan disclosure
atas aktivitas dan kinerja fnansial pemerintah. Secara teori,
Governmental Accounting Standards Board (GASB) dalam
Concepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Re-
porting menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar
dari pelaporan keuangan di pemerintahan. Akuntabilitas
adalah tujuan tertinggi pelaporan keuangan pemerintah.
GASB menjelaskan keterkaitan akuntabilitas dan pelaporan
keuangan sebagai berikut:
Accountability requires governments to answer to the
citizenry to justify the raising of public resources and the pur-
poses for which they are used. Governmental accountability is
based on the belief that the citizenry has a right to know, a
right to receive openly declared facts that may lead to public de-
bate by the citizens and their elected representatives. Financial
reporting plays a major role in fulflling governments duty to be
publicly accountable in a democratic society. (par. 56)
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas
meliputi pemberian informasi keuangan kepada masyarakat
dan pemakai lainnya sehingga memungkinkan bagi mereka
untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua
aktivitas yang dilakukan, bukan hanya aktivitas fnansial-
nya saja. Concepts Statement No. 1 tersebut menekankan
bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat memberi-
kan informasi untuk membantu pemakai dalam pembuatan
keputusan ekonomi, sosial, dan politik. Tuntutan dilak-
sanakannya akuntabilitas publik mengharuskan pemerintah
memperbaiki sistem pencatatan dan pelaporan. Pemerintah
dituntut untuk tidak sekedar melakukan vertical reporting,
yaitu pelaporan kepada atasannya, misalnya kabupaten/kota
kepada provinsi atau provinsi kepada pemerintah pusat, akan
tetapi juga melakukan horizontal reporting, yaitu pelaporan
kinerja pemerintah kepada DPR untuk tingkat pusat dan
DPRD untuk tingkat daerah, serta kepada masyarakat luas
sebagai bentuk horizontal accountability.
2. Value for Money
Konsep value for money merupakan jembatan untuk
menghantarkan pemerintah mencapai good governance.
Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam
pengelolaan keuangan dan anggaran baik di pusat maupun
daerah. Dalam mendukung dilakukannya pengelolaan dana
publik (public money) yang mendasarkan konsep value for
money, maka diperlukan sistem akuntansi pemerintah yang
baik dan kokoh.
3. Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (pro-
bity)
Pengelolaan keuangan negara harus dipercayakan kepada
personil yang memiliki integritas dan kejujuran tinggi, seh-
ingga tidak ada lagi kesempatan untuk berperilaku korup.
4. Transparansi
Transparansi merupakan keterbukaan pemerintah dalam
membuat kebijakan-kebijakan keuangan sehingga dapat
diketahui dan diawasi oleh perwakilan rakyat dan masyar-
akat secara umum. Transparansi pengelolaan keuangan nega-
ra pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability
antara pemerintah dengan masyarakatnya sehingga tercipta
pemerintahan yang bersih, efektif, efsien, akuntabel, serta
responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
5. Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran pemerintah harus seser-
ing mungkin dimonitor terutama oleh Aparat Pengawas
Internal Pemerintah (APIP), antara lain dengan dibanding-
kannya antara yang anggaran dengan realisasi yang dicapai
dan juga perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap
penerimaan dan pengeluaran agar dapat sedini mungkin di-
cari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke
depan tentunya untuk pengalokasian kepentingan publik.
Dengan demikian tak pelak lagi bisa hampir dipastikan
jika semua pihak memegang komitmen dengan kuat baik
pihak eksekutif, maupun legeslatif untuk secepat mungkin
melaksanakan apa yang telah disarankan BPK RI melalui
enam inisiatif dalam Beyond Te Call of Duty maka akan
segera terwujud pulalah salah satu cita-cita reformasi total
negara kita ini berupa good governance. Suatu angan-angan
yang sebelumnya dicibir banyak orang hanya sebatas mimpi
akan menjadi kenyataan yang dapat kita buktikan bersama
sebagai anak bangsa. Tentunya kemudian akan ditandai
dengan opini hasil pemeriksaan BPK RI terhadap laporan
keuangan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di
daerah-daerah dengan kualitas menjadi lebih baik, karena
bagaimanapun laporan keuangan menjadi salah satu sarana
yang digunakan banyak pihak terutama dalam rangka pen-
gambilan keputusan, baik secara ekonomi, investasi, sosial
maupun keputusan politik sekalipun.
7 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
7
S
ebagai auditor di BPK kita sering sekali mendengar,
mengucapkan dan bahkan membicarakan tentang
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara
(termasuk di dalamnya keuangan daerah). Bagi para audi-
tor di perwakilan, istilah pengelolaan dan tanggungjawab
keuangan daerah seolah-olah sudah menjadi santapan se-
hari-hari.
Jika kita bicara tentang BPK, tidak akan terlepas den-
gan pembicaraan tentang tanggungjawab keuangan negara/
daerah. Sebagai contoh, dalam pasal 23 E UUD 1945 dis-
ebutkan :
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara diadakan satu BPK yang bebas
dan mandiri;
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepa-
da DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenan-
gannya;
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindak-lanjuti oleh
lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan
undang-undang.
Kemudian Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuan-
gan Negara Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerik-
saan adalah proses identifkasi masalah, analisis dan evaluasi
yang dilakukan secara independen, objektif dan profesional
berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran,
kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi mengenai
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Namun, sampai sejauh manakah pengertian dan pema-
haman kita, sebagai auditor tentang tanggung jawab keuan-
gan negara (daerah)? Pengertian dan pemahaman kita ten-
tang tanggung jawab keuangan negara (daerah) sangatlah
diperlukan untuk menopang kita dalam menjalankan tugas
pemeriksaan.
Pengertian tentang tanggung jawab keuangan negara
(daerah) dapat dibaca pada Pasal 1 Butir 7 Undang-Un-
dang Nomor 15 Tahun 2004 : Tanggung jawab Keuan-
gan Negara (termasuk Keuangan Daerah) adalah kewajiban
Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan Keuangan
Negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undan-
gan, efsien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan mem-
perhatikan rasa keadilan dan kepatutan
Sedangkan pengertian umum dari tanggung jawab
(akuntabilitas) adalah suatu kewajiban untuk memper-
tanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban
yang dilaksanakan secara periodik
Dengan demikian prinsip dari tanggung jawab keuan-
gan negara adalah setiap orang yang diberikan kewenangan
untuk mengelola keuangan negara/daerah wajib memper-
tanggungjawabkan keuangan yang dikelolanya dan laporan
pertanggungjawaban keuangan tersebut harus diaudit oleh
lembaga audit yang independen.
Berdasarkan pengertian tersebut, bentuk tanggung ja-
wab keuangan negara (daerah) dapat diwujudkan dalam tiga
aspek pertanggungjawaban, yaitu aspek ketertiban adminis-
trasi keuangan, aspek kinerja dan aspek hukum.
1. Aspek Administrasi Keuangan
Tanggung jawab keuangan negara/daerah dalam ben-
tuk aspek administrasi keuangan secara eksplisit dijelaskan
dalam Pasal 53 dan 54 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan, yang menentukan bahwa :
a. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran bertanggung ja-
wab secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi
tanggung jawabnya kepada BUD dalam bentuk LPJ;
b. BUD bertanggung jawab kepada kepala daerah dari
segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan
penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya dalam
bentuk Laporan Keuangan;
c. Pengguna Anggaran bertanggung jawab kepada KDh
dari segi hak dan ketaatan pada peraturan atas pelaksanaan
kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya dan
wajib menyampaikan Laporan Keuangan;
d. Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara
formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelak-
sanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya.
Berdasarkan ketentuan di atas, Bendahara Penerimaan/
Pengeluaran wajib (secara administratif ) menatausahakan
dan menyusun laporan pertanggungjawaban (LPJ) atas
uang yang dikelolanya dalam rangka pelaksanaan APBD.
LPJ Bendahara menyajikan informasi tentang saldo awal,
penambahan, penggunaan, dan saldo akhir uang persediaan
pada suatu periode. LPJ Bendahara disampaikan kepada
Kepala SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Pengguna Anggaran menyampaikan laporan realisasi
semester I pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
SKPD disertai prognosis 6 bulan berikutnya kepada PPKD
paling lambat 10 hari kerja setelah semester I berkenaan
berakhir. SKPD menyampaikan LPJ Keuangan SKPD (ta-
hunan) paling tidak meliputi Laporan Realisasi Anggaran,
Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Keu-
angan tersebut disampaikan kepada Satker Pengelola Keu-
angan Daerah (SKPKD) paling lambat 2 bulan setelah ta-
Pengertian dan Aspek
Tanggung Jawab Keuangan Daerah
Oleh: Wahyu Priyono, SE, MM, Kasie DIY-1, BPK RI Perwakilan Propinsi DIY
AUDIT
8 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
8
hun anggaran berakhir.
BUD (Bendahara Umum Daerah) menyampaikan lapo-
ran realisasi semester I pelaksanaan anggaran pendapatan,
belanja dan pembiayaan disertai prognosis 6 bulan berikut-
nya kepada Kepala Daerah melalui Sekda paling lambat
minggu ke-3 bulan Juli tahun berkenaan. BUD menyu-
sun LPJ Keuangan BUD (tahunan) yang meliputi Laporan
Realisasi Anggaran Neraca Laporan Arus Kas Catatan atas
Laporan Keuangan dan disampaikan kepada kepada daerah
paling lambat 2 bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Pemda menyusun Laporan Realisasi Semester I dan prog-
nosis untuk 6 bulan berikutnya, disampaikan kepada DPRD
(akhir Juli) untuk dibahas bersama. Di akhir tahun, Pemda
wajib menyusun Laporan Keuangan Daerah (tahunan) yang
terdiri dari Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus
Kas, Catatan atas Laporan Keuangan dan Lampiran Ikhti-
sar Laporan Keuangan BUMD. Laporan Keuangan Daerah
tersebut disampaikan kepada BPK untuk diaudit paling
lambat 3 bulan sesudah tahun anggaran berakhir (sebelum
disampaikan kepada DPRD untuk dibahas bersama).
LK Tahunan Pemda/SKPD disertai dengan pernyataan
tanggung jawab yang ditandatangani oleh Kepala Daerah/
Kepala SKPD. Pernyataan tanggung jawab memuat perny-
ataan bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan ber-
dasarkan SPI yang memadai dan akuntansi telah diseleng-
garakan sesuai dengan SAP.
2. Aspek Kinerja
Tanggung jawab keuangan negara/daerah dari aspek
kinerja diwujudkan dalam bentuk Laporan Ikhtisar Real-
isasi Kinerja (sesuai ketentuan UU NO. 1 Tahun 2004 dan
PP No 8 Tahun 2006). Laporan Ikhtisar Realisasi Kinerja
sebagai wujud pemenuhan kewajiban untuk mengelola
keuangan daerah secara efsien, ekonomis dan efektif, ber-
bentuk penjelasan ringkas, lengkap dan transparan tentang
capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja
yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBD dan berisi
tentang perbandingan antara rencana dan realisasi keluaran/
hasil dari kegiatan/program dengan kuantitas dan kualitas
yang terukur.
Indikator kinerja yang digunakan dalam pengukuran
kinerja pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah meliputi
indikator masukan (input), keluaran (output), hasil (out-
come), manfaat (beneft), dan dampak (impact).
3. Aspek Hukum
Tanggung jawab Keuangan Negara/Daerah dalam aspek
hukum, maksudnya semua pejabat dan pegawai negeri yang
melakukan penyimpangan terhadap asas-asas dan ketentuan
pengelolaan keuangan daerah mempunyai tanggung jawab
hukum, baik hukum administrasi, hukum pidana, maupun
hukum perdata.
Tanggung jawab hukum secara administrasi meliputi ;
a. Sanksi administratif bagi PNS sebagaimana diatur
dalam PP No 30 Tahun 1980;
b. Sanksi administratif bagi pihak lain bukan PNS se-
bagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berk-
enaan dengan pihak yang bersangkutan;
c. Tanggung jawab berkaitan dengan ganti kerugian
daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU No. 17 Ta-
hun 2003, Pasal 59 UU No. 1 Tahun 2004, dan Pasal 136
PP No. 58 Tahun 2005.
1) Setiap bendahara bertanggung jawab secara pribadi
atas kerugian keuangan negara yang berada dalam
pengurusannya (Pasal 33 UU No.17 Tahun 2003);
2) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan
dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang
menjadi dasar pengeluaran atas beban APBD bertang-
gung jawab atas kebenaran material dan akibat yang
timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud (Pasal
136 PP No. 58 Tahun 2005);
3) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau
pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar
hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya secara langsung merugikan keuangan ne-
gara, wajib mengganti kerugian tersebut (Pasal 59 UU
No. 1 Tahun 2004 dan Pasal 136 PP No. 58 Tahun
2005).
Tanggung Jawab Keuangan Negara menurut hukum
pidana, maksudnya semua pejabat dan pegawai negeri yang
melakukan perbuatan melawan hukum yang memenuhi
unsur pidana yang berhubungan dengan penyalahgunaan
jabatan yang dapat merugikan keuangan negara diancam
sanksi pidana. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal
34 ayat (1) dan (2) UU No. 17 Tahun 2003 yang menyat-
akan bahwa :
a. Kepala Daerah yang terbukti melakukan penyim-
pangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam Perda
tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan
denda sesuai dengan ketentuan UU;
b. Pimpinan SKPD yang terbukti melakukan peny-
impangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan
dalam Perda tentang APBD diancam dengan pidana
penjara dan denda sesuai dengan ketentuan UU.
Secara hukum perdata, pejabat pengelola keuangan dae-
rah dapat melakukan ikatan hukum dengan pihak ketiga
yang bersifat keperdataan (kontrak pengadaan barang/jasa).
Bila dalam hal tersebut pihak daerah (diwakili oleh Pejabat
Pembuat Komitmen) karena kesalahannya mengakibatkan
kerugian pihak ketiga (kelambatan pembayaran atas peny-
erahan barang/jasa), maka pihak daerah wajib mengganti
kerugian itu (denda berupa bunga).
Tanggung jawab menurut hukum perdata diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata (BW): Setiap perbuatan melanggar
hukum yang mengakibatkan kerugian orang lain, menyebab-
kan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu,
wajib mengganti kerugian tersebut
Demikianlah uraian secara singkat yang bisa penulis tu-
angkan dalam artikel ini, mudah-mudahan bisa menambah
wawasan kita tentang pengertian tanggung jawab keuan-
gan daerah dan aspek-aspeknya, yang pada gilirannya nanti
dapat membantu kita dalam melaksanakan tugas-tugas
pemeriksaan. Wallahu alam bishshowab.
9 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
9
AGENDA
Pengarahan Sekretaris Jenderal BPK RI
dalam rangka Monitoring dan Evaluasi kepada Karyasiswa BPK RI

B
easiswa yang diberikan oleh BPK RI sejatinya berasal dari negara, yang berarti uang rakyat, karenanya harus diman-
faatkan secara baik dan penuh tanggung jawab sehingga tidak menyia-nyiakan kepercayaan dan kesempatan yang
diberikan oleh rakyat. Demikian disampaikan Sekretaris Jendreral (Sekjen) BPK RI Dharma Bakti dalam acara Pengarahan
Sekretaris Jenderal BPK RI dalam rangka Monitoring dan Evaluasi kepada Karyasiswa BPK RI di Bandung, hari Senin,
16 Februari 2009. Acara yang dilaksanakan di auditorium kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat tersebut diikuti
oleh sekitar 60 karyasiswa BPK RI. Enam puluh karyasiswa itu adalah pegawai BPK RI yang sedang mengikuti program
Magister Akuntansi (Maksi) di Universitas Padjadjaran (Unpad) dengan beasiswa dari BPK RI.
Sekjen menjelaskan bahwa para karyasiswa BPK RI yang sedang kuliah di Maksi Unpad tidak akan diistimewakan.
Jangan karena mendapat beasiswa dari BPK RI lantas membuat anda merasa lebih dibanding para mahasiswa lain di Un-
pad. Jangan berpikir anda pasti lulus hanya karena anda kulian di Maksi Unpad karena beasiswa. Berlakulah selayaknya
mahasiswa yang baik dengan tetap mengikuti peraturan akademik yang berlaku di Unpad, kata Sekjen.
Ungkapan bernada kekecewaan itu disampaikan Sekjen BPK RI menanggapi uraian Kepala Biro (Kabiro) Sumber Daya
Manusia (SDM) BPK RI Fachry Alusi terkait adanya informasi tentang kurang disiplinnya beberapa karyasiswa selama
mengikuti kuliah di Maksi Unpad.
Sebelumnya, Kabiro SDM BPK RI Fachry Alusi menjelaskan bahwa meski secara umum prestasi karyasiswa BPK RI
di Maksi Unpad sudah baik, namun ada juga beberapa beberapa persoalaan yang perlu diperhatikan. Persoalan itu adalah
kurang disiplinnya karyasiswa dari BPK RI. Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya karyasiswa yang prosentase ke-
hadirannya kurang dari 75% untuk beberapa mata kuliah, bahkan ada peserta yang titip absen dalam perkuliahan, kata
Kabiro SDM BPK RI.
Persoalan lainnya adalah adanya tujuh karyasiswa yang nilai IPK-nya masih kurang dari tiga, salah satunya malah
kurang dari 2,6. Padahal idealnya, IPK harus di atas 3,0. Bahkan menurut Sekretaris Bidang Akademik Maksi Unpad Ilya
Avianti, Maksi Unpad sendiri sebenarnya berharap karyasiswa BPK RI yang kuliah di Maksi Unpad bisa lulus dengan IPK
di atas 3,25 nantinya lebih mudah seandainya ingin melanjutkan ke S-3.
Kabiro SDM BPK RI berharap agar hasil evaluasi yang ada dapat ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh.Semoga
monitoring dan evaluasi ini dapat memberi energi baru, sehingga semua dapat berjalan dengan hasil terbaik, sesuai harapan
kita bersama, katanya
Selain Sekjen BPK RI dan Kabiro SDM BPK RI Fachry Alusi, acara yang dilaksanakan di auditorium kantor BPK RI
Perwakilan Provinsi Jawa Barat tersebut juga dihadiri oleh serta Kalan BPK RI Pewakilan Provinsi Jawa Barat Gunawan
Sidauruk, Ketua Program Maksi Unpad Sumarno Zain dan Sekretaris Bidang Akademik Maksi Unpad - yang saat ini juga
menjadi Staf Ahli Bidang BUMN/BUMD di BPK RI - Ilya Avianti.
Di akhir acara, saat sesi tanya jawab, Sekretaris Bidang Akademik Maksi Unpad Ilya Avianti mengatakan bahawa rata-
rata nilai dan tingkat kedisiplinan karyasiswa BPK RI masih layak mendapat penghargaan. Secara umum, bahwa terlepas
dari berbagai masalah yang ada tadi, kelas kerja sama BPK RI adalah yang terbaik, baik dalam hal perolehan nilai IPK mau-
pun disiplin, dibandingkan kelas kerja sama yang lain, kata Ilya Avianti yang segera disambut tepuk tangan para peserta.
20 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
20
B
agaimanakah perlakuan terhadap SP2D yang
sampai akhir periode belum dicairkan? Apakah
SP2D tersebut termasuk outstanding check
atau penyeberangan? Apa sebenarnya yang dimaksud
outstanding check dan penyeberangan itu? Lalu,
bagaimana perlakuannya jika Bendahara baru mencatat
Buku Kas Umum hanya sampai November sementara
Desember belum dicatat sama sekali, apakah kita tetap
langsung tutup kas atau kita beri tengat waktu?
Itulah beberapa pertanyaan yang sempat diajukan
peserta dalam acara In House Training Persiapan
Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) Tahun Anggaran 2008 yang diadakan oleh Sub
Bagian SDM Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, di Aula
Perwakilan, pada 21-23 Januari 2009.
Hadir sebagai pembicara dalam In House Training
yang diikut oleh seluruh auditor di Perwakilan Provinsi
Sulawesi Tengah, adalah KasubAud Sulteng I, Makmun
Fuad, S.E., M.Sc., Ak., KasubAud Sulteng II, Muh. Yasir,
S.E., M.M., Ak., Kasie Sulteng IA, Muh. Abidin, S.E., Ak.,
Kasie Sulteng IIB, I Kadek Suartama, S.E., M.Ak., Ak., dan
Staf Seksi Sulteng IIA, Arjuna Sakir, S.E., Ak.
Kepala Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, Dadang
Gunawan, dalam sambutan pembukaan mengatakan,
In House Training ini selain bertujuan memberi bekal
ilmu kepada Auditor yang akan bertugas melakukan
Pemeriksaan Pendahuluan atas LKPD Tahun Anggaran
2008 dan Pemantauan Kerugian Negara/Daerah, juga
untuk mencari permasalahan-permasalahan yang
terkadang muncul ketka pemeriksaan serta bagaimana
solusi mengatasi masalah tersebut.
Acara yang berlangsung selama 3 hari dan dibagi
menjadi beberapa sesi tersebut berjalan menarik
dan tdak membosankan. Para pembicara secara
aktf mengajak peserta untuk berdiskusi, bahkan
mengenai hal yang paling mendasar, misalnya defnisi
outstanding check dan pendapatan yang ditangguhkan.
Pembahasan yang sederhana ini justru bisa berkembang
dan mampu memancing peserta untuk memberikan
argumen meskipun terkadang berbeda pendapat.
Karena keterbatasan waktu, beberapa hal yang belum
terpecahkan rencananya akan dibahas di forum khusus.
In House Training ini merupakan sebuah rangkaian
kegiatan. Sebelumnya, pada tanggal 19-20 Januari
2009, Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah juga telah
mengadakan In House Training Sistem Manajemen
Pemeriksaan (SMP) dan Data Base Enttas. Pembicara
dalam sesi ini yaitu Yusuf Efendi Kusuma, S.E., Ak., M.
Solikhudin, S.E., dan Ika Yuni Fitriana, S.E.
Rony Setyo Kurniawan, S.Sos.
Rangkaian In House Training Pemeriksaan
di Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah
2 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
2
RAPAT KERJA BUPATI/WALIKOTA
SE-PROVINSI MALUKU
P
ada 13 Januari 2009 bertempat di Gedung DPRD Provinsi Maluku telah dilaksanakan rapat kerja Bupat/Walikota
seProvinsi Maluku dengan tema Melalui Rapat Kerja Bupat/Walikota Kita Mantapkan Agenda Politk Nasional dan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Provinsi Maluku tahun 2009 yang dibuka oleh Sekretaris Jenderal Depdagri
atas nama Menteri Dalam Negeri.
Peserta Raker tersebut selain Gubernur dan Wakil Gubernur serta pejabat pemerintah Provinsi Maluku juga dihadiri oleh
para Bupat/Walikota dan para pejabat pemerintah Kabupaten/Kota se-Provinsi Maluku dan Kepala BPK RI Kantor Perwakilan
Provinmsi Maluku diundang untuk menjadi salah satu pembicaranya.
Dalam penyampaian materi, Plt. Kalan mengemukakan peran BPK RI dalam mendorong pengelolaan keuangan Negara yang
akuntabel dan transparan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa dalam upaya mendorong perbauikan dan penyempurnaan
keuangan Negara, BPK RI akan memberikan penghargaan (award) kepada instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang
berprestasi dalam bidang tata kelola keuangan yang baik. Penghargaan ini diharapkan dapat memacu inisiatf pemerintah
(daerah) dalam mempercepat perwujudan transpasansi dan akuntabilitas keuangan Negara.
Peringatan HUT BPK RI ke 62
Perwakilan Provinsi Maluku
H
UT BPK RI ke-62 diperingat den-
gan upacara bendera dan serangka-
ian kegiatan perlombaan di BPK RI
Perwakilan Provinsi Maluku. Upacara bendera,
yang bertempat di halaman kantor diikut den-
gan khidmat oleh seluruh pegawai PNS, CPNS
maupun tenaga kontrak, 12 Januari 2009.
Bertndak sebagai Inspektur Upacara adalah
Plt Kepala Perwakilan Provinsi Maluku, Andi
K Lologau, dan Kasubbag Umum, Aminnulah,
bertndak sebagai Komandan Upacara. Amanat
inspektur upacara diisi dengan pembacaan pi-
dato dari Ketua BPK RI, Anwar Nasuton. Dalam
upacara yang didukung dengan cuaca cerah ini
juga dilantunkan Mars BPK RI yang dinyanyikan
oleh seluruh peserta upacara serta pembacaan
singkat sejarah berdirinya BPK RI.
Kegiatan selanjutnya dalam rangka memeri-
ahkan HUT BPK RI ini adalah perlombaan yang mempertandingkan beberapa cabang olahraga diantaranya sepakbola,
catur, tenis meja dan bulu tangkis. Sistem perlombaan dilakukan dengan cara beregu yang menghadapkan tm Lini
(pegawai di unsur teknis) dan tm Staf (pegawai di unsur penunjang pendukung). Rangkaian perlombaan yang dilaku-
kan selama 4 hari bertutut-turut ini akhirnya dimenangkan oleh tm staf dengan skor total 3-1. Diharapkan dengan
rangkaian kegiatan ini juga dapat semakin meningkatkan rasa kebersamaan di antara para pegawai di BPK RI kantor
perwakilan Provinsi Maluku.

22 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
22
P
erkembangan teknologi informasi
(komputasi dan komunikasi) telah
mengakibatkan perubahan-perubahan pada
sistem akuntansi, sistem pengendalian intern(SPI)
dan auditng. Sistem akuntansi makin terpadu
dengan terciptanya sistem otomatsasi dalam
perhitungan, terkait dengan SPI, saat ini tdak cukup
hanya dengan kontrol internal tradisional, bahkan
juga tdak cukup dengan adanya general control dan
applicaton control, melainkan perlu pengendalian
akses, authentfcaton dan security sistem lainnya.
Saat ini, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
di Gorontalo telah menerapkan Sistem Manajemen
Keuangan Daerah dengan berbasis teknologi
informasi dalam menghasilkan laporan keuangan
pemerintah daerah. Aplikasinya menggunakan MS
SQL Server sebagai databasenya dengan Bahasa
Pemrograman Delphi sebagai Interfacenya. Untuk
membekali para Auditor BPK RI Perwakilan Provinsi
Gorontalo dalam melakukan pemeriksaan maka
sangat dipandang perlu untuk diadakan Workshop
Audit Teknologi Informasi/Sistem Informasi(TI/SI).
Demikian disampaikan Kepala Perwakilan Provinsi
Gorontalo, Tri Heriadi, dalam pidatonya ketka
membuka Diklat Audit Teknologi Informasi/ Sistem
Informasi (TI/SI) pada 27 Januari 2009 yang lalu.
Bekerja sama dengan Pusdiklat BPK-RI, diklat ini
diselenggarakan di New Rahmat Hotel Gorontalo
selama tga hari mulai Selasa Kamis, 27 29 Januari
2009 dengan jumlah peserta 47 orang, terdiri dari 32
orang pegawai Perwakilan Provinsi Gorontalo dan 15
peserta dari perwakilan wilayah tmur lainnya.
Instruktur pada diklat ini adalah Pinky Dezar
Zulkarnain dan Yusuf Ahmadi dari Biro TI pusat, serta
Darmadi Aries Wibowo, Kepala Bidang Anggaran dan
Pembinaan Keuangan Daerah pada BKD Pemerintah
Provinsi Gorontalo yang membahas mengenai
pengenalan konsep database, dilanjutkan dengan
membedah pengolahan database yang diambil
melalui Microsof SQL server, dan mengolah database
lebih lanjut dengan menggunakan sofware audit
Arbutus Analyzer. Kemudian dengan pengenalan
lebih lanjut pada aplikasi SIMDA Provinsi Gorontalo
untuk mengetahui pengoperasian, fowchart dan
kelemahan SPI pada implementasi pengolahan
data transakasi di lapangan. Pada hari terakhir, para
peserta diberikan studi kasus untuk membuat neraca
saldo tandingan terhadap neraca saldo Pemerintah
Provinsi Gorontalo TA 2008 untuk kemudian dibuat
jurnal koreksinya. I*
.
DIKLAT AUDIT TEKNOLOGI INFORMASI/ SISTEM INFORMASI
PADA PERWAKILAN PROVINSI GORONTALO
2 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
2
Pembinaan dan Pengarahan Oleh Anggota Pembina
Utama V BPK RI di BPK RI Kantor Perwakilan
Provinsi DKI Jakarta
Jakarta, 2 Januari 2009, bertempat di BPK RI Perwaki-
lan Provinsi DKI Jakarta dilangsungkan acara Pembinaan dan
Pengarahan oleh Anggota Pembina Utama V BPK RI Hasan
Bisri, SE, MM. Acara ini diadakan dalam rangka persiapan
pelaksanaan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2008.
Dalam kesempatan ini Hasan Bisri mengingatkan kepada
para pegawai BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta men-
genai pentingnya nilai Independensi, Profesionalisme dan
Integritas untuk dimiliki oleh seorang auditor dalam pelak-
sanaan pemeriksaan. Selain itu para auditor harus dapat
meningkatkan kemampuannya mengingat tingginya harapan
masyarakat terhadap kinerja BPK RI sebagai satu-satunya
lembaga pemeriksa keuangan di Indonesia. Pada kesempatan
ini pula disampaikan bahwa ditargetkan kepada BPK RI Kan-
tor Perwakilan Provinsi DKI Jakarta untuk dapat menindak-
lanjuti temuan pemeriksaan secara hukum dengan cara pen-
yampaian kepada lembaga penegak hukum untuk diproses
dalam peradilan.
Pisah Sambut Kepala Perwakilan BPK RI Perwakilan
Provinsi DKI Jakarta
Jakarta 5 Januari 2009, BPK RI Perwakilan Provinsi
DKI Jakarta mengadakan acara Serah Terima Jabatan Kepala
Perwakilan diikuti dengan pisah sambut beberapa pegawai.
Kepala Perwakilan BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta
yang lama, I Gede Kastawa, SE. MM dimutasi menjadi Kepala
Perwakilan BPK RI Perwakilan Provinsi Bali setelah menjabat
kurang lebih tahun bulan, dan sebagai penggantinya ialah
Sjafrudin Mosii, SE. MM yang sebelumnya menjabat sebagai
Kepala Biro Sumber Daya Manusia.
Pegawai yang telah memasuki masa purnabakti yaitu Drs.
Ary Soetedjo, MM yang terakhir menjabat sebagai Kepa-
la Sekretariat BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta.
Ir.Martuama Saragih, MM yang sebelumnya menjabat sebagai
Kepala Seksi DKI II.B dimutasi ke AKN IV, dan sebagai peng-
gantinya adalah pegawai yang memperoleh promosi Ir. Heru
Nugraha, MM. Selain itu terdapat pegawai yang masuk ke
BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta antara lain Saoma
Nugraha, SE, Hadi Sucipto, SE dan sebelas CPNS.
Workshop Pengayaan Materi Hukum dalam menan-
gani Masalah Hukum di BPK
Ditama Binbangkum pada tanggal 26 s.d. 27 Januari men-
gadakan Workshop Pengayaan Materi Hukum Dalam Me-
nangani Masalah Hukum di BPK. Workshop yang membahas
beberapa materi utama perihal konsepsi keuangan negara dan
permasalahan dalam implementasinya dihadiri oleh seluruh
Kasubag Hukum Humas kantor perwakilan BPK. Workshop
dilaksanakan di Hotel Papandayan Bandung. Pembukaan
workshop dilakukan oleh Wakil Ketua BPK, Abdullah Zaini,
dengan pengarahan oleh Anggota III BPK, Baharuddin Ari-
tonang.
Pada sesi hari pertama, pembicara adalah Kepala Ditama
Binbangkum, Hendar Ristriawan, Kepala Direktorat LABH,
Koesnindar, dan Kepala Direktorat KHK, Hening Tyastan-
to. Dilanjutkan pada hari kedua, pembahasan materi-materi
workshop dipandu oleh para Kepala Sub Direktorat di ling-
kungan Ditama Binbangkum.
Acara Workshop Pengayaan Materi Hukum Dalam Me-
nangani Masalah Hukum di BPK ini selain membahas materi-
materi utama yang telah ditetapkan, sekaligus dimanfaatkan
untuk menyamakan persepsi seluruh unit kerja hukum di
BPK dalam menangani berbagai persoalan serta permasalahan
hukum di bidang pemeriksaan keuangan negara. Antusiasme
para peserta begitu tinggi dalam menyampaikan berbagai per-
soalan hukum yang dihadapi di masing-masing perwakilan se-
hingga dirasa perlu oleh para kasubbag Hukum dan Humas di
Perwakilan agar acara seperti ini dapat dilakukan secara rutin
pada masa-masa mendatang, sehingga dapat terus dilakukan
updating informasi serta saling tukar pengetahuan diantara
unit-unit kerja hukum di BPK.
Peringatan HUT BPK RI ke 62 di Perwakilan Provinsi
Jawa Timur
Dalam rangka memperingati HUT BPK RI ke-62, BPK RI
Perwakilan Provinsi Jawa Timur mengadakan serangkaian ke-
giatan mulai dari jalan sehat hingga upacara peringatan. Rang-
kaian kegiatan tersebut dimulai pada hari Jumat, 9 Januari
2009 dengan acara jalan sehat mengelilingi kompleks kantor
dan dilanjutkan dengan berbagai perlombaan seperti lomba
tarik tambang, makan kerupuk, bakiak dan futsal.
Pelaksanaan upacara peringatan HUT BPK RI ke 62 dilak-
sanakan pada hari Senin, 2 Januari 2009 yang diikuti oleh
seluruh pegawai BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Timur.
Upacara yang dimulai pukul 08.00 ini dipimpin oleh Ke-
pala Perwakilan BPK RI Provinsi Jawa Timur Drs. Zindar
Kar Marbun, M.Si sebagai inspektur upacara. Pada upacara
ini, inspektur upacara membacakan Pidato Ketua BPK RI
pada Acara Ulang Tahun Ke 62 Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia. Setelah pelaksanaan selesai, acara dilan-
jutkan dengan acara makan bersama Kepala Perwakilan, para
Pejabat Struktural dan seluruh pegawai.
24 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
24
0
Penganugerahan penghargaan BPK RI kepada insitusi pemerintahan
5 Januari 2009.
Ketua BPK RI Prof. Dr. anwar Nasution memberikan sambutan acara
the 2th Meeting of the INTOSAI Working Group on Environmental
Auditing (WGEA) Doha, Qatar, 25 29 January 2009.
Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad mendapat penghargaan
BPK RI yang diserahkan oleh Ketua BPK RI, 2 Januari 2009.
Anggota BPK RI Hasan Bisri memberikan sambutan pada acara Me-
dia Workshop BPK RI mendorong perbaikan tata kelola keuangan
negara, 0 Januari 2009.
POTRET BPK
Gubernur Bank Indonesia Budiono pada acara pertemuan dengan
Wakil Ketua BPK RI 29 Januari 2009.
Ketua BPK Dr. Anwar Nasution berfoto bersama setelah penyerahan
Buku BPK memunaikan Amanat Konstitusi kepada para undangan
dalam acara peringatan HUT BPK RI ke-62, 2 Januari 2009.
25 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
25
0
Wakil Ketua BPK RI Abdullah Zainie meresmikan peluncuran situs
baru BPK RI didampingi oleh Sekretaris Jenderal BPK RI dan Plt Kepa-
la Biro Humas dan Luar Negeri, 2 Februari 2009.
Foto bersama pemenang perhargaan karya jurnalistik dan Wakil
Ketua BPK RI dan Sekjen BPK RI, 2 Februari 2009.
Wakil Ketua BPK RI dan Sekjen BPK RI melakukan foto bersama
pemenang penghargaan jurnalistik kategori editorial yaitu Koran
Tempo, Media Indonesia dan Jurnal Nasional.
Auditor Utama III, Auditor Utama II dan Inspektur Utama BPK RI so-
sialisasi Risk Area Pemeriksaan LKPP 2008, 08 Februari 2009
Anggota BPK RI Baharudin Aritonang menyayi bersama M. Si-
manungkalit pada cara HUT BPK RI ke-62.
Pertemuan BPK RI dan Gubernur Bank Indonesia, 29 Januari 2009.
26 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
26
Peresmian Gedung Kantor BPK RI
BPK Tuntaskan Pencapaian Reformasi Birokrasi
Oleh: Biro Humas Dan Luar Negeri
SIARAN PERS
J
akarta, Rabu (21 Januari 2009) Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia terus berupaya men-
ingkatkan kinerja pemeriksaan dan menuntaskan pencapa-
ian mendasar di bidang kelembagaan, proses bisnis, per-
sonil, serta sarana dan prasarana. Keempat bidang tersebut
menjadi pilar utama Reformasi Birokrasi sekaligus sebagai
fondasi yang kokoh bagi BPK RI untuk meningkatkan per-
annya dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan
yang baik, bersih, transparan dan akuntabel. Demikian dite-
gaskan oleh Ketua BPK, Anwar Nasution, ketika meresmi-
kan Gedung Kantor BPK RI, Rabu (21/1) di Jakarta.
Menurut Anwar, amandemen UUD 1945, paket tiga
UU di bidang keuangan negara, serta UU No. 15 Tahun
2006 tentang BPK RI, semakin memperkokoh keberadaan
dan kedudukan BPK sebagai satu lembaga yang bebas dan
mandiri. Saat ini, BPK berhasil melakukan berbagai pen-
capaian di bidang pemeriksaan untuk mendorong trans-
paransi dan akuntabilitas keuanga negara, meningkatkan
penerimaan negara, serta menyelamatkan keuangan negara.
Hasil pemeriksaan BPK telah dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat umum, pemerintah, juga penegak hukum.
Pe n g a k u a n
atas prestasi BPK
juga ditunjukkan
dengan men-
ingkatnya tun-
tutan, harapan,
dan kepercayaan
para stakehold-
ers akan peran
BPK. Harapan
dan kepercayaan
tersebut semakin
nyata dengan
terpilihnya BPK
RI sebagai salah
satu pilot project
reformasi bi-
rokrasi pemerin-
tahan Indonesia.
Anggaran yang
diperoleh BPK
dari DPR dan
Pemerintah pun
semakin mening-
kat. Pada tahun 2004, BPK RI memiliki anggaran Rp329
miliar dan pada tahun 2009, meningkat menjadi Rp1.725
miliar, tambah Anwar.
Peningkatan tersebut juga diikuti dengan penataan or-
ganisasi dan penambahan jumlah personil pegawai BPK RI,
yang membutuhkan sarana dan prasarana kerja yang baik
dan memadai. Dua gedung yang ada di kantor pusat BPK
RI sudah tidak mampu menampung jumlah personil serta
memenuhi kebutuhan ruang kerja yang memadai, sehing-
ga dibangun gedung kantor baru yang pembangunannya
dimulai sejak 8 Oktober 2007 dan selesai pada 6 November
2008.
Pembiayaan pembangunan gedung kantor BPK dilak-
sanakan secara multi years, yaitu dibebankan pada DIPA
BPK RI tahun 2007 dan 2008, dengan total biaya Rp39
miliar. Pelaksana pembangunan gedung adalah PT Pemban-
gunan Perumahan (Persero) dan sebagai Konsultan Mana-
jemen Konstruksinya adalah PT. Yodya Karya (Persero).
Gedung baru ini terdiri dari 7 lantai dengan total luas ban-
gunan 7.929,3 m2.
27 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
27
62 Tahun BPK RI
Anwar Nasution:
Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara
Tak Bisa Ditawar Lagi
Oleh: Biro Humas dan Luar negeri BPK RI
J
akarta, Senin (2 Januari 2009) Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution, mengin-
gatkan bahwa upaya mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas keuangan negara merupakan harga yang
tidak bisa ditawar lagi. Bila tidak, kita akan jatuh dalam
krisis seperti tahun 997-98 dulu, ujarnya.
Peringatan ini disampaikan Anwar dalam acara
peringatan Ulang Tahun BPK ke-62 bertempat di Au-
ditorium Kantor Pusat BPK RI, Jakarta, pada Senin, 2
Januari 2009. Dalam pidatonya itu, Anwar berulangkali
menegaskan bahwa cita-cita penegakan pemerintahan
yang bersih, transparan dan akuntabel masih masih
memerlukan perjuangan panjang.
Kelemahan sistem akuntansi dan sistem hukum
sebagaimana yang terungkap dalam pemeriksaan BPK
telah membuat negara kita menjadi salah satu negara
terkorup di dunia, kata Anwar. Akibat ulah kita sendiri,
kehidupan rakyat menjadi sengsara dan Indonesia di-
anggap the sick man of Asia.
Dalam lima tahun terakhir BPK memang mengung-
kapkan banyak kasus yang menunjukkan buruknya
pengelolaan keuangan negara. Kasus-kasus tersebut
antara lain: kasus YPPI dan BI, tersebarnya rekening liar
berjumlah puluhan triliun rupiah, penumpukan angga-
ran di akhir tahun, dana perimbanag pusat dan daerah,
pengelolaan minyak dan gas bumi, pengelolaan aset,
pengelolaan pertambangan, serta juga kasus Bank In-
dover.
Karena itulah, Anwar mengingatkan agar pemer-
intah menunjukkan upaya serius untuk memperbaiki
pengelolaan keuangan negara. BPK tidak mau pen-
galaman pahit di masa lalu terulang kembali, katanya
tegas
Perayaan HUT tahun ini memang tidak diniatkan un-
tuk sekadar menjadi seremoni biasa. Pada ulang tahun
yang ke 62 ini BPK RI berupaya meningkatkan pemaha-
man publik mengenai peran penting BPK-RI dalam men-
dorong terciptanya pemerintahan yang bersih dan tata
kelola keuangan negara yang baik, ujar Dwita Pradana,
Plt. Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK.
Ulang tahun BPK sendiri sebenarnya jatuh pada
tanggal Januari. Namun rangkaian kegiatan peringa-
tan ulang tahun tersebut dengan tema Mendorong
Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara -- di-
selenggarakan melalui beberapa kegiatan.
Selain dengan upacara bendera, syukuran secara
sederhana, acara kekeluargaan, serta aksi sosial lainnya,
ulang tahun BPK tahun ini diperingati dengan berbagai
kegiatan yang terkait dengan uapaya mendorong per-
cepatan penegakan pemerintahan bersih dan tata ke-
lola keuangan negara yang baik.Termasuk dalam rang-
kaian kegiatan tersebut adalah peluncuran buku BPK
Menunaikan Amanat Konstitusi, pemberian hadiah
bagi karya jurnalistik yang mendorong peran BPK da-
lam penegakan pemerintahan yang bersih dan transpa-
ran, seminar dan diskusi tentang tata kelola keuangan
negara yang baik, media workshop tentang BPK, serta
peluncuran video profle mengenai BPK.
Salah satu kegiatan terpenting dalam rangkaian HUT
ini adalah pemberian penghargaan kepada instansi
pemerintah pusat dan daerah yang memiliki prestasi di
bidang tata kelola keuangan yang baik. Pemberian apre-
siasi ini akan dilakukan pada 5 Januari 2009. BPK akan
memberikan penghargaan untuk dua kategori yaitu:
() kategori yang telah mencapai pelaporan keuangan
dengan opini BPK Wajar Tanpa Pengecualian dan (2)
kategori upaya menuju pelaporan keuangan yang baik.
Ulang tahun kali ini memiliki makna tersendiri bagi
para pimpinan BPK RI periode 2004-2009, karena me-
rupakan tahun terakhir masa bhakti anggota BPK 2004-
2009. Saya bahagia bahwa saya bisa mengatakan
bahwa capaian BPK selama lima tahun terakhir telah
mampu menunjukkan kemandirian dan kebebasan BPK
sebagaimana diamanatkan konstitusi, ujar Anwar.
Selama lima tahun ini, BPK telah berhasil menyiap-
kan fondasi dan rancang bagun yang kokoh bagi BPK
maka kini dan mendatang untuk semakin meningkat-
kan peran dan sumbangsihnya dalam mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, baik dan
akuntabel, tambahnya pula.
28 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
28
BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat
mengadakan berbagai kegiatan dalam rangka merayakan
HUT BPK RI yang ke-62. Seluruh rangkaian acara ini
dilaksanakan mulai dari tanggal 18 Desember 2008
sampai dengan tanggal 22 Januari 2009. Rangkaian
acara perayaan HUT BPK RI dimulai dengan kegiatan
dari Dharma Wanita yang mengadakan acara seminar
dengan tema Penyakit Kanker Yang Sering Menyerang
Wanita. Menurut Prof. dr. Hj. Salmiah Agus, Sp,P.A yang
merupakan Kepala Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas ini, kanker rahim (Cervix
Cancer) dan kanker indung telur (Ovarian Cancer) perlu
untuk diwaspadai oleh kaum hawa. Seminar ini juga diisi
ceramah dari Ketua Dharma Wanita BPK RI Perwakilan
Provinsi Sumatera Barat Ibu drg. Trelia Boel Gintng.
Rangkaian acara selanjutnya mengambil tema olah
raga. Acara dibuka oleh Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi
Sumatera Barat, Maulana Gintng, diawali dengan gerak
jalan santai yang diikut oleh seluruh pegawai yang
ada di lingkungan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera
Barat. Dalam kegiatan ini juga diberikan door prize untuk
peserta yang beruntung. Kemudian acara diteruskan
dengan pertandingan volley, futsal dan tenis lapangan.
Donor darah untuk seluruh pegawai di lingkungan BPK RI
Perwakilan Provinsi Sumatera Barat merupakan kegiatan
bertema sosial juga dilaksanakan pada perayaan HUT BPK
RI kali ini. Kegiatan ini merupakan wujud kepedulian BPK
RI sebagai bagian dari masyarakat selain tugas utama BPK
sebagai instansi yang menjadi pilar utama dan suri teladan
(leading by example) bagi seluruh instansi/lembaga
dalam hal tansparansi dan akuntabilitas. Pelaksanaan
donor darah ini bekerja sama dengan PMI Kota Padang.
RANGKAIAN KEGIATAN HUT BPK RI KE-62
DI BPK RI PERWAKILAN PROVINSI SUMATERA BARAT
29 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
29
B
erdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI Perwakilan
Provinsi Jawa Barat (Jabar) atas Pertanggungjawaban
Keuangan Penyelenggaraan Pilkada Langsung (Pilkadasung)
pada KPUD dan Panwas Provinsi Jabar, di temukan 13 (tiga
belas) masalah senilai Rp4,37 miliar. Hal itu disampaikan
Kepala Perwakilan (Kalan) BPK RI Perwakilan Provinsi
Jabar Gunawan Sidauruk dalam acara Penyerahan Lapo-
ran Hasil Pemeriksaan (LHP) Pertanggungjawaban Keuan-
gan Penyelenggaraan Pilkadasung pada KPUD dan Panwas
Provinsi Jawa Barat. Penyerahan LHP oleh Kalan BPK RI
Perwakilan Provinsi Jabar kepada Ketua KPUD Provinsi
Jabar Ferry Kurnia Rizkiyansyah tersebut dilaksanakan pada
hari Jumat, 13 Februari 2009.
Acara yang dilaksanakan di Kantor KPUD Provinsi Jabar
tersebut diikuti oleh beberapa anggota KPUD Provinsi Jabar
dan Sekretaris KPUD Provinsi Jabar. Sedangkan dari BPK
RI Perwakilan Provinsi Jabar sendiri, selain Kalan, hadir
pula Kasubaud Jabar I Hesti Sunaryono, Kasubaud Jabar II
Yuyung Mulya Sungkawa, dan Kasubaud Jabar III Suharto.
Di samping itu, turut serta dalam acara tersebut Kasi Jabar I
Ali Sadli dan Kasubag Umum BPK RI Perwakilan Provinsi
Jawa Barat Drs. Sutisna.
Penyerahan LHP kepada DPRD Provinsi Jabar dan
KPUD Provinsi Jabar ini dilaksanakan untuk memenuhi
amanat UU No. 15 Tahun 2004 yang antara lain menya-
takan bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan dengan tujuan
tertentu disampaikan kepada DPRD sesuai kewenangan-
nya dan juga kepada pejabat yang bertanggung jawab atas
pengawasan keuangan tersebut. Sehari sebelumnya (Kamis,
12 Februari 2009) LHP yang sama juga telah disampaikan
kepada DPRD Provinsi Jabar.
Dalam pidato sambutannya, Kalan BPK RI Perwaki-
lan Provinsi Jabar menguraikan rincian dari temuan BPK
RI senilai Rp4,37 miliar tersebut adalah, indikasi kerugian
daerah senilai Rp72,01 juta, kekurangan penerimaan dae-
rah/negara sebesar Rp79,06 juta, pengeluaran yang kurang
dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp1,47 miliar, keti-
dakhematan sebesar Rp 89,81 juta, dan tidak efektif sebesar
Rp2,68 miliar.
Beberapa dari temuan pemeriksaan dimaksud, antara
lain, (1) Menyangkut pengadaan Buku Petunjuk Teknis
Kebutuhan Pemilihan Gubernur Jabar TA 2008 yang tidak
sesuai dengan kontrak sebesar Rp53,47 juta yang berindi-
kasi kerugian daerah; (2) Pengadaan formulir A-KWK se-
nilai Rp162,25 juta tidak melalui pelelangan umum dan
kelebihan pembayaran atas pengadaan perlengkapan tem-
pat pemungutan suara pada KPU Kabupaten Ciamis; (3)
Belum dipertanggungjawabkannya penggunaan dana hibah
sebesar Rp267,58 juta oleh enam Panwas Kecamatan pada
Kota Depok; (4) Belum dipertanggungjawabkannya Dana
Panwas Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, sebesar
Rp133,79 juta dan di antaranya sebesar Rp20,22 juta digu-
nakan untuk kepentingan pribadi.
Kalan juga menerangkan bahwa berdasarkan semua ma-
salah dan temuan tadi, BPK RI telah membuat 17 (tujuh
belas) rekomendasi. Merujuk pada pasal 20 UU No. 15 Ta-
hun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara, rekomendasi ini wajib ditindak-
lanjuti oleh pejabat atau pimpinan KPUD selambat-lam-
batnya 60 hari setelah LHP diterima. Namanya juga wajib,
jadi bila tidak dilaksanakan tentunya akan membuahkan
sanksi, kata Kalan yang segera disambut senyum semua pe-
serta acara.
Di akhir pidato sambutannya, Kalan mengharapkan
bahwa LHP yang diserahkan oleh BPK RI dapat bermanfaat
sebagai pendorong terwujudnya akuntabilitas dan transpar-
ansi dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara dan daerah. Sehingga tercapai cita-cita kita semua,
yakni pemerintahan yang bersih dan transparan demi ke-
makmuran rakyat, tutur Kalan.
Pemeriksaan atas Pertanggungjawaban Keuangan Penye-
lenggaraan Pilkadasung TA 2008 pada KPUD dan Panwas
Provinsi Jawa Barat itu sendiri dilaksanakan pada Semester
II TA 2008. Menurut sifatnya, Pemeriksaan atas Pertang-
gungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung TA
2008 ini termasuk Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
(PDTT).
Sebelumnya, dalam pidato sambutannya, Ketua KUPD
Provinsi Jawa Barat Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengung-
kapkan bahwa kerja KPU sekarang ini seperti ikan dalam
akuarium. Semua orang bisa melihat, semua aspek yang ada
dalam organisasi dan kinerja institusi mendapat sorotan
masyarakat. Ini dapat dijadikan indikasi akan semakin cer-
das dan semakin pedulinya masyarakat.
Menyikapi animo masyarakat tersebut, Ketua KPU san-
gat mengharapkan adanya kerja sama yang baik dengan
BPK RI. BPK RI diharapkan senantiasa berperan akrif
dalam mengawal proses-proses yang ada sehingga semua
dapat berjalan secara lebih baik dan akuntabel. KPUD
Provinsi Jabar ingin benar-benar bekerja secara profesional,
transparan dan akuntabel. Karenanya KPU ingin agar BPK
RI dapat mengawal kerja kami, menunjukkan mekanisme
yang benar, serta mengawasi setiap proses yang ada sehingga
semua berjalan secara tertata , transparan dan dapat diper-
tanggungjawabkan, kata Ketua KPUD.
Acara Acara Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan
Pilkadasung pada KPUD dan Panwas Provinsi Jawa Barat
tersebut diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan oleh
Ketua KPUD Provinsi Jabar kepada Kalan BPK RI Perwaki-
lan Provinsi Jabar.
BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat Serahkan
LHP Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung
0 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
0
Pos Penguasa Tunggal Era Lalu,
KEBUTUHKAN MASA KINI
OPINI
Oleh: Nurdin Nainggolan Itjen Departemen Dalam Negeri
S
ebagaimana dimaklumi Pasangan Kepala
Daerah adalah pejabat tertinggi di suatu Daerah.
Era lalu disebutkan sebagai administrator
Pemerintahan, Pembangunan dan kemasyarakatan.
Namun di era reformasi, segala sesuatu yang berbau
era Orde Baru perlu digusur. Padahal rezim Orde Baru
adalah perpanjangan tangan rezim sebelumnya. Begitu
juga kita harus menerima rezim reformasi, adalah
lanjutan episode rezim Orde Baru itu.
Sudah menjadi penyakit anak negeri ini,
mengalergikan segala sesuatu yang bernuansa dan
beraroma lama. Tanpa mempertimbangkan sesuatu
yang lama itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
yang baru. Bukankah sistem yang baru, tidak serta merta
mesti melindas sistem yang lama ?.
Di dalam APBD di masa lalu, disediakan pos anggaran
untuk Kepala Daerah Namanya Pos ..: Pos Penguasa
Tunggal. Di dalam pos ini disediakan kredit anggaran untuk
keperluan Kepala Daerah, yang tidak tertampung dalam
Pos-pos anggaran satuan Perangkat Daerah lainnya. Mata
anggaran ini dapat digunakan oleh Kepala Daerah dalam
menunjang tugas dan fungsinya sebagai orang Nomor satu
di Daerah itu.
Contoh penggunaan mata anggaran tersebut misal
digunakan untuk menjamu para anggota Muspida, dalam
kerangka membangun kerja sama di antara mereka di
NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

Daerah itu. Mata anggaran ini boleh juga digunakan


oleh Kepala Daerah untuk membantu Lembaga dan
Organisasi Sosial yang menurut KDH perlu dilakukan.
Boleh juga misalnya dari dana itu digunakan oleh sang
KDH untuk membantu seorang mantan Kepala Daerah,
atau pejabat senior di Daerah itu, yang mungkin berobat
lanjut ke kota lain di hari tuanya. Boleh juga digunakan
oleh Kepala Daerah, untuk membantu dan memberi dana
stimulan untuk Pembangunan Rumah Ibadah. Juga boleh
diberikan oleh pak Bupati kepada Panglima atau Kapolda
sesuatu yang bernilai dari dana itu, seperti souvenir untuk
kenang-kenangan. Memberian itu boleh jadi berasal
dari rekomendasi dan pertimbangan Komandan Kodim
atau Kapolres, yang menjadi mitra setia KDH. Dalam
menjaga keamanan dan ketentranan Daerah itu, pada saat
Pejabat tingkat Propinsi itu melakukan kunjungan kerja di
Daerah itu. Lebih gamblangnya lagi, dari dana itu boleh
digunakan untuk menjamu makan bersama, sejumlah
petinggi dari Jakarta yang berkunjung ke Daerah. Bahkan
dimungkinkan dana Penguasa Tunggal itu diberikan
untuk bantuan tiket untuk rekan-rekan wartawan lokal.
Mereka yang tergabung dalam PWI. Pada saat mengikuti
Musyawarah Regional di Ibukota Propinsi dan Nasional
di Jakarta atau kota lain. Begitu juga disisihkan sejumlah
jutaan rupiah untuk membantu organisasi masyarakat
lainnya seperti PMI, Organisasi Pensiunan Guru dan
Pramuka.
Apakah tidak pantas seorang Gubernur dalam
kapasitas selaku orang tua dan pemimpin, memberi
tambahan uang saku dari kewenangannya untuk para
teladan yang terpilih ikut merayakan 7 Agustus di Istana
Negara Jakarta. Pokoknya sangat luwes penggunaan
dana itu. Lalu pertanggungjawaban itu tidak perlu diutak
atik oleh aparat pengawasan ketika itu. Yang terpenting
dana itu digunakan oleh Kepala Daerah dalam rangka
menunjang tugas dan fungsinya sebagai orang nomor satu
di teritorinya.
Namun sejalan dengan era reformasi dan transparansi
dewasa ini, keran itu ditutup dan dilarang sesuai dengan
era serba terbuka ini. Pertanyaannya apakah era reformasi
sudah meninggalkan tuntutan kebutuhan seperti itu,
khususnya bagi Kepala Daerah masa kini. Itulah yang
menjadi pertanyaan kita dewasa ini. Apakah di era kini
seorang rakyat, tidak bisa lagi meminta bantuan langsung
dari tangan Pimpinan Daerahnya. Apakah tidak pantas
kalau seorang mantan Pendidik yang tua renta dibantu
oleh Kepala Daerah masa kini. Masih bolehkah Bupati
memberi dan membantu sejumlah uang kepada Tokoh
Masyarakat seperti mantan Ketua MUI dimasa lalu, untuk
berobat lanjut ke kota lain.
Semua pertanyaan ini menurut saya masih relevan
dengan posisi dan kondisi masyarakat kita masa kini.
Boleh juga pertanyaannya dirubah, apakah otomatis
masyarakat di Daerah tidak boleh lagi minta dikasihani
oleh Kepala Daerah masa kini. Apakah budaya tolong
menolong sudah diharamkan di era transparansi ini.
Lebih ekstrim lagi apakah era kini, sudah otomatis
membuat masyarakat kita jadi kaya raya, sehingga
tidak perlu dibantu oleh Kepala Daerah dalam tugasnya
selaku adminstrator kemasyarakatan. Bukankah menjadi
pertanyaan kita, mencari kehidupan masa lalu, justru
lebih mudah dari masa kini. Bukankah angka statistik
menunjukkan prosentasi masyarakat miskin kini lebih
tinggi, dibandingkan era Orba tahun itu.
Tentu semua pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab
oleh sistem ketatanegaraan kita. Seorang mantan Bupati
era lalu mengatakan ke saya begini, apakah sistem
pemilihan langsung KDH atau sistem perwakilan, atau
Kepala Daerah berasal dari Partai atau independen. Dapat
dipastikan bahwa segala pertanyaan yang berhubungan
dengan sistem ketatanegaraan kita akan bertemu dengan
persoalan kemasyarakatan, seperti yang kami alami era
lalu.
Cobalah anda tanyakan pasangan Gubernur, Bupati
dan Walikota yang lagi berkuasa kini. Apakah dana
Operasional seperti yang kami peroleh di masa lalu tidak
mereka butuhkan lagi masa kini, di dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya mengayomi rakyatnya. Jawabnya
tentu Kepala Daerah sekaranglah yang harus menjawab
dari hati nuraninya. Bukankah bagian dari Dana Penguasa
tunggal itu, diwujudnyatakan sebagai bagian pemenuhan
janji kampanye, sebelum naik tahta. Pertanyaan
besarnya, siapa yang pantas menjawabnya ? Menurut saya
bukan pengamat, bukan juga akademisi, apalagi oposan
dan para Tukang Demo bayaran dan amatiran yang suka
menghujat itu. Tentu para Kepala Daerah sekaranglah
yang menjawabnya. Terlepas pasangan itu berasal dari
Partainya yang dikatakan paling bersih sekali pun, pastilah
dia akan menghadapi dinamika masyarakat yang sama.
Mungkin hanya modus operandinya saja yang berbeda,
tetapi hakekatnya sama saja. Mereka itu adalah pasangan
Gubernur, Pasangan Bupati dan pasangan Walikota yang
saat ini sedang bertahta. Sukses untuk anda. (Nurdin.
Nainggolan)
2 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
2
P
aradigma di era reformasi banyak tertuju pada kata
profesionalisme. Hal ini mengandung makna ba-
hwa untuk mengejar ketertinggalan dari negara-
negara lain maka dituntut setiap orang untuk menjadi seo-
rang yang profesional.
Tuntutan untuk menjadi seorang profesional, menurut
pakar hukum Satjipto Rahardjo biasanya apabila kita bicara
tentang profesionalisme, kita hanya menyinggung aspeknya
yang lebih bersifat teknis. Memang profesionalisme men-
urutnya mengandung banyak muatan teknis, keahlian khu-
sus, keterampilan dan seterusnya. Tetapi, profesionalisme
seperti itu hanya akan menjadi alat yang mati apabila ti-
dak disertai atau dilengkapi dengan dimensi yang bersifat
moral. Lebih lanjut menurut pakar hukum tersebut, yang
dimaksud moral di sini adalah rasa empati, kepedulian, ko-
mitmen, dedikasi, tekad dan keberanian dalam menangani
suatu masalah. Untuk mencapai hal tersebut tidak dapat
diukur melalui pendekatan akademik. Rasanya tidak ber-
lebihan jika dikatakan bahwa kecerdasan intelektual men-
ghasilkan ilmu pengetahuan melalui pendidikan umum dan
dapat diukur melalui kecerdasan akademik dan hasilnya
pun mampu membuat rencana dan aturan yang baik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi tidak otomatis
mampu membangun sikap dan perilaku yang konsisten dan
disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan intelek-
tual, piawai dalam hal membangun konsep dan teori, tetapi
kurang memiliki energizer yang berfungsi sebagai kekuatan
pembangkit sikap dari perilaku manusia.
Pendekatan yang digunakan seorang profesional bia-
sanya lebih banyak menggunakan kecerdasan intelektual
yang bersumber dari dunia pendidikan, seperti Perguruan
Tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri dengan pre-
dikat akademik yang mempunyai kemampuan membuat
rencana, aturan yang baik, hanya saja sering tidak konsisten
dan tidak disiplin dan kelemahan seperti ini bersifat indif-
dual dan tidak merata, tetapi karena sudah berjalan cukup
lama, sehingga berkembang dalam bentuk yang lebih mem-
prihatinkan serta cenderung membudaya yang merasuki
kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita kembali men-
engok ke belakang di era kepemimpinan Soeharto orientasi
pembangunan fsik hasil tangan-tangan profesional yang
bersifat teknis mejadi andalan.
Hamid Awaludin mantan Menteri Kehakiman dan HAM
mengatakan, bahwa kebijakan Soeharto untuk mengukur
suatu keberhasilan harus dilihat dari angka kuantitas. Para-
digma hidup pun serta merta mengalami perubahan men-
dasar, pola hidup hedomistik seakan menjadi keharusan.
Tiap orang terasa baru sah sebagai warga Negara jika dalam
kehidupannya terdapat sederatan kepemilikan yang secara
kuantitas terbilang besar. Harga diri tiap orang lebih banyak
diukur dari apa yang dipunyai, sehingga status sosial seorang
tampak sekali ditakar dengan standar apa yang dimilikinya.
Ini adalah konsekuensi logis dari orientasi pembangunan
yang mengandalkan standar kesuksesan dengan takaran
jumlah, misalnya berapa gedung yang berhasil dibangun,
berapa kilometer jalan yang dibangun.
Jika demikian ukurannya maka tidak mengherankan di
era kepemimpinan Soeharto saya kira kita mengakui bahwa
keberhasilan pembangunan di bidang fsik cukup menon-
jol, dimana gedung-gedung perkantoran bertingkat berdiri
disetiap jalan protokol, pembangunan gedung-gedung per-
sekolahan, tempat peribadatan dan lain-lainnya termasuk
keberhasilan di dunia pendidikan begitu banyaknya orang
yang memiliki gelar kesarjanaan mulai dari S1, S2 dan S3,
namun kesemuanya ini belum menjamin keberhasilan
pembangunan manusia seutuhnya.
Semenjak negara kita ditimpa musibah berupa krisis
moneter pada tahun 1977 nampaknya sampai dengan seka-
rang belum dapat bangkit, dan menurut penelitian para
pakar ada tanda-tanda akan terjadi krisis moneter babak
kedua. Tentu hal ini akan terjadi jika para pengambil ke-
bijakan salah memutuskan, khususnya di bidang Sumber
Daya Manusia (SDM) dengan menempatkan orang pada
posisi-posisi yang vital hanya menggunakan pendekatan
kecerdasan intelektual semata, tanpa diimbangi dengan kec-
erdasan lainnya.
Jika melihat kondisi yang terjadi sekarang, dimana den-
gan terungkapnya satu demi satu kasus-kasus korupsi yang
dilakukan para Pejabat Pemerintahan, baik itu Pejabat
MENINGKATKAN PROFESIONALISME
MELALUI
PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI
DAN SPIRITUAL
MANAJEMEN
Oleh: La Ode Abadi Rere
NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII

daerah maupun Pejabat pusat, seperti kasus aliran dana


BI yang melibatkan para Pejabat Negara, kasus beberapa
Kepala Daerah dan Anggota DPRD yang menyalahgunakan
APBD, menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan
untuk menjalankan tugas yang dibebankan oleh Negara
nampaknya belum cukup hanya mendapat dukungan dari
kecerdasan intelektual, mengingat kecerdasan ini tidak
mengajarkan kepada manusia tentang integritas, kejujuran,
ketahanan mental, keadilan dan prinsip kepercayaan. Lain
dengan kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang hal
tersebut di atas.
Menurut Golmen seorang pakar di bidang psikologi
dalam bukunya Emotional Intelligence dikutip Ary Gi-
nanjar Agustian di samping manusia memiliki kecerdasan
intelektual juga memiliki kecerdasan emosional yaitu ke-
mampuan mengelola, mengendalikan, menetralisir potensi
emosi dalam hati manusia sehingga sisi positifnya selalu be-
rada dipermukaan dan sisi negatipnya selalu terkendali dan
dinetralisir. Dan kehebatan kecerdasan emosi menurut Gol-
men disimpulkan bahwa untuk mencapai sukses dibidang
bisnis dan kepemimpinan, kontribusi kecerdasan emosi
(EQ) mencapai 80% sedangkan kontribusi kecerdasan in-
telektual (IQ) maksimum hanya 20%. Untuk membangun
kecerdasan emosi yang ideal, dibutuhkan kecerdasan spir-
itual yang dapat menghadirkan energi ilahiyah dalam hati
manusia agar kekuatan emosi yang ada dalam hati manu-
sia dapat bersenyewa dengan nilai-nilai spiritual sehingga
mampu melahirkan kekuatan moral yang bersumber dari
suara hati nurani.
Kecerdasan spiritual diungkapkan oleh pakar Neuropsy-
hology yaitu Danah Zohar dan Iian Marshal pasangan sua-
mi istri, dalam bukunya berjudul Spritual Quotient (SQ),
mengacu pada hasil penelitian Michael Persinger dan VS
Ramchandran dikutip Ary Ginanjar Agustian dalam bukun-
ya Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ yang menjelaskan,
bahwa dalam otak manusia terdapat sebuah area yang selalu
bersinar apabila merenungkan atau mendiskusikan hal-hal
yang bersifat spiritual yang terletak disekitar lobus temporal
otak.
Kecerdasan spiritual sangat dibutuhkan dalam kehidupan
manusia, karena manusia adalah makhluk spiritual di samp-
ing makhluk biologis. Secara spiritual manusia mengemban
tanggung jawab moral yang cukup besar dalam mengelola
seluruh sisi kehidupan antara lain: tanggung jawab sebagai
hamba Allah, tanggung jawab sebagai makhluk sosial, tang-
gung jawab sebagai individu, tanggung jawab sebagai warga
Negara, dan tanggung jawab pada ekosistem
Dalam UUD Tahun 1945 dengan jelas mengamanatkan
bahwa, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
suatu sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencer-
daskan kehidupan bangsa.
Untuk mewujudkan amanat dimaksud di atas, DPR
bersama-sama Pemerintah telah mensahkan Undang-un-
dang Republik Indonensia No.20 Tahun 2003 tentang Sis-
tem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan tujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manu-
sia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,kreatif,mandiri
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertang-
gung jawab.
Berdasarkan rumusan tujuan pendidikan nasional terse-
but, nampak dengan jelas bahwa iman dan taqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia/budi pekerti luhur
sangat diutamakan dalam tujuan pendidikan nasional.
Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
akhlak mulia/budi pekerti luhur berbentuk sikap dan peri-
laku seseorang yang didorong oleh energi positip yang ber-
sumber dari emosional spiritual quotient dalam upaya mem-
bangun hubungan vertical dengan Tuhan Yang Maha Esa
dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (Interaksi
Sosial).
Namun yang disayangkan adalah dunia pendidikan yang
ada di Republik yang tercinta ini dimana kurikulumnya leb-
ih fokus pada pengembangan kualitas/kecerdasan intelektu-
al sementara kecerdasan emosi dan spiritual masih kurang
disentuh dan bahkan hampir tidak tersentuh sama sekali,
akibatnya pertumbuhan iman dan taqwa dan akhlak yang
mulia menjadi sangat kerdil yang berdampak pada rendah-
nya moral bangsa dimata dunia.
Langkah yang perlu dilakukan Pemerintah dalam upaya
meningkatkan profesionalisme aparat pemerintahan yang
dilandasi moral idealnya dimulai pembenahan dilingkun-
gan unit kerja yang membidangi SDM dan Pusat Pendidikan
Pelatihan (Pusdiklat) yang ada di setiap Instansi Pemerintah
mengingat penempatan SDM dan kurikulum pendidikan
nasional dewasa ini, lebih fokus pada pengembangan kuali-
tas/kecerdasan intelektual.
Melalui unit kerja SDM/Pusdiklat perlu memperhatikan
yang terkait dengan budaya kerja para aparat birokrasi, seh-
ingga tercipta jiwa pengabdian terhadap kepentingan bangsa
dan negara. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Republik
Indonesia dalam Pidato kenegaraan di depan rapat paripur-
na DPR tanggal 16 Agustus 2006, menegaskan bahwa refor-
masi birokrasi dilakukan secara menyeluruh, yakni meliputi
kelembagaan, manajemen, organisasi dan SDM.
Dalam konteks SDM menurut Presiden fokus perhatian
jangan hanya menyoal kualitas, akan tetapi yang juga san-
gat penting adalah budaya kerja para aparat birokrasi itu
sendiri. Buruknya citra birokrasi dimata publik selama ini
sesungguhnya lebih banyak diakibatkan persolan tersebut.
Lebih lanjut menurut Presiden, salah satu hal yang paling
banyak mendapat sorotan publik sejak orde baru hingga
kini adalah budaya kerja tadi yang memengaruhi kualitas
pelayanan kepada publik. Persoalan seperti kerja yang tidak
mengikuti aturan dan sistem, kerja yang lamban, berbelit-
belit, tertutup dan terutama adanya pungutan atau biaya
siluman, seolah sudah sedemikian melekat dengan dunia
birokrasi kita.
Mengenai hal di atas sudah pernah diperingatkan oleh
Kwiek Kian Gie, bahwa indikasi kegagalan reformasi bi-
4 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
4
rokrasi tercermin dari masih tinggingya penyalahgunaan
kewenangan dalam bentuk merebaknya tindak pidana
korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN).
Sinyalemen dari Kwiek tersebut jika dikaitkan dengan
peningkatan SDM dilingkungan PNS sebenarnya tidak perlu
terjadi karena dalam Undang-undang tentang Pokok-pokok
Kepegawaian yang mengatur tentang SDM dilingkungan
pemerintah dan aturan pelaksanaannya sudah cukup banyak
mengatur mengenai yang terkait dengan profesional, jujur,
adil, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan
Negara. Namun kelihatannya semangat/jiwa yang dimiliki
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU kepegawa-
ian belum dapat membawa hasil yang diharapkan sampai
sekarang dan hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan intele-
ktual atau kecerdasan akademik belum dapat menciptakan
SDM yang benar-benar berprestasi secara nyata dapat mem-
perbaiki sistem pengelolaan kelembagaan, manajemen dan
orgaisasi/SDM dilingkungan pemerintahan. Demikian pula
peranan Diklat yang berada di setiap instansi belum dapat
memperbaiki citra aparatur yang bersih dari KKN
Hal ini bisa terjadi karena pada umumnya kebijakan
yang diambil sering tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan juga lebih terfokus pada penggunaan hukum
yang berlandaskan sistem hukum di Indonesia yang masih
berpegang pada aliran positivisme dengan hanya mengan-
dalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-posi-
tivistis yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka.
Padahal menurut Achmad Ali dalam bukunya keterpuru-
kan hukum di Indonesia menjelaskan bahwa orang-orang
Amerika yang berpikir sekuler saja, kini telah berteriak:
kembalikan hukum ke akar moralitas, kultural, dan religius-
nya. Orang-orang Amerika yang berpikir the critical legal
studies movement, mengecam formalisme dan prosedural
yang ditonjolkan selama ini dalam law enforcement.
Lebih lanjut menurutnya, orang Amerika sekarang se-
dang berjuang agar hukum dapat dikembalikan pada akar
moralitasnya, akar kulturalnya, dan akar religiusnya. Sebab,
hanya itu cocok dengan nilai-nilai intrinsic yang mereka
anut. Sepanjang aturan hukum yang ada tidak sesuai dengan
nilai-nilai intrinsic warga masyarakat, maka ketaatan hu-
kum yang muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat
compliance (taat hanya karena takut sanksi) dan bukan ke-
taatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar
menganggap aturan hukum itu cocok dengan nilai intrinsic
yang dianutnya).
Untuk mewujudkan seperti apa yang dikehendaki Presi-
den Republik Indonesia dan orang-orang Amerika tersebut,
bagi rakyat Indonesia sebenarnya bukan suatu hal yang
harus dipersoalkan mengingat landasan hukum Negara kita
sudah mencerminkan hukum kita pada agama dan mo-
ral, yakni sebagaimana yang terdapat pada setiap Undang-
undang wajib hukumnya didahului dengan penyebutan
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden dengan
persetujuan DPR memutuskan, menetapkan UU. Penyebu-
tan dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap
UU jangan dimaknai hanya merupakan persyaratan formal,
namun kandungannya mewajibakan kepada pembentukan
UU, Pelaksana UU dan pengguna UU untuk menggunakan
UU dimaksud dengan pendekatan mata hati sebagai radar
agar tercipta rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatannya
atas kehadiran UU dimaksud dan hal ini hanya terdapat
dalam dunia kecerdasan spiritual.
Mata hati sebagai radar atau pengendali terhadap tan-
tangan yang terdapat dalam diri manusia, yaitu tantangan
yang bersumber dari gaya-gaya atau tabiat yang dimiliki
manusia karena pengaruh setan dan gaya-gaya atau tabiat
yang dimiliki manusia karena pengaruh yang bersumber
dari Illahi yang merupakan ftrah. Kedua gaya atau tabiat
tersebut selalu bergejola sepanjang kehidupan manusia, dan
pada saat-saat kita manusia menghadapi suatu persoalan
atau pada saat untuk memutuskan sesuatu jalannya piki-
ran yang timbul sehubungan dengan tuntutan dalam ling-
kungan kehidupan, tanpa disadari bahwa keputusan yang
diambil sebenanrnya sangat dipengaruhi oleh kedua gaya
atau tabiat dimaksud, sehingga tidak mengherankan bila
pengaruh dari gaya atau tabiat yang bersumber dari setan
lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan maka
dapat dipastikan hasilnya merugikan diri sendiri atau orang
lain, atau dengan kata lain tidak sesuai dengan tuntutan
moral, agama dan ketentuan pemerintah. Sebaliknya jika
pengambilan keputusan didasarkan atas pengaruh dari gaya
atau tabiat yang dimilki manusia karena pengaruh Illahi
(ftrah) maka dipastikan hasilnya membawa pengaruh pada
tatanam kehidupan yang dicita-citakan bangsa indonesia
yaitu kemakmuran, kesejahteraan dalam keadilan.
Permasalahanya adalah kapan diketahui adanya penga-
ruh dari kedua gaya atau tabiat dimaksud terhadap kondisi
diri pribadi manusia.
Mata hati merupakan radar atau pengendali dalam setiap
kita melakukan aktivitas dan hal ini dapat dirasakan mana-
kala kita dalam keadaan mawas diri atau intropeksi diri ter-
hadap suatu peristiwa atau tindakan yang terjadi pada diri
kita sendiri, karena dalam diri selalu dipengaruhi oleh dua
gaya atau tabiat dimaksud yang bergerak secara terus mene-
rus sepanjang dalam kehidupan manusia dan kedua kekua-
tan ini sangat mempengaruhi aktivitas kehidupan manusia
dimuka bumi ini, sehingga apa yang kita lihat semua keja-
dian baik yang membawa manfaat buat umat manusia atau
yang mengakibatkan kesengsaraan umat manusia dimuka
bumi ini tidak lain karena pengaruh dari gesekan dua ke-
kuatan di atas. Jika pada saat tertentu kita dihadapkan suatu
dilema kehidupan yaitu pemenuhan tuntutan kebutuhan
materi untuk memperkaya keluarga disatu pihak, namun
dipihak lain cara pemenuhan kebutuhan dimaksud berten-
tangan dengan ketentuan alam maupun ketentuan sosial,
maka dalam kondisi yang demikian akan terjadi peperangan
dalam diri kita antara jiwa yang dipengaruhi oleh sifat/gaya/
tabiat yang dipengaruhi setan dan sifat/gaya/tabiat asli yang
ftrah bersumber dari Allah. Dan peperangan yang terjadi
dalam diri manusia dimaksud lebih banyak manusia tidak
menyadari akan kejadiannya, dan tidak heran keputusan
yang diambil lebih dominan untuk berbuat atas pengaruh
5 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
5
dari gaya yang bersumber dari setan, sehingga tindakan un-
tuk memperkaya keluarga dengan melanggar aturan tidak
dapat dielakan.
Menghadapi kondisi yang demikian bagi umat manusia,
khususnya umat yang beragama Islam patut selalu dituntut
untuk kembali kepada enam prinsip yang terdapat dalam
Rukun Iman dan lima penetapan misi yang terdapat Rukun
Islam sebagaimana dijelaskan Ary Ginanjar Agustian dalam
bukunya yang sangat terkenal (best seller) dengan judul Ra-
hasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual
berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam.
Adapun Rukun Iman mengandung 6 prinsip yaitu per-
tama Iman kepada Allah mengandung prinsip melahirkan
kepercayaan diri, integritas, kebijaksanaan dan motivasi,
kedua Iman kepada Malaikat mengandung prinsip bahwa
seseorang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang
kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi,
suka menolong dan memiliki sikap, ketiga Iman kepada
Nabi dan Rasul mengandung prinsip kepemimpinan sejati
berlandaskan hati yang ftrah, yaitu seorang yang selalu men-
cintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia
dicintai. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten serta
selalu membimbing dan mengajari pengikutnya, keempat
Iman kepada Alquran mengandung prinsip pembelajaran,
yaitu memiliki kebiasaan membaca buku, membaca situasi
dengan cermat, selalu berfkir kritis dan mendalam, selalu
mengevaluasi pemikirannya kembali, bersikap terbuka untuk
mengadakan penyempurnaan, memiliki pedoman yang kuat
dalam belajar, yaitu berpegang hanya kepada Allah SWT,
kelima Iman kepada Hari Kemudian mengandung prinsip
masa depan, yaitu selalu berorientasi pada tujuan akhir da-
lam setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah
secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri
dan sosial, karena telah memiliki kesadaran akan adanya
Hari Pembalasan, keenam Iman kepada ketentuan Allah
mengandung prinsip keteraturan, yaitu memiliki kesadaran,
ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena pengeta-
huan akan kepastian hukum alam dan hukum sosial, selalu
berorientasi pada pembentukan sistem dan selalu berupaya
menjaga sistem yang telah terbentuk.
Dan selanjutnya dalam Rukun Islam mempunyai 5
(misi) yaitu pertama misi Syahadat akan membangun
suatu keyakinan dalam berusaha, akan menciptakan suatu
daya dorong dalam upaya mencapai suatu tujuan, akan
membangkitkan keberanian dan optimisme, sekaligus men-
ciptakan ketenangan batiniah dan menjalankan misi hidup,
kedua misi Shalat merupakan pembangunan karakter, yaitu
suatu metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar
tetap memiliki cara berfkir yang ftrah, sebagai metode yang
dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spritual secara
terus menerus, untuk terus mengasah dan mempertajam
ESQ yang diperoleh dari Rukun Iman, ketiga misi Puasa
merupakan pengedalian diri, yaitu suatu metode pelatihan
untuk pengendalian diri, untuk meraih kemerdekaan sejati,
dan pembebasan diri dari belengu nafsu yang tak terken-
dali. Disamping itu puasa bertujuan untuk mengendalikan
suasana hati, keempat misi Zakat adalah langkah nyata
membangun suatu landasan yang kokoh guna membangun
sebuah sinergi yang kuat, yaitu berlandaskan sikap empati,
kepercayaan, sikap koperatif, keterbukaan dan kredibilitas,
kelima misi Haji merupakan aplikasi total, yaitu suatu trans-
formasi prinsip dan langkah secara total (Tawaf ) konsisten
dan presistensi perjuangan (Sa i), evaluasi dari prinsip dan
langkah yang telah dibuat, dan visualisasi masa depan mela-
lui prinsip berfkir dan cara melangkah yang ftra (Wukuf ),
dan haji adalah persiapan fsik serta mental dalam men-
ghadapi berbagai tantangan masa depan (lontar jumrah)
Keenam prinsip yang terdapat dalam Rukun Iman dan
lima misi yang terdapat dalam Rukun Islam pada prinsip-
nya sangat didambahkan bagi umat manusia dimuka bumi
ini, tentu tidak diperoleh melalui pendekatan kecerdasan
Intelektual, akan tetapi hanya terdapat melalui pendeka-
tan kecerdasan emosional dan spritual. Namun kecerdasan
spritual dapat berfungsi optimal bila bersenyawa dengan
seluruh jenis kecerdasan yaitu: Kecerdasan Intelektual(IQ),
Kecerdasan Emosi (EQ) dan menurut pendapat sebagian
Pakar, di sinilah letak kebenaran slogan yang berbunyi
Ilmu tanpa Iman Lumpuh dan Iman tanpa Ilmu Buta.
Selama ini penilaian kita terhadap SDM hanya di-
pusatkan pada kecerdasan intelektual atau kecerdasan
akademik, tetapi fakta telah membuktikan sebagaimana
tersebut di atas, bahwa kecerdasan intelektual atau kecerdas-
an akademik belum menjamin keberhasilan pembangunan
manusia seutuhnya
Sehubungan dengan uraian di atas, maka dibutuhkan
sebuah model pengembangan kualitas SDM yang profe-
sional yang memadukan seluruh jenis kecerdasan yang ada
pada diri manusia. Pengembangan seluruh potensi kecer-
dasan tersebut diharapkan dapat menghasilkan SDM yang
profesioanal dan insyaallah menjadi panutan di masyarakat
untuk membangun tatanan sosial yang aman dan sejahtera
yang diridhai Allah SWT
Masalahnya selama ini menurut Kadir Gani, Direktur
SDM pada Badan Kerja Sama Pembangunan Regional Su-
lawesi (BKPRS) , dakwah Islam seringkali lebih bersifat rit-
ual oriented dan cenderung mengabaikan spritual oriented
karena kebanyakan penceramah kurang mampu mendalami
dimensi spritual dan hal ini mengakibatkan kedangkalan
spritual dalam kehidupan beragama
Selanjutnya menurut Kadir Gani, bahwa kelemahan ini
harus segera diatasi dengan jalan memancarkan nilai-nilai
spritual dalam wahana ritualitas dan spritualitas menjadi se-
buah sinergi yang islami. Sehubungan dengan itu, perlu diu-
payakan untuk membangun jiwa profesional yang bersumber
dari kecerdasan emosi dan spritual melalui kerja sama den-
gan lembaga-lembaga keagamaan karena kecerdasan emosi
dan spritual merupakan ruh dari pada ritualitas keagamaan.
Sinergi antara spritualitas dan ritualitas bagaikan perpaduan
jiwa dan raga manusia yang harus dipelihara terus menerus
dalam upaya menggapai ridha Allah SWT.I*
6 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
6
Jakarta, Senin (2 Februari 2009) Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia meluncurkan tampilan web-
site BPK yang baru dan memberikan penghargaan bagi
karya jurnalistik para jurnalis media cetak. Dua kegiatan
ini merupakan rangkaian kegiatan untuk memperingati
usia BPK RI yang ke-62. Rangkaian ini telah dimulai den-
gan upacara dan syukuran secara sederhana, pemberian
penghargaan kepada institusi pemerintah pusat dan daerah
atas prestasi tata kelola keuangan negara, peluncuran buku
BPK Menunaikan Amanat Konstitusi, dilanjutkan den-
gan acara kekeluargaan, seminar dan diskusi tentang tata
kelola keuangan negara yang baik, serta media workshop
Reformasi Birokrasi pada Januari lalu.
Peringatan 62 tahun BPK dimanfaatkan sebagai momen-
tum untuk meningkatkan upaya bersama untuk terus men-
dorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas pengelo-
laan keuangan negara. Peluncuran tampilan website baru
BPK dan penghargaan bagi karya jurnalistik menjadi bagian
dalam peran BPK dalam mendorong terciptanya pemerinta-
han yang bersih dan transparan.
Website BPK yang baru tampil dengan layanan navigasi
yang lebih mudah dan lebih lengkap untuk diakses oleh
publik. Website dapat diakses pada alamat www.bpk.go.id.
BPK telah beberapa tahun ini memiliki dan mengelola
website yang digunakan untuk menyajikan semua informasi
kegiatan dan hasil pemeriksaan BPK secara transparan. Di-
harapkan, informasi yang telah disajikan dalam website da-
pat diketahui masyarakat dan stakeholders secara cepat dan
akurat, ujar Wakil Ketua BPK, Abdullah Zainie.
Website edisi baru ini menyajikan berbagai data dan
informasi yang lebih mudah diakses oleh berbagai pihak
dan pengguna. Komentar, kritik, saran maupun pengaduan
dimungkinkan oleh ftur yang ada dalam website ini. Data
dan informasi yang dapat diakses antara lain struktur organ-
isasi, Kantor Perwakilan, Kasus Aktual, Siaran Pers, Produk
Hukum BPK, Pengumuman, hasil peer review, berita-berita
kegiatan yang diselenggarakan oleh BPK serta capaian yang
diperoleh dari berbagai kegiatan tersebut dan lain sebagain-
ya.
Peluncuran website dilanjutkan dengan pengumuman
pemenang penghargaan karya jurnalistik BPK. Lomba yang
mulai diumumkan pada akhir November 2008 melalui
website BPK RI ini terdiri atas dua ketagori, yaitu kategori
editorial dan kategori pemberitaan. BPK RI menerima 141
karya jurnalistik dari jurnalis media cetak. Tulisan yang
dilombakan adalah karya jurnalistik mengenai BPK dalam
kurun waktu 1 Januari s.d. 15 Desember 2008.
Bertindak sebagai dewan juri adalah Ade Armando (Satu
Comm), Farid Gaban (Yayasan Pena Indonesia/Jurnalis), dan
B. Dwita Pradana (BPK RI). Setelah melalui proses penila-
ian, maka diputuskan pemenang penghargaan dari kategori
editorial adalah: Juara I, Koran Tempo dengan judul artikel
Repotnya mengaudit Mahkamah Agung (28 April 2008);
Juara II, Media Indonesia dengan judul artikel Mengikis
Ruang Gelap Keuangan Negara (7 Juli 2008); Juara III,
Jurnal Nasional dengan judul artikel Bersama Membenahi
Kualitas Laporan keuangan
Sedangkan pemenang pengghargaan dari kategori pem-
beritaan adalah: Juara I, Suhartono dari Harian KOMPAS
(Biaya Perkara: Pangkal Perang BPK Vs MA). Juara II,
Peluncuran Website BPK
dan
Pemberian Penghargaan Karya Jurnalistik 2009
BPK Tegakkan Pemerintahan yang Bersih dan Transparan
7 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
7
Rahmat Wibisono dari Harian SOLO POS (Menyoroti LHP
BPK 2008 (Bagian I-III)). Juara III, Nasrul Azwar dari Tab-
loid METRO-Bangka Belitung (Laporan Tabloid METRO
Bangka Belitung Edisi XXXII/Tahun I/Minggu I/Mei 2008:
Temuan BPK tentang Posisi Aset Bangka Tengah). Juara
Harapan I, Jaini dari RADAR SURABAYA (BPK, Kekua-
tan Baru Penegakan Hukum di Indonesia). Juara Harapan
II, Prayogo P. Harto dari HARIAN EKONOMI NERACA
(Rehabilitasi BPK (Semoga) Bukan Basa Basi). Juara Hara-
pan III, Deddy Rachmawan dari Jambi Independen (Suka-
Duka Auditor BPK ketika Menjalankan Tugas: Sering Di-
gerutui Pegawai Pemda Ketika Minta Data).
KRITERIA PENILAIAN
Komponen-komponen tulisan yang dinilai:
Substansi
Karya jurnalistik tersebut secara baik menyam-
paikan isu-isu tentang peran BPK dalam upaya
membangun penegakan transparansi dan akunta-
bilitas pengelolaan keuangan negara secara baik dan
benar.
Karya tersebut tidak sekadar menampilkan infor-
masi secara sepotong-sepotong, parsial, kasuistik
namun informasi tersebut disajikan secara men-
dalam dan ditempatkan dalam konteks transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara se-
cara luas.
Akurasi
Karya jurnalistik tersebut ditulis secara akurat dan
tidak mengandung istilah-istilah yang salah, data
yang salah, atau bahkan logika yang salah.
Karya tersebut tidak mengandung kesalahan-ke-
salahan elementer, seperti salah ketik, salah tanda
baca, dan semacamnya.
Cara Penulisan
Karya jurnalistik tersebut ditulis dengan gaya pe-
nulisan yang enak dibaca, tidak rumit, simpel, tan-
pa mengabaikan kedalaman substansi.
Karya jurnalistik tersebut tidak hanya mengand-
alkan satu sumber informasi saja (misalnya siaran
pers), namun beragam sumber untuk menjaga ke-
berimbangan.
Karya jurnalistik tersebut memenuhi prinsip fair
dan objective.
BERITA DUKA
Telah Berpulang ke Rahmatullah :
Ibu Nunijati Syarif Thayeb (78 Tahun)
Ibu Mertua Prof. Dr. Anwar Nasution
Pada hari Rabu, tanggal 18 Februari 2009 pukul 14.00 WIB di Rumah Duka Jl. Jenggala II No. 6 B, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan.
Jenazah telah dimakamkan pada hari Kamis, tanggal 19 Februari 2009 pukul 10.00 WIB di TPU Karet Bivak
Pejompongan, Jakarta.
Kami atas nama keluarga besar Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia mengucapkan turut berduka
cita yang sedalam-dalamnya. Semoga almarhumah mendapat tempat yang mulia di sisi Allah SWT, dan kepada
keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan iman. Amin.
Demikian untuk diketahui.
8 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
8
K
urun waktu 62 tahun perjalanan BPK RI tentu
bukan waktu yang singkat. Dari kurun waktu
62 tahun tersebut, perkembangan sepanjang em-
pat tahun terakhir tentu yang paling signifkan. Mengapa?
Selama kurun empat tahun terakhir, yang ditandai dengan
lahirnya paket undang-undang di bidang keuangan negara,
BPK RI berkembang menjadi organisasi yang besar dan
dengan kewenangan dan tanggung jawab yang besar pula.
Hal ini tentu tidak lepas dari tuntutan masyarakat akan
praktik penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good gov-
ernment governance). Tuntutan ini pula yang menggulirkan
bola reformasi birokrasi.
Bersama lima instansi pemerintah lainnya, BPK RI men-
jalankan program reformasi birokrasi. Program reformasi bi-
rokrasi menuntut perubahan berbagai aspek kinerja. Sejalan
dengan program reformasi birokrasi tersebut, BPK RI telah
memiliki rencana strategis (renstra) mulai dari Tahun Ang-
garan 2006-2010. Renstra tersebut antara lain berisikan visi,
misi, dan sasaran-sasaran strategis yang ingin dicapai oleh
BPK RI dalam kurun waktu empat tahun tersebut. Sebagai
implementasi dari renstra tersebut maka pada tahun 2008
dicanangkan sistem manajemen kinerja (SIMAK) dengan
menggunakan pendekatan balanced scorecard.
Secara umum, pencapaian kinerja menurut balanced
scorecard dapat didekati melalui empat perspektif: (1) keuan-
gan (fnancial); (2) pelanggan (customer); (3) proses bisnis
internal (internal business process); dan (4) pembelajaran dan
pertumbuhan (learning and growth).
Sementara itu, karakter yang berbeda antara sektor pub-
lik dan swasta mungkin yang menjadikan peta strategis di
BPK RI dibagi menjadi tiga perspektif:
1) memenuhi harapan pemangku kepentingan (fulfling
stakeholders expectation);
2) penggerak strategis (strategic drivers); dan
3) sumber daya dan aset tidak nyata (intangible assets
and resources).
Meskipun demikian, apabila ditinjau secara sek-
sama maka keempat perspektif sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya (keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan)
melekat pada peta strategis tersebut.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak para pem-
baca sekalian untuk mencermati proses bisnis internal
di BPK RI pasca implementasi SIMAK selama satu
tahun ini. Mengapa hal ini menjadi penting? Bagaim-
REFORMASI BIROKRASI,
REKAYASA ULANG PROSES BISNIS,
DAN MAKSIMALISASI POTENSI
TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
OPINI
Oleh: Yusuf Setiawan Syukur
anapun juga bola reformasi birokrasi akan semakin
bergulir kencang. Pada tahun 2009 ini, kita akan men-
yambut lahirnya UU Administrasi Pemerintahan
1
. UU
ini merupakan konkretisasi asas-asas penyelenggaraan
administrasi pemerintahan yang baik ke dalam norma
hukum yang mengikat
2
. Lebih jauh, UU ini diarahkan
untuk mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nep-
otisme melalui upaya penataan birokrasi yang baik,
transparan, dan efsien. Oleh karena itu, apabila BPK
RI ingin tetap konsisten dengan slogannya: New BPK
RI: Leading by Example, atau dengan kata lain, menjadi
suri teladan bagi instansi pemerintahan lainnya (lead-
ing by example) maka perbaikan proses bisnis internal
menjadi penting.
Mengkaji Kembali Proses Bisnis dan Maksimal-
isasi Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi
Apa kira-kira tanggapan masyarakat ketika ditan-
yakan pengalamannya pada saat berurusan dengan
aparat pemerintahan atau birokrasi? Sudah dapat dite-
bak, pasti jawabannya antara lain tidak memuaskan,
prosedurnya berbelit-belit, banyak pungutan liar di
sana-sini, lama alias lambat. Itulah stigma yang melekat
pada masyarakat tentang administrasi pemerintahan
kita. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
Hal di atas terjadi antara lain karena banyak aktivitas
yang tidak memberikan nilai tambah (non-value added
activities) pada mata rantai proses bisnis penyelengga-
raan pemerintahan kita. Aktivitas yang tidak memberi-
kan nilai tambah itu antara lain aktivitas yang sifatnya
pemindahtanganan (hand-ofs), penelahaan (review),
dan pengerjaan ulang (rework). Lebih jauh, banyak
proses bisnis pada instansi pemerintahan kita berakar
Selain UU tentang Administrasi Pemerintahan, masih ada tujuh UU lagi
untuk mengawal reformasi birokrasi. Ketujuh UU itu adalah UU tentang
Pelayanan Publik, UU tentang Etika Penyelenggaraan Negara, UU tentang
Kepegawaian Negara, UU tentang Tata Hubungan Pusat dan Daerah, UU
tentang Pengawasan Nasional, UU Kementerian dan Kementerian Negara, UU
tentang Pelayanan Nirlaba.
2 Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik menurut RUU ini
adalah asas kepastian hukum, keseimbangan, kesamaan, kecermatan, motivasi,
tidak melampaui dan atau mencampuradukkan kewenangan, bertindak yang
wajar, keadilan, kewajaran dan kepatutan, menanggapi pengharapan yang wa-
jar atau asas menepati janji, meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang
batal atau dibatalkan, perlindungan atas pandangan hidup dan/atau kehidupan
pribadi, tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, kepentingan umum, efisiensi,
dan efektifitas.
9 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
9
dari masa lampau di mana pada saat proses tersebut
dirancang belum mempertimbangkan kemampuan
dan potensi teknologi informasi dan komunikasi pada
masa kini. Sementara itu, perkembangan teknologi in-
formasi dan komunikasi hingga mencapai bentuknya
pada saat ini dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan
proses bisnis yang lebih efsien.
Terlepas dari kemampuan teknologi informasi dan
komunikasi dalam menghadirkan proses bisnis yang
lebih efsien, perlu dicatat dalam benak kita bahwa in-
vestasi atau akuisisi teknologi informasi dan komuni-
kasi tanpa melakukan kajian terlebih dahulu mengenai
proses bisnis yang terbaik (dengan mempertimbangkan
maksimisasi potensi teknologi informasi dan komuni-
kasi) adalah keputusan investasi yang buruk
3
. Menga-
pa? Sederhana saja, mengotomasi (automating) proses
yang tidak efsien hanya akan memberikan perubahan
yang kurang berarti dalam peningkatan kinerja. Se-
cara keseluruhan, Peraga 1 memperlihatkan hubungan
antara misi organisasi dengan teknologi informasi dan
komunikasi. Pada peraga tersebut juga terlihat bagaim-
ana peran teknologi informasi dan komunikasi dalam
mendukung misi organisasi.
Peraga 1. Hubungan antara misi dan proses kerja terha-
dap teknologi informasi.
Masalah investasi atau akuisisi atas teknologi informasi dan komunikasi
pada instansi pemerintahan juga sudah diidentifikasi oleh Kementerian
Komunikasi dan Informatika melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika No. /PER/MEN.KOMINFO//007 tentang Panduan Umum
Tata Kelola Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional. Sementara di
Amerika Serikat, Clinger-Cohen Act mengharuskan setiap instansi pemer-
intahan untuk mengkaji terlebih dahulu proses bisnis yang terbaik sebelum
keputusan investasi atas teknologi informasi dan komunikasi dalam jumlah
yang signifikan diambil.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam rangka
memperoleh proses bisnis yang terbaik adalah dengan
melakukan rekayasa ulang proses bisnis (business process
reengineering) secara menyeluruh pada organisasi yang ber-
sangkutan. Kegiatan ini dimulai dari tingkat yang paling
atas, yaitu dengan melakukan kajian terhadap misi organ-
isasi, sasaran-sasaran strategis, dan kebutuhan pelanggan.
Pertanyaan-pertanyaan dasar seperti Apakah misi kita perlu
didefnisikan ulang? Apakah sasaran-sasaran strategis kita
sejalan dengan misi kita? Siapa pelanggan kita? mungkin
perlu diajukan kembali.
Setelah memperoleh apa yang seharusnya dilakukan oleh
organisasi maka selanjutnya adalah memikirkan bagaimana
cara terbaik untuk melakukan hal tersebut. Sampai pada ta-
hap ini, rekayasa ulang memfokuskan pada proses bisnis or-
ganisasi, yaitu langkah-langkah dan prosedur-prosedur yang
mengatur bagaimana sumber daya digunakan untuk men-
ciptakan produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan pe-
langgan
4
. Sebagai suatu susunan yang terstruktur mengenai
langkah-langkah kerja lintas waktu dan tempat, suatu proses
bisnis dapat diuraikan menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih
spesifk, diukur, dimodelkan, dan diperbaiki. Proses bisnis
tersebut dapat dirancang ulang sepenuhnya atau dihilang-
kan semuanya.
Rekayasa ulang mengidentifkasi, menganalisis, dan
merancang ulang proses bisnis suatu organisasi dengan tu-
juan untuk memperoleh peningkatan yang dramatis dalam
ukuran kinerja yang utama, seperti biaya, kualitas, layanan,
dan kecepatan. Meskipun demikian, ada kalanya perbaikan
atau optimisasi fungsi adalah metode yang dipilih mengin-
gat proses tersebut pada dasarnya sudah baik atau bisa pula
karena organisasi tersebut tidak siap untuk menjalankan pe-
rubahan yang dramatis.
Proses Komunikasi Melalui Nota Dinas: Suatu Studi
Kasus
Saya ingin mengambil suatu studi kasus mengenai pros-
es komunikasi secara tertulis melalui nota dinas di antara
pejabat (satuan kerja) eselon dua untuk kita cermati bersa-
ma. Meskipun demikian, proses ini mungkin bisa bervariasi
bergantung pada kebijakan masing-masing pemegang jaba-
tan. Peraga 2 memperlihatkan proses komunikasi tersebut.
Pada peraga tersebut, proses diawali dari inisiatif pejabat
eselon tiga pada satuan kerja A. Pejabat eselon tiga tersebut
meminta stafnya untuk membuat konsep nota dinas dari
satuan kerja A ke satuan kerja B.
Pada Peraga 2 dapat kita lihat bahwa keseluruhan proses
mulai dari pembuatan nota dinas hingga nota dinas jawa-
ban tersebut diperoleh terdiri atas 22 langkah atau aktivitas.
Secara rinci, proses pembuatan nota dinas sampai dengan
nota dinas tersebut dikirim dari satuan kerja A terdiri atas
8 aktivitas dengan perkiraan waktu penyelesaian (lead time)
29 menit. Sementara itu, proses penerimaan nota dinas dari
satuan kerja A sampai dengan nota dinas jawaban tersebut
Langkah-langkah yang lebih sistematis mengenai kajian untuk kemungkinan
rekayasa ulang proses bisnis dapat dilihat pada publikasi GAO yang berjudul
Business Process Reengineering Assessment Guide.

Melaksanakan
Mempertimbangkan
Menggunakan Memproses
Mendukung
Mengarahkan
Merampungkan Merumuskan
Misi
Proses Kerja
Keputusan
Informasi
Teknologi
40 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
40
dikirim dari satuan kerja B terdiri atas 14 aktivitas dengan
perkiraan waktu penyelesaian 67 menit.
Dari ke-22 aktivitas tersebut, sebenarnya hanya 2 ak-
tivitas yang memiliki nilai tambah, yaitu aktivitas ke-2 dan
ke-16. Sementara itu, 20 aktivitas lainnya hanya merupa-
kan aktivitas pemindahtanganan, pemeriksaan (inspeksi),
dan pengerjaan ulang, sehingga tidak memiliki nilai tam-
bah. Dalam jangka panjang, aktivitas-aktivitas yang tidak
memiliki nilai tambah harus dihilangkan karena aktivitas
semacam ini merupakan pemborosan sumber daya. Misal-
kan secara rata-rata, setiap konsep nota dinas yang dibuat
memerlukan dua kali naik cetak hingga konsep tersebut
disetujui. Apabila dalam sebulan ada 100 kali surat keluar
maka dalam bulan tersebut ada: 1) 100 lembar kertas (den-
gan asumsi 1 surat keluar adalah 1 halaman) yang dibuang
ke tempat sampah; 2) 100 kali aktivitas pengerjaan ulang;
dan 3) 100 kali aktivitas inspeksi.
Selain dikirim atau diantar langsung, nota dinas juga
dikirim melalui faksimile. Sekarang mari kita andaikan ada
nota dinas dengan lampiran sebanyak 5 halaman harus diki-
rimkan ke 33 kantor perwakilan. Bisakah Anda bayangkan
berapa kali pekerjaan ulang yang harus kita lakukan? Hal
ini diperparah lagi apabila pada saat melakukan pekerjaan
tersebut kita menemui gangguan (error) pada mesin faksim-
ile tersebut sehingga pekerjaan tersebut harus dimulai dari
awal kembali. Selain itu, hasil dari faksimile seringkali sulit
dibaca.
Tentu saja uraian masalah di atas didasarkan pada perhi-
tungan hipotetis dan penggunaan beberapa asumsi. Namun,
Peraga 3 memperlihatkan hasil pengolahan data dari admin-
istrasi surat masuk pada Bagian Perencanaan Pusdiklat pada
tahun 2008. Sementara itu, bulan yang dipilih adalah bu-
lan Mei. Alasan pemilihan bulan tersebut antara lain karena
frekuensi surat masuk pada bulan tersebut termasuk cukup
tinggi di antara bulan lainnya, yaitu sebanyak 65 surat masuk.
Kolom-kolom pada Peraga 3 memperlihatkan kesenjangan
(lag) antara tanggal pengiriman dari unit kerja yang bersang-
kutan dengan tanggal penerimaan pada Bagian Perencanaan
Pusdiklat. Dari 65 surat yang masuk ke Pusdiklat hanya 15
(23,07%) surat yang diterima pada hari yang sama saat surat
tersebut dikirim dari unit kerja yang bersangkutan.
LAG (HARI) JUMLAH (%)
0 15 (23,07%)
1 - 3 25 (38,46%)
4 - 5 5 (7,69%)
6 - 7 3 (4,61%)
> 7 13 (20%)
N.A. 4 (6,15%)
TOTAL 65 (100%)
Peraga 3. Kesenjangan (lag) antara tanggal pengiriman
dari unit kerja yang bersangkutan dengan tanggal pener-
imaan pada Bagian Perencanaan Pusdiklat.
Mungkinkah masalah-masalah di atas terkait dengan
proses komunikasi saat ini diatasi? Kemampuan teknologi
informasi dan komunikasi saat ini sangat memungkinkan
sekali untuk mengefsienkan proses komunikasi di atas.
Selain itu, otomasi aktivitas kerja yang berbasis kertas (pa-
perwork) menjadi tanpa kertas (paperless) sudah menjadi
suatu keharusan di banyak perusahaan swasta terkemuka.
Sementara di Amerika Serikat, setiap instansi federal juga
diamanatkan untuk mengurangi aktivitas yang berbasis ker-
tas melalui Paperwork Reduction Act (1995).

Penutup
Beberapa angka dan fakta saya hadirkan di sini agar men-
jadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan terkait
dengan perbaikan proses bisnis internal. Selain itu, tulisan
ini juga diharapkan dapat menjadi pemicu bagi rekan-rekan
di unit kerja lain untuk menganalisis proses bisnisnya dan
kemudian menghadirkan proses bisnis yang lebih efsien.
Lebih jauh, investasi yang masif di bidang teknologi infor-
masi dan komunikasi juga menjadi sangat krusial dalam
rangka mendukung proses bisnis yang efsien tersebut.
Referensi
Accounting and Information Division. 1997. Business
Process Reengineering Assessment Guide. United States Gov-
ernment Accounting Ofce.
Gasperz, Vincent. 2007. Organizational Excellence: Mod-
el Strategik Menuju World Class Quality Company. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi
Pemerintahan.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 41/
PER/MEN.KOMINFO/11/2007 tentang Panduan Umum
Tata Kelola Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional.
Prosedur Operasi Standar dan Fitur-ftur Utama
Sistem Manajemen Kinerja.Keterangan: VA = Value Add-
ed Activity
Peraga 2. Proses komunikasi secara tertulis melalui nota
dinas di antara pejabat eselon dua.
42 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
42
Manajemen Perubahan dalam suatu Organisasi yang Dinamis
OPINI
Oleh: Anies Pramudya W, SE, BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara
Perubahan organisasi merupakan suatu hal yang tdak da-
pat dihindari dalam situasi yang dinamis dewasa ini. Keadaan
ekonomi, situasi politk, kehidupan kemasyarakatan yang terus
berkembang mengakibatkan diperlukannya perubahan sebagai
suatu penyesuaian atas keadaan tersebut.
Suatu organisasi berubah karena menyadari bahwa peruba-
han perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan menjaga
eksistensi (keberadaan). Selain itu, kondisi yang terus berubah
juga memaksa suatu organisasi untuk melakukan perubahan
bila tdak mau tergilas oleh perubahan kondisi yang terjadi.
Perubahan tdak dapat dilakukan secara sembarangan dan
tergesa-gesa. Suatu organisasi perlu menetapkan dan meng-
etahui secara past tujuan yang ingin dicapai atau dengan kata
lain visi dan misi organisasi harus cukup jelas dan kuat, baru ke-
mudian penyesuaian terhadap kondisi sekitar dilakukan. Pada
akhirnya perubahan suatu organisasi akan berpengaruh terha-
dap semua pihak baik internal maupun eksternal organisasi.
Sebagai contoh perubahan sebuah organisasi adalah beru-
bahnya struktur organisasi Badan Pemeriksa Keuangan Re-
publik Indonesia (BPK RI) yang kita banggakan. BPK RI dalam
usianya yang menginjak 63 tahun, sangat sensitf terhadap
perubahan yang terjadi di negara ini. Salah satunya adalah pe-
rubahan struktur organisasi dengan diterbitkannya Keputusan
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor
34/K/I-VII.3/6/2007 tentang Struktur Organisasi BPK RI dan
Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Nomor 39/K/I-VII.3/7/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Selain itu, dalam era yang mengedepankan transparansi
dan akuntabilitas sepert saat ini, BPK RI terus melakukan peru-
bahan dalam hal pemeriksaaan yang merupakan core busines,
untuk mengantsipasi perubahan peraturan perundang-un-
dangan, cakupan pemeriksaan, pertambahan enttas dan lain
sebagainya. Sebagai contoh lain, perubahan dalam hal sumber
daya manusia adalah telah diterapkannya sistem remunerasi,
assesment, mutasi, rolling pegawai dan lain sebagainya.
Suatu perubahan yang bertujuan untuk suatu pencapaian
yang positf tdak selalu berjalan mulus tanpa hambatan. Salah
satu permasalahan yang hampir selalu terjadi adalah peno-
lakan atas perubahan yang dilakukan (resistance to change).
Resistance to Change tdak selalu berart negatf, karena den-
gan adanya penolakan maka suatu perubahan harus direnca-
nakan secara matang dan tdak sembarangan dilakukan.
Penolakan atas suatu perubahan atau resistensi dapat di-
dasari oleh permasalahan kebutuhan dan persepsi. Perma-
salahan kebutuhan misalnya adalah kebiasaan (kenyamanan)
dan rasa aman, adapun contoh penjelasannya adalah sebagai
berikut:
a. Kenyamanan
Bila suatu individu terbiasa untuk menjalankan suatu rutn-
itas dan merasa nyaman dengan hal tersebut, maka penolakan
atas suatu perubahan atas kebiasaan tersebut akan sangat
tnggi. Contoh mudahnya adalah bila jam kerja pegawai diu-
bah menjadi jam 05.00-15.00, maka penolakan atas perubahan
tersebut akan sangat tnggi karena pegawai telah merasakan
kenyamanan dengan jam kerja sebelumnya.
b. Rasa Aman
Perubahan atas sistem rolling yang rencananya akan dilaku-
kan secara periodik juga memunculkan pro dan kontra. Bila
rolling dilakukan terlalu cepat akan menimbulkan perasaan
tdak aman karena sewaktu-waktu dapat ditempatkan ke unit
kerja lain. Hal tersebut disebabkan kemampuan beradaptasi
dan proses penyesuaian pegawai terhadap unit kerja baru ber-
beda-beda.
Sementara itu, persepsi atas suatu perubahan juga menim-
bulkan penolakan. Hasil dari suatu perubahan yang tdak dapat
diprediksi atau tdak past menimbulkan keraguan, sehingga
pegawai akan memilih kondisi saat ini dan menolak peruba-
han.
Menurut Coch dan French Jr (Hasan Mustofa 2001) ada 6
taktk untuk mengatasi resistensi perubahan yaitu:
1. Komunikasi dan pendidikan
Penjelasan mengenai sebab, akibat dan tujuan perubahan
hasus dikomunikasikan secara jelas.
2. Partsipasi
Perlu melibatkan semua pihak yang kompeten baik pem-
buat keputusan maupun pelaksana dalam perumusan peru-
bahan.
3. Kemudahan dan Dukungan
Pelathan-pelathan perlu diselenggarakan apabila pegawai
cemas akan hasil suatu perubahan sehingga penolakan akan
berkurang.
4. Negosiasi
Taktk ini dilakukan jika yang melakukan penilakan mempu-
nyai kekuatan yang tdak kecil (mempunyai masa pendukung).
Dalam hal ini perlu beberapa tawaran alternatf.
5. Manipulasi dan Kooptasi
Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya,
misalnya menyampaikan fakta agar tampak lebih menarik dan
tdak mengutarakan hal negatf. Kooptasi adalah memberikan
kedudukan pentng pada pemimpin penolakan perubahan
dalam mengambil keputusan
6. Paksaan
Taktk terakhit adalah paksaan. Sanksi dan hukuman diberi-
kan pada yang menentang perubahan tersebut.
Dikutp dari Filsuf Yunani Aristoteles (Aristotle Quotes)
Change in all things is sweet, diharapkan perubahan yang
terjadi pada Lembaga Tinggi yang kita naungi yaitu Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dapat meningkatkan
kualitas organisasi secara keseluruhan. Namun, perubahan
tersebut harus didukung oleh semua elemen dalam organ-
isasi tersebut. Kita semua berharap yang terbaik bagi Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Disadur dari berbagai sumber (Referensi):
1. www.pembelajar.com
2. www.brainyquote.com
3. Manajemen Perubahan, Hasan Mustafa, 2001
4 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
4
Latar Belakang
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan sebagaimana te-
lah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999, antara lain
menyebutkan bahwa jabatan karier adalah jabatan struktural
dan fungsional dan hanya dapat diduduki Pegawai Negeri
Sipil (PNS) setelah memenuhi syarat yang ditentukan, dan
oleh karenanya perlu di-manage dengan baik.
Manajemen PNS menurut UU Nommor 43 Tahun
1999 adalah keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan
efsiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyeleng-
garaan tugas, fungsi, hak dan kewajiban kepegawaian, yang
meliputi perencanaan, pengadaan, penempatan dalam jaba-
tan, penyusunan pola karier pegawai, pengelolaan kinerja
pegawai, pengembangan kualitas pegawai, penerapan disip-
lin pegawai, renumerasi, pemberhentian/pemensiunan.
Terkait dengan hal itu maka Kebijaksanaan manajemen
PNS mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi,
pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, pe-
mindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian,
hak, kewajiban, dan kedudukan hukum.
Sebagai impelementasi atas kebijaksanaan manajemen
pegawai maka sangat diperlukan Sistem Pembinaan Kar-
ier Pegawai yaitu untuk menjamin terselenggaranya tugas
dan fungsi lembaga secara berdaya guna dan berhasil guna,
sesuai dengan misi tiap satuan organisasi dan sebagai imple-
mentasi dari rencana strategis yang telah ditetapkan organ-
isasi dan sekaligus memberikan keseimbangan terjaminnya
hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil secara objektif
dan adil.
Sistem Pembinaan Karier Pegawai adalah suatu
upaya yang sistematik, terencana mencakup struktur dan
proses yang menghasilkan keselarasan kompentensi pegawai
dengan kebutuhan organisasi. Komponen yang terkait den-
gan Sistem Pembinaan Karier antara lain meliputi:
1. Misi, Sasaran dan Prosedur Organisasi, yang merupa-
kan indikator umum kinerja, kebutuhan prasarana
dan sarana termasuk kebutuhan kualitatif dan kuanti-
tatif sumber daya manusia yang mengawakinya;
Oleh: Mohd. Rizal Rambe, SE,MM
Mantan Kasubbag Kepegawaian Perwakilan BPK.RI Medan
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN POLA
DASAR KARIER PNS
SEBAGAI BAGIAN
REFORMASI BIROKRASI PADA BPK RI,
PERLU ATAU TIDAK?
2. Peta jabatan, yang merupakan refeksi komposisi jaba-
tan, yang secara vertikal menggambarkan struktur ke-
wenangan tugas dan tanggung jawab jabatan dan se-
cara horizontal menggambarkan pengelompokan jenis
dan spesifkasi tugas dan organisasi;
3. Standard Kompetensi yaitu tingkat kebolehan lingkup
tugas dan syarat jabatan yang harus dipenuhi untuk
menduduki suatu jabatan agar dapat tercapai sasaran
organisasi yang menjadi tugas, hak, kewajiban dan
tanggung jawab dari pemangku jabatan;
4. Alur Karier, yaitu pola alternatif lintasan perkemban-
gan dan kemajuan pegawai negeri sepanjang pengab-
diannya dalam organisasi, sesuai dengan flosof bahwa
perkembangan karier pegawai harus mendorong pen-
ingkatan prestasi pegawai dengan kata lain bahwa pola
gerakan posisi pegawai baik secara horizontal maupun
vertikal selalu mengarah pada tingkat posisi yang lebih
tinggi melalui tahapan sebagai berikut:
a. Standar penilaian kinerja pegawai, yaitu instru-
men untuk mengukur tingkat kinerja pegawai
SUMBER DAYA MANUSIA
44 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
44
dibandingkan dengan standar kompetensi jaba-
tan yang sedang dan akan diduduki pegawai yang
bersangkutan;
b.Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, yaitu upaya
menyelaraskan kinerja pegawai dan atau orang
dari luar organisasi yang akan menduduki
suatu jabatan dengan standar kompetensi yang
ditetapkan, upaya ini dilakukan melalui jalur
pendidikan, prajab, dan atau pelatihan dalam
jabatan;
c.Rencana Suksesi (succetion plan), yaitu rencana
mutasi jabatan yang disusun berdasarkan tingkat
potensi pegawai, dikaitkan dengan pola jabatan
dan standar kompetensi. Rencana suksesi disu-
sun dengan memperhatikan perkiraan kebutu-
han organisasi mendatang dikaitkan dengan per-
encanaan pegawai dan hasil pengkajian potensi
pegawai.

Berdasarkan Rencana Strategis Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Tahun 2006-2010 antara lain menye-
butkan bahwa sasaran strategis di bidang Sumber Daya
Manusia yaitu :
1. Mengoptimalkan kinerja seluruh staf di BPK;
2. Menjadi pilihan utama bagi para profesional dalam
membuka karier;
3. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan nya-
man bagi semua pegawai;
4. Membangun sistem promosi yang transparan dan
efektif yang dapat mendorong peningkatan profe-
sionalisme.
Permasalahan
Empat tahun silam, penulis menjabat sebagai Kepala
Sub Bagian Kepegawaian sempat menanyakan kepada Ketua
BPK RI, Anwar Nasution, tentang apresiasi beliau mengenai
Pola Dasar Karier Pegawai BPK RI ke depan, dan jawaban
beliau sedang disusun dan tidak mungkin seorang kopral
bisa jadi jenderal. Pada saat itu Ketua BPK berkunjung
ke Perwakilan BPK RI Sumatera Utara (Medan) sekaligus
perkenalan sebagai Ketua BPK yang baru.
Realitas yang ada hingga empat tahun masa jabatan
Badan ternyata yang ditunggu-tunggu yaitu Pola Dasar
Karier Pegawai Negeri Sipil belum disusun dan ditetap-
kan, sementara diketahui beberapa lembaga/institusi/depar-
temen telah melakukan/melaksanakan Reformasi Birokra-
si yaitu dengan menetapkan dan menerbitkan peraturan
Menteri/Kepala Badan atau Lembaga tentang Pola Dasar
Karier PNS pada jajarannya, sebagai penjabaran atau dalam
rangka mentaati Petunjuk Pelaksanaan dari UU Nomor 43
Tahun 1999, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 100
Tahun 2000, tentang Pengangkatan PNS Dalam Jabatan
Struktural (Pasal 1 butir 9,Pasal 5,Pasal 6 dan Pasal 8, Pasal
12 ayat (2) ), antara lain menyebutkan:
1. Pola Karier adalah pola pembinaan PNS yang meng-
gambarkan alur pengembangan karier yang menun-
jukkan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pan-
gkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi
serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan
pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pen-
siun.
2. Berstatus Pegawai Negeri Sipil;
3. Pengangkatan untuk jabatan serendah-rendahnya
menduduki pangkat 1 tingkat di bawah jenjang pang-
kat yang ditentukan;
4. Memiliki kualifkasi dan tingkat pendidikan yang
ditentukan;
5. Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurang-
nya bernilai baik dalam 2 tahun terakhir;
6. Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan;
7. Sehat jasmani dan rohani;
8. Perlu memperhatikan faktor senioritas dalam kepang-
katan, pendidikan, usia, pendidikan dan latihan, dan
pengalaman yang dimiliki;
9. PNS yang menduduki jabatan struktural tidak dapat
menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan
struktural maupun dengan jabatan fungsional;
10. Setiap pimpinan instansi menetapkan pola karier PNS
di lingkungannya berdasarkan Pola Dasar Karier
PNS.

Fenomena yang ada masih terdapat pengangkatan PNS
dalam jabatan padahal belum memenuhi kepangkatan, pen-
didikan, masa kerja dan usia sementara masih ada PNS yang
memenuhi standard dan pangkatnya malah melebihi jaba-
tannya akan tetapi jabatannya belum disetarakan, padahal
PNS tersebut belum pernah mendapatkan ankum (pen-
genaan hukuman) secara tertulis.
Selain itu PNS tersebut sudah mengembangkan diri
dengan mengikuti dan melewati pendidikan formal mau-
pun pendidikan informal, sehingga tidak diketahui alasan
kenapa yang bersangkutan tidak disetarakan jabatannya
sesuai kepangkatannya, pendidikan dan masa kerja padahal
kompetensi yang lain belum ditetapkan. Selain itu masih
terdapat rangkap jabatan dimana jabatan struktural pada
jabatan fungsional dan hal ini terjadi karena tidak adanya
kesetaraan jabatan antara jabatan struktural dengan jabatan
fungsional, misal; Kepala Seksi (eselon IV) setingkat atau
sama dengan Ketua Tim Junior/Senior, dan hal ini menun-
jukkan belum ditetapkannya Rumpun Jabatan padahal
dengan adanya rumpun jabatan yang jelas maka akan mem-
permudah untuk melakukan mutasi atau promosi sesuai
dengan kebutuhan organisasi sehingga tidak terjadi stagnan,
dimana terdapat penempatan pegawai pada suatu jabatan
dengan merangkap sebagai pelaksana tugas pada jabatan
diatasnya yang otomatis menutup peluang bagi pegawai lain
yang nota bene memenuhi pangkat untuk jabatan tersebut,
kemudian terdapat penempatan pegawai untuk jabatan pa-
dahal di tempat tersebut masih ada pegawai yang nota bene
pangkat, masa kerja dan kompetensi lain masih lebih tinggi
dari pejabat yang baru diangkat.
Apakah karena suka atau tidak suka? Rasanya tidak
45 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
45
mungkin karena pimpinan BPK.RI sangat menjunjung In-
dependensi, Integritas dan Profesional.
Tujuan Penyusunan dan Penetapan Pola Dasar Karier
PNS
Kedudukan dan peranan PNS bagi suatu organisasi
adalah sangat penting dalam rangka mewujudkan terlak-
sananya Reformasi Birokrasi pada lembaga Legislatif,
Yudikatif maupun Eksekutif dalam pencapaian visi dan
misi organisasi agar berhasil guna dan berdaya guna dan
oleh karena itu perlu diberdayakan dengan cara yang adil
dan beradab sebagaimana tercermin pada Pembukaan
UUD 1945 dan sesuai amanat Pancasila yaitu sila
kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan, rasa aman dan nyaman,
tidak diskriminatif kemudian akan dapat memotivasi PNS
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
Warga Negara, Aparatur Negara maupun dalam memberi-
kan pelayanan pada Masyarakat.
Reformasi birokrasi dihadapkan pada upaya mengatasi
inefsiensi, inefektivitas, tidak professional, diskriminatif, tid-
ak disiplin, tidak patuh pada aturan, belum ada perubahan
mindset, transparan, partisipatif dan kredibel.
Reformasi Birokrasi Aparatur Negara harus diwu-
judkan dalam wujud perubahan secara signifkan (evo-
lusi yang di percepat) melalui tindakan atau rangkaian
kegiatan pembaharuan secara konsepsional, sistematis
dan berkelanjutan dengan melakukan upaya penataan,
peninjauan, penertiban, perbaikan, penyempurnaan dan
perubahan system serta perbaikan akhlak-moral sesuai
tuntutan lingkungan, memantapkan komitmen dan
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undan-
gan.
Terkait dengan hal tersebut di atas maka tujuan penyu-
sunan dan penetapan Pola Dasar Karier Pegawai Negeri
Sipil sangat penting untuk menjamin terciptanya kondisi
objektif yang dapat mendorong peningkatan prestasi pega-
wai dan sebagai sistem pembinaan karier sehingga perlu
dirancang sesuai dengan misi organisasi, budaya organisasi
dan kondisi perangkat pendukung sistem kepegawaian yang
berlaku pada organisasi, sesuai dengan peraturan perun-
dang-undangan tentang pegawai negeri sipil yang berlaku.
Pola Karier Pegawai Negeri Sipil adalah pola pem-
binaan Pegawai Negeri Sipil yang menggambarkan alur
pengembangan karier yang menunjukkan keterkaitan
dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan
pelatihan jabatan, kompetensi, serta masa jabatan ses-
eorang Pegawai Negeri Sipil sejak pengangkatan perta-
ma dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun (PP
Nomor 100 Tahun 2000 Jo PP Nomor 13 Tahun 2002)
Berdasarkan pengertian pola karier tersebut, maka sepa-
ntasnya disusun untuk kepentingan pegawai, walaupun ha-
rus tetap diarahkan agar pola karier tersebut dititikberatkan
pada optimalisasi kontribusi pegawai kepada organisasi dan
artinya bahwa ditetapkannya pola karier mempunyai be-
berapa tujuan dibawah ini :
1. Untuk lebih mendayagunakan setiap jenis kemam-
puan profesional yang disesuaikan dengan kedudukan
yang dibutuhkan dalam setiap unit organisasi;
2. Pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya manu-
sia pada setiap satuan organisasi sesuai dengan kompe-
tensinya dan terarah pada misi organisasi;
3. Membina kemampuan, kecakapan, keterampilan se-
cara efesien dan rasional sehingga potensi, energi,
bakat dan motivasi pegawai tersalur secara objektif ke
arah tercapainya tujuan organisasi;
4. Dengan spesifkasi tugas yang jelas dan tegas serta
tanggung jawab, hak dan wewenang yang telah terd-
istribusikan secara seimbang dari seluruh jenjang or-
ganisasi, diharapkan setiap pemangku jabatan dapat
mencapai tingkat maksimal;
5. Dengan tersusunnya pola karier pegawai dan telah
teraturnya pengembangan karier, maka setiap pegawai
mendapatkan gambaran mengenai jabatan-jabatan,
kedudukan dan jalur yang mungkin dapat dicapai,
serta persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
guna mencapai jabatan dimaksud, dengan tersusun-
nya pola karier pegawai setiap pegawai akan dapat
diperhatikan perkembangannya demikian pula bagi
mereka dimungkinkan peningkatan jabatan mulai
dari jabatan yang paling rendah sampai ke tingkat
yang lebih tinggi secara objektif dan adil;
6. Pola karier pegawai merupakan dasar bagi setiap pimpi-
nan organisasi dalam rangka pengambilan keputusan
yang berkait dengan sistem manajemen kepegawaian,
sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak diskrim-
inatif sehingga berakibat pegawai merasa terzalimin
padahal bisa saja karena tidak lengkapnya rekam jejak
dari pegawai dan terbatasnya informasi dari pegelola
SDM untuk menyampaikan sistem dan aturan main
kepada pimpinan.
7. Bila terdapat perpaduan yang serasi antara kemam-
puan, kecakapan/keterampilan dan motivasi dengan
jenjang penugasan, maka jabatan yang tersedia akan
menghasilkan manfaat dan kapasitas kerja yang op-
timal. Dengan demikian PNS pada setiap satuan
organisasi diharapkan dapat lebih profesional dalam
mengantisipasi tantangan yang dihadapi saat ini dan
kedepan.
Berdasarkan tujuan Pola Karier tersebut maka tahapan
pembinaan karier sesuai Keputusan Kepala Badan Kepega-
waian Negara Nomor 13 Tahun 2002 sebagai ketentuan pe-
tunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Ta-
hun 2000 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002
adalah sebagai berikut:
1. Perpindahan dari jabatan struktural ke jabatan fung-
sional maupun dari jabatan fungsional ke jabatan
struktural baik secara horizontal, vertikal maupun di-
agonal serta perpindahan wilayah kerja;
2. Perpindahan jabatan secara horizontal adalah perpin-
dahan jabatan pada tingkat eselon dan pangkat jaba-
46 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
46
tan yang sama atau setara;
3. Perpindahan jabatan secara vertikal adalah perpinda-
han yang bersifat kenaikan jabatan (promosi)
4. Perpindahan jabatan secara diagonal adalah perpinda-
han jabatan dari jabatan struktural ke fungsional dan
sebaliknya.
Dengan mempertimbangkan dan memperhatikan pada
peraturan perundang-undangan kepegawaian yang ada,
maka Pola Karier bagi Pegawai Negeri Sipil, dapat dijelaskan
dengan tahapan sebagai berikut.
a. Pengadaan pegawai merupakan usaha mendapatkan
pegawai dari pasar kerja melalui sistem seleksi yang di-
dasarkan atas persyaratan jabatan sesuai dengan forma-
si yang ditentukan sehingga akan paralel dengan Nota
persetujuan yang akan diterbitkan oleh Badan Kepe-
gawaian Negara dan merupakan dasar karier pegawai
hingga berkembang sampai pada pangkat maksimum
dan jabatan maksimum.
b. Orientasi dilaksanakan merupakan usaha pelatihan
dengan cara memberikan tugas khusus yang terpro-
gram dalam waktu tertentu sehingga pegawai:
1. Mendapatkan gambaran secara umum tentang
kegiatan organisasi;
2. Mendapatkan gambaran tentang upaya yang
harus dilaksanakan untuk pengembangan ke-
mampuan dasarnya menjelang tugas yang akan
dipangkunya.
Dalam tahap ini, tugas dan tanggung jawab pengelola
SDM wajib melakukan monitoring bakat, minat dan po-
tensi pegawai tersebut guna penetapan jabatan yang akan
dipangku pegawai secara tepat sehingga berdaya guna dan
berhasil guna.
c. Pelatihan Pra Tugas merupakan suatu catatan mengenai
prestasi kerja dan potensi pegawai yang bersangkutan
selanjunya diidentifkasi pendidikan dan pelatihan
tehnis yang dibutuhkan, yang diikuti dengan penila-
ian dan seleksi guna penetapan pegawai yang sejauh
mungkin sesuai dengan bakat dan minatnya.
d. Penetapan dalam rangka Pengembangan Profesi
merupakan pengamatan bakat dan minat pegawai
tersebut, pegawai diarahkan untuk ditugaskan dalam
jabatan-jabatan yang memerlukan syarat kualifkasi
teknis dan kemampuan pengenalan kegiatan mana-
jemen. Penugasan pada tahap ini diatur sedemikian
rupa, sehingga pegawai yang bersangkutan memper-
oleh serangkaian pembekalan melalui kursus dan pen-
galaman baik teknis operasional maupun manajerial.
e. Penugasan dalam rangka Pemantapan Profesi ditinjau
secara selektif bagi pegawai yang ditugasi sebagai:
1. Pejabat Struktural sesuai dengan kemampuannya guna
mendapatkan kemampuan manajerial yang bersang-
kutan agar dapat meniti jenjang jabatan yang lebih
tinggi, atau;
2. Pejabat Fungsional untuk dapat menerapkan dan
mengembangkan kemampuan sesuai bidang keahl-
iannya.
f. Pematangan Profesi dilaksanakan secara selektif pada
pegawai yang ditugaskan pada jabatan yang lebih ting-
gi dengan spesifkasi sebagai berikut:
1. Pejabat Struktural yang mempunyai kemampuan
untuk mengarahkan dan menetapkan kebijakan
dibidang tugas masing-masing, sejalan dengan
misi organisasi dan arah kebijaksanaan pimpinan
organisasi;
2. Untuk Pejabat Fungsional yang mempunyai ting-
kat pengetahuan, kemampuan menalar, menilai
dan memecahkan masalah yang dihadapi secara
ilmiah.
Kesimpulan dan Saran
Manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah keseluruhan
upaya-upaya untuk meningkatkan efsiensi, efektivitas dan
derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, hak
dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan,
pengadaan, penempatan dalam jabatan, penyusunan pola
karier pegawai, pengelolaan kinerja pegawai, pengembangan
kualitas pegawai, penerapan disiplin pegawai, renumerasi,
pemberhentian/pemensiunan.
Badan Pemeriksa Keuangan RI sebagai Lembaga Tinggi
Negara di bidang pemeriksaan keuangan Negara sudah saat-
nya melakukan manajemen SDM yang efesien, efektif, ber-
daya guna dan berhasil guna sesuai rencana strategis yang
dimiliki dan oleh karenanya perlu menetapkan suatu Sistem
Pola Dasar Karier PNS sebagai suatu kebijakan/peraturan
tentang Pola Dasar Karier PNS BPK RI.
Diharapkan dengan adanya keputusan tentang Pola
Dasar Karier PNS BPK RI dan didukung dengan Rumpun
Jabatan dan Kompetensi, sehingga pengangkatan PNS
dalam suatu Jabatan diharapkan pasti akan lebih Transparan
dan jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang
pada akhirnya akan menciptakan rasa adil dan beradab.
Reformasi Birokrasi pada BPK RI dapat diwujudkan
dalam wujud perubahan secara signifkan (evolusi yang di-
percepat) melalui tindakan atau rangkaian kegiatan pem-
baharuan secara konsepsional, sistematis dan berkelanjutan
dengan melakukan upaya penataan, peninjauan, penertiban,
perbaikan, penyempurnaan dan perubahan sistem serta per-
baikan akhlak-moral sesuai tuntutan lingkungan, meman-
tapkan komitmen dan melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan. l*

47 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
47
OPINI
Latar Belakang
Lahirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Ta-
hun 2008 tanggal 17 Januari 2008 tentang Pedoman Pelak-
sanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemda merupakan
suatu langkah kongkrit Pemerintah sebagai kelanjutan dari
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelapo-
ran keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. PP Nomor
8 Tahun 2006 Pasal 33 ayat 3 menjelaskan bahwa Aparat
pengawasan intern pemerintah pada Kementerian Negara
/ Lembaga / Pemerintah Daerah melakukan review atas
Laporan Keuangan dan Kinerja dalam rangka meyakinkan
keandalan informasi yang disajikan sebelum disampaikan
oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Wa-
likota kepada pihak-pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 8
dan Pasal 11. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 33 ayat 3
disampaikan hal berikut :
Reviu oleh aparat pengawasan intern pemerintah pada
Kementerian Negara / Lembaga / Pemerintah Daerah se-
bagaimana dimaksud pada ayat ini tidak membatasi tugas
pemeriksaan / pengawasan oleh lembaga pemeriksa/penga-
was lainnya sesuai dengan kewenangannya.
Pengertian Reviu
Pengertian Reviu/Review atas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah dipaparkan lebih lanjut pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 Pasal 1 butir
9 yaitu prosedur penelusuran angka-angka, permintaan ket-
erangan dan analitis yang harus menjadi dasar memadai bagi
Inspektorat untuk memberi keyakinan terbatas atas laporan
Esensi Pelaksanaan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008
tentang Reviu atas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah
keuangan bahwa tidak ada modifkasi material yang harus
dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan
tersebut disajikan berdasarkan Sistem Pengendalian Intern
(SPI) yang memadai dan sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP).
Tujuan Reviu
Sedangkan Tujuan Reviu disampaikan dalam Pasal 4
yaitu memberikan keyakinan terbatas bahwa laporan keuan-
gan pemerintah daerah disusun berdasarkan sistem pen-
gendalian intern yang memadai dan disajikan sesuai dengan
standar akuntansi pemerintahan.
Objek Pemeriksaan (Laporan Keuangan yang akan di-
periksa)
Selanjutnya pada Pasal 11 berikut dijelaskan mengenai
kewajiban daerah untuk menyusun laporan keuangan dan
menyerahkan laporan keuangan tersebut kepada BPK untuk
dilakukan audit.
Pasal 11
(1) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun
Laporan Keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimak-
sud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk disampaikan kepada guber-
nur/bupati/walikota untuk memenuhi pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD.
(2) Laporan Keuangan pemerintah daerah sebagaim-
ana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Laporan
Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah serta laporan
pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan oleh gubernur/bupati/walikota kepada
Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang akan dis-
erahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan merupakan
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang telah melewati
proses reviu / review oleh Inspektorat Wilayah Provinsi/
Kabupaten/Kota. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam
Pasal 18 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
4 Tahun 2008 yaitu Laporan Keuangan Pemerintah Dae-
rah yang disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan
dilampiri dengan Pernyataan Tanggungjawab dan Pernyat-
aan telah direviu. Kewajiban untuk menyertakan hasil reviu
atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dipertegas lagi
48 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
48
dalam Pasal 19 ayat (1) Laporan Hasil Reviu atas Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah wajib disertai dengan perny-
ataan telah direviu.
Pelaksanaan Reviu
Adapun reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Dae-
rah dilakukan oleh Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota
(Pasal 12). Pelaksana reviu di tingkat Inspektorat Provinsi/
Kabupaten/Kota diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pejabat Pen-
gawas Pemerintah di Lingkungan Departemen Dalam Neg-
eri, pada Pasal 10 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 8 Tahun 2008 dinyatakan bahwa Pegawai Negeri Si-
pil pada Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi dan In-
spektorat Kabupaten/Kota yang pada daat ditetapkan Per-
aturan ini telah melaksanakan tugas di bidang pengawasan
diangkat dalam jabatan Pejabat Pengawas Pemerintah. Dan
pada ayat 2, Pegawai Negeri Sipil pada Inspektorat Jende-
ral, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota
yang pada saat ditetapkan Peraturan ini diangkat dalam ja-
batan Pejabat Pengawas Pemerintah dengan ketentuan telah
mengikuti pendidikan dan pelatihan di bidang pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensi dari peraturan
ini ialah bahwa adanya pendidikan dan pelatihan untuk se-
tiap Pejabat Pengawas Pemerintah. Dengan demikian, untuk
Pejabat Pengawas Pemerintah yang melakukan tugas penga-
wasan (dalam hal ini APIP) harus mendapatkan pendidikan
dan pelatihan di bidang pengawasan penyelenggaraan peme-
rintahan (yang mungkin masih dalam persiapan materi oleh
Inspektorat Jenderal dan Badan Pendidikan dan Pelatihan
yang selanjutnya akan diatur dalam suatu Peraturan Menteri
Dalam Negeri).
Adapun Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang di-
maksud tersebut / Inspektorat Wilayah Provinsi/Kabupa-
ten/Kota yang melakukan reviu atas Laporan Keuangan
Pemda haruslah memahami mengenai Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) dan Sistem serta Prosedur Akuntansi
yang (masih dalam kemungkinan) diterapkan oleh Pemda
(sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No-
mor 900/316/BAKD Tahun 2007 tentang Pedoman Sis-
tem dan Prosedur Penataan dan Akuntansi, Pelaporan, dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah) yang semuanya ini
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem
pengendalian intern yang baik. Kualitas Laporan Keuangan
tidak hanya dilihat dari kesesuaian dengan Standar Akuntasi
Pemerintahan namun tetap dilihat dari keseluruhan Sistem
Pengendalian Intern yang memadai untuk menghasilkan
suatu Laporan Keuangan yang baik.
Tantangan Pelaksanaan Reviu
Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemerin-
tah Daerah tentunya akan mengalami tantangan atau ham-
batan. Adapun tantangan atau hambatan diuraikan sebagai
berikut:
a. Belum semua daerah memiliki APIP yang kompeten
dalam melakukan reviu.
Bahkan APIP belum mendapat pendidikan dan pelati-
han yang cukup mengenai Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP) dan Sistem serta Prosedur Pengelolaan Keuangan
Daerah tersebut.
b. Kegiatan-kegiatan pokok reviu memerlukan waktu
yang cukup banyak.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Ta-
hun 2008, diuraikan dalam 3 kegiatan pokok sebagai
berikut:
a. Perencanaan Reviu (Pasal 6, 7, 8, 9 dan 10 serta
lebih lanjut dipaparkan dalam Lampiran I).
b. Pelaksanaan Reviu (Pasal 12, 13, 14 dan 15 serta
lebih lanjut dipaparkan dalam Lampiran II).
c. Pelaporan Reviu (Pasal 17, 18, dan 20, serta lebih
lanjut dipaparkan dalam Lampiran III).
Kegiatan-kegiatan pokok dalam Reviu memerlukan
waktu yang cukup banyak. Kegiatan Reviu tersebut jika
dilakukan setelah proses penyusunan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah atau dilakukan secara berurutan den-
gan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah,
pasti akan memperlambat/menunda penyampaian Laporan
Keuangan tersebut kepada BPK.
c. Adanya Peraturan baru yang belum diikuti dengan la-
hirnya peraturan pelaksanaannya.
Adanya Peraturan baru yang berkaitan dengan reviu
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yaitu PP Nomor 60
Tahun 2008 Tanggal 28 Agustus 2008 tentang Sistem Pen-
gendalian Intern Pemerintah, mencakup mengenai kegiatan
penilaian terhadap Sistem Pengendalian Intern Pemerin-
tah berdasarkan sistem COSO. Dalam Pasal 57 ayat (5) PP
Nomor 60 Tahun 2008 ini menyebutkan bahwa Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menetapkan
standar reviu atas laporan keuangan sebagaimana di-
maksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) untuk
digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan reviu atas
laporan keuangan oleh aparat pengawasan intern pemerin-
tah. Namun kehadiran Peraturan Pemerintah ini belum ditin-
daklanjuti dengan lahirnya suatu Peraturan Pelaksanaan dari
Menteri Keuangan di tingkat Pemerintah Daerah, tidak sep-
erti di tingkat Pemerintah Pusat yang telah memiliki aturan
mengenai reviu Laporan Keuangan dalam Peraturan Dirjen
Perbendaharaan Nomor 44/PB/2006 yang mensyaratkan
pelaksanaan reviu atas Laporan Keuangan di tingkat Pemer-
intah Pusat, yang menjadi dokumen pendukung penyusunan
Statement Of Responsibility oleh Menteri / Pimpinan Lembaga
(Pasal 4 ayat 1).
Belum adanya suatu Peraturan Pelaksana atas Peraturan
Pemerintah tersebut mengakibatkan reviu yang dilakukan
APIP yang paling memungkinkan dilakukan untuk Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2008
ialah reviu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Neg-
eri Nomor 4 Tahun 2008 yang memuat penilaian SPI suatu
Pemerintah Daerah yang dijalankan dan dituangkan dalam
suatu Sistem dan Prosedur Keuangan Daerah dan juga ke-
wajaran penyajian angka Laporan keuangan pemerintah
Daerah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
49 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
49
Sedangkan pelaksanaan reviu Laporan Keuangan dengan
penilaian SPI yang menggunakan pendekatan COSO sesuai
PP Nomor 60 Tahun 2008 belum sepenuhnya dapat dikerja-
kan, karena peraturan pelaksanaan PP tersebut dari Menteri
Keuangan sesuai Pasal 57 ayat (5) tersebut belum dikeluar-
kan. Atau dengan kata lain, reviu atas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah hanya mengacu pada Pedoman Pelak-
sanaan Reviu sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 4 Tahun 2008, sambil menunggu adanya peraturan
pelaksanaan dari PP Nomor 60 Tahun 2008.
Usulan Solusi atas Tantangan Pelaksanaan Reviu
Dengan adanya beberapa tantangan pelaksanaan reviu
tersebut di atas, diupayakan untuk mencari solusi atas tan-
tangan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. APIP yang belum siap untuk melakukan reviu didamp-
ingi oleh APIP lainnya.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, ketidaksi-
apan APIP (keterbatasan pemahaman akan SAP dan SPI)
akan menjadi kendala keberhasilan pelaksanaan suatu reviu
atas Laporan Keuangan. Hal ini dapat diatasi oleh Pemerin-
tah Daerah melalui usulan dari Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 4 Tahun 2008 melalui Pasal 14 ayat (4) yang
menyebutkan bahwa Apabila diperlukan, Inspektorat Pro-
vinsi/Kabupaten/Kota dapat bekerja sama dengan Aparat
Pengawas Intern Pemerintah Lainnya untuk melakukan re-
viu atas laporan keuangan pemerintah daerah. Salah satu
contohnya ialah dengan APIP lainnya (BPKP).
2. Jadwal Reviu dilakukan secara paralel dengan peny-
usunan Laporan Keuangan
Berkaitan dengan banyaknya kegiatan-kegiatan pokok
dalam reviu yang memerlukan waktu yang panjang dalam
pelaksanaan serta untuk menghindari penundaan penyam-
paian Laporan Keuangan , maka jadwal pelaksanaan reviu
tersebut disampaikan dalam Pasal 13 yang menyatakan jad-
wal Reviu terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah tahun ang-
garan berakhir dan dapat dilakukan secara paralel dengan
penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.
Manfaat Pelaksanaan Reviu
Adapun reviu yang dilaksanakan secara memadai akan
memberikan manfaat, baik bagi Pemerintah Daerah (enti-
tas) maupun bagi auditor (pemeriksa), disampaikan sebagai
berikut:
a. Peningkatan kualitas Laporan Keuangan dari Pemer-
intah Daerah
Adanya reviu yang dilakukan dengan memadai oleh
APIP akan meningkatkan kualitas dari Laporan Keuangan
itu sendiri. Seperti contoh pada Pasal 17 ayat (6) Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 mengenai
pelaporan reviu, disampaikan bahwa Pernyataan tanpa
Paragraf Penjelas adalah pernyataan yang dibuat dalam hal
entitas pelaporan melakukan koreksi seperti yang direko-
mendasikan oleh Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota
dan / teknik reviu dapat dilaksanakan. Hal ini menggambar-
kan jika ditemukan angka-angka yang disajikan di Laporan
Keuangan yang memerlukan koreksi (pengungkapan sesuai
SAP) maka dimungkinkan untuk diberikan usulan-usulan
koreksi oleh APIP terhadap Laporan Keuangan sebelum
disampaikan kepada BPK. Hal inilah yang menjadi salah
satu contoh peningkatan kualitas Laporan Keuangan yang
diperoleh melalui kegiatan reviu.
b. Kemudahan pengujian kehandalan SPI dan kewa-
jaran penyajian Laporan Keuangan sesuai SAP.
Dengan adanya reviu Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah, auditor tentunya akan lebih mudah untuk menguji
kehandalan SPI dan kewajaran penyajian Laporan Keuangan
sesuai dengan SAP, sehingga waktu pemeriksaan di lapan-
gan menjadi lebih singkat. Namun hal tersebut hanya men-
jadi asumsi yang harus diikuti dengan keberhasilan asumsi-
asumsi lainnya (Reviu yang dilaksanakan oleh orang-orang
yang kompeten, Hasil Reviu dapat diandalkan serta Laporan
Hasil Reviu dan Laporan Keuangan setelah Reviu bisa dise-
rahkan tepat waktu serta tingkat pemahaman auditor dalam
menyikapi adanya Laporan Hasil Reviu dan Laporan Keu-
angan setelah Reviu).
Yang menjadi kekhawatiran kita bersama, Laporan
Keuangan TA 2008 yang sama sekali tidak melalui proses
reviu (yang mungkin disebabkan ketidakmengertian APIP
untuk melakukan reviu) namun Laporan tersebut tetap dis-
erahkan kepada BPK. Lalu yang menjadi pertanyaan selan-
jutnya untuk kita, apakah kita sudah siap mengambil resiko
dengan menerima Laporan Keuangan yang tidak didukung
oleh Pernyataan Telah Direviu yang merupakan dokumen
pendukung ditandatanganinya Pernyataan Tanggungja-
wab oleh Kepala Daerah? Pernyataan Tanggungjawab oleh
Kepala Daerah ini hampir sama dengan Statement of Re-
sponsibility (SOR) dalam lingkup Pemerintah Pusat dalam
Reviu di tingkat Kementrian Negara / Lembaga Negara.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah TA 2008 yang diser-
ahkan kepada BPK mungkin belum direviu tetapi kita perlu
menyikapinya dengan persiapan pelaksanaan Audit yang
lebih matang (Audit Interim yang lebih memadai khusus-
nya untuk Pendalaman Pemahaman akan SPI yang tercipta
dalam lingkup Pemerintahan Daerah).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa adanya Reviu ter-
hadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang dia-
manatkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
4 Tahun 2008 Tanggal 17 Januari 2008 yang dilakukan oleh
personil APIP / Pejabat Pengawas Pemerintah jika dilak-
sanakan dengan baik dan memadai pastilah meningkatkan
kualitas Laporan Keuangan itu sendiri, kemungkinan salah
saji dari Laporan Keuangan bisa dikurangi dengan adanya
kegiatan reviu. Laporan hasil reviu yang memadai tentunya
juga akan membantu para auditor sebelum melakukan pros-
es audit yang lebih mendalam terhadap Laporan Keuangan
yang telah direviu (yang tentunya telah dikoreksi sesuai den-
gan usulan pada saat reviu).l*

50 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
50
S
eiring dengan ditetapkannya Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuan-
gan Pemda tanggal 17 Januari 2008 merupakan suatu
bentuk tangungjawab Menteri Dalam Negeri menata
sistem pengawasan pengelolaan keuangan daerah. Peratu-
ran Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 ini
merupakan penjabaran pasal 33 ayat 3 Peraturan Pemerin-
tah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah yang bermuara pada Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Ta-
hun 2008 dinyatakan bahwa tugas reviu didelegasikan ke-
pada Inspektorat/ Bawasda Provinsi/ Kabupaten/ Kota
yang bertanggungjawab langsung kepada Kepala Dae-
rah. Adapun yang menjadi objek pemeriksaan adalah
entitas pelaporan dimana reviu terhadap Sistem Pengendal-
ian Intern (SPI) dan Kesesuaian dengan Standar Akuntansi
Pemerintah (SAP) menjadi fokus reviu.
Entitas pelaporan wajib menyajikan laporan keuangan
yang terdiri atas:
1. Laporan Realisasi Keuangan
2. Neraca
3. Laporan Arus Kas
4. Catatan atas Laporan Keuangan
Tujuan reviu ini adalah untuk meyakini keandalan SPI
dan Kesesuaian dengan SAP atas asersi-asersi yang terdapat
dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerinta Daerah
(LKPD).
Dalam pelaksanaannya, reviu dikoordinasikan dengan
Inspektorat Jendral Departemen Dalam Negeri/ Inspektorat
Provinsi.
Sistem Pengendalian Intern
Seperti gayung bersambut, di tahun 2008 ditetap-
kan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 ten-
tang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah tanggal 28
Agustus 2008. Dalam lingkup sistem pengendalian intern
pemerintah tersebut terdapat beberapa bentuk pengawasan
itern yaitu audit, reviu, evaluasi dan pemantauan, dimana
tingkat keyakinan atas bentukbentuk pengawasan tersebut
berbeda.
Sesuai dengan Undang-undang Dasar Republik Indone-
sia Pasal 23 E ayat 1 dijelaskan bahwa dalam hal pemerik-
saan/audit laporan keuangan Pemerintah dan daerah,
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI)
merupakan satu-satunya Badan yang diamanatkan Negara
Untuk memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah sebagai
bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan. Ini
merupakan benang merah dari audit laporan keuangan.
Pembagian tugas dari lembaga-lembaga pengawasan yang
ada seperti BPKP, Inspektorat Jendral, Inspektorat Provinsi/
Kabupaten/Kota jelas untuk membangun sistem pengen-
dalian dan pengawasan yang efektif agar tercipta kes-
elarasan fungsi sebagaimana lembaga-lembaga pengawasan
intern dibentuk, tidak bangga atas ketidakbenaran dalam
Pelaporan LKPD.
Hasil audit BPK-RI dari tahun 2005 s.d. 2007 men-
unjukkan bahwa belum ada perbaikan dari pengelolaan
keuangan negara/ daerah dalam proses pelaksanaannya
sehingga tercipata laporan. Dari hasil pemeriksaan (siaran
AUDIT
MENUNGGU PERAN INSPEKTORAT DALAM
REVIU LAPORAN KEUANGAN DAERAH
Oleh: Dicky Arnes, SE. Ak, Auditor SubAud NAD IA Kantor Perwakilan BPK-RI di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
5 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
5
AGENDA
pers BPK-RI tanggal 15 Januari 2009) diketahui terdapat
4 daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP) yaitu Provinsi Gorontalo, Kota Tangerang, Kota
Banjar dan Kabupaten Aceh Tengah.
Beberapa kelemahan Pemerintah daerah dalam menyu-
sun Laporan Keuangan yaitu:
1. Visi dan Misi Daerah
Fungsi sistem pengendalian intern yang baik menghasil-
kan tata kelola keuangan yang sesuai dengan visi dan
misi daerah, kemakmuran rakyat. Pengelolaan keuangan
merupakan salah satu elemen yang mendukung visi
tersebut. Dengan misi yang terukur dalam pencapaian
visi kedepan didukung dengan pengelolaan keuangan yang
transparan dan akuntabel. Hal ini dapat dimulai den-
gan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja dae-
rah.
2. Sumber Daya Manusia
Pola rekrutmen dalam pemenuhan kebutuhan person-
il di lingkungan pemerintah daerah sangat tidak men-
dukung dalam mengisi kekurangan tenaga-tenaga yang
terampil. Pemerintah daerah sering terjebak dalam situasi
pemenuhan formasi yang bersifat klerikal dan pemisahan
fungsi kerja. Personil yang bersifat ahli dan kompeten dalam
teknis dan kekuatan manajerial kurang diperkuat. Tenaga
akuntan dan sistem informasi mutlak diperlukan.
3. Pembangunan Sistem terkomputerisasi
Proses pelaporan dengan jumah beban kerja yang
begitu besar sudah tentu memerlukan suatu alat bantu
yang didesain dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Sis-
tem pencatatan, pengklasifkasian, pemindahbukuan, peng-
hapusan dan pelaporan yang terintegrasi secara komputer-
isasi perlu dikembangkan.
4. Komunikasi antar lembaga pemerintah
Interaksi yang saling memenuhi mengikuti peraturan
perundang-undangan antar lembaga pemerintah menjadi
sangat penting. Peran lembaga pemerintah yang bertu-
gas sebagai pengawas harus membina pemerintah daerah
bagaimana membuat suatu laporan yang terselusuri dan
efektif. Perbaikan sistem yang tailormade tercipta den-
gan intensifnya interaksi denga lembaga independen mau-
paun pengawas intern pemerintah sebagai lembaga ekseku-
tif, menuju perbaikan sistem pengendalian intern. Artinya
kegagalan pemerintah daerah dalam membangun sistem
merupakan kegagalan lembaga-lembaga pengawas tentunya.
5. Action Plan
Komitmen dalam membangun pengelolaan keuangan
daerah diprioritaskan dalam menuju Laporan Keuangan
yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Pembentukan lingkungan kerja yang kondusif dari segi
dalam, untuk itu perlu dipertimbangakan dengan menja-
lin kerja sama dengan lembaga donor dan pihak ketiga
selain lembaga pengawas intern pemerintah seperti BPKP.
Target pencapaian ditentukan dengan menetapkan target
jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Perlunya
penetapan target ini agar ada keseriusan dalam memban-
gun suatu sistem yang terintegrasi. Dari visi, misi, sumber
daya manusia, sistem komputerisasi, dan interaksi antar
lembaga pengawas intern agar tercipta suatu sistem yang
mengakomodasi bentuk peraturan dengan kebutuhan akan
keterukuran dalam sistem itu sendiri.
Untuk meminimalisasi penyimpangan dalam pelapo-
ran laporan keuangan dalam evaluasinya dilakukan pe-
nilaian apakah pegendalian intern atas kegiatan tran-
saksi akuntansi telah terlaksana. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 yang mengadopsi PSA
69 SA seksi 319 (konsep COSO) dimana terdapat lima
ketegori pengendalian intern yaitu:
1. Lingkungan Pengendalian (Control Environtment)
Dalam Lingkungan pengendalian faktor utama dari
pengendaliannya adalah faktor manusia dimana diperlukan
komitmen dari Kepala Daerah dengan jajarannya. Faktor
etika dan ketaatan terhadap prosedur dalam pengeluaran
dan penerimaan aset (kas) misalnya sering terjadi pen-
yalahgunaan. Penyalahgunaan yang sering ditemukan
dalam pengelolaannya adalah keterlambatan pertanggung-
jawaban uang muka sampai kas yang tidak dapat dipertang-
gungjawabkan.
2. Penilaian Resiko (Risk Assessment)
Secara umum pemeriksaan laporan keuangan yang san-
gat mempunyai resiko dalam pengelolaannya adalah kas
di kas daerah. Namun dalam prosesnya dapat dilihat dari
sisi belanja (pengeluaran) dan pendapatan (penerimaan).
Pengeluaran belanja sangat rentan di salahgunakan. Pos-pos
pengeluaran yang sering digunakan seperti bantuan keuan-
gan, biaya makan minum, biaya perjalanan dinas sampai
dengan mark-up pengadaan barang dan jasa. Dari sisi
penerimaan sering digunakan karena sistem yang tidak
berjalan dari proses penetapan wajib pajak, penagihan
sampai dengan praktek pungli oleh aparat di lokasi.
3. Kegiatan Pengendalian (Control Activities)
Pembuatan sistem dan prosedur yang dapat memini-
malisasi kemungkinan terjadinya
(resiko) pengendalian. Sistem yang terkomputerisasi jauh
lebih baik daripada sistem yang serba manual. Proses pem-
buatan dokumen transaksi dari setiap persetujuan atasan
langsung, verifkasi oleh bagian atau sub-bagian, rekonsiliasi
setiap penutupan kas bulanan dan tahunan oleh atasan
52 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
52
langsung atau inspektorat dan pemisahan/ pembatasan
tugas atas akses prosedur penerimaan dan pengeluaran aset.
4. Informasi dan Komunikasi (Information and Com-
munication)
Seperti pepatah garbage in, garbage out, benar adanya
bila Laporan Keuangan tidak direviu oleh bawasda/ in-
spektorat/ inspektorat jendaral. Simpul-simpul rekonsiliasi
Laporan Keuangan dapat terdeteksi dengan adanya
kewajiaban SKPD untuk membuat Laporan Keuangan-
nya sendiri. Tiap anggaran yang digunakan mempunyai
konsekwensi jurnal yang dapat ditelusuri dari pos anggaran
pendapatan dan belanja. Selain dari itu informasi ekster-
nal yang berpengaruh terhadap aset dan hutang ten-
tunya menjadi perhatian reviu, apakah sudah tercatat dan
dibukukan dengan nilai yang wajar. Informasi yang mem-
pengaruhi sangat material terhadap Laporan Keuangan
apakah telah terakomodir dalam jurnal ataupun sebagai
catatan atas laporan keuangan. Semuanya itu tentunya
perlu suatu job discription, panduan manual akuntansi
yang tepat, kebijakan akuntansi dan sistem/prosedur
serta pembangunan kapasitas sumber daya manusia.
5. Pemantauan Pengendalian Intern (Monitoring)
Pemantauan terhadap sistem pengendalian intern da-
pat dilakukan secara paralel seiring dengan proses pelak-
sanaan APBD. Bagaimana penyerapan anggaran, proses
penerimaan pendapatan dan pencairan dana sampai den-
gan mencatatnya ke dalam Laporan Keuangan. Namun
pemantauan dapat juga dilakukan setelah terbentuknya
Laporan Keuangan. Hal ini tidak mendeteksi secara cepat
tetapi lebih melihat apakah efektif Pengendalian Intern
suatu entitas. Karena pemantauan sistem pengendalian
dalam penyusunan Laporan Keuangan tidak paralel da-
pat mengakibatkan hal-hal seperti kolusi pengguna ang-
garan dengan jajarannya dan manipulasi data realisasi
anggaran dan pendapatan tidak terdeteksi.
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP)
Menurut defnisi SAP adalah serangkaian prosedur
manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpu-
lan data, pencatatan, pengikhtissaran, dan pelaporan
posisi keuangan serta operasi keuangan pemerintah daerah.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan reviu yang dilaku-
kan akan lebih baik bila dilakukan secara paralel.
Penyusunan laporan keuangan akan lebih efektif dan jika
terdapat dalamnya suatu guide line dalam penyusunan lapo-
ran keuangan.
Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 tahun 2006,
telah dipisahkan (desentralisasi) pelaporan keuangan.
Penyusunan yang dulunya terpusat di Sub Bagian Keuan-
gan di Sekretariat daerah telah didesentralisasi sesuai tang-
gung jawab penggunaan anggaran di setiap Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD). Setaip SKPD wajib membuat
Laporan Keuangan yang terdiri dari Neraca, Laporan
Realisasi Anggaran dan Catatan Atas Laporan Keuan-
gan.
Namun dalam pelaksanaannya Pemerintah daerah be-
lum melihat kebutuhan yang sangat penting dalam penyu-
sunan laporan keuangan yaitu Kebijakan Akuntansi.
Sesuai dengan Standar Akuntansi Pemrintahan dalam
penyususnan Laporan Keuangan wajib membuat suatu
kebijakan akuntansi yang digunakan sebagai dasar untuk
mencatat sebagai contoh aset. Sesuai defninya aset merupa-
5 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
5
kan harta yang dapat segera digunakan pemerintah dalam
upaya penyelengaraan pemerintahan. Tetapi dari penelu-
suran selama ini terdapat kelemahan dalam menbukukannya
yaitu:
1. Aset Lancar (Kas)
Dalam prakteknya, standar akuntansi pemerintahan telah
disusun dengan memperhatikan mekanisme penerimaan
dan pengeluaran kas. Namun dalam proses pelaksanaannya
terjadi distorsi-distorsi yang membuat dalam pencata-
tan dan penyajiannya pada Laporan Keuangan mengala-
mi kendala. Kendala yang sering terjadi adalah pengakuan
kas bon yang berlarut-larut belum dipertanggungjawabkan.
Hasil audit yang telah dilakukan reviu dalam penya-
jian di laporan keuangan memposisikan kas bon sebagai
kas. Selain dari itu adakalanya diposisikan sebagai piu-
tang lain-lain. Latar belakang dari posisi kas bon tersebut
tentunya mempunyai pertimbangan yang sangat hati-hati
dari pengakuannya. Kas bon diposisikan sebagai kas sangat
dipertimbangkan dengan itikad baik dari pemerintah
daerah untuk mempertanggungjawabkan setelah Tahun
Anggaran berakhir. Sedangkan kas bon yang berlarut-larut
(belum) dipertanggungjawabkan lebih dari satu (1) tahun
anggran diposisikan ke dalam piutang lain-lain merupakan
pertimbangan yang sangat hati-ahti oleh Pemerintah Daerah
untuk mengakuinya agar posisi kas tidak menjadi bias dalam
perhitungan anggaran di tahun berikutnya, karena kas bon
bukan kas yang senyatanya ada di kas di kas daerah.
Dari semua penyajian tersebut tentunya menjadi per-
hatian setiap Pemda bahwa praktek-praktek pengeluaran
yang belum dipertanggungjawabkan seperti kas bon ten-
tunya merupakan ganjalan kewajaran Laporan Keuangan.
2. Aset Tetap
a) Pengklasifkasian aset tetap yang salah;
Aset Tetap dibagi menjadi lima (5) yaitu Tanah, Per-
alatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan/Irigasi/
Jaringan, Aset Tetap Lainnya, Konstruksi dalam Penger-
jaan. Dalam prakteknya acap kali dijumpai konstruksi
dalam pengerjaan diklasifkasikan sebagai aset tetap yang
telah jadi dan siap digunakan, sehingga belanja barang
maupun modal yang sampai dengan berakhirnya anggaran
belum selesai dikategorikan sebagai aset tetap yang telah
jadi dan siap digunakan. Hal ini sering terjadi pada
belanja Modal yang sampai dengan Tahun Angaran
berakhir belum 100% selesai, sehingga sisa anggaran
diluncurkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) ke tahun berikutnya.
b) Pembuatan daftar aset tetap tidak terkendali;
Karena banyaknya belanja modal, belanja barang dan
jasa di lingkungan Pemda
(SKPD), bagaimana membuat daftar aset tetap yang
dilaporkan dalam Laporan keuangan menjadi bias antara
Aset Tetap dengan daftar yang sering disebut Inventaris.
Untuk membedakannya perlu dibuat daftar aset yang
menurut aturan Pemda bahwa ada daftar aset tetap dari
sisi umur ekonomis lebih dari satu tahun anggaran dan
daftar inventaris yang merupakan pengadaan barang ber-
dasarkan kebijakan Pemda sebagai aset yang secara
nilai tidak signifkan dalam pengadaannya dan habis
disusutkan dalam satu (1) tahun anggaran (intakomtable-
ekstrakomtable). Dalam hal ini kebijakan penyusutan aset
tetap harus tetap diakui agar dalam penagkuannya tidak
overstated dan penyusutan akan memudahkan penilaian
aset tetap yang sewajarnya sehingga penilaian oleh ap-
praisal tidak berulang.
c) Pengakuan dan penghapusan aset tetap yang tidak
teratur.
Aset tetap dapat diakuai selain dari umur ekonomisnya
lebih dari satu tahun tetapi juga secara fsik telah selesai
100% dan siap digunakan. Terhadap pengahapusan aset
yang telah ada seumur Pemda selama ini perlu dilakukan
inventarisasi dan penilaian oleh lembaga appraisal. Untuk
aset tetap Pemda yang telah usang dan rusak, hilang di-
lakukan penghapusan sesuai dengan aturan penghapusan
aset negara. Namun sering terjadi Pemda cepat
membuat Surat Keputusan penghapusan aset yang konsum-
tif seperti kendaraan dari pada mengurus aset-aset yang te-
lah rusak (tidak dapat digunakan) untuk dihapuskan dari
daftar aset Pemda itu sendiri. Kapitalisasi aset tetap juga
yang menjadi hal yang jarang sekali mendapat perhatian.
Aset tetap hanya diakui sebesar belanja modal yang
dikeluarkan dari kas daerah sedangkan biaya-biaya yang
dapat diatribusikan sebagai biaya untuk mendapatakan
aset tetap itu siap digunakan belum dikapitalisasi.
Terhadap masalah kas dan aset tetap dapat dilaku-
kan suatu upaya yaitu penerapan pengelolaan kas yang
hati-hati dan ketat dalam prosedur pencairannya, pembua-
tan sistem pengeloalan aset tetap yang terkendali, penetapan
kebijakan akuntansi yang tepat seperti penyusutan dan ka-
pitalisasi aset tetap.
Semoga dengan dilakukannya reviu atas laporan keuan-
gan oleh inspektorat, Pemerintah Daerah dapat men-
ingkatkan kualitas Laporan Keuangannya dan tercipta
pengelolaan keuangan daerah yang baik.
Referensi
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemda
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
- Auditing : A Risk Analysis Approach, Larry F. Konrath, Fifth Editions
- Standar Profesional Akuntan Publik, 1 Januari 2001
- Siaran Pers BPK-RI tanggal 15 Januari 2009, Penghargaan oleh BPK-RI
Kepada Institusi Pemerintah/ Lembaga: Transparansi dan Akuntabilitas
Keuangan Negara Tidak Bisa Ditawar Lagi
54 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
54
AUDIT
Oleh: Dicky Arnes, SE. Ak, Auditor SubAud NAD IA Kantor Perwakilan BPK-RI di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
PENGELOLAAN KAS DI
KAS DAERAH
D
alam pemeriksaan Laporan Keungan Pemer-
intah Daerah (LKPD) pemeriksaan kas di
Buku Kas Umum (BKU) sangat krusial dalam
pengerjaannya. Kas merupakan akun yang sangat likuid se-
hingga kemungkinan kesalahan sangat mungkin terjadi
oleh pengguna anggaran atau entitas, baik kesalahan pen-
catatan dan perhitungan serta kecurangan. Tidak jarang
pemeriksaan kas di BKU menghabiskan sekitar 50% dari
waktu pemeriksaan.
Kas di Kas Daerah
Kas mencerminkan daya beli yang dapat dialihkan
segera dalam suatu pertukaran ekonomi kepada suatu
individu atau organisasi untuk memenuhi kebutuhan
owner dalam memperoleh barang dan jasa, asset dan mo-
dal kerja. Kas merupakan aset yang sangat likuid sehingga
dalam penempatan di aktiva yang lazim terlikuid ditem-
patkan paling atas dari semua aset yang dimiliki oleh suatu
entitas. Kas digunakan sebagai alat pembayaran yang paling
disukai oleh pelaku ekonomi termasuk entitas pemerin-
tah. Kas juga digunakan sebagai alat investasi seperti SBI,
SUN, Obligasi, Saham, atau konversi mata uang asing
dalam rangka pembayaran.
Berdasarkan defnisi kas daerah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 yaitu:
Kas adalah uang tunai dan saldo simpanan di Bank
yang setiap saat sapat digunakan untuk membiayai kegia-
tan pemerintahan. Sedangkan Kas Daerah didefnisikan
sebagai berikut: Kas Daerah adalah tempat penyimpanan
uang daerah yang ditentukan oleh Gubernur/ Bupati/
Walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah
dan membayar seluruh pengeluaran daerah. Artinya se-
mua penerimaan yang ada di kas daerah menjadi hak dae-
rah dan merupakan tanggungjawab kepala daerah untuk
menyimpan dan mengeluarkannya untuk kepentingan dan
kemakmuran daerah.
Buku Kas Umum Daerah
Dalam praktek pemerintahan daerah pencatatan keluar
masuk kas menggunakan buku kas yang disebut Buku
Kas Umum (BKU) sebagai pencatatan seluruh pener-
imaan/debit dan pengeluaran/kredit (cash basis) dimana
mengutamakan Sisa Perhitungan Anggaran sebagai kas se-
benarnya di kas Bendaharawan Umum Daerah (BUD). Se-
luruh penerimaan kas dicatat sebagai penambah kas begitu
pula sebaliknya pengeluaran. Penerimaan selain kas tidak
dicatat dalam buku kas umum.
BKU dicatat secara bruto atas seluruh penerimaan kas
baik yang penerimaan anggaran seperti telah dimaksudkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
maupun non anggaran seperti diantaranya Pajak Negara
PPh 21, 22, 23, PPN, Perhitungan Fihak Ketiga Ta-
perum dan Iuran Wajib Pegawai. Penggunaan BKU
hakikatnya sebagai catatan bila kita mengambil substansi
dari pencatatannya. Saat ini, seluruh laporan keuangan
yang merupakan output dari sistem yang digunakan oleh
bagian pembukuan entitas pelaporan. Bila pembukuan dari
sistem telah baik menurut ketentuan yang ada yaitu double
entry maka sepatutnya pencatatan di BKU dan sistem yang
dilakukan oleh bagian pembukuan khususnya kas haruslah
menampilkan saldo yang sama. Tapi selama ini hampir semua
entitas di daerah tidak aware akan pentingnya hal ini, bahwa
dengan taatnya pencatatan BKU selaras dengan rekening
bank memudahkan kontrol atas saldo kas di BUD. Hal
ini dapat terjadi karena ketidakteraturan pembukuan
maupun kesengajaan. Tidak seperti pencatatan buku kas
dan buku bank yang lazimnya dicatat terpisah pada privat
sector, pada public sector di daerah seluruh penerimaan
dan pengeluaran dicatat dalam satu BKU dikarenakan ses-
uai Peraturan Pemerintah ditentukan bahwa saldo BKU
harus sama dengan saldo bank. Tetapi pada kenyataannya
terasa sulit sekali bagi entitas pelaporan pemerintah di
daerah untuk melakukan hal tersebut. Mungkin ini dikare-
nakan oleh alasan yang beragam, dari kerumitan pemind-
ahbukuan sampai dengan kurangnya forcasting kebutuhan
dana yang tidak teratur. Seyogyanya di BUD tidak ada Kas
yang jumlahnya terlalu besar atau tidak sesuai ketentuan
yang ditetapkan kepala daerah. Ada batas batas saldo yang
diperbolehkan setiap bulannya.
Dari asersi yang ada tentang kas yaitu :
1. Keberadaan dan keterjadian
Saldo kas benar-benar ada dan milik entitas
2. Kelengkapan
Seluruh transaksi penerimaan kas (Bank) telah dicatat.
3. Penilaian dan Alokasi
Seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran kas te-
lah diperhitungkan dengan nilai yang semestinya.
4. Hak & Kewajiban
55 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
55
Penerimaan dan pengeluaran kas relevan dengan Tahun
Anggaran yang diperiksa.
5. Pengungkapan
Realisasi penerimaan dan pengeluaran kas telah diungka-
pkan secara memadai dalam Laporan Keuangan sesuai den-
gan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Rekonsiliasi Kas di Kas Daerah
Dari pemeriksaan selama ini secara sistem akuntansi
dari format alternatif yang ada tidak mengakomodir prak-
tek-praktek akuntansi khususnya keuangan yang sering di-
lakukan oleh entitas di daerah. Seperti outstanding cek
kerap kali muncul sebagai akibat tidak taatnya daerah
mematuhi anggaran dimana sebagaimana kita tahu bahwa
per 31 Desember tidak boleh ada pencairan yang me-
lewati Tahun Anggaran. Tetapi ada alternatif untuk setiap
perlakuan akuntansi yang tentunya setiap daerah mempun-
yai keunikannya sendiri. Segala peraturan punya kelemahan
dalam penerapannya karena apa yang terjadi di prak-
teknya tidak sebaik ketentuan yang ditetapkan. Dari
penetapan APBD yang kerap kali terlambat sampai
dengan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan fsik. Sam-
pai dengan tahun anggaran 2006 sepertinya hal ini
dapat ditolerir, tetapi dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 (Permendagri No. 13 T. 2006), hal
ini tidak diperbolehkan lagi. Masa transisi antara Kepu-
tusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2002 ke
Permendagri No. 13 T. 2006 sepertinya masih terdapat
outstanding cek tersebut, dimana pengeluaran daerah
masih menggunakan cek atas dasar Surat Perintah
Membayar (SPM) sebagai dasar pengeluaran kas daerah.
Dengan Permendagri No. 13 T. 2006 penggunaan Surat
Perintah Pencairan Dana (SP2D) dimana dana ditarnsfer
langsung ke pihak ketiga tanpa melalui cek. Ini diharap-
kan dapat terlaksana atas perjanjian kerjasama Pemerintah
Daerah (Pemda) dengan Bank Persepsi.
Mengenai alernatif perlakuan sebagaimana kejadian di-
atas atas outstanding cek sering timbul atau pencairannya
setelah tahun anggaran sebaiknya dilakukan pencatatan
sebagai Pengeluaran Pembiayaan, tetapi bila tidak dimung-
kinkan dari defnisi pembiayaan maka perlu pengungkapan
yang cukup dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Ini dikarenakan untuk memberikan informasi peng-
guna laporan dan juga kepentingan pemeriksaan atas
laporan keuangan berikutnya agar aware atas outstanding
cek tersebut. Maksud dari pencatatan tersebut agar tidak
terjadi double perhitungan dari SiLPA tahun lalu dengan ta-
hun berikutnya.
SiLPA 31 Desember terdiri dari :
1. Kas Tunai (Bank) Di BUD
2. Kas di Bendahara Pengeluaran
3. Kas di Bendahara Penerimaan
Dari gambar diatas merupakan batas cut-of rekonsiliasi
Kas (Bank) per 31 Desember dimana:
1. A merupakan Batas Tahun Anggaran (TA) I, ter-
dapat Sisa Pengisian Kas (Bendahara Pengeluaran)
1 (Arsir). SiLPA TA I terdiri dari Perhitungan TA
I termasuk Sisa Pengisian Kas di bendahara pengelu-
aran I dan kas di bendahara penerimaan yang belum
disetor per 31 Desember.
2. B merupakan Batas TA II, terdapat Sisa Pengisian
Kas di Pemegang Kas (Bendahara Pengeluaran) 2
(Arsir). SiLPA TA II terdiri dari Perhitungan TA II
termasuk Sisa Pengisian Kas di bendahara pengelu-
aran 2 dan kas di bendahara penerimaan yang belum
disetor per 31 Desember. Sering terjadi karena
ketidakteraturan pembukuan dan tidak termas-
uk Sisa Pengisian Kas yang ternyata tidak terdeteksi
dalam pemeriksaan. Sehingga sisa pengisian kas terse-
but merupakan pendapatan lain-lain yang merupakan
bagian SiLPA TA III.
Dari penentuan cut-of di awal pemeriksaan, pengelu-
aran dan pendapatan tahun anggaran yang berjalan akan
ditelusuri dari SP2D/ UP/ GU/ TU/ LS yang merupakan
dasar pengeluaran dari apa yang telah ditentukan dalam
penjabaran APBD. Sedangkan kelengkapan atas penda-
patan dilakukan pemerikasaan laporan penerimaan dengan
instansi/ divisi/ satker yang berkaitan (cross section).
Dalam hal pendapatan dari Dinas terkait atau
bendahara penerimaan dari hasil penerimaan yang belum
disetor sampai dengan pemeriksaan kas, maka hal ini dicatat
sebagai kas di pemegang kas (bendahara penerimaan) se-
bagai kas dan setara kas tetapi tidak sebagai perhitungan
realisasi anggaran. Sebagai kontra kas di bendahara pe-
nerimaan tersebut di neraca dicatat sebagai pendapatan
yang ditangguhkan. Penerimaan kas tersebut menurut PP
24 akan diperhitungkan sebagai penerimaan lain-lain tahun
berikutnya.
Secara normatif pencatatan nomor register STS dan
penerimaan pendapatan dicatat dengan berurutan (sequen-
tial), walaupun tidak mutlak selama dapat dijelaskan dan da-
pat diperhitungkan.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)
Dalam perhitungan anggaran yang menghasilkan
SiLPA tahun berjalan berdasarkan Standar Akuntansi
Pemerintahan (PP 24/2005) penerimaan entitas selain kas
dicatat sebesar nilai taksiran atau nilai pasar yang wajar tetapi
penerimaan tersebut dimana langsung di of-set dengan con-
tra belanja penerimaan tersebut seperti penerimaan sum-
bangan aktiva tetap, sehingga hasil penerimaan kas tersebut
56 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
56
menambah jumlah perhitungan penerimaan tetapi tidak
merubah SiLPA tahun berjalan. SiLPA juga tidak termasuk
di dalamnya PFK yang merupakan kewajiban kepada Pihak
Ketiga sehingga SiLPA merupakan kas yang sesungguhnya
ada secara fsik untuk anggaran tahun berikutnya. Sedang-
kan PFK (kewajiban) bukan dasar perhitungan pengang-
garan tahun anggaran berikutnya.
Bentuk Kas Dalam Penjelasan CALK yang Ditemukan
Dalam pemeriksaan Laporan Keuangan ada beberapa
penjelasan atas pos kas yaitu sebagai berikut:
1. Kas di Kas Daerah
(1) Kas Tunai
Kas Tunai merupakan kas yang berada di BUD yang
menjadi hak daerah.
(2) Kas di Bank
Kas di bank merupakan kas yang berada di bank atas
nama pemerintah daerah/ pusat yang dalam ketentuannya
harus dilaporkan kepada DPRD.
(3) Kas Bon
Kas Bon merupakan pengeluaran oleh BUD tanpa
melalui mekanisme SPM. Ada beberapa pengeluaran yang
dapat diiklasifkasikan sebagai kas bon diantaranya secara
garis besar ada 2 jenis yaitu:
a. Kas bon tanpa acuan anggaran.
Merupakan kas yang dikeluarkan dari kas daerah
dengan/tanpa acuan DPA atau APBD.
b. Kas bon dengan acuan anggaran
Merupakan kas yang dikeluarkan dari kas daerah
sebelum penetapan Anggaran (APBD). Ada yang menye-
butnya uang muka kerja. Tetapi defnisi uang muka kerja
ini bukan merupakan defnisi uang muka kerja yang
ada pada defnisi PP 24 mengenai PSAP 08 tentang kon-
struksi dalam pengerjaan dimana uang muka kerja adalah
jumlah yang diterima oleh kontraktor sebelum pekerjaan
dilakukan dalam rangka kontrak konstruksi.
(4) Kas Non-Budgeter
Kas Non-Budgeter merupakan kas yang tidak menjadi
hak daerah. Kas ini merupakan kas titipan sementara karena
suatu ketentuan atau perundang-undangan negara/ daerah
harus mengamankan penerimaan negara sehingga pener-
imaannya sementara dititipkan di daerah atau iuran yang
diwajibkan dari pemotongan penerimaan pegawai untuk
tujuan tertentu.. Contoh dari kas non budgeter adalah
hasil Perhitungan Pihak Ketiga (PFK), iuran wajib pegawai
dan Taperum.
2. Kas di Bendahara Penerimaan
Kas Bendahara Penerimaan merupakan sisa pener-
imaan kas yang belum disetor oleh pemegang kas.
3. Kas di Bendahara Pengeluaran
Kas Bendahara Penerimaan merupakan sisa pengisian
kas yang belum dipertanggungjawabkan oleh pemegang kas.
Dalam pengelolaan kas sesuai dengan Permendagri No.
13 tahun 2006 dibentuk suatu Badan Pengelola Keuangan
Daerah (BPKD) yang bertugas mengelola keuangan daerah
dimana sesuai dengan fungsi perbendaharaan (treasury)
dan juga sebagai fnancial manager dimana diberi kelelu-
asaan mengelola kas daerah agar tercipta tatakelola yang
baik dan juga bagaimana meningkatkan penerimaan daerah
dari hasil pengelolaan kas daerah tersebut. Penempatan
pada investasi-investasi yang dapat meningkatkan pener-
imaan daerah tanpa mengganggu cash fow atas penge-
luaran daerah. Tentunya kita sepakat akan pengelolaan
yang baik atas kas daerah, tetapi penempatan investasi
yang bagaimana yang sebaiknya dalam pengelolaaan terse-
but yaitu investasi dengan resiko yang hampir 0%. Sampai
saat ini Sertifkat Bank Indonesia merupakan instrumen
investasi yang banyak dipilih.
Penempatan pada investasi tentunya merupakan hal
yang legal administratif dalam kerangka APBD. Karena
investasi adalah sesuatu bentuk pengalihan kas ke produk-
produk perbankanataupun pasar modal haruslah men-
dapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD).
Persetujuan ini tentunya merupakan legalisasi pengelo-
laan kas daerah sehingga tidak ada pertanyaan keabsahan
pengelolaan kas tersebut.
Saat ini banyak produk-produk perbankan yang
memudahkan daerah meningkatkan penerimaan pengelo-
laan kas. Produk perbankan tersebut secara legal
dijalankan untuk mengamankan kreditur besar dalam
hal ini pemerintah daerah (pemda) oleh Bank dalam
menempatkan kas daerah. Dalam pengelolaan kas ini
Pemda banyak menempatkan kas daerah pada bank mi-
lik pemerintah daerah seperti Bank Pembangunan Daerah
(BPD). Hampir seluruh penerimaan daerah seperti Penda-
patan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) ditempatkan
pada rekening di BPD. Sayangnya, penempatan kas dae-
rah tersebut dalam bentuk giro yang berbunga rendah.
Padahal banyak produk-produk perbankan yang lebih me-
narik dalam usaha peningkatan pendapatan asli daerah sep-
erti Deposito. Deposito merupakan bentuk investasi
yang relatif lebih tinggi dalam penerimaan bunganya.
Seperti menerima durian jatuh, BPD setiap tahunnya
menerima DAU, DAK, Dana Bagi Hasil. Seiring dengan
itu, deposito mengalami perkembangan yang dimana ter-
dapat depsito yang berbunga lebih tinggi tetapi dapat dita-
rik oleh pemda sewaktu-waktu tanpa konsekwensi apa-apa.
Mungkin hal ini yang menyebabkan BPD mengeluar-
kan deposito jenis tersebut untuk mengamankan kreditur
besarnya. Menurut jangka waktu deposito diklasifkasikan
sebagai investasi jangka pendek yang berjangka waktu tiga
sampai dengan duabelas bulan.
Produk deposito tersebut menjadi sumir dalam arti
pengakuan pemda terhadap asetnya. Apakah merupakan
investasi atau setara kas? Selama tidak melebihi 3 bulan
yang tidak melekat pada investasi jangka pendek. Artinya
bila dikategorikan sebagai investasi tentunya jangka waktu
deposito tersebut berjangka waktu lebih dari 3 bu-
lan dan secara legalisasi harus mendapat persetujuan
DPRD yang tertuang dalam APBD. Seandainya penempa-
57 NO 6 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
57
tan deposito melebihi lebih dari 3 bulan dikategorikan
sebagai investasi jangka pendek dan bila tidak merupakan
amanat APBD merupakan pelanggaran kepatuhan terhadap
pengelolaan kas daerah.
Tanggungjawab
Semua penerimaan dan pengeluaran kas daerah harus
dikelola oleh BUD dengan kehati-hatian. Berdasarkan Un-
dang-Undang Perbendaharaan Negara No. 1 Tahun 2004
, atas tagihan pembayaran BUD wajib meneliti keleng-
kapan, menguji kebenaran, menguji ketersediaan, me-
merintahkan pencairan dan menolak pencairan dana yang
diajukan Pengguna Anggaran yang menjadi beban APBD.
Khusus Bendahara Pengeluaran bertanggungjawab secara
pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya.
Referensi:
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor Tahun 006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
- Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Tahun 00 tentang
Perbendaharaan Negara
- Teori Akuntansi, Eldon S. Hendriksen, Michael F. Van Breda, Edisi
Kelima
- Auditing : A Risk Analysis Approach, Larry F. Konrath, Fifth Edi-
tions
Sosialisasi Kebijakan Audit Perwakilan
BPK RI Provinsi Bali Tahun 2009
Oleh: Subbah Hukum & Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali
Sesuai dengan amanat UUD 945 pasal 2 huruf E,Fdan
G tentang Badan Pemeriksa Keuangan, salah satu tugas
dan fungsi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
adalah untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan Negara dan juga untuk
melaksanakan visi dan misi BPK RI. Berkaitan dengan hal
tersebut Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Bali memandang
perlu untuk melaksanakan sosialisasi kepada auditee tentang
ke-BPK-an dan paket undang-undang keuangan negara serta
langkah-langkah kebijakan BPK RI Perwakilan Provinsi Bali
terkait pemeriksaan pada tahun 2009.
Pada hari Jumat tanggal 28 Januari 2009, bertempat di Aula
Kantor Perwakilan BPK RI Provinsi Bali dilaksanakan sosialisasi
tentang ke-BPK-an dan paket undang-undang keuangan
negara serta kebijakan pemeriksaan BPK RI Perwakilan
Provinsi Bali tahun 2009. Hadir dalam acara tersebut,
Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Drs. I Nyoman Yasa, M.Si. serta
seluruh jajaran SKPD dan BUMD di Provinsi Bali.
Sosialisasi tersebut langsung disampaikan oleh Kepala
Perwakilan Provinsi Bali, I Gede Kastawa, S.E., M.M.. dalam
penjelasan beliau, sosialisasi ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah Provinsi Bali.
Hal tersebut dilakukan untuk mendorong pemda untuk
mempercepat pencapaian opini pemeriksaan BPK RI wajar
tanpa pengecualian.
Kepala Perwakilan Provinsi Bali juga menjelaskan tentang
paket undang-undang keuangan negara serta peran dan
fungsi BPK RI pada paket undang-undang tersebut. Di samping
itu, diungkapkan pula tentang profl hasil pemeriksaan atas
pengelolaan keuangan daerah Provinsi Bali dari tahun 2004
sampai tahun 2008, yang dilanjutkan dengan sesi tanya
jawab
Selain sosialisasi ke jajaran pemerintah Provinsi Bali, Kepala
Perwakilan juga melakukan sosialisasi di kota dan kabupaten
lain di Bali. Pada tanggal 2 Januari 2009 dilakukan sosialisasi
di Kabupaten Badung yang dihadiri oleh Bupati Badung, A.A.
Gede Agung, yang sekaligus sebagai moderator dalam acara
tersebut. Tanggal 29 Januari 2009 di Kota Denpasar dilakukan
kegiatan serupa yang juga dihadiri oleh Walikota Denpasar,
I.B. Rai Dharmawijaya Mantra. Rencana ke depan kegiatan
ini akan dilakukan di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi
Bali.
58 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
58
JANGAN SAMPAI GENDIT KEBOBOLAN
GENDIT
Oleh: Cris Kuntadi, MM, CPA
M
as, nanti balik lagi. Kata Gendit ketika
diminta karcis parkir oleh Satpam saat
keluar dari komplek perkantoran BPK.
Seketika, Mas Satpam, sebut saja Ronald yang masih bujangan,
mempersilakan Gendit keluar dengan mobilnya tanpa meminta
karcis parkir.
Rupanya, tidak meminta karcis parkir untuk setiap kendaraan
yang keluar dari komplek perkantoran BPK sudah menjadi
kebiasaan, terutama untuk pengendara yang mengatakan akan
kembali lagi ke BPK. Hal inilah salah satu kebiasaan yang
diprotes si tukang insinyur Pak Sudib yang mobilnya kebobolan
maling belum lama ini. Kaca belakang mobilnya dijebol maling
tanpa satupun Satpam yang mengetahui. Alhasil, satu buah tas
yang berisi seperangkat alat sholat bablas digondol maling.
Semoga maling tersebut insyaf setelah memaling
seperangkat alat sholat saya. Pak Sudib menyatakan hal
tersebut kepada Gendit. Memang, Pak Sudib sejak pindah dari
Aceh ke Jakarta menjadi semakin rajin sholat dalam kondisi
dan keadaan apapun. Makanya, seperangkat alat sholat selalu
mendampinginya dalam setiap perjalanan, meskipun hanya ke
kantor. Untuk berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu masuk waktu
sholat dalam perjalanan pulang ke rumah, kata Pak Sudib
beralasan.
Tapi, sebetulnya ikhlas gak sih Pak, kemalingan? selidik
Gendit.
Kalau kemalingan alat sholat sih saya sangat ikhlas, apalagi
kalau alat sholat tersebut dipakai. Pahala mengalir terus ke
saya. Ya, kan, Ndit? Yang bikin saya kesel adalah kaca mobil
belakang saya yang dijebol. Harganya tidak sebanding dengan
nilai selembar sajadah. Jawab Pak Sudib.
Jadi, tidak ikhlas dong pak. Selidik Gendit lagi.
Kaca dipecah membuat saya kesal. Tapi yang membuat
saya kecewa berat dan tidak habis pikir adalah.... kenapa
keamanan kantor sebegini besarnya kok sedemikian rawan.
Pengendalian internal kantor ini sangat lemah. Pak Sudib
mulai menampakkan watak aslinya, sebagai auditor yang biasa
mengevaluasi sistem pengendalian intern.
Lho, Satpam kan tidak bisa memelototin mobil satu per
satu selama jam. Mereka kan juga manusia, yang ada khilaf
dan salah. Gendit berusaha menenangkan.
Ya, tapi ini bukan yang pertama kali kejadian seperti ini.
Setahu saya, kaca dijebol sudah lebih dari tiga kali, begitu juga
pintu dibuka oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Teman
wanita saya di AKN VII juga pernah dibongkar mobilnya
dan lenyap laptopnya. Pak Sudib memberikan alasan
kekecewaannya.
Lho wong parkir gak bayar aja kok sewot sih pak. Yang
membayar saja dan bilang secure parking tidak menjamin
keamanan mobil beserta isinya. Gendit tetap berusaha
menyeimbangkan kondisi.
Ya tapi mereka telah melakukan pengendalian internal
yang cukup memadai. Dengan pengendalian intern yang baik,
kemungkinan kesalahan semakin kecil. Pak Sudib berteori.
Coba saja lihat, kendaraan keluar kantor tanpa diminta
tanda parkir hanya dengan mengatakan akan kembali lagi.
Ya kalau mereka benar akan kembali. Kalau mereka ternyata
maling? Lanjut Pak Sudib menyampaikan hasil pengujian
pengendalian sistem keamanan di BPK.
Jadi? Apa saran Bapak atas sistem pengendalian keamanan
BPK yang lemah ini? Gendit meminta rekomendasi auditor
BPK.
Bangun sistem operasi dan prosedur (SOP) keamanan
yang memadai dan minta para petugas mematuhi pengendalian
internal yang dibangun tersebut. Perlu dibuat laporan kinerja
keamanan. Yang melanggar dan tidak patuh terhadap SOP
harus diberikan sanksi. Tapi, jika mereka
berprestasi, misalnya setahun tanpa kehilangan
mobil, beri mereka penghargaan. Pak Sudib
memberikan rekomendasi.
Untuk yang kehilangan, apa
rekomendasi Pak Sudib? Tanya
Gendit lagi.
Ditanya seperti itu, Pak Sudib
menarik nafas dalam-dalam dan
mengatakan Banyak-banyaklah ber-
istighfar, mohon ampun kepada Allah.
Mungkin mereka suka lupa kewajiban infaq,
shodaqoh, dan zakat sehingga Allah mengingatkan.
Mereka harus banyak memperhatikan nasib orang-
orang yang kurang beruntung. Di antaranya ya para
satpam itulah..
Lho tidak ada saran untuk memberikan ganti
rugi kepada pihak yang kehilangan? Tanya Gendit
lebih lanjut.
Lho, yang maha pemberi itu Allah, bukan Pak
Purnomo atau Pak Cipto. Banyak-banyaklah sholat
Dhuha. Insya Allah akan diganti oleh Allah dengan
yang lebih baik dan lebih banyak. Percayalah.
Pak Sudib terus mengungkapkan ajakan yang
menyejukkan.
Kalau begitu Pak Sudib, nenek Yullyan makan
sirih, cukup sekian dan terima kasih. Gendit
mengakhiri pembicaraannya.
68 NO 6/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
68

You might also like