You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Dalam karyanya yang terkenal yaitu De Ligibus Cicero mengatakan Ubi Societas Ibi ius, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dalam lingkungan masyarakat seperti apapun pasti ada hukum dengan corak dan bentuk yang sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat tersebut. Thimasef juga mengatakan dalam masyarakat yang primitip pun pasti ada hukum.

Hukum berfungsi sebagai pedoman untuk setiap orang dalam bertingkah laku. Hukum bisa dikatakan sebagai rule of conduct for men behavior in a society serta merupakan the normative of the state and its citizen. Sebagai sebuah system hukum dapat berfungsi sebagai control social (as a tool of social control), sebagai sarana penyelesaian konflik (dispute settlement) dan untuk memperbaharui masyarakat.

Roscou Pound secara komprehensif mengatakan bahwa hukum berfungsi memenuhi berbagai kepentingan yaitu kepentingan individu (individual interest), kepentingan penyelenggara Negara (public interest) dan kepentingan masyarakat (social interest). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai sarana kepentingan penyelenggara kekeuasaan Negara atau pemerintah (power instrument)

Berbagai kepentingan masyarakat yang sudah diatur oleh hukum, secara ideal seharusnya tidak terjadi lagi ketidakadilan, perampasan hak atau perbuatan sewenangwenang, baik oleh individu atau oleh Negara. Tatanan kehidupan masyarakat sejatinya tidak akan terganggu, tetapi ternyata dorongan untuk melakukan kejahatan sudah ada sejak penciptaan manusia di bumi. Pelanggaran terhadap norma hukum tersebut berakibat keseimbangan dalam masyarakat terganggu dan pemulihan kondisi masyarakat harus dilakukan melalui perangkat hukum berupa sanksi (pidana) dalam pelanggaran hukum public dan sanksi dalam bidang hukum lainnya. Sanksi pidana dalam hukum pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi kejahatan, dan peran sanksi pidana dalam menanggulangi kejahatan merupakan perdebatan yang telah berlangsung beratus-ratus tahun.

Penanggulnagn kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri (the oldest philosophi of crime control). Persoalan penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan telah menciptakan dua kubu yang saling bertentangan.

Pandangan pertama mengatakan tidak setuju penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan dengan alasan pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban manusia di masa lalu ( a vestige of our savage post). Pandangan ini mendasarkan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atu pengenaan penderitaan yang kejam.

Pandangan kedua adalah pendapat yang setuju penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan. Misalnya Ruslan Saleh mengemukakan tiga alasan perlunya sanksi pidana, pertama sasaran yang ingin dicapai tidak melalui paksaan, kedua untuk adanya usaha perbaikan bagi si terhukum dan ketiga sebagai bahan I,tibar bagi orang yang belum melakukan pelangaran hukum untuk tidak melakukannya.

Alf Ross termasuk yang tidak setuju penghapusan sanksi pidana. Dia mengemukakan sanksi pidana penting untuk pemberian penderitaan bagi pelaku dan

sanksi pidana merupakan pernyataan pencelaan dari masyarakat/Negara terhadap perbuatan pelaku. Paralel dengan pendapat Alf Ross adalah pendapat Herbert Packer yang mengatakan masyarakat masih perlu adanya sanksi pidana, kemudian sanksi pidana diperlukan sebagai sarana untuk menghadapi ancaman dari bahaya kejahatan dan sanksi pidana merupakan penjamin sekaligus pengancam bagi kehidupan masyarakat.

Kejahatan pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan tersebut tidak hanya terjadi pada secara kuantitas namun juga secara kualitas. Pidana sebagai alat terakhir dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan diharapkan dapat berfungsi secara maksimal untuk melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan. Berfungsinya hukum dalam hal ini hukum pidana, sangat dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat tempat bekerjanya hukum tersebut. Selain itu penggunaan pidana yang sesuai sebagai sarana penanggulangan kejahatan juga berpengaruh pada naik-turunnya angka kejahatan yang berpengaruh juga pada kesejahteraan masyarakat.

Usaha mencegah kejahatan adalah bagian dari politik kriminal, politik kriminal ini dapat diartikan dalam arti sempit, lebih luas dan paling luas. Sudarto menjelaskan: 1. Dalam arti sempit politik kriminal itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanngaran hukum yang berupa pidana. 2. Dalam arti lebih luas ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. 3. Sedang dalam arti yang paling luas ia merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan normanorma sentral dari masyarakat.

Penegakan norma sentral ini dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan tersebut.

Sudarto juga mengemukakan definisi singkat mengenai politik criminal yang berarti: Suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Defisnisi ini diambil dari definisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai the rational organization of the control of crime by society. Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia yang dikutip oleh Moempoeni mengatakan: Politik hukum merupakan legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan, kedua pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain penal policy, Criminal law policy atau strafrechtspolitiek. Berkaitan dengan itu dalam kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah politik dalam 3 (tiga) batasan pengertian yaitu: a. pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti: sistem pemerintahan, dasardasar pemerintahan); b. segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya); c. cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah),

kebijaksanaan.

Politik hukum pidana merupakan bagian yang yang saling terkait antara politik kriminal dan politik sosial (social policy) dalam kebijakan yang lebih luas. Politik kriminal merupakan suatu upaya penanggulangan kejahatan dengan perumusan suatu kebijakan baik melalui hukum pidana maupun di luar hukum pidana. Sudarto membagi politik kriminal ini dalam arti sempit, lebih luas dan paling luas.

Dalam arti sempit politik kriminal itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelangaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti lebih luas politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; sedang dalam arti yang paling luas ia merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Dengan demikian kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal law policy (strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung makna baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.

TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah : 1. merupakan tugas Individu dari dosen Mata Kuliah Politik Hukum Pidana sebagai referensi dan pengetahuan bagi teman teman mengenai

penanggulangan kejahatan dari sudut pandang Politik Hukum Pidana. 2. Dan merupakan sebagai nilai tambah dari dosen dalam Mata Kuliah Politik Hukum Pidana 3. Untuk mengetahui apakah pidana badan dapat (cukup beralasan) digunakan sebagai alternatif sarana kebijakan Hukum Pidana Nasional dalam

penanggulangan kejahatan.

METODE PENULISAN

Dalam makalah ini saya selaku penulis menggunakan metode membaca dari beberapa sumber referensi baik dari buku buku maupun browsing di internet yang menunjang sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai dengan petunjuk penulisan yang terdapat pada format penulisan makalah Unila. BAB I (Pendahuluan) : Latar belakang masalah, Tujuan, Metode, dan Manfaat penulisan BAB II (Isi) BAB III (Penutup) : Permasalahan dan Pembahasan : Penyelesaian masalah dan Kesimpulan

MANFAAT PENULISAN

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai tugas individu bagi mahasiswa yang mengikuti kuliah minat pidana yaitu Poliyik Hukum Pidana untuk mendapatkan nilai tambah dari makalah ini. Bagi para dosen dapat menjadi acuan ataupun bahan referensi dalam mengajar kuliah Poliyik Hukum Pidana.

Bagi pembaca adalah sebagai sumber pengetahuan mengenai penanggulangan kejahatan dipandang dari sudut pandang Politik Hukum Pidana.

BAB II ISI
PERMASALAHAN

1. Bagaimana pemberian sanksi yang tepat dalam penanggulangan kejahatan yang

2. 3. 4. 5. 6.

terjadi selama ini ? Saat ini jenis sanksi apa saja yang terdapat dalam KUHP? Apakah hubungan Politik Hukum Pidana dengan penanggulangan kejahatan? Faktor apakah yang membatasi hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan? Apakah terdapat keuntungan dari pidana penjara dalam penanggulangan kejahatan? Apakah strategi yang harus dilakukan pemerintah dalam penanggulangan kejahatan?

7. Bagaimana cara penanggulangan kejahatan menggunakan Hukum Pidana?

PEMBAHASAN

1. Pemberian sanksi yang tepat Dalam pemberian saksi pidana, pemberian macam-macam pidana badan, biasanya dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera secara langsung agar si pelaku tidak melakukan pelanggaran untuk yang kedua kalinya. Efek langsung yang ditimbulkan bisa berupa rasa sakit ataupun rasa malu, jika pidana tersebut dilakukan di depan khalayak ramai sebagai pelajaran baik terhadap pelaku (efek malu) dan rasa takut bagi

masyarakat ataupun calon pelaku lainya untuk tidak melakukan hal serupa. Hal di atas sesuai dengan teori pemidanaan teori relatif (teori tujuan pemidanaan). Teori ini berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat dan dalam menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Dalam teori ini pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai 3 macam sifat, yaitu: a. Bersifat menakut-nakuti. b. Bersifat memperbaiki. c. Bersifat membinasakan.

Sedangkan sifat Pencegahan dari teori Relatif ini ada 2 macam, yaitu:

a) Teori Pencegahan Umum (General Preventive). Paham teori ini adalah pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar masyarakat menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat, agar masyarakat umum tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Menurut teori ini juga untuk mencapai dan mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan, maka pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan dimuka umum. Penganut teori ini, Seneca yang berpandangan bahwa: Supaya khalayak ramai dapat menjadi takut untuk melakukan kejahatan, maka perlu dibuat pidana yang ganas dengan eksekusinya yang sangat kejam dan dilakukan di muka umum, agar setiap orang mengetahuinya, sehingga penjahat yang dipidana itu dijadikan tontonan orang banyak dan dari apa yang dilihatnya inilah yang akan membuat semua orang takut untuk berbuat serupa. Cara tersebut di atas adalah untuk menakut-nakuti orang-orang (umum) agar tidak berbuat serupa dengan penjahat yang dipidana itu.

b) Pencegahan Khusus. Tujuan pidana menurut Teori Relatif yang bersifat Pencegahan Khusus adalah untuk mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada 3 macam yaitu: 1) Menakut-nakuti. 2) Memperbaikinya. 3) Membikinya menjadi tidak

2. Jenis sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP yang dapat menanggulangi kejahatan Jenis-jenis pidana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP adalah: a. Pidana Pokok 1) Pidana Mati; 2) Pidana Penjara; 3) Pidana Kurungan; dan, 4) Pidana Denda.

b. Pidana Tambahan: 1) Pencabutan beberapa hak tertentu; 2) Perampasan barang tertentu; dan, 3) Pengumuman keputusan hakim Ditambah dengan pidana tutupan sebagai pidana pokok (UU No 20 Tahun 1946).

3. Hubungan Politik Hukum Pidana dengan Penanggulangan Kejahatan Kebijakan Politik Hukum Pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan;

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui; 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Dengan demikian kebijakan Politik Hukum Pidana berkaitan dengan proses penegakan&penanggulangan kejahatan dalam hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasifungsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana.

Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan. 1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana; 2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi mayarakat; 3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana; 4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai bagian dari politik kriminal, pada dasarnya merupakan upaya yang rasional untuk menunjang dan mencapai kesejahteraan sosial (social welfare) dan pertahanan sosial (social defence). Dengan demikian, digunakannya hukum pidana sebagai salah satu sarana politik kriminal dan sarana politik sosial, dimaksudkan untuk melindungi kepentingan dan nilai-nilai sosial tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial. Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-sara yang diusulkan dan denangan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati.

4. Faktor yang membatasi hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan

Fenomena yang ada sekarang kebanyakan produk perundang-undangan yang tidak termasuk bidang hukum pidana pun hampir selalu mencantumkan sanksi pidana dengan maksud menakut-nakuti atau mengamankan berbagai macam kejahatan yang timbul padahal hukum pidana mempunyai keterbatasan.

Keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan disebabkan 1. kejahatan itu timbul oleh faktor lain diluar jangkauan hukum pidana, 2. keterbatasan tersebut disebabkan juga oleh sifat/hakikat sanksi dan fungsi hukum pidana itu sendiri. Sanksi pidana selama ini bukanlah obat untuk mengatasai sebab-sebab penyakit tetapi sekedar mengatasi gejala/akibat dari penyakit. 3. kebijakan yang berorientasi kepada dipidananya pelaku sangat salah karena sanksi pidana berarti diarahkan pada tujuan mencegah agar orang tidak melakukan tindak pidana dan bukan mencegah agar kejahatan itu tidak terjadi. 4. keterbatasan jenis sanksi pidana dan perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperative sehingga hakim tidak mempunyai pilihan. 5. lemahnya sarana pendukung.

5. Keuntungan dari pidana penjara

Kecenderungan yang terjadi sekarang ini adalah pidana penjara terbatas yaitu terpidana hanya menjalani sebagian pidana di lembaga pemasyarakatan sebagian lagi di jalani di luar lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan. Gagasannya adalah

mengembangkan jenis pidana yang dapat mewujudkan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.

Ada keuntungan yang dapat diperoleh dari pengembangan pidana penjara terbatas 1. memberi dasar otoritasi kepada penegak hukum untuk lebih mengefektifkan pidana yang mengandung sifat non costudial. 2. memebri kesan kepada masyarakat dan pelaku bahwa jenis pidana ini sama sekali bukan pidana. 3. memberi kejutan, goncangan atau sentakan kepada pelaku tentang kehidupan penjara.

6. Strategi yang harus dilakukan pemerintah dalam penanggulangan kejahatan

Strategi dasar penanggulangan kejahatan 1. meniadakan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan. 2. harus ditempuh dengan pendekatan integral misalnya keterpaduan antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan kebijakan pembangunan,

keterpaduan antara treatment of offender, treatment of victim dan treatment of society. Keterpaduan antara individual responsibility dan functional

responsibility, keterpaduan antara legal system dan extra legal system dan keterpaduan antara pendekatan kebijakan dan kebijakan nilai 3. pembenahan kualitas aparat penegak hokum.

4. 5.

pembenahan manajemen data. peningkatan kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam rangka memperkokoh the rule of law dan management of criminal justice

7. Cara penanggulangan kejahatan menggunakan Hukum Pidana

Sesuai dengan topik makalah ini, maka pembicaran selanjutnya perlu difokuskan pada aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan, atau dengan meminjam

kerangkan pikir Barda Nawawi di atas adalah kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dengan sanksinya berupa pidana. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan memang tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya sarana yang berdiri sendiri, sebab hal ini barulah satu sisi saja dalam politik kriminal. Pada khakekatnya kegiatan tersebut bagian dari poiktik sosial yang lebih luas. Oleh karena itu jika ingin menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan harus diperhatikan kaitannya secara integral antara politik kriminal dengan politik sosial, dan integralitas antara sarana penal dan non penal (Arif, 1996:4; Muladi, 1995:8) Dalil ini secara tidak langsung juga mengisyaratkan, bahwa tidak selarasnya politik sosial secara makro, apakah itu dibidang sosial, ekonomi maupun politik akan sangat berpengaruh terhadap optimalisasi fungsi hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan, haruslah dilakukan melalui proses sistematik, melalui apa yang disebut sebagai penegakan hukum pidana dalam arti luas, yaitu penegakan hukum pidana dilihat

sebagai suatu proses kebijakan, yang pada khakekatnya merupakan penegakan kebijakan yang melawati beberapa tahapan sebagai berikut (Muladi, 1995:13): 1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum inabstrakto oleh badan pembuat undang-undang, disebut juga sebagai tahap kebijakan legeslatif. 2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai Pengadilan, disbut juga sebagai tahap kebijakan yudukatif. 3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukuman pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan ekskutif atau administratif. Dalam artian yang sempit, maka tahap kebijakan kedua dan ketiga biasanya disebut sebagai kegiatan penegakan hukum (law Enforcement) Dengan memperhatikan tahapan penggunaan hukum pidana tersebut, maka pertamatama yang perlu dipertanyakan adalah, apakah telah ada dibuat aturannya? Jika kejahatan dibatasi pada konsep hukum, maka jawabnya sudah jelas, yaitu apa yang dikatakan kejahatan adalah telah tersedia aturannya, sehingga yang diperlukan kemudian adalah penerapannya terhadap pelanggar aturan tersebut. Akan tetapi jika kita mengunakan kejahatan dalam konsep sosial, maka teramat banyak perbuatan yang oleh masyarakat benar-benar dirasakan sebagai kejakahatan, namun sampai saat ini belum diadakan peraturannya, mulai perbuatan yang ada di sekitar kita sehari-hari, seperti: pelacuran, hubungan seksual antar muda-mudi yang belum menikah, terlebih lagi yang berkaitan dengan kelompok kejahatan White Collar Crime, Organized Crime, dan Victimless Crime. Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana caranya agar secepatnya dapat dirumuskan aturan mengenai berbagai kejahatan itu, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai sarana untuk

menangulanginya. Pengunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan dalam implementasinya dilaksanakan melalui mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu suatu

sistem

yang

melibatkan

Kepolisian,

Kejaksaan,

Pengadilan,

dan

Lembaga

Pemasayarakatan. Tujuan dari sistem ini adalah berupa : 1) resosialisasi (jangka pendek); 2) penanggulangan kejahatan (jangka menengah), dan 3) kesejahtraan sosial (jangka panjang). Sistem ini mendapat imput berupa kejahatan dari masyarakat, dan nantinya setelah melalui proses peradilan pidana akan dikembalikan lagi pada masyarakat (out put). Dengan demikian peran masyarakat menjadi penting di sini. Karena kejahatan itu muncul (diproduksi) oleh masyarakat, maka masyarakat juga harus ikut bertanggung jawab dalam pengembaliaannya pada lingkungan masyarakatnya. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana : 1. Kepolisian 2. Kejaksaan 3. Pengadilan 4. Lapas Dari alur kebijakan penggunaan hukum pidana sebagai sarana dalam

penanggulangan kejahatan, kiranya sudah jelas tahapan dan mekanisme penerapannya. Persoalannya adalah apakah selama ini upaya ini sudah benar-benar dijalankan? Pertanyaan ini kiranya masuk akal sebab jika diperhatikan jumlah dan jenis-jenis kejahatan yang masuk dalam sistem peradilan pidana ternyata sangat jauh

kesenjangannya di banding kejadian nyata dalam masyarakat. Ibarat sebuah gunung es, yang terlihat hanya puncaknya saja. Mengapa hal ini terus menerus tejadi? Hal ini

perlu dikomunikasikan kepada masyarakat, karena jika tidak dapat menjadi bumerang terhadap tingkat kepercayaan masyarakat kepada sistem peradilan pidana.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Penanggulangan kejahatan perlu dilakukan dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta keterpaduan antara upaya penaggulangan secara penal, yaitu dengan cara menggunakan hukum (pidana), maupun pendekatan non penal (cara lain selain menggunakan hukum pidana, yang lebih bersifat kuratif dan preventif). Penggunaan hukum, khususnya hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan, barulah satu sisi saja dalam totalitas sarana penanggulangan kejahatan yang seharusnya dijalankan. Selain itu masih banyak sarana yang juga harus difungsikan secara optimal, terpadu dan sinergis. Konsep pencegahan dini misalnya. Yang intinya dengan menggunakan hukum mengontrol perilaku anak untuk tidak terperosok ke dalam perilaku kriminal. Misalnya melalui serangkaian kebijakan legislasi, yang juga dapat dilakukan oleh pemerintah Daerah di era otonomi ini. Membuat Peraturan Daerah Kebijakan seperti ini memang hasilnya tidak kelihatan langsung, namun meski perlahan jelas hasilnya. Sisi lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah konsep imunisasi kriminal. Yang intinya melatih mentalitas diri anak untuk tidak mudah terjangkit virus kriminal. Operasionalisasi konsep ini akan lebih efektif lagi jika diintegrasikan dengan

pendekatan relegius. Karena dalam Agama Islam, misalnya dikatakan solat itu dapat mencegah berbuatan keji dan mungkar.

SARAN

Semestinya prinsip-prinsip penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan harus menjadi acuan yaitu 1. hukum pidana jangan digunakan untuk semata-mata pembalasan 2. hukum pidana jangan dipergunakan utnuk menghukum perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan. 3. hukum pidana jangan digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang dapat diatasi oleh sarana lain yang lebih ringan. 4. jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari sanksi pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari tindak pidana itu sendiri. 5. larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah 6. hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.

kita harus mendiskusikan hal ini lebih mendalam, bagaimana dengan kesiapan berbagai komponen yang diperlukan dalam penegakan hukum itu satu persatu. Mana yang sudah siap harusnya dioptimalkan, dan mana yang belum untuk dapat dicari jalan keluarnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://ediunisba.multiply.com/journal/item/2?&show_interstitial =1&u=%2Fjournal%2Fitem 2. http://www.infodiknas.com/106penanggulangan-kejahatandalam-prespektif-kebijakan-hukum-pidana/ 3. www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8404/ 4. Firganefi. 1998. Politik Hukum Pidana.Fakultas Hukum Unila. Bandar Lampung 5. Surbekti. Tjitrosudibyo. 1992. Kitab Undang-undang. Hukum Pidana. PT Pradnya Paramita. Jakarta

You might also like