You are on page 1of 6

1

BAB I PENDAHULUAN Perbincangan tentang free sex akhir-akhir ini mendapat perhatian yang amat tinggi. Di media elektronik seakan dapat disaksikan pada setiap program infotainment dan dialog-dialog yang ditayangkan oleh stasiun TV. Media cetak juga tidak ketinggalan mengekspos besar-besaran di seputar kehidupan seksual umat manusia ini. Hal ini membuktikan bahwa ada kecenderungan masyarakat Indonesia khususnya pada remaja akhir hingga dewasa awal mulai melupakan nilai-nilai dalam ajaran agamanya. Banyak kasus terjadi yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Salah satunya adalah perilaku seks bebas, bahkan sudah banyak yang melakukan perilaku yang disebut one night stand (melakukan perilaku seks bebas bukan dengan pasangannya hanya untuk satu malam), dan swinging (bertukar pasangan). Di kalangan orang hedonisme bahkan sering membuat acara yang disebut grouping (bersama-sama melakukan seks bebas dalam satu tempat) atau sering disebut juga dengan pesta seks. Biasanya kasus ini terjadi pada usia dewasa awal, yang sebenarnya mereka mengerti tentang perilaku seks bebas. Selain itu, terdapat juga kejadian berhubungan seks pranikah karena alasan suka sama suka atau saling mencintai tanpa memikirkan konsekuensi yang akan dihadapi di kemudian hari. Karena menurut mereka, pada masa pacaran apabila konsep romantika yang telah tertanam lebih dominan, akan jadi masalah jika konsep romantika tersebut tidak sesuai dengan kenyataan setelah mereka menikah nanti. Keinginan supaya konsep romantika terwujud, tampil dalam bentuk hubungan yang disebut pacaran. Di dalam berpacaran masing-masing akan mencapai suatu perasaan aman (feeling of security) karena adanya kebersamaan di antara mereka. Mereka saling memiliki perasaan (afeksi) yang sama. Keadaan yang dimana akan menimbulkan keintiman seksual di kemudian hari. Orang-orang pada dewasa awal melakukan perilaku seksual bebas sebagai alat untuk mengendalikan pasangan dan menganggap berhubungan seksual adalah cinta dan sarana untuk mengekspresikan cinta selama berpacaran.

Mereka yang berpacaran dan sampai melakukan perilaku seks bebas, banyak diantara mereka yang tidak mengetahui bahwa kenikmatan yang mereka rasakan hanya sesaat dan justru menimbulkan banyak dampak negative bagi keduanya terutama pihak wanita. Dampak negative lebih kepada dampak psikologis pasangan diantaranya depresi dan stress. Fakta dilapangan adalah: 1. Banyak remaja yang memiliki persepsi yang salah tentang cinta. Misalnya Cinta itu saling memiliki dan harus mau berkorban. Ketika anugrah cinta datang pada mereka, mereka tidak ingin menyudahi perasaan dan hubungan cinta itu, mereka menginginkan yang menjadi pacar mereka akan menjadi pasangan hidup mereka, tak ingin berpisah, sehingga mereka pun mau melakukan apapun termasuk melakukan hubungan seks yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan. 2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat tawaran pornografi dan pornoaksi yang secara vulgar kian marak terfasilitasi di ruang public, baik dalam dunia nyata atau pun di dunia maya yang kapan pun dan dimana pun dapat mudah untuk diakses. Selain itu adanya temuan alat kontrasepsi(kondom) hal ini juga pemicu remaja melakukan sek bebas. 3. Cinta dan seksualitas merupakan hal yang menarik perhatian bagi remaja, khusunya pada mahasiswa karena organ-organ reproduksi mereka mengalami perkembangan yang pesat. Dan dorongan seksualnya menjadi hal akrab bagi mereka. 4. Cinta dan seks memang merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia normal. Dorongan seks memang terkadang akan menimbulkan masalah, namun bukan berarti masalah tersebut yang tidak bisa diatasi, jika dorongan seks tersebut disikapi dengan positif, dalam artian bisa mengendalikannya, maka dorongan tersebut bisa disublimasi menjadi potensi positif dan berprestasi. 5. Banyak remaja yang minim akan pengetahuan dan pemahaman tentang cinta, seks, dan kesehatan reproduksi. Sehingga banyak dari mereka yang mencari informasi sendiri dan memperoleh informasi yang kurang tepat atau tersesat. 6. Banyak remaja yang minim akan pengetahuan dan pemahaman agama, terlebih mereka yang kurang mendapat pendidikan agama yang cukup dari orang tua dan keadaan lingkungan yang kurang beragama.

BAB II PEMBAHASAN Seks pada hakekatnya merupakan dorongan naluri alamiah tentang kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari jenis kelamin yang membedakan antara pria dan wanita. Jika kedua jenis seks ini bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan hasrat birahi pihak lain. Sebagai manusia yang beragama, berbudaya, beradab dan bermoral, seks merupakan dorongan emosi cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai kepuasan nurani dan memantapkan kelangsungan keturunannya. Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks. Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai dan norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap belum cukup dewasa. (Raqib, 2007). Menurut (Haffner, 2011) bahwa seksualitas mencakup fisik, etika, sosial, psikologis, emosional, dan dimensi spiritual. Keputusan tentang perilaku seksual harus didasarkan pada moral dan nilai-nilai etika serta pertimbangan kesehatan fisik dan emosional. Dan ia pun menegaskan kebaikan seksualitas hanya sementara dan mengakui bahwa akan lebih banyak resiko dan bahaya. Meski seks adalah sebagai salah satu dorongan yangh dimilki manusia, namun sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, yang dibekali dengan iman dan akal, bisa mengatur dorongan seks tersebut pada hal yang dapat memberikan potensi positif. Apalagi sebagai mahasiswa generasi bangsa Indonesia yang diharapkan dapat berguna bagi kehidupannya di masa sekarang dan masa depan. Memang sudah selayaknya seseorang yang berhasrat melakukan seks bebas mempertimbangkan nilai-nilai agama,

etika, kesehatan fisik dan emosional agar terhindar dari berbagai resiko dan bahaya dari perilaku seks bebas. Salah satu cara untuk mencegah perilaku seks bebas adalah dengan menanamkan nilai-nilai religius sedini mungkin dan terus menambah ilmu pengetahuan agama sampai berusia lanjut, dan kami sepakat dengan pepatah arab uthlubul ilma minal mahdi ilal lahdi, tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat. Memilkii pengetahuan agama saja memang belum lah cukup, harus diiringi dengan aplikasi ibadah dan melaksanakan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Nabi Muhammad SAW. pun dengan jelas menegaskan bahwa Ashsholatu imaddudin, sholat adalah tiang agama dan Innashsholata tanha anil fahsyai wal munkari, sesungguhnya sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Ketika sholat sebagai salah satu wujud pelaksanaan ibadah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka perilaku seks bebas pun akan terhindari. Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas yang rendah tidak menghayati agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Orang yang seperti ini memiliki religiusitas yang rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus oleh daya atau kekuatan yang ada pada wilayah seksual. Maka dengan demikian, seseorang akan dengan mudah melanggar ajaran agamanya misalnya dengan melakukan perilaku seks bebas sebelum menikah. Sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi akan memandang agamanya sebagai tujuan utama hidupnya, sehingga ia berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam perilakunya sehari-hari. Hal ini berarti bahwa religiusitas yang ada dalam dirinya memiliki batas yang kuat sehingga dorongan seksual berupa penyaluran hasrat seksual tidak dapat menembus wilayah religiusitas yang ada dalam dirinya Berdasarkan hasil penelitian Andisti & Ritandiyono (2008) tentang religiusitas dan perilaku seks bebas pada dewasa awal terhadap mahasiswa kost di daerah Beji kota Depok, dapat disimpulkan bahwa: (1) semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perilaku seks bebasnya, dan sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perilaku seks bebasnya, (2) subjek penelitian cenderung memiliki religiusitas yang tinggi, karena subjek sering mengikuti kegiatan-kegiatan kerohanian yang menanamkan nilai-nilai atau norma-norma agama pada subjek penelitian. Selain itu, subjek penelitian senang membaca ayat-ayat pada kitab suci mereka, sehingga mereka

mengetahui larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan, dan (3) kecenderungan religiusitas yang tinggi membuat subjek penelitian cenderung memiliki perilaku seks bebas yang rata-rata. Lingkungan sekitar juga memegang peranan penting dalam terbentuknya religiusitas yang tinggi di dalam diri subjek penelitian. Pengawasan yang dilakukan secara positif oleh pemilik kost dan masyarakat sekitar membuat subjek penelitian dapat mengendalikan diri dan menjauhkan diri untuk melakukan perilaku seks bebas. Penelitian tersebut merupakan salah satu bukti bahwa sikap religius sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam hal ini adalah dalam menyikapi dorongan seks pada manusia, khususnya pada mahasiswa yang perkembangan emosinya terkadang masih labil dan mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar.

DAFTAR PUSTAKA Andisti, M. A., & Ritandiyono. (2008). Religiusitas dan Perilaku Seks Bebas Pada Dewasa Awal. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma , 170-175. Haffner, D. W. (2011). Dearly Beloved: Sexuality Education in Faith Communities. American Journal of Sexuality Education , 1-6. Raqib, M. (2007). Seks Bebas dalam Cermin Budaya Jawa: Pandangan Kearifan Lokal terhadap Perilaku Free Sex. Jurnal Studi Islam dan Budaya , 106-127.

You might also like