You are on page 1of 17

teknik pembenihan udang windu

By BADARUSZAMAN email: badaruszaman_akil@yahoo.com KOMUNITAS BLOGGER UNIVERSITAS SRIWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Perikanan merupakan salah satu sumber devisa negara yang sangat potensial. Pengembangan budidaya air payau di Indonesia untuk waktu yang akan datang sangat penting bagi pembangunan di sektor perikanan serta merupakan salah satu prioritas yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan di sektor perikanan. Udang windu (Penaeus monodon Fab.) merupakan komoditas unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara dari eksport nonmigas. Berbagai upaya telah dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu. Salah satu diantaranya adalah penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 1986. Semakin kurangnya ketersediaan induk dan benih udang windu di laut ditambah adanya Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang larangan penggunaan pukat harimau (trawl) menyebabkan semakin turunnya produksi udang hasil tangkapan, sehingga produksi udang dari hasil budidaya harus ditingkatkan. Telah disadari bahwa peningkatan produksi udang melalui budidaya tersebut hanya dapat dicapai bila disuplai faktor-faktor produksi, khususnya benih udang dapat terjamin sepenuhnya. Pengembangan teknik-teknik pembenihan udang windu harus terus dilakukan untuk menunjang kegiatan budidaya udang windu. Perkembangan budidaya udang windu sendiri telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini didukung oleh usaha budidaya yang intensif dengan teknologi yang sudah dikuasai, harga yang tinggi dipasar lokal maupun internasional dan peluang yang luas. Hal ini membuat udang windu menjadi komoditas harapan bagi para pengusaha sehingga banyak yang berani menanamkan modal dalam bisnis udang windu ini. Guna menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan (hatchery) udang windu. Usaha pembenihan udang ini berkembang pesat setelah ditemukannya teknik ablasi mata yaitu teknik usaha untuk mempercepat kematangan gonad dengan cara merusak sistem syaraf tertentu yang terdapat dalam tubuh udang. Bagian tubuh udang yang dirusak adalah bagian mata sebab pada tubuh udang mata selain berfungsi sebagai alat penglihatan juga merupakan tempat syaraf yang diantaranya sangat berpengaruh dalam proses perkembangbiakan. Dengan teknik tersebut maka masalah penyediaan induk matang telur dapat diatasi dan seluruh siklus hidup udang dapat diusahakan dalam lingkungan yang terkontrol. Keberhasilan usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada akhirnya akan mendukung usaha penyediaan benih udang windu yang berkualitas. Hal inilah yang mendorong penulis melaksanakan kerja praktek tentang teknik pembenihan udang windu agar nantinya hasil dari kerja praktek ini dapat diterapkan guna membantu ketersedian bibit udang windu untuk budi daya. I.2. Tujuan Kerja Praktek ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui teknik pembenihan udang windu (Penaeus monodon). 2. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan. 3. Menambah pengalaman yang riil di lapangan. 4. Pemenuhan persyaratan akademik. I.3. Manfaat Setelah melaksanakan praktek kerja lapang, diharapkan mahasiswa : >> Dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh selama kuliah. >> Mempedalam materi tentang teknikpembenihan udang windu selama kegiatan Kerja Praktek (KP). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) Soetomo (2000) menyatakan udang windu diklasifikasikan sebagai berikut Kingdom : Animalia Phyllum : Arthropoda Class : Malacostraca Ordo : Decapoda Family : Panaeidae

Genus : Penaeus Species : Penaeus monodon Fabricus Dalam dunia internasional, udang windu dikenal dengan nama black tiger, tiger shrimp atau tiger prawn. Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (Penaeus monodon Fab.) terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala-dada) disebut cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor di bagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, Sedangkan bagian perut terdiri atas segmen dan 1 telson. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula (Suyanto dan Mujiman, 1994). Morfologi udang windu selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.1. dibawah ini: Gambar 2.1 Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapas) yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman, 1994). Udang betina lebih cepat tumbuh daripada udang jantan, sehingga pada umur yang sama tubuh udang betina lebih besar daripada udang jantan (Soetomo, 2000). 2.1.1 Ciri-ciri Induk Jantan dan Betina Perbedaan alat kelamin induk jantan dan induk betina dapat dilihat dari sisi bawah (ventral) udang tersebut. Alat kelamin betina bernama thelicum dan terletak di antara dasar sepasang kaki jalan atau periopoda yang berfungsi untuk menyimpan sperma. (Soetomo, 2000). Alat kelamin udang betina dapat dilihat pada Gambar 2.2 Gambar 2.2. Alat Kelamin Udang Betina Di bagian kepala sampai dada terdapat anggota-anggota tubuh lainnya yang berpasang-pasangan. Berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennula), sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat-alat pembantu rahang (maxilla) dan kaki jalan (pereiopoda). Di bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda). Ujung ruas ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus) (Suyanto dan Mudjiman, 1994). Udang jantan biasanya lebih besar, tubuh langsing, ruang bawah perut sempit, sedangkan udang betina gemuk karena ruang perutnya membesar. (Soetomo, 2000). Alat kelamin jantan disebut petasma yang terdapat pada pangkal periopoda kelima, sedangkan alat kelamin betina disebut thelicum yang terdapat pada pangkal periopoda ketiga (Suyanto dan Mudjiman, 1994). Gambar 2.3. Alat Kelamin Udang Jantan 2.2. Reproduksi Toro dan Soegiarto (1979) mengemukakan bahwa udang penaeid termasuk hewan yang heteroseksual yaitu mempunyai jenis kelamin jantan dan betina yang masing-masing terpisah. Perkawinan udang terjadi di laut bebas dengan jalan merapatkan perutnya (ventral) masing-masing. Udang jantan biasanya lebih agresif dibanding betina, perkawinan terjadi setelah betina mengganti kulit (moulting), udang jantan tertarik kepada betina karena adanya hormon ektokrin yang keluar secara eksternal yaitu pada saat telur dikeluarkan melalui saluran telur (oviduk). Martidjo (2003) menyatakan udang windu memiliki lima tingkat kematangan gonad. Langkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel .2.1. Tingkat kematangan gonad udang windu. Kematangan Gonad Ciri – Ciri TKG I Merupakan tingkat belum matang, ovari (kandungan telur) tipis, bening tidak berwarna dan terdapat pada abdomen. TKG II Merupakan tingkat kematangan awal, ovari membesar, bagian depan dan tengah mengembang. TKG III Merupakan tingkat kematangan lanjutan, ovari berwarna hijau muda, dapat dilihat dari eksoskeleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh. TKG IV Tingkat keempat matang telur, ovari berwarna hijau tua, ovari lebih besar. TKG V Telur sudah dilepaskan (spent) Tingkat kematangan gonad udang dapat dilihat pada gambar 2. 4. Gambar 2.4. Tingkat Kematangan Gonad Udang. Untuk udang jantan kematangan gonad ditentukan oleh perkembangan petasma yang sempurna dan biasanya mengandung spermatophora. Dari tingkatan-tingkatan diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri induk udang betina yang matang gonad adalah jika telahmemasuki TKG III yaitu pada saat tingkat kematangan lanjutan, ovari berwarna hijau muda, dapat dilihat dari eksoskeleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh. Pemijahan di alam terjadi sepanjang tahun dengan puncak-puncak tertentu pada awal dan akhir musim penghujan. Penurunan kadar garam pada awal dan kenaikan pada akhir musim penghujan dibarengi dengan perubahan suhu yang mendadak diduga memberi rangsangan pada induk yang matang telur untuk memijah. Pada saat inilah benur dapat ditangkap pada jumlah yang besar. Sedangkan pada pembenihan buatan prinsipnya diperlukan induk betina matang telur yang sudah dikawini oleh udang jantan di dalam bak peneluran atau didalam bak larva. Langkah

berikutnya adalah menetaskan telur dan memelihara larva dari hasil tetasan tersebut sampai mencapai tingkat post larva umur 5-10 hari (Prawidihardjo et al. dalam Poernomo, 1976). Telur yang telah dibuahi menetas menjadi nauplius berukuran 0,31-0,33 mm dan pada stadia ini terjadi pergantian kulit sebanyak 6 kali. Zoea dengan bentuk badan lurus ukuran 1,2-2,5 mm, mysis berukuran 3,5-4,56 mm dan post larva berukuran 5 mm (Poernomo, 1976). 2.3. Habitat dan Penyebaran Amri (2003) menyatakan bahwa habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dari persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang windu bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah. Udang windu juga bersifat benthik, hidup pada permukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 meter dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur. Toro dan Soegiarto (1979) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan habitat udang, hal ini ditandai oleh perpaduan antara tekstur dasar perairan hutan mangrove (berlumpur) dengan sistem perakaran vegetasi penyusun hutan mangrove, terlebih-lebih larva dan udang muda yang kondisinya masih lemah, akan berlindung dari serangan arus dan aliran air yang deras serta terhindar dari binatang pemangsa. Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri dalam lumpur atau menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang tidak sesuai. Ketidakesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman, 1994). 2.4. Makanan dan Kebiasaan Makan Udang windu bersifat omnivor, pemakan detritus dan sisa-sisa organik baik hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkunagnnya, tidak besifat terlalu memilih-milih (Dall dalam Toro dan Soegiarto, 1979). Sedang pada tingkat mysis, makanannya berupa campuran diatome, zooplankton seperti balanus, veligere, copepod dan trehophora (Vilalez dalam Poernomo, 1976). Udang windu merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan zooplankton). Udang windu dewasa menyukai daging binatang lunak atau moluska (kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing Polychaeta, dan crustacea. Dalam usaha budidaya, udang windu mendapatkan makanan alami yang tumbuh di tambak, yaitu klekap, lumut, plankton, dan benthos. Udang windu akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan (Soetomo, 2000). 2.5. Daur Hidup Motoh (1981) dalam Nurdjana (1988) membagi daur hidup udang windu menjadi enam tahap, yaitu sebagai berikut: Tahap embrio Dimulai pada saat pembuahan sampai penetasan. Tahap larva Terdiri dari stadia nauplius, zoea, mysis dan post larva. Akhir dari tahap ini ditandai oleh ruas abdomen ke enam yang lebih panjang dari panjang cangkang dan warna tubuh yang transparan yang ditutupi oleh pita berwarna coklat gelap memanjang dari pangkal antenna hingga telson. Tahap juvenil Pada stadia awal ditandai oleh warna tubuh yang transparan dengan pita coklat gelap di bagian sentral. Tahap ini ditandai dengan fluktuasi perbandingan, ukuran tubuh mulai stabil, yang berarti telah menginjak tahap udang muda. Tahap udang muda Pada tahap ini proporsi ukuran tubuh mulai stabil dan tumbuh tanda-tanda seksual dimana alat kelamin pada udang windu jantan yaitu petasma mulai terlihat setelah panjang cangkang 30 mm, sedangkan pada betina thelicum mulai terlihat setelah panjang cangkang mencapi 37 mm Tahap sub adult Ditandai dengan adanya kematangan seksual Tahap dewasa Udang windu dewasa ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna. Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada pasangan ampula terminalis dan pada udang betina mempunyai ovoctus yang telah berkembang di dalam ovariumnya. Udang windu daur hidupnya mempunyai beberapa tahap. Tahap pertama dimulai sejak udang tumbuh menjadi dewasa dan matang gonad dan bergerak kelaut dalam. Disini udang akan melakukan perkawinan, memijah dan bertelur. Telur akan menets dan berkembang menjadi larva, nauplius, protozoea dan mysis. Kemudian tahap kedua dimulai dengan perubahan mysis menjadi post larva yang mulai bergerak ke daerah pantai dan mencapai estuaria, disini udang sampai dewasa dan bergerak ke tengah laut untuk memijah lagi (Toro dan Sugiarto, 1979). Sutaman (1993) mengemukakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan ganti kulit. Secara bergantian larva dimulai dari menetas menjadi post larva . Menurut Amri (2003) bahwa ada 4 tahap moulting yakni tahap pertama proedysis, tahap kedua edysis, tahap ketiga metecdysis dan tahap keempat intermoult. Secara alami daur hidup udang panaeoid meliputi dua tahap, yaitu tahap ditengah laut dan diperairan muara sungai (estuaria). Udang windu tumbuhmenjadi dewasa dan memijah ditengah laut. Telur udang yang telah dihasilkan kemudian

disimpan pada bagian punggung dari abdomen betina. Bila telur tersebut telah matang dan siap untuk dibuahi maka dikeluarkan melalui saluran telur (oviduct) yang terdapat pada bagian pangkal dari pasangan kaki jalan ke tiga. Pada saat telur dikeluarkan, secara bersamaan spermatofor dipecahkan oleh induk betina, sehingga terjadilah pembuahan. Telur yang yang telah dibuahi akan menetas dalam waktu 12 sampai 15 jam dan berkembang menjadi larva hari (Prawidihardjo et al. dalam Poernomo, 1976). Gambar 2.5. Sikuls Hidup Udang Windu (Panaeus monodon Fab.) 2.6. Hama dan Penyakit Wijayati (1995) menyatakan penyakit yang sering timbul pada stadia mysis sampai post larva adalah penyakit hepatopancreas, yang ditandai oleh adanya gelembung-gelembung udara yang mirip dengan jaringan lemak di sekitar perut atau hepatopancreas. Sedangkan pada tingkat zoea sering terserang cendawan yang bisa mengakibatkan kematian total setelah 3 hari terinfeksi dan parasit lain yang bisa menyerang zoea-post larva adalah zoothamnium. Penyakit akan timbul bila kualitas air kurang baik karena banyak sisa-sisa makanan serta penggantian air kurang lancar. 2.7. Teknik Budidaya Suwoyo et al. (2004) menyatakan selama proses pematangan induk secara buatan, calon induk harus berada dalam kondisi lingkungan yang optimal yaitu padat penebaran yang tepat (4 ekor/m2 luas bak), air bersih dan sehat serta cukup tersedia makanan yang segar dan bergizi. Makanan yang dapat digunakan adalah cumi-cumi, jambret, daging kerang-kerangan, cacing laut, rebon dan hati sapi dengan jumlah 10-20% berat badan/hari dan selama proses pematangan, calon induk harus diperiksa secara teratur untuk mengetahui perkembangan ovarinya yang telah dicapai. Pemeriksaan dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan stres bagi induk. Makanan yang mengandung beta-caroten, phosphatydil cholin, cholesterol, vitamin B dan vitamin D2 (calciferol) dapat merangsang pematangan telur. Aquacop (1976) menyatakan bahwa pematangan dengan rangsangan dilakukan dengan teknik ablasi mata yang didasarkan atas pengrusakan kelenjar penghasil hormon yang menghambat perkembangan gonad (GIH) dan ganti kulit (MIH), kelenjar tersebut dikenal dengan organ-X. Kokarkin et al. (1995) mengemukakan peneluran dan penetasan telur dapat dilakukan di dalam bak peneluran khusus atau langsung dalam bak pemeliharaan larva dengan ukuran bak berkapasitas 100-300 liter. Sebelum dimasukkan di dalam bak peneluran sebaiknya induk udang disuci hamakan dengan larutan furanace 3 mg/l selama 1 jam atau menggunakan larutan formalin 50 mg/l selama 15-20 menit. Maksimum 5 induk yang dapat disuci hamakan dalam 20 liter larutan, kemudian bilas dengan air bersih. Sebaiknya tiap bak hanya diisi satu induk, sehingga fekunditas dan kualitas telur dapat diketahui dengan melihat tingginya presentase penetasan. Ada dua teknik pemeliharaan larva dalam bak yakni teknik Jepang dan teknik Galveston. Pada teknik Jepang makanan alami yang terdiri dari diatomae (Skeletonema) langsung ditumbuhkan dalam bak larva dan induk matang telur langsung dimasukkan ke bak larva untuk ditelurkan dan ditetaskan, selanjutnya pada teknik galveston makanan alami (sejenis alga) dibiakkan dalam bak khusus secara terpisah (Nurdjana, 1983). 2.8. Kualitas Air Kelulushidupan (survival rate) dan pertumbuhan organisme perairan juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Faktor-fakor yang dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan seperti udang antara lain : >> Suhu Suhu air mempunyai peranan paling besar dalam perkembangan dan pertumbuhan udang. Kecepatan metabolisme udang meningkat cepat sejalan dengan meningkatnya suhu lingkungan. Secara umum suhu optimal bagi udang windu adalah 25-30 oC. Suhu diatas 30 oC masih dianggap baik bagi budidaya udang. Udang akan kurang aktif apabila suhu air turun dibawah 18 oC dan pada suhu 15 oC atau lebih rendah akan menyebabkan udang stress bahkan mati (Wardoyo, 1997) >> Salinitas Cheng (1986) menyatakan bahwa larva udang windu mempunyai toleransi yang luas terhadap perubahan salinitas dan berubah-ubah sepanjang hidup. Larva udang windu memiliki sistem osmoregulasi yang sangat efisien pada salinitas antara 5-55 ppt (Liao,1986). >> Oksigen Terlarut (DO) Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah adalah faktor yang paling lazim menyebabkan mortalitas dan kelambatan pertumbuhan udang. Kelarutan oksigen dalam air dipengruhi oleh suhu dan kadar garam. Kelarutan oksigen akan menurun jika suhu dan kadar garam meningkat atau tekanan udara menurun. Konsentrasi oksigen terlarut minimum untuk menunjang pertumbuhan optimal udang adalah 4 ppm (Tsai,1989). >> Derajat Keasaman (pH) pH merupakan indikator keasaman dan kebasaan air. pH perlu dipertimbangkan karena mempengaruhi metabolisme dan proses fisiologis udang. Kisaran pH yang optimal untuk pertumbuhan udang windu adalah 6,5-8,5 (Tsai,1989). >> Ammonia dan Nitrit Dalam budidaya udang, selalu ditemukan ammonia dalam jumlah yang besar, karena ammonia adalah bentuk ekskresi bernitrogen pada Crustacea. Hal ini berkaitan dengan nutrisi pada pakan yang mengandung protein, karena ammonia merupakan hasil metabolisme protein. Telah diketahui toksisitas ammonia memberi pengaruh pada kelangsungan hidup, ammonia dan moulting. Toksisitas ammonia mempengaruhi pH perairan, jika toksisitas ammonia meningkat maka pH akan meningkat (Rocotta, 2000). Ammonia atau hasil oksidasinya (nitrit) pada lingkungan dapat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Hal ini dikatakan oleh Wang et al. (2003) bahwa perubahan status nitrit pada lingkungan dapat menginduksi hypoxia pada jaringan dan mengganggu metabolisme respirasi pada udang Penaeid. Ammoniak (NH3) tidak terionosasi bersifat toksik sedangkan ion ammonia memiliki tingkat toksisitas yang rendah atau tidak

sama sekali toksik (Chen, 1986) BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan Kerja Praktek (KP) rencananya dilaksanakan pada 09 Maret – 09 April 2010, yang bertempat di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. 3.2. Alat dan Bahan Serta Fungsinya Dapat dilihat pada Tabel 3.1.dan 3.2 No Alat Spesifikasi Jumlah Kegunaan 6 Pompa air Merk Teco 4 Untuk sirkulasi air 7 Blower Merk Higasida 2 Suplai oksigen 8 Heater 600 volt 4 Penyetabil suhu 9 Tabung oksigen 1 Suplai oksigen saat pengangkutan 10 Saringan pakan Mesh 100-200 3 Menyaring pakan 11 Saringan Artemia sp Mesh 100 1 Untuk menyaring nauplii Artemia sp 12 Saringan plankton Mesh 200 2 Panen Skeletonema sp 13 Selang aerasi Plastik 1 set Jaringan aerasi 14 Batu aerasi 1 set Jaringan aerasi 15 Pemberat Timah 1 set Jaringan aerasi 16 Ember plastik 10 liter

4 Wadah pemberian pakan 17 Waskom plastik 6 liter 10 Wadah penampungan larva saat panen 18 Gayung pakan 1 liter 2 Untuk penebaran pakan 19 Beaker glass 300 ml 1 Kontrol larva 20 Pipet hisap 5 ml 1 Menakar treflan 21 Seser panen Mesh 50 2 Menyeser larva saat panen 22 Sendok scoping Plastik 4 Menakar larva saat panen 23 Pipa paralon Plastik 15 Saluran pembuangan 24 Thermometer 1 0C 6 Untuk mengukur suhu 25 Hand refraktometer 1 0/00 1 Untuk mengukur salinitas 26 pH pen Unit 1 Untuk mengukur pH 27 DO meter Merk YSI Mengukur DO 28 Selang spiral Plastic 5 Untuk penyiponan 29 30 31 Mikroskop Foto digital

Gunting 1 1 Mengamati larva Mengambil gambar Ablasi mata Table 3.1. alat serta fungsinya Tabel.3.2. bahan No Bahan Spesifikasi Jumlah Kegunaan 1 Induk udang Berasal dari Pandanarang 45 ekor Penghasil benur 2 Air laut Media pemeliharaan larva, Skeletonema sp, dan Artemia sp 3 Air tawar Untuk menurunkan salinitas dan pencucian peralatan Hatchery 4 Artemia sp Merk INVE Sebagai pakan alami dari stadia postlarva 1 sampai postlarva 12 5 Skeletonema sp Lab. Pakan Alami Sebagai pakan alami dari stadia zoea-mysis 6 Frippak # 1 CAR Merk INVE Sebagai pakan buatan dari stadia zoea 7 Frippak # 2 CD Merk INVE Sebagai pakan buatan dari stadia mysis 10 Lansy PL Merk INVE Sebagai pakan buatan stadia postlarva 12 Starter 1 Gold Coin Sebagai pakan buatan mulai PL 15 sampai panen 13 Kaporit CaOCl2 Sterilisasi air 3.3. Metode Adapun metode yang digunakan dalam Kerja Praktek ini di bagi dalam dua tahap yaitu :

>> Tahap pertama melakukan pengamatan atau survey secara langsung dalam proses pelaksanaan teknik pembenihan udang windu, dari awal proses pembenihan sampai berakhirnya proses pembenihan. >> Tahap kedua melakukan pembahasan secara deskriptif tentang data primer dan sekunder. Data primer yang di proleh di lapangan, baik teknik pembenihan udang windu dari prosedur awal sampai hasil pembenihan serta mendeskrifsikan tentang kualitas air dalam proses pembenihan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang di proleh dari instansi terkait dengan teknik pembenihan udang windu dan informasi lain yang dirasa diperlukan dalam penulisan laporan nantinya. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Kerja Praktek 4.1.1. Kondisi Geografis Secara geografis Balai Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah terletak di Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Propinsi jawa tengah. Balai ini berlokasi pada 110 39'11"BT dan 6 35' 10" LS yang terletak di sebelah barat Kota Jepara denngan jarak 3 km dari pusat kota. Letak balai ini berada di kompleks pantai Kartini dengan salinitas perairan pantai 28 – 35 ppt dan perbedaan pasang surut 1m. Jenis tanah di sekitar balai budidaya berupa tanah lempung berpasir. 4.1.2. Sejarah BBPBAP Balai ini berdiri sejak tahun 197 1 bernama Research Center Udang (RCU) dan berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Departemen Pertanian. Tujuan utama pendirian lembaga ini pada saat itu adalah meneliti siklus udang dari telur sampai dewasa secara terkendali sehingga dapat dibudidayakan pada lingkungan tambak. Pada tahun 1977 RCU berubah nama menjadi Balai Budidaya Air Payau (BBAP) yang secara struktural berada dibawah Direktorat Jendral Perikanan Departemen Pertanian. Pada tahun 1978, Balai Budidaya Air Payau sebelum berubah menjadi balai besar telah berhasil memproduksi benih udang windu secara massal. Benih udang windu yang dihasilkan itu menjadi awal pendorong dalam pengembangan industri udanng secara nasional. Prestasi ini tidak lepas dari penerapan teknik pematangan gonad induk udang dengan ablasi mata sehinngga mampu mengatasi masalah penyedian induk matang telur. Dan pada tahun 2000, setelah terbentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, keberadaan BBAP masih dibawah Direktorat Jendral Perikanan. Namun pada bulan Mei 2001 status BBAP ditingkatkan menjadi eselon II denngan nama Balai Besar Pengembanngan Budidaya Air Payau di bawah Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan noomor : Kep.26c/MEN/2001 BBPBAP Jepara membidangi empat bidanng pekerjaan yang meliputi Bidang Pelayanan Teknik, Standardisasi dan Informasi, Bagian Tata Usaha dan Kelompok Jabatan Fungsional. 4.1.3. Tugas Pokok dan Fungsi, Visi, Misi BBPBAP Jepara 4.1.3.1. Tugas Pokok Dan Fungsi Tugas Pokok Peranan BBPBAP dalam pengembangan teknologi akuakultur lebih spesifik dan ditekankan pada komoditas yang dapat dikemgangna di lingkungan air payau, yang lahannya terletak di kawasan pantai (Coastal Aquaculture), tambak di pesisir pantai adalah contoh kegiatan budidaya air payau. Pengembangan dan penerapan teknik berbagai aspek yang terkait dalam teknologi akuakultur dikaji dalam empat kelompok kegiatan perekayasaan yaitu: >> Perbenihan dan Pembudidayaan >> Pengelolaan kesehatan ikan dan pelestarian lingkungan budidaya >> Pengembangan nutrisi dan pakan. FUNGSI >> Identifikasi dan perumusan program pengembangan teknik budidaya air payau; >> Pengujian standar pembenihan dan pembudidayaan ikan; >> Pengujian alat, mesin, dan teknik perbenihan, serta pembudidayaan ikan; >> Pelaksanaan bimbingan penerapan standar perbenihan dan pembudidayaan ikan; >> Pelaksanaan sertifikasi sistem mutu dan sertifikasi personil perbenihan dan pembudidayaan ikan; >> Pelaksanaan produksi dan pengelolaan induk penjenis dan induk dasar; >> Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan, serta pengendalian hama dan penyakit ikan; >> Pengembangan teknik dan pengujian standar pengendalian lingkungan dan sumberdaya induk dan benih; >> Pengelolaan sistem jaringan laboratorium penguji dan pengawasan perbenihan dan pembudidayaan ikan; >> Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan publikasi pembudidayaan; >> Pengelolaan keanekaragaman hayati dan Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Fungsi lain >> Tempat pendididkan calon tenaga ahli madya sarjana dan magister dan doctor dalam ilmu perairan >> Pusat informasi ilmu dan teknologi perikanan budidaya. >> Pusat penyediaan tenaga ahli untuk supervise teknis usaha budidaya. >> Pusat jasa layanan analisis laboratorium. Kita sadar sepenuhnya bahwa IPTEK akan menjadi penentu kemampuan bersaing dalam berbagai aspek. Sebagai salah satu instansi pusat pengembangan ilmu perikanan air payau (Akuakultur), BBP-AP telah menjadi salah satu pioneer dalam kancah ilmiah Akuakultur di Indonesia. Walaupun sebagai salah satu pusat pengembangan IPTEK di bidang Akuakultur BBPBAP tidak berorentasi sebagai menara gading yang tidak tersentuh oleh masyarakat luas. Keberhasilan BBPBAP justru diukur dari manfaat yang dapat disumbangkan kepada masyarakat. Dengan demikian kemajuan teknologi yang ditemukan dapat diterapkan oleh masyarakat luas melalui diseminasi. Sistem diseminasi yang diterapkan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pelatihan formal, magang atau praktek

kerja lapang, dan demonstrasi langsung di lokasi masayrakat pengguna. Pelatihan formal dilaksanakan mengikuti kegiatan yang telah direncanakan atau kegiatan magang dapat diikuti oleh perorangan atau kelompok. Mereka biasanya mengikuti kegiatan ujicoba produksi selama beberapa bulan. Sementara kegiatan demonstrasi dilakukan dengan menerapkan paket teknologi budidaya bersama-sama dengan kontak tani andalan atau calon petani. Dengan cara memberi contoh dan praktek teknologi budidaya bersama-sama dengan kontak tani andalan atau calon petani. Dengan cara memberi contoh dan praktek langusng, diharapkan adopsi teknologi dapat diserap lebih cepat dan dapat menumbuhkan keyakinan petani akan manfaat teknologi tersebut. 4.1.3.2. Visi Dan Misi Visi: Mewujudkan balai sebagai institusi pemberi pelayanan prima dalam pembangunan dan pengembangan sistem usaha budidaya air payau yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkeadilan. Misi: >> Mengembangkan rekayasa teknologi budidaya berbasis agribisnis dan melaksanakan alih teknologi kepada dunia usaha. >> Meningkatkan kapasitas kelembagaan. >> Mengembangkan sistem informasi IPTEK perikanan. >> Mengembangkan jasa pelayanan dan sertifikasi. >> Memfasilitasi upaya pelestarian sumberdaya ikan & lingkungan. >> Pengembangan dan penerapan standardisasi perikanan budidaya. >> Penembangan jasa pelayanan perikanan budidaya >> Pengembangan dan penerapan serifikasi perikanan budidaya 4.1.4. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor: KEP.26 C/MEN/2001 tanggal 1 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bali Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Sesuai dengan SK Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut di dalam struktur organisasi terdapat kelompok jabatan fungsional yang mempunyai tugas melaksanakan kegiatan perekayasaan, pengujin, penerapan, dan bimbingan penerapan standar teknik, alat, dan mesin, serta sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan, pengendalian hama dan penyakit ikan, pengawasan benih dan budidaya, penyuluh, dan kegitan lain yang sesuai dengan tugas masing-masing jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Struktur Organisasi Balai Besar Pengembangan Budiaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, meliputi : 1. Bidang Pelayanan Teknik (Yahya, SH) a. Seksi Sarana Laboratorium (Suparno, B. Sc) b. Seksi Sarana Lapangan (Abdul Kadir) 2. Bidang Standardisasi dan Informasi (Drs. Tri Prasetyo Priyoutomo) a. Seksi Standardisasi (V. Ap. Sapto Adi, SP) b. Seksi Informasi (Agus Setiadi, SH) 3. Bagian Tata Usaha (M. Hisyam, SE) a. Sub Bagian Umum (Ir. Hasan Rosyadi) b. Sub Bagian Keuangan (Ir. Wiwik Malistiyani) 4. Kelompok Jabatan Fungsional a. Perekayasa b. Litkayasa c. Pengawas Benih d. Pengawas Budidaya e. Pengawas Hama Penyakit Ikan f. Pranata Humas Untuk mempermudah koordinasi dan memperlancar pelaksanaan tugas pejabat fungsional dibentuk kelompok kegiatan perekayasaan sebagai berikut : >> Kelompok Kegiatan Pembenihan Ikan dan Udang Koord : Ir. Anindiastuti >> Kelompok Kegiatan Pembesaran Ikan dan Udang Koord : Ir. Darmawan Adiwidjaya >> Kelompok Kegiatan Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan Koord : Ir. Zaenal Arifin, M. Sc >> Kelompok Kegiatan Pakan Hidup dan Buatan Koord : Dra. Antik Erlina, M. Si >> Kelompok Kegiatan National Shrimp Broodstock Center (NSBC) Koord : Ir. Adi Susanto, M. Sc 4.2. Teknik Pembenihan Udang Awal kegiatan dari usaha kegiatan pembenihan udang windu adalah rangkaian pemilihan induk diunit pembenihan. Kegiatan yang dilakukan meliputi : pengadaan induk, persiapan bak, ablasi mata, pemeriksaan ovari, pelepasan telur, perawatan benur, serta pemanenan. 4.2.1. Pengadaan Induk Untuk mengadakan induk di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Jepara dalam pembenihan udang windu, induk yang diambil dari hasil penangkapan para nelayan dan dari hasil pembesaran di tambak yang di datangkan dari daerah Pandanarang. Induk yang di didatangkan di aklimatisasi (penyesuaian diri) selama 2-3hr dan pada hari ke 4 dilakukan pengambilan sample PIAR dengan cara melakukan pemotongan kaki renang terakhir bagian sebelah kiri. Proses pengambilan kaki renang ini

membutuhkan 2 buah sterofoam, sterofoam yang pertama untuk menampung udang dan yang ke 2 sebagai tempat larutan PK (kalium permanganat) yang digunakan setelah proses pemotongnan yaitu setelah kaki renangnya dipotong udang dimasukkan dalam larutan dengan maksud agar udang tidak terinveksi setelah pelaksanaan pemotongan. Gambar 4.1. Penngambilan sample PIAR Kaki renang udang yang dipotong dimasukkan dalam botol atau satu kaki renang perbotolnya. Hasil pemotongan ini akan dibawa ke laboratorium untuk diuji apakah induk yang didatangkan, baik itu dari hasil alam ataupun dari pembesaran sudah terinveksi virus atau tidak. Dan dalam hal ini udang yang didatangkan teruji negative atau tidak dalam kondisi terinveksi virus, ini dilakukan guna menjaga keberhasilan dalam pembenihan dan pembesaran udang nantinya. Perbandingan induk jantan dan betina dalam bak pemeliharaan induk adalah 1:2 dengan harapan 1 ekor indukan jantan dapat membuahi indukan betina secara optinal. Dengan induk dari alam ketersediaan akan nutrisinya masih lengkap sehingga masih diperoleh benur yang baik, ukuran induk yang digunakan berkisar antara 18-29 cm warna yang baik adalah berwarna hitam kecoklatan. Adapun syarat induk yang digunakan adalah di atas 1 tahun, untuk induk betina memiliki berat di atas 150 gram, tidak cacat. Dan edangkan pada induk jantan memiliki berat di atas 70 gram. 4.2.2. Persiapan Bak Untuk mendukung keberhasilan dalam pembenihan maka harus dilakukan persiapan bak sebaik mungkin, bak harus bersih dari segala bentuk kotoran yang menempel pada bak seperti lumut dan sisa kotoran dari bak yang sudah lama tidak digunakan. Pembersihan bak dilakukan dengan cara menggosok dengan menggunakan sikat dan penggosok lainnya. Untuk mencegah timbulnya penyakit bak direndam dengan larutan kaporit selama 1-2 jam untuk menghilangkan bau kaporit tersebut bak dibilas sampai bersih kemudian keringkan. Gambar 4.2. Persiapan Bak Untuk Pemeliharaan Larva Udang Windu Bak yang digunakan di Balai Budidaya Air Payau Jepara untuk kegiatan pembenihan udang windu adalah bak berbentuk persegi empat panjang dengan kapasitas 10 ton yang terbuat dari beton. Untuk bak induk digunakan fiber bulat dan 2 bak besar sebagai pemeliharaan induk (bak perkawinan) yang di tempatkan di ruang tertutup kondisi selalu gelap kecuali pada saat pergantian air dan pemberian pakan, bak ini juga dilengkapi dengan pipa paralon untuk pemasukan dan pembuangan air. Pemasangan aerasi selain menyuplai oksigen dalam air juga berfungsi untuk menciptakan sirkulasi air dalam media pemeliharaan dan mempercepat penguapan gas beracun sebagai proses pembusukan dari sisa pakan dan kotoran hasil metabolisme udang. Gambar 4.3. Persiapan bak indukkan 4.2.3. Pengisian Air Setiap kegiatan Pembenihan udang memerlukan air sebagai media hidupnya. Di Balai budidaya Air payau (BBAP) Jepara pengadaan dilakukan dengan memompa air laut dan ditampung pada bak penampungan utama kemudian dialirkan secara gravitasi ke bak filterasi untuk menyaring air sebelum digunakan, setelah penyaringan maka dilakukan pengisian air pada bak pemeliharaan induk maupun pemeliharan larva yaitu dengan cara menyaring air dengan filter bag. 4.2.4. Pemijahan Induk Kegiatan pemijahan di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Jepara dilakukan dengan cara ablasi mata. Ablasi Mata Kegiatan ablasi mata dilakukan pada udang windu betina yang berkulit keras (tidak sedang atau baru moulting) sebab udang yang baru moulting akan mengalami stress jika diablasi. Ablasi pada mata dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya bisa dengan memotong tangkai mata, membelah dan mengeluarkan isi bola mata, membakar bola mata yaitu dengan cara menusukan ujung soulder pada mata dan mengikat bola mata. Adapun ablasi yang dilakukan di BBAP jepara adalah memotong tangkai mata sebalah kiri dengan menggunakan gunting, agar memudahkan dalam pemotongan mata udang di tarik dengan mengguankan karet gelang. Dimana induk betina dipegang dengan cara melipat ekornya kearah perut secara perlahan-lahan sehingga induk tersebut tidak mampu berontak lagi. Sebelum di potong dengan gunting terlebih dahulu di siapkan kompor gas sebagai pemanas pinset, alkohol secukupnya untuk menjaga kebersihan gunting dari bakteri, serta larutan PK atau kalium permanganate (KMnO). Sebelum digunakan gunting di celupkan kedalam alcohol kemudian dilakukan pemotongan tangkai mata udang sebelah kiri dan setelah dipotong sisa tangakai dipanas kan dengan pinset yang telah di panaskan dengan kompor gas, dengan maksud luka yang di sebabkan karna proses pemotongan dapat segera sembuh dan menngering kemudian udang dimasukkan kedalam larutan PK dan setelah beberapa menit udang di kembalikan ke dalam bak pemeliharaan. Gambar 4.4. Proses ablasi mata Selama pada masa pemeliharaan dilakukan pergantian air sebanyak 70 % per hari yaitu pada pagi hari sebelum pemberian pakan. Pemberian pakan dilakukan 4 kali dalam satu hari yaitu : pagi hari, siang, sore dan malam hari. 4.2.5. Pelepasan Telur Biasanya setelah tujuh hari dilakukan ablasi induk sudah matang gonad, maka dari itu pemeriksaan gonad perlu dilakukan setiap hari setelah hari ketujuh ablasi mata, yaitu dengan cara menggunakan senter yang diarahkan ke bawah sisi tubuh udang dan senter tersebut disorotkan ke atas. Gambar 4.5. Sampling kematangan gonad udang Setelah didapatkan induk udang yang sudah memasuki TKG ke tiga maka dimasukan ke dalam bak pelepasan telur (konikel tank). 4.2.6. Penetasan Dan Perawatan Larva Induk sudah memasuki TKG ke tiga yang telah dimasukkan kedalam bak fiber dengan kepadatan 2 ekor/fiber yang telah diaerasi terlebih dahulu. Dalam bak fiber inilah induk-induk udanng akan melepaskan telurnya dan dalam waktu 24 jam telur-telur tersebut akan berubah menjadi nauplius dan dipindahkan kedalam bak-bak pemeliharaan larva yang telah

disiapkan. Pemanenan nauplius dilakukan dengan cara menyinari bak dengan lampu hingga nauplius berkumpul mendekati cahaya pada lampu tersebut, hal ini disebabkan karena nauplius ini memiliki sifat foto taksis. Setelah itu nauplius langsung disipon atau diseser dan dimasukkan ke baskom yang selanjutnya ditebar ke dalam bak pemeliharan. 4.2.7. Aklimatisasi dan Penebaran Nauplius Sebelum penebaran nauplius maka dilakukan aklimatisasi sebab kondisi air pada saat mengambil nauplius dengan air dalam bak pemeliharaan yang baru tidak mungkin sama baik salinitas, suhu dan pHnya. Sehingga larva harus bisa menyesuaikan diri dengan cara memasukkan larva kedalam ember dan kemudian ember dibiarkan melayang- layang di permukaan bak selama 30-90 menit. Gambar 4.6. Aklimatisasi nauplius 4.2.8. Pengamatan Kondisi Larva Pengamatan kondisi larva dilakukan dengan cara mengambil sampel larva dengan menggunakan beaker glass. Secara visual larva dapat diamati dengan aktivitas berenangnya namun untuk lebih detail dalam pengamatan kondisi larva baik itu pertumbuhan dan kesehatannya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Gambar 4.7. Pengamatan Secara Mikroskopik Gambar 4.8. Pengamatan Secara Visual Pengamatan berlangsung setiap kali pemberian pakan, hal ini perlu di amati karena untuk mengetahui sejauh mana perkembangan larva yang dipelihara dan apa langkah selanjutnya bila larva telah berubah stadia. Hal – hal yang perlu diamati setiap harinya bukan hanya pertumbuhan dan perkembangan larva saja akan tetapi yang paling penting adalah media dari hidup larva tersebut seperti: kualitas air dan sisa pakan serta kotoran yang ada di dalam wadah pemeliharaan. 4.2.9. Pemberian Pakan Jenis pakan yang diberikan pada larva yaitu pakan alami dan pakan buatan, pakan alami yang diberikan adalah Skeletonema dan Artemia salina. Pemberian pakan diberikan ketika larva memasuki stadium nauplius 6 sampai mysis 3 diberi pakan Skeletonema yang dibarengi dengan penambahan pakan buatan berupa larva Z Plus, larva ZM, Flake, dsb. Sedangkan setelah larva mencapai setadium Post larva pemberian pakan alami berupa Skeletonema diganti dengan pakan alami yang lain yaitu Artemia salina. 4.2.10. Pengendalian Penyakit Upaya pengendalian penyakit dilakukan dengan pencegahan timbulnya penyakit dengan cara pengontrolan kualitas air baik berupa fisik dan kimia air. Selain itu dilakukan penyiponan terhadap endapan pakan dan kotoran hasil metabolisme udang tersebut. Pemberian pakan yang baik dan cukup, dengan kualitas pakan yang baik akan mampu meningkatkan daya tahan tubuh udang, hingga udang lebih tahan terhadap serangan patogen. Selain itu juga pemakaian alat – alat yang bersih juga salah satu upaya untuk pengendalian penyakit pada larva udang tersebut. 4.2.11. Panen Panen larva dapat dilakukan apabila larva sudah mencapai PL10, 12, 15 atau tergantung terhadap permintaan konsumen. Untuk di Balai Budidaya Air Payau Jepara sendiri bila tidak ada konsumen yg dating pemanenan larva dilakukan pada saat larva mencapai PL 15 untuk selanjutnya dipindahkan ke dalam bak tongkolan untuk pemeliharaan lebih lanjut sebelum konsumen datang untuk membeli benur. Pemanenan dilakukan dengan cara mengeluarkan air dari bak dengan membuka saluran pembuangan dan dipasang saringan. Sebelumnya baskom – baskom panen harus disiapkan setelah air berkurang sekitar 50% dari volume yang ada. Maka larva yang ada dalam bak pemeliharaan diseser dengan serokan yang halus dan dimasukkan ke dalam baskom – baskom yang sudah siapkan. Setelah itu dilakukan perhitungan dengan takaran dan selanjutnya dilakukan packing. Sebelum dilakukan proses packing, plastik – plastik harus disiapkan terlebih dahulu dan diisi dengan air yang kadar garam dan suhunya sama dengan wadah pemeliharaan sebelumnya. Setelah itu benur dimasukkan ke dalam plastik packing dan diberi oksigen lalu diikat dengan karet. Setelah itu benur – benur yang telah dipacking siap di bawa oleh konsumen. Gambar 4.9. Proses Pemanenan Hingga Packing pada Udang Windu 4.3. Pembahasan 4.3.1. Persiapan Lokasi Pembenihan Pemilihan lokasi adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu usaha budidaya, baik itu usaha pembenihan ataupum usaha pembesaran ikan maupun udang. Mencari lokasi yang cocok untuk usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum membangun suatu unit usaha pembenihan atau heatchery. Sebab, tanpa lokasi yang cocok, tiada mungkin usaha pembenihan dapat berjalan dengan lancar. Ada saja kendala yang muncul seperti, kurangnya air bersih, sarana pengangkutan sulit (transportasi), benih terserang penyakit dan lain sebagainya. Oleh karena itu pemilihan lokasi usaha pembenihan harus dilakukan dengan cermat dan teliti. Dalam memilih lokasi pembenihan baik udang maupun ikan yang ideal tidaklah sembarang, karena ini menyangkut dengan uang dan kelangsungan usaha yang akan dijalankan. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih lokasi untuk unit pembenihan udang maupun ikan diantaranya: 4.3.1.1. Aspek Sosial Ekonomi Dari aspek sosial ekonomi usaha pembenihan haruslah menguntungkan tanpa harus mengesampingkan lingkungan sekitar (aspek sosial), maksudnya walaupun usaha pembenihan ini menguntungkan, namun harus dijaga agar masyarakat sekitarnya tidak merasa dirugikan akibat pembuangan dari air limbah hasil budidaya. Untuk itu ada beberapa aspek ekonomi dan sosial yang harus diperhatikan: o Dekat dengan pantai o Dekat dengan daerah pengembangan budidaya tambak o Dekat dengan jaringan listrik Negara (PLN)

o Tersedianya sarana tranfortasi o Dekat dengan perkampungan, namun tidak berada ditengah–tengah lingkup perumahan penduduk. 4.3.1.2. Aspek Teknis Aspek teknis yang dominan memperangaruhi adalah faktor iklim, yaitu angin dan curah hujan. Pada daerah yang kecepatan anginnya tinggi suhu air dan media cenderung rendah dan cepat kotor akibat kotoran yang terbawa angin. Curah hujan juga dapat mempengeruhi kelancaran operasional pemeliharaan. Curah hujan yang tinggi akan mempengaruhi salinitas air media dalam bak kultur pakan alami yang berada di luar bangunan heatchery. Dengan demikian, memilih daerah yang frekuensi curah hujannya rendah dan terlindung dari angin kencang merupakan langkah yang bijaksana. Letak Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee sangat cocok untuk lokasi Pembenihan Udang Windu apabila ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan teknis. Karena letak lokasi yang dekat dengan pantai, dekat dengan daerah pengembangan tambak, dekat dengan Jaringan Listrik Negara (PLN), dekat dengan pemukiman penduduk serta tersedianya sarana transportasi juga memiliki iklim yang baik. 4.3.2. Fasilitas dan Peralatan Pembenihan Hasil pembenihan udang windu yang memuaskan akan diperoleh bila ditunjang oleh sarana yang komplit mulai dari bangunan (heatchery), bak, sarana aerasi dan sarana pembenihan lainnya. Pada Unit BBAP Ujung Batee fasilitas yang tersedia cukup memadai untuk kegiatan pembenihan baik udang maupun ikan. 4.3.3. Persiapan Kegiatan Pembenihan Sukses tidaknya usaha pembenihan ditentukan oleh beberapa perlakuan. Mulai dari persiapan, penyediaan dan pemberian pakan, pengelolaaan kualitas air, serta pengamatan harian. Usaha ini akan berjalan lancar bila pembenih tekun dan teliti serta didukung oleh sarana yang memadai. Dalam merawat induk maupun larva harus serius dan hati – hati agar organisme yang ditebar tetap sehat dan tumbuh baik. Agar kegiatan pemeliharaan berjalan mulus dan hasilnya menyenangkan maka perlu persiapan yang matang. Persiapan itu adalah menyediakan media berupa bak dan airnya agar organisme yang dipelihara merasa nyaman dan bebas gangguan. Dalam hal ini persiapan untuk induk dan larva sama saja. 4.3.3.1. Persiapan Bak Bak pemeliharaan yang akan digunakan harus disucihamakan dan bersih serta terbebas dari segala bentuk kehidupan baik yang menempel maupun yang berada di dasar bak, hal tersebut akan mendukung kehidupan organisme. Caranya bak dicuci dan disikat, lalu dikeringkan sampai betul – betul kering. Pengeringan dimaksud untuk mematikan mikro organisme yang menempel di dalam bak serta mencegah terjadinya berbagai penyakit yang mematikan larva yang dipelihara. Agar lebih steril dapat menggunakan zat kimia berupa klorin dengan dosis 100 ppm, KMnO4 (Kalium Permangat) 10 ppm dan formalin 50 ppm. Bak yang telah bersih dapat diisi langsung dengan air laut, kemudian dibiarkan beberapa saat agar zat kimia yang digunakan dalam pembersihan bak tadi dapat kembali normal. 4.3.3.2. Perlakuan Air Media Setelah yakin betul bahwa bak pemeliharan larva telah dibersihkan dengan baik, langkah selanjutnya adalah pengisian air laut untuk induk dan persiapan penebaran nauplius. Air laut yang digunakan di BBAP Jepara ini adalah air laut yang dipompa dan dialirkan melalui pipa paralon yang berukuran 4" yang dipasang atau ditanam beberapa kaki di atas hamparan pantai. Adapun pipa penyaringan yang dipasang di dasar laut berukuran 4" dengan panjang 1,5 m. yang diberi lubang – lubang kecil serta dibalut dengan ijuk dan kain saringan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pasir maupun kotoran dari laut ikut tersedot ke bak penampungan air. Kualitas air yang digunakan harus diperhatikan sungguh-sungguh, sebab air merupakan media penentu suatu keberhasilan usaha pembenihan udang windu dan komoditas lainnya. Pengambilan air yang ceroboh akan berakibat fatal bagi induk, pertumbuhan dan kehidupan nauplius yang dipelihara. Untuk itu pengambilan air harus memperhatikan hal – hal sebagai berikut: ???? Air harus benar – benar bebas dari polusi. Untuk itu air harus diambil dari laut yang bersih, minimal 500 m dari bibir pantai. ???? Hindari pengambilan air laut yang masih dekat dengan aliran sungai besar. ???? Kadar garam air laut diusahakan berkisar 30 – 33 ppt. ???? Air yang baru diambil, sebelum disaring harus diendapkan dulu di bak tendon (bak penampungan) selama 1 hari dan diberi larutan kaporit sebanyak 7 – 10 gram / ton air. ???? Selama dalam bak penampungan air harus diaerasi. Pengisian air dari bak penampungan ke dalam bak pemeliharaan induk dan larva di lakukan dengan menggunakan pompa air ukuran kecil yang telah dilengkapi dengan kain saringan ukuran 100 mikron. Kondisi air dalam pemeliharaan larva dikatakan siap tebar, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: - Kejernihan air = sangat jernih (kandungan bahan organik rendah) - Ketinggian air = 80 – 100 cm - Salinita = 30 – 32 ppt - pH = 7,9 – 8,3 ------------------------------- Suhu = 31C – 32C - Amonia = Tidak ada - Aerasi = Telah terpasang dengan baik dan berjalan dengan sempurna Apa bila pengisian air dianggap cukup (telah memenuhi persyaratan), sambil menunggu penetasan telur, bak harus ditutup dengan dark light plastik. 4.3.3.3. Perlakuan Terhadap Organisme Walaupun bak dan air media telah bebas dari penyakit, namun bisa saja organisme yang kita tebar membawa penyakit. Oleh karena itu, organisme yang akan dipelihara diberi perlakukan terlebih dahulu sebelum ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva. Perlakuan yang diberikan mulai dari telur yang siap menetas sampai menjadi nauplius. Telur diberi perlakuan dengan bahan kimia yaitu KMnO4 dengan

dosis 3 ppm selama 30 menit. Setelah telur menetas menjadi nauplius diberi perlakuan dengan perendaman menggunakan larutan Treflan 0,1 – 0,2 ppm agar nauplius bebas jamur. 4.3.3.4. Memeriksa Airasi Sehari sebelum penebaran, aerasi perlu dicek apakah penyebaran gelembung dari aerasi sudah benar – benar merata. Untuk mengetahui hidupnya blower yang digerakkan dengan tenaga listrik agar dapat mengeluarkan udara yang sama dalam setiap titik, lalu krant udara dibuka, bila gelembung yang dihasilkan sama rata berarti aerasi berjalan dengan baik. Fungsi aerasi selain meningkatkan oksigen dalam air juga berperan menciptakan sirkulasi air dalam media pemeliharaan dan mempercepat penguapan gas beracun sebagai proses hasil pembusukan sisa – sisa pakan dan kotoran lain. 4.3.4. Penanganan Induk Induk yang digunakan di heatchery BBAP Jepara diperoleh dari hasil tangkapan nelayan didaerah Pandanarang. Seleksi induk terus ditingkatkan dan hanya induk yang berukuran 25–30 cm untuk betina dan 20–25 cm untuk jantan yang digunakan dengan perbandingan 1:2 dengan berat 100 gram–150 gram, warna induk yang baik untuk calon induk adalah warna cerah atau hitam kecoklatan. Harga induk yang dibeli mencapai Rp.250, 000/kg. Umumnya induk yang dibeli tersebut adalah induk yang sudah matang gonad. Jadi tidak perlu dipelihara dalam waktu yang lama, hal ini dapat menghemat biaya pemeliharaan induk. Induk yang ditangkap di alam dan hasil pemeliharaan di tambak, sebelum dilepas ke dalam bak pemijahan yang sekaligus bak pemeliharan telur, induk terlebih dahulu ditreatmen atau aklimatisasi terhadap suhu dan salinitas air media tempat pemeliharan dengan tujuan agar induk tidak mengalami stress karena perubahan lingkungan dan kualitas air yang mendadak. Setelah mengalami aklimatisasi maka induk yang matang gonad dilepas ke dalam bak konikoltank untuk pelepasan telur. Dalam satu bak konikel terdapat satu induk udang, hal ini bertujuan untuk mengetahui jumlah telur yang dihasilkan perinduk setelah pelepasan. Juga sekaligus mengetahui jumlah nauplius yang dihasilkan setelah penetasan. Induk udang windu akan melepaskan telurnya pada ¾ malam menjelang subuh, hal ini merupakan kebiasaan yang dimiliki. Induk udang windu dengan ukuran 90 – 140 gram dapat menghasilkan telur rata – rata 500.000 butir, jumlah telur maksimum yang dapat dihasilkan induk udang windu sampai 1000.000 butir. Jika penetasannya baik, maka satu induk dapat menghasilkan 600.000 – 1000.000 butir telur yang dapat menetas menjadi 400.000 – 500.000 ekor nauplius. 4.3.5. Penanganan Telur Udang windu akan melepaskan telurnya pada malam hari sekitar pukul 22.00 – 00.00 malam. Telur yang dilepas akan mengapung dipermukaan air dan melayang – layang mengikuti pergerakan air. Setelah telur – telur lepas dari induknya, maka induk diangkat dan dipindahkan ke bak pemeliharaan induk yang telah disiapkan. Telur – telur udang tersebut dibiarkan di tempat bak konikel sampai menetas menjadi nauplius. Setelah keseluruhan telur – telur menetas, maka nauplius udang ini dipindahkan ke bak pemeliharaan larva yang sebelumnya telah disiapkan. Tabel 4.1. Ciri – Ciri Perkembangan Nauplius Penebaran nauplius ke dalam bak pemeliharaan larva dilakukan denganpadat tebar 50 – 70 ekor / lt (hitungan berdasarkan volume air). Penebaran nauplius ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi. Ciri – lance nauplius yang baik antara lain. Warna gelap kecoklatan, ukuran relative seragam, gerakan aktif, respon terhadap cahaya, mengumpul dipermukaan bila aerasi dimatikan. Penebaran nauplius ke dalam bak pemeliharaan larva harus dilakukan dengan hati – hati agar nauplius tidak stress dengan lingkungan barunya harus diaklimatisasi terlebih dahulu, juga sebelum ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva air media yang ada di bak pemeliharaan larva harus dicek terlebih dahulu baik salinitas, pH, oksigen terlarut, juga suhunya. Hal ini dilakukan agar nauplius udang dapat tumbuh dengan baik. Aklimatisasi dilakukan dengan cara, air media yang ada di dalam bak pemeliharan larva dialirkan perlahan ke dalam baskom yang berisi nauplius dengan menggunakan tangan secara perlahan dan hati – hati. Setelah itu nauplius dilepaskan ke dalam bak pemeliharaan dengan cara baskom dijungkirkan perlahan – lahan ke dalam bak pemeliharaan larva sampai nauplius habis keluar dari baskom. Setelah Nauplius berada di dalam bak pemeliharaan maka aerasi diatur dengan baik dan diperiksa keadaan aerasi apakah berjalan dengan lancer. Gamabar 4.10. pemanenan nauplius Gambar 4.11. pembersihan & aklimatisasi nauplius 4.3.6. Perkembangan dan Pemeliharaan Larva Yang dimaksud larva disini adalah nauplius – mysis III (M-3). Bentuk tubuh dan organ nauplius sampai mysis jauh berbeda dengan bentuk udang dewasa. Namun, jika sudah masuk ke dalam stadia post larva bentuknya sudah menyerupai udang dewasa. Untuk mencapai kesuksesan dalam pemeliharaan larva perlu penanganan yang serius dalam hal pemberian pakan, pengelolaan kualitas air serta pengamatan perkembangan kesehatan larva. 4.3.7. Pengaturan Pakan. Larva udang membutuhkan sejumlah pakan untuk kelangsungan hidupnya. Secara garis besar pakan yang dimakan dipergunakan untuk kelangsungan hidup, selebihnya baru untuk pertumbuhan. Dengan demikian dalam pemberian pakan untuk larva jumlahnya harus melebihi kebutuhan untuk pemeliharaan tubuhnya, oleh karena itu seorang pembenih harus mengetahui jumlah pakan, kebiasan dan cara makan dari setiap stadium agar tingkat efisiensinya tinggi. 4.3.7.1 Jenis Pakan Pada Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee jenis pakan yang digunakan tidak hanya mengandalkan pakan buatan atau pakan alami saja, melainkan kombinasi kedua jenis pakan ini. Jenis pakan alami yang digunakan selama pemeliharaan larva

dari nauplius – PL adalah Skeletonema costatum dan Artemia sp. Pakan komersil (buatan) dapat dibeli ditoko khusus perikanan, pakan ini ada yang dijual dalam bentuk kalengan maupun bungkusan. Berbagai merk yang dipakai dalam pembenihan udang di BBAP Ujung Batee adalah, Top Flake, Lansy, larva Z Plus, ZM, dan BP. Produk ini sebagian masih diimpor, sehingga harganya lumayan tinggi. Pakan buatan ini digunakan ketika larva telah memasuki stadia zoea. 4.3.7.2. Dosis Ransum Dosis yang diberikan pada larva tidak dihitung berdasarkan jumlah populasi larva, tetapi diukur dengan satuan ppm, sebab larva membutuhkan pakan yang tersedia setiap saat (adlibitum). Maksud ppm di sini adalah gram per ton volume air media jika pakan berbentuk tepung, sedangkan bila pakan yang diberikan dalam bentuk cair maka dihitung dengan ml/ton. Dosis tersebut hanya digunakan pada pakan buatan , sedangkan pada dosis pakan alami sel/cc/hari atau individu/ekor larva/hari. Misalnya bak pemeliharaan berkapasitas 10 ton, sedangkan jenis pakan 2 jenis yaitu Lansy MPL dan Flake dengan dosis 2 ppm. Dengan demikian Lansy MPL dibutuhkan sebanyak 10 gram dan Flake juga dibutuhkan sebanyak 10 gram. 4.3.7.3. Frekuensi Pemberian Untuk menghindari terbuangnya pakan dengan sia-sia sebaiknya frekuensi pemberian pakan 4 – 6 kali/hari dengan selang waktu 4 – 5 jam. Karena larva mempunyai sifat suka makan pada malam hari, maka frekuensi pemberian pakan pada malam hari lebih banyak dibanding dengan siang atau pagi hari. Pakan alami fungsinya bukan hanya sebagai pakan larva, juga sebagai peneduh dan perombakan sisa – sisa pakan yang tidak di manfaatkan. Pemberian pakan ini bersamaan antara pemberian pakan alami dengan pemberian pakan buatan pada stadia zoea hingga mysis, sedangkan memasuki masa PL pemberian pakan alami bergantian dengan pemberian pakan buatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.2. Jenis Pakan yang diberikan pada Larva Udang Windu Pakan yang digunakan: Fripak # 1 CAR Fripak # 2 CAR BP Eguchi Flek Top Larva Z + 100 – 150 μ Larva Z + 150–250 μ Larva ZM untuk Zoea Larva ZM untuk mysis Larva ZM # 3 PL Larva ZM # 4 PL Artemia Sceletonema 4.3.7.4. Cara Pemberian Pakan Setiap pemberian pakan, tangan dan peralatan yang digunakan harus dalam keadaan bersih, selain itu semua pakan yang akan diberikan perlu disaring. Cara pemberian pakannya adalah sebagai berikut. ???? Pakan yang terdiri dari beberapa jenis, misalnya Lansy MPL dan Top Flake keduanya dimasukkan ke dalam saringan sesuai dengan stadium. ???? Saringan dimasukkan ke dalam ember pakan yang berisi air tawar. Setelah itu saringan diremas – remas sampai pakan yang ada di dalam saringan tersebut habis. Kemudian tambahkan pakan alami (skeletonema sp) secukupnya. ???? Setelah semua pakan tercampur dengan rata, pakan langsung ditebar merata di dalam bak pemeliharaan larva. 4.3.7.5. Pengelolaan Kualitas Air Sebagai faktor penting dalam operasional pemeliharaan larva, pengelolaan kualitas air perlu dijaga agar tetap dalam kondisi prima. Kualitas air meliputi aspek fisik, kimia dan biologi. Dari ketiga aspek tersebut ada beberapa parameter yang dapat dideteksi secara langsung, seperti kekeruhan, dan warna gelembung – gelembung kecil dipermukaan air sebagai akibat dari kelebihan pakan. Pengelolaan kualitas air pada masa pemeliharaan larva udang windu di BBAP Jepara dilakukan dengan beberapa cara, yaitu monitoring, pengecekan kualitas air, dan penyiponan. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari, suhu optimal yang butuhkan untuk proses metabolisme dan metamorfosis yaitu berkisar antara 29 - 32C. Sedangkan untuk pengecekan parameter kualitas air selama pemeliharaan larva dilakukan pada setiap pergantian stadia. Parameter pH berkisar antara 7,5 – 8,5, salinitas berkisar 29 – 34 ppt dan kadar nitrit 0,1 ppm hal ini sesuai dengan ketentuan SNI produksi benih udang windu. Dalam pengelolaan kualitas air ada beberapa perlakuan agar air media tetap sesuai untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva, diantaranya penyiponan, pengaturan pencahayaan, dan pengaturan kedalaman. 4.3.7.6. Penyiponan Penyiponan dilakukan agar sisa – sisa pakan maupun sisa – sisa metabolic dari larva dapat terbuang keluar dengan cara penyiponan. Tujuan dari dilakukannya penyiponan ini adalah untuk menghindari pembusukan pakan yang tidak termakan dan kotoran dari larva-larva tersebut. Penyiponan ini dilakukan setelah larva mencapai stadium mysis. Frekuensi penyiponan 2 kali sehari yaitu pada waktu 2 jam setelah pemberian pakan. 4.3.7.7. Pengaturan Cahaya Masalah cahaya perlu diperhatikan karena setiap stadium larva menghendaki cahaya yang berbeda. Untuk stadium nauplius dan zoea, keduanya bersifat flanktonis yang aktif berenang dipermukan air. Bagi kedua stadium ini diusahakan agar suasana bak pemeliharaan gelap dengan cara menutup bak. Jika ada matahari yang langsung masuk terutama pada siang hari maka akan membahayakan, karena nauplius dan zoea tidak tahan terhadap panas. Akan tetapi penutup bak sekali-kali harus dibuka, misalnya pada pagi hari pukul 07.00 – 09.00 dan sore hari pada pukul 16.00 – 17.00. dengan pengaturan cahaya ini sirkulasi udara segar akan tetap terjadi, sehingga suhu air tetap stabil. 4.3.7.8. Pengaturan Kedalaman air Bak Pemeliharaan Pengaturan kedalaman air media bertujuan untuk menghemat pakan buatan, menghemat tenaga penyiponan dan untuk menjaga air tetap segar. Untuk itu bak di isi air media secara bertahap, seperti untuk bak kapasitas 10 ton, pertama dimasukkan air sebanyak 8 ton setelah itu ditebar nauplius sebanyak 1.000.000 ekor. Setiap pergantian stadium air bak diganti sebanyak 0,5 ton, dengan perlakuan ini penyiponan dapat dilakukan pada stadium PL 3. 4.3.7.9. Pengamatan Kondisi Dan Perkembangan Larva Pengamatan kondisi dan perkembangan larva penting dilakukan karena larva udang dalam hidupnya mengalami beberapa

stadia. Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui kondisi fisik dan perkembangan tubuh larva yang dapat digunakan untuk mengestimasi populasi sehingga dapat menentukan jumlah pakan yang akan diberikan. Pengamatan dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis dilakukan secara visual dengan mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan sebanyak 1 liter beaker glass kemudian diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva. Cara membedakan stadium dengan mata telanjang adalah sebagai berikut: ???? Apabila larva tampak banyak ekor berarti sudah memasuki stadium zoea. Stadium zoea adalah stadium yang mempunyai tingkat pertumbuhan larva yang paling cepat. ???? Jika larva berenang kebelakang, berarti telah memasuki stadium mysis. Stadium mysis adalah stadium terakhir dari larva udang sebelum menjadi udang muda. Untuk para pembenih dini dapat melihat dengan bantuan mikroskop, setelah itu dapat dicocokkan dengan gambar yang ada di literature. Selama stadia zoea, larva mengalami 3 kali ganti kulit (metamorfosa) dalam waktu 4 – 6 hari. Tingkat perkembangan zoea dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 43. Tingkat perkembangan larva pada stadia zoea Setelah fase zoea berakhir, maka fase berikutnya adalah fase mysis dan bentuknya mirip dengan udang muda. Pada fase ini larva bersifat planktonis dan yang paling menonjol adalah gerakannya mundur dengan cara membengkokkan badannya. Pada stadia mysis terjadi 3 kali pergantian kulit yang dapat dilihat pada table di bawah ini: Tabel 4.5. Perkembangan larva pada stadia mysis Setelah tahap larva mysis, fase selanjutnya adalah Post larva. Pada fase ini tidak mengalami perubahan bentuk tetapi hanya pengalami perubahan panjang dan berat. Fase ini merupakan fase terakhir dari metamorfosa larva udang (PL). post larva yang telah mencapai umur 14 hari sudah dapat dipanen untuk pemeliharaan udang windu. Gambar 4.12. Post Larva Udang Windu Pengamatan pertumbuhan bertujuan untuk mengontrol pertumbuhan larva. Apabila pertumbuhan stadium lambat dapat dipacu dengan pemberian EDTA atau memasukkan antibiotik. Sedangkan untuk memacu perubahan post larva cukup dengan melakukan pergantian air media. Pengamatan mikroskopis dapat dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva udang dari bak pemeliharaan larva lalu diletakkan di atas gelas objek, kemudian diamati di bawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit, phatogen yang menyebabkan larva terserang penyakit. 4.3.7.10. Pengendalian Penyakit Untuk mengamati kesehatan larva perlu dilakukan dengan teliti baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan mikroskop. Kalau dengan mata telanjang dapat ditempuh dengan mengamati aktivitas gerak, aktifitas makan, warna tubuh dan perubahan stadium. Sebagai contoh, bila warna tubuh transparan dan bergaris merah berarti larva sehat. Atau bila larva sudah waktunya berubah stadium tetapi belum berubah berarti larva kurang sehat. Pengendalian penyakit dilakukan dengan menggunakan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Fluktuasi udara yang cepat berubah mempengaruhi lingkungan pemeliharan larva udang windu yang sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan, terutama dari stadia nauplius ke stadia zoea. a) Usaha Pencegahan Penyakit Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah penyakit yaitu: - Mengurangi kemungkinan memburuknya lingkungan yang dapat menyebabkan stress pada larva, seperti kandungan oksigen rendah, perubahan suhu dan salinitas yang begitu mencolok, pH air terlalu tinggi ataupun terlalu rendah serta amonia yang terlalu tinggi. - Pemberian pakan harus memperlihatkan jumlah, mutu, maupun jenisnya sesuai dengan tingkat perkembangan larva. - Mencegah menyebarnya orgenisme penyebab penyakit, dari satu bak ke bak yang lainnya, dengan menggunakan alat – alat yang lebih teratur dan bersih. - Air yang digunakan untuk pemeliharan larva dan pakan alami harus benar – benar bebas dari polusi. b) Usaha Pengobatan Tindakan ini merupakan upaya terakhir, terutama jika tindakan pencegahan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pemberian obat–obatan harus dilakukan secara tepat, sebab jika tidak dilakukan dengan tepat dapat menimbulkan masalah sebagai berikut: - Berpengaruh negative terhadap bakteri nitrifikasi yang berperan dalam filter biologis. - Berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan pakan alami. - Kemungkinan meninggalkan residu yang sangat berbahaya bagi kehidupan dan pertumbuhan larva yang dipelihara. 4.3.8. Pemanenan Post larva Pemanenan post larva atau benur yang dilakukan di BBAP Ujung Batee yaitu apabila benur siap tebar ke dalam tambak. Biasanya benur yang dipanen adalah benur yang mencapai PL-14 karena dirasa sudah cukup baik dan kuat untuk ditebar. Dalam usaha pembenihan ini pembenih dituntut selain menghasilkan benur yang banyak juga kualitas benur itu sendiri harus diupayakan dan dijaga sebaik – baiknya. Untuk itu mulai dari persiapan panen, pemanenan, pengepakan dan pengangkutan harus dilakukan dengan cermat. 4.3.8.1 Persiapan Panen Setelah benur siap untuk dipanen dengan mutu yang baik, maka hal yang harus diperhatikan adalah kesiapan alat untuk panen. Oleh karena itu sebelum panen harus dicek terlebih dahulu semua peralatan yang diperlukan. Alat – alat yang diperlukan untuk panen adalah sebagai berikut: kantong plastik ukuran 15 kg, karet gelang sebagai pengikat, oksigen, ember untuk penampungan, seser benur dan air laut yang bersih. 4.3.8.2 Cara Pemanenan Waktu tebar yang paling baik dilakukan adalah pukul 04.00 pagi. Untuk itu pengusaha pembenihan udang yang akan

memanen benurnya harus mengetahui lama angkut dari pembenihan ke tambak. Biasanya untuk angkutan jarak pendek (1 – 3 jam perjalanan) panen benur dimulai pada pukul 23.00, sedangkan untuk jarak jauh 4 – 6 jam perjalanan, panen dimulai pada pukul 21.00 malam. Cara pemanenan dilakukan dengan menurunkan air bak terlebih dahulu hingga air bak tinggal 50%. Hal ini dimaksudkan agar benur mudah ditangkap dengan seser. Seser yang digunakan untuk menangkap benur menggunakan seser yang halus, supaya tidak merusak fisik benur. Disamping itu penangkapan benur tidak boleh dilakukan dengan kasar tetapi harus dengan ekstra hati – hati dan pelan – pelan. Kemudian benur yang telah ditangkap dimasukkan kedalam wadah penampungan yang telah disiapkan sebelumnya, yaitu ember besar yang dilengkapi dengan aerasi. Bersamaan dengan pemanenan benur, dipersiapkan pula kantong plastik untuk wadah benur yang akan diangkut. Dalam kantong plastic tersebut dimasukkan 10 – 15 liter air yang mempunyai kadar garam yang sama dengan air pemeliharan sebelumnya. Kemudian kantong plastik tersebut diberi Artemia hidup secukupnya untuk pakan benur selama perjalanan, sehingga kondisi benur tidak lemah dan selalu sehat. Tetapi jangan sekali – kali memberikan pakan buatan dalam proses packing karena bisa berakibat fatal terhadap benur yang akan diangkut. Sambil menunggu pemanenan benur dari bak, benur yang telah terkumpul dalam baskom penampungan sebaiknya ditakar dahulu untuk dihitung jumlahnya. Perhitungan benur biasanya dilakukan dengan cara penimbangan dan cara penakaran. 4.3.8.3. Pengepakan dan Pengangkutan Pengepakan memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam menjaga keselamatan benur selama pengangutan. Tidak jarang benur yang dikemas rapi, tetapi setelah sampai ke tambak banyak yang mati. Hal ini terjadi biasanya akibat pengikatan plastik tidak kuat, sehingga plastik bocor atau memang plastiknya tidak rangkap dua hingga mudah pecah. Dalam kondisi seperti ini otomatis kandungan oksigen semakin berkurang, sehingga benur cepat lemah dan mati. Cara pengepakan yang baik adalah sebagai berikut : - Setelah benur dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diisi dengan air dan artemia, harus segera diisi dengan oksigen lalu di packing. - Pengisian oksigen diusahakan tidak terlalu cepat dan mendadak, sebab akan menimbulkan stress pada benur. Untuk itu cukup dengan membuka krant tabung oksigen secara pelan – pelan. - Ujung selang oksigen jangan dimasukkan terlalu dalam ke plastik packing, tetapi cukup 2 – 3 cm ke dalam kantong. - Banyaknya oksigen jangan sampai kurang dari banyaknya air yang ada di dalam kantong plastik, sebagai patokan perbandingan air dan oksigen adalah 2:3. - Pengikatan kantong plastik diusahakan sekuat mungkin dengan karet, tetapi mudah untuk dibuka kembali. - Apabila jarak angkut terlalu jauh (lebih dari 8 jam). Kantong plastik yang telah terikat dengan baik, diletakkan dalam kardus membujur. Ini dimaksudkan agar permukaan dasar dan permukaan air lebih luas sehingga oksigen mudah terlarut dan ruang gerak benurpun lebih luas. - Agar tutup kardus tidak mudah terlepas selama dalam pengangkutan, maka sebagai perekat digunakan lakban yang mempunyai lebar 5 cm dan direkatkan disepanjang tutup yang mudah terbuka. Untuk keperluan pengangkutan, harus sudah dipersiapkan kendaraan pengangkut untuk mengangkut sejumlah benur secara tepat dan cepat. Ini dimaksudkan agar benur yang akan diangkut dengan kendaraan tidak berlebihan dan tidak terlalu kurang, sehingga biaya angkut bisa lebih hemat. Selama dalam pengangkutan, benur harus sering dilihat jangan sampai ada posisi kardus yang berubah. Apabila benur sudah sampai ketujuan (tambak) kardus – kardus segera diturunkan dengan hati – hati. Untuk menghindari banyaknya benur yang mati, maka harus dilakukan adaptasi suhu terhadap air tambak yang akan ditebari benur. 4.3.9. Pemasaran Pemasaran merupakan langkah akhir dari suatu usaha untuk memperoleh pendapatan yang diharapkan. Pemasaran adalah faktor yang sangat menentukan bagi suatu usaha pembenihan udang, mengingat hasilnya (benur) tidak dapat disimpan lama. Semakin lama benur berada di tempat pembenihan berarti semakin bertambah biaya produksi yang akan dikeluarkan, sehingga akan mengurangi jumlah pendapatan yang diperoleh. Untuk menghindari hal tersebut perlu rencana kerja yang melihat ke depan. Artinya untuk memulai suatu usaha pembenihan udang harus terlebih dahulu melihat keadaan dari usaha budidaya tambak. karena usaha budidaya tambak merupakan sasaran dari pemasaran usaha pembenihan. Selain itu faktor yang sangat berpengaruh dalam pemasaran benur adalah mutu benur yang dihasilkan. Jika benur yang dihasilkan dengan mutu yang berkualitas akan menarik minat pengusaha/ petani tambak untuk membeli benur yang dihasilkan oleh pembenih tersebut. Harga memegang peranan penting dalam memasarkan hasil dari suatu usaha pembenihan. Harga yang ditetapkan harus sesuai dengan mutu/kualitas benur yang dihasilkan. Pada usaha pembenihan BBAP Jepara harga benur sampai tahun 2010 sekitar Rp. 25,-/ekor benur untuk PL 15. Sistem pemasaran yang berlaku pada usaha pembenihan udang windu pada BBAP Jepara ada 2 macam, yaitu konsumen langsung datang ke tempat pembenihan untuk membeli benur yang diinginkan. Atau juga dapat melalui perantara/agen. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan pada skema system pemasaran di bawah ini. Gambar 4.13. Skema sistem pemasaran benur Udang Windu Dari skema di atas nampak bahwa sistem pemasaran benur pada Balai Budidaya Air Payau Jepara mempunyai dua tipe pemasaran: 1. Tipe A, yaitu pemasaran langsung bertemu antara Produsen dengan konsumen. 2. Tipe B, yaitu pemasaran benur melalui agen perantara artinya Produsen dan konsumen tidak pernah bertemu. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

>> Dengan pengambilan induk dari alam maka dapat meminimkan biaya pemeliharaan Induk dan hasil yang diperoleh dengan memanfaatkan induk dari alam tidak jauh berbeda dengan induk hasil budidaya. >> Pengorganisasian sumberdaya, pengerahan dan pengawasan berperan dalam proses pembenihan udang. Peranan manajemen terlihat dari perbedaan antar perlakuan dan periode produksi. Perbedaan produksi benur udang ini nyata disebabkan oleh perlakukan pengelolaan tersebut. >> Dengan pengorganisasian sumberdaya (tenaga ahli, induk udang, peralatan dan input) yang baik maka dapat dihasilkan angka kehidupan benur yang tinggi. Sebaliknya bila sumberdaya tersebut diorganisasikan kurang baik maka nilai kehidupan benur yang di dapat akan semakin lebih sedikit. >> Pengerahan input dan pengawasan pertumbuhan benur udang bila dilakukan dengan baik maka hasil benur yang diperoleh akan tinggi. Sebaliknya bil dilakukan kurang baik maka jumlah benur yang diperoleh akan lebih rendah. 5.2. Saran >> Untuk meningkatkan pencapaian jumlah benih yang dihasilkan dalam pembenihan maka yang perlu dilakukan adalah pengelolaan kualitas air dan manajemen pemberian pakan. >> Alat – alat yang digunakan dalam proses budidaya (Pembenihan) harus betul – betul bersih dan tidak terinfeksi organisme lain yang akan menimbulkan penyakit bagi kehidupan larva udang tersebut. >> Ketersediaan air bersih baik air laut maupun air tawar harus selalu terjaga terutama pada masa larva udang membutuhkan banyak pakan alami. Ketersediaan air di sini maksudnya adalah untuk menjaga ketersediaan pakan alami yang akan diberikan sebagai pakan larva udang. DAFTAR PUSTAKA Amri, K., 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta. Aquacop, 1976. Maturating and Spawning in Capacity of Penaeid Prawns, P. Marguensis and Netapenaeus Entis. Proc. 6 th Annual Worksshop Worrld Marinculture Society. 123 Halaman. Chen, J. C., Chin, T. S., and Lee, C. K. 1986. Effect of Ammonia and Nitrite on Larval Development of The Shrimp, Penaeus monodon. In J. L. Machlean, L. B. Dizon and L. V. Hossilos (Eds). The First Asian Fisheries Forum. Philippines : Asian Fisheries Society. Cheng, J. H., and Liao. I. C. 1986. The Effect of Salinity on The Osmotic and Ionic Concentration in The Hemolymph Penaeus monodon and P. Penicullaius. In J. L. Machlean, L. B. Dizon and L. V. Hossilos (Eds). The First Asian Fisheries Forum. Philippines : Asian Fisheries Society. Kokarkin, C, Wijayati dan Pujianto., 1995. Patogen dan Pengendaliannya di Pembenihan Udang Windu. Balai Besar Pengemban Budidaya Air Payau Jepara. 10 Halaman. Liao, I. C., and Murai, T. 1986. Effect of Disolved Oxygen Consumption of The Grass Shrimp, Penaeus monodon. Machlean, L. B. Dizon and L. V. Hossilos (Eds). The First Asian Fisheries Forum. Philippines : Asian Fisheries Society. Motoh, H. 1981. Studies on The Fisheries Biology of The Giant Tiger Prawn Penaeus monodon. The Philippines Technical Report no 7. Philippines : Aquaculture Departement Suotheast Asian Fisheries Development Center. Murtidjo, B.A., 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kansius. Jakarta. Nurjana, M. L. 1988. Berbagai Aspek Biologi Udang Windu (Penaeus monodon Fab.). Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Poernomo, A., 1976. Budidaya Udang Windu di Tambak Potensial Budidaya Produksi dan Udang Sebagai Lahan Makanan di Indonesia. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Organisasi (LIPI) Jakarta. 41 Halaman. Rocotta, I. S., and Hernandez-Herrera, R. 2000. Metabilic Response of The White Shrimp, Penaeus vannamei to Ambient Ammonia. Compararative Biochemystryand Physiology Part A 125. 443 Halaman. Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon). Kansiua. Yogyakarta. Sumarwan, J., 2004. Produksi Benih Udang Windu (Penaeus monodon) Bebas SEMBV. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Jepara. Suwoyo, D, Hariyono dan Moehit., 2004. Produksi Nauplius Udang Penaeid. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 12 Halaman. Sutaman., 1993. Petunjuk Teknis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga. Kansius. Yogyakarta. Suyanto, S.R dan A. Mujiman., 1994. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta. Toro, V dan Soegiarto., 1979. Biologi Udang Windu. Proyek Penelitian Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Oceanoligi LIPI. Jakarta. 144 Halaman. Tsai, C. K. 1989. Pengelolaan Mutu Air. Lokakarya Pengelolaan Budidaya Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Bekerja Sama dengan American Soybeans Association. Yayasan Pendidikan Wijayakusuma dan Institut Politeknik Indonesia. Wang, W. N., Wang, A. L., Zhang, Y. J., Li, Z. H., Wang, J. X., and Sun, R. Y. 2003. Effects of Nitrite on Lethal and Immune Response of Macrobrachium Nipponese. Aquaculture 232. 686 Halaman. Wardoyo, S. 1997. Pengelolaan Kualitas Air Udang Penaeid. Dalam Pelatihan Manajemen Tambak dan Hathery. Bogor. Wijayati, A., 1995. Waspadai Penyakit Udang di Pembenihan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 20 Halaman.

You might also like