You are on page 1of 17

Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia

1. Pengertian : - Pluralisme Kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain Kondisi masyarakat yang majemuk - Multikulturalisme Sebuah filosofi atau ideology yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status social politik yang sama dalam masyarakat modern. Gambaran kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negera. Berasal dari dua kata, yaitu multi yang berarti banyak atau beragam dan cultural yang berarti budaya atau kebudayaan. Menurut etimologi bererti keragaman budaya. Budaya yang dimaksud adalah semua bagian manusia terhadap kehidupannya yang kemudian akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, dll.

2. MP dalam UU Indonesia Model mutikulturalisme telah digunakan sebagai acuan oleh pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah. Banyak UU dan konstitusi di Indonesia yang mengatur tentang multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia yaitu Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang. Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Negara menjamin hak-hak yang sama kepada seluruh rakyat Indonesia dalam keanekaragaman dan kejamakan bangsa Indonesia.

3. MP di Indonesia Menurut sebagian tokoh di Negara kita, multikulturalisme dan pluralisme yang ditangkap dan diterapkan di Negara kita memiliki pemahaman dan aplikasi yang berbeda-beda pada setiap individunya. Menurut Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Adian Husaini, paham

multikulturalisme dan pluralism merupakan paham yang memberikan keadilan pada setiap orang berbudaya. Adian berpendapat bahwa multikulturalisme dan pluralisme

file:///C:/Users/sendy/Downloads/multi/Information%20retrieval%20%C2%BB%20Blog%20Arch ive%20%C2%BB%20MULTIKULTURALISME%20DAN%20PLURALISME.htm

PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu bangsa yang paling pluralis di dunia. Dengan ribuan pulau yang ada diwilayahnya, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang dihuni maupun yang tidak, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dan Negara dengan latar belakang yang paling beraneka ragam. Dengan sekitar 400 kelompok etnis dan bahasa yang ada dibawah naungannya, Indonesia juga adalah sebuah Negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Kata pluralis berasal dari bahasa Latin plures yang berarti beberapa dengan implilaksi perbedaan. Pluralisme adalah pandangan filosofis yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, tetapi menerima adanya keragaman. Pluralisme meliputi bidang kultural, poitik dan agama. Terhadap pengertian yang bias dengan relativisme ini, tentu saja orang yang beragama tidak dapat menerima sepenuhnya. Oleh karena itu pemahaman yang berbeda terhadap ide pluralisme akan selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh agama. Nurcholis Madjid memaknai : pluralisme sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Alwi Shihab memberikan bebeapa pengertian dan catatan mengenai pluralisme sebagai berikut : Pertama, pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan adanya kemajemukan, tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seseorang baik ditempat kerja, di kampus, maupun di tempat berbelanja. Akan tetapi dengan melihat pengertian yang petama ini, orang tersebut baru dapat dikatakan menyandang sifat pluralis apabila dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, dengan pluralisme tiap pemeluk agama tidak hanya dituntut untuk mengakui keberadaan hak agama Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam lain, tetapi ikut terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas, yang di dalamnya berbagai ragam agama, ras, dan bangsa, hidup secara berdampingan di sebuah lokasi. Namun demikian tidak terjadi interaksi positif antar penduduk lokasi tersebut, khususnya di bidang agama. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Implikasi dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar dan semua agama adalah sama. Ke-empat, pluralisme

agama bukanlah sinkretisme, yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsurunsur tertentu dari berbagai ajaran agama. PEMBAHASAN A. Pengertian Pluralisme Pluralisme memiliki pengertian Majemuk asal kata dari plural lebih dari satu atau dapat di artikan plural itu adalah jamak. Secara istilah kita bisa merujuk pada tokoh muslim Nusantara Cak Nur menurut beliau pluralisme adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompokkelompok tersebut. Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng] pluralism adalah : In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation. Atau dalam bahasa Indonesia : Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan). B. Kontroversi Pluralisme Agama a) Pro pluralisme para cendikiawan muslim Indonesia telah terlibat dalam sejumlah diskursus tentang Islam dan pluralisme. Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), yang berarti cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusian universal, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa cita-cita keislaman sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu pokok ajaran Islam. Oleh karena itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat. Dengan kata lain diperlukan sistem yang menguntungkan semua pihak, termasuk mereka yang non-muslim. Hal ini papar Nurcholis sejalan dengan watak inklusif Islam. Indonesia. Menurutnya, pandangan ini telah memperolah dukungan dalam sejarah awal Islam. Nurcholis menyadari bahwa masarakat Indonsesia sangat pluralistik dari segi entnis, adat-istiadat, dan agama. Dari segi agama, selain Islam, realitas menunjukan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembanag subur dan terwakili

aspirasinya di Indonesia. Oleh sebab itu masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Nurcholis optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan. Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan aspirasi terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan (comon platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragamaan, aliran politik dan keagaman, sejak zaman pra kemerdekaan sampai sesudahnya. Nurcholis melihat ideologi negara Pancasilalah yang telah member kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralism keagamaan. Sementara itu Abdurrahman Wahid juga melihat hubungan antara Islam dengan pluralisme dalam konteks manifestasi universalisme dalam kosmopolitanisme ajaran Islam. Menurutnya, Islam ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme. Adalah lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar tersebut adalah : (1) Keselamatan Fisik warganegara (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, (3) Keselamatan keluarga dan keturunan, (4) Keselamatan harta benda dan milik pribadi, dan (5) Keselamatan profesi. Dalam konteks masayarakat Indonesia yang pluralistik ini, Abdurrahman mengharapkan agar cita-cita untuk menjadikan Islam dan umat Islam sebagai pemberi warna tunggal bagi kehidupan masyarakat disamping. Ia juga menolak jika Islam djadikan alternatif terhadap kesadaran berbangsa yang telah begitu kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat Islam sebaiknya menempatkan ciri sebagai faktor komplementer, dan bukan mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian format perjuangan Islam pada akhirnya partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan. Tujuan akhinya adalah mengfungsikan Islam sebagai kekuatan integrative dalam kehidupan berbangsa. b) Kontra pluralis Berbeda dengan dua tokoh di atas, yang melihat pergumulan Islam dengan pluralisme dalam perspekktif substansi ajaran Islam, Kuntowijoyo lebih mengaitkannya dengan setting sosial budaya. Bagi Kunto peradaban Islam itu sendiri merupakan sistem yang terbuka. Artinya peradaban Islam menjadi subur di tengah pluralis budaya dan peradaban dunia. Meskipun demikian peradaban dan kebudayaan Islam juga bersifat orsinil dan otentik, yang mempunyai ciri dan kepribadian tersendiri. Kunto berpendapat bahwa umat Islam dapat menerima aspekaspek positif dari ideologi atau paham apapun, tetapi pada saat yang sama, perlu didasari bahwa Islam itu otentik, memiliki kepribadian yang utuh dan sistem tersendiri. Dalam konsteks

Indonesia, Kunto berpendapat bahwa umat Islam, terutama cendikiawannya, harus dapat memadukan kepentingan nasioanal dan kepentinagan Islam. Kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, Kunto menawarkan dua persoalan untuk dicermati, yaitu solidaritas antar agama dan pluralisme positif. Mengenai solidaritas, ada dua tahap yang menentukan kemajuan dalam hubungan antar agama, yaitu dari kerukunan menuju kerja sama. Kemajuan itu adalaah dari inward looking (meliahat ke dalam) ke outward looking (melihat keluar). Setelah adanya rangkaian kesalahpahaman di antara pemeluk-pemeluk agama di Indonesia, pada waktu menteri agama dijabat oleh Mukti Ali (1970). Istilah kerukunan antar umat beragama mulai digulirkan. Sejak saat itu terjadi perdebaatan mengenai makna dan praktek toleransi, apakah toleransi itu dikenakan kepada mayoritas atau minoritas. Kesimpulan di atas kertas selalu kedua-duanya, tatapi di lapangan, kerukunan tidak pernah terjadi. Ketakutan akan Kristenisasi di daerah Islam dan Isalmiasasi di daerah kristen saling menghantui kedua belah pihak, dan ini tidak menguntungan bagi upaya menciptakan kerukunan. Pada tahun 1970-1990 kerukunan tidak pernah terjadi dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi ,menurut Kunto,karena masing-masing agama melihat ke dalam (inward lokking). Solidaritas yag betul-betul terjadi pada tahun 1990-an, dengan tema baru, bukan lagi dialog antar agama, tetapi out ward looking yaitu memikirkan bersama bangsa ini. Itulah yang terjadi dalam forum-forum cendekiawan umat beagama. Pluralisme positif adalah kaidah bersama yang ditawarkan Kunto dalam hubungan antar agama. Kaidah ini diperlukan agar tidak terjadi hubungan berdasarkan prasangka. Kaidahnya adalah bahwa (1) selain agama sendiri ada agama lain yang harus dihormati (pluralisme), dan (2) masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya. Pluralisme menjadi negative apabila orang mengumpamakan agama seperti baju, yang dapat diganti-ganti semaunya. Pluralisme positiflah yang dipraktekkan Rasul di Madinah. Senada dengan Kuntowijoyo, Alwi Sihab menyatakan bahwa apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka harus ada satu syarat, yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berintraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar, dan menghormati mitra dialognya, tetapi juga harus commited terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap demikianlah kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika. C. Pluralisme Agama Dalam Islam Makna pluralisme kini lebih menyempit pada pluralism agama, untuk itu penulis ingin memaparkan pandangan Islam terhadap pluralisme agama.sebuah organisasi swadaya masyarakat yang fatwanya memberikan kontribusnyai cukup memukau dalam beberapa p[ermasalhan Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah menyatakan bahwa paham Pluralisme Agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme Agama, yang juga Mustasyar NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI

tersebut dan menyimpulkan bahwa Pluralisme Agama memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agamaagama lain. D. Penutup Akhirnya kedewasaanlah yang memimpin semua ini agar apa yang di cita-citakan bersama dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih baik lagi, dapat terwujud dengan sempurna sesuai pancasila dan kontrak social yang telah di tentukan baersama. file:///C:/Users/sendy/Downloads/multi/Islam%20dan%20Pluralisme%20di%20Indonesia.htm

MULTIKULTURALISME SEBUAH PERJUANGAN PANJANG BANGSA INDONESIA

Latar Belakang Secara umum, kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaanperbedaan horisontal, seperti yang lazim kita jumpai pada perbedaan suku, ras, bahasa, adatistiadat, dan agama. Namun, juga terdapat perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui prestasi (achievement). Indikasi perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi permukiman. Sedangkan perbedaan horisontal diterima sebagai warisan, yang diketahui kemudian bukan faktor utama dalam insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Suku tertentu bukan dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan etnik. Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan vertikal, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain perebutan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik dan ideologi, serta perluasan batas-batas identitas sosial budaya dari sekelompok etnik.

Sumber Konflik Berbeda dengan perbedaan horisontal, perbedaan vertikal diasumsikan sebagai faktor yang menentukan tercetusnya konflik sosial. Karena status sosial dan ekonomi serta kedudukan politik signifikan dalam setiap interaksi sosial antara kelompok-kelompok etnik. Apakah interaksi sosial tersebut akan bersifat positif atau negatif, sangat ditentukan oleh kadar perbedaan-perbedaan vertikal di antara kelompok-kelompok etnik. Dan bukan dari perbedaanperbedaan horisontal, sebagaimana yang banyak diyakini selama ini.

Semakin tinggi posisi politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik, akan semakin kuat menimbulkan prasangka (stereotipe negatif) yang menjadi sumber ketegangan dan konflik antarkelompok etnik. Apalagi kalau mengacu konsep dominatif yang lebih menekankan pada aspek kualitatif daripada aspek kuantitatifnya. Di mana suatu kelompok etnik minoritas juga berpeluang memiliki peran dominatif, jika kelompok tersebut secara substansial menguasai struktur politik atau ekonomi di daerah (negara) tertentu. Sehingga dari pola interaksi sosial yang demikian itu bisa mengimplikasikan perbedaanperbedaan yang semakin kompleks, baik secara horisontal maupun vertikal. Yang selanjutnya, sangat efektif sebagai sumber ketegangan. Perbedaan-perbedaan yang kompleks itu, secara empirik terbukti pada kasus ketegangan dan konflik sosial yang menyangkut minoritas etnik Cina di Indonesia. Meski minoritas, tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka menguasai pusat-pusat perdagangan. Dalam mengatasi konflik sosial dalam masyarakat majemuk, jangan terpaku hanya pada perbedaan-perbedaan horisontal yang ada. Artinya dalam menghindari atau meminimalkan konflik hanya dengan mengatasi masalah perbedaan aspek-aspek sosial budayanya. Seperti penyatuan kelompok-kelompok sosial yang berbeda, dengan mengangkat pernik-pernik budaya daerah menjadi identitas nasional. Atau gerakan pergantian nama dalam masyarakat Cina, memasyarakatkan batik sebagai identitas nasional. Atau dengan penataran untuk menanamkan norma-norma bersama yang mengatur tingkah-laku, bagaimana menjadi warga negara Indonesia yang baik. Tetapi hendaknya menaruh perhatian yang lebih pada pemecahan masalah-masalah persaingan dalam memperebutkan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi-politik. Kenyataan di lapangan seperti kasus insiden Maliana di Timor Timur menunjukkan, bahwa sebelum terjadinya perluasan daerah batas-batas wilayah sosial ekonomi suku pendatang (umumnya beragama Islam dan Protestan), hubungan antara individu yang beridentitas Katolik dengan nonKatolik semasa kolonial cukup harmonis dan menghormati keyakinan masingmasing. Jadi secara hipotesis dapat disimpulkan, bahwa sumber konflik sosial antara berbagai etnik atau golongan bukan didominasi oleh perbedaan horisontal. Tetapi yang lebih menonjol disebabkan oleh faktor perbedaan-perbedaan vertikal. Karena interaksi dalam perbedaan vertikal antaretnik (suku) dan golongan lebih berdimensi kalah-menang, bermuara pada munculnya kekuatan yang mendominasi dan yang didominasi. Kemudian terjadi ketidakseimbangan, prasangka dan ketegangan. Dan apabila tidak segera diantisipasi, maka kondisi itu sangat rentan dimanfaatkan oleh mereka yang tak bertanggung jawab untuk memicu konflik sosial dan kerusuhan massal.

Dari Masyarakat Majemuk ke Multikultural Landasan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk (plural society) sudah saatnya dikaji kembali. Ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang

demokratis. Untuk mencapai tujuan demokratisasi, ideologi harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme. Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, terdiri atas suku-suku bangsa, yang baik langsung maupun tidak langsung, dipaksa bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri individu. Ada sentimen-sentimen kesukubangsaan yang memiliki potensi pemecah-belah dan penghancuran di antara sesama bangsa Indonesia. Antara lain karena masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka, yang menghasilkan penjenjangan sosial secara primordial yang subyektif. Konflik antaretnik dan antaragama yang terjadi, berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang. Konflik-konflik itu terjadi, karena adanya pengaktifan jatidiri etnik untuk solidaritas memperebutkan sumberdaya yang ada. Dari hasil penelitian Dr. Parsudi Suparlan[1] di Kalimantan dan Maluku ditemukan, karena ideologi keetnikan dan pengaktifan jatidiri etnik. Seperti yang terjadi di Sambas, preman Madura yang mengawali konflik dianggap mewakili suku Madura, sehingga konflik berkembang menjadi konflik antaretnik. Demikian pula yang terjadi di Ambon, di mana bentrokan antara penduduk Ambon dengan penduduk Buton Bugis Makassar, menjadi konflik antaragama. Akhirnya menunjukkan, bahwa masyarakat majemuk tidak pernah menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis, melainkan berpotensi otoriter dan despotis, karena corak etniknya yang beraneka-ragam, dari feodalistis dan paternalistis sampai etnosentris. Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman etnik perlu dikaji dan digeser pada pluralisme budaya (multikulturalisme), yang mencakup tidak hanya kebudayaan etnik, tetapi juga berbagai kebudayaan lokal yang ada di Indonesia, dan harus dibarengi kebijakan politik nasional yang meletakkan berbagai budaya itu dalam kesetaraan derajat. Sehingga tidak ada lagi etnik yang merasa superior atau inferior, sebab tiada jenjang sosial karena asal etnik.

Indonesia Baru Berbasis Multukultural Prinsip demokrasi hanya mungkin hidup dan berkembang secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka (open society), yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan derajat kemanusiaan yang saling menghormati, dan diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Masyarakat terbuka adalah suatu masyarakat yang membuka diri bagi pembaharuan dan perbaikan. Zen (1998) menambahkan, harus ada suatu built in mechanism untuk self-renewal and self-rejuvenation. Masyarakat terbuka itu harus berorientasi ke depan, selalu mempertimbangkan globalisasi yang membawa serta kemajuan teknologi, dan berpijak pada

kenyataan, bahwa kita mendiami suatu Benua Maritim Indonesia serta aspirasi bangsa yang tertuang dalam nasionalisme baru yang menghargai pluralitas budaya (multikultural). Dalam menyikapi pluralitas bangsa, pendekatan sentralistik dan totalitarian harus ditinggalkan. Sikap yang melihat perubahan (change), ketidakpastian (indeterminancy) dan ketidakberaturan (disorder) sebagai sesuatu yang menakutkan, sudah masanya ditinggalkan. Cara-cara pengendalian melalui pendekatan keamanan, keseragaman, keberaturan total sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Dikotomi konsep keteraturan-kekacauan, kesatuan-separatisme, integrasi-disintegrasi, keseragaman-keanekaragaman, sentralisasi-desentralisasi, homogenitas-heterogenitas yang mewarnai kehidupan sosial, harus dicarikan sintesis baru, sehingga dapat mendorong daya kreativitas sosial. Selama ini kita membebani hidup kita dengan berbagai ketakutan: kekacauan yang tidak dapat dipahami, keanekaragaman yang tidak dapat disatukan, turbulensi yang tidak dapat dikendalikan, chaos yang tidak dapat diperkirakan. Padahal keberaturan dan ketidakberaturan adalah dua hal yang saling mengisi. Melenyapkan ketidakberaturan berarti melenyapkan daya perubahan dan kreativitas. Dunia chaos adalah dunia yang selalu dipenuhi energi kegelisahan. Kebudayaan yang tidak gelisah adalah kebudayaan yang telah mati. Kegelisahan untuk bertumbuh inilah yang harus ditanamkan pada setiap komponen bangsa yang plural ini (daerah, suku, agama, ras). Otonomi daerah dapat diberikan pemaknaan, tidak saja kebebasan daerah untuk menentukan dirinya sendiri, tetapi juga kebebasan dalam membangun garis-garis penghubung atau garis-garis dialogis (dialogic lines) antardaerah. Garis-garis penghubung itu sangat dinamis dan kompleks, yang memungkinkan kita mengembara dalam kemungkinan teritorial dan makna baru yang kaya. Di mana dimungkinkan terjadinya dialog budaya antaretnik, sehingga tercapai suatu transformasi dan akulturasi budaya yang memberikan nilai tambah bagi pengkayaan budaya Indonesia Baru nanti. Oleh sebab itu, setiap komponen bangsa harus merupakan sistem terbuka (open system). Artinya, harus selalu mengantisipasi tantangan dan pengaruh dari luar dirinya, baik terhadap tantangan regional maupun global. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan untuk merasa, kemampuan berempati, dan kemampuan pemahaman, sebagai inti dari prinsip dialogis [2].

Catatan Akhir Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru, maka idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya harus berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun berada dalam satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Maka, Indonesia Baru yang kita citakan itu, hendaknya ditegakkan dengan menggeser masyarakat majemuk menjadi masyarakat multikultural, dengan mengedepankan keBhinnekaan sebagai strategi integrasi nasional. Namun, jangan sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat

yang sebaliknya: sebuah konflik yang berkepanjangan. Harus disadari, bahwa merubah masyarakat majemuk ke multukultural itu merupakan perjuangan panjang yang berkelanjutan.

Bandung, 26 April 2008

KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, file:///C:/Users/sendy/Downloads/multi/11.htm

Multikulturalisme Indonesia: Jawaban terhadap Kemajemukan Tulisan pendek ini mencoba membuka diskusi tentang tema multikulturalisme dalam sebuah percakapan yang menghadapkan identitas sebagai sebuah spesfitas budaya dan kebutuhan untuk menghadirkan integrasi sosial yang memungkinkan kelompok etnis dan budaya yang beragam itu dapat membangun sebuah kehidupan bersama yang lebih masuk akal dalam sebuah negara bangsa Indonesia. Multikulturalisme dan Nasionalisme Indonesia Sebagai sebuah terminologi, multikulturalisme kadang agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus pada dua hal yang berbeda: realitas dan etika, atau praktik dan ajaran. Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif yang berkelanjutan. Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya, semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik. Dalam masyarakat-masyarakat yang memiliki kesempatan untuk berevolusi melalui perubahan sosial yang panjang dan bersifat gradual, multikulturalisme (dengan nama yang sama atau yang lain) sering merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang terjadi. Dengan kata lain, sejarah yang panjang telah menghasilkan sebuah tatanan kolektif yang memungkinkan di satu pihak keragaman mendapatkan ruang untuk berkembang dan di pihak lain memungkinkan integrasi sosial di tingkat yang lebih tinggi dapat terpelihara. Dalam masyarakat semacam ini, multikulturalisme adalah hasil dari sebuah logika yang dibangun dari realitas sebuah masyarakat majemuk. Kebanyakan masyarakat Barat jatuh dalam kategori ini. Amerika adalah contoh sebuah masyarakat yang menemukan logika meltingpot sebagai jawaban atas kemajemukan. Logika ini tidak dibangun pertama-tama dari gagasan

ideal, tetapi dibangun dari sebuah keniscayaan sosial. Alhasil, melting-potmultikulturalisme ala Amerikaadalah sebuah nilai yang melembaga bersama-sama dengan nilai-nilai penting masyarakat Amerika lainnya. Dalam ekspresi mereka, multikulturalisme adalah jawaban kepada kebutuhan bagi terjaminnya prinsip the freedom of expression. Di Australia, dengan sejarah yang sedikit berbeda, multikulturalisme memperoleh tempat yang penting sebagai institusi sosial yang memperkuat demokrasi dan komitmen warga negara terhadap Australia. Di kebanyakan belahan dunia yang lain, dalam mana sebagian besar dari mereka adalah bangsabangsa bekas jajahan yang terdiri atas kelompok-kelompok etnik dan budaya yang sangat majemuk itu, multikulturalisme adalah sebuah gagasan yang diperjuangkan. Bahkan, lebih dini dari itu, kebanyakan negeri-negeri yang relatif muda usia ini, harus berjuang terlebih dahulu dengan gagasan nasionalisme. Gagasan nasionalisme negeri-negeri yang pada umumnya memperoleh kemerdekaannya setelah Perang Dunia Kedua ini, dibangun melalui kesadaran para pemimpinnya akan sebuah kepercayaan bahwa sebuah negeri yang amat majemuk, sering kali terdiri atas puluhan bahkan ratusan kelompok etnis, hanya mungkin dipersatukan dengan ikrar yang meneguhkan persatuan sebagai dasar untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Di Indonesia, kesadadaran semacam itu sangat jelas terlihat. Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun satu jua) adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Dalam prinsipnya, etika ini meneguhkan pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain pada tercapainya cita-cita akan kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia. Pada tempat inilah, penafsiran pada nasionalisme Indonesia semestinya memperhatikan dua elemen dasar itu secara sekaligus. Ikatan kebangsaan yang semata-mata didasarkan pada nilainilai kemakmuran (yang bersifat material itu) dan keadilan (yang bersifat spiritual itu) tidak akan mampu menjawab persoalan tentang bagaimana kemajemukan itu hendak dikelola dalam proses pencapaian tujuan bersama yang mulia itu. Pencapaian tujuan bersama jelas merupakan sebuah proses yang tidak saja kompleks secara ekonomi dan politik tetapi juga sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan secara sosial dan budaya. Bangsa semajemuk Indonesia jelas memerlukan lebih dari itu. Nasionalisme Indonesia yang hanya mendasarkan pada elemen pertama, yakni pengikatan diri pada cita-cita bersama akan kemakmuran dan keadilan, senantiasa akan terancam karena mudah dirongrong oleh persepsi tentang kegagalan kolektif kita dalam pencapaian tujuan bersama itu. Di samping itu, nasionalisme yang melulu dibangun pada janji sebuah kehidupan bersama yang lebih baik itu, mudah lapuk karena kemajemukan itu sendiri menawarkan ketegangan yang inheren. Dalam gagasan pokok semacam inilah, penafsiran atas akar nasionalisme Indonesia itu selayaknya juga memberi dasar bagi sebuah kesadaran kolektif untuk mengembangkan dan membangun sebuah pendekatan yang memungkinkan keragaman etnik dan kultural itu justru menjadi kekuatan bangsa ini untuk melanjutkan pencapaian cita-citanya.

Artikel ini memuat dan menawarkan gagasan multikulturalisme berikut penjelasan yang melatarbelakanginya sebagai ajaran tentang common culture yang memberi ruang bagi pencapaian dua kebutuhan sekaligus. Yakni, terpeliharanya kemajemukan dan integrasi sosial di tingkat masyarakat dan persatuan yang berkelanjutan di tingkat bangsa guna pencapaian citacita bersama sebagai sebuah nation. Tujuan utama dari artikel ini adalah menyemaikan nilainilai dan prinsip-prinsip dasar yang diperlukan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mejemuk ini dalam habitat sosial yang sedang berubah di tengah-tengah pergumulan kehidupan kolektif di tingkat lokal, regional, nasional, dan global. Sebagai sebuah karya persembahan untuk bangsa, artikel ini dimaksudkan untuk memicu dan menggerakkan perbincangan yang lebih mendalam tentang multikulturalisme sebagai pijakan bersama guna pencapaian cita-cita nasional yang menjadi landasan dari negara bangsa Indonesia (Indonesian Nation-State) yang sama-sama kita miliki dan cintai ini. Sebagai sebuah etika, multilulturalisme memang harus diperjuangkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Nasionalisme Indonesia. Multikulturalisme sebagai Alternatif Dalam pandangan saya, multikulturalismedidefinisikan oleh banyak kalangan sebagai sebagai sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lainadalah sebuah tema yang relatif baru dibicarakan di negeri ini. Sebagai sebuah tema, multikulturalisme dibicarakan umumnya dalam kerangka mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasangagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat majemuk di Indonesia ini dapat dikembangkan dalam sebuah konsepsi masyarakat warna-warni yang tidak saja berciri partisipatoris namun juga emansipatoris. Jelas, semangat dasar awalnya adalah mencoba menggugat pertanyaan pokok tentang bagaimana kelompok-kelompok etnik (yang lokal itu) dan budaya (yang partikular itu) itu semestinya memposisikan dirinya ke dalam sebuah kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat nasional yang dikelilingi oleh nilai-nilai universal (seperti demokrasi, keadilan, persamaan, dan kemerdekaan) dan, bahkan akhir-akhir ini, dalam sebuah tataran global yang menyelimuti sebuah perubahan besar. Dengan kata lain, bagaimanakah kelompok-kelompok etnik dan budaya yang berbeda denominasinya itu di satu pihak memiliki kesanggupan untuk memelihara identitas kelompoknya dan di pihak lain mampu berinteraksi dalam ruang bersama yang ditandai oleh kesediaan untuk menerima pluralisme dan toleransi (mengakui dan menghormati perbedaan). Lebih jelas lagi, bagaimanakah, misalnya, kelompok-kelompok etnik Pidie, Mandailing, Minang, Betawi, Sunda, Jawa, Cina, Bali, Manggarai, Ambon, Manado, Serui, yang beragama Islam, Hindu, Khong Hu Cu, Budha, Kristen, Katolik, atau yang beraliran kepercayaan Pangestu, itu semua, mampu hidup berdampingan dalam sebuah habitat sosial yang di satu pihak memberi tempat bagi terpeliharanya identitas lokal dan kepercayaan partikularnya masing-masing, dan di pihak lain memberi kesempatan bagi sebuah proses terjadinya integrasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi di tingkat nasional dan global.

Memang, ihwal itu bukan hal sederhana. Ketidaksederhanaan perkaranya pertama-tama terletak pada masalah bagaimanakah kesadaran bersama itu dibangunkan dalam sebuah ruang yang di samping memberikan kebebasan untuk melakukan interpretasi yang serba-ragam juga mengundang elemen-elemen yang berbeda itu untuk menemukan kebutuhan bersama bagi sebuah integrasi di tingkat yang lebih tinggi. Kedua, proses itu tidak terjadi dalam ruang yang terisolasi dari persoalan-persoalan ketidakmerataan, bahkan ketidakadilan, tentang bagaimana sumber-sumber politik dan ekonomi itu dialokasikan dan didistribusikan dalam masyarakat nasional dan internasional. Ketiga, perubahan yang berlangsung di tataran global mendiktekan agenda-agenda politik dan ekonomi baru yang mempersempit kesempatan kita untuk mendefiniskan kembali gagasan-gagasan dasar tentang negara (serba-) bangsa (the idea of Indonesian [multi-) nation-state) tanpa meingindahkan gagasan-gagasan dan praktik-praktik materialisame-rasional yang dibawa serta oleh ekonomi pasar global. Saya tidak sedang mengatakan bahwa usaha mempromosikan multikulturalisme di Indonesia adalah sebuah langkah yang muskil. Saya, sebaliknya, sedang mengatakan multikulturalisme merupakan sebuah agenda besar bersama kita yang tidak saja perlu dan penting, tetapi juga merupakan satu-satunya jawaban atas kegagalan kita di masa lalu mengelola masyarakat majemuk di Indonesia. Walaupun begitu, saya juga ingin mengatakan bahwa ihwal yang kita sedang hadapi dalam mendefiniskan, menyepakati, mempromosikan, dan melembagakan multikulturalisme adalah sebuah proses yang sepenuhnya harus dipahami sebagai agenda yang asli baru dalam wacana politik-budaya di Indonesia. Dalam pengertian ini, multikulturalisme jelas harus bersaing dengan pendekatan Asimilasi (di negeri ini juga dikenal dengan nama populer Pembauran) dan bahkan mungkin juga dengan pendekatan Integrasi yang pada masa lalu dipromosikan oleh eksponen BAPPERKI. Dalam pandangan kritis saya, pendekatan Asimiliasi berangkat dari kesadaran tipologis tentang (yang) asli dan (yang) asing. Asumsi yang dipakai dalam tipologi ini adalah yang asli harus dilindingi dari yang asing karena kepercayaan bahwa yang disebut terakhir itu memiliki potensi mengancam yang pertama. Itu sebabnya pendekatan Asimilasi mendiktekan sebuah strategi budaya yang mendorong yang asing membaur dengan yang asli. Harus dikatakan di sini, walaupun secara teoritis yang disebut dengan yang asing itu berlaku untuk semua yang tidak asli, dalam kenyataannya wacana itu terutama diarahkan pada kelompok etnis Cina. Tidak heran apabila pendekatan Asimilasi ini dituduh tidak hanya berbau xenophobia tetapi juga rasis. Di samping itu, sebenarnya terdapat masalah yang rumit dalam definisi tentang asli dan asing di negeri kepulauan ini yang selama berabad-abad sebelumnya menerima migrasi dari berbagai bangsa. Sementara itu, pendekatan Integrasi, menurut saya, tidak cukup lengkap menjawab kebutuhan masyarakat meajemuk di negeri ini. Salah satu alasan utamanya adalah, pendekatan ini jelas dimaksudkan pada awalnya sebagai reaksi penolakan sebagian kelompok etnis Cina terhadap gagasan pembauran. Saya tidak menampik pada gagasan dasarnya yang menuntutkan penerimaan dan perlakukan yang sama terhadap kelompok etnis Cina di Indonesiase-sama seperti yang diterima oleh kelompok-kelompok etnis lainnya (baik yang asli maupun yang asing lainnya seperti kelompok etnis Arab atau yang setengah aslisetengah asing seperti kaum Indo).

Tidak ada penolakan saya sedikitpun tentang gagasan itu. Yang saya kira tidak memadai dari pendekatan integrasi itu adalah tidak hadirnya konsepsi masyarakat yang dibangun atas ciri kemejemukan yang partisipatoris dan emansipatoris. Selain itu, pendekatan integrasi berkesan memfokuskan perhatiannya pada hubungan di antara etnis Cina dan Bumiputera daripada terutama pada hubungan antar-etnis yang beragam di negeri ini termasuk etnis Cina. Dalam keyakinan saya, sebagai sebuah pendekatan politik budaya, multikulturalisme menawarkan hadirnya realitas ganda atau (dual-reality) atau bahkan realitas ragam (multyreality) sekaligus: kebedaan-kemiripan (differences-similarities), keragaman-kesatuan (diversity-unity), identitas-integrasi (identity-integration), lokalitas/partikularitas-universalitas (locality/particularity-universality), nasionalitas-globalitas (nationality-globality). Dalam konstruksi seperti itu, multikulturalisme memfasilitasi pemahaman yang lebih baik dan mengeliminasi ketegangan dikotomis tentang realitas ganda atau ragam di sekitar etnisitas dan budaya. Jelas, multikulturalisme tidak atau tidak pernah dimaksudkan untuk menghilangkan kekhususan (specifity) dari sebuah ciri etnik atau budaya; tidak juga dimaksudkan untuk meleburnya ke dalam sebuah keumuman (generality). Dengan definisi seperti ini, multikulturalisme dalam pandangan saya adalah, sebuah formasi sosial yang membukakan jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi identitas yang beragam dan sekaligus jembatan yang menghubungkan ruang-ruang itu untuk sebuah integrasi. Pendekatan Pro-Eksistensi dalam Multikulturalisme di Indonesia Mempromosikan multikulturalisme, karena itu, bukan sekedar langkah menyuguhkan warnawarni identitas. Tetapi, pertama-tama, membangun kesadaran tentang pentingnya kelompokkelompok etnis dan budaya itu memiliki kemampuan untuk berinteraksi dalam ruang bersama. Kata kunci dari pendekatan ini terletak pada usaha yang lebih sistematis untuk menyertakan pendekatan struktural politik dan ekonomi dalam proses itu. Ini berarti bahwa multikulturalisme di negeri ini membutuhkan pengintegrasian pendekatan lainnya selain budaya untuk memungkinkan tema-tema yang relevan di sekitar keadilan dan persamaan dapat menjadi faktor yang ikut memperkuat multikulturalisme. Ini juga berarti, pendekatan yang menekankan prinsip ko-eksistensi (co-existence) sebagai dasar multikulturalisme tidaklah dapat dianggap cukup. Akan gantinya, kita membutuhkan pendekatan yang lebih jauh dari itu, yakni sebuah pendekatan yang menggeser prinsip ko-eksistensi ke arah pro-eksistensi (pro-existence). Prinsip pro-eksistensi ini ditandai tidak saja oleh hadirnya kualitas hidup berdampingan secara damai, tetapi juga oleh kesadaran untuk ikut menjadi bagian dari usaha memecahkan masalah yang dihadapi oleh kelompok lain. Karena itu, pro-eksistensi menghendaki diakhirinya kebisuan (silence) dan pembiaran (ignorance) atas nasib kelompok lain. Dengan kata lain, pro-eksistensi mensyaratkan juga prinsip inklusi, bukan eksklusi (inclusion not exclusion). Kualitas semacam ini diperlukan untuk memungkinkan kelompokkelompok yang berbeda itu memiliki kebutuhan untuk menghasilkan integrasi di samping identitas lokal dan partikular yang serba-ragam itu. Di tingkat global, multikulturalisme menghadapi ancaman yang berbeda. Apabila di tingkat negara bangsa multikulturalisme diperlukan untuk mengelola identitas etnik dan kultural yang serba-ragam itu, di tingkat global kecenderungan yang sebaliknya justru sedang terjadi.

Globalisasi menghasilkan kecenderungan monokulturalisme yang terutama didorong oleh proses-proses dan praktik-praktik material-rasional yang dibawa oleh ekonomi pasar global. Walaupun di atas permukaan teknologi informasi tampak secara ramai mendorong terjadinya pertukaran budaya (cultural exchange), di antaranya melalui prinsip peminjaman (borrowing) dan sampai batas-batas tertentu sinkretisme, yang sesungguhnya terjadi tidak lebih dari usaha penegasan budaya dominan di atas yang lain. Konsep Other dipakai untuk membangun sebuah struktur hirarki budaya dominan-marjinal, moderen-etnik, global-lokal. Jelas, ini bukan multikulturalisme yang partisipatoris dan emansipatoris. Struktur hirarki budaya semacam ini hanya ingin mengukuhkan superioritas yang disebut pertama (dominan-moderen-global) atas yang terakhir (marjinal-etnik-lokal). Yang disebut terakhir dihadirkan sebagai bentuk ekspresi eksotisme komunitas etnik yang lokal, mungkin sekaligus partikular, sebagai kontras dari rasionalitas modernitas global. Walaupun pembicaraan tentang tema ini merupakan arena yang berbeda dari yang kita bicarakan sebelumnya, dalam pandangan saya, sangat penting untuk memperhatikan apa yang saya sebut sebagai perangkap budaya globalisasi. Multikulturalisme global yang sedang terjadi dapat membuat kita terasing pada dua hal sekaligus: terasing dari habitat kita sendiri dan dari dunia yang mengelilingi kita . Perangkap ini dapat membuat kita terkecoh karena multikulturalisme yang dalam asasnya tak berbeda dengan pendekatan Asimilasi yang kita bicarakan tadi itu justru mengakibatkan terjadinya proses dislokasi, disorientasi, disafiliasi, dan disintegrasi. Di tengah globalisasi, isolasi memang bukan jawaban atas perkara itu. Dunia sedang berubah dan selalu memang begitu. Perubahan yang saat ini sedang terjadi menjadi lain dari perubahanperubahan sebelumnya karena konsepsi tentang identitas tidak lagi dapat dikurung dalam ruang hampa. Globalisasi membuat kesadaran etnik dan budaya menjadi serba absurd. Relativitas menjadikan identitas tidak mudah dikonstruksikan oleh proses-proses budaya yang otonom. Karena itu, multikulturalisme, baik di tingkat nasional maupun global, membutuhkan redefinisi atas kehidupan bersama. Juga, reposisi dan renegosiasi atas cara kita memberi makna atas prinsip-prinsi keadilan dan persamaan. Dalam keyakinan multikulturalisme saya, yang kita butuhkan bukan monokulturalisme tetapi multikulturalisme; bukan pembauran tetapi pambaruan; bukan ko-eksistensi tetapi pro-eksistensi; bukan eksklusi tetapi inklusi; bukan separasi tetapi interaksi. Bukan juga kemajemukan demi kemajemukan, atau kemajemukan sekedar warnawarni, tetapi kemajemukan yang dibangun di atas landasan multikuturalisme yang emansipatorik. Oleh : Daniel Sparringa, Universitas Airlangga Komunitas Indonesia untuk Demokrasi file:///C:/Users/sendy/Downloads/multi/comments.php.htm

Banyak orang kini pesimis tentang Indonesia. Banyak yang tidak berbangga hati menjadi warga Indonesia. Memang, arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat. Pengaruh globalisasi telah membuat masyarakat kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Rasa nasionalisme

seolah semakin memudar. Dengan kondisi seperti ini apa yang harus dilakukan agar masyarakat kembali berbangga hidup di Republik Indonesia? Banyak diantara kita yang tidak menyadari bahwa kita hidup dalam pluralisme dan multikulturalisme, apalagi dalam konteks dinamika sosial-kulturalnya. Dalam kondisi seperti ini, hal yang paling menakutkan adalah lumpuhnya semangat nasionalisme, hancurnya savereighty dan territorial integrity kita serta terpinggirkannya ideologi ber-Pancasila. Imperialisme baru seperti di atas yang siap menerkam Indonesia dengan mendikte pola pikir kita, ungkapkan Prof Sri Edi Swasono, ketika menjadi pembicara dalam Seminar dan Dialog Kebangsaan, Memperingati 83 Tahun Sumpah Pemuda, dengan Tema Menemukan Kembali Republik Indonesia Kita, yang diselenggarakan Forum Komunikasi Kader Bangsa, di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Kamis (27/10). Disinilah Pancasila berfungsi sebagai pemersatu bagi pluralisme dan multikulturalisme. Artinya kita masing-masing saling berbeda-beda namun satu dalam kebersamaan cita-cita dan paham bernegara sebagai sesama wargangara. Oleh karena itu Pancasila adalah asas bersama yang tunggal bagi seluruh warganegara yang bhineka, yang menjadikannya identitas bangsa ini. Adalah ada benarnya bila kita menegakan Pancasila di samping merupakan nilai budaya, identitas bangsa, filsafat negara, dan ideologi nasional, Pancasila merupakan platform nasional yang dengan penuh toleransi diterima semua agama sebagai konsensus nasional. Pancasila adalah paham pemersatu sekaligus kebijakan nasional untuk mempertahankan persatuan nasional, jelas Sri Edi. Untuk itulah, lanjut Sri, hal yang perlu dilakukan, pertama kita harus bisa mempertebal rasa kebangsaan kita sebagai Bangsa Indonesia. Caranya dengan mengungkap kebesaran, kejayaan, kedigdayaan masa lampau serta sekaligus mengungkap kembali betapa kita mampu merebut kembali kemerdekaan dari penjajah. Itulah kebanggaan nasional yang membuat kita mampu berjalan tegak, tidak tunduk dan membungkuk, katanya. Kedua, pendidikan nasional kita harus bertumpu pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan demikian cinta tanah air menjadi dasar dan subtansi proses nation and character building. Ketiga, kita harus mampu proaktif mendisain wujud globalisasi. Berarti kita harus menjadi bangsa yang digdaya, mampu membedakan antara modernisasi dengan westernisasi, mampu menolak segala dominasi mancanegara yang mengakibatkan kita tersubordinasi. Untuk itulak kita harus memiliki metastrategi yang jelas dan tegas, ujarnya. Keempat, doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyaaatan harus memberi warna pada setiap kebijakan nasional dan produk perundang-undangan. Kita harus menjadi tuan di negeri sendiri dan tahta hanyalah untuk rakyat. Kelima, para pemimpin di badan-badan negara harus mampu menjadi panutan bagi masyarakat. Keenam, pemerintah harus mampu mengatasi ketimpangan antara daerah terutama kemiskinan dan penangguran. Ketujuh, otonomi daerah tidak boleh berubah makna menjadi eksklusivutisme atau isolasionalisme kedaerahan. Dan kedelapan, media massa harus ikut beranggungjawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika ke-8 hal itu dilakukan, maka eksistensi dan pelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan terus terjaga, tandasnya.

Perekat Persatuan Hal senada juga diungkapkan Dr. Asvi Warman Adam. Ahli peneliti utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI ini juga mengakui eksistensi dari Pancasila sebagai pemersatu atau perekat persatuan Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia saat ini sedang membutuhkan eksestensi Pancasila. Hal itu muncul ketika disintegrasi bangsa begitu kuatnya menghantam Indonesia, ungkapnya. Dan hanya dengan mengembangkan ideologi Pancasila-lah persatuan dan kesatuan bangsa ini kembali direkatkan. Untuk itulah perlunya dilakukan kembali sosialisasi Pancasila. Pancasila harus kembali menjadi dasar kebijakan dari pemimpin. Karena hanya Pancasila-lah satu-satunya konsep unggul pemersatu bangsa, tegas Asvi. Untuk itulah, tambah DR. Ir. Siswono Yudho Husodo, dalam arus perubahan yang berjalan sangat cepat ini, nilai-nilai luhur Pancasila harus terus menerus direvitalisasi, agar selaliu sesuai dengan tuntutan zaman, agar dapat menjadi pemandu perilaku dan aktivitas semua elemen bangsa. Revitalisasi Pancasila ini tambah Siswono, perlu menekankan pada orientasi ideologi yang mewujudkan kemajuan yang pesat, peningkatan kesejahteraan yang tinggi, dan persatuan yang mantap dari seluruh rakyat Indonesia. Dan hanya dengan pencapaian-pencapaian itu pancasila akan semakin menjadi pegangan hidup seluruh rakyat. Kita harus memahami Pancasila dalam perspektif ini. Penerapannya untuk kini dan masa depan, dan jangan terjebak pada perdebatan kajian masa lalu, dan jangan terjebak pada retorika, tandasnya. Rum

file:///C:/Users/sendy/Downloads/multi/index.php.htm

You might also like