You are on page 1of 78

Sejarah Wilayah provinsi Sulawesi Tengah, sebelum jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, merupakan sebuah Pemerintahan Kerajaan

yang terdiri atas 15 kerajaan di bawah kepemimpinan para raja yang selanjutnya dalam sejarah Sulawesi Tengah dikenal dengan julukan Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat. Semenjak tahun 1905, wilayah Sulawesi Tengah seluruhnya jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, dari Tujuh Kerajaan Di Timur dan Delapan Kerajaan Di Barat, kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau Pusat-pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang meliputi, antara lain: Poso Lage di Poso, Lore di Wianga, Tojo di Ampana, Pulau Una-una di Una-una, Bungku di Bungku, Mori di Kolonodale, Banggai di Luwuk, Parigi di Parigi, Moutong di Tinombo, Tawaeli di Tawaeli, Banawa di Donggala, Palu di Palu, Sigi/Dolo di Biromaru, Kulawi di Kulawi, Tolitoli di Tolitoli Dalam perkembangannya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) bagian yakni: Sulawesi Tengah bagian Barat, meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan Daerahdaerah Tingkat II di Sulawesi. Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk Tomini), masuk Wilayah Karesidenan Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh Wilayah Sulawesi Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1940, Sulawesi Tengah dibagi menjadi 2 Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala yang meliputi Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja. Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo) masuk Wilayah Karesedenan Sulawesi Timur Bau-bau. Tahun 1964 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 terbentuklah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Propinsi Sulawesi Tengah sebagai Provinsi yang otonom berdiri sendiri yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan

selanjutnya tanggal pembentukan tersebut diperingati sebagai Hari Lahirnya Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan perkembangan Sistem Pemerintahan dan tutunan Masyarakat dalam era Reformasi yang menginginkan adanya pemekaran Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas Undangundang Nomor 51 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai Kepulauan. Kemudian melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat terbentuk lagi 2 Kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Tojo Una-Una. Kini berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 10 daerah, yaitu 9 kabupaten dan 1 kota. Sulawesi Tengah juga memiliki beberapa sungai, diantaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai arena arung jeram, sungai Gumbasa dan sungai Palu. Juga terdapat danau yang menjadi obyek wisata terkenal yakni Danau Poso dan Danau Lindu. Sulawesi Tengah memiliki beberapa kawasan konservasi seperti suaka alam, suaka margasatwa dan hutan lindung yang memiliki keunikan flora dan fauna yang sekaligus menjadi obyek penelitian bagi para ilmuwan dan naturalis. Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut. lklim Garis khatulistiwa yang melintasi semenanjung bagian utara di Sulawesi Tengah membuat iklim daerah ini tropis. Akan tetapi berbeda dengan Jawa dan Bali serta sebagian pulau Sumatera, musim hujan di Sulawesi Tengah antara bulan April dan September sedangkan musim kemarau antara Oktober hingga Maret. Rata-rata curah hujan berkisar antara 800 sampai 3.000 milimeter per tahun yang termasuk curah hujan terendah di Indonesia. Temperatur berkisar antara 25 sampai 31 Celsius untuk dataran dan pantai dengan tingkat kelembaban antara 71 sampai 76%. Di daerah pegunungan suhu dapat mencapai 16 sampai 22' Celsius. Flora dan Fauna Sulawesi merupakan zona perbatasan unik di wilayah Asia Oceania, dimana Flora dan Faunanya berbeda jauh dengan Flora dan Fauna Asia yang

terbentang di Asia dengan batas Kalimantan, juga berbeda dengan Flora dan Fauna Oceania yang berada di Australia hingga Papua dan Pulau timor. Garis maya yg membatasi zona ini disebut Wallace Line, sementara kekhasan Flora dan Faunanya disebut Wallacea, karena teori ini di kemukakan oleh Wallace seorang peneliti Inggris yang turut menemukan teori evolusi bersama Darwin. Sulawesi memiliki flora dan fauna tersendiri. Binatang khas pulau ini adalah anoa yang mirip kerbau, babirusa yang berbulu sedikit dan memiliki taring pada mulutnya, tersier, monyet tonkena Sulawesi, kuskus marsupial Sulawesi yang berwarna-warni yang merupakan varitas binatang berkantung, serta burung maleo yang bertelur pada pasir yang panas. Hutan Sulawesi juga memiliki ciri tersendiri, didominasi oleh kayu agatis yang berbeda dengan Sunda Besar yang didominasi oleh pinang-pinangan (spesies rhododenron). Variasi flora dan fauna merupakan obyek penelitian dan pengkajian ilmiah. Untuk melindungi flora dan fauna, telah ditetapkan taman nasional dan suaka alam seperti Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Morowali, Cagar Alam Tanjung Api dan terakhir adalah Suaka Margasatwa di Bangkiriang. Sumber: Wikipedia
http://www.kmb-sulsel.net/index.php?option=com_content&view=article&id=91&Itemid=123

Sejarah
Sulawesi Tengah yang terletak di bagian barat kepulauan Maluku dan bagian selatan Philipina membuat pelabuhan di daerah ini sebagai persinggahan kapal-kapal Portugis dan Spanyol lebih dari 500 tahun lampau. Dalam perjalanannya mengelilingi dunia Francis Drake singgah di salah satu pulau kecil di bagian timur propinsi ini selama sebulan pada bulan Januari 1580. Setelah dikuasai oleh Belanda pada tahun 1905 Sulawesi Tengah dibagi menjadi beberapa kerajaan kecil, dibawah kekuasaan raja yang memiliki wewenang penuh. Belanda membagi Sulawesi Tengah menjadi tiga daerah yaitu wilayah barat yang kini dikenal dengan Kabupaten Donggala dan Buol Toli-Toli dibawah kekuasaan Gubernur yang berkedudukan di Makassar. Di bagian tengah yang membujur di Donggala kawasan timur dan bagian selatan Poso berada dibawah pengawasan Residen di Manado, bagian timur dikendalikan dari Bau-Bau. Pada tahun 1919 raja-raja yang masih berkuasa dibawah kekuasaan Belanda menandatangani suatu perjanjian yang disebut Korte Verklaring Renewcame memperbaharui persekutuan mereka dan seluruh daerah Sulawesi Tengah dibawah kekuasaan residen di Sulawesi Utara. Setelah perang dunia kedua wilayah yang merupakan Propinsi Sulawesi Tengah dewasa ini dibagi menjadi beberapa bagian dan sub bagian hingga pada tahun 1964 terbentuk menjadi

propinsi tersendiri yang terpisah dari Sulawesi Utara yang bergabung sejak 1960. Akhirnya tanggal 13 April 1964 diangkatlah gubernur tersendiri untuk propinsi ini yang hingga saat ini tanggal tersebut tetap diperigati sebagai hari ulang tahun propinsi ini. Wilayah provinsi Sulawesi Tengah sebelum jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda merupakan sebuah Pemerintahan Kerajaan yang terdiri atas 15 kerajaan di bawah kepemimpinan para raja yang selanjutnya dalam sejarah Sulawesi Tengah dikenal dengan julukan Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat. Semenjak tahun 1905, wilayah Sulawesi Tengah seluruhnya jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, dari Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat, kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau Pusat-pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang meliputi, antara lain: 1. Poso Lage di Poso 2. Lore di Wianga 3. Tojo di Ampana 4. Pulau Una-una di Una-una 5. Bungku di Bungku 6. Mori di Kolonodale 7. Banggai di Luwuk 8. Parigi di Parigi 9. Moutong di Tinombo 10. Tawaeli di Tawaeli 11. Banawa di Donggala 12. Palu di Palu 13. Sigi/Dolo di Biromaru 14. Kulawi di Kulawi 15. Tolitoli di Tolitoli Dalam perkembangannya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) bagian, yakni: 1. Sulawesi Tengah bagian Barat, meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi. 2. Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk Tomini), masuk Wilayah Karesidenan Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh Wilayah Sulawesi Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1940, Sulawesi Tengah dibagi menjadi 2 Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala yang meliputi Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja. 3. Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo) masuk Wilayah Karesedenan Sulawesi Timur Bau-bau.

Tahun 1964 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 terbentuklah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Propinsi Sulawesi Tengah sebagai Provinsi yang otonom berdiri sendiri yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan selanjutnya tanggal pembentukan tersebut diperingati sebagai Hari Lahirnya Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan perkembangan Sistem Pemerintahan dan tutunan Masyarakat dalam era Reformasi yang menginginkan adanya pemekaran Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai Kepulauan. Kemudian melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat terbentuk lagi 2 Kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Tojo Una-Una. Kini berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 10 daerah, yaitu 9 kabupaten dan 1 kota. Sulawesi Tengah juga memiliki beberapa sungai, diantaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai arena arung jeram, sungai Gumbasa dan sungai Palu. Juga terdapat danau yang menjadi obyek wisata terkenal yakni Danau Poso dan Danau Lindu. Sulawesi Tengah memiliki beberapa kawasan konservasi seperti suaka alam, suaka margasatwa dan hutan lindung yang memiliki keunikan flora dan fauna yang sekaligus menjadi obyek penelitian bagi para ilmuwan dan naturalis. Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut.
http://infosulawesitengah.wordpress.com/sejarah/

Billy

SEJARAH SULAWESI TENGAH Sejarah Singkat Pertumbuhan Sulawesi Tengah.

Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah, sebelum jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda merupakan sebuah Pemerintahan Kerajaan yang terdiri atas 15 (Lima Belas) Kerajaan dibawah kepemimpinan para raja yang selanjutnya dalam sejarah Sulawesi Tengah dikenal dengan julukan Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat. Semenjak tahun 1905, wilayah Sulawesi Tengah seluruhnya jatuh ketangan Pemerintahan Hindia Belanda, dari Tujuh Kerajaan Di Timur dan Delapan Kerajaan Di Barat, kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau Pusat-pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang meliputi, antara lain : 1. Poso Lage di Poso; 2. Lore di Wianga; 3. Tojo di Ampana ; 4. Pulau Una-una di Una-una; 5. Bungku di Bungku; 6. Mori di Kolonodale; 7. Bagai di Luwuk; 8. Parigi di Parigi; 9. Moutong di Tinombo; 10. Tawaeli di Tawaeli; 11. Banawa di Donggala; 12. Palu di Palu; 13. Sigi/Dolo di Biromaru; 14. Kulawi di Kulawi 15. Tolo-toli di Toli-toli; Dalam perkembanganya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, oleh Pemerintah Pusat membagi wilayah Sulawesi Tengah menjadi 3 (Tiga) bagian yakni : 1. Sulawesi Tengah bagian Barat, meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Toli-toli. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi; 2. Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk Tomini), masuk Wilayah Karesidenan Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh Wilayah Sulawesi Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1940, Sulawesi Tengah di bagi menjadi 2 Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala yang meliputi Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja. 3. Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo) masuk Wilayah Karesedenan Sulawesi Timur Bau-bau. Tahun 1964 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 terbentuklah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Toli-toli. Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Propinsi Sulawesi Tengah sebagai Propinsi yang otonom berdiri

sendiri yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan selanjutnya tanggal pembentukan tersebut diperingatin sebagai Hari Lahirnya Propinsi Sulawesi Tengah. Dengan perkembangan Sistem Pemerintahan dan tutunan Masyarakat dalam era Reformasi yang menginkan adanya pemekaran Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai Kepulauan. Kemudian melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat terbentuk lagi Kabupaten baru di Propinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong. Dengan demikian hingga saat ini berdasarkan pemekaran Wilayah Kabupaten di Propinsi Sulawesi Tengah, Menjadi sembilan Daerah yakni : 1. Kabupaten Donggala berkedudukan di Donggala 2. Kabupaten Poso berkedudukan di Poso 3. Kabupaten Banggai berkedudukan di Luwuk 4. Kabupaten Toli-toli berkedudukan di Toli-toli 5. Kota Palu berkedudukan di Palu 6. Kabupaten Buol berkedudukan di Buol 7. Kabupaten Morowali berkedudukan di Kolonodale 8. Kabupaten Banggai Kepulauan berkedudukan di Banggai 9. Kabupaten Parigi Moutong berkedududkan di Parigi sumber : Sulteng.go.id _______________________________ ini beberapa tambahannya ;

Provinsi Sulawesi Tengah dibentuk tahun 1964. Sebelumnya Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah keresidenan di bawah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah. Provinsi yang beribukota di Palu ini terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964. Seperti di daerah lain di Indonesia, penduduk asli Sulawesi Tengah merupakan percampuran antara bangsa Wedoid dan negroid. Penduduk asli ini kemudian berkembang menjadi suku baru menyusul datangnya bangsa Proto-Melayu tahun 3000 SM dan Deutro-Melayu tahun 300 SM. Keberadaan para penghuni pertama Sulawesi Tengah ini diketahui dari peninggalan sejarah berupa peralatan dari kebudayaan Dongsong (perunggu) dari zaman Megalitikum. Perkembangan selanjutnya banyak kaum migran yang datang dan menetap di wilayah Sulawesi Tengah. Penduduk baru ini dalam kehidupan kesehariannya bercampur dengan penduduk lama sehingga menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dan baru. Akhirnya, sukusuku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu, Palu Toraja, Koro Toraja, dan Poso Toraja. Pada abad ke 13, di Sulawesi Tengah sudah berdiri beberapa kerajaan seperti Kerajaan Banawa,

Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah mulai terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo. Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota. Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya. Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalag dengan dipakainya istilah raja. Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing. Selain pengaruh Mandar, kerajaankerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan). Dengan meluasnya pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam. Daerah-daerah yang diwarnai Islam pertama kali adalah daerah pesisir. Pada pertengahan abad ke 16, dua kerajaan, yaitu Buol dan Luwuk telah menerima ajaran Islam. Sejak tahun 1540, Buol telah berbentuk kesultanan dan dipimpin oleh seorang sultan bernama Eato Mohammad Tahir. Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan kolonial Belanda. Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun benteng di Parigi dan Lambunu. Pada abad ke 18, meningkatkan tekanannya pada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah menguasai kerajaankerajaan di Sulawesi Tengah tersebut. Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang contract dan korte verklaring, Belanda telah sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata. Pada permulaan abad ke 20 pula mulai muncul pergerakan-pergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Selain pergerakan lokal, masuk pula pergerakan-pergerakan yang berpusat di Jawa. Organisasi yang pertama mendirikan cabang di Sulawesi Tengah adalah Syarikat Islam (SI), didirikan di Buol Toli-Toli tahun

1916. Organisasi lainnya yang berkembang di wilayah ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cabangnya didirikan di Buol tahun 1928. organisasi lainnya yang membuka cabang di Sulawesi Tengah adalah Muhammadiyah dan PSII. Perlawanan rakyat mencapai puncaknya tanggal 25 Januari 1942. Para pejuang yang dipimpin oleh I.D. Awuy menangkap para tokoh kolonial seperti Controleur Toli-Toli De Hoof, Bestuur Asisten Residen Matata Daeng Masese, dan Controleur Buol de Vries. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh kolonial itu, praktis kekuasaan Belanda telah diakhiri. Tanggal 1 Februari 1942, sang merah putih telah dikibarkan untuk pertama kalinya di angkasa Toli-Toli. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena seminggu kemudian pasukan Belanda kembali datang dan melakukan gempuran. Meskipun telah melakukan gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi Tengah karena pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu, tepatnya di Luwuk tanggal 15 Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Di era Jepang, kehidupan rakyat semakin tertekan dan sengsara seluruh kegiatan rakyat hanya ditujukan untuk mendukung peperangan Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada awal kemerdekaan, Sulawesi tengah merupakan bagian dari provinsi Sulawesi. Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, pasca kemerdekaan adalah saatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Rongrongan terus datang dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Belanda menerapkan politik pecah-belah dimana Indonesia dijadikan negara serikat. Namun akhirnya bangsa Indonesia dapat melewati rongrongan itu dan ada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Sejak saat itu, Sulawesi kembali menjadi salah satu provinsi di Republik Indonesia dan berlangsung hingga terjadi pemekaran tahun 1960. Pada tahun tersebut Sulawesi dibagi dua menjadi Sulawesi Selatan-Tenggara yang beribukota di Makassar dan Sulawesi Utara-Tengah yang beribukota di Manado. Pada tahun 1964, Provinsi Sulawesi Utara-Tengah dimekarkan menjadi provinsi Sulawesi Utara yang beribukota di Manado dan Sulawesi Tengah yang beribu kota di Palu.

about 9 months ago

Foxsmank

SEJARAH RINGKAS PERLAWANAN RAKYAT SULAWESI TENGAH TERHADAP KEKUASAAN PENJAJAHAN DI INDONESIA.Tahun 1902 Belanda mulai menginjakkan kakinya di lembah Palu, dengan siasat ingin bersahabat dengan Raja setempat - Namun tujuan busuk Belanda ketahuan melalui berbagai pungutan yang mereka lakukan dan tindakan ini menimbulkan perlawan di masyarakat lembah Palu, yaitu :1. PERLAWANAN RAKYAT SIGI DIPIMPIN OLEH TOI DOMPO ATAU KARANJA LEMBAH 2. PERLAWANAN RAKYAT BANAWA DIPIMPIN OLEH MALONDA 3. PERLAWANAN RAKYAT KULAWI DIMPIN OLEH TOI TARENGKE 4. PERLAWANAN RAKYAT MORI DI PIMPIN OLEH MARUNDUH 5. PERLAWANAN RAKYAT SALUMPAGA DIPIMPIN OLEH HAJI HAYYUN 6. PERLAWANAN RAKYAT DOLO DIPIMPIN OLEH DATUPAMUSU 7. PERLAWANAN RAKYAT KALEKE/PEWUNU DIPIMPIN OLEH YOTO DAENG PAWINDU DS 8. PERLAWANAN RAKYAT DOLAGO DIPIMPIN OLEH MARJUN HABI DAN ABDUL WAHID TOANA 9. PERLAWANAN RAKYAT PALU DIPIMPIN OLEH RADJAMAILI 10. PERLAWANAN RAKYAT TAVAILI DIPIMPIN OLEH DJAELANGKARA 11. PERLAWANAN RAKYAT TATANGA DIPIMPIN OLEH RATU RANGIGGAMAGI 12. PERLAWANAN RAKYAT MOUTONG DIPIMPIN OLEH RAJA KUTI TOMBOLOTUTU 13. PERLAWANAN RAKYAT SOJOL DIPIMPIN OLEH KALEOLANGI DAN SINGALAM 14. PERLAWANAN RAKYAT PARIGI DIPIMPIN OLEH VINONO 15. PERLAWANAN RAKYAT SAUSU DIPIMPIN OLEH LALOVE Setelah jepang menduduki Indonesia tahun 1942 rakyat sulawesi tengah membentuk sejumlah gerakan organisasi : 1. ORGANISASI MERAH PUTIH BERPUSAT DI KALEKE 2. PARTAI PERSATUAN INDONESIA MERDEKA PIMPINAN H.ABDUL KADIR NONCI 3. ANGKATAN PEMUDA INDONESIA PIMPINAN RADEN AMBIAH DAN JUNUS SUNUSI 4. PEMUDA INDONESIA MERDEKA PIMPINAN PIOLA ISA, ANDI TJELLA NURDIN, ANDI BARU LAMARAUNA DAN ANDI NGARO PETTALOLO 5. SAREKAT ISLAM PIMPINAN YOTO DAENG PAWINDU DAN RAHIM PAKAMUNDI 6. PNI PIMPINAN YOTO DAENG PAWINDU DAN ABDUL WAHID TOANA 7. LASKAR PEMUDA MERAH PUTIH PIMPINAN LOLONTOMENE LAMAKARATE, DM GAGARAMUSU DAN DM LAMAKAMPALI . 8. ORGANISASI KEPANDUAN PIMPINAN ISMAIL BORAHIMA DAN JASIN TANTU 9. AKSI GERILYA KILAT PIMPINAN M. MASJHUDA, BAHREN THAJEB DLL 10. PERJUANGAN RAKYAT INDONESIA MERDEKA PIMPINAN YOTO DAENG PAWINDU DS 11. GERAKAN RAKYAT INDONESIA MERDEKA PIMPINAN JONDI MARANUA DAN DM LAMAKAMPALI 12. GABUNGAN PARTAI PERJUANGAN RAKYAT INDONESIA PIMPINAN H. MOH ARSYAD DAN M.DJ ABDULLAH 13. ISTERI SADAR PIMPINAN NY. AMINAH DJANGGOLA 14. PERSATUAN WANITA PIMPINAN : NY KALSUM R.TIANGSO DAN NY. S. SUBAEDAH ABDULLAH 15. ORGANISASI SENI BUDAYA YANG DIMOTOTRI OLEH JUNUS SUNUSI, DM GAGARAMUSU, SUNU YOTOMARUANGI, YAHYA PAKAMUNDI JONDI MARANUA 16. MELALUI PENDIDIKAN SEPERTI SEKOLAH ISLAMIYAH, MUHAMMADIYAH, PERGURUAN ISLAM ALKHAIRAAT DAN BALA KESELAMATAN

- Digedung bekas kediaman penguasa Belanda pada tahun 1950 RAJA TJATJO IDJAZAH memproklamirkan daerah sulawesi tengah berpisah dari Negara Indonesia Timur dan bergabung dengan RI yang berpusat di Yogyakarta..Gedung tersebut kini menjadi Gedung Juang 45 - dua pahlawan tanah kaili yaitu Yoto Daeng Pawindu DS dan Abdul Wahid Toana oleh Pemerintah RI dinyatakan sebagai Perintis kemerdekaan... ( Dari catatan DAUD AGAN, MANTAN KETUA MARKAS CABANG LEGIUN VETERAN RI KAB. DONGGALA ) about 9 months ago

Billy

Sebagai nama satu wilayah Sulawesi Tengah sama tuanya dengan sejarah Nusantara namun sebagai salah satu provinsi Republik Indonesia daerah ini tergolong muda. Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964. Pembentukannya ditandai dengan upacara besar-besaran di kota Palu pada tanggal 13 April 1964 ketika Anwar Gelar Datuk Rajo Base Nan Kuning menerima penyerahan wilayah dan pemerintahan Keresidenan Sulawesi Tengah dari Gubernur Sulawesi Utara-Tengah. Upacara bersejarah itu merupakan akhir dari suatu proses perjuangan rakyat di Sulawesi Tengah yang berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebelum mencapai status sebagai daerah propinsi yang berdiri sendiri Sulawesi Tengah merupakan daerah keresidenan yang tergabung dalam Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 47/Prp/1960. Karena itu sejarah pemerintahan kedua propinsi ini tidak terlepas satu sama lain. Seperti propinsi-propinsi lainnya di Pulau Sulawesi, Sulawesi Tengah juga mencatat beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai statusnya ditetapkan sebagai daerah tingkat I. Pada permulaan kemerdekaan, wilayah ini merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Tetapi karena bergolaknya perang kemerdekaan pada masa itu pembenahan administrasi pemerintahan belum dapat dilakukan. Pemerintahan daerah Propinsi Sulawesi yang dibentuk bersama tujuh propinsi lainnya pada awal kemerdekaan Propinsi Sumatera, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Sunda Kecil, Propinsi Kalimantan, dan Propinsi Maluku - tidak banyak melakukan konsolidasi ke dalam. Demikian pula halnya di Propinsi Sulawesi. Gubernur Propinsi Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangi yang memulai tugasnya di Makassar pada 19 Agustus 1945 ternyata hanya bertahan sembilan bulan. Sebab pada tanggal 5 April 1946 tentara Belanda yang datang kembali bersama pasukan Sekutu menangkapnya dan kemudian mengasingkannya ke Serui, Papua. Kendati demikian, pesan-pesan untuk meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan telah dikirim ke seluruh pelosok Pulau Sulawesi. Karena itulah meskipun pemerintahan daerah Propinsi Sulawesi tidak berjalan lagi, tokoh-tokoh pergerakan di daerah ini segera mengambil langkahlangkah untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah dicapai. Di Kota Poso misalnya, para pemuda di bawah pimpinan W. L. Talasa mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari tangan Jepang dan membentuk barisan sukarela dengan nama Pemuda Merah Putih. Organisasi ini dipimpin oleh Yacob Lamayuda, bekas perwira Heiho. Demikian pula di Donggala dan Palu. Raja Banawa R. Lamara Una mengambil alih kekuasaan tentara Jepang. Sementara itu kurir Gubernur Sulawesi yang dikirim melalui Palopo tiba di Poso. Utusan ini terdiri dari Landau dan kawan-kawan. Lalu datang Ali Lemato, A. Tumu dan seorang kurir lainnya dari Gorontalo. Kedatangan mereka menambah semangat sehingga perjuangan mempertahankan kemerdekaan lebih bergelora lagi di seluruh Pulau Sulawesi. Untuk lebih meningkatkan perjuangan ke daerah-daerah lainnya dikirim pula kurir. Ke daerah

Donggala / Palu diutus Abdul Gani (Isa Piola) yang membawa siaran-siaran tertulis dari Gubernur Sulawesi. Tetapi usaha-usaha para tokoh pergerakan dan pemuda untuk membentuk pemerintahan nasional RI di daerah ini tidak dapat terwujud karena digagalkan oleh kolonial Belanda (NICA) yang kembali ke Sulawesi Tengah dengan membonceng kedatangan tentara Sekutu pada bulan September 1945. Keadaan semakin mencekam dan genting, ketika tentera Sekutu pada 1946 meninggalkan Indonesia dan menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda. Sejak itu perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang secara langsung berhadapan dengan Belanda dilakukan secara bergerilya dan di bawah tanah. Pada tanggal 3 Maret 1946, tokoh-tokoh kelaskaran wilayah Palu-Donggala mengadakan pertemuan untuk meningkatkan gerakan perlawanan secara nyata melalui pembentukan partai-partai politik. Terbentuk beberapa organisasi sebagai wadah perjuangan seperti Perjuangan Rakyat Indonesia Merdeka (Prima) di daerah Sigi-Dolo, Partai Rakyat Indonesia (Parindo) di daerah Wani, Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (Gerima) di daerah Tawaeli, Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Palu dan Organisasi Wanita di Biromaru. Perlawanan demi perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan, meskipun kota-kota penting di wilayah ini praktis sepenuhnya di bawah kontrol Belanda. Penjajah yang ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia menyadari bahwa untuk mengembalikan Indonesia seperti halnya sebelum perang (PD II) adalah tidak mungkin sama sekali. Oleh karena itu Gubernur jenderal Hindia Belanda di Jakarta Dr. H.J. Van Mook mencetuskan gagasan untuk membentuk negara serikat atau federasi yang akan tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda. Guna mewujudkan gagasan ini Van Mook mengadakan Konferensi Malino pada 15-25 juli 1946. Konferensi ini menelorkan beberapa keputusan: antara lain, negara Indonesia nantinya harus berbentuk federasi dan sebelum negara federal tersebut terbentuk, maka di dalam masa peralihan kedaulatan ada di tangan Belanda. Tanpa mempedulikan perundingan-perundingan yang sedang dilangsungkan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia, Van Mook lebih mematangkan lagi keputusan Konferensi Malino tersebut pada Konferensi Denpasar yang diselenggarakan pada 24-28 Desember 1946. Dalam Konferensi Denpasar itulah dibentuk Negara Indonesia Timur (NIT) yang merupakan negara bagian pertama dari negara serikat yang akan didirikan tersebut. NIT berdiri tanggal 24 Desember 1946 dengan ibukotanya Makassar (Ujungpandang) dan sebagai presidennya Tjokorde Gede Raka Sukawati. Wilayah NIT meliputi 13 daerah yaitu Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Bali, Lombok, Timor, dan pulau-pulau Flores, Sumbawa, dan Sumba. Menurut naskah pembentukan NIT pada bab III pasal 14 ayat 1 sub 5e disebutkan: Daerah Sulawesi Tengah terdiri dari resort afdeling Poso dan Donggala meliputi kerajaan-kerajaan Tojo, Poso, Lore, Una-Una, Bungku, Mori, Banggai, Banawa, Tawaeli, Palu, Sigi, Dolo, Kulawi, Parigi, Moutong, dan Toli-

Toli. Kehadiran NIT segera diketahui oleh tokoh-tokoh pergerakan sebagai negara bentukan kolonial Belanda. Karena itu pada tanggal 2 Januari 1947 seluruh partai politik di Sulawesi Tengah mempersatukan diri dalam satu wadah yang dinamakan Gabungan Perjuangan Rakyat Indonesia (Gapprist). Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya pengakuan kedaulatan RIS oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Sesudah itu di seluruh Indonesia termasuk di daerah ini terjadi masa-masa peralihan ketatanegaraan. Sebelumnya yaitu pada tanggal 30 Agustus 1949 Pemerintah NIT membentuk DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sulawesi Tengah. Melalui badan legislatif inilah organisasi-organisasi pergerakan di daerah ini seperti IPPRI (Ikatan Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia) menuntut pembubaran NIT dan kembali bergabung dengan Negara Republik Indonesia. Untuk itu pula kepada wakil daerah Sulawesi Tengah di DPR NIT di Makassar dikirim kawat yang isinya bahwa partai-partai pergerakan di Sulawesi Tengah yang terdiri dari 29 partai memutuskan menyokong gerakan pembubaran NIT dengan segera dan terbentuknya Negara Kesatuan RI. Sebagai kelanjutan dari kawat tersebut, maka pada tanggal 6 Mei 1950 diadakan rapat umum di Palu yang dihadiri oleh pejabat-pejabat dan para pemimpin partai politik setempat. Dalam rapat umum itu dibacakan Maklumat Pucuk Pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Isinya, antara lain, menyatakan: "Mulai tanggal 6 Mei 1950 pukul 007.00 pagi tiga kerajaan Palu, Sigi, Dolo, dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya menyatakan melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Pernyataan yang terdiri atas 12 butir tersebut ditandatangani oleh Tjaqo Idjazah dan R. Sungkowo atas nama BKR dan Lumowa mewakili pihak Kepolisian. Sejak itu tuntutan pembubaran NIT semakin gencar dan tak dapat di bendung lagi. Akhirnya Pemerintah NIT memberi kuasa kepada Pemerintah RIS untuk membicarakan tuntutan sanubari rakyatnya ini dengan Pemerintah RI di Yogyakarta. Pada tanggal 19 Mei 1950, antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI tercapai persetujuan untuk membentuk negara kesatuan dengan jalan mengubah konstitusi RIS, yang kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya UU RIS No. 7 tahun 1950, tentang perubahan UUD RIS menjadi Undangundang Dasar Sementara (UUDS). Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakanlah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta pembubaran negara RIS beserta negara-negara bagiannya. Sejak itu pemerintahan nasional Propinsi Sulawesi kembali menjalankan fungsinya. Sebagai pejabat gubernur diangkat BW Lapian (17-8-1950 sampai 1-07-1951). Selanjutnya pada tanggal 4 juli 1951, ditetapkan Sudiro sebagai gubernur permanen untuk propinsi ini.

Sejalan dengan pembangunan di bidang pemerintahan, pada tahun 1960 dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 1960 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 47/ Prp tahun 1960, Propinsi Sulawesi dimekarkan menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulsera) dengan ibukotanya Makassar dan Propinsi Sulawesi UtaraTengah (Sulutteng) dengan ibukotanya Manado. Kemudian dengan semakin meningkatnya perkembangan pemerintahan dan pembangunan, maka Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi UtaraTengah dimekarkan lagi dengan Undang-undang No.13/1964 menjadi dua propinsi daerah tingkat I yaitu: Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukotanya Manado dan Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu. Peningkatan status ini membuka peluang bagi Sulawesi Tengah di bawah kepemimpinan Gubernur Anwar Gelar Datuk Madjo Baso Nan Kuning (1964-1968) untuk segera mengejar ketertinggalannya, terutama dalam bidang pemerintahan, dari propinsi-propinsi lainnya di luar bekas NIT. Namun penataan yang lebih menyeluruh, di barengi dengan pelaksanaan program pembangunan sejalan dengan pencanangan Repelita 1, baru terjadi mulai masa bakti Mohammad Yasin yang menjadi gubernur dari tahun 1968 sampai tahun 1973. Hal ini terjadi karena beratnya persoalan yang dihadapi rakyat Sulawesi Tengah menyusul eskalasi pemberontakan DI/TlI Kahar Muzakkar dan PRRI/Permesta pada tahun 1950an, dan kemudian G-30S/PKI. Serangkaian peristiwa tersebut menimbulkan banyak kerusakan fisik yang memporakporandakan kehidupan perekonomian rakyat. Maka di bawah M. Yasin dimulailah perbaikan berbagai prasarana infrastruktur, seperti sarana perhubungan untuk mempelancar arus barang dan manusia dari satu daerah ke daerah lainhya. Dalam periode Pelita I Sulawesi Tengah mencatat 92 proyek pembangunan yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 2,2 milyar. Sulawesi Tengah merupakan propinsi terbesar di pulau Sulawesi, dengan luas wilayah daratan 63.033 km2 yang mencakup semenanjung bagian timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta kepulauan Togian di Teluk Tomini dan Kepulauan Banggai di Teluk Tolo, dengan luasa wilayah laut adalah 189.480 km2. Sulawesi Tengah yang terletak di bagian barat kepulauan Maluku dan bagian selatan Philipina membuat pelabuhan di daerah ini sebagai persinggahan kapal-kapal Portugis dan Spanyol lebih dari 500 tahun yang lampau. Dalam perjalanannya mengelilingi dunia Francis Drake, dengan kapalnya "The Golden Hind" singgah di salah satu pulau kecil di pantai timur propinsi ini selama sebulan pada bulan Januari 1580. Meskipun tidak ada catatan sejarah, kemungkinan besar pelaut-pelaut Portugal dan Spanyol menginjakan kakinya di negeri ini yang terbukti dengan masih ada pengaruh Eropa terhadap bentuk pakaian masyarakat hingga dewasa ini. Setelah di kuasai oleh Belanda pada tahun 1905 Sulawesi Tengah di bagi menjadi beberapa kerajaan kecil, dibawah kekuasaan Raja yang memiliki wewenang penuh. Belanda membagi Sulawesi Tengah menjadi tiga daerah yaitu wilayah barat yang kini dikenal

dengan Kabupaten Donggala dan Buol Toli-toli dibawah kekuasaan Gubernur yang berkedudukan di Ujung Pandang. Di bagian tengah yang membujur di Donggala kawasan timur dan bagian selatan Poso berada dibawah pengawasan Residen di Manado, bagian timur dikendalikan dari Baubau. Pada tahun 1919 Raja-raja yang masih berkuasa dibawah kekuasaan Belanda menanda tangani suatu perjanjian yang disebut "Korte Verklaring Renewcame" memperbaharui persekutuan mereka dan seluruh daerah Sulawesi Tengah dibawah kekuasaan residen di Sulawesi Utara. Pemerintahan Sulawesi Tengah Setelah perang dunia kedua wilayah yang merupakan propinsi Sulawesi Tengah dewasa ini di bagi menjadi beberapa bagian dan sub bagian hingga pada tahun 1964 terbentuk menjadi propinsi tersendiri yang terpisah dari Sulawesi Utara yang bergabung sejak 1960. Akhir tanggal 13 April 1964 diangkatlah Gubernur tersendiri untuk Propinsi ini yang hingga saat ini tanggal tersebut tetap diperingati sebagai hari ulang tahun provinsi ini. http://www.facebook.com/topic.php?uid=154936471183542&topic=190

Sejarah Sulawesi Tengah


oleh Banawa Emperor Family Community pada 07 Oktober 2010 jam 7:02

<span><span><span> <span>Provinsi Sulawesi Tengah dibentuk tahun 1964. Sebelumnya Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah keresidenan di bawah Pemerintahan Provinsi Sulawesi UtaraTengah. Provinsi yang beribukota di Palu ini terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964.</span> <span> </span> <span>Seperti di daerah lain di Indonesia, penduduk asli Sulawesi Tengah merupakan percampuran antara bangsa Wedoid dan negroid. Penduduk asli ini kemudian berkembang menjadi suku baru menyusul datangnya bangsa Proto-Melayu tahun 3000 SM dan DeutroMelayu tahun 300 SM. Keberadaan para penghuni pertama Sulawesi Tengah ini diketahui dari peninggalan sejarah berupa peralatan dari kebudayaan Dongsong (perunggu) dari zaman Megalitikum.</span> <span> </span> <span>Perkembangan selanjutnya banyak kaum migran yang datang dan menetap di wilayah Sulawesi Tengah. Penduduk baru ini dalam kehidupan kesehariannya bercampur dengan penduduk lama sehingga menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dan baru. Akhirnya, suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu, Palu Toraja, Koro Toraja, dan Poso Toraja.</span>

<span> </span> <span>Pada abad ke 13, di Sulawesi Tengah sudah berdiri beberapa kerajaan seperti Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah mulai terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo.</span> <span> </span> <span>Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota. </span> <span> </span> <span>Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.</span> <span> </span> <span>Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalag dengan dipakainya istilah raja. Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing. Selain pengaruh Mandar, kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan).</span> <span> </span> <span>Dengan meluasnya pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam. Daerahdaerah yang diwarnai Islam pertama kali adalah daerah pesisir. Pada pertengahan abad ke 16, dua kerajaan, yaitu Buol dan Luwuk telah menerima ajaran Islam. Sejak tahun 1540, Buol telah berbentuk kesultanan dan dipimpin oleh seorang sultan bernama Eato Mohammad Tahir. </span> <span> </span>

<span>Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan kolonial Belanda. Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun benteng di Parigi dan Lambunu. Pada abad ke 18, meningkatkan tekanannya pada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah tersebut. </span> <span> </span> <span>Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang contract dan korte verklaring, Belanda telah sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata. Pada permulaan abad ke 20 pula mulai muncul pergerakan-pergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Selain pergerakan lokal, masuk pula pergerakan-pergerakan yang berpusat di Jawa. Organisasi yang pertama mendirikan cabang di Sulawesi Tengah adalah Syarikat Islam (SI), didirikan di Buol Toli-Toli tahun 1916. Organisasi lainnya yang berkembang di wilayah ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cabangnya didirikan di Buol tahun 1928. organisasi lainnya yang membuka cabang di Sulawesi Tengah adalah Muhammadiyah dan PSII.</span> <span> </span> <span>Perlawanan rakyat mencapai puncaknya tanggal 25 Januari 1942. Para pejuang yang dipimpin oleh I.D. Awuy menangkap para tokoh kolonial seperti Controleur Toli-Toli De Hoof, Bestuur Asisten Residen Matata Daeng Masese, dan Controleur Buol de Vries. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh kolonial itu, praktis kekuasaan Belanda telah diakhiri. Tanggal 1 Februari 1942, sang merah putih telah dikibarkan untuk pertama kalinya di angkasa Toli-Toli. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena seminggu kemudian pasukan Belanda kembali datang dan melakukan gempuran.</span> <span> </span> <span>Meskipun telah melakukan gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi Tengah karena pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu, tepatnya di Luwuk tanggal 15 Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Di era Jepang, kehidupan rakyat semakin tertekan dan sengsara seluruh kegiatan rakyat hanya ditujukan untuk mendukung peperangan Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.</span> <span>Pada awal kemerdekaan, Sulawesi tengah merupakan bagian dari provinsi Sulawesi. Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, pasca kemerdekaan adalah saatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Rongrongan terus datang dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Belanda menerapkan politik pecah-belah dimana Indonesia dijadikan negara serikat. Namun akhirnya bangsa Indonesia dapat melewati rongrongan itu dan ada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. </span>

<span> </span> <span>Sejak saat itu, Sulawesi kembali menjadi salah satu provinsi di Republik Indonesia dan berlangsung hingga terjadi pemekaran tahun 1960. Pada tahun tersebut Sulawesi dibagi dua menjadi Sulawesi Selatan-Tenggara yang beribukota di Makassar dan Sulawesi Utara-Tengah yang beribukota di Manado. Pada tahun 1964, Provinsi Sulawesi Utara-Tengah dimekarkan menjadi provinsi Sulawesi Utara yang beribukota di Manado dan Sulawesi Tenagh yang beribukota di Palu. </span>
</span></span></span> http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=166373353378446

Asal mula penduduk yang mendiami daerah Sulawesi Tengah dari tradisi lisan di kecamatan Banawa, kabupaten Donggala di peroleh cerita yang berbentuk mitos legendaris yang mengandung unsur-unsur pengaruhnya agama islam. Menurut mitos tersebut asal nenek moyang mereka dari tanah sanggamu (tanah senggama). Tanah sanggamu terdiri atas dua buah genggam tanah, satu pria dan satu wanita. Mula-mula Tuhan menciptakan dari segenggam tanah seorang laki-laki yang bernama Mulajadi dan segenggam lainnya seorang wanita yang bernama Jaruantanah, yang belum memiliki alat kelaminsempurna. Nanti Mulajadi lah yang membantu menyempurnakan alat kelaminnya dengan menggunakan tulang rusuk kirinya, lalu mereka menjadi suami istri. Dua orang inilah yang menurut cerita itu menurunkan penduduk atau penghuni Sulawesi Tengah. Para orang tua pemberi informasi di atas masih menyimpan dan menggenggam tanah tersebut yang di peroleh dari warisan turun-temurun sebagai benda pusaka keramat. Pada umumnya yang menyimpan tanah atau batu (disebut batu karena telah lamanya penyimpanan tanah sehingga mengeras menyerupai dua buah batu) tersebut merupakan keturunan dari penguasa-penguasa kerajaan yang terbilang sesepuh. Di pantai timur propinsi Sulawesi Tengah tepatnya di teluk Tomini di jumpai suku bangsa yang bahasanya sedikit lain dari bahasa Ledo dan bahasa Poso (Baree). mereka itu di namakan suku Tomini yang terdiri atas dua suku yaitu suku Tialo dan suku Lauje. Pada masyarakat ini di temui satu kepercayaan bahwa asal mula kejadian hidup ini ialah di suatu tempat di atas Pegunungan Palasa bernama Lembo Dayoan. Asal kejadiannya menurut cerita karena pertemuan langit dan bumi. Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk, dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan. Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat

penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan. Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri. Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat. {wikipedia}

Kesenian Masyarakat Sulawesi Tengah

Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Musik tradisional memiliki instrume seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat waino musik tradisional ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival. Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II. Di Sulawesi Tengah ini pengaruh seni kebudayaan asing dapat ditemukan yang berasal dari orang barat. Pengaruh kebudayaan asing adalah pengaruh kebudayaan yang datang dari luar, maka seiring dengan datangnya pengaruh ajaran islam, bidang kebudayaannya pun ikut mendapat pengaruh kebudayaan islam contohnya dalam seni membangun tempat ibadah atau masjid, dalam tata krama pergaulan, kesenian dan sebagainya. Juga pengaruh dari orang Bugis Makassar ikut memperkaya perkembangan kebudayaan di Sulawesi Tengah seperti dalam tata pemerintahan, bangunan rumah, adat kebiasaan, nama dan cara orang berpakaian, masakan dan sebagainya.

Begitu pula dengan datangnya ajaran islam yang di bawa oleh tokoh Datuk Karama dari Minangkabau ikut pula memperkaya kebudayaan kesenian di Sulawesi Tengah khususnya di lembah Kaili, pengaruh kebudayaan minang dalam bentuk nama seperti Ince, Dato. Alat kesenian seperti kakula, pemakaian panji dalam orang-orangan pada upacara adat, masakan, dan sebagainya.

Bahasa dan Tulisan yang di pakai Masyarakat Sulawesi Tengah

Gambaran umum terntang bahasa Di daerah Sulawesi tengah dikenal cukup banyak bahasa daerah yaitu bahasa Kaili, Tomini, Pamona, Bada, Napu, Pipikoro, Mori, Toli-Toli, Buol, Saluan, Balantak, dan bahasa daerah Banggai. Tetapi diantara pemakai bahasa-bahasa daerah tersebut sebagian besar dapat saling mengerti satu sama lain. Mengenai hubungan dengan bahasa tetangga juga saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat bahwa antara bahasa-bahasa yang dikenal di daerah ini dengan bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja) ada persamaan kata-kata. {Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tengah, Proyek Penelitian dan Pencatatan Departemen Pendidikan, 1977/1978: 22-23}

Agama Masyarakat Sulawesi Tengah

Penduduk Sulawesi Tengah sebagian besar memeluk agama Islam. Tercatat 72.36% penduduk memeluk agama Islam, 24.51% memeluk agama Kristen dan 3.13% memeluk agama Hindu dan Budha. Islam disebarkan di Sulawesi Tengah oleh Datuk Karamah, seorang ulama dari Sumatera Barat dan diteruskan oleh Said ldrus Salim Aldjufri seorang guru pada sekolah Alkhairaat. Agama Kristen pertama kali disebarkan di kabupaten Poso dan bagian selatan Donggala oleh missioner Belanda A.C Cruyt dan Adrian. Uraian di atas merupakan sedikit pengetahuan tentang kebudayaan di wilayah Sulawesi Tengah. Pada blog ini saya akan menjelaskan dan menguraikan secara detail tentang kebudayaan dan kehidupan pada masyarakat di Kabupaten Buol atau Toli-Toli.

Kabupaten Buol atau Toli-Toli

Dengan wafatnya Raja Anoglipu atau Kuntu Amas, maka kabupaten Toli-Toli ini terbagi menjadi 4 bagian kerajaan lagi yang masing-masing raja nya sebagai berikut:
1. 2. 3. 4. Kerajaan Tolongan dengan Raja Dai Parundu Kerajaan Tulaki dengan Raja Pulili Dwuta Kerajaan Bunobogu dengan Raja Umayah Kerajaan Riau dengan Raja Ndulu

Setelah keempat raja di atas wafat maka atas persetujuan keempat jurusan atau golongan rakyat dengan Bokidu, diangkatlah Jogugu Bataralangit menjadi Parabis (wakil raja) dan memerintah keempat wilayah yang akhirnya di persatukan kembali.

Perkembangan Bataralangit meninggal 1540 diganti oleh anaknya yang bernama Eanto Moh. Tahir dengan gelar Madika Moputi. Dalam Baool Staat raja ini merupakan raja pertama dalam susunan rajaraja dan tinggal di Pinamula 1540-1595.

Hubungan Antar Negara Pada masa pemerintahan Eato Mohammad Tohir sudah ada hubungan dengan Ternate. Dengan Ternate mungkin hubungannya sebagai daerah taklukan dari Ternate. Buktinya adanya penyerahan tongkat kerajaan di mana tongkat tersebut memakai inisial Sultan Ternate di bagian pangkalnya. Di samping itu Pombang Lipu bersahabat dengan raja-raja Bolaang Mongondow, Dolaan Itam, Kaidipan, dan Raja Gorontalo. Dengan Gorontalo Eato Mohammad Tohir terikat hubungan keluarga. Hubungan kerajaan Toli-Toli dengan kerajaan Gorontalo karena terikatnya hubungan keluarga dengan menikahnya Ndain dengan Kurambu (putrid Toli-Toli). Hubungan dangan Goa sebagai daerah taklukan di samping hubungan keluarga. (lihat sejarah atlas Moh. Yamin pada abad XVI-XVIII). Hubungan dengan Sigi sebagai keluarga dengan nikahnya keturunan Raja Toli-Toli, dengan Putri Sigi setelah Toli-Toli ditaklukan oleh Raja Sigi.

A. Penyelenggaraan Hidup dalam Masyarakat

1. Pemenuhan Kebutuhan Pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan cara-cara pemenuhan kebutuhan dari zaman kuno. Untuk beberapa daerah sudah mulai di lakukan penanaman padi. Di Toli-Toli sudah mulai mengenal penanaman padi, yaitu pada tempat-tempat yang di genangi air. Mereka yang menanam di rawa belum mengetahui teknik pengaturan air hingga padi di tanamnya sampai tua tetap tergenang dalam air. Sudah mulai penanaman sagu (yang tadinya hanya tumbuh sendiri di hutan-hutan) dan kelapa yang sering dijadikan emas kawin. Mereka sudah mulai memelihara binatang ternak seperti ayam, anjing (untuk berburu), kerbau dan sapi. Di samping pertanian lading di beberapa tempat sudah mulai mengerjakan sawah. Juga berburu dan mengambil hasil hutan seperti rotan, dammar, untuk kebutuhan sendiri-sendiri. 2. Hubungan Antargolongan Dalam masyarakat semakin jelas adanya kelompo-kelompok raja, bangsawan, orng merdeka, budak atau hamba. Hubungan antara golongan-golongan in di atur oleh adat yang sudah melembaga dalam masyarakat. Di Toli-Toli antara golongan Unbokilan dan Manuru sudah ada kerukunan. Tingkatan-tingkatan dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Keluarga Bangsawan di sebut golongan 12 Tua. 2. Keluarga Bangsawan Muda di sebut golongan 12 Muda, atau 8. 3. Keluarga orang biasa di sebu golongan 4.

Perbedaan atau pembagian lapisan masyarakat ini amat menonjol dan nyata sekali pada waktu adapt upacara-upacara perkawinan, kematian dan sebagainya.

B. Kehidupan Seni Budaya

1. Pendidikan Masih tetap pendidikan tradisional diadakan dalam hubungan keluarga untuk membentuk watak, susila, dan ketrampilan dalam memenuhi keperluan hidup seperti misalnya pengetahuan dalam pengolahan tanah dan berburu. Dengan cerita lisan dibina pembentukan watak anak untuk mengetahui tata susila, menjadi berani dan kesatria. Etiket dalam pergaulan dimana yang muda harus menghormati yang lebih tua, golongan bawah harus menghormati golongan atas (bangsawan), demikian pula sebaliknya bagaimana golongan bangsawan menghadapi golongan di bawahnya. Karena pada zaman baru ini telah terpengaruh ajaran islam yang sudah masuk ke Sulawesi Tengah (walaupun belum menyeluruh), maka mulai lah dalam lingkungan yang memeluk kepercayaan ini diadakan pelajaran mengaji Al-Quran dan cara pelaksanaan ibadah (syariah islam).

2. Kesenian Pada umumnya agama sama dengan kesenian zaman kuno. Seni tari, musik, nyanyian yang pada umumnya diadakan dan dikaitkan dengan upacara penyembahan pada roh (tari sakral dan magis), di samping untuk pergaulan muda mudi disaat tertentu menurut adat. Dengan masuknya ajaran islam maka juga termasuk dalam seni ini yaitu seni bacaan Al-Quran dan dzikir diadakan pada saat-saat tertentu seperti pada bulan ramadhan, pada waktu kematian, selamatan, perkawinan, dan lainnya.

Upacara-upacara adat dalam pertanian. Dalam bidang pertanian berlangsung upacara-upacara adat sejak membuka lading baru sampai upacara panen yang di sebut Adantane. Jiwa daripada upacara ini ialah laku perbuatan suci yang berisikan kepercayaan leluhur (nenek moyang) kepada yang dianggapnya penguasa tanah (To Manuru) yang memberikan kesuburan, keberhasilan, atau kegagalan. Dalam kontak dan komunikasi dengan penguasa itu diadakanlah upacara-upacara adat.
1. Upacara pembukaan ladang baru.

Upacara ini disebut Balia Tampilangi. Yang memimpin acara ini ialah petugas di bidang pertanian yang diangkat atau ditunjuk oleh masyarakat, sesuai fungsi atau jabatannya, yaitu: Ulu tumba-Panuntu-Pogane-Togura Ntane-Maradika tanah dan Suro. Kegiatan upacara ini dipusatkan di Bantaya yang di buat di daerah lokasi perkebunan baru. Tata cara pelaksanaannya: a. Motengge ntalu (memecahkan telur), yaitu telur masak yang dibawa oleh para petani. Yang berperan disini ialah Pogane (ahli mantra). Dengan hasil pemecahan telur tersebut akan diketahui atau sebagai suatu alamat bahwa usaha lading tersebut dapat berhasil atau gagal. Tanda-tanda kegagalannya kalau ada telur yang busuk, kosong atau lainnya yang menunjukan tanda-tanda tidak baik. b. Mogane ridayo (membaca mantra-mantra dikuburan yang dianggap keramat). Semua bahanbahan untuk keperluan upacara balia dibawa kekuburan. Nantalu (mulai menebang hutan). Selesai Mogane Ridayo, semua peserta kembali ke Bantaya. Di tempat iniTogura Ntalua telah membagi lokasi kebun atau lading baru untuk mereka olah masing-masing

Nolili Bane (upacara mengelilingi benih padi).

Mengelilingi benih padi yang akan ditanam dengan suatu upacara, yaitu membaca mantra-mantra dengan membuat tempat sesajianyang di sebut suampela (semacam kayu bercabang atau tiga batang kayu diikat bagian tengahnya untuk membuat tiang dan bagian atas atau cabang tempat menyimpan benda-benda sesajian). Nobalia. Selesai upacara diatas semua peserta harus pulang ke Bantaya. Di sini diadakan upacara balia di mana orang-orang yang kemasukan atau kesurupan makhluk-makhluk halus (topokoro balia) sudah siap. Notuda (menanam benih). Petugas-petugas adapt inti bersama-sama dengan anggotanya dan para petani menuju ke kebun untuk menanam benih pada hari yang telah ditentukan. Upacara No unja Bosu. Bila padi sudah mulai berisi para petugas adat berkumpul untuk mengadakan upacara No unja Bosu, (mengurus bagian padi yang sedang berisi). Demikian pula jagung yang mulai berisi. Kemudian upacara kunjungan ke kuburan keramat untuk berdoa (mengucapkan mantra-mantra) seperti waktu sebelum menanam benih atau bibit. Upacara Nomparaya (mengadakan sesajian). Dalam upacara ini disembelih seekor ayam. Darahnya diambil dan dibubuhkan pada padiyang tumbuh dari benih yang pertama kali ditanam. Juga diantar berbagai jenis makanan ke kuburan untuk sesajian yang diletakkan pada sebuah tempat dari kayu bercabangdengan diiring mantramantra, yang isinya sama dengan upacara diatas. Modindi (upacarapuji-pujian). Modindi yaitu suatu upacara puji-pujian kepada pemberi hasil dengan lagu dan syair-syair tertentu. Isi syair melukiskan asal usul padi atau jagung sampai pada proses pengolahannya. No Kato (memetik padi). Yang memetik padi pertama kali ialah dukun (sando yang dibarengi dengan mantra-mantra, disusul oleh para anggota lainnya yang mengikutiupacara cara pemetikan. Acara Nopinji. Padi yang dipanen belum dapat dimakan sebelum diadakan acara Nopinji, yaitu membawa sesajian kepada pemberi hasil. Sesajian tersebut ialah beras baru yang dimasak pertama kali di bawa ke kuburan keramat disertai mantra-mantra.

Nanjolo (pesta selamatan panen). Mengadakan upacara makan-makan sebagai pesta pora dengan segala jenis macam makanan. No Wunja. No Wunja adalah suatu pesta upacara selamatan selesai panen secara masal dengan acara yang besar dan meriah pada lokasi di sekitar baruga (rumah adat). Jenis wunja ada tiga macam, tergantung dari maksud dan tujuannya, yaitu: -Untuk To Manaru wunja kaleketi (wunja oge) -Untuk Bone wunja biasa (wunja rango-rango) -Untuk Tampilangi wunja bangunjaro Bentuk wunja mana yang akan dilaksanakantergantung daripada hasil musyawarah di Bantaya.

2. Pakaian dan Perhiasan

Pakaian sehari-hari Bahan-bahannya terdiri dari kulit kayu Nuru (pohon beringin), cara pembuatan kainnya dari kulit kayu yang bahannya dari kulit kayu Nunu. Cara pembuatannya adalah sebagai berikut: v v Menguliti kayu Nunu sebagai sumber bahan. Merebus kulit kayu tersebut sampai masak lalu di bungkus selama tiga hari.

v Di cuci dengan air untuk membersihkan getahnya dan biasanya menggunakan pula abu dapur. v Kulit kayu tersebut di pukul dengan alat yang di sebut pola (bahannya dari batang enau) sampai mengembang dan melebar. Kemudian dipukul dengan alat yang bernama tinahi yang di buat dari batu yang agak kasar. Disini dapat disambung bahan yang satu dengan bahan yang lainnya agar menjadi lebar dan panjang, di susul dengan alat ike yang halus sampai bahan tersebut sudah menjadi sehelai kain yang panjangnya tiga sampai lima meter. v Setelah menjadi kain kemudian di gantung untuk di anginkan (nillave)

v Sesudah kering dilipat untuk diratakan dengan pola tidak bergigi (niparondo) yaitu semacam setrika.

Pakaian upacara Kalau pakaian sehari-hari terbuat dari kulit kayu Nunu (pohon beringin), maka khusus untuk pakaian upacara bahannya juga dibuat dari kulit kayu, tetapi kulit kayu dari kayu Ivo yang dapat menghasilkan kain kulit kayu yang lebih halus dan bermutu, dan lebih baik daripada yang terbuat dari kulit kayu Nunu. Kulit kayu Ivo setelah selesai pengolahannya menjadi kainyang warna dasarnya adalah putih. Cara pembuatanya sama dengan cara pembuatan kain kulit pohon Nunu.

Perhiasan sehari-hari Baik laki-laki maupun perempuan jarang menggunakan perhiasan. Bagi perempuan cukup anting-anting, kalung dan gelang yang bahannya dari manik-manik yang disambung atau diikat satu sama lain. Perhiasan-perhiasan saat upacara

Daun enau atau daun kelapayang dikeluarkan lidinya. Daun enau atau daun kelapa tersebut dianyam, dibentuk sesuai keinginan atau terurai begitu saja., dan fungsinya hanya sebagai dekorasi. Selain itu juga dikenal dengan menggunakan alat dekorasi yaitu Mbesa, kain kulit kayu yang khusus dibuat dilengkapi hiasan-hiasan yang fungsinya hanya untuk hiasan (dekorasi) pada upacara-upacara tertentu.

3. Tempat Perlindungan atau Perumahan

- Sou adalah pondok yang didirikan di sekitar lading dan sawah. - Lolu merupakan tempat yang dibuat khusus untuk berteduh. - Kandepe adalah tempat untuk tinggal sementara - Bente (benteng), yaitu dikenal pada zaman raja-raja Rumah tempat tinggal Rumah tinggal masyarakat Toli-Toli di Sulawesi Tengah, bentuknya rumah panggung segiempat panjang, bagian samping kiri atau kanan serta muka belakang memakai dinding, tidak mempunyai kamar hanya menggunakan sampiran dari kain kulit kayu Nunu.

Dalam membuat rumah tinggal baru diadakan berbagai upacara-upacara mendirikan rumah yaitu: 1. Upacara mendirikan rumah Sebelum mendirikan rumah selalu di dahului dengan penelitian tanah untuk tempat dimana rumah itu akan didirikan. Tekhnik penelitian tanah itu sifatnya masih tradisional, antara lain dengan memasukan lidi ke dalam tanah atau memasukan ujung parang diiringi dengan mantramantra, dimana nanti akan nyata apakah tempat itu baik atau tidak baik sebagai lokasi perumahanpekerjaan penelitian tanah tersebut dilakukan oleh dukun yang khusus bertugas untuk itu. Jadi dukunlah yang berhak menentukan dimana sebaiknya rumah didirikan. 2. Melubangi tiang Mendahului pelaksaannya dipilih hari baik, kemudian di undanglah para orang tua dan tukang yang akan membangun rumah itu. Dalam pertemuan tersebut diadakan sesajian dengan tujuan agar tiang rumah kuat, dan tahan lama serta merupakan persembahan bagi makhluk-makhluk halus di sekitar tempat bangunan itu. 3. Mendirikan rumah Bilamana tiang-tiang telah selesai dilubangi seluruhnya, maka dicarilah suatu hari yang baik oleh para orang tua untuk menentukan hari mendirikan rumah. Untuk ini disediakan sesajian pula, yaitu: Tebu beberapa batang Pisang setadan Kelapa setangkai (beberapa buah) Jagung seikat Padi sebernas Kain putih satu meter

4. Menyelamati rumah Upacara ini dilakukan kelak apabila sebuah bangunan rumah sudah selesai didirikan dan sebelumnya penghuni rumah menempatinya, sebagai upacara selamatan tanda pengucapan syukur dan kegembiraan atas selesainya bangunan rumah itu. Hubungan ke Luar Bentuk hubungan masyarakat Toli-Toli dengan luar daerah.

Pada tahun 1669 antara VOC (belanda) sudah ada bentuk hubungan dengan kerajaan-kerajaan Banawa, Tawaeli, Palu, Loli dan Sigi (selanjutnya disebut kerajaan-kerajaan Kaili). Hubungan tersebut berbentuk hubungan dagang. Belanda (VOC) mengadakan kontrak pembelian emas. Disamping itu juga di ketahui adanya hubungan persahabatan dengan wakil penguasa Portugis di Ternate pada zaman pemerintahan Sultan Bato. Juga sudah ada hubungan dagang antara Toli-Toli dengan Maluku, Ujung Pandang, Ta Bara (Singapura), dan Malaka. Masyarakat Toli-Toli mengadakan perdagangan bersama-sama pedagang-pedagang Bugis dengan menggunakan perahu layar. Dengan adanya hubungan dagang Sulawesi Tengah dengan daerah luarnya, maka sudah dikenal pemakaian mata uang sebagai alat jual beli. Akibat Hubungan Belanda membuat benteng atau loji di Parigi pada tahun 1770 dan di Lambunu. Pembuatan loji di Parigi dimaksudkan untuk mengawasi penambangan emas di Parigi, yang diusahakan oleh Nedherland Celebes Maatschappij. Tetapi tambang ini tak lama usianya. Produksinya merosot karena itu dianggap tidak sepadan penghasilan dengan ongkos atau yang dikeluarkan. Akibatnya pada tahun 1795 pendudukan atas Parigi dihapuskan dan sejak saat itu sampai kurang lebih tahun 1850 Belanda tidak menghiraukannya lagi. Tentang Pombang Lipu dari Toli-Toli dengan wakil Portugis di Ternate, dimana Pombang Lipu memberikan emas pada Portugis maka beliau dilantik oleh Portugis menjadi raja Toli-Toli pada tahun 1592. Pada abad XVII VOC mengadakan hubungan dengan Raja Toli-Toli yang sudah memeluk agama islam. Sultan Pondu yang sudah beragama islam di perintah memelihara babi, tapi Sultan Pondu memberontak atas perintah ini. Akibatnya beliau dibunuh dengan secara kejam oleh Belanda, beliau diikat pada dua ekor kuda yang kemudian kuda tersebut disuruh lari kea rah yang berlawanan sehingga badan sultan terbelah dua. Hukuman ini dilaksanakan di Manado.
http://blog.ugm.ac.id/2010/10/31/kebudayaan-kabupaten-buol-atau-toli-toli-di-sulawesi-tengah/

Lintasan Sejarah SULTENG


Apr 2 Posted by thestars7d

Sebagai nama satu wilayah Sulawesi Tengah sama tuanya dengan sejarah Nusantara namun sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia daerah ini tergolong muda. Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964. Pembentukannya ditandai dengan upacara besar-besaran di kota Palu pada tanggal 13 April 1964 ketika Anwar Gelar Datuk Rajo Base Nan Kuning menerima penyerahan wilayah dan pemerintahan Keresidenan Sulawesi Tengah dari Gubernur Sulawesi Utara-Tengah. Upacara bersejarah itu merupakan akhir dari suatu proses perjuangan rakyat di Sulawesi Tengah yang berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebelum mencapai status sebagai daerah propinsi yang berdiri sendiri Sulawesi Tengah merupakan daerah keresidenan yang tergabung dalam Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 47/Prp/1960. Karena itu sejarah pemerintahan kedua propinsi ini tidak terlepas satu sama lain. Seperti propinsi-propinsi lainnya di Pulau Sulawesi, Sulawesi Tengah juga mencatat beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai statusnya ditetapkan sebagai daerah tingkat I. Pada permulaan kemerdekaan, wilayah ini merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi. Tetapi karena bergolaknya perang kemerdekaan pada masa itu pembenahan administrasi pemerintahan belum dapat dilakukan. Pemerintahan daerah Propinsi Sulawesi yang dibentuk bersama tujuh propinsi lainnya pada awal kemerdekaan Propinsi Sumatera,Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Sunda Kecil, Propinsi Kalimantan, dan Propinsi Maluku tidak banyak melakukan konsolidasi ke dalam. Demikian pula halnya di Propinsi Sulawesi. Gubernur Propinsi Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangi yang memulai tugasnya di Makassar pada 19 Agustus 1945 ternyata hanya bertahan sembilan bulan. Sebab pada tanggal 5 April 1946 tentara Belanda yang datang kembali bersama pasukan Sekutu menangkapnya dan kemudian mengasingkannya ke Serui, Papua. Kendati demikian, pesan-pesan untuk meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan telah dikirim ke seluruh pelosok Pulau Sulawesi. Karena itulah meskipun pemerintahan daerah Propinsi Sulawesi tidak berjalan lagi, tokoh-tokoh pergerakan di daerah ini segera mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah dicapai. Di Kota Poso misalnya, para pemuda di bawah pimpinan W. L. Talasa mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari tangan Jepang dan membentuk barisan sukarela dengan nama

Pemuda Merah Putih. Organisasi ini dipimpin oleh Yacob Lamayuda, bekas perwira Heiho. Demikian pula di Donggala dan Palu. Raja Banawa R. Lamara Una mengambil alih kekuasaan tentara Jepang. Sementara itu kurir Gubernur Sulawesi yang dikirim melalui Palopo tiba di Poso. Utusan ini terdiri dari Landau dan kawan-kawan. Lalu datang Ali Lemato, A. Tumu dan seorang kurir lainnya dari Gorontalo. Kedatangan mereka menambah semangat sehingga perjuangan mempertahankan kemerdekaan lebih bergelora lagi di seluruh Pulau Sulawesi. Untuk lebih meningkatkan perjuangan ke daerah-daerah lainnya dikirim pula kurir. Ke daerah Donggala / Palu diutus Abdul Gani (Isa Piola) yang membawa siaran-siaran tertulis dari Gubernur Sulawesi. Tetapi usaha-usaha para tokoh pergerakan dan pemuda untuk membentuk pemerintahan nasional RI di daerah ini tidak dapat terwujud karena digagalkan oleh kolonial Belanda (NICA) yang kembali ke Sulawesi Tengah dengan membonceng kedatangan tentara Sekutu pada bulan September 1945. Keadaan semakin mencekam dan genting, ketika tentera Sekutu pada 1946 meninggalkan Indonesia dan menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda. Sejak itu perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang secara langsung berhadapan dengan Belanda dilakukan secara bergerilya dan di bawah tanah. Pada tanggal 3 Maret 1946, tokoh-tokoh kelaskaran wilayah Palu Donggala mengadakan pertemuan untuk meningkatkan gerakan perlawanan secara nyata melalui pembentukan partaipartai politik. Terbentuk beberapa organisasi sebagai wadah perjuangan seperti Perjuangan Rakyat Indonesia Merdeka (Prima) di daerah Sigi-Dolo, Partai Rakyat Indonesia (Parindo) di daerah Wani, Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (Gerima) di daerah Tawaeli, Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Palu dan Organisasi Wanita di Biromaru. Perlawanan demi perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan, meskipun kota-kota penting di wilayah ini praktis sepenuhnya di bawah kontrol Belanda. Penjajah yang ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia menyadari bahwa untuk mengembalikan Indonesia seperti halnya sebelum perang (PD II) adalah tidak mungkin sama sekali. Oleh karena itu Gubernur jenderal Hindia Belanda di Jakarta Dr. H.J. Van Mook mencetuskan gagasan untuk membentuk negara serikat atau federasi yang akan tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda. Guna mewujudkan gagasan ini Van Mook mengadakan Konferensi Malino pada 15-25 juli 1946. Konferensi ini menelorkan beberapa keputusan: antara lain, negara Indonesia nantinya harus berbentuk federasi dan sebelum negara federal tersebut terbentuk, maka di dalam masa peralihan kedaulatan ada di tangan Belanda. Tanpa mempedulikan perundingan perundingan yang sedang dilangsungkan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia, Van Mook lebih mematangkan lagi keputusan Konferensi Malino tersebut pada Konferensi Denpasar yang diselenggarakan pada 24-28 Desember 1946.

Dalam Konferensi Denpasar itulah dibentuk Negara Indonesia Timur (NIT) yang merupakan negara bagian pertama dari negara serikat yang akan didirikan tersebut. NIT berdiri tanggal 24 Desember 1946 dengan ibukotanya Makassar (Ujungpandang) dan sebagai presidennya Tjokorde Gede Raka Sukawati. Wilayah NIT meliputi 13 daerah yaitu Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Bali, Lombok, Timor, dan pulau-pulau Flores, Sumbawa, dan Sumba. Menurut naskah pembentukan NIT pada bab III pasal 14 ayat 1 sub 5e disebutkan: Daerah Sulawesi Tengah terdiri dari resort afdeling Poso dan Donggala meliputi kerajaan-kerajaan Tojo, Poso, Lore, Una-Una, Bungku, Mori, Banggai, Banawa, Tawaeli, Palu, Sigi, Dolo, Kulawi, Parigi, Moutong, dan Toli-Toli. Kehadiran NIT segera diketahui oleh tokoh-tokoh pergerakan sebagai negara bentukan kolonial Belanda. Karena itu pada tanggal 2 Januari 1947 seluruh partai politik di Sulawesi Tengah mempersatukan diri dalam satu wadah yang dinamakan Gabungan Perjuangan Rakyat Indonesia (Gapprist). Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya pengakuan kedaulatan RIS oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Sesudah itu di seluruh Indonesia termasuk di daerah ini terjadi masa-masa peralihan ketatanegaraan. Sebelumnya yaitu pada tanggal 30 Agustus 1949 Pemerintah NIT membentuk DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sulawesi Tengah. Melalui badan legislatif inilah organisasi-organisasi pergerakan di daerah ini seperti IPPRI (Ikatan Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia) menuntut pembubaran NIT dan kembali bergabung dengan Negara Republik Indonesia. Untuk itu pula kepada wakil daerah Sulawesi Tengah di DPR NIT di Makassar dikirim kawat yang isinya bahwa partai-partai pergerakan di Sulawesi Tengah yang terdiri dari 29 partai memutuskan menyokong gerakan pembubaran NIT dengan segera dan terbentuknya Negara Kesatuan RI. Sebagai kelanjutan dari kawat tersebut, maka pada tanggal 6 Mei 1950 diadakan rapat umum di Palu yang dihadiri oleh pejabat-pejabat dan para pemimpin partai politik setempat. Dalam rapat umum itu dibacakan Maklumat Pucuk Pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Isinya, antara lain, menyatakan: Mulai tanggal 6 Mei 1950 pukul 007.00 pagi tiga kerajaan Palu, Sigi, Dolo, dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya menyatakan melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Pernyataan yang terdiri atas 12 butir tersebut ditandatangani oleh Tjaqo Idjazah dan R. Sungkowo atas nama BKR dan Lumowa mewakili pihak Kepolisian. Sejak itu tuntutan pembubaran NIT semakin gencar dan tak dapat di bendung lagi. Akhirnya Pemerintah NIT memberi kuasa kepada Pemerintah RIS untuk membicarakan tuntutan sanubari rakyatnya ini dengan Pemerintah RI di Yogyakarta. Pada tanggal 19 Mei 1950, antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI tercapai persetujuan untuk membentuk negara kesatuan dengan jalan mengubah konstitusi RIS, yang kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya UU RIS No. 7 tahun 1950, tentang perubahan UUD RIS menjadi Undang-

undang Dasar Sementara (UUDS). Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakanlah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta pembubaran negara RIS beserta negara-negara bagiannya. Sejak itu pemerintahan nasional Propinsi Sulawesi kembali menjalankan fungsinya. Sebagai pejabat gubernur diangkat BW Lapian (17-8-1950 sampai 1-07-1951). Selanjutnya pada tanggal 4 juli 1951, ditetapkan Sudiro sebagai gubernur permanen untuk propinsi ini. Sejalan dengan pembangunan di bidang pemerintahan, pada tahun 1960 dengan Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 1960 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 47/ Prp tahun 1960, Propinsi Sulawesi dimekarkan menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulsera) dengan ibukotanya Makassar dan Propinsi Sulawesi UtaraTengah (Sulutteng) dengan ibukotanya Manado. Kemudian dengan semakin meningkatnya perkembangan pemerintahan dan pembangunan, maka Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi UtaraTengah dimekarkan lagi dengan Undang-undang No.13/1964 menjadi dua propinsi daerah tingkat I yaitu: Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukotanya Manado dan Propinsi Sulawesi Tengah dengan ibukotanya Palu. Peningkatan status ini membuka peluang bagi Sulawesi Tengah di bawah kepemimpinan Gubernur Anwar Gelar Datuk Madjo Baso Nan Kuning (1964-1968) untuk segera mengejar ketertinggalannya, terutama dalam bidang pemerintahan, dari propinsi-propinsi lainnya di luar bekas NIT. Namun penataan yang lebih menyeluruh, di barengi dengan pelaksanaan program pembangunan sejalan dengan pencanangan Repelita 1, baru terjadi mulai masa bakti Mohammad Yasin yang menjadi gubernur dari tahun 1968 sampai tahun 1973. Hal ini terjadi karena beratnya persoalan yang dihadapi rakyat Sulawesi Tengah menyusul eskalasi pemberontakan DI/TlI Kahar Muzakkar dan PRRI/Permesta pada tahun 1950an, dan kemudian G-30-S/PKI. Serangkaian peristiwa tersebut menimbulkan banyak kerusakan fisik yang memporak-porandakan kehidupan perekonomian rakyat. Maka di bawah M. Yasin dimulailah perbaikan berbagai prasarana infrastruktur, seperti sarana perhubungan untuk mempelancar arus barang dan manusia dari satu daerah ke daerah lainhya. Dalam periode Pelita I Sulawesi Tengah mencatat 92 proyek pembangunan yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 2,2 milyar. Sejak itu Propinsi Selawesi Tengah berusaha terus untuk memacu pembangunan. LINTASAN SEJARAH Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia Sulawesi Tengah memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari sejarah Nusantara secara keseluruhan. Sulawesi Tengah telah memiliki penghuni tetap sejak zaman prasejarah. Ciri-ciri fisik penduduk asli Sulawesi Tengah memiliki kemiripan dengan suku-suku bangsa asli Indonesia lainnya yang berasal dari percampuran antara bangsa Wedoid dan Negroid. Penduduk asli keturunan kedua ras tersebut kemudian berkembang menjadi suku-suku baru menyusul

datangnya gelombang perpindahan bangsa Proto-Melayu pada tahun 3000 SM dan DeutroMelayu pada sekitar 300 SM. Di beberapa daerah di Sulawesi Tengah, misal di tepian Danau Poso, telah ditemukan berbagai peralatan dalam bentuk kedudayaan Dongson (perunggu) dari zaman Megalitikum. Barangbarang tersebut berupa kapak-kapak dan gelang-gelang perunggu, manik-manik dan kulit-kulit siput, di samping sumpit dan jerat untuk berburu. Beberapa suku terasing masih mempergunakan alat-alat seperti itu. Namun karena saking tuanya Sulawesi Selatan sebagai daerah hunian manusia, beberapa cerita rakyat misalnya yang cukup populer di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala mengklaim nenek moyang mereka adalah keturunan langsung dari manusia pertama yang diciptakan Tuhan. Ceritanya mirip kisah Adam dan Hawa. Alkisah, Tuhan menciptakan manusia dari dua genggam tanah. Yang satu menjadi seorang lelaki bernama Muljadi dan satu genggam lagi menjadi seorang perempuan bernama Juruantanah. Namun, jika Muljadi memiliki organ sempura, Juruantanah tidak. Alat kelaminnya tidak sempurna dan harus diperbaiki dulu oleh Muljadi dengan menggunakan tulang rusuk kirinya sebelum mereka menjadi suami-istri. Suku Tomini, yang terdiri dari dua subsuku (Tialo dan Lauje), di Teluk Tomini juga terdapat mitos serupa. Mereka mengaku nenek moyangnya adalah Saya Vuntu (perempuan) dari bumi dan Tompido (laki-laki) yang turun dari langit. Dari pasangan ini lahir empat anak dua laki-laki dan dua perempuan yang kemudian menjadi dua pasang suami-istri. Dari pasangan Wulan Membua-Yelelumpu lahir anak-anak yang kelak menjadi suku Tialo (Tomini) dan menghuni daerah pesisir. Sedangkan Yelelumut-Sai Mandulang menurunkan suku Lauje yang menghuni daerah pegunungan. Dari tradisi lisan juga diketahui adanya periode-periode To Manurung, atau utusan dari kayangan, yang merupakan perlambang kedatangan penguasa-penguasa dari luar untuk membawa perbaikan. dalam kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan. Yang menarik, setiap To Manurung tadi selalu digambarkan datang di tengah-tengah suku atau masyarakat yang sudah ada. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimitoskan. sebagai utusan dari kayangan itu mungkin saja merupakan figur pemimpin atau penakluk yang berasal dari kaum pendatang. Sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah, Sulawesi Tengah tentu saja mengundang kedatangan kaum migran dari berbagai kawasan, yang kemudian menimbulkan gelombang perpindahan dan pada akhirnya menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dengan pendatang baru.
Berdasarkan perbedaan ciri-ciri fisik, kebudayaan dan dialek bahasa, suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar: Palu Toraja, Koro Toraja, dan Poso Toraja. Manakah di antara ketiga kelompok besar ini yang mula-mula berpindah dari tanah asalnya? Dan di manakah kirakira perpindahan itu dimulai?

Sarjana Swedia Walter Kaundem dalam bukunya Migration of Toraja in Central Celebes menyimpulkan bahwa ketiga kelompok tersebut Palu, Koro dan Poso menempuh dua rute pokok dalam perjalanan mereka. Perpindahan mereka diperkirakan dimulai dari suatu tempat di Malili Tenggara, Teluk Bone, terus ke barat laut dan singgah di kawasan pegunungan di sebelah barat Danau Poso. Dari tepi Danau Poso mereka menyebar lagi ke barat, barat daya, utara sampai ke daerah pegunungan Toli-Toli dan pantai Teluk Tomini. Mereka juga menempati daerah pantai utara dan pantai timur laut Sulawesi. Pada rute yang satu lagi mereka bergerak ke utara dan kemudian bercabang ke timur laut dan ke barat laut. Rute perpindahan yang pertama diperkirakan dilakukan oleh kelompok Koro Toraja, kemudian disusul oleh Poso dan Palu. Perpindahan yang terjadi kemudian merupakan perpindahan penduduk timur dan bergerak lebih jauh ke utara dan barat laut. Dari cerita rakyat diketahui bahwa di dekat Danau Poso terdapat monumen yang dibangun oleh nenek moyang mereka untuk memperingati perpisahan mereka sebelum menyebar ke arah empat mata angin. Monumen tersebut berbentuk tonggak batu (menhir). Ketiga kelompok besar itu terbagi lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil dan bergerak terus. Ada yang kemudian menetap di lembah Palu, ada yang mendiami Teluk Tomini dan ada yang terus menyeberang lautan dan mencapai pulau-pulau Togian di bagian timur laut. Yang lainnya bahkan mencapai daerah barat daya Parigi. Kelompok kelompok kecil tersebut kemudian menciptakan suku-suku baru. Kebiasaan berpindah-pindah itu diperkirakan berhenti pada abad ke-18. Sejarah Sulawesi Tengah sampai akhir abad ke-13 boleh dikatakan gelap sama sekali. Minimnya sumber tertulis menyulitkan penulisan sejarah tentang kerajaan-kerajaan kuno di daerah tersebut. Pada waktu itu di Sulawesi Tengah sudah berdiri sejumlah kerajaan, seperti Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Buku Negara kertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 menyebutkan daerah Banggai sebagai salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Menurut cerita rakyat, Raja Banggai Adi Lambal memang pernah menyerahkan pemerintahannya kepada seorang raja dari jawa, yang mengawini salah seorang iparnya. Raja jawa tersebut digelari Tomundo Doi Jawa. Menurut cerita rakyat, pusat pemerintahan Kerajaan Banawa Kuno terletak di suatu tempat di gunung yang dinamai Kainggurui dan nenek moyang rajanya berasal dari sejenis tumbuhantumbuhan yang mengandung banyak air, namanya Lian. Setelah permaisurinya kembali ke langit, Raja Lian kawin lagi dengan seorang wanita yang menjelma dari satu tangkai bambu kuning. Dari perkawinan ini lahir seorang anak perempuan bernama Gonenggati yang kemudian memberi Lian tujuh orang cucu enam laki-laki dan satu perempuan. Keenam anak laki-laki tersebut masing-masing menyebar ke daerah-daerah lain, menikah dengan wanita setempat dan kemudian menjadi penguasa di daerah baru tersebut. Kisah tentang asal-usul kerajaan-kerajaan lainnya juga tidak jauh berbeda dengan asal-usul Kerajaan Banawa. Penguasa Kerajaan Tawaeli, misalnya, juga diceritakan berasal dari penjelmaan daun. Di antara kedua kerajaan tersebut pernah terjadi peperangan yang berkepanjangan karena persoalan perempuan.

Informasi tentang keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut terungkap lebih jelas pada Zaman Baru, atau sekitar abad ke-16, yang ditandai dengan kehadiran Sawergading, tokoh penjelmaan To Manurung yang diterima secara kesatuan di Sulawesi Tengah. Dari tradisi lisan ini dapat disimpulkan bahwa Sulawesi Tengah bersatu ketika berada di bawah kekuasaan Sawergading yang berasal dari Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan. Pada abad ke-16 Islam mulai berkembang di kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah sebagai hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Ketika Kerajaan Banggai berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate, agama Islam pun mulai menggeser animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat setempat. Namun karena Kesultanan Ternate pernah berada di bawah kekuasaan Portugis, maka secara tidak langsung Banggai pun jatuh ke tangan bangsa Portugis. Selain Kerajaan Banggai, pada abad ke-16 di Sulawesi Tengah terdapat sejumlah kerajaan yang cukup penting, antara lain: Banawa, Sigi, Biromaru, Tawaeli, Pontolan, Sindue, Dolo, Bangga, Tatanga, Palu, Sibalaya, Kulawi, Parigi, Kasimbar, Muotong, Lambunu, Pamona, Pekurehua, Ondae, Mori, dan Buol. Di Teluk Tomini juga terdapat kerajaan-kerajaan tua seperti Sipayo dan Bondoyo, namun sumber-sumber sejarah tentang kerajaan-kerajaan tersebut kini tidak ada lagi. Pada abad tersebut kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan semakin memperbesar pengaruhnya di Sulawesi Tengah. Perluasan pengaruh kekuasaan ini diiringi dengan adanya hubungan perkawinan di antara para penguasanya. Kemudian datang pula pengaruh dari Mandar, terutama di kawasan pantai barat dan pantai timur Teluk Tomoni. Raja-raja Tawaeli, Kasimbar, Toribulu, dan Muotong mengaku berasal dari keturunan raja-raja Mandar. Namun pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo. Hal ini diketahui dari tradisi lisan bahwa payung-payung kerajaan dari beberapa raja yang ada berasal dai Bone. Begitu pula dengan asal-usul penguasa suku Tialo dari Teluk Tomini bernama Labaso yang kabarnya berasal dari Bone, dan keturunan raja Sindoe yang berasal dari Welado sehingga dalam lontara orang Welado, Sindue ditulis Sindo. Dalam silsilah raja Sindue disebut adanya perkawinan antara putri raja yang berkepala dua bernama Pincepute dengan seorang bangsawan dari Welado. Dengan adanya hubungan perkawinan tadi maka adat kebiasaan dan kebudayaan serta tata pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dapat diterima di Sulawesi Tengah. Hal ini terlihat dari bentuk rumah, nama yang berawalan La, Daeng, Andi dan struktur pemerintahan dalam bentuk Pitunggota dan Patanggota. Pitunggota adalah suatu dewan yang terdiri dari tujuh anggota dan merupakan lembaga legislatif yang diketuai oleh seorang Baligau. Susunannya sebagai berikut: Madika Malolo, Madika Matua, Ponggawa, Galara, Tadulako, Pabicara, dan Sabandara. Pejabat-pejabat ini diangkat dan diberhentikan oleh Magau atas persetujuan Maligau. Susunan pemerintahan ala Bone ini terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli mengatur Patanggota, sistem pemerintahan ala Wajo. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.

Menyusul pengaruh Bugis adalah pengaruh Mandar, seperti yang terjadi dengan munculnya kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini di mana cikal-bakal rajanya berasal dari Mandar. Dalam bidang pemerintahan pengaruh Mandar bisa dilihat dengan dipakainya istilah raja. Sebelumnya yang dikenal hanyalah gelar Olongian atau tuan tuan tanah yang memerintah secara otonom di wilayahnya masing-masing. Gelar-gelar lainnya yang berasal dari Mandar adalah Pue dan Puang. Dalam silsilah raja-raja Kasimbar tercatat adanya tokoh bernama Arajang Pate Kaci yang menikah dengan putri Olongian setempat. Kalau dihubungkan dengan berita dari zaman sejarah kuno pada waktu kedatangan ekspedisi dari Mandar di bawah komando tiga bersaudara Toriwisean, Magau Dianggu dan. Pueta Karikaca, dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa Karikacalah yang meneruskan petualangannya ke Teluk Tomini, lalu menikah di Kasimbar dan kemudian menjadi raja di tempat itu. Menurut tradisi lisan, tokoh inilah yang melancarkan penaklukan dari Tolole sampai Molosipat. Selanjutnya antara anak Olongian setempat, cucu Pueta Karikaca, yang bernama Pua Woli menikah dengan Sappewali yang diyakini sebagai bangsawan dari Mandar. Sappewali kemudian dinobatkan sebagai raja Toribulu. Dari perkawinan ini lahirlah Putri Pika yang kemudian kawin dengan Raja Moutong Tombolotutu. Kerajaan Moutong pun merupakan suatu kerajaan yang cikal-bakal rajanya berasal dari Mandar. Dalam sebuah cerita rakyat dikisahkan bahwa pada zaman dahulu ada suatu kerajaan tua di Lambunu yang cikal-bakal rajanya berasal dari Lampasio. Yang menarik, bahasa yang dipergunakan di Kerajaan Lambunu mirip dengan bahasa Buol/Toli-Toli. Menurut cerita tersebut asal raja Lambunu memang bersaudara dengan raja dari Toli-Toli. Di Kerajaan Lambunu ada seorang bangsawan Mandar yang karena kematian istrinya lalu menitipkan putranya yang bernama Magaluntung untuk dipelihara oleh raja Lambunu. Setelah dewasa Magaluntung dijemput oleh ayahnya dan kemudian dinobatkan sebagai raja di Motuong. Namun sebelum dia dilantik sebagai raja, ayahnya telah mengikat perjanjian saling bantu dan saling menghormati dengan raja Lambunu. Walaupun kerajaan di Teluk Tomini ini berasal dari mandar, agaknya pengaruh Gorontalo/Ternate yang datang lebih dahulu lebih dominan dalam struktur pemerintahannya. Maka susunan pemerintahannya sebagai berikut: Olongian (kepala negara), jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (menteri pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan). Tentang kerajaan-kerajaan yang ada di lembah Kaili dapat diketahui dari cerita rakyat bahwa dari sekian banyak kerajaan yang akhirnya berkembang sebagai kerajaan besar adalah Banawa di pantai barat Sulawesi Tengah. Kerajaan Banawa (Zaman Baru) dibentuk dengan bantuan atau campur tangan penguasa luar, dalam hal ini Sawerigading, walaupun pada waktu itu memang telah ada pemimpin kelompok masyarakat setempat. Cikal-bakal rajanya diawali oleh perkawinan antara putra Sawerigading, Lamappangando, dengan Putri Ibadantasa dari Ganti. Keturunan dari hasil perkawinan inilah yang kelak berkuasa di Banawa selama beberapa generasi. Seiring dengan meluasnya pengaruh kekuasaan kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, agama Islam pun berkembang pesat di Sulawesi Tengah. Daerah-daerah yang pertama tersentuh ajaran Islam adalah kawasan pesisir, karena persebaran agama ini mengikuti rute perclagangan. Sedangkan

daerah pedalaman pada abad ke-16 masih tetap berpedoman pada animisme yang telah mereka kenal sejak zaman kuno. Untuk wilayah Sulawesi Tengah agaknya Kerajaan Buol dan Kerajaan Luwuk Banggai yang mula-mula menerima ajaran Islam, yaitu pada sekitar pertengahan abad ke-16. Kedua kerajaan ini merupakan daerah pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate yang telah menganut Islam paling lambat sejak abad ke-15. Sejak tahun 1540 Buol sudah berbentuk kesultanan yang diperintah oleh seorang yang memakai nama Islam, Eato Mohammad Tahir, yang menduduki tahta Buol sampai tahun 1595. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa selambat-lambatnya Islam masuk dari Ternate ke daerah tersebut sejak zaman Sultan Eato. Dalam sejarah Buol tercatat bahwa Sultan Eato bersahabat dengan Sultan Ternate Hairun (1550 1570) dan Sultan Babullah (1570 1584). Harmonisnya hubungan persahabatan di antara kedua kerajaan Islam tersebut Sultan Babullah menghadiahkan sebuah tongkat berkepala emas yang berhiaskan tulisan Arab yang berbunyi Sultan Ternate. Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang memasuki Sulawesi Tengah, disusul oleh Spanyol dan kemudian Belanda (VOC). Namun dalam perkembangan selanjutnya peta kekuatan di kawasan tersebut berada dalam dominasi Belanda. Pada tahun 1669 sudah menjalin hubungan dengan banyak kerajaan di Sulawesi Tengah, termasuk kerajaan-kerajaan Kaili seperti Banawa, Tawaeli, Palu, Loli, dan Sigi. VOC mengadakan kontrak pembelian emas dengan Kaili. Sebelumnya Belanda juga telah menjalin hubungan dagang dengan Parigi, setelah memaksa Spanyol pergi dari sana pada tahun 1663. Adanya kontrak perdagangan emas antara Kaili dengan VOC ternyata mengundang campur tangan VOC dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut yang pada waktu itu memang sering mengganggu perairan Selat Makassar. Ancaman paling besar datang dari kawanan bajak laut Mindanao. Belanda juga membangun benteng atau loji di Parigi dan Lambunu. Pembuatan loji di Parigi merupakan bentuk campur tangan Belanda untuk secara langsung mengawasi penambangan emas yang diusahakan oleh sebuah perusahaan Belanda. Tetapi penambangan ini tidak lama usianya karena produksinya merosot terus. Gagal dari tambang emas, Belanda mulai mengusik Kerajaan Buol yang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Portugis sejak tahun 1592. Belanda memesan babi dari Sultan Pondu dari Buol yang beragama Islam. Pesanan tersebut, yang sebenarnya merupakan provokasi, mengundang amarah Sultan Pondu. Dalam suatu perlawanan atas penghinaan tersebut Sultan Pondu tertangkap dan kemudian dibawa ke Manado. Di sana ia dibunuh dengan secara keji. Tubuhnya diikatkan pada dua ekor kuda yang kemudian disuruh lari ke arah yang berlawanan hingga badan Sultan Buol itu terbelah dua. Belanda mulai meningkatkan tekanannya terhadap raja-raja di Sulawesi Tengah pada abad ke-18. Gubernur Paatbrugge mengirimkan pasukan bersenjata untuk memaksa raja-raja di wilayah itu agar datang ke Gorontalo atau Manado untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan

gaya dagang seperti itu Belanda berhasil menyingkirkan pesaing-pesaingnya dari Eropa dan sekaligus menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah. Pada permulaan abad ke-20 kerajaan-kerajaan di wilayah Sulawesi Tengah telah diikat oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan lang contract dan korteverklaring. Terhadap kerajaankerajaan yang menolak perikatan itu, Belanda menghadapinya dengan kekerasan senjata. Kemudian wilayah kerajaannya dipecah-belah, misalnya Kerajaan Tojo Una-una dibagi menjadi Kerajaan Tojo dan Kerajaan Una-una. Kerajaan Sigi dipecah menjadi Kerajaan Sigi dan Kerajaan Dolo. Kerajaan Mori dipecah menjadi Kerajaan Mori dan Kerajaan Bungku. Demikian pula dengan Kerajaan Banggai. Kerajaan ini menjadi Kerajaan Banggai Daratan dan Kerajaan Banggai Lautan. Pada umumnya yang dijadikan raja dari kerajaan baru itu adalah keluarga dekat dari keturunan raja sebelumnya, sehingga mengakibatkan terpecahnya wilayah kerajaan dan rakyatnya. Pada tahun 1905 Belanda membagi Pulau Sulawesi menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Utara. Batas kedua propinsi tersebut adalah Pegunungan Tokolekayu di sebelah selatan Danau Poso. Propinsi Sulawesi Selatan dengan ibukotanya Makassar dipimpin oleh seorang gubernur dan Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukotanya Manado dipimpin oleh seorang residen. Gubemur dan residen secara organisatoris berada langsung di bawah Gubernur jenderal Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia. Kemudian tiap-tiap propinsi dibagi lagi dalam beberapa afdeling yang di kepalai oleh seorang asisten residen bangsa Belanda. Selanjutnya tiap afdeling dibagi pula dalam beberapa onderafdeling yang dikepalai oleh seorang controluerbangsa Belanda atau Indo Belanda. Di bawah pemerintahan onderafdeling inilah ditemukan pemerintahan district dan landschap (kerajaan) yang di kepalai oleh kepala district atau oleh seorang raja yang diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada periode 1903-1918 daerah Sulawesi Tengah yang kita kenal sekarang ini sebagian termasuk dalam wilayah Keresidenan Sulawesi Selatan dan sebagian lagi termasuk wilayah Keresidenan Sulawesi Utara. Yang termasuk wilayah Sulawesi Selatan (Oost Celebes) adalah Onderafdeling Kolondale yang terdiri dari Kerajaan Mori dan Bungku. Onderafdeling Banggai terdiri dari Kerajaan Banggai Daratan dan Banggai Lautan. Kemuthan yang termasuk wilayah Sulawesi Utara (Noord Celebes) adalah Onderafdeling Donggala yang meliputi Kerajaan Banawa dan Tawaeli, Onderafdeling Toli-Toli dengan Kerajaan Toli-Toli, Onderafdeling Palu yang meliputi Kerajaan Palu, Sigi Biromaru, Dolo, dan Kulawi. Onderafdeling Buol dengan Kerajaan Buol, Onderafdeling Poso yang meliputi Kerajaan Tojo, Una-una, Poso, dan Lore. Onderafdeling Parigi yang meliputi Kerajaan Parigi dan Moutong. Kemudian dengan terbentuknyaMidden Celebes pada tanggal 28 Agustus 1903, maka di Donggala ditempatkan seorang asisten residen. Sejarah mencatat bahwa pada permulaan abad ke-20 itu di daerah Sulawesi Tengah telah muncul pergerakan-pergerakan yang berbentuk perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Tetapi pergerakan ini dapat dipatahkan oleh penjajah dengan kekerasan.

Pada perkembangan selanjutnya muncul pergerakan-pergerakan yang berbentuk organisasi modern seperti di Pulau Jawa. Organisasi yang mula-mula masuk ke daerah ini adalah organisasi Syarikat Islam (SI) di daerah Buol ToliToli pada tahun 1916. Dengan cepat organisasi ini meluas ke daerah Donggala/Parigi pada tahun 1917, pesisir Mori pada tahun 1918 dan terus ke daerah Banggai / Luwuk pada tahun 1926. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno di Bandung tahun 1927 mulai berkembang di daerah Buol pada tahun 1928. Sesudah itu organisasi pergerakan kebangsaan lainnya di Pulau jawa membuka cabangnya pula di daerah ini, misalnya Muhammadiyah pada tahun 1932 dan PSII. Keberadaan organisasi-organisasi ini akhirnya dirasakan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai ancaman. Karena itu banyak tokoh-tokoh pergerakan yang ditangkap dan diasingkan. Tokoh Syarikat Islam Datu Pamusu (Raja Dolo) diasingkan Belanda ke Ternate dan demikian pula tokoh SI lainnya seperti Yoto Daeng Pwindu DS dan Abd. Rahim yang ditangkap dan kemudian dikirim ke penjara Sukamiskin Bandung. Kendati banyak tokoh pergerakan yang sudah ditangkap perkembangan organisasi-organisasi kebangsaan itu tetap dilanjutkan oleh tokoh-tokoh yang tidak tertangkap. Pada masa itu tercatat organisasi Syarikat Islam (SI) dan Muhammadiyah berkembang pesat di seluruh wilayah Sulawesi Tengah. Paham-paham baru yang dibawa oleh partai-partai politik dan organisasi keagamaan inilah yang menyebabkan masyarakat Sulawesi Tengah cepat menyambut dan menerima Gerakan Merah Putih yang dipimpin oleh Nani Wartabone dan Kusna Danupoyo di Gorontalo pada bulan Februari 1942. Gerakan ini mengirim utusan utusan ke berbagai tempat di Sulawesi Tengah agar secara serentak dapat melaksanakan perebutan kekuasaan begitu tentara Jepang menyerah kepada Sekutu. Puncak perlawanan meletup pada tanggal 25 januari 1942 ketika terjadi pemberontakan dan pembunuhan kepala polisi Belanda Inspektur Boertje di Buol. Para pemberontak yang dipimpin oleh I.D. Awuy itu kemudian menangkap Controluer Toli-Toli De Hoof dan Bestuur Asisten Residen Matata Daeng Masese. Pada tanggal 26 januari 1942 pemberontak menangkap pula Controleur Buol de Vries. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh kolonial ini maka praktis kekuasaan pemerintahan Belanda dapat diakhiri. Gerakan Merah-Putih yang dipimpin oleh I.D. Awuy bersama tokoh-tokoh pergerakan lainnya seperti H. Mahmuda, S.A. Alatas, H. Hamdi, H. Ibrahim, H. Said, M. Tahir, M. Yamin, dan A. Rasyid segera mengatur pemerintahan dan keamanan. Pada tanggal 1 Februari 1942 Sang Merah Putih berhasil dikibarkan untuk pertama kalinya di angkasa ToliToli. Pengibaran bendera ini dipimpin oleh M.S.H. Mallu dan yang menjadi pengerek bendera adalah M. Nawawi dan H. Hamid. Keadaan ini ternyata tidak berlangsung lama, karena seminggu kemudian pasukan Belanda dipimpin Letnan Herberts segera mendarat di Toli-Toli dan menggempur kedudukan pasukan pemberontak. Sejak itu gerakan perlawanan semakin memanas dan meningkat. Di Luwuk pada tanggal 12 Februari 1942, para pejuang menyekap seluruh aparat pemerintah Belanda dan

mengibarkan Merah Putih di kota itu. Situasi berubah dengan mendaratnya pasukan Jepang di Luwuk pada tanggal 15 Mei 1942. Mulanya kedatangan bala tentara jepang disambut baik oleh rakyat yang selama pemerintahan kolonial Belanda merasa kehidupannya tertekan. Terlebih pula sebelum mendarat di daerah ini jepang sudah menyiarkan propaganda-propaganda yang menarik hati rakyat. Tetapi kemudian ternyata jepang memerintah dengan tangan besi dan memperlakukan rakyat sebagai budak. Kehidupan rakyat semakin tertekan dan seluruhnya diarahkan untuk mendukung mesin perang Jepang. Rakyat hidup dalam ketakutan. Keadaan seperti itu berubah setelah Jepang menyerah kepada sekutu secara tak bersyarat pada tanggal 15 Agustus 1945, yang kemudian disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun bagi Sulawesi Tengah, seperti nasib beberapa daerah lainnya di Indonesia, suasana gembira menyambut kemerdekaan tidak berlangsung lama. Sebab tak lama kemudian Belanda kembali berkuasa dengan membonceng pasukan Sekutu yang datang untuk menerima penyerahan Jepang. Belanda segera mendirikan Negara Indonesia Timur tindakan memecah-belah bangsa yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab lamanya proses terbentuknya Sulawesi Tengah sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia.
http://thestars7d.wordpress.com/2011/04/02/lintasan-sejarah-sulteng/ Zaman Saverigading Sebelum abad ke-IX Tanah Kaili masih merupakan suatu danau gunung dengan dataran di bagian selatan. Kemudian digenangi air laut kedataran selatan sampai Bangga yang membentuk laut Teluk Kaili. Sebagai akibat gempa tektonis yang melanda daerah ini. Tercatat pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal dan pinisi dari luar ialah pelabuhan ganti (pujananti), Bangga, Valatana, dan Baluase, Rogo, Pulu, Bomba di bagian barat, sedang di bagian timur Pantoloan, Labuan, Loru, Pombeve, Vatunonju, Uvemabere, Kalavuntu, Pandere, Sakide. Pada abad ke-IX yaitu jaman saverigadingpelabuhan tersebut ramai dikunjungi baik dari negeri-negeri dipegunungan yaitu dari jurang pegunungan dan dataran tinggi di bagian timur dan barat, laut (teluk) Kaili seperti negeri-negeri: 1. Lando, Punde 2. Vonggi, Parigi 3. Tagari Gunung, Dombu, Volu, Pakava 4. Lere Gunung, Kaliroya, Timbora 5. Balaroa, Porame, Balane. Maupun dari laut pendatang : Bugis, Makassar, Kutai, Mindanau 6. China, dll. Sampai abad ke-X keadaan tersebut terlukis pula dalam ceritra tentang Saverigading sebagai berikut: To-Kaili yang mendiami Tanah Kaili memiliki ceritra rakyat (folklore) yang menjadi pengikat rasa persatuan To-Kaili tentang asal usulnya.

Nenek moyan To-Kaili pada zaman dahulu, mendiami lereng-lereng gunung sekeliling laut Kaili. Konon di sebelah timur laut Kaili itu terdapat sebatang pohin besar , tumbuh kokoh, tegak dan megah menjulang tinggi, sebagai pengenal dataran Kaili. Pohon itu dinamakan Tiro Ntasi atau juga dinamakan pohon Kalili. Mungkin dari pohon inilah asal nama suku bangsa disini yaitu Suku Kaili. Pohon itu tumbuh di pantai dan terletak antara Kalinjo dengan negeri Sigi Pulu. Pada suatu hari kaili mendapat kunjungan sebuah perahu layar yang besar di bawah pimpinan pelaut luar negeri yang namanya sudah sangat tersohor di kawasan ini. Pelaut itu bernama Saverigading . Dikatakan Saverigading, singgah di teluk Kaili dalam perjalanannya kembali dari tanah China menemui dan mengawini tunangannya , bernama We Codai. Tempat di singgahi pertama oleh perahu Saverigading ialah negeri Ganti, ibunegeri Kerajaan Banava. Dengan terjalinnya tali persahabatan yang dikokohkan dengan perjanjian ikatan persatuan dengan kerajaan Bugis-Bone, di Sulawesi Selatan. Dalam menyusuri teluk, lebih dalam kearah selatan sampailah Saverigading dengan perahunya ke pantai negeri Sigi Pulu, wilayah kerajaan Sigi. Perahu Saverigading berlabuh di pelabuhan Uvemebere sekarang bernama Ranobomba. Kerajaan Sigi dipimpin oleh seorang Magau perempuan bernama Ngginayo atai Ngili Nayo . Magau ini berparas sangat cantik. Setibanya di Sigi Saverigading bertemu langsung dengan Magau Ngili Nayo yang cantik itu. Pada pandangan pertama Saverigading jatuh cinta dan iapun mengajukan pinangan untuk menjadikannya permaisuri. Magau Ngili Nayo bersedia menerima pinangan Saverigading dengan syarat, ayam aduannya yang dinamakan Calabai dapat dikalahkan oleh ayam aduan Saverigading yang dinamakan Bakka Cimpolong (ayam berbulu kelabu kehijauan dan kepalanya berjambul). Syarat itupun disetujui saverigading dan disepakati adu ayam itu akan dilangsungkan sekembali Saverigading dari perjalanan ke pantai barat, sambil mempersiapkan arena (wala-wala) adu ayam tersebut. Di pantai barat perahu Saverigading berlabuh dipelabuhan Bangga. Magau Bangga perempuan bernama Vumbulangi yang diceritrakan sebagai To Manuru (orang dari Khayangan). Saverigading menemui baginda dan mengikat perjanjian persahabatan. Dalam silsilah magai-magau Bangga, Vumbulangi adalah Magau Bangga. Dalam perjalanannya kembali ke Sigi, perahu Saverigading singgah di salah satu pulai kecil yang bernama Bungi Ntanga (Pulau Tengah). Untuk menambatkan perahunya ditancapkannya tonggak panjang (Bg. Tonggak). Ketika meninggalkan pulau kecil itu, terlupa mencabut tonggak yang tertancap sebagai tempat menambatkan perahunya. Tonggak itu tumbuh dan sampai sekarang disebut Kabbanga atau Bulu Langayang dipercaya oleh masyarakatnya sebagai tonggak Saverigading, terletak di Kampung Kaleke. Stibanya di Sigi, arena untuk penyabungan ayam di atas sebuahg gelanggang (wala-wala) sudah dipersiapkan. Ayam sabungan Saverigading, Bakka Cimpolong yang akan bertarung melawan Calabai ayam Ngili Nayo, siap dipertarungkan. Pada malam harinya telah di umumkan kepada segenap lapisan masyarakat, tentang pertarungan keesokan paginya. Akan tetapi sesuatu yang luar biasa telah terjadi pada malam sebelum pertarungan itu berlangsung , yang menjadi sebab dibatalkannya pertrungan itu.

Anjing Saverigading, La Bolong (si hitam) turun dari perahu, berjalan-jalan ke dataran Sigi. La Bolong berjalan kearah Selatan, tanpa disadarinya ia terperangkat kedalam lubang besar, tempat seekor belut (Lindu) yang sangat besar. Karena merasa terganggu oleh kedatangan anjing la Bolong yang tiba-tiba itu, maka belut itupun menyerang La Bolong. Maka terjadilah pertarungan yang amat sengit antara keduanya. Pertarungan itu demikian dahsyat, hingga seolah terjadi gempa menggetarkan bumi. Masyarakatpun ketakutan, dan La Bolong berhasil menyergap belut itu, keluar dari lubangnya. Lubang besar sebagai tempat tinggal belut, runtuh lalu menjadi danau yang hingga kini disebut Danau Lindu. Anjing Saverigading, La Bolong melarikan belut itu kearah utara dalam keadaan meronta-ronta dan menjadikan lubang berupa saluran yang dialiri oleh air laut yang deras, air yang mengalir dengan deras itu bagaikan air bah yang tumpah, menyebabkan keringnya air laut Kaili. Maka terbentuklah Tanah Kaili dan terjelmalah tanah Kaili. Peristiwa alam yang dahsyat itu membuat rencana adu ayam yang telah dipersiapkan dengan baik, dibatalkan. Magau Ngili Nayo dan Saverigading berikrar bersama sebagai saudara kandung yang saling menghormati, bekerjasama dalam membimbing masyarakat Kaili yang mendiami Tanah Kaili bekas teluk Kaili yang telah menjadi daratan ini. Air yang mengalir deras ke laut lepas selat Makassar, membawa Saverigading terdampar di Sambo. Ceritra rakyat menyebutkan bahwa gunung yang menyerupai perahu di Sambo adalah bekas perahu Saverigading, sekarang dinamakan Bulu Sakaya (Gunung perahu). Perlengakapan perahu lainnya seperti layar, terdampar di pantai sebelah timur. Tempat itu kini bernama Bulu Masomba artinya gunung yang menyerupai layar. Di Baiya Tavaili, ditemukan sebuah batu berbentuk gong. Menurut ceritra rakyat, gong itu berasal dari perahu Saverigading. Di pantai Banava, terdapat batu yang menyerupai jangkar dan masyarakat setempat percaya bahwa benda itupun merupakan jangkar peninggalan dari Tokoh Saverigading.

Dikutip dari Buku: Catatan Kritis Palu Meniti zaman, Masyhuddin H. Masyhuda Posted by Yaku at 13:27 0 comments Labels: Sejarah Reactions: Links to this post

Kamis, 04 Maret 2010


Sejarah Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah dibentuk tahun 1964. Sebelumnya Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah keresidenan di bawah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah. Provinsi yang beribukota di Palu ini terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964. Seperti di daerah lain di Indonesia, penduduk asli Sulawesi Tengah merupakan percampuran antara

bangsa Wedoid dan negroid. Penduduk asli ini kemudian berkembang menjadi suku baru menyusul datangnya bangsa Proto-Melayu tahun 3000 SM dan Deutro-Melayu tahun 300 SM. Keberadaan para penghuni pertama Sulawesi Tengah ini diketahui dari peninggalan sejarah berupa peralatan dari kebudayaan Dongsong (perunggu) dari zaman Megalitikum. Perkembangan selanjutnya banyak kaum migran yang datang dan menetap di wilayah Sulawesi Tengah. Penduduk baru ini dalam kehidupan kesehariannya bercampur dengan penduduk lama sehingga menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dan baru. Akhirnya, suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu, Palu Toraja, Koro Toraja, dan Poso Toraja. Pada abad ke 13, di Sulawesi Tengah sudah berdiri beberapa kerajaan seperti Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Pengaruh Islam ke kerajaankerajaan di Sulawesi Tengah mulai terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo. Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota. Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya. Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalag dengan dipakainya istilah raja. Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing. Selain pengaruh Mandar, kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan). Dengan meluasnya pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam. Daerah-daerah yang diwarnai Islam pertama kali adalah daerah pesisir. Pada pertengahan abad ke 16, dua kerajaan, yaitu Buol dan Luwuk telah menerima ajaran Islam. Sejak tahun 1540, Buol telah berbentuk kesultanan dan dipimpin oleh seorang sultan bernama Eato Mohammad Tahir. Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan kolonial Belanda. Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun benteng di

Parigi dan Lambunu. Pada abad ke 18, meningkatkan tekanannya pada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah menguasai kerajaankerajaan di Sulawesi Tengah tersebut. Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang contract dan korte verklaring, Belanda telah sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata. Pada permulaan abad ke 20 pula mulai muncul pergerakanpergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Selain pergerakan lokal, masuk pula pergerakan-pergerakan yang berpusat di Jawa. Organisasi yang pertama mendirikan cabang di Sulawesi Tengah adalah Syarikat Islam (SI), didirikan di Buol Toli-Toli tahun 1916. Organisasi lainnya yang berkembang di wilayah ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cabangnya didirikan di Buol tahun 1928. organisasi lainnya yang membuka cabang di Sulawesi Tengah adalah Muhammadiyah dan PSII. Perlawanan rakyat mencapai puncaknya tanggal 25 Januari 1942. Para pejuang yang dipimpin oleh I.D. Awuy menangkap para tokoh kolonial seperti Controleur Toli-Toli De Hoof, Bestuur Asisten Residen Matata Daeng Masese, dan Controleur Buol de Vries. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh kolonial itu, praktis kekuasaan Belanda telah diakhiri. Tanggal 1 Februari 1942, sang merah putih telah dikibarkan untuk pertama kalinya di angkasa Toli-Toli. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena seminggu kemudian pasukan Belanda kembali datang dan melakukan gempuran. Meskipun telah melakukan gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi Tengah karena pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu, tepatnya di Luwuk tanggal 15 Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Di era Jepang, kehidupan rakyat semakin tertekan dan sengsara seluruh kegiatan rakyat hanya ditujukan untuk mendukung peperangan Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada awal kemerdekaan, Sulawesi tengah merupakan bagian dari provinsi Sulawesi. Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, pasca kemerdekaan adalah saatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Rongrongan terus datang dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Belanda menerapkan politik pecah-belah dimana Indonesia dijadikan negara serikat. Namun akhirnya bangsa Indonesia dapat melewati rongrongan itu dan ada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Sejak saat itu, Sulawesi kembali menjadi salah satu provinsi di Republik Indonesia dan berlangsung hingga terjadi pemekaran tahun 1960. Pada tahun tersebut Sulawesi dibagi dua menjadi Sulawesi Selatan-Tenggara yang beribukota di Makassar dan Sulawesi Utara-Tengah yang beribukota di Manado. Pada tahun 1964, Provinsi Sulawesi Utara-Tengah dimekarkan menjadi provinsi Sulawesi Utara yang beribukota di Manado dan Sulawesi Tenagh yang beribukota di Palu. diambil dari: sejarahbangsaindonesia.co.cc

Posted by Yaku at 04:01 0 comments Labels: Sejarah Reactions:

Links to this post

Jumat, 24 April 2009


Mokoloa, apakah ritual atau sebuah seni? Peringatan, sebaiknya membaca artikel ini jangan sambil makan karena sebagian orang merasa tidak nyaman dengan tulisan ini yang mencerterakan budaya sadisme masa lalu. Dimasa sekarang ketika suntuk, kita bisa saja mencari hiburan sesuai selera kita diluar sana, caf, karaoke, diskotik atau sekedar ngabuburit sambil cuci mata bisa jadi pilihannya. Tapi bisa dibayangkan bagaimana orang-orang yang hidup pada abad 10 ketika suntuk? Mungkin salah satu cara waktu itu ialah dengan Mokola. Mokoloa ini dikenal diwilayah lembah Palu, lembah Napu (Kabupaten Poso, Prov. Sulawesi tengah), Kulawi (Kabupaten Sigi Biromaru Prov. Sulawesi Tengah) maupun Pipikoro (Kabupaten Donggala, Prov. Sulawesi Tengah). Mokoloa merupakan ritual pengorbanan manusia dengan cara disembelih, disayat ataupun langsung dibunuh dengan menggunakan tombak. Kegiatan menyembelih, menyayat ataupun langsung dibunuh dengan menggunakan tombak tersebut dinamakan Mehaha atau Nesasa. Terdapat beberapa konsep tentang ritual mokola itu sendiri, ada yang berpendapat bahwa mokoloa diadakan sebagai bentuk terima kasih masyarakat kepada sang penguasa ketika itu (hal gaib) sebagai mohon restu dalam pembangunan sebuah Lobo (balai pertemuan warga)pendapat lain bahwa Mokoloa adalah sebuah selebrasi ketika telah memenangkan sebuah peperangan, ada pendapat yang mengatakan bahwa mokoloa merupakan sebuah ritual sebelum melakukan peperangan, pendapat lain yang lebih sexy yaitu mokoloa dilakukan sebagai bentuk pesta kerajaan tanpa maksud tertentu, semata-mata hanya dilakukan sebagai hiburan. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, siapakah yang menjadi korban pada ritual tersebut? Ada banyak versi juga tentang siapa yang dikorbankan pada ritual mokoloa ini. Kebanyakan sumber mengatakan bahwa yang dijadikan korban ialah tawanan perang atau orang yang melakukan kejahatan dalam sebuah kerajaan, ada yang berpendapat bahwa korban merupakan upeti dari kerajaan lain, pendapat lain mengatakan yang menjadi kornban ialah Batua (budak), pemberian Batua ketika itu dilaksanakan oleh bangsawan yang mempunyai budak secara bergiliran, misalnya bulan ini bangsawan A memberikan seorang Batua sebagai sebagai orang yang kemudian dikorbankan pada ritual Mokola, bulan berikutnya giliran bangsawan B yang memberikan Batua dan seterusnya. Dari beberapa tempat yang telah disebutkan diatas bahwa ritual tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda pula. Mokola yang dilakukan di lembah Palu misalnya, korban diikat ditiang yang mana tiang tersebut adalah tempat tiang yang akan dibangun sebuah Lobo, ketika korban telah diikatkan kemudian korban langsung dibunuh dengan menggunakan sebuah tombak, yang menjadi eksekutor pada ritual ini ialah keluarga kerajaan, Towalia(pemangku adat atau dukun) maupun bangsawan yang ditunjuk oleh

kerajaan. Mokoloa seperti ini juga dilakukan di wilayah Napu. Ada beberapa versi juga tentang Mokoloa yang dilakukan diwilayah Kulawi, versi yang saya temukan ialah Mokoloa dilakukan di hadapan keluarga kerajaan maupun bangsawan pada sebuah jamuan makan malam, prosesnya ialah korban diikatkan ditiang dihadapan keluarga kerajaan dan bangsawan tersebut, setelah itu secara bersama-sama keluarga kerajaan dan bangsawan tersebut menyanyikan irama Mokoloa secara bergiliran, dimana nyanyian itu berakhir maka orang tersebut yang mempunyai hak untuk melakukan sayatan pada tubuh korban, setelah melakukan sekali sayatan maka nyanyian dilanjutkan kembali dan dimana nyanyian tersebut berakhir maka kembali giliran orang tersebut yang melakukan sayatan pada tubuh korban, begitu seterusnya hingga korban tersebut meninggal dunia. Mokola yang dilakukan di wilayah Pipikoro lain lagi, ritual ini dilakukan sebelum melakukan peperangan, caranya korban diikatkan pada salah satu tiang Lobo kemudian pimpinan ritual langsung membunuh korban tersebut dengan menggunakan tombak disaksikan oleh prajurit yang telah siap untuk berperang. Tidak sampai disitu saja, setelah meninggal, pimpinan menyanyika lagu ritual mokola tersebut yang artinya adalah darah korban telah mengalir, mari kita kuliti kepalanya dan semua prajurit yang pergi berperang harus dapat kemudian korban tersebut dikuliti kulit kepalanya dan dibagikan bagi prajurit yang akan pergi berperang untuk dijadikan gane-gane (mantra agar prajurit berani dalam melakukan peperangan). Ketika Belanda masuk, ritual ini sedikit demi sedikit dihilangkan dengan alasan kemanusiaan, korban yang sebelumnya adalah manusia dirubah oleh pemerintah belanda ketika itu dengan batang pohon pisang, mungkin karena batang pohon pisang tersebut tidak mengeluarkan suara ketikan akan dibunuh maka secara perlahan-lahan pula ritual ini ditinggalkan oleh masyarakat.

Tulisan ini merupakan hasil wawancara dari beberapa pemangku adat yang masih mengetahui tentang ritual tersebut. Terima kasih untuk Robert Weber yang telah memberikan waktu kepada saya dalam melakukan eksplorasi dalam penelitiannya. Posted by Yaku at 18:08 0 comments Links to this post Labels: Sejarah Reactions:

Rabu, 22 April 2009


Gumangkoana Ribuan tahun lalu Lembah napu yang berada di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah ini menurut legenda yang diriwayatkan merupakan sebuah danau yang bernama Rano Raba pada saat itu ada dua etnis besar yang mendiami lembah itu yaitu Winua ynag berdiam disebelah timur dan Huku di sebelah barat. Di sekeliling danau juga terdapat etnis-etnis kecil seperti Urana, Beau, Malibubu, Wawowula, Kapa, Beloka dan Petingkia. Pada saat itu belum terdapa kerajaan diwilayah ini, masyarakat yang bermukim disekitar Rano Raba dengan alasan yang tidak jelas menginginkan danau tersebut dikeringkan. Seluruh Towalia (perantara dengan yang berhubungan dengan gaib) berkumpul untuk meminta jawaban dari sang gaib karena pada saat itu kepercayaan masyarakat sekitar danau adalah Animisme yang telah percaya bahwa ada sebuah kekuatan gaib yang melebihi batu, pohon dan lain sebagainya. Towalia mendapatkan jawaban dari sang gaib tersebut bahwa mereka bias mengeringkan danau dengan syarat berjalan mengelilingi danau sebanyak tujuh kali dan melakukan Modondi (pesta

rakyat ketika itu) di setiap desa yang mereka jumpai. Setelah mengellilingi danau sebanyak tujuh kali mereka menancapkan Pehungki (seperti sekop) yang terbuat dari emas untuk mulai membuat saluran air untuk mengeringkan air yang berada di danau tersebut. Setelah kurang lebih seratus tahun kemudian danau tersebut menjadi kering dan mengakibatkan daerah sebelah barat menjadi hutan dan sebelah selatan menjadi padang ilalang. Sebagian masyarakat Winua turun dan bermukim di Kalide dan Lengaro. Masyarakat Huku turun dan bermukim di Lengaro Pembangu dan Peore. Pada saat itu masyarakat tersebut belum mengenal cara bercocok tanam, kebutuhan sehari-hari hanya dilakukan dengan cara berburu dan memakan hasil hutan lainnya. Pada kurang lebih abad ke sepuluh Tomanuru (orang suci yang dianggap turun dari langit) datang dan tinggal menetap di Kalide dan menikah disana. Tomanuru dikenal sangat sakti dan telah mempunyai pengetahuan bercocok tanam seperti sawah serta membuat alat pertanian dan alat-alat perang lainnya. Dari hasil pernikahan tersebut, Tomanuru dikarunai tujuh orang anak, enam laki-laki dan satu orang perempuan. Anak-anaknya tersebut kemudian diberikan nama: Tindarura yang kemudian dikenal sebagai Gumangkoana (disebut demikan karena meletakan guma=parang tradisional di pinggang sebelah kanan) yang menempati wilayah Napu. Madusila yang kemudian bermukim di Gowa Sulawesi Selatan. Ralinu yang kemudian bermukim di daerah Lindu/Parigi Madika Mpudu yang bermukim di Uwentira (sebuah daerah yang dikenal sebagai tempat tinggal pada Jin) Pua yang bermukim di Manado Sulawesi Utara Rabuho yang berdiam diri di Luwu (Palopo, Sulawesi Selatan) Rampalili yang kemudian bermukim di Bada (Sekarang Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah) Satu-satunya yang mewarisi keahlian Tomanuru seperti bertani, membuat alat pertanian dan alat perang ialah Gumangkoana. Masyarakat ketika itu sangat senang padanya, banyak pemuda di lembah ini belajar berperang darinya. Para bangsawan kemudian memilihnya menjadi Tadulako (panglima perang). Asal Nama Pekurehua (Lembah Napu) Ketika Gumangkoana pergi ke hutan untuk berburu, anjingnya menangkap seekor babi, kemudian Gumangkoana memerintahkan pengikutnya untuk menebang beberapa pohon kecil untuk mengangkut babi tersebut. Ketika pengikutnya menebang kayu terdengarlah suara burung yang belum pernah terdengar oleh Gumangkoana sebelumnya, kemudian Gumangkoana bertanya nama jenis burung tersebut, kemudian salah satu penebang kayu tersebut menjawab bahwa nama burung tersebut ialah Kureu. Pada saat itu juga Gumangkoana berkata, mulai saat ini lembah ini ku beri nama Pekurehua. Tapi ada dua pendapat tentang cerita ini, pendapat lain mengatakan bahwa anjing Gumangkoana menangkap burung Kureu (tapi sangat aneh, bagaimana bisa seekor anjing manangkap burung yang sedang terbang).

Setelah dana Raba mengering yang kemudian menjadi lembah, tidak ada nama untuk lembah tersebut, Gumangkoana hanya tau bahwa lembah tersebut sebelumnya adalah danau Raba. Setelah pemberian nama Pekurehua tersebut, masyarakat mulai membangun pemukiman disana serta membuat sawah untuk pertanian. Sebagian dari mereka pindah ke Habingka dan setelah populasi Habingka menjadi lebih padat, mereka kembali pindah ke Gaa. Pada saat itu Gumangkoana menjadi pemimpin di dataran Pekurehua. Dan pada saat itu hanya ada satu perayaan tiap tahunnya yaitu Mangore (upacara setelah panen) Gumangkoana mengundang seluruh masyarakat Napu untuk menghadiri dan merayakan acara tersebut. Gumangkoana memilih Lamba sebagai tempat pertemuan dan mendirikan Duhunga. Ketika pesta rakyat Mangore dilakukan makan bersama. Pada saat makan bersama tersebut seluruh masyarakat menggunakan daun sebagai alas makanannya, dan setelah selesai makan bersama, daun bekas alas makanan tersebut tidak dibuang di sembarang tempat, tetapi dikumpulkan di satu tempat yang telah ditentukan. Setelah sekian lamanya perayaan tersebut daun yang telah dikumpulkan tadi menjadi satu bukit yang kemudian dinamakan bukit Pekurehua . Pada saat perayaan Mangore mereka juga melakukan kesenian Modoni dan Morego dan beberapa pertandingan ketangkasan beladiri dengan menggunakan tombak dan perisai (semacam gladiator) tapi tidak melakukannya sampai mati, permainan ketangkasan yang lainnya ialah Motintilo. Permainan ini dilakukan secara beregu, cara memainkannya ialah, kedua regu berberdiri berhadapan. Yang diperlukan untuk melakukan permainan ini ialah tombak dan roda yang terbuat dari rotan atau kayu yang berdiameter kurang lebih 35 cm ketika itu. Cara bermainnya ialah, regu pertama menggelindingkan roda ke arah lawan dengan sekencangkencangnya, kemudian lawan harus bisa memasukan tombak tersebut kedalam roda tersebut. Apabila salahsatu regu tidak dapat memasukan tombak ke dalam roda tersebut maka regu tersebut dinyatakan kalah (hmmmm.. menarik juga) Pada saat melakukan Morego (tarian melingkar) pada perayaan Mongore tersebut, perempuan melepaskan ikat kepala yang kemudian membiarkan rambut panjangnya terurai untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, walaupun pada saat itu laki-laki juga mempunyai rambut yang panjang. Perempuan melilitkan ikat kepala mereka pada bambu yang biasa di sebut Bolo Batu, kadang-kadang bamboo tersebut jatuh tidak sanggup menahan beban karena terlalu banyak ikat kepala yang digantungkan. Hal ini menandakan betapa banyaknya orang yang hadir pada perayaan Mangore tersebut. Seiring dengan waktu, Gumangkoana menjadi tua dan menjelang ajalnya, Gumangkoana berpesan kepada rakyatnya untuk tidak menguburkan jenazahnya, tetapi meletakkan peti matinya dibawah Duhunga dan menempatkan beberapa orang perempuan untuk menjaga dan meratapinya disekeliling Duhunga. Gumangkoana berpesan kepada masyarakatnya untuk membangunkannya dari peti matinya jika prajuritnya tidak sanggup berperang menghalau musuh yaitu denga cara melemparkan telur kearah peti matinya. Pada akhir abad ke 12 bangsa Tomene datang menyerang Pekurehua. Ada banyak asumsi tentang siapa sebenarnya bangsa Tomene ini, ada yang mengatakan bahwa bangsa Tomene ialah Kubilai

Khan atau bangsa Portugis yang masuk melalui Mindanau Filipina. Banyak dari rakyat Pekurehua yang berada di sebelah utara mati terbunuh oleh bangsa Tomene tersebut, pasukan Pekurehua hampir kalah terhadap invasi tersebut. Karena terdesak, prajurit Pekurehua membangunkan Gumangkoana untuk mengatasi masalah tersebut karena mereka tidak mampu menahan gempuran yang dilakukan oleh bangsa Tomene. Mereka membangunkan Gumangkoana dengan cara melemparkan telur kearah peti mati Gumangkoana seperti yang telah dipesankan. Gumangkoana terbangun dari peti matinya dan berkata apa yang terjadi, kemudian prajuritnya menceritrakan apa yang telah terjadi. Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, Gumangkoana berkata, baik saya akan membantu kalian untuk menghalau dan menghancurkan musuhmu, tetapi daengan syarat hancurkan peti mati saya ketika saya telah pergi berperang pada saat itu juga Gumangkoana pergi ke medan pertempuran untuk menghalau pasukan Tomene di sebuah daerah yang dinamakan Pototowa yang berarti tempat memenggal leher. Dinamakan Pototowa karena tempat tersebut dijadikan Gumangkoana sebagai tempat menangkap dan memenggal kepala setiap pasukan Tomene. Setelah situasi tersebut mampu dikembalikan, Gumangkoana kembali ke Pekurehua, tetapi betapa kecewanya Gumangkoana bahwa pesan yang diamanatkan untuk menghancurkan peti matinya tidak dilakukan oleh prajuritnya, kemudian Gumangkoana berkata karena kalian tidak menuruti permintaanku untuk menghancurkan peti matiku, maka saya tidak akan bisa membantu kalian lagi apabila terjadi serangan lagi ke Pekurehua, dan saya akan kembali dalam tidur panjangku dan tidak bisa dipanggil lagi, kemudian Gumangkoana kembali berjalan memasuki peti matinya untuk kembali beristirahat untuk selama-lamanya. Dulu Pototowa adalah sebuah kayu yang dinamakan Pepolo, tapi seiringnya waktu Pototowa telah berubah menjadi batu dan batu tersebut telah tertimbun tanah ketika pemerintah membuat jalan menuju lembah Napu. Setelah masuknya bangsa Belanda ke daerah Napu, maka dengan sendirinya Howa dan Duhunga hilang dengan sendirinya. Beberapa hipotesa mengatakan pemerintah Belanda ketika itu sengaja merobohkan Howa dan Duhunga karena berhubungan kepercayaan animisme yang ketika itu dijadikan sebagai tempat pemujaan berhala kepada Anitu (sesauatu yang bersifat gaib seperti Tuhan, Roh, Jin dan Setan) dan sebagai langkah pemerintah Berlanda untuk memecah persatuan raja-raja yang selalu dilakukan di Duhunga. Albert C. Kruijt dalam bukunya yang berjudul De Berglanschappen Napoe en Besoa in Midden Celebes atau The Mountain District Napu and Besoa in Sentral Sulawesi juga menuliskan tentang cerita diatas. Tijdsjhrift Van Het Aardkigkskundig Genooksjhap (2nd series 1908) page 1271 1344, Kruijt juga menjelaskan dalam buku tersebut bahwa pada ketika itu orang-orang yang menjadi pendeta ialah orangorang yang tidak mau ikut berperang. Dalam bukunya, Albert C. Kruijt menulis bahwa jalan dari Napu menuju Sigi (Kabupaten Sigi Biromaru, Provinsi Sulawesi tengah) adalah salah satu jalan tertua yang pernah ada, dalam bukunya juga menceritrakan kebangkitan Gumangkoana. Cerita yang saya dapatkan dari bapak H. Tebo yang merupakan orang tua adat di desa Wuasa Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso Sulawesi Tengah pada tahun 2002 mengatakan, sebelum pergi berperang, Gumangkoana berpesan kepada masyarakatnya untuk menghancurkan peti matinya, namun Albert C. Kruijt dalam bukunya menulis, berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan masyrakat Napu ketika itu (1908) dikatakan bahwa sebelum Gumangkoana berangkat berperang, dia memerintahkan untuk menggulung tikar yang dipakai untuk membaringkannya dalam peti matinya, namun masyarakatnya lupa untuk menggulung kembali tikarnya sehingga Gumangkoana tidak bisa kembali lagi dan istirahat untuk selama-lamanya.

http://syauqiancients.blogspot.com/

SEJARAH SINGKAT PROPINSI SULAWESI TENGAH

Masuk log untuk meninggalkan sebuah Komentar

Sejarah Sulawesi Tengah. Provinsi Sulawesi Tengah dibentuk tahun 1964. Sebelumnya Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah keresidenan di bawah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah. Provinsi yang beribukota di Palu ini terbentuk berdasarkan Undangundang No. 13/1964. Seperti di daerah lain di Indonesia, penduduk asli Sulawesi Tengah merupakan percampuran antara bangsa Wedoid dan negroid. Penduduk asli ini kemudian berkembang menjadi suku baru menyusul datangnya bangsa Proto-Melayu tahun 3000 SM dan Deutro-Melayu tahun 300 SM. Keberadaan para penghuni pertama Sulawesi Tengah ini diketahui dari peninggalan sejarah berupa peralatan dari kebudayaan Dongsong (perunggu) dari zaman Megalitikum. Perkembangan selanjutnya banyak kaum migran yang datang dan menetap di wilayah Sulawesi Tengah. Penduduk baru ini dalam kehidupan kesehariannya bercampur dengan penduduk lama sehingga menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dan baru. Akhirnya, suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu, Palu Toraja, Koro Toraja, dan Poso Toraja. Pada abad ke 13, di Sulawesi Tengah sudah berdiri beberapa kerajaan seperti Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah mulai terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaankerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo. Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota. Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.

Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalag dengan dipakainya istilah raja. Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing. Selain pengaruh Mandar, kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan). Dengan meluasnya pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam. Daerahdaerah yang diwarnai Islam pertama kali adalah daerah pesisir. Pada pertengahan abad ke 16, dua kerajaan, yaitu Buol dan Luwuk telah menerima ajaran Islam. Sejak tahun 1540, Buol telah berbentuk kesultanan dan dipimpin oleh seorang sultan bernama Eato Mohammad Tahir. Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan kolonial Belanda. Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun benteng di Parigi dan Lambunu. Pada abad ke 18, meningkatkan tekanannya pada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah tersebut. Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang contract dan korte verklaring, Belanda telah sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata. Pada permulaan abad ke 20 pula mulai muncul pergerakan-pergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Selain pergerakan lokal, masuk pula pergerakan-pergerakan yang berpusat di Jawa. Organisasi yang pertama mendirikan cabang di Sulawesi Tengah adalah Syarikat Islam (SI), didirikan di Buol Toli-Toli tahun 1916. Organisasi lainnya yang berkembang di wilayah ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cabangnya didirikan di Buol tahun 1928. organisasi lainnya yang membuka cabang di Sulawesi Tengah adalah Muhammadiyah dan PSII. Perlawanan rakyat mencapai puncaknya tanggal 25 Januari 1942. Para pejuang yang dipimpin oleh I.D. Awuy menangkap para tokoh kolonial seperti Controleur Toli-Toli De Hoof, Bestuur Asisten Residen Matata Daeng Masese, dan Controleur Buol de Vries. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh kolonial itu, praktis kekuasaan Belanda telah diakhiri. Tanggal 1 Februari 1942, sang merah putih telah dikibarkan untuk pertama kalinya di angkasa Toli-Toli. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena seminggu kemudian pasukan Belanda kembali datang dan melakukan gempuran. Meskipun telah melakukan gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi Tengah karena pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu, tepatnya di

Luwuk tanggal 15 Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Di era Jepang, kehidupan rakyat semakin tertekan dan sengsara seluruh kegiatan rakyat hanya ditujukan untuk mendukung peperangan Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada awal kemerdekaan, Sulawesi tengah merupakan bagian dari provinsi Sulawesi. Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, pasca kemerdekaan adalah saatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Rongrongan terus datang dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Belanda menerapkan politik pecahbelah dimana Indonesia dijadikan negara serikat. Namun akhirnya bangsa Indonesia dapat melewati rongrongan itu dan ada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Sejak saat itu, Sulawesi kembali menjadi salah satu provinsi di Republik Indonesia dan berlangsung hingga terjadi pemekaran tahun 1960. Pada tahun tersebut Sulawesi dibagi dua menjadi Sulawesi Selatan-Tenggara yang beribukota di Makassar dan Sulawesi Utara-Tengah yang beribukota di Manado. Pada tahun 1964, Provinsi Sulawesi UtaraTengah dimekarkan menjadi provinsi Sulawesi Utara yang beribukota di Manado dan Sulawesi Tenagh yang beribukota di Palu. SEJARAH SINGKAT KABUPATEN BANGGAI Tepatnya pada tanggal 3 November 1999 Gubernur Sulawesi Tengah (Brigjen Purn. H.B. Palidju) atas nama Menteri Dalam Negeri meresmikan berdirinya Kabupaten Banggai Kepulauan yang sebelumnya masih bernaung bergabung dalam Kabupaten Banggai. Kabupaten Banggai Kepulauan menjadi satu kabupaten otonom berdasarkan UndangUndang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Secara historis wilayah Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan mulanya adalah bagian dari Kerajaan Banggai yang sudah dikenal sejak abad 13 Masehi sebagaimana termuat dalam buku Negara Kertagama yang ditulis oleh Pujangga Besar Empu Prapanca pada tahun Saka 1478 atau 1365 Masehi. Kerajaan Banggai, awalnya hanya meliputi wilayah Banggai Kepulauan, namun kemudian oleh Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa disatukan dengan Wilayah Banggai Darat. Adik Cokro yang merupakan panglima perang dari Kerajaan Ternate yang menikah dengan seorang Putri Portugis kemudian melahirkan putra bernama Mandapar. Mandapar inilah yang dikenal sebagai Raja Banggai Pertama yang dilantik pada tahun 1600 oleh Sultan Said Berkad Syam dari Kerajaan Ternate. Raja Mandapar yang bergelar Mumbu Doi Godong ini memimpin Banggai sampai tahun 1625 Adapun sisa peninggalan Kerajaan Banggai yang dibangun pada abad ke XVI yang masih dapat ditemui hingga saat ini yaitu Keraton Kerajaan Banggai yang ada di Kota Banggai. Pada masa pemerintahan Raja Syukuran Amir, ibukota Kerajaan Banggai yang semula berada di Banggai Kepulauan dipindahkan ke Banggai Darat (Luwuk). Untuk

penyelenggaraan pemerintahan diwilayah Banggai Laut ditempatkan pejabat yang disebut Bun Kaken sedang untuk Banggai Darat disebut Ken Kariken. Wilayah Banggai Darat dan Banggai Laut kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi Tengah menjadi Satu Kabupaten Otonom yang dikenal sebagai Kabupaten Banggai dengan ibukota Luwuk Kabupaten Banggai merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi tengah yang terletak dibagian pantai timur Pulau Sulawesi. Kabupaten Banggai dengan ibukota Luwuk secara geografis terletak pada posisi 0 30-02 20 LS dan 122 10 124 20 BT. dengan batas wilayah sebelah utara Teluk Tomini, sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Poso, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Tolo dan sebelah timur berbatasan dengan laut Banda. Dari ibukota Propinsi Palu menuju ibukota Kabupaten Banggai Luwuk dapat ditempuh melalui jalan darat maupun udara. Jalan darat dapat memakai sarana perhubungan kendaraan umum bus-bus kecil, atau dengan kendaraan carteran. Palu Luwuk dengan jarak sekitar 350 km. Transportasi udara dari ibukota Propinsi Palu dilayani oleh pesawat kecil (Twin otter/ Cassa) dengan waktu tempuh 1.5 jam. Penerbangan Palu Luwuk secara regular setiap hari sekali. Dari Luwuk ke Pulau Peleng dilayani oleh ferry secara reguler sekali setiap hari. Sedangkan Luwuk- Pulau Banggai dilayani oleh perahu motor kayu yang jauh lebih kecil. Pelayaran Luwuk Banggai dilakukan secara reguler dan singgah di beberapa ibukota kecarnatan dengan waktu tempuh antara 8 12 jam. Untuk mencapai pulau-pulau yang ada disekitar Pulau Peleng dan Pulau Banggai jalan satusatunya adalah menggunakan perahu carteran. Kabupaten Banggai menjadi salah satu dari 25 kabupaten yang menerima penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha dari Pemerintah Indonesia 27 tahun lalu. Saat itu Kabupaten Banggai dianggap berprestasi karena mampu menyumbang 50 persen Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) bagi Provinsi Sulawesi Tengah.Iini. Kebanggaan masyarakat di daerah yang hanya berkepadatan penduduk 28 jiwa tiap kilometer perseginya ini bertambah karena kabupaten Banggai mampu menjadi penghasil beras nomor dua setelah Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah. Monsuani Tano ternyata menjadi cara yang ampuh dalam memotivasi masyarakat Banggai untuk membangun daerahnya sendiri. Gemar menanam, makna dari istilah tersebut, telah menjadi gerakan yang mendapat tempat di hati masyarakat Banggai. Buktinya, dalam lima tahun ke belakang, pertanian telah menjadi pemasok terbesar kegiatan ekonomi daerah ini. Tahun 2000 misalnya, 54,4 persen (Rp 465,4 milyar) kegiatan ekonomi berasal dari sektor pertanian. Dan produksi beras menjadi primadona. Dengan produktivitas rata-rata 3,0 ton per hektar, Kabupaten Banggai menghasilkan padi sebanyak 69.693 ton tahun 2000. Dibandingkan tahun sebelumnya, angka ini menurun drastis hingga 29 persen. Sementara untuk tahun 2001, kabupaten ini juga mengalami kesulitan untuk mempertahankan produksi. Bulan Juli 2001 terjadi banjir akibat gelombang tsunami yang merendam dan merusak 43,5 hektar sawah di Kecamatan Batui.

Banjir ini juga melanda Kecamatan Toili yang selama ini menjadi sentra penghasil beras Kabupaten Banggai. Di samping tanaman bahan pangan, hasil perkebunan rakyat seperti kelapa, kakao, dan jambu mete misalnya, turut memberikan andil yang berarti bagi roda perekonomian Banggai. Di antara delapan kecamatan yang ada, Kecamatan Bunta menjadi sentra tanaman kelapa dan kakao. Sementara itu, jambu mete dan sebagian kakao dihasilkan oleh Kecamatan Batui. Sumbangan kelapa sendiri tidak kecil. Nilainya mencapai 9,1 juta dollar AS melalui ekspor 13.222 ton minyak kelapa. Ini belum termasuk ekspor bungkil kopra sebanyak 5.700 ton dan kopra 700 ton. Hasil hutan pun tak kalah perannya bagi pertumbuhan ekonomi Banggai. Setidaknya berdasarkan angka hingga Agustus 2001 dari Iuran Hasil Hutan (IHH) diperoleh Rp 1,5 milyar dan dari Dana Reboisasi 453.915 dollar AS. Pemasukan itu berasal dari hasil kayu rimba logs dan selebihnya dari rotan, damar, kulit japari dan kemiri. Saat ini Pertaminta terus-menerus berupaya menggali cadangan gas yang tersimpan di bumi Banggai. Tahun 2003 lalu Pertamina menemukan gas dengan kapasitas 34 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) dan 160 BCPD (barrel kondensat per hari) dari hasil pemboran sumur Donggi (DNG #1) di desa Kamiwangi, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Sumur yang mulai ditajak tanggal 14 Agustus 2001 dan berhasil diselesaikan pada tanggal 4 September 2001 dengan kedalaman akhir 2502 MBLB (meter bawah lantai bor) diantaranya telah dilakukan uji kandung lapisan (UKL). Interval kedalaman 1705 1710 M dan menghasilkan 14 MMSCFGD + 50 BCPD. Sedang interval kedalaman 1620 1630 M menghasilkan 20 MMSCFGD + 110 BCPD. Kondensat yang dihasikan dari kedua lapisan tersebut mempunyai derajat API sebesar 54 derajat. Selanjutnya untuk membuktikan potensi cadangan gas di komplek Donggi maupun Blok Matindok Sulawesi Tengah akan dilakukan studi geologi dan geofisika terpadu yang melibatkan ahli eksplorasi, ahli reservoir dan ahli gas. SEJARAH SINGKAT KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN SEBANYAK 121 pulau, lima berukuran sedang, sisanya kecil-kecil bahkan ada yang berwujud batu karang, mencuat ke permukaan. Laut yang mengelilinginya merajut tebaran pulau itu menjadi satu untaian yang disebut Banggai Kepulauan. Luas hamparan laut di wilayah ini dua kali lipat dibandingkan dengan luas daratan yang ada. SEBELUMNYA, kabupaten ini merupakan kesatuan wilayah dengan Kabupaten Banggai. Undang- Undang Nomor 51 Tahun 1999 menetapkan pulau-pulau di tengah lautan tersebut menjadi daerah otonom. Kabupaten induk tetap disebut Kabupaten Banggai dan pemekarannya disebut Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep). Sebagai wilayah kepulauan, laut menjadi bagian kehidupan sehari-hari yang selalu dan harus digeluti. Pasalnya, di sanalah terdapat potensi dan kekayaan alam yang pantas

diolah dan diusahakan sebagai penopang kehidupan penduduk Bangkep. Laut yang bagi banyak orang terkesan menakutkan bagi kabupaten ini merupakan harapan. Menurut sensus penduduk tahun 2000, penduduk yang sehari-hari menggeluti perikanan 8.299 orang, sedangkan sebagian petani merangkap menjadi nelayan. Saat lahan pertanian tak lagi membutuhkan banyak tenaga, mereka biasanya melaut mencari ikan. Dari hamparan air asin 6.522 kilometer persegi ini tahun 2002 ditangkap 11.487 ton ikan. Jika dirupiahkan, nilainya Rp 31,6 miliar, menurun dibandingkan dengan hasil tangkapan tahun sebelumnya yang tercatat 14.140 ton. Data di atas bisa diperdebatkan karena banyak nelayan yang langsung menjual hasil tangkapan ke penampung di tengah laut. Kapal-kapal besar yang datang dari Sulawesi Utara dan Kendari setiap hari menunggu, dilengkapi pendingin. Kontras dengan kapal nelayan tradisional. Di tengah laut itulah transaksi jual beli terjadi. Bangkep bergantung pada kehidupan sektor pertanian, termasuk perikanan. Separuh penduduk lebih hidup dari sektor ini, yakni 61.630 orang, sedangkan penduduk yang hidup dari perikanan 8.299 orang. Sudah umum diketahui kebanyakan petani merangkap sebagai nelayan. Ikan kerapu hidup merupakan primadona tangkapan nelayan. Harga dari nelayan ke penampung berkisar Rp 60.000 hingga Rp 120.000 per kilogram, tergantung jenis ikan. Kerapu macan lebih murah daripada kerapu tikus, dan yang termahal ikan napoleon. Di tangan pedagang, harganya Rp 300.000 per kilogram. Ikan layang atau ikan pelagis yang banyak ditangkap nelayan di tangan penampung dihargai sekitar Rp 500 per kilogram. Khusus layang super berekor kuning, harganya Rp 2.500 per kilogram. Selain ikan segar, Bangkep juga dikenal dengan cumi-cumi kering. Tahun 2002 dihasilkan 345.000 ton ukuran kecil dan 220.000 ton ukuran besar, sebagian besar dikirim ke Jawa. Kontribusi perikanan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Bangkep tahun 2002 tercatat Rp 33,3 miliar, atau sekitar 6,8 persen dari total kegiatan ekonomi Rp 491,4 miliar. Perkebunan menyumbang 19,4 persen dan tanaman bahan pangan 18,5 persen. Andalan perkebunan wilayah ini adalah kelapa, cengkeh, kakao, dan jambu mete yang dihasilkan hampir di seluruh kecamatan. Dari masing-masing komoditas tersebut tahun 2002 dihasilkan 18.235 ton kelapa, 805 ton cengkeh, 1.642 ton kakao, dan 1.115 ton jambu mete. Karena di Bangkep belum ada industri pengolahan yang mampu menyerap hasil perkebunan ini, petani memasarkan dalam bentuk apa adanya ke luar Bangkep. Seperti halnya kelapa, setelah dikeringkan dalam bentuk kopra dikirim ke Luwuk, ibu kota Kabupaten Banggai. Di kabupaten induk terdapat pabrik minyak goreng yang membutuhkan bahan baku kopra. Sebagian dikirim ke Surabaya untuk keperluan yang sama. Adapun jambu mete sebagian besar dibeli oleh pedagang dari Pulau Jawa.

Cengkeh yang dulu pernah menjadi pundi-pundi uang petani kini terpuruk. Cengkeh kering per kilogram dihargai Rp 12.000-Rp 13.000. Padahal tahun 2002 pernah mencapai Rp 80.000. Meskipun sumbangan tanaman bahan pangan wilayah ini terhadap perekonomian Bangkep cukup berarti, untuk mencukupi kebutuhan pangan terutama beras, Bangkep mendatangkan dari luar. Beras didatangkan dari Kabupaten Banggai yang di tahun 2002 surplus sekitar 32.000 ton. Juga didatangkan dari Kabupaten Parigi Moutong. Mulai Maret 2003, khususnya di Pulau Banggai, listrik menyala 24 jam. Penerangan yang tanpa henti ini banyak menolong nelayan menyimpan hasil tangkapan. Produksi es untuk membekukan ikan akan selalu tersedia. Sebagai wilayah kepulauan, angkutan laut sangat dibutuhkan. Apalagi kapal-kapal besar yang bisa mengangkut hasil bumi ke provinsi atau pulau lain tersedia. Sebelum Oktober 2003 ada kapal Pelni KM Ciremai yang menghubungkan Banggai ke Tanjung Priok, Jakarta . Satu minggu sekali kapal ini angkat jangkar dari Banggai. Berangkat Jumat pagi dan Senin pagi merapat di Tanjung Priok, Jakarta . Keberadaan kapal tersebut sangat membantu perekonomian Bangkep. Hasil bumi dan laut wilayah ini, yang paling menonjol adalah cumi kering, bisa cepat sampai ke konsumen di Pulau Jawa. Namun, sejak Oktober 2003, setelah 10 tahun menjalani jalur ini, KM Ciremai tidak lagi singgah di Banggai. Sebagai gantinya, wilayah ini disinggahi KM Tilongkabila yang tak langsung ke Jakarta . Kapal ini sebulan sekali mampir di Banggai. Alur perjalanan dari Bitung, Luwuk, Banggai, Morowali, Kendari, Makassar, terus ke Benoa. Bagi Bangkep, perubahan rute perjalanan dan jadwal kedatangan kapal yang semakin lama ini mempengaruhi perekonomian masyarakat. Biaya yang dikeluarkan untuk komoditas dari Banggai yang di kirim ke Jawa semakin membengkak, waktu tempuh yang dibutuhkan semakin panjang. Konsumen terkena dampak karena barang tersebut semakin mahal. Kalau ada pesaing yang memasok dengan harga lebih miring dan waktu lebih cepat, bisa dipastikan konsumen akan beralih ke pemasok lain. Ini bisa menjadi ancaman serius bagi pedagang, petani, dan nelayan Bangkep. Wilayah Bangkep kaya akan keindahan laut, pantai, dan pulau-pulau kecil yang memesona. Semakin sulitnya mencapai kabupaten ini, semakin jauh harapan untuk bisa menarik wisatawan. Kepada siapa lagi mereka berharap kecuali pemerintah pusat. SEJARAH TEBENTUKNYA KABUPATEN BANGGAI.. Sejarah Kabupaten Banggai

Sekitar abad ke-13, masa pada masa keemasan kerajaan Singosari yang berpusat di jawa Timur, ketika itu Singosari di bawah kekuasan terakhir dan terbesar yaitu Kertanegara ( 1268-1292 ), nama Banggai telah di kenal dan menjadi bagian kerajaan Singaosari. Berikutnya, sekitar abad 13-14 Masehi pada masa kerajaan Mojopahit yang juga berpusat di Jawa Timur, ketika tampuk pemerintahan di pegang raja terbesar Mojopahit bernama Hayam Wuruk ( 1351-1389 ) saat itu kerajaan Banggai sudah dikenal dengan sebutan BENGGAWIdan menjadi bagian kerajaan Mojopahit. Bukti bahwa kaerajaan Banggai sudah di kenal sejak zaman Mojopahit dengan nama Benggawi setidaknya dapat di lihat dari apa yang telah di tulis seorang pujangga Mojopahit yang bernama Mpu Prapanca dalam bukunya Negara Kartagama, buku bertarikh caka 1478 atau tahun 1365 Masehi,yang dimuat dalam seuntai syair nomor 14 bait kelima sebagai berikut Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun Benggawi, Kuni, Galiayo, Murang Ling Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah, Tikang, I Wandleha, Athawa Maloko, Wiwawunri Serani Timur Mukadi Ningagaku Nusantara. (Mangkasara = Makasar, Buntun = Buton, Benggawi = Banggai, Kunir = Pulau Kunyit, Salayah = Selayar, Ambawa = Ambon, Maloko = Maluku ). Hayam Wuruk ingin mempersatukan Nusantara lewat sumpah Palapa yang di ucapkan sang Pati Gajah Mada. Dengan sumpah tersebut Hayam Wuruk makin terkenal dengan programnya mempersatukan Nusatara. Di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Kabupaten Banggai pernah bediri kerajaankerajaan kecil. Yang tertua bernama kerjaan bersaudara Buko dan Bulagi. Letak kerajaan Buko dan Bulagi berada di pulau Peling belahan barat. Kemudian muncul keajaankerajaan baru seperti, Kerajaan Sisipan, Kerajaan Lipotomundo, dan Kadupadang. Semuanya berada di pulau Peling bagian tengah (sekarang kecamatan Liang). Sementara di bagian pulau Peling sebelah timur (sekitar Kecamatan Totikum dan Tinangkung), waktu itu telah berdiri kerajaan yang agak besar yakni kerajaan Bongganan. Upaya unntuk memekarkan kerjaan Bongganan dilakukan Pangeran dan beberapa bansawan kerajaan akhirnya membuahkan hasil bila sebelumnya wilayah kerajaan banggai hanya meliputi pulau Banggai, kemudian dapat diperlebar. Di banggai Darat ( kabupaten Banggai, waktu itu sudah berdiri Kerajaan Tompotika yang berpusat di sebelah utara ( Kecamatan Bualemo ) bagian Selatan kerajaan tiga bersaudara Motiandok, Balaloa, dan Gori-Gori. Perkembangan Kerajaan Banggai yang ketika itu masih terpusat di Pulau Banggai, mulai pesat dan menjadi Primus Inter Pares atau yang utama dari beberapa kerajaan yang ada, sewaktu pemerintahan Kerajaan Banggai berada di bawah pembinaan Kesultanan ternate akhir abad 16. Wilayah Kerajaan Banggai pada tahun 1950-an hanya meliputi Pulau Banggai, kemudian diperluas sampai ke Banggai Darat, hingga ke Tanjung Api, Sungai Bangka dan Togung Sagu yang terletak di sebelah Selatan Kecamatan Batui. Perluasan wilayah Kerajaan Banggai dilakukan oleh Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa pada abad ke-16. Istilah Mumbu Doi berarti yang wafat atau mangkat, khusus dipakai untuk raja-raja Banggai yang tertinggi derajatnya.

Adi Cokro adalah bangsawan dari Pulau Jawa yang mengabdikan diri kepada Sultan Baab-Ullah dari Ternate. Di tangan Adi Cokro kerajaan-kerajaan Banggai mampu dipersatukan hingga akhirnya ia dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai. Adi Cokro tercatat pula sebagai orang yang memasukkan agama Islam ke Banggai. hal tersebut sebagaimana ditulis Albert C. Kruyt dalam bukunya De Vorsten Van Banggai ( Raja-raja Banggai). Adi Cokro bergelar Mumbu Doi Jawa, yang dalam dialeg orang Banggai disebut Adi Soko, mempersunting seorang wanita asal Ternate berdarah Portugis bernama Kastellia ( Kastella). Perkawinan Adi dengan Kastellia melahirkan putra bernama Mandapar yang kemudian menjadi Raja Banggai. Istilah Adi merupakan gelar bangsawan bagi raja-raja Banggai, hal tersebut sama dengan gelar RM ( Raden Mas) untuk bangsawan Jawa atau Andi bagi bangsawan bugis. Karena Kerajaan Banggai dikenal oleh Kerajaan Ternate, sementara Kerajaan Ternate ditaklukan Bangsa Portugis, otomatis Kerajaan Banggai berada dibawah kekuasaan Bangsa Portugis. Bukti, itu setidaknya dapat dilihat dengan ditemukannya sisa-sisa peninggalan Bangsa Portugis di daerah ini di antaranya meriam kuno atau benda peninggalan lainnya. Tahun 1532 P.A. Tiele pernah menulis dalam bukunya De Europeers in Den maleischen Archipel, di sana disebutkan, bahwa pada tahun 1532. Laksamana Andres De Urdanette yang berbangsa Spanyol merupakan sekutu (kawan) dari Sultan Jailolo, pernah mengunjungi wilayah sebelah Timur Pulau Sulawesi ( Banggai ). Andres de Urdanette merupakan orang barat pertama yang menginjakan kaki di Banggai. Sedang orang Portugis yang pertama kali datang ke Banggai bernama Hernando Biautemente tahu 1596. Tahun 1956 Pelaut Belanda yang sangat terkenal bernama Cornelis De Houtman datang ke Indonesia. Menariknya, pada tahun 1594 atau dua tahun sebelum datang ke Indonesia Cornelis De Houtman sudah menulis tentang Banggai. ketika Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa, kembali ke tanah Jawa dan wafat disana. Tampuk Kerajaan Banggai dilanjutkan oleh Mandapar dengan gelar Mumbu Doi Godong. Mandapar dilantik sebagai Raja Banggai pada tahun 1600 di Ternate oleh Sultan Said Uddin Barkat Syah. Tahun 1602 Belanda datang ke Indonesia dan mendirikan Vereeniging Oast Indische Compagnie (VOC) yang merupakan Kongsi Dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur (Indonesia). Kesaksian salah seorang pelaut bangsa Inggris bernama David Niddeleton yang pernah dua kali datang ke Banggai menyebutkan; Pengaruh VOC di Banggai sudah ada sejak Raja Mandapar memimpin Banggai. Kerajaan Banggai pernah dikuasai Ternate. namun setelah Kerajaan Ternate dapat ditaklukan dan direbut oleh Sultan Alaudin dari Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) maka Banggai ikut menjadi bagian dari Kerajaan Gowa. Dalam sejarah tercatat Kerajaan Gowa sempat berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat di Indonesia Timur. Kerajaan Banggai berada di bawah pemerintahan Kerajaan Gowa berlangsung sejak tahun 1625-1667. Pada tahun 1667 dilakukan perjanjian Bongaya yang sangat terkenal antara Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa melepaskan semua wilayah yang tadinya

masuka dalam kekuasaan Kerajaan Ternate seperti Selayar, Muna, Manado, Banggai, Gapi (Pulau Peling), Kaidipan, Buol Toli-Toli, Dampelas, Balaesang, Silensak dan kaili. Pada saat Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sengit melawan Belanda. Bentuk perjuangan yang dilakukan Hasanuddin ternyata memberikan pengaruh tersendiri bagi Raja Banggai ke-4, yakni Raja Mbulang dengan gelar Mumbu Doi Balantak ( 1681-1689 ) hingga Mbulang memberontak terhadap Belanda. Sebenarnya Mbulang Doi Balantak menolak untuk berkongsi dengan VOC lantaran monopoli dagang yang terapkan Belanda hanya menguntungkan Belanda, sementara rakyatnya di posisi merugi. Tapi apa hendak dikata, karena desakan Sultan Ternate yang menjadikan Kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukannya, dengan terpaksa Mbulang Doi Balantak tidak dapat menghindar dari perjanjian yang dibuat VOC (Belanda). Tahun 1741 tepatnya tangga l 9 November perjanjian antara VOC dengan Mbulang Doi Balantak diperbarui oleh Raja Abu Kasim yang bergelar Mumbu Doi Bacan. Meski perjanjian telah diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi secara sembunyi-sembunyi Abu Kasim menjalin perjanjian kerjasama baru dengan Raja Bungku. Itu dilakukan Abu Kasim dengan target ingin melepaskan diri dari Kerajaan Ternate. Langkah yang ditempuh Abu Kasim ini dilakukan karena melihat beban yang dipikul oleh rakyat Banggai sudah sangat berat karena selalu dirugikan oleh VOC. Tahu raja Abu Kasim menjalin kerjasama dengan Raja Bungku, akhirnya VOC jadi berang (marah). Abu Kasim lantas ditagkap dan dibuang ke Pulau Bacan (Maluku Utara), hingga akhirnya meninggal disana. Usaha Raja-raja Banggai untuk melepaskan diri dari belenggu Kerajaan Ternate berulang kali dilakukan dan kejadian serupa dilakukan Raja Banggai ke-9 bernama Antondeng yang bergelar Mumbu Doi Galela (1808 1829). Serupa dengan Raja-raja Banggai sebelumnya, Antondeng juga melakukan perlawanan kepada Kesultanan Ternate. Sebenarnya perlawanan Anondeng ditujukan kepada VOC (Belanda). Karena Antondeng menilai perjanjian yang disebut selama ini hanya menguntungkan Hindia Belanda dan menjepit rakyatnya. Karena itulah Antondeng berontak. Karena perlawanan kurang seimbang, Antondeng kemudian ditangkap dan dibuang ke Galela (Pulau Halmahera). Setelah Antondeng dibuang ke Halmahera, Kerajaan Banggai kemudian dipimpin Raja Agama, bergelar Mumbu Doi Bugis. Memerintah tahun 1829 1847. Raja Agama sempat melakukan perlawanan yang sangat heroik dalam perang Tobelo yang sangat terkenal. Tetapi Kerajaan ternate didukung armada laut yang modern, akhirnya mereka berhasil mematahkan perlawanan Raja Agama. Pusat perlawanan Raja Agama dilakukan dari Kota Tua Banggai (Lalongo). Dalam perang Tobelo, Raja Agama sempat dikepung secara rapat oleh musuh. Berkat bantuan rakyat yang sangat mencintainya, Raja Agama dapat diloloskan dan diungsikan ke wilayah Bone Sulawesi Selatan, sampai akhirnya wafat di sana tahun 1874. Setelah Raja Agama hijrah ke Bone, munculah dua bersaudara Lauta dan Taja. Kepemimpinan Raja Lauta dan Raja Taja tidak berlangsung lama. Meski hanya sebentar

memimpin tetapi keduanya sempat melakukan perlawanan, hingga akhirnya Raja Lauta dibuang ke Halmahera sedang Raja Taja diasingkan ke Pulau Bacan, Maluku Utara. Dalam Pemerintahan Kerajaan Banggai, sejak dulunya sudah dikenal sistem demokrasi. Dimana dalam menjalankan roda pemerintahan Raja akan dibantu oleh staf eksekutif atau dewan menteri yang dikenal dengan sebutan komisi empat, yaitu:
1. 2. 3. 4. Mayor Ngopa atau Raja Muda Kapitan Laut Kepala Angkatan Perang Jogugu atau Menetri Dalam Negeri Hukum Tua atau Pengadilan

Penunjukan dan pengangkatan komisi empat, dilakukan langsung oleh Raja yang tengah bertahta. sementara badan yang berfungsi selaku Legislatif disebut Basalo Sangkap. terdiri dari Basalo Dodonung, Basalo Tonobonunungan, Basalo Lampa, dan Basalo Ganggang. Basalo Sangkap diketuai oleh Basalo Dodonung, dengan tugas melakukan pemilihan setiap bangsawan untuk menjadi raja. Demikian pula untuk melantik seorang raja dilakukan di hadapan Basalo Sangkap. Basalo sangkap yang akan melantik raja, lalu akan meriwayatkan secara teratur sejarah raja-raja Banggai. Berurut kemudian disebutkanlah calon raja yang akan dilantik, yang kepadanya akan dipakaikan mahkota kerajaan. Dengan begitu, raja tersebut akan resmi menjadi Raja Kerajaan Banggai. Silsilah raja-raja Banggai disebutkan sebagai berikut:
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Mandapar dengan gelar Mumbu Doi Godong, Mumbu Doi Kintom, Mumbu Doi Balantak, Mumbu Doi Benteng, Mumbu Doi Mendono, Abu Kasim, Mumbu Doi Pedongko, Manduis, Antondeng, Agama, Blauta, Taja, Tatu Tanga, Saok, Nurdin, Abdul Azis, Abdul Rahman, Haji Awaludin, Haji Syukuran Aminuddin Amir.

Demikian sejarah Banggai yang sekarang menjadi Kabupaten banggai Profil Kerajaan Banggai

Setiap Komunitas Masyarakat pada Masa ke masa memiliki ikatan emosional yang kuat, baik karena kesamaan Adat Istiadat, maupun karena di satukan oleh kondisi Giografis Banggai adalah salah satu di antara Komunitas yang telah eksis ratusan Tahun yang lalu sebelum Kerajaan Banggai secara resmi terbentuk pada Tahun 1600 M. Pada masa pra Kerajaan Banggai di wilayah kekuasan Kerajaan Banggai berdiri empat buah Kerajaan yang memiliki Wilayah dan berdaulat atas wilayahnya. Empat Kerajaan dimaksud adalah Babolau berkedudukan di Babolau 5 km dari Desa Tolise Tubono, Kokini berkedudukan di Desa lambako, Katapean berkedudukan di desa Sasaban 5 km dari Desa Monsongan dan Singgolok berkedudukan di Bungkuko Tatandak 7 km dari Desa Gonggong Keempat Kerajaan tersebut hidup dalam suasana saling mencurigai bahkan cenderung bermusuhan sehingga sering terjadi peperangan antara keempat Kerajaan tersebut ini, masing masing mempertahankan kedaulatannya dan tidak ada yang mengalah. Dalam suasa bermusuhan ini datang seorang Pangeran penyembar Agam Islam dari Kerajaan Kediri yang bernama Tabea ADI COKRO ( Mbumbu doi Jawa ),atau di Banggai dikenal ADI SOKO menginjakkan kaki di Banggai sekitar Tahun 1580 M, kedataangan Adi Cokro di Pulau Banggai menemukan suasana Masyarakat yang saling bermusuhan antara Kerajaan Babolau, Kokini, Katapean, dan Kerajaan Singgolok maka sebagai seorang yang bijak timbullah niatannya untuk mempersatukan kerajaan yang saling bermusuhan tersebut. Adi Cokro selama tinggal di Banggai kawin dengan Putri Nurusjaffa salah seorang Putri Kerajaan Singgolok, dan Putri Kerajaan Babolau bernama Nursia Kutubuzzaman, perkawinan Adi Cokro dengan Nurussaffa Kutubul Qaus memperoleh seorang Putra bernama Abu Qasim dan perkawinan dengan Nursia Kutubuzzaman memperoleh anak bernama Putri Saleh. Namun sebelum beliu pergi ke Banggai, Adi Cokro pernah tinggal di Kerajaaan Ternate dan sempat kawin dengan seorang Bangsawan bernama Castella berketurunan Portugis, dari perkawinan ini memperoleh seorang Putra Maulana Prins Mandapar dan pendekatan perkawinan Adi Cokro tersebut berhasil mempersatukan Empat Kerajaan tersebut dengan memberikan kewenangan untuk mengangkat Raja atau Tomundo. Empat Raja yang dipersatukan tersebut diberi gelar Basalo yang dikenal dengan Basalo Sangkap Pada masa inilah terbentuknya awal mula Kerajaan Banggai secara terorganisir, Sebagai pendiri Kerajaan Banggai mereka disebut Basalo Sangkap dengan kedudukan sebagai lembaga tinggi sejajar dengan Tomundo/ Raja. Basalo Sangkap membidangi urusan Legislatif dan penasihat Tomundo yang berhak memilih, mengangkat, melantik dan memberhentikan Raja. Sedangkan Tomundo membidangi urusan Eksekutif / pemerintahan kerajaan. Di Kerajaan Banggai tidak dikenal dengan adanya putra Mahkota, karena setiap pergantian Raja ditetapkan dalam musyawarah Basalo Sangkap. Silsilah Raja Raja Kerajaan Banggai yang terbagi dalam 2 masa yakni periode Kerajaan Kuno dan Periode Kerajaan Baru ( 1600 2009 M ). Dan Silsilah Raja raja setelah terbentuknya awal mula Kerajaan Banggai secara terorganisir 1600 2009 M

Secara De Jure kerajaan Banggai berakhir pada tahun 1952 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1952, tanggal 12 Agustus 1952 Tentang Penghapusan Daerah Otonom Federasi Kerajaan Banggai. Wilayah Kerajaan Banggai kini terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan, Pulau Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut buku Babad Banggai Sepintas Kilas susunan Machmud HK, kerajaan ini diperkirakan berdiri pada 1525. Machmud mengatakan, sulit sekali memeroleh fakta-fakta yang obyektif untuk penulisan sejarah Banggai, apalagi tidak ada catatan tertulis sarna sekali tentang sejarah Banggai pada tahun-tahun sebelum abad ke-14. Sumbernya, kata Machmud, hanya cerita dari mulut ke mulut atau dari balelee, yakni cerita yang disampaikan dengan cara bernyanyi oleh seseorang yang dinilai kemasukan roh halus. Satu-satunya bukti tertulis yang menunjukkan Banggai pada abad ke-14, adalah Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca yang bertarikh 1278 Saka (1365 M). Prapanca menamai Banggai dengan Banggawi. Empat Kerajaan Kecil: Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean Kerajaan Babolau merupakan satu dari empat kerajaan kecil yang pernah berdiri di Pulau Banggai. Tiga kerajaan lainnya adalah Kerajaan Singgolok, Kookini, dan Katapean, yang masing-masing juga memiliki rumah keramat yang dianggap bekas istana. Tidak ada literatur yang dapat memastikan tahun berapa keempat kerajaan itu berdiri. Babad Banggai Sepintas Kilas, misalnya, hanya menyebut keempat kerajaan itu masih berdiri sampai abad ke-15. Delapan dari 24 pemangku adat Kerajaan Babolau pun, tidak dapat memastikan tahun berapa Babolau dan tiga kerajaan lainnya berdiri. Kami tidak tahu pasti tahun berdirinya. Tapi, dari cerita orangtua kami dulu, empat kerajaan inilah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Banggai, tutur Jabura, pemangku adat Kerajaan Babolau lainnya. Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Ternate, Pendiri Kerajaan Banggai Dari sejumlah pustaka disimpulkan, pada awal abad ke-16 empat kerajaan kecil itu dikuasai Kesultanan Ternate. Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Ternate yang berasal dari Jawa, kemudian menyatukannya menjadi satu kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai yang beribukota di Pulau Banggai. Adi Cokro inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai. Oleh Adi Cokro, keempat rajanya kemudian dijadikan Basalo Sangkap yang terdiri dari Basalo Dodung (Raja Babolau), Basalo Gong-gong (Raja Singgolok), Basalo Bonunungan (Raja Kookini), dan Basalo Monsongan (Raja Katapean). Setelah memperluas wilayah Kerajaan Banggai, dari semula hanya Banggai Laut (kini Bangkep) sampai ke Banggai Daratan (Kabupaten Banggai), Adi Cokro kembali ke Jawa.

Basalo Sangkap lantas memilih Abu Kasim, putra Adi Cokro hasil perkawinan dengan Nurussapa, putri Raja Singgolok, menjadi Raja Banggai. Namun, sebelum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut dalam suatu pelayaran hingga tewas. Basalo Sangkap kemudian memilih Maulana Prins Mandapar, anak Adi Cokro yang lain, hasil perkawinannya dengan seorang putri Portugis. Basalo Sangkap ini pula yang melantik Mandapar menjadi raja pertama Banggai yang berkuasa mulai tahun 1600 sampai 1625. Menurut Machmud, Raja Mandapar berkuasa sejak tahun 1571 sampai tahun 1601. Pelantikan Mandapar dan raja-raja setelahnya dilakukan di atas sebuah batu yang dipahat menyerupai tempat duduk. Sampai saat ini batu tersebut masih ada di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari Kota Banggai. Perang Tobelo Setelah masa kekuasaan Raja Mandapar berakhir, raja-raja Banggai berikutnya berusaha melepaskan diri dari Kesultanan Ternate. Mereka menolak bekerja sama dengan Belanda, yang pada 1602 sudah menginjakkan kaki di Banggai. Upaya melepaskan diri dari kekuasaan Ternate ini mengakibatkan sejumlah raja Banggai ditangkap lalu dibuang ke Maluku Utara. Perlawanan paling gigih terjadi pada masa pemerintahan raja Banggai ke-10 yang bergelar Mumbu Doi Bugis. Pada masanya meletuslah Perang Tobelo. Sampai awal 2000, warga Banggai mengaku masih sering menemukan sisa-sisa Perang Tobelo di Kota Tua Banggai Lalongo, sekitar 5 km dari pusat Kota Banggai. Sisa-sisa yang dimaksud adalah berupa tengkorak dan tulang-belulang manusia yang diduga sebagai tulang-belulang prajurit Kerajaan Banggai atau dari pihak Ternate. Warga pun sering menemukan porselin yang diperkirakan dibawa orang-orang Cina ke Banggai sejak abad ke-13. Basalo Sangkap, Lembaga Legislatif ala Kerajaan Banggai Hingga 1957 raja-raja Banggai berjumlah 20 orang. Jika dinilai tidak mampu memimpin, raja-rajanya dapat diberhentikan, layaknya kehidupan demokratis zaman ini. Basalo Sangkapsemacam lembaga legislatifadalah yang bertugas memilih, melantik, dan memberhentikan raja Banggai. Terbentuknya Basalo Sangkap ini berawal dari empat kerajaan kecil di Pulau Banggai: Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean. Dalam Babad Banggai Sepintas Kilas dikatakan, sebelum Kerajaan Banggai berdiri, empat kerajaan ini selalu berselisih. Masing-masing ingin menguasai yang lain, saling bersitegang. Namun, persaingan tersebut tidak sampai pada peperangan, melainkan hanya adu kesaktian raja masing-masing. Mungkin karena selalu berselisih, maka empat kerajaan tersebut jatuh ke dalam kekuasaan Kesultanan Temate, sekitar abad ke-16.

Adi Cokro, Panglima Perang Kesultanan Temate yang berasal dari Jawa, kemudian menyatukan keempat kerajaan itu, menjadi Kerajaan Banggai. Keempat rajanya kemudian dijadikan Basalo Sangkap yang terdiri dari Basalo Dodung (Raja Babolau), Basalo Gong-gong (Raja Singgolok), Basalo Bonunungan (Raja Kookini), dan Basalo Monsongan (Raja Katapean). Setelah Adi Cokro menyatukan keempat kerajaan itu, ia kembali ke Jawa. Basalo Sangkap lalu memilih Abu Kasim. Namun, sebelum dilantik, Abu Kasim dibunuh bajak laut. Basalo Sangkap pun memilih Maulana Prins Mandapar, lalu melantiknya menjadi raja pertama Banggai (1600-1625). Komisi Empat dan Pembantu-pembantunya Setelah Mandapar dilantik, Kerajaan Banggai mulai ditata sedemikian rupa sehingga sistem pemerintahan dan kehidupan rakyatnya berjalan secara baik. Untuk membantu raja, dibentuklah dewan menteri, dikenal dengan Komisi Empat. Komisi Empat ini terdiri dari Mayor Ngopa (Raja Muda), Kapitan Laut (Kepala Angkatan Perang), Jogugu (Menteri Dalam Negeri), dan Hukum Tua (Pengadilan). Komisi Empat tersebut masing-masing memiliki sejumlah pembantu. Mereka dan pembantu-pembantunya dipilih dan diangkat langsung oleh raja dengan persetujuan Basalo Sangkap. Selain Komisi Empat dan pembantu-pembantunya, raja juga mengangkat staf pribadi untuk urusan pemerintahan dan rumah tangga istana. Ketika empat raja yang menjadi Basalo Sangkap itu mangkat, posisi mereka digantikan oleh keturunannya atau setidak-tidaknya oleh orang yang memiliki hubungan keluarga dengan mereka. Sampai saat ini keturunan dari Basalo Sangkap itu masih dapat kita temui. Namun, peranan keturunan mereka tidak lagi sebagai Basalo Sangkap yang memilih, melantik, dan memberhentikan raja, melainkan sebagai pemangku adat kerajaan masingmasing. Peranan Basalo Sangkap di Kerajaan Banggai telah berakhir seiring dengan berakhirnya kekuasaan Raja Banggai ke-20, Raja Syukuran Aminudin Amir, pada 1957. Dua tahun setelah itu, wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai resmi menjadi Daerah Swantara (setingkat kabupaten) Tingkat II Banggai. Jabura, salah seorang pemangku adat Kerajaan Babolau, mengatakan, silsilah keturunan Basalo Sangkap masih jelas. Masing-masing kerajaan (Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean) memiliki 24 pemangku adat yang merupakan keturunan raja. Tugas mereka saat ini adalah menjaga dan melestarikan peninggalan kerajaan masing-masing, seperti istana, pedang, tombak, dan bendera pusaka. Jejak-jejak Kerajaan Banggai Di Kota Tua Banggai Lalongo, yang dahulu menjadi pusat Kerajaan Banggai, pun masih dapat ditemukan sejumlah situs tua, seperti tempat duduk pelantikan raja-raja Banggai

yang terbuat dari batu dan sumur tua (sumber mata air penduduk setempat kala itu). Sayang, situs-situs bersejarah tersebut sangat tidak terawat, ditutupi semak belukar. Jejak Kerajaan Banggai juga dapat ditemukan dengan rnengunjungi Keraton Banggai yang terletak di pusat Kota Banggai. Namun, selain tidak mendapatkan informasi tahun berapa istana Kerajaan Banggai itu didirikan, kita juga tidak akan rnenemukan bendabenda peninggalan Kerajaan Banggai di sana, selain dua meriam buatan Belanda. Setelah kekuasaannya berakhir, raja-raja Banggai membawa benda-benda peninggalan kerajaan ke rumahnya masing-masing. Hal itu terjadi karena raja-raja Banggai bukan berasal dari satu garis keturunan, melainkan dipilih dari rakyat biasa yang dianggap mampu memimpin Kerajaan. Kamali Boneaka, Rumah Keramat Banggai Jika biasanya para penjaga istana dan benda-benda pusaka kerajaan adalah para lelaki, lain halnya di Banggai Kepulauan, di mana perempuanlah yang dipercayakan bertugas menjaganya. Itu pun perempuan yang berusia 50 hingga 80 tahunlah yang memenuhi syarat menjaganya. Pimpinan ini diserahkan kepada seorang perempuan berusia 80 tahun bernama Patin. Patin adalah seorang keturunan langsung dari salah seorang raja yang pernah berkuasa di Banggai. Sejauh ini tidak pernah ada yang berani mengusili ataupun menjamah koleksi pusaka itu. Hanya atas izin Patin seseorang diperkenankan masuk ke dalam istana. Patin adalah warga terpilih yang memiliki hak istimewa untuk tidur dan makan di rumah peninggalan kerajaan leluhur tersebut. Ia dihormati sebagai sosok suci yang layak menjadi penjaga utama karena dirinya memenuhi semua syarat yang ditentukan adat: keturunan langsung raja terakhir yang berdiam di istana itu, sudah tidak haid, dan tidak bersuami sehingga mampu sepenuh jiwa-raga mencurahkan dirinya bagi tugas yang diembannya. Kata Kamali Boneaka secara harafiah berarti rumah keramat. Ini adalah bekas istana Kerajaan Babolau, salah satu kerajaan di Banggai Kepulauan yang ditaklukkan oleh Kesultanan Ternate dan kemudian bergabung dalam Kerajaan Banggai. Rumah panggung dari kayu yang masih berdiri kokoh konon sudah berumur ratusan tahun sehingga mengalami beberapa kali pemugaran. Di dalamnya tersimpan benda-benda pusaka yang usianya lebih kurang sama dengan usia rumah tersebut, seperti pedang, tombak, payung, dan bendera, juga kain pelantikan Tomundo sepanjang 17 meter bewarna merah. Rumah pusaka berbentuk panggung itu terdiri dari sebuah teras, sebuah ruang utama seluas kurang-lebih 5 x 8 meter, dan dua ruang kecilsatu kamar tidur dan satu lagi dapur. Untuk memasuki rumah pusaka ini disediakan dua tangga: di sisi kanan dan sisi kiri teras. Menurut tradisi, tamu hanya boleh naik dari tangga di sebelah kanan teras. Sehari-hari, Patin melakukan kegiatan dan tidur di ruang utama rumah pusaka Kamali Boneaka .

Di rumah keramat ini tersimpan sebuah bendera pusaka warisan leluhur dari abad ke-13. Warnanya merah-putih, seperti Sang Merah-putih, namun ia merah-putih bersusun 13. Kami yakin, Bendera Indonesia kini, terinspirasi salah satunya dari bendera Kerajaan Banggai, kata Hamzen B. Kuat dari Lembaga Adat Masyarakat Banggai. Benda-benda pusaka yang tersimpan di Kamali Boneaka tidak sembarang waktu bisa dipegang atau dibersihkan. Jadwalnya tiga tahun sekali. Membersihkannya pula harus menggunakan air yang diambil dari sebuah sumur yang dipercaya sebagai keramat di depan bekas Istana Kerajaan Babolau itu. Prosesi pencucian pusaka leluhur ini dinamakan Bakubusoi dalam dialek Banggai. Menurut Sri Wahyuni, salah seorang perempuan yang memelihara istana, benda-benda pusaka Kamali Boneaka hanya boleh disentuh oleh Patin. Ada dua pedang melekat di dinding. Ada pula sebuah tongkat kayu, sebilah tombak, tameng dan payung pelantikan Tomundo (raja/ratu) diikat dengan kain merah di tiang tengah rumah. Lalu ada dua botol berisi air dari sumur keramat. Di bagian kanan ruang utama Kamali Boneaka tersimpan sejumlah kain merah pengikat perut yang dipakai saat pelantikan oleh 12 perempuan penjaga Kamali, ditambah dengan 17 meter kain panjang yang juga bewarna merah. Itu digunakan saat mengelilingi Tomundu baru yang akan dilantik. Molikur atau mengelilingi raja dengan kain panjang berwarna merah adalah satu tugas perempuan penjaga Kamali Boneaka, tutur Patin. Untuk menjaga Kamali Boneaka, Patin dibantu oleh para penjaga istana yang berjumlah 24 orang yang berusia 50 tahun ke atas, 12 perempuan dan 12 lelaki. Sehari-harinya, mereka bertugas membersihkan halaman istana, membersihkan istana dan menyiapkan makanan bagi Patin. Kamali Boneaka sangat dihormati dan kelestariannya sangat diperhatikan oleh setiap warga.
http://putraramasejati.wordpress.com/sejarah-singkat-propinsi-sulawesi-tengah/

Sejarah Sulawesi Tengah


Provinsi Sulawesi Tengah dibentuk tahun 1964. Sebelumnya Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah keresidenan di bawah Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah. Provinsi yang beribukota di Palu ini terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 13/1964.

Seperti di daerah lain di Indonesia, penduduk asli Sulawesi Tengah merupakan percampuran antara bangsa Wedoid dan negroid. Penduduk asli ini kemudian berkembang menjadi suku baru menyusul datangnya bangsa Proto-Melayu tahun 3000 SM dan Deutro-Melayu tahun 300 SM.

Keberadaan para penghuni pertama Sulawesi Tengah ini diketahui dari peninggalan sejarah berupa peralatan dari kebudayaan Dongsong (perunggu) dari zaman Megalitikum.

Perkembangan selanjutnya banyak kaum migran yang datang dan menetap di wilayah Sulawesi Tengah. Penduduk baru ini dalam kehidupan kesehariannya bercampur dengan penduduk lama sehingga menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama dan baru. Akhirnya, suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu, Palu Toraja, Koro Toraja, dan Poso Toraja.

Pada abad ke 13, di Sulawesi Tengah sudah berdiri beberapa kerajaan seperti Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaeli, Kerajaan Sigi, Kerajaan Bangga, dan Kerajaan Banggai. Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah mulai terasa pada abad ke 16. Penyebaran Islam di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo.

Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua, yaitu, yang berbentuk Pitunggota dan lainnya berbentuk Patanggota.

Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi. Struktur lainnya, yaitu, Patanggota, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh Kerajaan Palu dan Kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.

Pangaruh lainnya adalah datang dari Mandar. Kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini adalah cikal bakalnya berasal dari Mandar. Pengaruh Mandar lainnya adalag dengan dipakainya istilah raja. Sebelum pengaruh ini masuk, di Teluk Tomini hanya dikenal gelar Olongian atau tuan-tuan tanah yang secara otonom menguasai wilayahnya masing-masing. Selain pengaruh Mandar, kerajaan-kerajaan di Teluk Tomini juga dipengaruhi Gorontalo dan Ternate. Hal ini terlihat dalam struktur pemerintahannya yang sedikit banyak mengikuti struktur pemerintahan di

Gorontalo dan Ternate tersebut. Struktur pemerintahan tersebut terdiri dari Olongian (kepala negara), Jogugu (perdana menteri), Kapitan Laut (Menteri Pertahanan), Walaapulu (menteri keuangan), Ukum (menteri perhubungan), dan Madinu (menteri penerangan).

Dengan meluasnya pengaruh Sulawesi Selatan, menyebar pula agama Islam. Daerah-daerah yang diwarnai Islam pertama kali adalah daerah pesisir. Pada pertengahan abad ke 16, dua kerajaan, yaitu Buol dan Luwuk telah menerima ajaran Islam. Sejak tahun 1540, Buol telah berbentuk kesultanan dan dipimpin oleh seorang sultan bernama Eato Mohammad Tahir.

Mulai abad ke 17, wilayah Sulawesi Tengah mulai masuk dalam kekuasaan kolonial Belanda. Dengan dalih untuk mengamankan armada kapalnya dari serangan bajak laut, VOC membangun benteng di Parigi dan Lambunu. Pada abad ke 18, meningkatkan tekanannya pada raja-raja di Sulawesi Tengah. Mereka memanggil raja-raja Sulawesi Tengah untuk datang ke Manado dan Gorontalo untuk mengucapkan sumpah setia kepada VOC. Dengan begitu, VOC berarti telah menguasai kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah tersebut.

Permulaan abad ke 20, dengan diikat suatu perjanjian bernama lang contract dan korte verklaring, Belanda telah sepenuhnya menguasai Sulawesi Tengah, terhadap kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata. Pada permulaan abad ke 20 pula mulai muncul pergerakan-pergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Selain pergerakan lokal, masuk pula pergerakan-pergerakan yang berpusat di Jawa. Organisasi yang pertama mendirikan cabang di Sulawesi Tengah adalah Syarikat Islam (SI), didirikan di Buol Toli-Toli tahun 1916. Organisasi lainnya yang berkembang di wilayah ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang cabangnya didirikan di Buol tahun 1928. organisasi lainnya yang membuka cabang di Sulawesi Tengah adalah Muhammadiyah dan PSII.

Perlawanan rakyat mencapai puncaknya tanggal 25 Januari 1942. Para pejuang yang dipimpin oleh I.D. Awuy menangkap para tokoh kolonial seperti Controleur Toli-Toli De Hoof, Bestuur Asisten Residen Matata Daeng Masese, dan Controleur Buol de Vries. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh kolonial itu, praktis kekuasaan Belanda telah diakhiri. Tanggal 1 Februari 1942, sang merah putih telah dikibarkan untuk pertama kalinya di angkasa Toli-Toli. Namun keadaan

ini tidak berlangsung lama karena seminggu kemudian pasukan Belanda kembali datang dan melakukan gempuran.

Meskipun telah melakukan gempuran, Belanda tidak sempat berkuasa kembali di Sulawesi Tengah karena pada waktu itu, Jepang mendarat di wilayah itu, tepatnya di Luwuk tanggal 15 Mei 1942. dalam waktu singkat Jepang berhasil menguasai wilayah Sulawesi Tengah. Di era Jepang, kehidupan rakyat semakin tertekan dan sengsara seluruh kegiatan rakyat hanya ditujukan untuk mendukung peperangan Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang menyerah kepada Sekutu dan disusul dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada awal kemerdekaan, Sulawesi tengah merupakan bagian dari provinsi Sulawesi. Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, pasca kemerdekaan adalah saatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Rongrongan terus datang dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Belanda menerapkan politik pecah-belah dimana Indonesia dijadikan negara serikat. Namun akhirnya bangsa Indonesia dapat melewati rongrongan itu dan ada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.

Sejak saat itu, Sulawesi kembali menjadi salah satu provinsi di Republik Indonesia dan berlangsung hingga terjadi pemekaran tahun 1960. Pada tahun tersebut Sulawesi dibagi dua menjadi Sulawesi Selatan-Tenggara yang beribukota di Makassar dan Sulawesi Utara-Tengah yang beribukota di Manado. Pada tahun 1964, Provinsi Sulawesi Utara-Tengah dimekarkan menjadi provinsi Sulawesi Utara yang beribukota di Manado dan Sulawesi Tenagh yang beribukota di Palu.

http://www.sejarahbangsaindonesia.co.cc/1_22_Sejarah-Sulawesi-Tengah.html Sejarah Kembali Berulang Pada awal abad 17 Masehi, perjalanan mencari daerah jajahan telah dimulai oleh sebuah korporasi besar asal negeri Belanda. Korporasi pertama bernama VOC (Vereenidge OostIndische Compagnie) melakukan penjelajahan mencari ladang bisnis baru bagi mereka. Pada tahun 1669 VOC telah menjelma menjadi korporasi raksasa dengan kekuatan militer terbesar yang memiliki 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 karyawan, dan angakatan darat swasta sebesar 10.000 prajurit.1 Tepat berada di Nusantara, VOC ibarat menemukan surga

dunia. Betapa tidak, Indonesia yang pada saat itu kaya akan rempah-rempah menjadi primadona bagi negara-negara penjajah. Dengan dukungan militer serta kewenangan besar yang diberikan oleh pemerintah Belanda saat itu menjadikan VOC sebagai satu-satunya korporasi Eropa yang memiliki mandat dari negara untuk melakukan ekspansi dalam rangka memperluas daerah jajahan. Itulah awal mula petaka bagi penduduk pribumi Nusantara saat itu. VOC dengan arogansinya bukan hanya mengeksploitasi sumber daya alam, tapi juga mengeksploitasi sumber daya manusia. Menjadikan rakyat jajahan sebagai tenaga kerja murah. Walhasil, karena diperlakukan dengan tidak manusiawi para penduduk pribumi pun melakukan perlawanan. Sehingga berlanjut dengan peperangan dua bangsa. Yang satu bertujuan ingin merampas dan merampok kekayaan alam, sedangkan sebagian yang lain berusaha mempertahankan apa yang menjadi hak milik mereka. Maka, kurun waktu 3,5 abad Nusantara diwarnai dengan peperangan fisik dari berbagai etnis dan suku untuk melawan satu musuh bersama yaitu VOC Belanda. VOC yang didirikan pada tahun 1602 dengan kekuatan militernya telah berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan strategis saat itu.2 Sehingga menyebabkan perdagangan rakyat pribumi terhambat. Inilah awal mula kolonialisme masuk ke Indonesia, yaitu dengan melakukan liberalisasi misalnya dengan adanya sistem kerja upahan yang diperkenalkan oleh VOC serta kepemilikan tanah secara privat. Aset vital publik (tanah dan kekayaan alam lainnya) milik masyarakat pribumi pun diambil alih dengan paksa menjadi milik privat dan tentu dengan bantuan dan kerjasama dari golongan masyarakat kelas atas yang menjadi agen mereka. Setelah masa VOC ini berakhir ternyata praktik-praktik kolonialisme yang dicontohkan mereka terus menjelma dalam semangat penjajahan negara-negara pemenang Perang Dunia II yang kemudian mendirikan IMF dan World Bank yang sejatinya merupakan peralihan bentuk kolonialisme menjadi neo-kolonialisme dengan melakukan penjajahan struktural. Ternyata sejarah kembali berulang.

Munculnya Korporatokrasi Global dan Neo-Kolonialisme Penduduk Indonesia yang hidup terus-menerus dalam penjajahan kolonial Belanda selama kurun waktu 3,5 abad dan 3,5 tahun dalam masa pendudukan tentara Jepang akhirnya memproklamirkan diri sebagai bangsa merdeka pada tahun 1945 setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Momen ini memberi semangat baru bagi rakyat Indonesia untuk membangun sebuah Negara yang berdaulat dan mandiri. Namun, fakta sejarah menunjukkan pasca kemerdekaan Negara ini ternyata tetap berada dalam cengkraman kolonialisme. Terjadinya intrik intelektuil internasional dalam tubuh pemerintahan Soekarno telah melemahkan rezim

tersebut. Para pemimpin yang dekat dengan Barat saat itu, sukses merekayasa kemerdekaan RI dengan para pejabat Gedung Putih di Washington. Dengan membuka pintu masuk selebarlebarnya bagi Amerika dalam kerjasama ekonomi yang sejatinya adalah upaya mereka (AS) untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Dua tokoh yang sukses membawa Indonesia ke dalam cengkraman AS adalah Sudjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo.3 Mereka lah aristokrat handal yang menjadi abdi Washington dan dikenal sangat akrab dengan para punggawa Gedung Putih. Sumitro yang pada era 1950-an menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia telah banyak mengirim mahasiswanya ke luar negeri melalui program bantuan beasiswa dari Ford Foundation dan berhasil mencetak aristokrat-aristokrat muda yang siap membawa misi Washington. Mereka lah Team Istimewa yang dibentuk AS untuk memuluskan agenda mereka atau yang lebih dikenal dengan The Mafia Berkeley (para sarjana lulusan Universitas Berkeley Callifornia).4 Soekarno pun menyadari akan adanya intrik tersebut di dalam pemerintahannya dan juga mengetahui bagaimana doktrin-doktrin ekonomi liberal yang ditancapkan ke dalam otak para mahasiswa Indonesia yang studi di Universitas Berkeley maupun di Universitas Harvard. Akan tetapi, dia (Seokarno) harus menerima hal itu jika tidak ingin bantuan pendidikan ditarik. Begitulah pemerintahan Soekarno terus digerogoti dari dalam, AS menginginkan agar Soekarno dilengserkan karena kedekatannya dengan Uni Soviet yang saat itu menjadi kiblatnya Sosialisme. Inilah awal mulanya Neo-Kolonialisme muncul dengan adanya kekuatan koalisi antara negara adidaya AS, Lembaga Keuangan Internasional (IMF & World Bank) dan Korporasi Internasional atau apa yang disebut oleh John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hitman (2004) sebagai Korporatokrasi. Setelah Soekarno lengser dan digantikan oleh Soeharto dengan skenario yang telah dirancang oleh asing semakin mengokohkan pengaruh Amerika di Indonesia. Gus Papanek (President Development Advisory Service di Harvard) mengatakan, kita tidak dapat lagi menggambarkan skenario yang lebih ideal daripada apa yang telah terjadi. Orang-orang itu (para ekonom) begitu mudah masuk dalam pemerintahan dan mengambil alih pimpinan urusan-urusan ekonomi, dan mereka meminta kita untuk bekerja sama terus dengan mereka. Keberhasilan para komprador asing untuk masuk dalam jajaran pemerintahan terlihat dari susunan Kabinet Pembangunan yang dibentuk oleh Jenderal Soeharto pada tahun 1968. Tercatat sederetan nama mereka seperti Sumitro Djojohadikusumo yang menduduki jabatan sebagai Menteri Perdagangan, Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1961) sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Moh. Sadli (Master of Science dari MIT, 1956) ditunjuk sebagai Ketua Tim Penanaman Modal Asing, serta sejumlah nama lainnya yang berhasil menduduki posisi strategis baik dari alumni Berkeley maupun Harvard.5

Kehadiran Soeharto dan para agen yang membawa kepentingan asing dalam sejarah Indonesia telah menyebabkan negara ini jatuh ke dalam kubangan Kapitalisme Global. Proses liberalisasi yang terjadi sangat gencar dan radikal pada rezim orde baru ini. UU no. 3 tahun 1967 yang ditandatangani tentang utang warga Hindia Belanda, keanggotaan Indonesia dalam Bank Dunia, dan penanaman modal asing sangat lekat dengan penjajahan.6 Maka terbukalah akses seluasluasnya bagi asing untuk memasukkan kepentingan mereka. Berbagai kontrak karya pun dilakukan pada masa orde baru termasuk Freeport di Papua yang melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran disana. Sampai era 80-an Indonesia semakin terintegrasi dalam sistem perekonomian global. Pengaruh IMF di Indonesia semakin kuat. Bahkan ketika terjadi krisis financial di Asia tahun 1997-1998 termasuk Indonesia yang jatuh dalam petaka krisis tersebut, pemerintah saat itu justru menunjukkan kepercayaannya kepada IMF untuk menangani krisis di dalam negeri.7 Akhirnya pada tahun 1997 pemerintah menandatangani LoI (Letter of Intens) atau nota kesepakatan antara Indonesia dan IMF.7 Sejumlah persyaratan yang diajukan IMF kepada Indonesia termasuk diantaranya pengetatan anggaran, pencabutan subsidi, dan privatisasi aset public bukan malah mengeluarkan Indonesia dari krisis tapi justru semakin menjerumuskan Indonesia dalam jeratan dan pengawasan IMF. Padahal Malaysia yang saat itu berhasil keluar dari krisis justru karena menolak resep IMF. Bahkan negeri jiran tersebut mampu berekspansi ke luar negerinya untuk berinvestasi dan membeli aset-aset Indonesia yang di jual murah oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).8 Pergantian rezim dalam era reformasi justru tidak memberikan perubahan yang signifikan bagi Indonesia. Indonesia terlanjur masuk dalam permainan dan intrik asing dan para kompradornya. Berbagai kepentingan rakyat dikorbankan. Terjadinya privatisasi terhadap sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dan bahkan prosesnya pun terkesan sangat ugal-ugalan. Sebagian besar BUMN yang potensial pun lepas ke tangan asing dan bahkan bisa jadi Pertamina dan PLN yang dinilai sangat vital dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan masih mencoba bertahan akan lepas ke tangan para investor asing. Melepaskan diri dari cengkraman Neo-Kolonialisme Setelah 63 tahun Negara ini merdeka ternyata masih belum lepas dari penjajahan. Dan bahkan untuk disebut sebagai sebuah Negara yang merdeka, berdaulat, dan mandiri pun masih belum layak. Kolonialisme yang pada zaman pra kemerdekaan hanya merampas tanah dan bahan baku industri, tapi kini kolonialisme telah merampas seluruh kehidupan. Sudah sepatutnya sekarang kita melepaskan Negara ini dari genggaman Kapitalisme Global. Serta membersihkan pemerintahan dari para komprador-komprador asing yang menjadi abdi Washington. Tidak cukup hanya menghadirkan pemimpin yang jujur dan amanah, akan tetapi juga mengganti

sistem dan ketatanegaraan yang sekuleristik-kapitalistik dengan sistem alternatif lain. slogan ganti rezim-ganti sistem sangat tepat untuk kita suarakan. Sistem islam cukup layak untuk mengganti tatanan dan sistem yang ada sekarang. Dengan Islam kita memerdekakan diri dari seluruh pemikiran, sistem dan aturan kehidupan yang bukan berasal dari Islam. Secara Historis Islam telah membuktikan kemampuannya dalam mengatur kehidupan manusia. Islam juga tidak akan membiarkan dan bahkan melarang kaum muslim menjadikan orang-orang kafir (Barat) sebagai pemimpin dan pemelihara urusan mereka, apalagi merelakan hak-hak mereka dirampas. Islam juga tidak akan menyerahkan juga melarang aset publik dimiliki individu, sehingga sektor publik (air, tambang, dan lainnya), industri dan perusahaan milik Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak akan tetap terjaga dengan dikelola oleh pemerintah secara amanah sehingga hasilnya pun dapat dinikmati rakyat. Oleh karena itu, saat ini yang perlu terus kita lakukan adalah membongkar makar (konspirasi) para penguasa, menguak fakta-fakta yang rusak, kemudian menawarkan solusi yang paradigmatik dan bukanlah yang pragmatis. Aqidah Islam lah yang tepat menjadi landasan Negara ini dengan Syariah Islam yang menjadi sistem operasionalnya. Wallahu alam bi ashshawwab. Visit me: futuhat.co.cc Daftar Pustaka:
1

Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, 2008, PPSK Press, hlm. 5

Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, 2007, Ar-Ruzz Media, hlm. 81
3

David Ransom dalam laporan Ramparts, dikeluarkan oleh Koalisi Anti Utang (KAU) (2006) dengan judul Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, hlm. 26
4

Ibid, hlm. 24 Ibid, hlm. 60-61 Revrisond Baswier (Waspadai Legalisasi Kolonialisme), Al-Waie edisi Agustus 2008, , hlm. 25

Tim Penulis CIReS, Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia, 2007, Marjin Kiri, hlm. 53-54

Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, 2008, Ufuk Publishing House, hlm. 67 http://alpenprosa.wordpress.com/2008/08/31/voc-korporatokrasi-global-dan-neo-kolonialisme/

You might also like