You are on page 1of 21

Transmigrasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari Artikel ini perlu dirapikan atau ditulis ulang karena artikel ini bersifat umum sedangkan isinya ditulis dalam konteks yang terlalu spesifik/sempit. Transmigrasi (Latin: trans - seberang, migrare - pindah) adalah suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Penduduk yang melakukan transmigrasi disebut transmigran.

[sunting] Sejarah Transmigrasi di Indonesia


Tujuan resmi program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa [1], memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kritik mengatakan bahwa pemerintah Indonesia berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal. Program ini beberapa kali menyebabkan persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara pendatang dan penduduk asli setempat. Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan Mendukung kebijakan energi alternatip (bio-fuel) Mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan

Transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi bersifat sentralistik dan top down dari Jakarta, melainkan berdasarkan Kerjasama Antar Daerah pengirim transmigran dengan daerah tujuan transmigrasi. Penduduk setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi transmigran penduduk setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50:50 dengan transmigran Penduduk Asal (TPA).

A. PENDAHULUAN Latar Belakang Lahirnya Transmigrasi Indonesia adalah negara yang subur dan memiliki potensi keanekaragaman hayati yang sangat melimpah (mega biodiversity). Potensi keanekaragaman hayati tersebut merupakan salah satu yang terbesar di dunia setelah Zaire dan Brazil. Kekayaan sumber daya alam ini adalah anugerah dari Sang Pencipta yang harus bisa dimanfaatkan seefisien mungkin untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk dapat memanfaatkan kekayaan alam yang

melimpah tersebut, pasti diperlukan sumber daya manusia yang melimpah pula. Namun sayangnya potensi sumber daya manusia itu, tidak tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Potensi sumber daya manusia Indonesia lebih banyak terkonsentrasi di pulau Jawa, Madura dan Bali. Kepadatan penduduk di pulau-pulau ini sampai sekarang adalah yang paling tinggi di Indonesia, padahal daya tampung dan daya dukung dari pulau-pulau ini untuk menyediakan dan memenuhi kebutuhan hidup bagi penduduknya sudah sangat minim. Melihat ketimpangan antara potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia tersebut, maka pemerintah mencanangkan suatu program khusus yang diberi nama transmigrasi. Transmigrasi merupakan istilah bahasa Indonesia untuk migrasi. Transmigrasi secara lebih spesifik merupakan pemindahan penduduk dari pulau-pulau yang terlalu padat penduduknya ke pulau-pulau yang kepadatan penduduknya masih cukup rendah dan potensi alamnya masih belum digarap secara lebih intensif. Pola transmigrasi sebenarnya sudah cukup lama dikenal oleh bangsa Indonesia. Menurut sejarah, program transmigrasi awalnya diselenggarakan oleh pemerintahan Kolonial Belanda pada masa penjajahan dengan nama kolonisasi pertanian, walaupun terdapat perbedaan istilah dengan program saat ini serta di dalamnya terdapat kepentingan kaum penjajah. Pada masa itu, secara tidak langsung pemerintahan kolonial Belanda telah menerapkan pola transmigrasi dengan membawa banyak orang pribumi (terutama suku jawa) untuk melakukan ekspansi ke pulau-pulau yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar seperti Sumatera dan Kalimantan. Orang-orang pribumi tersebut awalnya dipekerjakan sebagai pembantu dan pelayan, atau tukang kebun bagi orang-orang Belanda. Hingga adanya pergantian kekuasaan oleh pemerintahan pusat kolonial Belanda, maka mereka tetap mengabdi pada satu majikan (meneer) yang sama hingga akhirnya sang majikannya harus pindah tugas ke tempat lain. Namun karena merasa betah dan merasa cukup sejahtera tinggal di pulau itu, maka orang-orang pribumi tadi tetap tinggal dan berkeluarga di tempat itu. Tujuan Transmigrasi Penyelenggaraan transmigrasi menurut Undang-Undang Nomor. 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, serta meningkatan dan melakukan pemerataan pembangunan di daerah dan juga memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Dari kebijakan mengenai ketransmigrasian di atas, jelas bahwa transmigrasi adalah suatu program yang sangat bijak dalam mengatasi masalah kependudukan. Tujuan utama transmigrasi sesuai dengan pengertiannya adalah dalam rangka penyebaran penduduk yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, tujuan lain dari transmigrasi sesuai dengan konteks kehidupan bangsa Indonesia saat ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi pengangguran dengan menciptakan lapangan kerja baru di sektor informal, mengembangkan potensi sumber daya alam di daerah dan juga merupakan alternatif untuk mempertahankan keutuhan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Transmigrasi secara umum dibagi atas dua jenis yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi swakarsa. Transmigrasi swakarsa terbagi atas Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM). Transmigrasi umum yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah secara besar-besaran mendapatkan bantuan fasilitas pemukiman dan pelayanan. Transmigrasi swakarsa melakukan perpindahan pada wilayah pengembangan transmigrasi atas kemampuan sendiri, pemerintah hanya menyediakan kemudahan-kemudahan dan fasilitas yang masih tersedia di lokasi yang dituju. Secara tidak langsung program transmigrasi ini akan menimbulkan rasa kemandirian dikalangan masyarakat, terutama masyarakat petani yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki modal. Fasilitas yang diberikan pemerintah dalam program ini diharapkan mampu

menciptakan masyarakat yang berjiwa wiraswasta dan menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. B. PEMBAHASAN Pemilihan Lokasi Transmigrasi Awalnya program transmigrasi dikhususkan untuk memindahkan penduduk dari pulau Jawa, Madura, dan Bali yang memiliki persoalan kepadatan penduduk yang sangat tinggi, ke pulaupulau lain yang kepadatan penduduknya masih cukup rendah. Para transmigran dari pulau Jawa kebanyakan memilih pulau Sumatera, dan transmigran dari pulau Madura lebih terkonsentrasi ke pulau Kalimantan. Sedangkan transmigran dari pulau Bali lebih memilih pulau Sulawesi sebagai tujuannya. Namun seiring dengan perkembangan pembangunan di daerah yang cukup pesat, dan juga perimbangan keuangan antara pusat dan daerah melalui kebijakan Otonomi Daerah, maka pulau-pulau yang tadinya menjadi tujuan program transmigrasi telah berkembang dan harus dibatasi penerimaan transmigrannya. Bahkan yang berkembang adalah penduduk pulau Sumatera sekarang menjadi obyek yang akan mengikuti program transmigrasi. Hal ini sangat terasa dengan semakin tingginya kepadatan penduduk yang ditandai dengan semakin luasnya pembukaan wilayah hutan untuk pemukiman penduduk, untuk lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan dan juga untuk pembangunan sektor industri di pulau yang juga dikenal dengan nama pulau Andalas dan Swarna Dwipa ini. Pemerintah harus segera merubah pola tujuan transmigrasi, agar pemerataan pembangunan dan kepadatan penduduk sesuai dengan tujuan transmigrasi dapat tercapai dengan maksimal dan efisien. Pulau-pulau terpencil mungkin bisa dijadikan alternatif tujuan program transmigrasi, walaupun alternatif ini akan lebih banyak memakan biaya operasional nantinya. Namun ini lebih baik daripada pemerintah memaksakan program transmigrasi untuk tetap dikirim ke pulau-pulau yang sama. Pemilihan lokasi transmigrasi juga harus berdasarkan asas kelestarian lingkungan hidup (utamanya hutan). Dari perkembangan program transmigrasi nasional yang telah berlangsung semenjak pemerintahan orde lama, kita bisa melihat bahwa ada kesalahan dalam hal pemilihan lokasi transmigrasi. Kawasan konservasi yang merupakan penyangga kehidupan mahluk hidup, sebisa mungkin dijauhkan dari lokasi transmigrasi. Hal ini perlu diterapkan untuk menghindari kesalahan pengelolaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alam yang dapat menimbulkan bencana. Selain itu pemerintah dan semua stake-holder yang terkait dengan suksesnya program ini, harus menjalin kerjasama yang baik dan arif dalam menentukan pemilihan lokasi transmigrasi. Masyarakat lokal tempat tujuan transmigrasi akan dilakukan harus diajak untuk berdialog dan menentukan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan di lokasi transmigrasi itu. Segala macam pendapat yang dikatakan masyarakat lokal harus ditindaklanjuti dan disampaikan kepada calon transmigran yang akan menempati areal tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan antara masyarakat transmigran dan masyarakat lokal sehingga akan tercipta keharmonisan dalam berinteraksi dan pemerataan pembangunan dapat diwujudkan bersama-sama antara masyarakat lokal, masyarakat transmigran dan tentu saja pemerintah. Kompetensi Calon Transmigran Tidak bisa dipungkiri bahwa program transmigrasi akan sangat menarik bagi masyarakat yang tingkat kehidupandan tingkat pendidikannya masih cukup rendah. Hal ini sangat wajar, melihat kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang masih belum pulih setelah diterpa krisis ekonomi, sehingga sangat sulit untuk mencari pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Untuk dapat menciptakan masyarakat transmigran yang sukses dan mampu berkarya dalam sektor wiraswasta mandiri dengan menciptakan lapangan kerja baru, maka Pemerintah harus terus-menerus mencoba memperbaiki sistem perekrutan calon tranmigran. Walaupun pada kenyataannya yang paling banyak mendaftarkan diri untuk menjadi masyarakat transmigran adalah masyarakat yang tingkat pendidikannya cukup rendah. Agar dapat mengatasi masalah tingkat pendidikan masyarakat transmigran yang cukup rendah tersebut, maka pemerintah daerah dan dinas transmigrasi daerah tempat calon transmigran berdomisili sebelum dikirimkan ke lokasi transmigrasi harus memberikan pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan secara intensif sebelum masyarakat transmigran dikirim ke lokasi tujuan transmigrasi. Hal ini sebaiknya dilakukan setelah diketahui kondisi ekonomi, sosial, budaya dan juga kondisi lahan yang akan mereka garap nantinya. Informasi mengenai hal ini mutlak haru diketahui oleh calon transmigran agar mereka mampu menggali kreatifitas dan potensi mengenai apa yang akan mereka coba buat di lokasi transmigrasi nantinya. Informasi ini juga sangat berguna dalam menciptakan sektor usaha kecil menengah baru yang potensial untuk diterapkan pada lokasi transmigrasi. Dengan melakukan proses pendidikan melalui pelatihan dan penyuluhan terhadap masyarakat transmigran juga diharapkan akan terjalin keharmonisan antara masyarakat transmigran dengan masyarakat lokal setempat. Sehingga kebhinekaan yang ada di lokasi transmigrasi mampu menjadi rantai ikatan persatuan yang kuat untuk memupuk rasa persaudaraan dan nasionalisme dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fasilitas-fasilitas Transmigrasi Penyediaan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dalam mendukung program transmigrasi sampai sejauh ini sudah cukup memadai. Hal ini bisa dilihat dari pendapat para transmigran yang cukup berhasil di tanah seberang. Fasilitas yang disediakan pemerintah antara lain adalah lahan, bantuan dana dan alat-alat pertanian. Besarnya bantuan yang diberikan bervariasi tergantung kepada kondisi lahan yang akan dijadikan lokasi transmigrasi. Setiap kepala keluarga yang mengikuti program ini rata-rata mendapatkan lahan garapan seluas 2 - 2,5 hektar dan juga mendapatkan bantuan dana sebagai modal untuk mengelola lahan tersebut sebesar 16 - 20 juta rupiah. Selain itu pemerintah juga menyediakan alat-alat pertanian dan brosur-brosur penyuluhan tentang cara mengelola lahan yang baik dan jenis tanaman budidaya apa yang cocok untuk ditanam pada lahan tersebut. Pada lokasi transmigrasi juga disediakan rumah tinggal tipe RSS yang telah dialiri listrik dan air bersih. Kondisi pemukiman yang berada dalam satu kawasan juga diciptakan seperti layaknya sebuah desa pada umumnya, dengan nama Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Setiap UPT memiliki struktur pemerintahan yang setara dengan sebuah desa dan memiliki sarana dan prasarana yang dapat mendukung dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat transmigran. Bahkan hal ini menimbulkan kecemburuan dikalangan masyarakat lokal yang dapat menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat lokal dengan masyarakat transmigran. Melihat kepedulian dan perhatian pemerintah terhadap para transmigran tersebut, maka sangat wajar kalau pemerintah berharap agar tujuan program ini mampu tercapai dengan maksimal. Semua kalangan yang telah bekerja keras dalam menyumbangkan konsep dan pemikiran mengenai hal ini juga mempunyai harapan yang sama dengan pemerintah. Namun pemerintah harus mewaspadai potensi konflik yang timbul akibat adanya kecemburuan masyarakat lokal terhadap masyarakat transmigran. Kecemburuan yang timbul pada kalangan masyarakat lokal tersebut bukan tanpa sebab. Percepatan pembangunan yang terjadi di UPT-UPT transmigrasi tidak sejalan dengan percepatan pembangunan desa tempat masyarakat lokal bermukim. Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, maka potensi konflik yang ber-unsur SARA

akan sering terjadi pada lokasi-lokasi transmigrasi. Pemerintah harus arif dalam membuat sistem ketransmigrasian, terutama jika menyangkut pembangunan daerah. fasilitas di pemukiman transmigrasi tidak bisa terlalu berlebihan dengan fasilitas masyarakat lokal. Jika pemerintah memaksakan diri untuk melengkapai fasilitas masyarakat transmigran, maka terlebih dahulu pemerintah harus melengkapi atau minimal memperbaiki dan menyempurnakan fasilitas masyarakat lokal setempat. Semua fasilitas yang memang sudah seharusnya disediakan pemerintah kepada rakyat tersebut, pasti akan mampu mensejahterakan rakyat secara keseluruhan. Ini merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar lagi untuk menciptakan pemerataan di masyarakat, baik itu pemerataan jumlah penduduk, pemerataan pembangunan dan tentu saja pemerataan kesejahteraan. C. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Program transmigrasi telah terbukti mampu meminimalisir permasalahan kependudukan. Pulau-pulau yang kepadatan penduduknya sangat tinggi seperti Jawa, Madura dan Bali, lambat-laun kepadatan penduduk mulai turun dan daya dukungnya untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk mulai meningkat. Sedangkan pulau-pulau yang potensi sumber daya alamnya melimpah, namun potensi sumber daya manusianya kurang, telah berkembang dan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya setelah diterapkannya program transmigrasi. Semenjak program ini diterapkan sampai dengan saat ini, sudah sangat banyak masyarakat transmigran dan masyarakat lokal setempat yang tingkat kehidupan dan kesejahteraannya meningkat. Kemampuan masyarakat transmigran untuk menciptakan lapangan kerja baru, tidak hanya mampu mensejahterakan dirinya sendiri namun juga mampu mensejahterakan masyarakat lainnya. Bahkan tidak jarang beberapa orang transmigran mampu mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha yang berhasil. Hal ini tentu dapat terjadi karena kerja keras transmigran itu sendiri. Jika para transmigran memiliki kemauan dan kerja keras yang didukung oleh doa dan ibadah yang tulus dan ikhlas, maka Tuhan pasti akan merubah nasib para transmigran dan secara tidak langsung juga akan mengubah nasib bangsa Indonesia menjadi lebih sejahtera. Amin... Saran Setiap sistem yang dibuat pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Untuk mengetahui apakah kekurangan dan kelebihan itu, maka kita perlu melihat dari pengalaman setelah diterapkannya sistem tersebut. Apa hasil yang didapat dari penerapan sistem tersebut dan apa yang diharapkan sebelumnya pada tahap perencanaan konsep sistem tersebut. Jika hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan, maka terdapat kesalahan yang harus diperbaiki. Konsep perbaikan yang banyak disampaikan oleh para pakar berdasarkan hasil penelitian, merupakan asset yang sangat berharga dalam menyempurnakan sistem ketransmigrasian di Indonesia. Hal ini bisa dijadikan acuan nyata oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam menyempurnakan sistem ketransmigrasian menuju kesejahteraan masyarakat Indonesia. D. PENUTUP Penulis mengucapkan permohonan maaf yang tulus apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam karya tulis ini. Semoga tulisan ini berguna sebagai evaluasi dari apa yang kita dengar, lihat dan rasakan mengenai Pentingnya transmigrasi untuk menurunkan angka kemiskinan dengan menumbuhkan lapangan kerja baru dalam rangka meningkatkan perekonomian rakyat dan memperkokoh persatuan nasional. Ini adalah pandangan dari seorang mahasiwa yang selalu mencoba berpikir secara kritis dan idealis sesuai dengan

ideologi yang tertanam dalam kehidupannya. Akhir kata Tinggilah iman kita, tinggilah ilmu kita dan tinggilah pengabdian kita kepada bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini.
http://rimbaraya.blogspot.com/2004/12/perkembangan-transmigrasi-di-indonesia.html

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki persebaran penduduk yang sangat timpang. Sekitar 59,9 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,7 % dari luas seluruh daratan Indonesia. Sementara Kalimantan, pulau terluas di Indonesia (28,1 % dari seluruh daratan Indonesia), hanya dihuni oleh sekitar 5,1 % dari jumlah penduduk Indonesia. Papua atau Irian Jaya, provinsi terluas di Indonesia yang luasnya 22 % dari luas Indonesia, dihuni oleh kurang satu persen dari total penduduk Indonesia (SP.1990). Di Pulau Jawa, proses pemiskinan terjadi karena terlalu padatnya penduduk. Sebaliknya, di luar Jawa, proses pemiskinan disebabkan justru karena kekurangan penduduk. Desa-desa di luar Jawa banyak yang berpenduduk sangat sedikit dan lokasinya terpencil sehingga jika dibangun sekolah akan kekurangan murid, jika dibangun jalan atau dipasang jaringan listrik, biayanya sangat mahal dan tidak efisien, jika dibangun pasar, pembeli dan barang yang diperjualbelikan sedikit. Akibatnya desa-desa itu tetap tertinggal. Desa tertinggal di Indonesia pada tahun 1990 berjumlah 20.632 desa (31,47 % dari 65.561 desa di Indonesia). Jumlah desa tertinggal di Pulau Jawa 6.090 desa (29,52 % dari jumlah desa tertinggal), sedangkan di luar Jawa 14.542 desa (70,48 % dari jumlah desa tertinggal). Sebagian besar desa teringgal memang berada di luar Pulau Jawa, tetapi jumlah orang yang miskin lebih banyak berada di Pulau Jawa, yaitu 10.316.117 jiwa (40 %). Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan pemindahan penduduk dari Pulau Jawa yang sudah terlalu padat ke pulau-pulau lainnya di Indonesia yang kepadatan penduduknya relatif masih jarang. Di Indonesia proses pemindahan penduduk ini, meskipun kurang tepat, dikenal dengan istilah transmigrasi. Mungkin yang lebih tepat adalah migrasi dalam negeri atau antardaerah, namun meskipun demikian, tulisan ini tetap menggunakan istilah transmigrasi karena sudah sangat umum dipakai dan juga digunakan oleh instansi resmi di Indonesia. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan transmigrasi tidaklah semudah merancang dan menuliskannya di atas kertas. Pelaksanaan transmigrasi memiliki banyak tantangan, hambatan, bahkan kegagalan-kegagalan yang telah dialamipada berbagai sektor di beberapa lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Daerah atau lokasi transmigrasi yang dipilih sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini adalah Punggur di Lampung dan Tongar di Sumatera Barat. Kedua daerah tersebut dipilih karena memiliki perbedaan yang mencolok mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh transmigran dengan pemerintah dan penduduk asli lokasi transmigrasi. 1.2. Permasalahan Penelitian

Untuk mempermudah dan membantu jalannya pengumpulan data dalam penelitian, maka tulisan ini berangkat dari beberapa pertanyaan: 1. Bagaimanakah proses perkembangan transmigrasi di Indonesia dari masa ke masa? 2. Sejauhmanakah hubungan antara transmigrasi dan pembangunan pertanian? 3. Bagaimanakah gambaran lokasi transmigrasi yang merupakan daerah enclave dalam daerah yang dihuni oleh penduduk asli daerah tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan paper ini adalah untuk melihat sejauhmana kebijaksanaan pemerintah melalui program transmigrasi dapat mengatasi masalah kemiskinan akibat timpangnya persebaran penduduk di Indonesia dan masalah-masalah apa saja yang dihadapi oleh pemerintah dan para transmigran dalam rangka menyukseskan program ini. Hasil penulisan ini akan sangat berguna terutama untuk mengetahui: 1. Proses perkembangan transmigarsi di Indonesia dari masa ke masa, yaitu dari masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda sampai sekarang. 2. Hubungan antara transmigrasi dan pembanguan pertanian yang sasaran akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. 3. Gambaran daerah yang menjadi lokasi transmigrasi, terutama untuk melihat perubahan sosial dan budaya serta kemajuan ekonomi yang dicapai oleh para transmigran di lokasi transmigrasi. 1.4. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terutama menggunakan studi kepustakaan. Data-data di peroleh dari berbagai buku dan tulisan yang mendukung penelitian ini. Data yang diperoleh kemudian diolah untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan transmigrasi di Indonesia dari masa ke masa, serta masalah-masalah yang timbul akibat pembukaan lokasi transmigrasi di berbagai daerah di Indonesia. Dengan menggunakan literatur yang terkait terutama tentang kaitan antara transmigrasi dengan pembangunan dan modernisasi dalam bidang pertanian dicoba dilihat bagaimana literatur yang ada dapat mendukung penelitian ini. Data yang telah diolah tersebut kemudian diinterpretasi untuk melihat sejauh mana hubungan antara transmigrasi dengan kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi masalah kemiskinan dan persebaran penduduk yang timpang. Data yang telah diolah ini juga untuk melihat hubungan antara transmigran dengan penduduk asli yang telah menempati wilayah tersebut terlebih dahulu. Langkah terakhir yang dilakukan dalam metode penelitian ini adalah dengan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan dengan tujuan supaya hasil penelitian ini dapat pula dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, seperti Jawatan Transmigrasi dan semoga dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu kependudukan di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teoritis Secara umum pengertian transmigrasi ialah perpindahan, dalam hal ini memindahkan orang dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya dalam batas negara dalam rangka kebijaksanaan nasional untuk tercapainya penyebaran penduduk yang lebih seimbang (Heeren, 1979: 6). Transmigrasi di Indonesia bermula dari upaya pemerintah Hindia Belanda untuk memindahkan penduduk Pulau Jawa yang semakin padat ke pulau-pulau lain yang membutuhkan tenaga kerja untuk mengembangkan potensi ekonominya dan merupakan bagian dari Politik Etis. Istilah transmigrasi sendiri secara resmi baru digunakan pada awal tahun 1946 oleh pemerintah Republik Indonesia ketika kebijaksanaan tentang pengembangan industrialisasi di pulau-pulau seberang atau luar Jawa dirumuskan dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta (Siswono Yudohusodo, 1998: 6). Pelaksanaan transmigrasi di Indonesia dapat dibedakan atas beberapa kategori, yaitu transmigrasi spontan, transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi bedol desa, dan transmigrasi lokal. Transmigrasi spontan dipakai untuk menunjuk mereka yang atas usaha dan resiko sendiri dan tanpa bantuan pemerintah pindah ke daerah tujuan transmigrasi. Setibanya di tempat tujuan sementara, transmigran tersebut melaporkan diri pada kantor jawatan Transmigrasi setempat dan mendapat sebidang tanah serta bantuan materil pada waktunya. Akan tetapi, kebanyakan transmigran ini menduduki sebidang tanah secara illegal, atau dengan cara lain mendapatkan hak untuk membuka tanah dari pemerintah setempat. Daerah tujuan transmigran spontan utama di Indonesia adalah Provinsi Lampung yang letaknya dekat dengan Pulau Jawa. Taransmigrasi umum merupakan pelaksanaan transmigrasi yang dapat dipandang sebagai bentuk normal. Dalam sistem ini, seluruh urusan untuk migran, dari pendaftaran dan seleksi hingga bertempat tinggal di tempat pemukiman yang baru, menjadi tanggungjawab Jawatan Transmigrasi. Yang tercakup di sini adalah pangan dan biaya hidup yang lain selama delapan bulan pertama. Mereka tidak lagi tergantung pada bawon dan dapat datang kapan saja sepanjang tahun. Mereka mendapat sandang, bahan tanaman, dan selanjutnya beras, minyak, ikan, serta garam. Secara resmi semuanya ini dianggap sebagai pinjaman yang harus dibayar kembali setelah jangka waktu tiga tahun. Transmigrasi keluarga merupakan transmigrasi yang pelaksanaannya dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun, tidak hanya pada bulan-bulan menjelang panen. Perumahan dan penghidupan menjadi tanggungan keluarga penerima, sehingga biayanya jauh lebih murah daripada transmigrasi umum. Setelah mencapai titik puncaknya pada tahun 1952, transmigrasi jenis ini lambat laun menyusut dan setelah tahun 1959 lenyap sama sekali. Transmigrasi bedol desa adalah perpindahan penduduk suatu daerah atau desa secara keseluruhan termasuk aparat desanya. Hal ini terjadi karena adanya bencana alam atau pembangunan suatu proyek pembangunan yang membutuhkan lokasi yang luas seperti

pemindahan penduduk dari Wonogiri Jawa Tengah ke Sitiung Sumatera Barat pada tahun 1977 akibat pembangunan Waduk Gajah Mungkur. Transmigrasi lokal mencakup migrasi dalam daerah atau provinsi tertentu, seperti dari suatu daerah di Lampung yang penduduknya sudah terlalu padat ke daerah lainnya yang baru dibuka dalam Provinsi Lampung. Hal ini terutama terjadi pada generasi kedua para transmigran yang merasa bidang tanah yang merejka miliki sudah tidak mencukupi lagi akibat adanya pembagian dengan saudara-saudara mereka yang lain. Dr. Hilde Wander (1959), seorang demograf perempuan asal Jerman, yang pernah bekerja di Indonesia sebagai tenaga ahli PBB, dalam suatu laporan yang tajam telah mencoba memperhitungkan akibat-akibat transmigrasi 100.000 orang tiap tahun selama dua dasawarsa (1958-1977), dengan menggunakan data-data yang ada mengenai susunan umur transmigran. Tentang angka-angka kelahiran dan kematian para transmigran itu, ia bertitik tolak dari anggapan bahwa kesuburan perempuan tidak akan menurun dengan perlahan-lahan, sedang kematian memang akan demikian. Di samping itu ia pun menerima anggapan bahwa para transmigran itu dalam satu setengah tahun setelah tiba di sana tidak akan mempunyai anak.. Atas dasar titik tolak ini ia lalu mengurangi jumlah pertumbuhan penduduk Jawa sebanyak 2.655.000 dalam jangka waktu 20 tahun ini. Jatuhnya adalah 9,6% dari seluruh jumlah pertambahan penduduk Jawa seperti yang telah dihitungnya berdasarkan premis-premis tersebut. Selanjutnya ia menunjukkan bahwa migrasi demikian tidak sama pengaruhnya terhadap berbagai kelompok umur di Jawa dan bahkan secara mutlak kategori pemuda dewasa akan berkurang jumlahnya. 2.2. Mobilitas Penduduk Sejak kira-kira 1,5 juta hingga 10.000 SM, manusia purba seperti Neanderthal, Sinanthropus Pekinensis, dan Cro Magnon, selalu berpindah-pindah dari gua ke gua dalam upaya mendekati padang perburuan atau tempat-tempat yang banyak terdapat bahan-bahan yang perlu untuk kelangsungan hidup. Dalam proses mencari daerah yang lebih baik ini, manusia secara berkelompok selalu berpindah tempat. Mula-mula mereka berjalan kaki, lalu naik kuda, atau binatang lain, kemudian dengan gerobak atau dengan jenis peralatan-peralatan angkutan lain, seiring perkembangan penemuan teknologi angkutan. Manusia berpindah-pindah menyelusuri hutan, pantai, dan tepi-tepi sungai untuk mencari daerah-daerah yang subur, padang gembala, atau daerah-daerah perburuan yang dapat memberikan makanan serta memenuhi kebutuhan lain secara memadai. Mereka bergerak dan berpencar-pencar dari tanah-tanah asalnya, mulai dari Mesopotamia di lembah Sungai Euphrat dan Tigris, dari lembah Sungai Nil di Afrika, dari lembah Sungai Shindu di India, dari lembah Sungai Huang Ho di Cina, dari lembah Bengawan Solo di Pulau Jawa, dan sebagainya, ke seluruh dunia. Pada akhirnya manusia memutuskan untuk menetap di tempat-tempat tertentu untuk waktu yang relatif lebih lama. Kebiasaan-kebiasaan yang menyertainya dinamakan budaya, sedangkan tingkat kemajuan lahir dan bathinnya dinamakan peradaban. Budaya dan peradaban mereka terus bergerak dan berubah. Perubahan yang positif disebut kemajuan, sedangkan yang negatif dianggap sebagai kemunduran.

Berdasarkan analisis empiris, Prof. Dr. Aris Ananta, ahli kependudukan dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa mobilitas penduduk berjalan secara alami melalui beberapa tahap (Yudohusodo, 1998), yaitu: Pertama, sebagian besar mobilitas penduduk bersifat nonpermanen, berpindah bukan untuk menetap. Ini dilakukan oleh suku-suku nomaden. Kedua, penduduk mulai pindah dari daerah perkotaan yang satu ke kota yang lain, dengan kota besar sebagai tujuan utama. Migrasi penduduk bergerak dari kota kecil ke kota-kota menengah, dan akhirnya ke kota-kota besar. Prasyarat dimulainya tahap kedua ini ialah tersedianya jaringan transportasi yang luas dan efisien. Ketiga, migrasi dari daerah-daerah pedesaan ke kota-kota besar yang berdekatan. Mobilitas antarpedesaan mulai menurun, sebaliknya mobilitas antarperkotaan mulai meningkat. Lalu mereka mulai menetap di perkotaan. Jika yang pindah itu berada pada usia kerja, maka di daerah pedesaan akan terjadi kekurangan tenaga kerja. Keempat, tahap masyarakat transisi akhir (late transitional society). Tahap ini ditandai dengan munculnya kotaraya (megacity). Pada tahap ini, penduduk pedesaan langsung pindah ke kota besar. Pada tahap ini mulai terlihat dominasi migran perempuan dan migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Kelima, tahap masyarakat mulai maju (early advanced society), terjadi ketika jumlah penduduk perkotaan sudah melewati angka 50%, dan mobilitas dari pedesaan ke perkotaan mulai menurun. Terjadilah suburbanisasi dan dekonsentrasi penduduk perkotaan. Sebagian penduduk kota mulai pindah pindah ke luar kota (sekitar kota besar) tetapi bekerja di kota besar. Mobilitas nonpermanen ulang-alik (commuter) mulai meningkat kembali. Keenam, masyarakat maju lanjut (late advanced society), yang ditandai dengan terjadinya proses dekonsentrasi penduduk perkotaan. Penduduk perkotaan semakin menyebar ke daerah pinggiran dan perkotaan yang lebih kecil (yang berkembang dari daerah pedesaan sekitar kota besar itu). Masyarakatnya semakin berciri kota, sehingga masyarakat asal perkotaan tidak segan-segan lagi tinggal di daerah yang beberapa tahun sebelumnya masih merupakan daerah pedesaan. Ketujuh, tahap masyarakat supermaju (advanced society) yang diwarnai oleh adanya teknologi tinggi, termasuk teknologi informasi. Pada tahap ini mobilitas permanen semakin berkurang dan mobilitas nonpermanen yang ualng-alik semakin meningkat. Transportasi digantikan oleh komunikasi yang semakin maju, sehingga orang tidak perlu berpindah tempat untuk dapat berkomunikasi. BAB III KEPENDUDUKAN, KOLONISASI, DAN TRANSMIGRASI 3.1. Transmigrasi dari Waktu ke Waktu Transmigrasi merupakan program yang unik dan sangat khas Indonesia. Dalam program ini, pemerintah secara aktif terlibat langsung dalam memindahkan penduduk dalam jumlah besar, menyeberangi lautan, dan berlangsung terus-menerus dalam waktu yang cukup lama.

Program seperti ini tidak ada duanya di dunia. Memang ada beberapa negara yang mempunyai program serupa, tetapi jumlah penduduk yang dipindahkan relatif sangat kecil, waktu penyelenggaraannya tidak terus-menerus dalam waktu yang lama, dan umumnya dalam bentuk program resettlement, tidak menyeberangi lautan. Transmigrasi di Indonesia diilhami dari sebuah tulisan C. Th. Van Deventer, anggota Raad van Indie, berjudul Een Eereschuld (Hutang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids yang terbit pada tahun 1899. Tulisan tersebut membeberkan tentang kemiskinan di Pulau Jawa serta kaitannya dengan cultuur stelsel dan pelaksanaan kerja paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Van Deventer menghimbau agar Pemerintah Belanda melakukan upaya-upaya yang dapat memperbaiki kehidupan rakyat di Pulau Jawa. Mengacu pada pokok-pokok pikiran Van Deventer tersebut, Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyiapkan program pembangunan yang meliputi bidang pendidikan, perbaikan di bidang produksi pertanian, serta pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Jawa. Untuk rencana pemindahan penduduk tersebut, ditunjuklah H.G. Heyting, seorang asisten residen, untuk mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk Pulau Jawa ke daerah-daerah lain yang jarang penduduknya dan yang dianggap potensial bagi pengembangan usaha pertanian. Laporan Heyting tahun 1903, antara lain menyarankan agar Pemerintah Belanda membangun desa-desa baru di luar Jawa dengan jumlah penduduk rata-rta sekitar 500 KK setiap desa, disertai bantuan ekonomi secukupnya agar desa-desa baru tersebut dapat berkembang serta memiliki daya tarik bagi pendatang-pendatang baru. Pelaksanaan program migrasi yang waktu itu disebut kolonisasi tersebut dimulai pertama kali pada bulan November 1905, sejumlah 155 KK (815 jiwa) yang berasal dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo (waktu itu Keresidenan Kedu Jawa Tengah). Para transmigran tersebut diberangkatkan menuju Gedong Tataan, sekitar 25 Km sebelah barat Tanjungkarang (waktu itu Keresidenan Lampung). Desa baru tempat para transmigran tersebut diberi nama Bagelen, nama salah satu desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, desa asal dari sebagian transmigran tersebut.. Pemilihan nama tersebut dimaksudkan agar mereka betah di tempat baru, dan merasa seperti di desa asalnya. Pada tahun-tahun berikutnya program kolonisasi juga dilaksanakan ke daerah Bengkulu dan Sulawesi Tengah.. Dalam periode 1905-1942, penduduk yang berhasil dipindahkan sebanyak 235.802 orang penduduk. (Lampiran I). Daerah asal terbanyak ialah Jawa Timur 27.044 KK (90.086 jiwa) dan yang terkecil D.I. Yogyakarta 188 KK (750 jiwa). Daerah tujuan terbanyak ialah Lampung 44.687 KK (175.867 jiwa) dan yang terkecil Sulawesi Selatan 137 KK (457 jiwa). Setelah Indonesia merdeka, program pemindahan penduduk yang kemudian disebut transmigrasi, dimulai kembali. Pada tanggal 12 Desember 1950, diberangkatkan 23 KK (77 jiwa) dari Provinsi Jawa Tengah menuju Lampung. Program ini terus dikembangkan hingga sekarang dalam berbagai macam pola dan cara. Pengiriman keluarga transmigran dari Pulau Jawa, Bali, dan Lombok selama Pelita I, II, III, dan IV berturut-turut adalah 46.268, 82959, 535.474, dan 402.756 (Ida Bagus Mantra, 1987: 7). Hal ini tidak jauh berbeda dengan target yang dicanangkan pemerintah (Lampiran II). Perubahan yang cukup mendasar dalam kebijakan kependudukan terjadi pada Peliata I. Pemahaman bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah kependudukan di Indonesia hanya dengan transmigrasi mulai berubah. Pemerintah mulai mengadopsi program

Keluarga Berencana untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk yang cepat, terutama di Jawa. Perkembangan selanjutnya dari program taransmigrasi adalah ketika diperkenalkannya program transmigrasi Pola Sitiung oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi (Depnakertranskop) pada Pelita II. Pola ini berawal dari adanya transmigrasi besol desa dari daerah Wonogiri Jawa Tengah (meliputi 41 desa) ke empat desa baru di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung Sumatera Barat, yaitu Sitiung, Tiumang, Sialanggaung, dan Kotosalak. Penduduk dari 41 desa di Wonogiri tersebut dipindahkan karena desa tempat tinggal mereka terkena proyek bendungan Gajah Mungkur. Jumlah transmigran tersebut adalah 65.517 jiwa atau lebih kurang 2.000 KK. Hal yang dinilai lebih dalam pola ini adalah adanya koordinasi yang lebih baik antar instansi terkait dalam pelaksanaannya. Misalnya pembabatan hutan, membangun prasarana jalan, jembatan, dan irigasi dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum, urusan pemerintahan desa oleh Departemen Dalam Negeri, pengkaplingan tanah hingga pembuatan sertifikat dilakukan oleh Jawatan Agraria, pendirian Puskesmas dan tenaganya oleh Departemen Kesehatan, sekolah dan gurunya oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam pelaksanaan Pola Sitiung, transmigran tidak perlu membangun rumah dulu, karena rumah sudah disipkan oleh Depnakertranskop. Begitu berhasilnya pola ini, Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, Prof. Soebroto bermaksud memperluas pola ini ke-14 provinsi lainnya di Indonesia. Akan tetapi, ternyata untuk menerapkan pola ini ke propvinsi lain kendalanya cukup banyak, antara lain kesiapan lokasi transmigrasi, dan koordinasi yang kurang berjalan dengan baik. Pola Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun) mulai diperkenalkan pada Pelita III di lokasi-lokasi transmigrasi. Pola ini cukup berhasil menarik minat penduduk pedesaan di Pulau Jawa untuk ikut serta dalam program tarnasmigrasi ini. Melihat minat masyarakat yang cukup tinggi ini, pada Pelita IV Departemen Transmigrasi kemudian lebih banyak mendorong pelaksanaan transmigrasi spontan yang dibiayai sendiri oleh penduduk. Orientasi program transmigrasi kemudian mengalami perubahan dari orientasi kuantitas ke orientasi kualitas pada Pelita V. Pemerintah juga mendorong agar masyarakat tergerak untuk melakukan transmigrasi swakarsa. Pada masa ini perhatian untuk mengembangkan daerah tujuan transmigrasi agar dapat menarik transmigran dari Jawa mulai dibangun. Hutan Tanaman Industri-Transmigrasi (HTI-Trans) mulai diperkenalkan yang merupakan kerjasama antra swasta pemegang Hak Penguasahan Hutan (HPH) dengan transmigran sebagai pemasok tenaga kerja. Selain memperkenalkan HTI-Trans, Departemen Transmigrasi juga mendorong terbentuknya pusat-pusat industrialisasi di luar Jawa, seperti agribisnis kelapa sawit atau tambak udang inti rakyat transmigrasi. Provinsi-provinsi yang dijadikan daerah pemukiman transmigrasi dewasa ini adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Di daerah-daerah tersebut, pengaruh demografi cukup terasa oleh karena di masa lampau jumlah penduduk setempat relatif masih sedikit. Di samping itu perekonomian daerah tujuan kemungkinan juga terpengaruh dengan adanya pertambahan tenaga kerja dan pembukaan tanah-tanah pertanian baru.

Dalam kurun waktu 60 tahun (1930-1990), distribusi penduduk di Indonesia sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh pelaksanaan transmigrasi, walaupun tidak begitu besar. Pulau Jawa dan Madura yang pada tahun 1930 dihuni oleh 68,9% penduduk Indonesia, pada tahun 1990 hanya 59,9% dari keseluruhan penduduk. Meskipun demikian, karena angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, kenaikan jumlah penduduk di Pulau Jawa jauh lebih besar dibandingkan yang bermigrasi kederah lain. Tabel I: Distribusi Penduduk Indonesia Menurut Sensus Penduduk Tahun 1930 dan Sensus Penduduk Tahun 1990 Penduduk 1930 Jumlah % (juta) 41,7 68,9 8,2 2,2 4,2 4,2 60,7 13,5 3,6 6,9 7,3 100 1990 Jumlah % (juta) 107,5 59,9 36,4 9,2 12,5 13,6 179,2 20,2 5,2 7,0 7,7 100 Kenaikan/Perubahan Jumlah (juta) % 65,8 28,2 6,9 8,3 9,2 119,4 (8,8) 6,8 1,6 0,1 0,3 0

Jawa + Madura Sumatera Kalimantan Sulawesi Pulau Lain Jumlah

Sumber: Badan Pusat Statistik Pada tahun 1996 terjadi sedkit perubahan. Proporsi penduduk Pulau Jawa berkurang menjadi 58,9 %, sedangkan pulau-pulau lainnya mengalami peningkatan, meskipun tidak terlalu besar. Tabel II: Perbandingan Kepadatan Penduduk Antarpulau pada Tahun 1996 Pulau Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Irian Jaya Jumlah Penduduk (Juta) 114,773 40,831 10,470 13,372 1,943 % 58,9 20,9 5,4 7,1 1,0 Luas (Km2) 132.186 473.481 539.460 189.216 421.981 Kepadatan per Pulau 868 86 19 73 5

% 6,9 24,7 28,1 9,8 22.0

Pulau Lainnya INDONESIA

13,006 194,755

6,7 100

162.993 1.919.317

8,5 100

80 101

Sumber: Siswono Yudohusodo (1998: 31). 3.2. Transmigrasi dan Pembangunan Nasional Seperti umumnya negara-negara sedang berkembang, dalam upaya pembangunan ekonominya, Indonesia masih bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam. Walaupun jumlahnya melimpah, tetapi karena terbatas maka akan berkurang arti dan manfaatnya jika tidak dikelola secara arif. Eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, malampaui batas pemanfaatan secara lestari dan tak terencana baik, akan merusak lingkungan hidup dan untuk jangka panjang akan berakibat buruk terhadap penghuninya. Pembangunan subsektor transmigrasi ikut memberikan andil yang cukup berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional. Kontribusi subsektor transmigrasi bagi pembangunan nasional selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I meliputi bidang pembangunan daerah, pembangunan ekonomi, dan pembangunan sosial budaya. Pembangunan transmigrasi pada hakikatnya merupakan pembangunan daerah melalui pembangunan pedesaan baru. Ada empat sasaran utama pembangunan pemukiman transmigrasi: Pertama, membangun desa-desa baru melalui pembangunan unit-unit transmigrasi yang terintegrasi dalam Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) dan Wilayah Pengembangan Parsial (WPP). Kedua, membangun hinterland dari pusat-pusat pertumbuhan yang ada melalui pembangunan unit-unit pemukiman transmigrasi yang terintegrasi dengan pusat-pusat pertumbuhan tersebut. Ketiga, mendorong pertumbuhan desa-desa yang kurang berkembang, melalui penambahan penduduk dan pembangunan prasarana, yang disebut Transmigrasi Swakarsa Pengembangan Desa Potensial (Transbangdep) Keempat, membangun masyarakat transmigran dan penduduk di sekitarnya melalui pengembangan keswadayaan masyarakat, agar pada saat pembinaan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) diserahkan kepada pemerintah daerah, masyarakat telah mandiri.. Pembangunan desa-desa transmigrasi di luar Jawa tidak hanya berperan dalam pembangunan SDM dan pengelolaan sumber daya alam yang sangat besar jumlahnya, tetapi juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam mempersiapkan pelaksanaan otonomi daerah. Pembanguan transmigrasi pada dasarnya merupakan pelaksanaan kebijaksanaan kependudukan yang tidak hanya sekedar memindahkan penduduk. Di tempat yang baru, kualitas hidup penduduk yang dipindahkan itu ditingkatkan. Mereka memperoleh pelayananpelayanan yang pantas untuk memenuhi kebutuhannya, baik di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, fasilitas keagamaan, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Oleh karena itu, pembangunan transmigrasi juga meliputi pembangunan Sekolah Dasar, Puskesmas

pembantu, sarana peribadatan, penyediaan lapangan kerja, antara lain berupa lahan pekarangan, lahan pertanian, kebun, tambak, kapal penangkap ikan, bagan apung, perangkat industri, serta pembinaan keterampilan di bidang terkait. 3.3. Dampak Demografi Pelaksanaan Transmigrasi Salah satu sasaran dari program tarnsmigrasi adalah penyebaran penduduk yang lebih serasi dan seimbang. Penduduk Jawa, Madura, dan Bali menurut Sensus 1990 mencapai 110.302.876 orang. Migrasi seumur hidup menunjukkan bahwa dari penduduk tersebut, 1656.215 orang lahir di luar Jawa, Madura, dan Bali. Jadi 1,5% dari penduduk Jawa, Madura, dan Bali merupakan migran masuk. Dari sudut lain, 5.142.505 orang lahir di Jawa, Madura, dan Bali, tetapi tinggal di provinsi lainnya. Dengan perkataan lain migrasi keluar dari Jawa, Madura, dan Bali sebesar 4,7%. Migrasi netto menunjukkan -3.486.290 orang atau -3,2%. Ini menunjukkan bahwa lebih banyak penduduk yang keluar Jawa, Madura, dan Bali daripada penduduk yang masuk.. Pelaksanaan transmigrasi memberi sumbangan yang besar dalam migrasi keluar dari Jawa, Madura, dan Bali, Kecuali penduduk Jawa, Madura, dan Bali berkurang karena ada penduduk yang berpindah ke provinsi lainnya, sumbangan lain dari transmigrasi adalah jumlah kelahiran yang lebih rendah di Jawa, Madura, dan Bali daripada tidak diterapkan program transmigrasi. Penyebabnya, kepala keluarga transmigran pada umumnya adalah penduduk muda sehingga jumlah bayi yang dilahirkan oleh mereka disumbangkan kepada daerah penerima transmigran dan bukan kepada daerah pengirim transmigran. Kepala Keluarga transmigran pada umumnya adalah orang muda yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan mempunyai penghasilan rendah. Untuk para transmigran, terbuka kesempatan kerja dengan dimilikinya tanah pekarangan dan lahan pertanian untuk diolah dengan lebih produktif. Program transmigrasi telah membuka banyak kesempatan kerja di daerah penerimaan tidak saja bagi transmigran sendiri, tetapi juga untuk tenaga yang membuka yang menyiapkan pemukiman, lahan pertanian, dan infrastruktur lainnya. Dengan berpindahnya sebagian penduduk muda dari Jawa, Madura, dan Bali maka telah berkurang sedikit tekanan pencari kerja pada lapangan kerja yang tersedia di Jawa, Madura, dan Bali, dan telah bertambah kesempatan kerja di luar Jawa, Madura, dan Bali. Program transmigrasi dengan demikian tyelah memberi sumbangan cukup besar pada lapangan pekerjaan. Di daerah pedesaan Jawa, Madura, dan Bali, program transmigrasi juga telah membantu mengurangi desakan penduduk daerah pedesaan pada lahan pertanian dan kesempatan pekerjaan yang tersedia dan pada mobilitas ke daerah perkotaan di Jawa, Madura, dan Bali. Penduduk pedesaan Jawa, Madura, dan Bali menurut Sensus Penduduk 1990 berjumlah 71.227.015 orang, dan 0,3% atau 207.029 orang dilahirkan di luar Jawa, Madura, dan Bali. Sebaliknya 4.066.900 penduduk pedesaan dari 21 provinsi lainnya dilahirkan di Jawa, Madura, dan Bali. Hal ini menunjukkan bahwa migrasi keluar dari daerah pedesaan sebesar 5,7%. Dengan demikian, migrasi netto dari daerah pedesaan Jawa, Madura, dan Bali menunjukkan -3.859.871 orang atau -5,4%. Perhitungan ini adalah dengan asumsi bahwa migran yang lahir di Jawa, Madura, dan Bali dan menetap di daerah pedesaan 21 provinsi lainnya juga berasal dari daerah pedesaan Jawa, Madura, dan Bali. BAB IV GAMBARAN BEBERAPA LOKASI TRANSMIGRASI

4.1. Punggur di Lampung Punggur merupakan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang terletak di Kabupaten Lampung Tengah yang kemudian menjadi nama kecamatan di derah tersebut. Pada tahun 1965, daerah ini mempunyai 27.425 penduduk yang tersebar di 14 desa dan menempati areal seluas 10.000 ha.. Bagi warga Punggur, desa-desa itu bukan merupakan satu kesatuan yang kuat. Desa-desa itu tidak dapt dibeda-bedakan, sedang batas-batasnya tidak menurutkan batas-batas alamiah. Dalam kesadaran penduduk yang jelas menjadi satuannya adalah kecamatan. Kepindahan penduduk dari Jawa ke Punggur yang terbesar adalah pada tahun 1954. Transmigran tersebut, 67% di antaranya berasal dari Jawa Tengah dan 33% dari berasal Jawa Timur. Motif perpindahan penduduk ini adalah karena tidak memiliki tanah di tempat asal, ingin maju, adu untung, ikut keluarga, dan lain-lain. Kekurangan tanah merupakan faktor pendorong utama yang menyebabkan penduduk ikut transmigrasi. Faktor ingin maju merupakan faktor penarik yang bukan alasan utama transmigran untuk menetap di Punggur. Setelah sampai di Punggur, sesuai ketentuan setiap transmigran seharusnya transmigran mendapatkan tanah dua hektar yang terdiri dari Ha tanah pekarangan, Ha tanah ladang, dan 1 Ha tanah sawah seperti yang ditetapkan Jawatan Transmigrasi. Dalam kenyataannya hanya 19% transmigran yang memiliki tanah demikian. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa daerah Punggur yang pada mulanya disediakn sebagai daerah hutan cadangan dibuka dan didiami secara illegal. Maka tanah-tanah yang dimiliki para migran dengan cara tersebut, acap kali lebih kecil dari 2 Ha areal resmi tersebut. Tanah yang sempit ini juga disebabkan karena para transmigran itu dahulu menjual sebagian tanahnya akibat butuh uang. Akibatnya taraf kesejahteraan para transmigran di Punggur tidak begitu baik. 37% transmigran di Punggur memperoleh tanah dari Jawatan Transmigrasi dan 63% lainnya memiliki tanah karena pembelian. Setelah sekian lama menempati areal transmigrasi, para transmigran masih tetap menjalin hubungan yang baik dengan kampung halaman mereka. Sebanyak 59,6% transmigran masih mempunyai anggota keluarga di Jawa. 49,5% di antaranya tetap mengadakan hubungan suratmenyurat atau bentuk komunikasi lainnya dengan sanak saudaranya di Jawa, sedang 19,8% selalu mengunjungi keluarga di Jawa. Meskipun demikian, 67,8% transmigran di Punggur ternyata tidak rindu kembali ke Jawa, hanya 25,9% yang menyatakan mau pergi ke Jawa untuk mengunjungi sanak saudara. Untuk kembali ke Jawa selamanya, tidak seorang pun yang mau. Di antara transmigran, ada yang sudah berkali-kali ke Jawa untuk menjemput sanak saudaranya supaya mau bertransmigrasi juga. Bahkan kepala-kepala desa pun menyediakan tanah khusus di desanya untuk keluarga-keluarga transmigran baru yang mereka jemput sendiri. 4.2. Tongar di Sumatera Barat Tongar merupakan UPT yang terletak di Nagari Airgadang, Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Meskipun secara kuantitatif jumlahnya tidak besar, namun karena berbagai alasan, daerah pemukiman transmigrasi orang Jawa yang merupakan repatrian Suriname ini perlu mendapat perhatian ahli sosiologi. Asal transmigran dan motif-motif migrasinya mempunyai perbedaan penting dengan asal dan motif-motif migran-migran

Indonesia yang lain. Selanjutnya di sini dipraktekkan sistem berkolonisasi yang istimewa yang tegas-tegas menekankan penggarapan tanah secara kolektif, sehingga asimilai daerah pemukiman yang kebudayaannya sangat berbeda ini menimbulkan masalah-masalah khusus. Gelombang pertama kuli kontrak dari Jawa untuk perkebunan-perkebunan di Suriname tiba di sana pada tahun 1890. sampai tahun 1939 jumlah orang Jawa yang mendarat di Suriname seluruhnya sebesar 32.886 orang. Meskipun setelah kontrak berakhir terbuka kemungkinan untuk repatriasi, namun keinginan kembali ini dapat diganti dengan bonus sebesar f. 100 Suriname. Dengan demikian hampir semua dari mereka yang karena berbagai hal kandas dalam hutang, terpaksa memilih bonus ini daripada pulang ke Jawa. Dalam jngka waktu tersebut jumlah yang kembali seluruhnya hanya 8.130 orang. Yang tidak kembali kebanyakan lalu keluar dari perkebunan dan menjadi petani kecil. Menurut sensus tahun 1950, orang Indonesia di Suriname berjumlah 35.194 orang. Untuk mengkoordinasi persiapan-persiapan kembali ke tanah air, dibentuklah Yayasan Ke Tanah Air yang didirikan pada tanggal 1 Mei 1951. Dalam waktu pendek jumlah anggotanya telah mencapai lebih dari 3.000 orang. Pada bulan September 1953 delegasi yayasan ini mengunjungi Indonesia dengan tujuan untuk memeriksa daerah yang telah dipilih sebagai daerah pemukiman. Kelompok repatrian yang pertama dan satu-satunya sampai saat ini tiba pada tanggal 3 Februari 1954 di Padang dan beberapa waktu kemudian terus menuju Tongar, suatu tempat kecil di tepi jalan antara Talu dan Airbangis, 170 km di sebelah utara Bukittinggi, ibukota Propvinsi Sumatera Tengah pada waktu itu. Daerah yang pada mulanya dipilih terdiri dari dataran seluas 5.200 ha yang sebagian besar tertutup oleh hutan. Daerah tersebut sulit ditempuh oleh traktor, karena topografinya tidak datar dilintsi oleh banyak anak sungai yang kecil. Palung-palung sungai itu dalamnya tiga sampai enam meter, sehingga harus dibangun jembatan agar traktor-traktor itu dapat lewat. Hasil penelitian tanah yang diadakan pada akhir tahun 1955 juga menunjukkan bahwa tanah di Tongar tidak begitu cocok untuk penanaman padi, seperti yang diduga semula. Dalam waktu yang singkat keadaan keuangan para transmigran makin memburuk. Meskipun daerah pemukiman itu bukan tanggungan resmi dari Jawatan Transmigrasi, namun Jawatan Transmigrasi di Padang dapat menyediakan beras dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, termasuk uang. Kekurangan uang paling mendalam dirasakan oleh teknisi dan tenaga-tenaga administratif yang sudah terbiasa hidup cukup mewah, karena mereka tidak dapat memperoleh penghasilan tambahan dari usaha pekarangannya sendiri seperti para petani. Banyak di antara mereka terpaksa menjual perhiasan kepada para pedagang keliling Minangkabau. Hubungan antara pendatang dan penduduk asli dalam banyak hal dapat bersifat menentukan berhasil tidaknya suatu daerah pemukiman. Di Minangkabau, tempat pemukiman repatrian dari Suriname berada, berlaku ketentuan-ketentuan adat sehubungan dengan pembukaan dan pengolahan daerah hutan. Nagari sebagai sataun teritorial dibagi dalam berbagai kampuang. Satu kampuang dikepalai oleh seorang penghulu. Hak untuk menetap di suatu kampuang tertentu hanya dapat diberikan oleh kerapatan nagari. Seorang luar yang mendapat hak mengolah tanah hrus membayar sejumlah retribusi, tetapi tidak berlaku bila orang luar tersebut diangkat sebagai kemenakan oleh penghulu. Dengan demikian penghulu bertindak sebagai mamak (paman) bagi pendatang baru tersebut yang kemudian memperoleh hak dan kewajiban yang sama seperti

kemenakan yang lainnya, dengan syarat pendatang baru tersebut harus bertingkah laku seperlunya menurut adat. Sistem ini akhirnya merupakan pemecahan untuk menampung kelompok repatrian Suriname ini. Mereka kemudian diterima sebagai keluarga oleh penghulu daerah bersangkutan dalam suatu upacara resmi pada bulan Mei 1954. Menurut hukum adat, dengan demikian mereka dan keturunannya memperoleh hak pakai atas tanah, tetapi tidak mempunyai hak untuk menjual tanah itu atau mewariskan hak pakainya kepada yang bukan kemenakan. Bila tanah itu tidak digarap atau tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka tanah harus dikembalikan kepada nagari. Persetujuan ini memberi pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak terhadap persoalan mengenai hak atas tanah. Beberapa bulan sebelum repatrian itu tiba, masyarakat Minangkabau rupanya sudah menyesal dan tiba-tiba para kepala adat menuntut kembali sebidang tanah seluas 400 ha yang termasuk dalam penyerahan semula dengan alasan akte penyerahan tidak sah, karena penghulu sebenarnya tidak berhak menyerahkan tanah kepada pihak ketiga, bahkan kepada pemerintah sekalipun. Menurut Schrieke (1955) hal ini sebenarnya dipicu oleh perasaan cemas di kalangan penghuni desa kalau-kalau di masa depan mereka akan kekurangan tanah. Tuntutan ini sangat mengejutkan pemerintah setempat dan Jawatan Transmigrasi, karena beberapa barak penampungan sudah dibangun di atas tanah yang dituntut kembali itu. Suasana menjadi tegang ketika kelompok repatrian datang, dan ditambah pula dengan perbedaan-perbedaan kultural antara orang Jawa Suriname dengan orang Minangkabau yang jauh lebih besar daripada yang diduga orang semula. Perbedaan yang paling tajam dirasakan adalah perbedaan agama. Sebanyak 129 orang atau 12,5% repatrian beragama Kristen dari jumlah keseluruhan 1.024 orang. Orang Jawa sendiri menganggap perbedaan agama sebagai suatu yang tidak penting. Mereka selalu sangat heran bila orang Minangkabau mengajukan pertanyaan kepada mereka: Adakah dua partai di dalam kampung kalian? Hal ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa pada mulanya sebagian besar orang-orang Jawa dari Suriname berasal dari lingkungan abangan. Yang juga merupakan perbedaan kultural ialah bahasa. Orang Jawa Suriname menggunakan bahasa Jawa dalam bahasa pergaulan dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak cukup mereka kuasai karena sebelumnya mereka tidak memerlukannya. Penduduk asli sebaliknya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan umum dan bahasa Minangkabau di antara mereka sendiri. Perbedaan kebudayaan lain yang dirasakan sebagai hal yang sangat bertentangan dengan pola norma di Minangkabau adalah kebiasan melakukan dansa dan tari-tarian modern, seperti rumba dan tango yang dilakukan repatrian tersebut. Bagi orang Minangkabau, tarian tersebut sangatlah terkutuk sehingga pada berbagai kesempatan telah mengakibatkan terjadinya insiden karena pemuda-pemuda yang fanatik mengganggu acara-acara dansa. Hal yang sama terjadi pula untuk norma-norma pergaulan antar jenis kelamin, seperti berjalan bergandengan tangan yang tidak diperkenankan termasuk bagi suami-istri, ko-edukasi dalam olahraga, dan sebagainya. Semua corak dan pola kebudayaan Jawa Suriname ini sama sekali tidak dapat diterima oleh penduduk asli dan menimbulkan keluhan-keluhan yang mengatakan bahwa kelompok-kelonpok dari Suriname tidak bertindak sebagai kemenakan yang baik, sehingga karena itu penghulu menjadi malu.

Hal-hal yang disebutkan di atas menyebabkan posisi orang-orang Jawa yang berdiam di Tongar sangat sulit ketika meletusnya Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) melawan Pemerintah Pusat pada bulan Februari tahun 1958. Akhir Juli 1958, daerah pemukiman Tongar dikepung dan hanya diberi waktu dua jam sebagai persiapan mengungsi, setelah itu semua bangunan di sana dibumihanguskan. Sesudah menempuh perjalanan yang berat, 14 orang dari mereka kemudian meninggal dunia, sisanya sampai di Bukittinggi untuk memulai kehidupan baru. BAB V PENUTUP Indonesia dewasa ini berada dalam proses transformasi dari masyarakat agraris tradisional rural, menuju masyarakat industri modern urban. Para pemikir berada dalam proses itu dan perlu ikut menyiasati berbagai perubahan yang sedang terjadi. Besarnya tekanan untuk melakukan orientasi agribisnis di bidang pertanian merupakan salah satu wujud dari perubahan wawasan dalam mengikuti arus perubahan itu. Untuk memodernisasi usaha pertanian, sekaligus memeratakan penyebaran penduduk secara lebih seimbang, perlu diciptakan pusat-pusat produksi pertanian baru di luar Pulau Jawa. Upaya untuk mengubah sekitar 11 juta petani miskin menjadi produktif dan dan berkecukupan, merupakan tantangan yang perlu dijawab dengan pembukaan areal-areal pertanian baru dalam skala luas, lalu membagikannya kepada petani-petani gurem, buruhburuh tani, peladang berpindah, dan perambah hutan. Mereka juga dilengkapi dengan mekanisasi pertanian dan usaha tani yang berorientasi agrobisnis dan agroindustri. Untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia melalui pengolahan sumber-sumber daya alam, diperlukan upaya untuk mencptakan masyarakat Indonesia yang berjiwa pionir dan suka merantau, terutama pada suku-bangsa Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Sasak, untuk menggali potensi-potensi yang terpendam di luar kampung halamannya. Untuk mengubah sikap mental sedentary menjadi sikap suka merantau, dan merangsang minat penduduk agar mau berpindah ke luar Pulau Jawa, pertama-tama perlu ditingkatkan kemampuan mereka dalam menangkap dan memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh daerah-daerah di luar Jawa. Saat ini, meskipun banyak orang Jawa dan Sunda yang telah tersebar di berbagai pelosok tanah air, bahkan sampai ke luar negeri, seperti Malaysia dan Arab Saudi, tetapi jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah asalnya, jumlahnya masih sangat kecil. Oleh karena itu perlu diupayakan agar beban kependudukan di Pulau Jawa tidak terlalu berat. Orang-orang Jawa dan Sunda yang merantau perlu menggerakkan saudara-saudara atau teman-temannya untuk mengikuti jejak mereka.
http://witrianto.blogdetik.com/2010/12/16/transmigrasi-di-indonesia/

leh : Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Rabu, 27 Mei 2009
Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk) Prop Jatim bulan ini siap memberangkatkan sebanyak 560 Kepala Keluarga (KK). Ini merupakan agenda tahunan dalam upaya mengurangi pengangguran.(raa) Kepala Disnakertransduk Prop Jatim, Indra Wiragana SH, di kantornya, Rabu (27/5)

mengatakan, calon transmigran ini berasal dari beberapa kabupaten/kota di Jatim. Seperti, Probolinggo, Madiun, Tuban, Bojonegoro, Jember, dan Malang. Para calon transmigran ini akan ditempatkan di Jambi, Lampung, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, tambahnya. Menurutnya, transmigrasi ini dimaksudkan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Terutama bersamaan dengan maraknya kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa perusahaan, menyusul terjadinya krisis ekonomi global. Indra menjelaskan, pengangguran terbuka di Jatim sekitar 1 Juta orang. Kemudian, pekerja yang di PHK sekitar 10.000 orang. Belum lagi yang masih dalam proses PHK. Tingginya angka pengangguran di Jatim memicu Disnakertransduk untuk melakukan beberapa program guna mengatasi pengangguran tersebut. Selain transmigrasi, upaya lain yang dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan di Jatim adalah dengan mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tiap tahunnya, Disnakertransduk menargetkan memberangkatkan 60.000 orang TKI. Tujuannya, beberapa Negara di Asia Pasifik hingga Arab.Data Disnakertransduk menunjukkan, di Hongkong terdapat sedikitnya 125.000 orang atau sekitar 75% dari total TKI Jatim yang tersebar di beberapa Negara. Mayoritas TKI di Hongkong adalah perempuan. Jumlah TKI asal Jatim di Hongkong terbesar. Disusul TKI di Filipina yang mencapai sekitar 124.000 orang.Pengentasan 60.000 orang TKI ini sebenarnya sudah cukup untuk mengatasi pengangguran di Jatim, tapi kami juga mempunyai target tidak hanya mengentas kemiskinan lewat mengirim TKI keluar negeri, namun dengan mengadakan pelatihan keterampilan, peralatan dam pemodalan, jelas Indra.Sedikitnya, Rp 11,8 Miliar dana dekonsentrasi pusat disiapkan untuk mendukung upaya pengentasan pengangguran dan kemiskinan non TKI di Jatim.(raa/j)

C SURABABAYA, Suara Pekerja.com Jumlah Transmigrasi Jawa Timur tahun pada tahun 2011 ini mencapai 900 kepala keluarga (KK), dan ditempatkan ke berbagai daerah Kabupaten diluar Pulau Jawa. Pemberangkatan Mereka dilaksanakan secara bergelombang terhitung mulai bulan juli 2011, demikian diungkapkan Kabid Transmigrasi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur, kepada Suara pekerja.com. Lebih lanjut Saleh menjelaskan transmigrasi yang sudah ditempatkan berasal dari daerah kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur, diantaranya dari Kabupaten Ngawi (15) KK, Kabupaten situbondo (15) KK, ditempatkan ke Bengkulu, Transmigrasi asal Nganjuk (10) KK, Kabupaten Lumajang (15) KK, ditempatkan ke UPT Labosa Kabupaten Poso, Transmigrasi asal Kabupaten Madiun (25) KK,ditempatkan Sumatra Selatan, Kabupaten Banyuwangi (25) KK, Kabupaten Jombang (25) KK, ditempatkan Tojo Una-una Sulteng. Sedang Transmigrasi yang berasal dari kabupaten Trenggalek (10) KK, Kabupaten Jember (20) KK, Kota Pasuruan (15) KK, Kota Mojokerto (5) KK, ke Kabupaten Konowe Selatan Sultra, Transmigrasi Kabupaten Jombang (25) KK, kabupaten Trengalek, Pemberangkatan tahap dua dilaksanakan pada tanggal 29 Nopember lalu melalui pelabuhan laut Tanjung perak Surabaya, diantaranya dari Kabupaten Ngawi (25) KK, diberangkatkan ke Gorontalo, Kabupaten Lamongan 10 KK, Kabupaten Pasuruan 15 KK, ditempatkan ke Gorontalo, dari Kabupaten Magetan 10 KK, Kabupaten Blitar 10 KK, Kabupaten Malang 10 KK, Kabupaten Situbondo 10 KK, diberangkatkan ke Gorontalo, Transmigrasi asal Kabupaten Bojonegoro 15 KK, Ngawi 15 KK, Malang 20 KK, Lumajang, 15 KK, dan situbondo 10 KK, diberangkatkan ke Sumatra Selatan. Menurut informasi yang di terima dari Disnakertransduk Jawa Timur, pemberangkatan secara keseluruhan sudah

tuntas pada Desember mendatang. Disinggung soal kondisi kesehatan para transmigrasi disebutkan pada kondisi sehat dan belum ada yang dipending pemberangkatannya. Dari jumlah Transmigrasi yang sudah diberangkatkan disebutkan sudah mencapai 375 Kepala keluarga (KK) dan sisanya menyusul. Pada data yang dilansir Suara pekerja.com dipastikan tidak ada yang fiktif dan secara bergelombang dikawal setiap pemberangkatan dan penyerahan ke UPT tujuan ungkap Ronni Hapsoro mendampingi Saleh selaku Kepala Bidang Transmigrasi. (martin)
http://www.suarapekerja.com/transmigran-jawa-timur-mencapai-900-kepala-keluarga-375-kktelah-di-tempatkan

You might also like