You are on page 1of 4

Kemiskinan Sebagai Kegagalan Kebijakan

-Tim Indonesia Bangkit-

Poor people are not those who were borned to be poor, but they

are tipically the victim of poor policy


Ungkapan di atas menyatakan bahwa pada umumnya orang miskin tidak terlahir sebagai orang miskin, tetapi mereka umumnya adalah korban kebijakan yang salah. Ungkapan itulah yang sangat relevan dengan peningkatan angka kemiskinan yang pada hari Jumat yang lalu (1 September 2006) diumumkan oleh BPS. Dalam pengumumannya BPS menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin telah naik menjadi 39,05 juta orang atau sekitar 17,75% dari total penduduk pada bulan Maret 2006. Bandingkan dengan angka bulan Februari 2005 yang berjumlah 35,1 juta orang atau 15,97 persen. Menurut TIB, ada beberapa hal yang perlu diungkapkan dari data BPS tersebut yaitu: 1. Produk kegagalan kebijakan pemerintah Kalau tingkat kemiskinan 17,75% merupakan angka yang sebenar-benarnya, maka selama delapan tahun terakhir (1998 ke 2006) baru kali ini terjadi kenaikan kemiskinan. Dari Desember 1998 ke Februari 2005, persentase penduduk miskin mengalami penurunan dari 24,23 persen menjadi 15,97 persen. Peningkatan kemiskinan selama setahun terakhir merupakan kejadian yang luar biasa, terlepas dari berapapun angka kenaikannya. TIB memandang bahwa kejadian luar biasa ini merupakan cerminan bahwa pemerintah telah gagal dalam menjalankan triple track strategy yakni pro-poor, pro-growth, dan proemployment.

Tim Indonesia Bangkit

Setidaknya ada tiga hal yang dapat menerangkan kenapa jumlah orang miskin meningkat, yakni: Kenaikan harga BBM yang over-dosis. Untuk meyakinkan Presiden tentang perlunya kenaikan harga BBM, tim ekonomi mengembangkan argumen bahwa kebijakan tersebut justru akan mengurangi angka kemiskinan. Sekarang terbukti bahwa argumen tersebut merupakan isapan jempol biasa dan merupakan produk dari exercise yang sangat tidak akademis. Program kompensasi pengurangan subsidi (PKPS) BBM tidak mampu mencegah semakin banyaknya keluarga near poor menjadi jatuh miskin dan keluarga miskin semakin miskin. Berdasarkan data BPS, terdapat sekitar 30 persen penduduk yang berstatus hampir miskin di tahun 2005 menjadi jatuh miskin di tahun 2006. BLT tidak dapat sepenuhnya mengkompensasi kenaikan beban hidup yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM. Kegagalan pemerintah dalam melakukan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok. Hal ini terekam dalam garis kemiskinan makanan yang meningkat sebesar 21,7 persen di perkotaan dan 22,8 persen di perdesaan. Padahal kita tahu bahwa pangsa pengeluaran penduduk miskin untuk konsumsi makanan mencapai lebih dari 70 persen. Karena itu, tingkat kemiskinan sangat sensititif terhadap inflasi bahan makanan. Pemerintah pernah menjanjikan untuk melakukan stabilisasi harga kebutuhan pokok melalui operasi pasar dan pagelaran pasar murah. Tapi stabilisasi harga pada khususnya dan stabilisasi makro pada umumnya tidak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh sehingga yang jadi korban adalah rakyat jelata. Tidak jalannya trickle down effect dari pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2005 terjadi pertumbuhan ekonomi yang lumayan yaitu 5,6 persen. Kenaikan angka kemiskinan menunjukkan bahwa pertumbuhan yang terjadi tidak bisa dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak selalu diikuti dengan pemerataan. Dalam kurun waktu setahun terakhir ini, tampaknya pertumbuhan ekonomi lebih banyak bermanfaat bagi kalangan non-miskin.

Dari uraian di atas, sangatlah sulit untuk mengatakan bahwa pro-poor strategy telah betul-betul dilaksanakan. Tim ekonomi telah terlalu banyak mengumbar janji-janji kosong dan membuat prediksi yang menyesatkan. Karena tidak ada prestasi, maka yang dilakukan adalah berupaya untuk memanipulasi data dengan cara menekan BPS.

Tim Indonesia Bangkit

2. Angka Ajaib Walaupun angka 17,75 persen menunjukan kenaikan tingkat kemiskinan, itu bukan berarti bahwa angka tersebut mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Angka yang dikeluarkan BPS patut diduga merupakan angka kompromi atau angka ajaib. Ada beberapa hal yang mengarahkan pada kecurigaan tersebut: Persentase kenaikan garis kemiskinan terlalu mirip dengan angka inflasi. Inflasi kumulatif antara Februari 2005 sampai Maret 2006 adalah 17,92 persen yang sangat dekat dengan persentase kenaikan garis kemiskinan yakni 18,39 persen. Biasanya kenaikan garis kemiskinan adalah sekitar 1,3 kali inflasi. Dengan demikian garis kemiskinan tahun 2006 seharusnya adalah sekitar Rp 159 ribu. Bila garis ini yang dipakai maka jumlah penduduk miskin bisa mencapai 45,9 juta orang atau sekitar 20,6 persen. Angka ini lebih mendekati dengan jumlah penerima raskin yang dianggarkan oleh BULOG yaitu 12,2 juta keluarga atau sekitar 50 juta orang. Penetapan garis kemiskinan yang sangat mirip dengan angka inflasi umum juga tidak konsisten dengan hasil studi BPS yang disponsori oleh ADB yang menunjukan bahwa inflasi yang dihadapi oleh penduduk miskin (tepatnya di wilayah miskin) setelah kenaikan harga BBM adalah dua kali inflasi umum. Walaupun studi ini memiliki lingkup yang terbatas, setidaknya dia menunjukan bahwa kenaikan garis kemiskinan yang ditetapkan mestinya tidak terlalu dekat dengan angka inflasi umum. Terdapat kejanggalan yang terlalu mencolok dalam penetapan garis kemiskinan bukan makanan di perdesaan yang mengalami penurunan dari Rp 33.245 menjadi hanya Rp 28.076 atau turun sebanyak 15,55 persen. Penurunan garis kemiskinan ini sangat janggal karena pada periode Februari 2005 sampai Maret 2006 semua komponen IHK mengalami inflasi (inflasi perumahan 13,65%; sandang 8,56%;kesehatan 7,67%; pendidikan 8,22%; dan transportasi 44,39%). Adalah suatu hal yang muskil jika garis kemiskinan turun pada saat terjadi inflasi yang cukup besar, diatas inflasi normal. Terjadi kecerobohan dalam penghitungan jumlah orang miskin. Hitungan BPS menunjukan jumlah penduduk miskin adalah 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari 220 juta (sama dengan populasi Februari 2005). Padahal populasi pada Maret 2006 adalah sebanyak 222,8 juta orang, sehingga penduduk miskin berjumlah 39,549 juta orang atau naik 4,449 juta orang (bukan 3,95 juta). Adalah 3

Tim Indonesia Bangkit

3. Mengapa Data Susenas Juli 2005 tidak terbit? Hingga hari ini Data Susenas Juli 2005 secara sengaja belum diterbitkan oleh BPS. Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang. Pertama, data tersebut menunjukan tingkat kemiskinan yang lebih parah yaitu 18,7% untuk kondisi ril Juli 2005 dan 22,6% untuk angka proyeksi Maret 2006. Kedua, jika kondisi Juli dijadikan sebagai dasar penentuan garis kemiskinan untuk Maret 2006 maka garis kemiskinan yang diperoleh akan jauh lebih tinggi sehingga tingkat kemiskinan menjadi membengkak. Karena itu data Susenas Juli 2005 dengan sengaja disembunyikan. Data Juli 2005 memiliki kualitas yang baik karena hal berikut ini: Jumlah sampelnya lebih besar yaitu 68.000 sehingga secara statistik lebih mendekati kebenaran. Bandingkan dengan sampel Februari 2006 yang hanya 10.000 saja. Dengan jumlah sampel yang besar maka penerbitan angka kemiskinan untuk setiap provinsi menjadi sangat mungkin. Hal ini penting untuk pengalokasian Dana Alokasi Umum dari pemerintah pusat ke daerah. Dengan sampel yang terbatas, tidak bisa diterbitkan angka kemiskinan per propinsi berdasarkan data Susenas Maret 2006. Bulan Juli merupakan pertengahan tahun sehingga lebih mewakili gambaran sepanjang tahun berjalan. Februari atau Maret merupakan periode panen raya sehingga pencatatan kemiskinan di bulan tersebut justru akan membuat perkiraan jumlah orang miskin menjadi underestimated.

Di atas semua itu, negara telah mengeluarkan begitu banyak biaya untuk SUSENAS JULI 2005. Penyembunyian data merupakan pengingkaran terhadap hak publik dan pemborosan anggaran negara.

Jakarta, 2 September 2006

Tim Indonesia Bangkit

Tim Indonesia Bangkit

You might also like