You are on page 1of 17

TEKNOLOGI PERTANIAN

Oleh

Vinda Kusuma Anggraeni PROGRAM STUDI : AGRIBISNIS NIM : H0810119

TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR ILMU PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS PERTANIAN 2010

PENDAHULUAN

Teknologi pertanian merupakan penerapan prinsip-prinsip matematika dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pendayagunaan secara ekonomis sumberdaya pertanian dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan manusia. Falsafahnya teknologi pertanian merupakan praktik-empirik yang bersifat pragmatik finalistik, dilandasi paham mekanistik-vitalistik dengan penekanan pada objek formal kerekayasaan dalam pembuatan dan penerapan peralatan, bangunan, lingkungan, sistem produksi serta pengolahan dan pengamanan hasil produksi. Objek formal dalam ilmu pertanian budidaya reproduksi berada dalam fokus budidaya, pemeliharaan, pemungutan hasil dari flora dan fauna, peningkatan mutu hasil panen yang diperoleh, penanganan, pengolahan dan pengamanan serta pemasaran hasil. Oleh sebab itu, secara luas cakupan teknologi pertanian meliputi berbagai penerapan ilmu teknik pada cakupan objek formal dari budidaya sampai pemasaran.

ISI

Pertanian Indonesia Pertanian di Indonesia abad 21 harus dipandang sebagai suatu sektor ekonomi yang sejajar dengan sektor lainnya. Sektor ini tidak boleh lagi hanya berperan sebagai aktor pembantu apalagi figuran bagi pembangunan nasional seperti selama ini diperlakukan, tetapi harus menjadi pemeran utama yang sejajar dengan sektor industri. Karena itu sektor pertanian harus menjadi sektor modern, efisien dan berdaya saing, dan tidak boleh dipandang hanya sebagai katup pengaman untuk menampung tenaga kerja tidak terdidik yang melimpah ataupun penyedia pangan yang murah agar sektor industri mampu bersaing dengan hanya mengandalkan upah rendah. Terpuruknya perekonomian nasional pada tahun 1997 yang dampaknya masih berkepanjangan hingga saat ini membuktikan rapuhnya fundamental ekonomi kita yang kurang bersandar kepada potensi sumberdaya domestik. Pengalaman pahit krisis moneter dan ekonomi tersebut memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh menghadapi terpaan yang pada gilirannya memaksa kesadaran publik untuk mengakui bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sektor andalan dan pilar pertahanan dan penggerak ekonomi nasional. Kekeliruan mendasar selama ini karena sektor pertanian hanya diperlakukan sebagai sektor pendukung yang mengemban peran konvensionalnya dengan berbagai misi titipan yang cenderung hanya untuk mengamankan kepentingan makro yaitu dalam kaitan dengan stabilitas ekonomi nasional melalui swasembada beras dalam konteks ketahanan pangan nasional. Secara implisit sebenarnya stabilitas nasional negeri ini di bebankan kepada petani yang sebagian besar masih tetap berada di dalam perangkap keseimbangan lingkaran kemiskinan jangka panjang (the low level equilibrium trap). Pada hakekatnya sosok pertanian yang harus dibangun adalah berwujud pertanian modern yang tangguh, efisien yang dikelola secara profesional dan memiliki keunggulan memenangkan persaingan di pasar global baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor (sumber devisa).

Dengan semakin terintegrasinya perekonomian indonesia ke dalam perekonomian dunia, menuntut pengembangan produk pertanian harus siap menghadapi persaingan terbuka yang semakin ketat agar tidak tergilas oleh pesaing-pesaing luar negeri. Untuk itu paradigma pembangunan pertanian yang menekankan pada peningkatan produksi semata harus bergeser ke arah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani dan aktor pertanian lainnya dengan sektor agroindustri sebagai sektor pemacunya (leverage factor). Selama 20 tahun terakhir, pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neoliberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan tersebut berada di bawah arahan dan dikte dua lembaga keuangan internasional yaitu IMF dan Bank Dunia. Beberapa bentuk kebijakan yang telah diambil antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah). Naiknya harga berbagai bahan pangan dalam kenyataannya relatif tidak membawa keuntungan bagi petani. Nilai tambah dari kondisi membaiknya harga bahan pangan ternyata dinikmati oleh kaum pedagang. Di Indonesia sejak disahkannya UU Sumber Daya Air 2004. UU ini harus disahkan sebagai imbalan bantuan Bank Dunia sebesar US$ 300 juta. Bantuan ini memang merupakan proyek Bank Dunia yang disebut WATSAL (Water Resources Sector Adjusment Loan). UU Sumber Daya Air ditentang oleh berbagai organisasi non-pemerintah, tetapi DPR tetap jalan terus dan menerbitkan pasal-pasal kontroversial yang merugikan rakyat Indonesia pada umumnya dan petani khususnya. Air yang dalam UUD 1945 harus dikuasai oleh negara, kini diprivatisasikan, boleh dikuasai oleh swasta. Kalau jepitan Bank Dunia masih belum kuat, WTO dapat membantunya karena menurut GATS (General Agrement on Trade Services) kepemilikan oleh negara dipandang sebagai pelanggaran perdagangan bebas. GATS adalah peraturan di bawah WTO yang mengatur jasa merupakan lanjutan dari GATT (General Agrement on Tariffs and Trade) sebagai penjaga kelangsungan perdagangan bebas. WTO juga mempunyai serangkaian peraturan lain yang menindas pertanian, terutama pertanian NSB (negara sedang berkembang). Seperti peraturan TRIPS (Trade Related Intellectual Property Right) tentang perjanjian hak kekayaan intelektual. Salah satu pasal dalam perjanjian ini yang mengenai pertanian menetapkan hak paten atas tanaman dan bibitnya yang telah dikembangkan oleh perusahaan

bioteknologi. Pertama, masalah ini menyebabkan komunitas setempat kehilangan hak atas sumber daya mereka sendiri. Kedua, petani harus membayar untuk menanam tanam-tanaman yang sudah dipatenkan, seperti beras, gandum, kedelai, jagung, kentang, sorghum, dsb. Kasus tempe adalah kasus yang paling relevan untuk Indonesia. Ada 19 hak paten tempe: 13 dimiliki Amerika, 6 oleh Jepang, dan 0 untuk Indonesia. Pertanian jelas-jelas tengah ditelikung dari luar dan dari dalam, dua kekuatan akibat dari globalisasi. Pada 1984, Indonesia mendapat penghargaan dari FAO karena mampu swasembada dalam pangan. Ini merupakan cerita sukses yang luar biasa. Namun, sejak itu kemampuan untuk swasembada pangan ini terus-menerus menurun akibat investasi pemerintah di bidang pertanian yang berkurang dari tahun ke tahun. Ketika krisis keuangan menimpa Indonesia pada tahun 1997, sebenarnya petani tidak mengalami krisis seperti itu. Tetapi karena Indonesia pada Oktober 1997 menandatangani Letter of Intent dengan IMF, maka nasib petani juga ikut terpuruk. Negara Indonesia, misalnya, pada 1998 dipaksa untuk menurunkan tarif beras sampai nol persen. Selain itu juga dilarang memberi subsidi pupuk. Keduanya membuat petani tak berdaya bersaing dengan beras impor yang lebih murah daripada beras produk dalam negeri. Petani menjerit-jerit tapi tak berdaya. Hal yang sama juga dialami oleh petani tebu yang dipaksa bersaing dengan gula impor yang lebih murah, bahkan juga dengan gula selundupan yang membanjiri pasar Indonesia. Sementara itu, para petani yang bergerak di bidang buah-buahan dan sayur-sayuran juga mengalami tekanan berat. Sejak 1998, seiring dengan dibukanya pasar Indonesia oleh IMF, buah-buahan dari banyak negara masuk ke Indonesia. Para petani kita yang masih bekerja dengan teknologi tradisional kalah bersaing dengan buah-buahan impor, tidak bisa dipasarkan di supermarket. Petani tradisional biasanya dipersalahkan mengapa mereka tidak mau bekerja sama dengan pemilik modal besar (MNC). Sejak beberapa tahun terakhir ini, mengikuti pola-pola yang terjadi di negara-negara lain di dunia, di Indonesia juga dibuka lahan-lahan untuk memproduksi nontraditional export crops. Indonesia bersama dengan India, Brazil, dan Cina serta sekitar 19 negara sedang berkembang lainnya kini berjuang keras di WTO agar negaranegara maju (Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang) memangkas subsidi pertaniannya. Setiap tahun negara maju mengeluarkan US$ 1 miliar perhari untuk memberi subsidi kepada pertanian mereka. Ini tak mengherankan karena pada tahun 2002 saja negara industri yang tergabung dalam OECD menghabiskan US$ 311 miliar untuk subsidi pertanian. Dengan

subsidi ini, mereka dapat membuat jatuh harga gandum dan produk pertanian lain di dunia, dan ini pada giliranya akan merugikan petani negara NSB. Sangat ironis, bahwa negaranegara majulah yang paling lantang menuntut dihapuskannya subsidi pertanian. Pertanian organik sebetulnya merupakan sebuah reaksi positif terhadap gelombang globalisasi pertanian. Kalau MNC memakai benih transgenik, pupuk kimia, obat hamayang semuanya hasil rekayasa kimia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan maupun kesehatan manusiamaka pertanian organik dianggap sebagai alternatif yang paling nyata. Kecuali itu, pertanian organik juga dapat mengembalikan pertanian kepada petani, merebutnya dari cengkeraman MNC. Sistem pertanian organik berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memerhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian dan lingkungan. Tujuan yang hendak dicapai dengan sistem pertanian organik di antaranya adalah menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup, memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian dan memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang sehat dan nyaman. Pada hakikatnya, pertanian organik merupakan sistem dengan ciri utama bekerja selaras dengan alam untuk mencukupi kebutuhan pangan sehat bagi umat manusia. Tantangan bagi pemerintahan yang abru adalah untuk menggalakan peningkatan produktifitas diantara penghasil di daerah , dan menyedikan fondasi yang kuat dalam jangka panjang dalam peningkatan produktifita secara terus menerus. Dalam hal tersebut ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan diantaranya: 1. Fokus dalam pendapatan para petani. Saat ini padi yang menjadi sumber penghasilan utama para petani tidak lagi dapat menjamin pendapatan petani maupun menjamin dalam hal keamanan pangan. 2. Peningkatan produktifitas adalah sebagai suatu kunci dalam peningkatan pendapatan petani, oleh karena itu pembangunan ulang dan system tambahan menjadi sangat menguntungkan.

3. Dana diperlukan, dan dapat diperoleh dari usaha sementara untuk memenuhi kebutuhan kredit para petani melalui skema kredit yang dibiayai oleh APBN. 4. Pertanian yang telah memiliki system irigasi sangat penting, dan harus dipandang sebagai aktifitas antar sector. Pemerintah perlu memastikan integritas infrastruktur dengan keterlibatan pengguna irigasi secara lebih intensif, dan meningkatkan efisiensi pengguna air untuk mencapai panen yang lebih optimal hingga setiap tetes air. 5. Fokus dari regulasi dari departemen pertanian perlu ditata ulang. Kualitas input yang rendah mempengaruhi produktifitas petani, karantina diperlukan untuk melindungi kepentingan petani dari penyakit dari luar namun pada saat yang bersamaan juga tidak membatasi masuknya bahan baku impor, dan standar produk secara terus menerus ditingkatkan di dalam rantai oleh sector swasta, bukan oleh pemerintah.

Sistem Pertanian di Indonesia Sistem ladang, merupakan sistem pertanian yang paling primitif. Suatu sistem peralihan dari tahap budaya pengumpul ke tahap budaya penanam. Pengolahan tanahnya sangat minimum, produktivitas bergantung kepada ketersediaan lapisan humus yang ada, yang terjadi karena system hutan. Sistem ini pada umumnya terdapat di daerah yang berpenduduk sedikit dengan ketersediaan lahan tak terbatas. Tanaman yang diusahakan umumnya tanaman pangan, seperti padi darat, jagung, atau umbi-umbian. Sistem tegal pekarangan, berkembang di lahan-lahan kering, yang jauh dari sumbersumber air yang cukup. Sistem ini diusahakan orang setelah mereka menetap lama di wilayah itu, walaupun demikian tingkatan pengusahaannya rendah. Pengelolaan tegalpada umumnya jarang menggunakan tenaga hewan. Tanaman-tanaman yang diusahakan terutama tanamantanaman yang tahan kekeringan dan pohon-pohonan. Sistem sawah, merupakan teknik budidaya yang tinggi, terutama dalam pengolahan tanah dn pengelolaan air, sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi, sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan system pengairan yang berkesinambunagn dan drainase yang baik. Sistem sawah merupakan potensi besr untuk produksi pangan, baik padi maupun palawija. Dibeberapa daerah, pertanian tebu dan tembakau menggunakan sistem sawah.

Sistem perkebunan, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar (estate) yang dulu milik swastsa asing dan sekarang kebanyakan perusahaan negara berkembang karena kebutuhan ekspor,. Dimulai dengan bahan-bahan ekspor seperti karet, kopi, teh, cokelat yang merupakan hasil utama, sampai sekarang merupakan hasil utama, sampai sekarang system perkebunan berkembang dengan manajemen yang memiliki industri pertanian.

Sejarah Pendidikan Teknologi Pertanian Bidang teknologi pertanian secara keilmuan merupakan hibrida dari ilmu teknik dan ilmu pertanian. Sejarah lahirnya ilmu-ilmu dalam lingkup teknologi pertanian dipicu oleh kebutuhan untuk pemenuhan pembukaan dan pengerjaan lahan pertanian secara luas di Amerika Serikat maupun Eropa pada pertengahan abad ke-18. Perkembangan pendidikan tinggi teknologi pertanian di Indonesia yang dimulai awal tahun 1960-an tidak terlepas dari perkembangan pendidikan tinggi teknik dan pertanian sejak zaman pendudukan Belanda yang memang secara historis meletakkan dasarnya di Indonesia. Perang dunia I yang terjadi di Eropa telah menyebabkan gangguan hubungan internasional antara lain, armada sulit untuk masuk ke Samudra Hindia sehingga tenaga-tenaga ahli yang sebelumnya banyak didatangkan dari Eropa mengalami kesulitan. Pencetakan tenaga ahli teknik menengah dan tinggi (baik untuk bidang teknik dan pertanian) menjadi kebutuhan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu pendudukan di Indonesia. Untuk mencukupi kebutuhan tenaga terampil bidang pertanian, peternakan dan perkebunan yang secara intensif dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Jawa dan Sumatra dalam program cultur stelseels pada awal abad ke-19. Untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, maka di Bogor (Buitenzorg) didirikan beberapa lembaga pendidikan menengah untuk bidang pertanian dan kedokteran hewan, yakni Middlebare Landbouw Schooll, Middlebare Bosbouw Schooll dan Nederlandssch Indische Veerleeen Schooll.

Lingkup Teknologi Pertanian 1. Teknik Pertanian Teknik pertanian merupakan pendekatan teknik (engineering) secara luas dalam bidang pertanian yang sangat dibutuhkan untuk melakukan transformasi sumberdaya alam secara efisien dan efektif untuk pemanfaatannya oleh manusia. Dengan demikian dalam sistematika

keilmuan, bidang teknik pertanian tetap bertumpu pada bidang ilmu teknik untuk memecahkan berbagai permasalahan di bidang pertanian. Terminologi teknik pertanian sebagai padanan Agricultural Engineering diperkenalkan di Indonesia pada paruh 1990-an. Sebelumnya terminologi yang digunakan lebih sempit, yaitu mekanisasi pertanian yang diadopsi dari Agricultural Mechanization, sejak awal 1990-an bersamaan dengan pengenalan dan penggunaan traktor untuk program intensifikasi pertanian. Bidang cakupan teknik pertanian antara lain: alat dan mesin budidaya pertanian, mempelajari penggunaan, pemeliharaan dan pengembangan alat dan mesin budidaya pertanian, teknik tanah dan air, menelaah persoalan yang berhubungan dengan irigasi, pengawetan dan pelestarian sumberdaya tanah dan air. Energi dan elektrifikasi pertanian mencakup prinsip-prinsip teknologi energi dan daya serta penerapannya dalam kegiatan pertanian. Lingkungan dan bangunan pertanian mencakup masalah yang berkaitan dengan perencanaan dan konstruksi bangunan khusus untuk keperluan pertanian, termasuk unit penyimpanan tanaman dan peralatan, pusat pengolahan dan sistem pengendalian iklim serta sesuai keadaan lingkungan. Teknik pengolahan pangan dan hasil pertanian, penggunaan mesin untuk menyiapkan hasil pertanian, baik untuk disimpan atau digunakan sebagai bahan pangan atau penggunan lainnya. Perkembangan ilmu sistem pada tahun 1980-an memberikan imbas pada bidang teknik pertanian, dengan berkembangnya ranah sistem dan manajemen mekanisasi pertanian yang merupakan penerapan manajamen dan analisis sistem untuk penerapan mekanisasi pertanian. Perkembangan berikutnya, pada abad ke-20 menuju abad ke-21 berkaitan dengan ilmu komputasi, teknologi pembantu otak dan otot lewat sistem kontrol, sistem pakar, kecerdasan buatan berupa penerapan robot pada sistem pertanian, menjadikan teknik pertanian berkembang menjadi sistem teknik pertanian (Agricultural System Engineering). Objek formal yang berupa kegiatan reproduksi flora dan fauna serta biota akuatik didekati lebih luas lagi sebagai sistem hayati/biologis dengan orientasi pemecahan masalah pertanian secara holistik. Dalam pendekatan ini sumberdaya hayati berupa mikroba/mikroorganisme turut dijadikan objek formal dalam produksi dan peningkatan biomassa. Di beberapa perguruan tinggi di Amerika dan Jepang, program studi atau departemen yang dulu bernama Teknik Pertanian, kini berganti dengan nama Teknik Sistem Biologis (Biological System Engineering).

2. Teknologi Hasil Pertanian/ Teknologi Pangan Bahan pangan sebagai salah satu kebutuhan primer manusia sangat intensif dijadikan kajian sebagai objek formal ilmu teknik dan ditopang dengan tuntutan industri, terutama di negara maju. Kondisi ini melahirkan cabang bidang ilmu teknologi pangan yang merupakan penerapan ilmu-ilmu dasar (kimia, fisika dan mikrobiologi) serta prinsip-prinsip teknik (engineering), ekonomi dan manajemen pada seluruh mata rantai penggarapan bahan pangan dari sejak pemanenan sampai menjadi hidangan. Teknologi pangan merupakan penerapan ilmu dan teknik pada penelitian, produksi, pengolahan, distribusi, penyimpanan pangan beserta pemanfaatannya. Ilmu terapan yang menjadi landasan pengembangan teknologi pangan meliputi ilmu pangan, kimia pangan, mikrobiologi pangan, fisika pangan dan teknik proses. Ilmu pangan merupakan penerapan dasar-dasar biologi, kimia, fisika dan teknik dalam mempelajari sifat-sifat bahan pangan, penyebab kerusakan pangan dan prinsip-prinsip yang mendasari pegolahan pangan. 3. Teknologi Industri Pertanian Teknologi Industri Pertanian didefinisikan sebagai disiplin ilmu terapan yang menitikberatkan pada perencanaan, perancangan, pengembangan, evaluasi suatu sistem terpadu (meliputi manusia, bahan, informasi, peralatan dan energi) pada kegiatan agroindustri untuk mencapai kinerja (efisiensi dan efektivitas) yang optimal. Disiplin ini menerapkan matematika, fisika, kimia/biokimia, ilmu-ilmu sosial ekonomi, prinsip-prinsip dan metodologi dalam menganalisis dan merancang agar mampu memperkirakan dan mengevaluasi hasil yang diperoleh dari sistem terpadu agroindustri. Sebagai paduan dari dua disiplin, teknik proses dan teknik industri dengan objek formalnya adalah pendayagunaan hasil pertanian. Teknologi Industri Pertanian memiliki bidang kajian sebagai berikut : Sistem teknologi proses industri pertanian, yaitu kegiatan pertanian yang berkaitan dengan perencanaan, instalasi dan perbaikan suatu sistem terpadu yang terdiri atas bahan, sumber daya, peralatan dan energi pada pabrik agroindustri. Manajemen industri, yaitu kajian yang berkaitan dengan perencanaan, pengoperasian dan perbaikan suatu sistem terpadu pada permasalahan sistem usaha agroindustri. Teknoekonomi agroindustri, yaitu kajian yang berkaitan dengan perencanaan, analisis dan perumusan kebijakan suatu sistem terpadu pada permasalahan sektor agroindustri.

Manajemen mutu, yaitu penerapan prinsip-prinsip manajemen (perencanaan, penerapan dan perbaikan) pada bahan (dasar dan baku), sistem proses, produk, dan lingkungan untuk mencapai taraf mutu yang ditetapkan. Kegiatan hilir dari pertanian berupa penanganan, pengolahan, distribusi dan pemasaran yang semula secara sederhana dan tercakup dalam teknologi hasil pertanian, berkembang menjadi lebih luas dengan pendekatan dari sistem industri. Berikut adalah contoh artikel yang berkaitan dengan teknologi pertanian Teknologi Pengolahan Tanaman Obat Saat ini industri tanaman pertanian pangan obat tradisional telah berkembang pesat di Indonesia, tetapi pertanian pangan (terutama pada skala teknologi produk industri rumah tangga) apakah produknya sudah optimal dan memenuhi standar mutu? Pada kesempatan ini akan diinformasikan bagaimana teknik pengolahan teknologi pertanian dari beberapa jenis tanaman produk pertanian obat yang baik (jahe, temulawak, kunyit, kencur, sambiloto, pegagan). teknologi pertanian pengolahan sangat berpengaruh terhadap khasiat dariproduk tanaman yang diperoleh. Jika penanganan ataupun pengolahannya tidak benar maka mutu produk yang dihasilkan kurang berkhasiat atau kemungkinan dapat menimbulkan toksik apabila dikonsumsi. Teknik teknologi pangan pengolahan tanaman obat terdiri dari sortasi, pencucian, penjemuran/penirisan, pengirisan /perajangan, dan teknologi pangan lebih lanjut menjadi berbagai produk/diversifikasi produk. Tanaman obat dapat diolah menjadi simplisia, serbuk, minyak atsiri, ekstrak kental/kering, kapsul, tablet dan minuman (sirup, instant, permen) dll. Karakteristik Inovasi Teknologi Penyortiran Penyortiran harus segera dilakukan setelah bahan produk pertanian selesai dipanen, terutama untuk komoditas pertanian pangan temu-temuan, seperti: kunyit, temulawak, jahe dan kencur. Rimpang yang baik dengan yang busuk harus segera dipisahkan juga tanah, pasir maupun gulma yang menempel harus segera dibersihkan.

Pencucian Setelah disortir bahan produk pangan harus segera dicuci sampai bersih jangan dibiarkan tanah berlama-lama menempel pada rimpang karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian harus menggunakan air bersih, seperti : air dari mata air, sumur atau PAM. Cara pencucian dapat dilakukan dengan cara merendam sambil disikat menggunakan sikat yang halus. Perendaman tidak boleh terlalu lama karena zat-zat tertentu yang terdapat dalam bahan dapat larut dalam air sehingga mutu bahan menurun. Penyikatan diperbolehkan karena bahan yang berasal dari rimpang pada umumnya terdapat banyak lekukan sehingga perlu dibantu dengan sikat. Tetapi untuk bahan yang berupa daun-daunan produk pangan cukup dicuci dibak pencucian sampai bersih dan jangan sampai direndam berlama-lama. Penirisan dan Pengeringan Selesai pencucian pertanian pangan rimpang, daun atau herbal ditiriskan dirak-rak pengering. Hal ini dilakukan sampai bahan obat pertanian tidak meneteskan air lagi. Untuk komoditas temu-temuan pengeringan rimpang dilakukan selama 4-6 hari dan cukup didalam ruangan saja. Penyimpanan Jika belum diolah teknologi produk bahan dapat dikemas dengan menggunakan jala plastik, kertas maupun karung goni yang terbuat dari bahan yang tidak beracun/tidak bereaksi dengan bahan yang disimpan. Pada kemasan jangan lupa beri label dan cantumkan nama bahan, bagian tanaman yang digunakan, no/kode produksi, nama/alamat penghasil dan berat bersih. Pengolahan Dalam pengolahan tanaman obat pertanian perlu diperhatikan teknik pengolahan yang baik karena menyangkut standar mutu. Hal ini ada hubungannya dengan masalah kebersihan maupun bahan aktif.

Pemanfaatan Biofertilizer pada Pertanian Organik 1. Peranan Biofertilizer Pertanian organik dapat didefinisikan sebagai sistem pengelolaan produksi pertanian yang holistik yang mendorong dan meningkatkan kesehatan agroekosistem, termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah dengan menekankan dengan penggunaan input dari dalam dan menggunakan cara-cara mekanis, biologis, dan kultural. Dalam sistem pertanian organik masukan (input) dari luar (eksternal) akan di kurangi dengan cara tidak menggunakan pupuk kimia buatan, pestisida dan bahan-bahan sintetis lainnya. Dalam sistem pertanian organik, kekuatan hukum alam yang harmonis dan lestari akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil pertanian sekaligus meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit.

Nasib Pangan dan Produk Pertanian Indonesia Kebijakan perdagangan pemerintah kita telah memurahkan gandum. ltu telah berpengaruh buruk terhadap pangan lokal, seperti sagu, ketela rambat, ketela pohon, jagung. Mungkin tidak ada negara berkembang yang menolak libera-lisasi ''perdagangan, apabila itu dapat mendorong berkembangnya agroindustri, meningkatkan ekspor produk yang melibatkan petani/peternak sempit, harga membaik, produktivitas produk ekspor mening-kat, serta upah riil naik dan tercipta lapangan kerja karena dorongan ekspor. Penelitian intensif yang dilakukan UNDP, FAO dan UNTAC di sejumlah negara berkembang memperlihatkan hasil sebaliknya. Ternyata, negara berkembang semakin sulit mendorong pembangunan pertanian dan perdesaan, serta menciptakan lapangan kerja di era liberalisasi. Itu penyebab eksodus penduduk desa ke kota, pengangguran bertambah dan suburnya kriminalitas. Impor pangan meningkat lebih pesat. Ekspor produk negara berkembang yang umumnya produk primer harganya terus turun. Lebih dari separo devisa (hasil ekspor total dikurangi untuk bayar hutang luar negeri) telah dipakai untuk impor pangan. Diperkirakan 85-90% perdagangan produk pertanian dikontrol 5 MNC (mufti national cor-poration). Sekitar 70% perdagangan serealia dikuasai 2 MNC, yaitu Cargill dan Archer Daniels Midland. Sebagian besar produksi dan perda-gangan pangan dikuasai negara maju dan MNC milik AS dan UE.

Produksi pangan (jumlah maupun jenisnya) semakin terkonsentrasi pada sedikit negara maju, yaitu: AS, UE, Australia, Selandia Baru dan Kanada. Negara berkembang yang eksportir pangan terbatas Argentina, Brasil, Thailan, In-dia, Vietnam, Cina. Negara maju lebih banyak jenis dan ragam pangan yang mereka hasilkan dan ekspor, sebagian besar pangan olahan. Itu dikuasai dari hilir hingga hulu oleh MNCs. Itu sebabnya, produksi pangan semakin menjauhi pasar persaingan. Risikonya, mudah terjadi instabilitas harga dan suplai. Sejumlah negara maju memakai pangan sebagai alat politik, kerap melakukan embargo pangan. Perundingan Putaran Doha WTO yang dimulai akhir 2001 belum berhasil menuju konvergensi. Negara besar, terutama AS, tidak mau mengalah sedikitpun soal penurunan subsidi sektor pertaniannya. Malahan AS tetap meminta agar negara lain, termasuk negara berkembang, harus membuka pasar yang lebih lebar lagi. Negara maju juga didukung oleh lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF untuk menekan negara berkembang dengan berbagai cara. Diantara 20 komoditas yang mendapat subsidi di AS, yang terbesar adalah beras, jagung, kedelai, gandum, kapas. Sebagian besar subsidi itu jatuh ke petani luas dan korporasi. AS mendominasi ekspor produk pangan ke negara berkembang, tiga kali lebih tinggi dari Brasil. Padahal Brasil adalah negara berkembang eksportir produk pertanian terbesar di dunia. Praktek dumping harga produk pertanian umum dilakukan oleh MNC, pangan dijual di bawah ongkos produksi. Akibatnya, petani negara berkembang tidak mampu bersaing. Bukan tidak kompetitif dalam ongkos produksi, tetapi mereka tidak berdaya bersaing dengan Departemen Keuangan AS dan UE. Petani kapas di Afrika Barat dan petani jagung Meksiko jatuh melarat dan terperangkap dengan kemiskinan karena itu. Nasib yang sama dialami petani kedelai, jagung, beras, gula, susu, peternak ayam di banyak negara berkembang. Petani pangan kita juga menerima dampaknya. Indonesia telah menjadi negara pengimpor gandum penting di dunia. Kita mengimpor 5,2 juta ton gandum umumnya melalui MNC, menguras devisa hampir Rp 8 triliun/tahun. Kebijakan perdagangan pemerintah kita telah memurahkan gandum. Itu telah berpengaruh buruk terhadap pangan lokal, seperti sagu, kete-la rambat, ketela pohon, jagung. Pola konsumsi masyarakat kita semakin tergiring menjauhi produk lokal, itu telah menyulitkan

diversifikasi pangan. Disamping itu, Indonesia semakin sutit mendorong peningkatan produksi, terutama membangun agroindustri pangan non-gandum. Pangan impor, terutama gandum kalau tidak mampu dilola dengan baik, itu dapat menghancurkan lapangan kerja, membuyarkan pembangunan agroindustri pangan, serta menambah kemiskinan. Pemerintah terlalu lib-eral terhadap gandum, juga pangan lainnya. Perlindungan tarif hanya ditetapkan 0-5%, sedangkan perlindungan non-tarif tetah lama dihapus, kecuali gula dan beras. Peran pangan dalam negeri bukan hanya mensuplai energi/protein serta serat-seratan buat masyarakatnya, tetapi juga berperan penting dalam atasi kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendorong berkembangnya agro-industri dan pembangunan desa. Pangan impor tidak mampu mensubstitusi pangan lokal secara sempurna, terbatas pada penyelesaian suplai energi. Kebijakan perdagangan haruslah diarahkan untuk mendorong pembangunan pangan dalam negeri, bukan memperlemahkannya. Seharusnya kita tidak perlu terlalu liberal, dampaknya terlalu buruk pembangunan Indonesia.

KESIMPULAN

Teknologi merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pertanian. Tanpa teknologi, pertanian tidak dapat berkembang ke arah yang lebih maju. Teknologi dapat meningkatkan pekerjaannya. produksi pertanian dan mempermudah petani dalam meringankan

DAFTAR PUSTAKA

www.google.com

You might also like